ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

  ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN (Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk) (Jurnal Skripsi) Oleh NITA TRIANI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

  

ABSTRAK

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMBEBASKAN PELAKU

YANG DIDAKWA MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PERZINAHAN

(Studi Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

Oleh

  

Nita Triani, Eko Raharjo, Dona Raisa Monica

Email: anita.triani96@yahoo.co.id

  Pelaku tindak pidana perzinahan dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 284 KUHP, tetapi pada kenyataannya pelaku perzinahan dalam diputus pidana percobaan oleh hakim pengadilan negeri dan selanjutnya pada tingkat banding diputus bebas oleh hakim pengadilan tinggi. Permasalahan: (1) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam membebaskan pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan pada Putusan Nomor. 89/Pid/2017/PT.Tjk? (2) Apakah putusan bebas terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan sesuai dengan rasa keadilan substantif? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Dasar pertimbangan hakim dalam membebaskan pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan adalah Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan tunggal tersebut

  

(Vrijspraak) dan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

  martabatnya harus dipulihkan (direhabilitasi) (2) Putusan hakim yang membebaskan pelaku tindak pidana perzinahan belum sesuai dengan keadilan substantif, karena hakim kurang mempertimbangkan aspek kerugian immateril dan aspek psikologis yang diderita suami AN selaku pelapor perkara. Saran: (1) Hakim yang menangani tindak pidana perzinahan pada masa mendatang disarankan untuk mempertimbangkan nilai-nilai sosial, budaya dan moral yang berlaku. (2) Hakim disarankan untuk dapat menjatuhkan pidana secara tepat, sehingga dapat memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana perzinahan.

  Kata Kunci: Putusan Hakim, Membebaskan Pelaku, Perzinahan

  

ABSTRACT

ANALYSIS OF BASIS OF JUDGE'S CONSIDERATION IN RELEASING

THE PERPETRATOR WHO IS ACCUSED OF COMMITTING

ADULTERY CRIME

  

(Study of Decision Number: 89/Pid/2017/PT.Tjk)

The perpetrator of the criminal act of adultery should be convicted in accordance with the

provisions of Article 284 of the Criminal Code, but in fact the adulterer in the trial is

adjudged by the judge of the district court and subsequently appealed by the high court

judge on the appeal of unacceptable elements of the article. The problems in this study

are: (1) What is the basis of judge's consideration in releasing the perpetrator who is

accused of committing adultery crime in Decision Number. 89/Pid/2017/PT.Tjk? (2) Is the

free judgment of the perpetrator charged with committing an act of adultery in

accordance with a sense of substantive justice? This study uses a juridical normative and

juridical empirical approach.. Data collection was done by literature study and field

study. Data analysis is done qualitatively. The results of the study: (1) The basis of judge's

consideration in releasing the perpetrator who is accused of committing adultery crime is

the Defendant is not proven legally and convincingly fulfilling the elemental formula in

the Single Indictment filed by the Public Prosecutor, therefore the Defendant must be

declared not guilty and released from the single indictment (Vrijspraak) and the right of

the Accused in the capacity, position and prestige and dignity must be rehabilitated (2)

The judge's decision to free the adulterers of adultery has not been in accordance with

substantive justice, since the judge does not consider the aspect of immateril loss and the

psychological aspect suffered by the husband of AN as a case reporter who the crime.

Suggestions in this study are: (1) Judges handling future adultery crimes are advised to

consider the social, cultural and moral values prevailing in the midst of community life.

(2) A judge handling future adultery crimes is advised to be able to properly impose

criminal sanctions, which may provide a deterrent effect and as a lesson for others not to

commit an adultery crime.

  Keywords: Judge's Decision, Releasing Perpetrators, Adultery

I. Pendahuluan

  Perzinahan akan dipandang tercela atau dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidan (KUHP) jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan. Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengung-dengungkan selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan sebagaimana diatur dalam

  Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak Konsep KUHP dikeluarkan pada Tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami perubahan signifikan. Ketentuan KUHP mengenai delik perzinahan memiliki pengertian yang berbeda dengan konsepsi yang diberikan masyarakat. Menurut KUHP, zina diidentikkan dengan overspel yang pengertiannya jauh lebih sempit dari pada zina itu sendiri. Overspel hanya dapat terjadi jika salah satu pelaku atau kedua pelaku telah terikat tali perkawinan. Hal ini berbeda dengan konsepsi masyarakat/bangsa Indonesia yang komunal dan religius. Setiap bentuk perzinahan, baik telah terikat tali perkawinan maupun belum, merupakan perbuatan tabu yang melanggar nilai- nilai kesusilaan.

  seperti ini tidak banyak berarti banyak jika hukum pidana nasional mendatang 1 Ahmad Bahiej, Tinjauan Yuridis atas Delik

  Perzinahan dalam Hukum Pidana Indonesia , diakses dari https://www.researchgate.net/publication/315693 603_Tinjauan_Yuridis_atas_Delik_Perzinahan_ Overspel_dalam _Hukum_Pidana_Indonesia,

  tidak mengakomodasi dalam ketentuannya. Upaya untuk merealisasikannya membutuhkan peran dari pihak lain terutama dalam bidang hukum yang biasa disebut dengan penegak hukum, dalam hal ini khususnya adalah pihak kepolisian. Pada zaman sekarang ini, polisi dibebani segudang harapan oleh masyarakat dengan pelayanannya, peningkatan akan pelaksanaan tugas- tugas pokok lainnya sebagai polisi, serta selalu berorientasi pada masyarakat.

  2 Masalah delik perzinahan merupakan

  salah satu contoh aktual adanya benturan antara pengertian dan paham tentang zina dalam KUHP Pasal 284 dengan kepentingan/nilai sosial masyarakat. Benturan-benturan yang sering terjadi di masyarakat, sering menimbulkan kejahatan baru seperti pembunuhan, penganiayaan, atau main hakim sendiri. Perzinahan dipandang sebagai perbuatan dosa yang dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, dan dipandang sebagai suatu penodaan terhadap ikatan suci dari perkawinan. Hal ini semakin parah dengan lemahnya praktik penegakan hukum. Penegakan hukum pidana di Indonesia sangat berkaitan dengan kejahatan atau kriminalitas. Dalam tindakan kejahatan yang terjadi secara umum selalu melibatkan dua pihak sentral yakni pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Pelaku 2 Dwi Andika Barnabas, Study Tindakan Asusila

1 Konsepsi masyarakat

  Oleh Anggota Polri ,diakses dari pada biasanya merupakan pihak yang lebih kuat di bandingkan dengan korban, baik dari segi fisik ataupun dari segi yang lain.

  Perzinahan sampai dengan saat ini masih terjadi di masyarakat bahkan dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti dalam Putusan Nomor: 299/Pid.B/2017/ PN.Tjk, aparat penegak hukum yaitu seorang oknum dengan berinisial FI telah melakukan perzinahan dengan bawahannya sendiri berinisial AN. Pada hari minggu malam senin tanggal 29 ke 30 Januari 2017 sekira jam 01.00 wib. Atau setidak-tidaknya yang masih dalam tahun 2017 bertempat hotel pop di jalan WR. Monginsidi kel. Durian Payung kec.Tanjung Karang Pusat kota Bandar Lampung. Yang mana dalam putusan tersebut, putusan berinisial AN telah terbukti dan diputus bersalah tetapi putusan hakim terhadap perwira tinggi tersebut tidak sesuai dengan apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa. Dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini adalah perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP. Tuntutan Jaksa Penuntut umum adalah agar hakim yang menangani perkara ini menjatuhkan pidana penjara selama 3 bulan terhadap terdakwa, karena melanggar ketentuan Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP dengan unsur-unsur sebagai berikut: 1.

  Seorang pria yang telah kawin 2. Melakukan Zina 3.

  Pasal 27 BW berlaku bagi dirinya Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam persidangan menganggap bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak tepat. Menurut pertimbangan hakim keterangan para saksi dan pengakuan terdakwa FI. menerangkan bahwa terdakwa sudah pernah menikah berdasarkan agama islam tapi belum pernah menikah secara resmi menurut hukum kenegaraan ini dapat dibuktikan bahwa selama proses persidangan berlangsung tidak ada 1 (satu) orangpun saksi yang dapat menerangkan bahwa terdakwa telah menikah secara kenegaraan, maka menurut putusan hakim ialah menyatakan FI terbukti melakukan tindak pidana dengan melanggar Pasal 284 Ayat (2) huruf a yang mengandung unsur-unsur pasal sebagi berikut;

  1. Seorang Pria yang tiada beristri 2.

  Turut melakukan Zina 3. Yang turut bersalah diketahui telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya”.

  Majelis hakim dalam Putusan Nomor: 299/Pid.B/2017/PN.Tjk menjatuhkan pidana kepada terdakwa FI dengan pidana penjara selama 3 bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa kecuali ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa telah dipersalahkan melakukan tindak pidana kejahatan atau melanggar sebelum berakhir masa percobaan 5 bulan.

  Menindaklanjuti putusan hakim pengadilan negeri yang menjatuhkan pidana percobaan terhadap terdakwa, baik Jaksa Penuntut Umum maupun Kuasa Hukum terdakwa mengajukan upaya hukum banding. Selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk terdakwa FI karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan tunggal tersebut (Vrijspraak) dan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya harus dipulihkan (direhabilitasi). Sesuai dengan putusan bebas tersebut maka Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal 1 Agustus 2017 Nomor: 299/Pid.B/ 2017/PN.Tjk. yang dimintakan banding tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan. Pengadilan Tinggi menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal 1 Agustus 2017 Nomor:299/Pid. B/2017/PN.Tjk. yang dimintakan banding tersebut. Pengadilan Tinggi Tanjung Karang mengadili sendiri: 1.

  Menyatakan Terdakwa FI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Tunggal 2. membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan tersebut

  (Vrijspraak) 3.

  Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Berdasarkan uraian di atas penulis melaksanakan penelitian dalam skrupsi yang berjudul: Analisis Putusan Hakim dalam Membebaskan Pelaku yang Didakwa Melakukan Tindak Pidana Perzinahan (Studi Putusan Nomor.

  Permasalahan penelitian ini adalah: a.

  Apakah dasar pertimbangan hakim dalam membebaskan pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan pada Putusan Nomor. 89/Pid/2017/PT.Tjk? b. Apakah putusan bebas terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan sesuai dengan rasa keadilan substantif?

  Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

  II. Pembahasan A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Membebaskan Pelaku yang Didakwa Melakukan Tindak Pidana Perzinahan pada Putusan Nomor. 89/Pid/2017/PT.Tjk

  Majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam pada Putusan Nomor: 89/Pid/2017/ PT.Tjk membebaskan pelaku yang didakwa atas tindak pidana perzinahan, dengan pertimbangan adanya Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 299/Pid.B/2017/PN.Tjk menjatuhkan pidana kepada terdakwa FI dengan pidana penjara selama 3 bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa kecuali ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa telah dipersalahkan melakukan tindak pidana kejahatan atau melanggar sebelum berakhir masa percobaan 5 bulan. Majelis hakim banding juga mempertimbangkan memori banding Penuntut Umum. Putusan Hakim tingkat pertama tersebut tidak mempunyai daya tangkal terhadap pelaku/Terdakwa yang dipersalahkan telah melakukan tindak pidan a “Turut melakukan zinah” melanggar Pasal 284 Ayat (2) huruf a KUHP, yang dalam pertimbangannya dalam putusannya Hakim tingkat pertama menjadikan status Terdakwa tidak terikat dalam perkawinan yang sah, karena menurut Jaksa Penuntut Umum bahwa Terdakwa pernah menikah pada tahun 2010 dan bercerai pada tahun 2012 dan tidak mempunyai anak, dan menurut Jaksa Penuntut Umum bahwa terlepas dari statusnya nikah atau belum nikah hal ini tidak menghapuskan perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa.

  Menurut Jaksa Penuntut Umum pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa FI dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima) bulan adalah terlalu ringan dan tidak sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 5 Tahun 1973 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri diseluruh Indonesia, yang pada pokoknya mengingatkan bahwa meskipun berat ringannya hukuman adalah wewenang judex facti, namun dimintakan perhatian agar dalam menjatuhkan hukuman sungguh-sungguh setimpal dengan berat ringannya pidana yang dilakukan oleh Terdakwa dan jangan sampai didalam penjatuhan pidana itu menyinggung perasaan maupun pendapat umum. Selanjutnya majelis hakim juga mempertimbangkan kontra memori banding Terdakwa melalui Kuasa mengemukakan bahwa terhadap uraian memori banding Jaksa Penuntut Umum pada point 1 tentang status terdakwa apakah sudah memiliki istri atau tidak memiliki istri, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan, tetapi justru sebaliknya Terdakwa dapat membuktikan bahwa Terdakwa memang belum mempunyai istri, sehingga pertimbangan Hakim tingkat pertama sudah tepat. Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Klas

  IA yang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa FI selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima) bulan, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum dalam memori bandingnya berkeberatan atas putusan Hakim tingkat pertama tersebut karena terlalu ringan, akan tetapi Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya juga tidak setuju dengan putusan tersebut, karena Terdakwa berpendapat bahwa Terdakwa harus dibebaskan dari tuntutan hukum karena tidak terbukti di persidangan.

  Terdakwa melalui Kuasa Hukumnya dalam memori bandingnya pada pokoknya mengemukakan bahwa Terdakwa tidak dapat menerima putusan Hakim tingkat pertama dengan alasan bahwa hakim keliru dalam menetapkan fakta-fakta hukum, yaitu dalam persidangan tidak ada satupun fakta yang menunjukkan bahwa Terdakwa telah bersetubuh dengan saksi AN. Selain itu hakim dianggap keliru dalam unsur “turut serta melakukan zinah”, yaitu terdakwa berkeberatan terhadap pertimbangan putusan Hakim tingkat pertama, karena tidak ada satupun saksi yang melihat perzinahan antara Terdakwa dengan saksi AN, S.H., dan dari bukti surat Visum et Repertum atas terjadi perzinahan. Majelis Hakim tingkat pertama telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum yang berdasarkan persangkaan hukum dan putusan Mahkamah Agung Nomor 854/K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984, dalam hal ini hakim hanya mengutip kaidah hukumnya saja, tetapi tidak melihat kronologis dan latar belakang perkara Nomor 854/K/ Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984. Penasihat Hukum Terdakwa juga berusaha menemukan adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 854/K/Pid/1983 tanggal 30 Oktober 1984 tersebut tetapi tidak berhasil menemukannya baik dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. tahun 1969

  • – 2008 bahkan sampai ke perpustakaan Mahkamah Agung R.I., melalui situs Website resmi MA.RI. Selain itu hakim melampaui kewenangannya dengan memutus perkara menggunakan pasal yang tidak ada dalam surat dakwaan; Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini telah mendakwa Terdakwa dengan dakwaan tunggal menggunakan Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP, dalam hal ini Terdakwa dan Penasihat Hukumnya telah membuktikan bahwa unsur-unsur pasalnya tidak terpenuhi, tetapi disini Hakim tingkat pertama memutus perkara ini dengan Pasal 284 Ayat (1) ke-2a KUHP yang tidak ada di Surat Dakwaan,

  maka dalam hal ini Terdakwa melalui Penasihat Hukum-nya merasa keberatan karena merasa dirugikan karena kehilangan kesem-patan untuk membela diri Terdakwa terhadap pasal yang digunakan oleh hakim yang tidak didakwakan kepada Terdakwa untuk memutus perkara ini. Bahwa atas dasar melalui Penasihat Hukumnya memohon agar Pengadilan Tinggi Tanjungkarang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang dalam perkara a quo dan membebaskan dari dakwaan atau melepaskan Terdakwa dari semua tuntutan hukum serta merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat Terdakwa pada keadaan semula.

  Hakim Pengadilan Tinggi setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara dan salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal

  1 Agustus 2017 Nomor:299/Pid.B/2017/PN.Tjk., serta memori banding dari Jaksa Penuntut Umum dan memori banding dari Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya serta kontra memori banding dari Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya, maka Pengadilan Tinggi akan meninjau putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang dalam perkara a quo dengan pertimbangan bahwa memori banding dari Jaksa Penuntut Umum ternyata hanya merupakan pengulangan saja dari surat tuntutannya dan tidak merupakan hal-hal yang baru dan hal itu semua telah dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim tingkat pertama dalam putusannya terhadap “dakwaan tunggal” yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa dalam perkara a quo.

  Terdakwa FI dalam perkara a quo diajukan ke muka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan Dakwaan Tunggal yaitu Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP yang unsur-unsurnya sebagai berikut: (1) Seorang pria yang telah kawin, (2) Melakukan zina dan (3) Pasal 27 BW berlaku bagi dirinya. Hakim tingkat pertama dalam putusannya mempertimbangkan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa ternyata pada diri Terdakwa tidak terbukti memenuhi rumusan unsur pokok dalam Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP dalam dakwaan tunggal yang didakwakan kepada Terdakwa, maka Pengadilan Tinggi sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama dalam putusannya dan pertimbangan Hakim tingkat pertama tersebut diambil alih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus perkara ini dalam tingkat banding. Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama yang dalam putusannya tidak membebaskan Terdakwa dari dakwaan tunggal yang didakwakan kepada Terdakwa tersebut, namun Hakim tingkat pertama dalam putusannya justru telah menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “turut melakukan zinah” dan menjatuhkan pidana (menghukum) kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dengan masa percobaan selama 5 (lima) bulan dengan alasan pertimbangan menurut Hakim tingkat pertama bahwa dakwaan yang lebih tepat untuk diri Terdakwa adalah Pasal 284 Ayat (2) huruf a KUHP karena hal tersebut merupakan kekeliruan, kesalahan dan keteledoran dari Jaksa Penuntut Umum yang telah keliru, tidak cermat dan tidak tepat dalam membuat dan menyusun surat dakwaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh keadilan dalam masyarakat serta memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maka Hakim tingkat pertama memilih pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP yang lebih tepat untuk diterapkan pada diri Terdakwa. Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya dalam memori bandingnya berkeberatan terhadap putusan Hakim tingkat pertama perkara

  a quo yang memutus dan menjatuhkan

  pidana terhadap Terdakwa dengan menggunakan dasar Pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP yang tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa. Menurut pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi, terlepas dari perkara yang terpisah atas nama saksi AN, Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat pertama dalam putusannya tersebut di atas yang memutus dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan menggunakan Pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP yang tidak didakwakan kepada Terdakwa dengan alasan pertimbangan sebagai berikut: a.

  Bahwa Terdakwa FI diajukan ke muka persidangan dalam perkara ini dengan su rat “Dakwaan Tunggal” oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP, dan ternyata berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa perbuatan Terdakwa tidak terbukti memen;uhi salah satu unsur pokok

  Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP dalam Dakwaan Tunggal tersebut, seharusnya Terdakwa oleh Hakim tingkat pertama dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana Dakwaan Terdakwa tersebut, tetapi ternyata Hakim tingkat pertama justru memutus menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa menggunakan dasar sebagai dakwaan yang dipilih sendiri oleh Hakim tingkat pertama yaitu

  Pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP yang oleh Jaksa Penuntut Umum tidak didakwakan kepada Terdakwa; b. Bahwa Hakim tingkat pertama dalam memutus dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dalam perkara a

  quo menggunakan dasar Pasal 284

  Ayat (2) huruf-a KUHP yang tidak didakwakan kepada Terdakwa tersebut telah salah dalam menerapkan hukum acara pidana dan telah melampaui kewenangannya dalam mengadili dan memutus perkara ini karena berdasarkan Pasal 182 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai dan ditutup maka hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan (Pasal 182 ayat 1, 2 dan 3 KUHAP), dan musyawarah tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang (Pasal 182 ayat 4 KUHAP), ini berarti bahwa secara limitatife hakim dalam memutus perkara pidana harus didasarkan atas surat dakwaan yang didakwakan kepada Terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum. Menurut Doktrin perbedaan antara Hakim, Penuntut

  Umum (Jaksa) dan Penasihat Hukum ialah pada posisi dan penilaiannya. Pengadilan Tinggi berpendapat Hakim tingkat pertama yang memutus perkara a

  quo dengan menggunakan pasal yang

  tidak sesuai dengan surat dakwaan tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, telah tidak cermat dan keliru dalam mengutip pasal yang dijadikan dasar memutus perkara ini yaitu Pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP, karena tidak ada Pasal 284 Ayat (2) huruf-a KUHP tetapi yang ada adalah Pasal 284 Ayat (2) saja yang mengatur tentang delik aduan dan tenggang waktu pengaduan dalam pasal ini, sedangkan yang dimaksud oleh Hakim tingkat pertama adalah Pasal 284 Ayat (1) ke-2 huruf a KUHP.

  Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa memori banding dari Terdakwa sepanjang menyangkut hal dimaksud dapat dibenarkan, sehingga Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Terdakwa FI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan tunggal tersebut (Vrijspraak) dan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya harus dipulihkan (direhabilitasi), dan dengan demikian putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal 1 Agustus 2017 Nomor: 299/Pid.B/ 2017/PN.Tjk. yang dimintakan banding tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan dan Pengadilan Tinggi akan mengadili Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk menjatuhkan membebaskan terdakwa FI karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan tunggal tersebut (Vrijspraak) dan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya harus dipulihkan (direhabilitasi).

  Pertimbangan hakim Pengadilan Tinggi inilah yang menjadi perbedaan paling menonjol dibandingkan pertimbangan hakim pengadilan negeri, yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, sehingga terhadap dalam Putusan Nomor: 299/Pid.B/2017/PN.Tjk terdakwa dipidana penjara selama 3 bulan dengan masa percobaan selama 5 bulan. Terdakwa yang diputus bebas, ataupun Penjelasan di atas sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1 Ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang. Terkait hakim yang menjatuhkan pidana minimal terhadap terdakwa, menurut penulis hal tersebut tidak selamanya dapat diterapkan karena berpotensi menjadi yurisprudensi di masa-masa yang akan datang, namun demikian putusan hakim bersifat independen dan harus bebas dari intervensi dari pihak manapun, dalam kondisi yang demikian kepentingan korban atas keadilan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. 3 Berdasarkan uraian di atas maka menurut analisis, putusan hakim yang menjatuhkan pidana bebas terhadap pelaku tindak pidana perzinahan lebih cenderung menggunakan teori pendekatan seni dan intuisi. Majelis hakim berkeyakinan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dari dakwaan pertama dan kedua yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

  4 Putusan hakim memang tetap dituntut

  oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil- adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim. Keadilan hakim harus tercermin 3 Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana.

  Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11 4 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar dalam putusan perkara yang sedang ditanganinya, maka sebagai seorang hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga paling tidak dapat dilaksanakan oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar putusan yang tidak bisa dilaksanakan.

  Majelis Hakim Pengadilan Tinggu dalam Putusan Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk, membebaskan FI yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan. Putusan bebas tersebut belum memenuhi keadilan substantif, karena majelis hakim kurang mempertimbangkan aspek kerugian immateril dan aspek psikologis yang diderita suami AN selaku pelapor perkara yang mengharapkan majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang dianggap telah melakukan perzinahan dengan istrinya di kamar hotel.

  Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya.

  Hukum yang berkualitas pada dasarnya merupakan praktik hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak atau aspirasi masyarakat, sebab itu hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Tujuan hukum, di samping menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi- sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal utama bagi kepastian hukum yakni, adanya peraturan itu sendiri. tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai yang berbeda-beda tersebut, maka penilaian mengenai keabsahan hukum atau suatu perbuatan hukum, dapat berlain-lainan tergantung nilai mana yang dipergunakan. Tetapi umumnya nilai kepastian hukum yang lebih berjaya, karena disitu diam-diam terkandung pengertian supremasi hukum. Menurut pendapat penulis, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana perzinahan yang menyebabkan kerugian bagi korban belum memenuhi unsur keadilan, sebab hakim dalam menjatuhkan pidana tidak mempertimbangkan kerugian yang dialami korban, tidak memberikan efek

B. Putusan Bebas terhadap Pelaku yang Didakwa Melakukan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Rasa Keadilan Substantif

  pihak lain agar tidak melakukan kesalahan serupa. Keadilan menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

  Keadilan menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Keadilan secara substatif mengandung prinsip tidak merugikan seseorang dan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara.

  Nomor: 89/Pid/2017/PT.Tjk, mengabaikan aspek kerugian moril dan psikologis yang dialami pelapor. Putusan Bebas yang dijatuhkan hakim juga tidak memberikan efek jera kepada pelakunya dan tidak dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi pihak lain yang berpotensi melakukan tindak pidana agar tidak melakukan hal tersebut. 5 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana,

  Seharusnya terdakwa dipidana penjara (kurungan badan) sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

  Keadilan hakim dalam proses peradilan semestinya tidak hanya mengacu pada ketentuan hukum secara formal, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan pelaku, korban, keluarga dan masyarakat pada umumnya. Keadilan dalam konteks ini adalah perlakuan yang adil, tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana perzinahan seharusnya mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan mendapatkan pidana maksimal sesuai dengan ketentuan undang-undang. Hakim semestinya memutus perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap suatu putusan.

  III. Penutup A. Simpulan 1.

  Dasar pertimbangan hakim dalam membebaskan pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana perzinahan pada Putusan Nomor. 89/Pid/2017/ PT.Tjk adalah Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi rumusan unsur dalam Dakwaan Tunggal yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan tunggal tersebut (Vrijspraak) dan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta

5 Hakim dalam Putusan Pengadilan

  (direhabilitasi), dan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang tanggal 1 Agustus 2017 Nomor: 299/Pid.B/ 2017/PN.Tjk. yang dimintakan banding tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan. Hakim dalam membebaskan pelaku tindak pidana perzinahan lebih cenderung menggunakan teori pendekatan seni dan intuisi karena menurut intuisi hakim perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dari dakwaan pertama dan kedua yang didakwakan oleh Penuntut Umum dan sebagai bentuk diskresi atau kewenangan hakim dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya.

  Asusila Oleh Anggota Polri ,diakses dari

  Jakarta Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana , Alumni,Bandung.

  oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,

  Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum

  Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat

  Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga

   pada tanggal 28 Agustus 2017 pukul 09.40.

  28 Agustus 2017 pukul 09.40. Barnabas, Dwi Andika. Study Tindakan

  2. Putusan hakim yang membebaskan pelaku tindak pidana perzinahan belum sesuai dengan keadilan substantif, karena hakim kurang mempertimbangkan aspek kerugian immateril dan aspek psikologis yang diderita suami AN selaku pelapor perkara yang mengharapkan majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang dianggap telah melakukan perzinahan dengan istrinya di kamar hotel.

  https://www.researchgate.net/pub lication/315693603_Tinjauan_Y uridis_atas_Delik_Perzinahan_O verspel_dalam _Hukum_Pidana_ Indonesia, pada tanggal

  Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Indonesia , diakses dari

  Bahiej, Ahmad Tinjauan Yuridis atas

  Daftar Pustaka

  2. Hakim yang menangani tindak pidana perzinahan pada masa mendatang disarankan untuk dapat menjatuhkan pidana secara tepat, sehingga dapat memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana perzinahan.

B. Saran 1.

  Hakim yang menangani tindak pidana perzinahan pada masa mendatang disarankan untuk mempertimbangkan nilai-nilai sosial, budaya dan moral yang berlaku ditengah-tengah kehidupan masyarakat, serta tidak hanya mendasarkan putusan pada ketentuan secara yuridis semata-mata.