PENGARUH JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR PADA PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA Sawit (Elaeis guineensis jacq.) YANG DITANAM PADA MEDIA STERIL DAN TIDAK STERIL

V. KESIMPULAN DAN SARAN

  5.1 Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:

  1. Jenis FMA yang digunakan tidak memberikan pengaruh pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  2. Sterilisasi media tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  3. Respon bibit kelapa sawit terhadap pemberian jenis FMA yang diinokulasikan tidak tergantung pada sterilisasi media.

  5.2 Saran

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarakan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan lebih dari 5 bulan setelah transplanting, kemudian sebaiknya penelitian dilakukan menyesuaikan dengan sistem pembibitan kelapa sawit yang ada di lapangan yaitu mendapatkan sinar matahari yang optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit.

  Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, kupersembahkan karya sederhana ini untuk Papa dan Mama tercinta yang selalu mendoakanku dan melimpahkan kasih sayang yang tiada henti, serta kesabaran mereka menanti keberhasilanku.

  Adik-adikku yang selalu memberikan dorongan semangat kepadaku.

  Semoga karya sederhana ini berguna bagi agamaku dan almamaterku tercinta Universitas Lampung.

  

SANWACANA

  Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, anugrah, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksasnakan dan menyelesaikan penelitian serta menyusun skripsi ini. Dengan penuh kerendahan hati penulis sampaikan ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membatu penulis:

  1. Bapak Ir. Indarto, M.S., selaku Pembimbing Pertama, Ketua Tim Penguji atas kesempatan, saran, motivasi, dan kesabaran dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.

  2. Ibu Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc., selaku Pembimbing Kedua, atas kesempatan, saran, kesabaran, motivasi dan waktu yang sangat berharga dalam membimbing penulis selama penelitian hingga penyelesaian skripsi.

  3. Bapak Dr. Ir. Agus Karyanto, M.Sc., selaku penguji bukan pembimbing yang telah memberikan saran, pengarahan, dan motivasi selama penulis menyelesaikan skripsi.

  4. Ibu Ir. Ermawati, M.S., selaku Pembimbing Akademik atas nasihat, saran, motivasi, dan perhatiannya selama penulis menjadi mahasiswa di Universitas Lampung.

  5. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Budidaya persetujuan pencetakan skripsi ini.

  6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

  7. Seluruh dosen Jurusan Budidaya Pertanian yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

  8. Malaysian Agri Hi-Tech atas bantuan dana yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

  9. Ayahanda Ir. Bambang Purwanto, M.MP. dan Ibunda Suri mulyani, serta adik-adik penulis Ridhwan Dwimeiyanto, Putri Endang Febri Hanifa yang telah memberikan kasih sayang, semangat, dan perhatiannya kepada penulis selama melaksanakan studi hingga penyelesaian skripsi.

  10. Stenochlaena palustris Team, Ari Dwinara Januarsyah, Ramadian Budi Santoso, Gustiawan, S.P., dan Virgio Koriyando, atas persahabatan dan persauadaraannya, yang selalu memberikan bantuan, dan motivasi yang sangat berharga kepada penulis dalam pelaksanan penelitian hingga penyelesaian skripsi.

  11. Seluruh anggota Agropala khususnya Adi Cahyadi, S.P., Sigit Wahyudi, S.P., Ardiansyah, S.P., Rio Panjinata, S.P., Mey Hardiyani, Wendi Saputri, Yunita, Fitria Andriani, Ade Pravita Ningrum dan Yayah Inayah. yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

  12. Myco Family, Mbak Vida, Mbak Tri, Mbak Anggun, Bang Gerry, Ifah, Ipul, bantuan, saran, motivasi dan perhatian kepada penulis selama menyelesaikan penelitian.

  13. Rekan-rekan penulis Wisnu Santoso Putro, S.Sos., Dito Dwi Novrizal, Chandra Rizki, Yolanda Maya Sari, S.P., Widiya Wirawan, Lukas Hadinata, I Ketut Swastika, Juanda, Eko Abadi, Doli Saputra, dan Andi Triyanto atas bantuan, saran dan motivasi kepada penulis.

  Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat serta dapat memberikan informasi yang berguna, Amin.

  Bandar Lampung, Januari 2012

  Novalim Purlasyanko

RIWAYAT HIDUP

  Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 2 November 1988 sebagai anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Ir. Bambang Purwanto, M.MP. dan Ibu Suri Mulyani. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Budi Bakti Persit Bandar Lampung pada tahun 1994, Sekolah Dasar Kartika II-5 Bandar Lampung pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2006.

  Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik di Kabupaten Pesawaran, Kecamatan Gedong Tataan pada tahun 2009.

  Di bidang organisasi penulis juga aktif sebagai Ketua Divisi Alam Bebas Agronomi Pencinta Alam (Agropala) Fakultas Pertanian Universitas Lampung, pada tahun 2007–2008; Anggota Kepengurusan Himpuan Mahasiswa Budidaya Pertanian (Himadita) Bidang IV, pada tahun 2008–2009; Ketua Umum Agropala, pada tahun 2009–2010; dan anggota Divisi Pelatihan dan Pengembangan Federasi

  No – I will not die today (Leonardo Dicaprio) Judul Skripsi : PENGARUH JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR PADA PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) YANG DITANAM PADA MEDIA STERIL DAN TIDAK STERIL

  Nama Mahasiswa : Novalim Purlasyanko Nomor Pokok Mahasiswa : 0614011041 Jurusan : Budidaya Pertanian Program Studi : Agronomi Fakultas : Pertanian

  MENYETUJUI

  1. Komisi Pembimbing

Ir. Indarto, M.S. Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc.

  NIP 195712311985031017 NIP 196603041990122001

  2. Ketua Jurusan Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc.

  NIP 196110211985031002

  MENGESAHKAN

  1. Tim Penguji Ketua : Ir. Indarto, M.S.

  Sekretaris : Dr. Ir. Maria Viva Rini, M.Sc.

  Penguji Bukan Pembimbing : Dr. Ir. Agus Karyanto, M.Sc.

  2. Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S.

  NIP 196108261987021001

  Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 30 Januari 2012

III. BAHAN DAN METODE

  3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

  Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Desember 2010 – April 2011 di rumah kaca dan Laboraturium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

  3.2 Bahan dan Alat

  Alat-alat yang digunakan antara lain cangkul, mistar, alat tulis, mikroskop majemuk, mikroskop stereo, saringan, cawan petri, tabung reaksi, spidol, timbangan, dan oven. Bahan-bahan yang digunakan antara lain polibag, plastik, bahan organik, pupuk Majemuk NPKMg, 3 jenis fungi mikoriza arbuskular yaitu

  Glomus sp., Entrophospora sp., dan Gigaspora sp.( deskripsi dari ketiga jenis

  FMA dapat dilihat pada Tabel 1.), top soil, air, pasir, larutan KOH 10%, glycerol,

  trypan blue, HCL 1%, dan benih berkecambah kelapa sawit (germinated seed) jenis Tenera (D x P).

  Tabel 1. Deskripsi 3 jenis FMA yang digunakan dalam penelitian. Deskripsi Entrophospora sp. Glomus sp. Gigaspora sp. Ciri-ciri spora: Kecil Kecil Besar (Gigaspora) Ukuran Kuning Kuning Kuning Warna Bulat Bulat Bulat Bentuk Reaksi Bagian tengah spora Tidak berubah Seluruh bagian terhadap berwarna lebih gelap warna spora berubah Melzer dari pada bagian tepi warna menjadi gelap Asal Kebun kelapa sawit, Kebun kelapa Kebun Jarak Jawa

  Simpang Sribawono, sawit, Sumatra Timur, Bali, daerah Lampung Timur Utara, Glundengan

  Gunung Para B Media Pasir sungai Pasir sungai Pasir sungai : zeolit Perbanyakan

  P-3 Tanaman Setaria Jagung Rumput gajah inang Gambar Reaksi terhadap Melzer

3.3 Metode Penelitian

  Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan untuk menguji hipotesis maka penelitian ini disusun dalam rancangan perlakuan faktorial (4x2) dengan lima ulangan. Faktor pertama adalah tiga jenis fungi mikoriza arbuskular yaitu Entrophospora sp. (m1), Glomus sp. (m2), Gigaspora sp. (m3), dan tanpa FMA (m0) dan faktor kedua adalah media yang disterilisasi (t1) dan media yang Jumlah tanaman per satuan percobaan adalah 1 tanaman dengan total pengamatan kelompok teracak sempurna (RKTS). Pengelompokkan didasarkan pada sinar matahari yang masuk ke rumah kaca. Tata letak percobaan seperti tertera pada Gambar 1.

  Dalam penelitian ini homogenitas ragam antar perlakuan diuji dengan menggunakan Uji Barlett dan kemenambahan data diuji dengan Uji Tukey. Jika kedua uji tersebut tidak nyata selanjutnya data dianalisis ragam dan pemisahan nilai tengah dilakukan dengan menggunakan uji BNJ pada taraf nyata 5%.

  Ulangan 1 m3t0 m1t1 m2t0 m0t0 m1t0 m3t1 m0t1 m2t1 Ulangan 2 m1t0 m3t1 m2t1 m1t0 m0t1 m3t0 m2t0 m0t0 Ulangan 3 m1t0 m0t1 m2t1 m2t0 m1t1 m3t1 m3t0 m0t0 Ulangan 4 m1t0 m0t1 m1t1 m2t1 m3t0 m3t1 m2t0 m0t0 Ulangan 5 m1t1 m0t0 m1t0 m3t1 m2t0 m1t1 m3t0 m0t1

  Keterangan: m0 : Tanpa Mikoriza m1 : Mikoriza Jenis Entrophospora sp m2 : Mikoriza Jenis Glomus sp. m3 : Mikoriza Jenis Gigaspora sp. t0 : Media tidak steril t1 : Media steril Gambar 1. Tata letak percobaan di rumah kaca.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

  3.4.1 Penyemaian Benih Benih dipilih berdasarkan ukuran yang seragam. Benih disemai di dalam polibag kecil berisi media top soil, pasir, dan bahan organik dengan perbandingan (4:2:1=V:V:V) yang telah disterilkan. Setelah itu benih dirawat dengan melakukan penyiraman menggunakan hand sprayer. Penyemaian benih dilakukan selama 2 bulan sebelum dipindahkan ke polibag yang berukuran besar.

  3.4.2 Persiapan Media Tanam Media yang digunakan adalah tanah top soil dan pasir. Tanah yang telah dikumpulkan lalu diayak agar hanya butiran halus yang terpakai. Sebagian tanah yang telah halus disterilkan dengan cara dikukus selama 1 jam sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk mematikan mikroorganisme yang ada di dalam tanah tersebut dan sebagiannya lagi tidak disterilkan. Pasir juga disterilkan dengan cara yang sama.

  3.4.3 Penanaman dan Pemberian Mikoriza Dalam penanaman ada dua macam campuran media yang pertama adalah tanah dan pasir tidak steril dengan perbandingan (2:1=V:V) dan dimasukkan kedalam polibag lebih kurang 3 kg media/polibag. Campuran media yang kedua adalah tanah dan pasir yang steril dengan perbandingan (2:1=V:V) dan dimasukkan kedalam polibag lebih kurang 3 kg media/polibag. Setelah itu bibit ditransplanting dari polibag kecil ke polibag besar dan ditanam di masing-masing polibag inokulan mikoriza sebanyak 500 spora/polibag (Gambar 2). Polibag yang sudah teracak sempurna sesuai tata letak percobaan.

  Bibit kelapa sawit polibag

  Inokulan FMA Media tanam Gambar 2. Teknik inokulasi FMA dan penanaman.

  3.4.4 Pemupukan Bibit kelapa sawit dipupuk dengan menggunakan pupuk majemuk NPK 15:15:15.

  Dosis yang digunakan sesuai dengan dosis anjuran yang dapat dilihat pada Tabel 2.

  Tabel 2. Pemupukan bibit kelapa sawit pada pembibitan utama.

  Umur (minggu setelah semai) Dosis pupuk NPK 15:15:15 (g/polibag) 14 2,5 16 2,5 18 5,6 20 5,6

  3.4.5 Perawatan Bibit kelapa sawit disiram setiap hari. Pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan secara manual.

  3.4.6 Akhir penelitian dan pengamatan Untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis dilakukan pengamatan terhadap peubah-peubah sebagai berikut:

  1. Tinggi tanaman. Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi.

  2. Jumlah daun. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung semua daun yang telah terbuka sempurna pada satu tanaman.

  3. Bobot basah tajuk. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan antara tajuk tanaman dengan akar, kemudian tajuk dibersihkan dan ditimbang.

  4. Bobot basah akar. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan antara tajuk tanaman dengan akar, kemudian akar dibersihkan dan ditimbang.

  5. Bobot kering tajuk. Pengamatan dilakukan dengan cara mengeringkan tajuk tanaman dengan oven pada suhu 60ºC sampai bobotnya konstan, lalu ditimbang.

  6. Bobot kering akar. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan akar dari tajuk tanaman, dibersihkan dengan air keran lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 60ºC sampai bobotnya konstan, lalu ditimbang.

  7. Persen infeksi akar oleh fungi mikoriza arbuskular. Sampel akar sekunder dimasukkan ke dalam botol film. Botol yang telah berisi sampel akar diisi dengan larutan KOH 10% sampai seluruh akar terendam dan dikukus di water

  

bath selama ± 30 menit untuk membersihkan sel dari sitoplasma. Larutan

  KOH kemudian dibuang, dan akar dicuci bersih dengan air. Sampel akar kemudian direndam larutan HCl 1% dan dikukus di water bath selama ± 30 menit. Setelah itu, larutan HCl dibuang dan akar siap untuk diwarnai dengan merendamnya dalam larutan Trypan blue 0,05% (0,5 gram Trypan blue dalam 450 ml glycerol + 50 ml HCl 1% + 500 ml aquades) dan dikukus di water bath selama ± 30 menit. Akar yang sudah diwarnai dipotong-potong sepanjang ± 2 cm, kemudian diletakkan di atas preparat untuk diamati di bawah mikroskop majemuk dengan perbesaran 100 kali. Rumus yang digunakan untuk menghitung persen infeksi akar oleh fungi mikoriza arbuskular adalah sebagai berikut: infeksi akar (%) = × 100%

  8. Jumlah akar primer dan sekunder. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan akar primer dan sekunder kemudian dihitung jumlah masing- masing akarnya, baik akar primer maupun akar sekunder.

  9. Bobot kering akar primer dan akar sekunder. Pengamatan dilakukan dengan

  o oven pada suhu 60 C sampai bobotnya konstan, kemudian ditimbang.

  10. Volume akar. Pengamatan dilakukan dengan cara memisahkan akar dengan tajuk, kemudian akar dibersihkan dengan air. Akar yang telah dibersihkan dimasukan kedalam gelas ukur yang sudah terisi air dengan volume yang telah dicatat, kemudian diukur kenaikan jumlah air setelah akar dimasukan. Selisih antara volume awal dengan volume merupakan volume akar.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kelapa Sawit

  Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk tanaman monokotil tidak bercabang dan tidak mempunyai kambium. Pada ujung batang terdapat titik tumbuh yang terus tumbuh membentuk daun seirama dengan ketinggian batang. Diameter batang kelapa sawit dapat mencapai 90 cm. Kelapa sawit yang dibudidayakan mencapai ketinggian 15–18 m, tetapi tanaman kelapa sawit liar dapat mencapai ketinggian 30 m (Vademicum, 1993). Akar merupakan organ penting untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Akar berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta membantu memperkokoh struktur tanaman. Arsitektur akar merupakan aspek penting dalam produktivitas tanaman (Lynch, 1995). Arsitektur perakaran menjadi lebih penting pada keadaan marjinal seperti kandungan dan ketersediaan hara yang kompleks (Atkinson, 2000). Akar tanaman kelapa sawit tumbuh ke bawah dan ke samping. Akar-akar serabut yang tumbuh pertama kali adalah akar primer, selanjutnya dari akar primer akan tumbuh akar sekunder, testier, dan kuarterner. Fungsi akar primer adalah menyanggah bagian atas tanaman, dan akar-akar cabang (sekunder, tertier, dan kuarterner) yang ditumbuhi bulu-bulu akar berfungsi sebagai penyerap air dan unsur hara dari dalam tanah (Fauzi et al., 2005).

  2.1.1 Pembibitan Kelapa Sawit Pada umumnya tanaman kelapa sawit di Indonesia berasal dari bibit yang dikembangbiakkan dengan cara generatif, yaitu dengan biji. Ada dua sistem pembibitan yaitu sistem pembibitan ganda (double stage system) dan sistem pembibitan tunggal (single stage system). Pada penerapan sistem tahap ganda, penanaman bibit dilakukan sebanyak dua kali. Tahap pertama disebut pembibitan pendahuluan, yaitu kecambah ditanam dengan menggunakan plastik polibag kecil sampai bibit berumur 3 bulan, kemudian tahap kedua bibit tersebut ditanam ke pembibitan utama yang menggunakan plastik polibag besar selama 9 bulan (Fauzi et al., 2005). Sistem pembibitan tahap tunggal, bibit langsung ditanam di dalam plastik polibag besar hingga berumur 12 bulan tanpa harus ditanam di dalam plastik polibag kecil. Pada prinsipnya, sistem manapun yang dipilih tujuannya sama, yaitu untuk menghasilkan bibit yang berkualitas dengan daya tahan tinggi dan kemampuan adaptasinya yang besar. Sehingga faktor kematian bibit di pembibitan dan setelah dilapangan dapat ditekan (Fauzi et al., 2005).

  2.1.2 Iklim Kelapa Sawit Pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor dari luar maupun faktor dari tanaman kelapa sawit itu sendiri. Dalam menunjang pertumbuhan kelapa sawit faktor tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar lintang utara-selatan 12 derajat pada ketinggian 0–500 m dpl. Beberapa unsur iklim yang penting dan saling mempengaruhi adalah curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembaban udara, dan angin (Fauzi et al., 2005).

  Curah hujan optimum yang diperlukan kelapa sawit rata-rata 2.000–2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan. Curah hujan yang merata dapat menurunkan penguapan dari tanah dan tanaman kelapa sawit. Sinar matahari sangat berkaitan dengan curah hujan. Sinar matahari diperlukan untuk membentuk karbohidrat dan memacu pembentukan bunga dan buah. Oleh karena itu, intensitas, kualiatas, dan lama penyinaran amat berpengaruh. Lama penyinaran optimum yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5–7 jam/hari (Fauzi et al., 2005).

  Selain curah hujan dan sinar matahari, tanaman kelapa sawit juga membutuhkan suhu optimum sekitar 24–28º C untuk tumbuh dengan baik. Meskipun demikian, tanaman masih dapat tumbuh pada suhu terendah yaitu 18º C dan tertinggi 32º C. Beberapa faktor yang mempengaruhi suhu adalah lama penyinaran dan ketinggian tempat. Kelembaban udara juga menjadi bagian dari faktor iklim tanaman kelapa sawit. Kelembaban optimum yang dibutuhkan kelapa sawit adalah 80%. Faktor- faktor yang mempengaruhi kelembaban adalah suhu, sinar matahari, lama penyinaran, curah hujan dan evapotranspirasi (Fauzi et al., 2005).

2.2 Sterilisasi Tanah dan Mikroba Tanah

  Sterilisasi tanah biasanya digunakan sebagai pengahapusan faktor biologis di dalam tanah. Faktor biologis yang dapat dihilangkan dalam sterilisasi tanah diantaranya adalah biji gulma, nematode, jamur, bakteri, dan patogen penyebab penyakit tanaman. Ada beberapa cara sterilisasi yang lazim dilakukan yaitu melalui proses autoklav, iradiasi, fumigasi kloroform, ultraviolet, dan iradiasi gelombang mikro. Masing-masing proses sterilisasi mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap kondisi tanah yang disterilisasi (Santoso, 2006). Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara, kurang lebih 74% kandungan udara adalah N, namun tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. Nitrogen harus ditambat atau difiksasi oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (Leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum dan Azotobacter. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman Leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman (Madjid, 2009).

  Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Disinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P salah satunya adalah fungi mikoriza arbuskular (FMA) (Madjid, 2009).

2.3 Fungi Mikoriza Arbuskular

  Fungi Mikoriza Arbuskular merupakan jenis mikoriza yang tersebar sangat luas dan ada pada sebagian besar ekosistem yang menghubungkan antara tanaman dengan rizosfer. Simbiosis terjadi dalam akar tanaman dimana FMA mengolonisasi apoplast dan sel korteks untuk memperoleh karbohidrat dari hasil fotosintesis tanaman. Fungi mikoriza arbuskular termasuk fungi divisi

  Zygomicetes, famili Endogonaceae yang terdiri dari genus Glomus, Entrophospora, Acaulospora, Archaeospora, Paraglomus, Gigaspora dan Scutellospora (Madjid, 2009).

  Genera FMA tersebut dibedakan berdasarkan ciri-ciri sporanya dan hubungan spora dengan hifa asosiasinya yang mencerminkan cara spora dihasilkan oleh masing-masing genera/kelompok, kecuali untuk genus Scutellospora yang dibedakan dengan genus Gigaspora berdasarkan karakter dinding sel dan karakter alat-alat bantu sel. Genus Gigaspora jarang membentuk vesikula, sporanya

  Fungi Mikoriza Arbuskular ini membentuk spora di dalam tanah dan dapat berkembang biak jika berassosiasi dengan tanaman inang. Spora FMA sangat bervariasi dari sekitar 30 µm sampai 600 µm. Oleh karena ukurannya yang cukup besar inilah maka spora ini dapat dengan mudah diisolasi dari dalam tanah dengan menyaringnya. Fungi mikoriza arbuskular membentuk organ-organ khusus dan mempunyai perakaran yang spesifik. Organ khusus tersebut adalah arbuskul, vesikel dan spora (Pattimahu, 2004). Vesikel merupakan struktur fungi yang berasal dari pembengkakan hifa internal secara terminal dan interkalar yang berisi banyak senyawa lemak sehingga merupakan organ penyimpanan cadangan makanan dan pada kondisi tertentu dapat berperan sebagai spora atau alat untuk mempertahankan kehidupan fungi (Pattimahu, 2004). Tipe FMA yang bervesikular memiliki fungsi yang paling menonjol dari tipe fungi mikoriza lainnya. Hal ini dimungkinkan karena kemampuannya dalam berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman, sehingga dapat digunakan secara luas untuk meningkatkan ketahanan tanaman (Brundrett, 2004). Arbuskula merupakan hifa bercabang halus yang dibentuk oleh percabangan dikotomi yang berulang-ulang sehingga menyerupai pohon di dalam sel inang.

  Arbuskul merupakan percabangan hifa yang masuk kedalam sel tanaman inang. (Pattimahu, 2004).

  Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara Perkecambahan spora tergantung dari kandungan logam berat di dalam tanah dan juga kandungan Alumunium (Al), kandungan Mangan (Mn) juga mempengaruhi pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa tahun (Mosse, 1981).

  2.3.2 Manfaat Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular tidak memiliki inang yang spesifik. Fungi yang sama dapat mengolonisasi tanaman yang berbeda, tetapi kapasitas fungi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman bervariasi. Satu spesies fungi dipertimbangkan efisien ketika pada beberapa kondisi lingkungan yang berbeda: 1) dapat mengolonisasi akar secara cepat dan ekstensif, 2) mampu berkompetisi dengan mikroorganisme yang lain untuk tempat menginfeksi dan mengabsorpsi nutrisi, 3) segera membentuk miselium secara ekstensif dan ekstraradikal, 4) mengabsorpsi dan mentransfer nutrisi ke tanaman, dan 5) meningkatkan keuntungan non nutrisi kepada tanaman, seperti agregasi dan stabilisasi tanah (Sagin Junior dan Da Silva, 2006 yang dikutip oleh Madjid, 2009).

  Fungi mikoriza arbuskular yang menginfeksi tanaman akan membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara sehingga tanaman yang bermikoriza tumbuh lebih baik dari tanaman tanpa mikoriza. Penyebab utama adalah mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro.

  Selain itu, akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat

  Tanaman yang bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang tidak bermikoriza. Rusaknya jaringan korteks akibat kekeringan dan matinya akar tidak akan permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza. Setelah periode kekurangan air (water stress), akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal.

  Hal ini disebabkan karena hifa fungi mampu menyerap air yang ada pada pori- pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air. Penyebaran hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil meningkat (Anas, 1997).

  Penggunaan mikoriza lebih menarik ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai dan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila mikoriza tertentu telah berkembang dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh untuk selamanya. Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah. Demikian pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan ke lapang lebih baik dari tanaman tanpa mikoriza (Anas, 1997).

  2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA Keberadaan FMA dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti :

  1. Cahaya. Adanya naungan yang berlebihan terutama untuk tanaman yang senang cahaya dapat mengurangi infeksi akar dan produksi spora, selain itu respon tanaman terhadap fungi mikoriza akan berkurang. Hal ini disebabkan adanya hambatan pertumbuhan dan perkembangan internal hifa dalam akar yang berakibat terbatasnya perkembangan eksternal hifa pada rizosfer

  2. Suhu. Suhu berpengaruh terhadap infeksi yakni pada perkembangan spora, tinggi suhu semakin besar terbentuknya kolonisasi dan meningkatnya produksi spora. Schenk dan Schroder (1974) menyatakan bahwa suhu terbaik untuk perkembangan FMA yakni pada suhu 30º C tetapi untuk koloni miselia terbaik berada pada suhu 28–34º C, sedangkan perkembangan bagi vesikula pada suhu 35º C.

  3. Kandungan air tanah. Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak langsung terhadap infeksi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas serapan air. Sedangkan untuk pengaruh tidak langsung karena adanya miselia eksternal menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah, sehingga kemampuan tanah menyerap air meningkat. Penjenuhan air tanah yang lama berpotensi mengurangi pertumbuhan dan infeksi FMA karena kondisi yang anaerob. Daniels dan Trappe (1980) menyatakan bahwa Glomus epigaeum yang dikecambahkan pada lempung berdebu pada berbagai kandungan air, ternyata perkecambahannya paling baik pada kandungan air di antara kapasitas lapang dan kandungan air jenuh.

  4. pH Tanah. Fungi mikoriza abrbuskuar pada umumnya lebih tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun demikian adaptasi masing-masing spesies FMA terhadap pH tanah berbeda-beda, karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan, perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan berbeda-beda tergantung pada adaptasinya terhadap lingkungan. pH dapat perkecambahan spora FMA. Misalnya Glomus mosseae biasanya pada tanah alkali dapat berkecambah dengan baik pada air atau pada soil extract agar pada pH 6-9. Spora Gigaspora coralloidea dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih tahan asam dapat berkecambah dengan baik pada pH 4-6.

  Glomus epigaeum perkecambahannya lebih baik pada pH 6-8.

  5. Bahan organik. Bahan organik merupakan salah satu komponen didalam tanah yang penting selain air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan bahan organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah-tanah yang mengandung bahan organik 1-2% sedangkan pada tanah-tanah berbahan organik kurang dari 0,5% kandungan spora sangat rendah (Pujianto, 2001).

  6. Logam berat dan unsur lain. Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies mikoriza peka terhadap kandungan Zn yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui pula jenis-jenis FMA tertentu toleran terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Janouskuva et al., 2006).

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

  Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman yang berasal dari daratan Afrika. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini, bahkan mampu menghasilkan produksi per hektar yang lebih tinggi (Fauzi et al., 2005).

  Pengembangan budidaya tanaman kelapa sawit di Indonesia sangat pesat sehingga tanaman tersebut menjadi tanaman primadona. Kelapa sawit menjadi komoditas strategis yang memiliki peranan cukup peting dalam perekonomian Indonesia, sebagai penghasil devisa negara yang cukup besar dari sektor perkebunan.

  Indonesia adalah negara produsen minyak sawit Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia setelah Malaysia maka wajar bila komoditas kelapa sawit menjadi salah satu komoditas strategis dari sektor perkebunan (Fauzi et al., 2005). Menurut Dirjen Perkebunan RI (2010), luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2009 lebih dari 7,3 juta ha, dan diprediksikan pada tahun 2014 luasannya akan mencapai 10

  Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil minyak sawit di Pulau 2000 luasan kelapa sawit perusahan swasta adalah 37.626 ha dengan produksi 18.377 ton, luasan kelapa sawit rakyat 31.537 ha dengan produksi sebesar 11.141 ton, sedangkan perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan negara luasannya 12.996 ha dengan kemampuan produksi sebesar 57.209 ton (Dirjen Perkebunan, 2000 yang dikutip oleh Fauzi et al., 2005).

  Melihat pentingnya tanaman kelapa sawit dewasa ini dan masa yang akan datang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan penduduk dunia akan minyak sawit, maka perlu dipikirkan usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi kelapa sawit secara tepat agar sasaran yang diinginkan dapat tercapai. Permasalahan pokok dalam budidaya kelapa sawit yaitu masih rendahnya teknik budidaya yang dikuasai oleh petani karena keterbatasan modal, serta buruknya kualitas bahan tanam (bibit) yang digunakan. Bibit merupakan sarana utama untuk mencapai produksi yang maksimal. Dengan menggunakan bibit yang bermutu baik maka harapan untuk mencapai produksi yang maksimal akan diperoleh. Masalah utama yang dihadapi oleh pengusaha atau petani kelapa sawit adalah pengadaan bibit, terutama bibit unggul yang berkualitas. Pemilihan media tanam dalam pembibitan merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk menghindari bibit tumbuh abnormal. Tanah yang digunakan dalam pembibitan adalah tanah top soil dalam kondisi kering, yang sudah disaring dengan saringan ukuran + 1 cm. Hal ini bertujuan agar pertumbuhan akar dapat pembibitan kelapa sawit umumnya mengandung bermacam-macam tanah dan mempunyai pengaruh terhadap sifat kimia dan fisik tanah yang dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit (Anas, 1989). Menurut Madjid (2009), penggunaan fungi mikoriza abuskular (FMA) sebagai salah satu mikroorganisme tanah dalam proses pembibitan kelapa sawit merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan bibit sehingga menghasilkan bibit kelapa sawit yang baik. Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dan akar tanaman. Simbiosis antara fungi dan akar tanaman ini membentuk hubungan yang saling menguntungkan yaitu fungi memperoleh fotosintat dari hasil fotosintesis tanaman inang untuk pertumbuhan fungi tersebut, sedangkan tanaman inang memperoleh unsur hara dari fungi.

  Jenis tanaman inang akan mempengaruhi populasi FMA yang diinokulasikan, begitu juga sebaliknya jenis FMA juga memberikan pengaruh yang beragam terhadap suatu tanaman inang. Selain perbedaan tanaman inang, mikroorganisme lain di dalam tanah juga mempengaruhi simbiosis yang mutualistik antara FMA dengan tanaman inangnya. Oleh karena itu, berbagai penelitian tentang FMA biasanya menggunakan media tanam sudah disterilisasi terlebih dahulu dengan maksud untuk mengurangi kompetisi antara FMA dengan mikroorganisme lainnya. Akan tetapi, aplikasi di lapangan sangat sulit untuk melakukan sterilisasi media tanam dalam tahap pembibitan main nursery.

  Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam

  1. Jenis FMA manakah yang memberikan pengaruh terbaik pada pertumbuhan bibit kelapa sawit?

  2. Apakah sterilisasi media tanam berpengaruh pada pertumbuhan bibit kelapa sawit?

  3. Apakah respon bibit kelapa sawit terhadap FMA dipengaruhi oleh sterilisasi media yang digunakan?

  1.2 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan indentifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui jenis FMA yang memberikan pengaruh terbaik pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  2. Untuk mengetahui pengaruh sterilisasi media tanam pada pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  3. Untuk mengetahui apakah respon bibit kelapa sawit terhadap jenis FMA dipengaruhi oleh sterilisasi media.

  1.3 Landasan Teori

  Dalam rangka menyusun penjelasan teoretis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut:

  Pada umumnya tanaman kelapa sawit di Indonesia berasal dari bibit yang dianjurkan adalah pembibitan pada kantong plastik yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pembibitan awal di dalam polybag kecil dan tahap kedua dalam polybag besar (Fauzi et al., 2005). Bibit kelapa sawit dapat tumbuh secara maksimum apabila dilakukan pemeliharan dengan teratur. Pemeliharaan bibit kelapa sawit antara lain dengan penyiraman, pemupukan dan pengendalian hama penyakit (Vademecum, 1993). Pengadaan bibit yang berkualitas baik merupakan salah satu kendala yang dapat mempengaruhi produktivitas kelapa sawit. Bibit kelapa sawit yang akan ditanam harus memiliki kondisi pertumbuhan tanaman yang baik. Proses pembibitan yang sesuai akan menghasilkan tanaman kelapa sawit dengan produktivitas yang baik pula. Ada berbagai cara untuk meningkatkan kualitas bibit kelapa sawit selama masa pembibitan, salah satunya dengan menginokulasikan FMA (Darmawan, 2005). Fungi mikoriza arbuskular merupakan mikroorganime tanah yang mampu bersimbiosis secara mutualistis dengan perakaran tanaman. Fungi mikoriza arbuskular membutuhkan karbohidrat dari tanaman inang dan sebaliknya FMA dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara dan air bagi tanaman inang. Fungi mikoriza arbuskular digolongkan kedalam famili Endogenaceae, ordo glomales, kelas Zygomycetes, terdiri dari 7 genera yaitu Glomus, Archaeospora,

  Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, dan Entrophospora

  Fungi ini membentuk spora di dalam tanah yang kemudian berkecambah dan berkembang kemudian menembus sel epidermis akar dan berkembang dalam jaringan korteks baik secara interseluler maupun intraseluler. Hifa yang masuk ke dalam sel terus bercabang secara dikotomi disebut sebagai arbuskular, sementara hifa yang berkembang pada ruang antarsel ada yang menggelembung membentuk versikular yang berisi cadangan makanan berupa lemak dan dapat dipergunakan untuk perkembangan FMA (Pattimahu, 2004). Fungi mikoriza arbuskular selain membentuk hifa internal juga membentuk hifa eksternal. Pada hifa eksternal akan terbentuk spora yang merupakan bagian penting bagi mikoriza yang berada di luar akar. Hifa eksternal yang menyebar di sekitar rhizosfer berfungsi sebagai alat absorbsi unsur hara. Hifa eksternal ini berfungsi untuk memperluas sistem perakaran tanaman yang digunakan untuk menyerap unsur hara dan air serta mampu melarutkan fosfat dalam tanah yang semula berada dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh akar tanaman (Pattimahu, 2004).

  Sterilisasi media sering digunakan sebagai kontrol untuk membedakan antara proses dan reaksi abiotik mikroba, misalnya dalam studi mikrobiologis seperti inokulasi mikoriza. Media tanam yang disterilisasi mampu meningkatkan kolonisasi mikoriza (>80 %) yang akan diinokulasi di persemaian. Keputusan untuk melakukan salah satu teknik sterilisasi harus mempertimbangkan jenis media yang digunakan dan tingkat persaingan FMA yang akan digunakan masih diperlukan untuk mengurangi tingkat persaingan cendawan/bakteri yang

  Rhizoctonia sp. penyebab penyakit lodoh (damping off) di persemaian. Apabila

  sterilisasi tanah tidak dilakukan maka akan terjadi persaingan antara mikoriza dengan mikroba-mikroba tanah yang lainnya (Santoso, 2006).

  Hasil penelitian Wachjar et al. (2002) mengenai pengaruh inokulasi dua spesies FMA (Glomus aggregatum dan Glomus manihotis) dan pemupukan fosfor terhadap pertumbuhan dan serapan fosfor tajuk bibit kelapa sawit belum dapat menunjukan peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Anas et al. (1999) melaporkan bahwa FMA jenis Glomus sp. memiliki derajat infeksi akar yang tinggi 61%, sedangkan FMA Entrosphora sp., tidak mampu menginfeksi akar bengkuang. Dengan derajat infeksi yang lebih tinggi, maka penyerapan unsur hara akan lebih baik, sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik.

  Hasil penelitian Widiastuti et al. (2005) mengenai penggunaan spora FMA sebagai inokulum untuk meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara bibit kelapa sawit menunjukkan bahwa spora sebagai inokulum dapat mempengaruhi pertumbuhan kelapa sawit namun diperlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan respons inokulasi. Pertumbuhan tertinggi pada peubah tinggi bibit, bobot basah, dan bobot kering diperoleh pada inokulasi Acaulospora tuberculata dan Gigaspora margarita sebanyak 500 spora per polibag. Pengaruh positif inokulasi FMA terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo telah dilaporkan (Sanni, 1976; Simanungkalit, 1987). Sanni (1976) menggunakan dengan pH 7,2 dan P-tersedia 15,5 ppm. Inokulasi meningkatkan bobot gabah dan gabah, BK jerami, jumlah malai, konsentrasi P gabah dan jerami padi varietas UPLRi-7 yang ditanam pada tanah dengan pH 5,0 dan P-tersedia (Olsen) 1,8 ppm karena inokulasi dengan Glomus fasciculatum dan Glomus sp.

  Hasil penelitian Khan (1975) dalam percobaan inokulasi FMA pada tanaman padi gogo juga yang ditanam pada tanah tidak steril memperlihatkan bahwa pemberian FMA meningkatkan produksi hingga (221%) tanpa pemberian pupuk, sedangkan dengan pemberian pupuk P kenaikan sangat kecil (9%). Kecilnya kenaikan hasil ini mungkin berhubungan dengan penurunan kolonisasi FMA sebagai akibat dari pemberian pupuk TSP (280 kg TSP/ha).

1.4 Kerangka Pemikiran

  Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoretis terhadap perumusan masalah.

  Pada pembibitan, akar tanaman sangat berperan penting dalam mensuplai kebutuhan unsur-unsur hara. Menginokulasikan fungi mikoriza arbuskular sebagai salah satu mikroorganime tanah pada proses pembibitan kelapa sawit mampu meningkatkan proses pertumbuhan bibit kelapa sawit. Fungi mikoriza arbuskular mempunyai kemampuan bersimbiosis dengan akar tanaman, FMA membutuhkan karbohidrat dari tanaman dan FMA memberikan unsur hara dan air bagi tanaman.

  Fungi mikoriza arbuskular diinokulasikan pada tahap pembibitan main nursery akan berlansung baik jika jenis FMA yang diinokulasikan sesuai dengan bibit fungi mikoriza arbuskular dapat langsung menginfeksi tanaman inangnya.

  Fungi mikoriza arbuskular akan masuk ke jaringan korteks akar dan hifa akan berkembang diantara sel dan di dalam sel korteks. Hifa yang berada di luar akar berbentuk seperti rambut halus yang akan berfungsi sebagai akar tambahan. Bentuknya yang sangat halus mempermudah hifa untuk dapat memasuki pori-pori tanah dan menyerap unsur hara serta air yang kemudian ditranslokasikan menuju arbuskul. Arbuskul adalah organ FMA yang berada di dalam sel akar dan berfungsi sebagai tempat pertukaran unsur hara dan juga air kepada tanaman, begitu juga sebaliknya tanaman memberikan karbohidrat kepada FMA juga melalui arbuskul.

  Kesesuaian antara FMA dengan tanaman inang menjadi faktor penentu untuk perkembangan FMA itu sendiri. Jenis Glomus sp. yang diinokulasikan pada akar tanaman kelapa sawit umumnya mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Berbeda dengan Glomus sp., Gigaspora sp. banyak ditemukan di daerah berpasir. Pada penelitian yang berbeda, Gigaspora sp. juga mampu meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit. Sedangkan untuk jenis FMA

  Entrophospora sp. masih perlu diteliti lebih lanjut untuk pengaruhnya terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  Fungi mikoriza arbuskular yang diinokulasikan pada bibit tanaman yang ditanam pada tanah tidak steril akan mengalami kompetisi dengan mikroba-mikroba tanah terjadi infeksi pada tanaman atau terjadi infeksi tetapi membutuh waktu yang mikroba tanah lainnya, maka akan terjadi proses infeksi dan kemudian barulah terjadi simbiosis mutualistik antara tanaman dan mikoriza yang dapat meningkat pertumbuhan bibit kelapa sawit.

1.5 Hipotesis

  Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

  1. Pemberian FMA jenis Glomus sp. akan meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit.

  2. Sterilisasi media akan berpangaruh terhadap perkembangan mikoriza yang diinokulasi pada bibit kelapa sawit.

  3. Respon bibit kelapa sawit terhadap pemberian FMA ditentukan oleh sterilisasi media.

DAFTAR PUSTAKA

  Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Anas, Iswandi. 1993. Pupuk Hayati (Biofertilizer). Laboratorium Biologi Tanah Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anas, I. 1997. Bioteknoligi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Jurusan Tanah.

  Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Anas, I., T. Yuliawati, and J. Heinzemann. 1999. Inokulasi ganda rhizobium

  dengan fungi mikoriza arbuskular pada tanaman bengkuang. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(2), 18−22.

  Atkinson, D. 2000. Root charateristics why and what to measure. In A.L.

  Smith, A. G. Bengough, C. Engles, M. Van Noor Dwijk, S. Pellerin, S.C. van de Geijn. (eds.) Root methods A Handbook. Pp 2–32. Heidelberg, Springer, Verlag.

  Brundrett, M., N. Bougher, B. Dell, T. Grove, and N. Malajczuk. 1996. Working

  With Mychorrhizas in Forestry and Agriculture. Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Canberra.

  Fauzi,Y., Y.E.Widyastuti, I. Satyawibawa, R. dan Hartono. 2005. Kelapa Sawit :

  Budidaya, Pemamfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran. Penebar Swadaya. Jakarta. 168 hlm.

  Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.

  Jakarta. 360 hlm. Kaldorf, M. dan J. Ludwig-Muller. 2000. Am fungi might affect the root

morphology of maize by increasing indole-butyric acid biosynthesis.

  Physol Planta. 109, 58–67 .

  Khan, A.G. 1975. Growth effect of va-mycorrhiza on crops in the field. In F.E.

  Sanders, B. Mosse and P.B. Tinker (eds.). Endomycorrhizas. Pp 419–435. Academic Press. London. Lynch, J. 1995. Root architecture and plant productivity. Plant Physol. 109, 7–3. Maas, E.V. dan Nieman, R. H. 1978. Physiology of plant tolerance to salinity.

  In G. A. Jung. (ed.). Crop Tolernce to Suboptimal Land Conditions. , Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar online. Jurusan Tanah.

  Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com . Diakses tanggal 14 november 2010. 3 hlm. Maharani, A.H. 2011. Pengaruh pemberian Glomus sp., Gigaspora sp., dan

  Entrophospora sp. dan dua dosis pupuk npk pada pertumbuhan bibit kelapa sawit. (Elais guinensis jacq.) di pembibitan. (Skripsi). Universitas

  Lampung. Bandar Lampung. 65 hlm. Mosse, S. 1981. Vesicular arbuscular mycoriza research for tropical agriculture.

  Research Bulletin.

  Pattimahu, D.V. 2004. Restorasi lahan kritis pasca tambang sesuai kaidah ekologi. Makalah Mata Kuliah Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana.

  IPB. Bogor. Paul, E.A. dan F. E.Clark. 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Pulb. Toronto.

  Pujianto. 2001. Pemanfaatan Jasad Mikro, Jamu Mikoriza dan Bakteri dalam

  Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. Tinjauan Dari Perspektif

  Falsafah Sains. http://mbojo. Wordpress.com. diakses pada tanggal 8 September 2011. Rahmansyah, M. dan Suciatmih. 1999. Pemberian inokulum campuran beberapa cendawan mikoriza arbuskula pada kacang tanah dan kedelai.

  Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 4, 10–13 .

  Sanni, S.O. 1976. Vesicular-arbuscular mycorrhiza in some Nigrerian soils:

the effect of Gigaspora gigantea on the growth of rice. New Phytol.

  77, 673–674. Santoso, E. 2006. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi

  hutan dan lahan terdegradasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber daya Hutan.

  Padang. 10 hlm. Schenck, N.C. and Schroder, V.N. 1974. Temperature response of endogone micorrhiza on soybean roots. Mycologia. 66, 600–605.

  Setiadi, Y. 2001. Mikrobiologi Tanah Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

  Simanungkalit, R.D.M.1987. Pengaruh jamur mikoriza vesikuler arbuskular

  (mva), sumber p dan sterilisasi tanah terhadap pertumbuhan padi

  Pertanian, PAU-Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, 21 Desember 1987. 16 hlm. Trappe, J.M. 1980. Factors affecting spora germination of the VAM fungus. Mycologia. 72, 457–463. Vademecum. 1993. Budidaya Kelapa Sawit dan Karet. PT. Perkebunan X

Dokumen yang terkait

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)pada Berbagai Perbandingan Media Tanam Sludge dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) di Pre Nursery

4 102 53

Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit ( Elaeis Guineensis Jacq.) Dengan Menggunakan Media Sekam Padi dan Frekuensi Penyiraman di Main Nursery

10 98 74

Evaluasi Karakter Pertumbuhan Beberapa Varietas Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Pre Nursery Pada Beberapa Komposisi Media Tanam Tanah Gambut

1 56 86

Uji Kompatibilitas Mikoriza Vesikular Arbuskular Pada Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guimensis Jacq) di Pembibitan Pada Media Tanam Histosol dan Ultisol

0 26 82

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq) Terhadap Pupuk Cair Super Bionik Pada Berbagai Jenis Media Tanam di Pembibitan Utama

0 30 78

Respon Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Media Kombinasi Gambut Dan Tanah Salin Yang Diaplikasi Tembaga (Cu) Di Pembibitan Utama

0 42 79

Respons Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pada Konsentrasi dan Interval Pemberian Pupuk Daun Gandasil D Pada Tanah Salin Yang Diameliorasi Dengan Pupuk Kandang

1 28 184

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Main Nursery Terhadap Komposisi Media Tanam dan Pemberian Pupuk Posfat

6 92 114

Respons Pertumbuhan Vegetatif Tiga Varietas Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Pre Nursery Pada Beberapa Komposisi Media Tanam Limbah

3 33 65

PENGARUH JENIS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR PADA PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) YANG DITANAM PADA MEDIA YANG TERINFEKSI DAN TIDAK TERINFEKSI Ganoderma sp.

6 57 47