Pengawasan Internal Berbasis Risiko dengan Pararem

11

BAB II STUDI PUSTAKA

2.1. Pengawasan Internal Berbasis Risiko dengan Pararem

Dalam lingkungan yang bercirikan perubahan yang cepat dan dinamis, kompetisi usaha, bentuk organisasi baru virtual organization dan semakin canggihnya teknologi informasi, organisasi harus mempunyai kemampuan untuk melindungi dirinya. Tanggung jawab tersebut tidak hanya dipangku oleh pemimpin organisasi yang bersangkutan, tetapi juga oleh para pemangku kepentingan lainnya. Risiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas usaha. Hal ini penting karena masa depan sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi di masa depan. Selalu ada ketidakpastian yang menimbulkan risiko. Organisasi dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian Doherty, 2000. Risiko adalah kesempatan atau kemungkinan timbulnya kerugian. Bisa juga risiko merupakan penyimpangan dari sesuatu yang diharapkan. Risiko merupakan peluang terjadinya sesuatu yang akan berdampak terhadap tujuan dari suatu organisasi, diukur dengan memadukan antara dampak pengaruh yang akan ditimbulkan dan kemungkinan terjadinya Ali, 2006. Penilaian risiko merupakan bagian dari kegiatan proses pengelolaan risiko, yaitu mencakup keseluruhan proses dari kegiatan menganalisis risiko dan menilai risiko. Kegiatan menganalisis risiko berupa kegiatan menggunakan informasi yang tersedia secara sistematis untuk menentukan bagaimana seringnya suatu kejadian mungkin akan terjadi dan dampak atau pengaruh yang akan timbul, sedangkan menilai risiko merupakan suatu proses yang digunakan untuk menentukan prioritas yang diberikan oleh pengelolaan risiko dengan cara membandingkan tingkatan suatu risiko dengan standar, target ataupun kriteria lainnya yang ditentukan sebelumnya oleh pengelola. Risiko merupakan kejadian potensial yang diharapkan atau tidak diharapkan terjadi yang dapat memberikan dampak menguntungkan atau merugikan pendapatan perusahaan. Risiko menimbulkan fluktuasi yang dapat merugikan laba atau arus kas yang 12 diakibatkan oleh pengendalian intern, kesalahan manusia, kesalahan sistem ataupun kesalahan pengelolaan. Pengelolaan risiko diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari praktik organisasi modern dan diterima oleh semua organisasi. Pengelolaan risiko merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari langkah- langkah secara berurutan, proaktif, terkoordinasi dan sistematis serta memberikan informasi mengenai bahaya risiko bagi para pengambil keputusan. Pemahaman dan pengelolaan risiko merupakan hal yang mutlak demi keberhasilan organisasi termasuk LPD. Meskipun LPD adalah lembaga keuangan mikro yang rata-rata masih kecil jangkauan usahanya, pemahaman sekaligus tindakan dalam pengelolaan risiko sangat penting dan mutlak dilakukan. Pengelolaan dana yang dilakukan oleh perusahaan tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya suatu kerugian karena risiko yang harus dihadapi. Namun demikian, risiko bisa dikelola supaya tidak menjerumuskan usaha ke ambang kebangkrutan. Perusahaan yang bergerak di sektor keuangan sangat dekat dengan risiko, apalagi usaha ini mempunyai pola likuiditas yang bercirikan uang kas sebagai motornya. Dalam kaitan dengan pengelolaan risiko perusahaan, lembaga keuangan mempunyai dua peran utama, yaitu sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan sebagai agen pembangunan masyarakat. Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, lembaga keuangan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit. Sebagai agen pembangunan, lembaga keuangan merupakan perantara antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana. Ada bermacam risiko yang menghadang LPD sebagai lembaga keuangan mikro simpan pinjam misalnya seperti risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko operasional yang bisa saja mengarah kepada penurunan nilai para pemangku kepentingan di desa dat yang bersngkutan. Nasabah semakin meminta produk dan jasa layanan yang sesuai permintaan mereka, yang bisa jadi akan mengarah pada risiko yang semakin besar. Jika harapan nasabah tidak dipenuhi, bisa jadi loyalitas akan menurun yang mengakibatkan pendapatan serta laba terkena dampak secara signifikan. 13 Pararem merupakan bukti hukum adat tumbuh mengikuti perubahan masyarakat melalui putusan-putusan dalam sebuah parumanrapat adat. Pararem adalah hasil keputusan paruman desa atau banjar yang berisi ketentuan pelaksanaan awig-awig desa pakraman dan atau yang menyangkut hal prinsip diluar pelaksanaan awig-awig desa pakraman yang berlaku. Pararem seharusnya mengandung budaya pengendalian risiko yang melindungi eksistensi LPD. Esensi Tri Hita Karana THK dalam kaitan dengan pengelolan risiko usaha LPD bermuara pada nilai-nilai harmoni yang tercermin dalam parahyangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, pawongan hubungan antar manusia dan palemahan hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan. THK mengajarkan kepada manusia untuk berkomitmen bahwa seluruh alam semesta termasuk lingkungan sekelilingnya menjadi kewajiban untuk dipelihara dan dilestarikan. Analisis THK adalah analisis yang melandaskan kajiannya pada aspek parahyangan, pawongan, dan palemahan Windia dan Dewi, 2011. Parahyangan adalah sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kegiatan bisnis haruslah juga disadari bahwa aktivitas manusia yang berbisnis itu adalah suatu persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan bisnis tidak hanya satu tujuan yaitu menikmati keuntungan semata tetapi sejatinya kegiatan ini dikontrol oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pawongan adalah sebuah konsep yang menginginkan adanya harmoni antara manusia dengan sesamanya. Dalam kegiatan bisnis, haruslah disadari bahwa pelaku bisnis pada hakikatnya adalah mahluk Tuhan, tidak berbeda dengan sesama manusia lainnya. Pelaku bisnis haruslah menjaga harmoni dengan sesamanya yang ada di internal perusahaan. Harmoni juga harus dilakukan dengan sesamanya secara eksternal agar tidak terjadi konflik sosial dengan lingkungan masyarakat. Terakhir, palemahan adalah konsep di mana bisnis harus sensitif terhadap lingkungan alam sekitarnya. Alam memberikan segala kemudahan dan kemurahannya, maka bisnis harus memperhatikan lingkungan alam sekitarnya dengan cara tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Konsep THK 14 sangat dekat dengan pengelolan risiko berkelanjutan yang tidak hanya memeperhatikan aspek keuangan saja tetapi juga sosial dan lingkungannya. Kaitannya dengan budaya THK ini mensyaratkan tindakan dan perilaku pengelola yang positif. Tindakan itu berupa menetapkan contoh-contoh perilaku etis yang diikuti dengan kode etik pribadi para pengelola dan BPI LPD, menetapkan aturan berperilaku secara formal, menekankan pentingnya pengendalian intern dan memperlakukan karyawan secara adil dan penuh dengan rasa hormat. Organisasi LPD sarat dengan nilai-nilai budaya yang mendukung terciptanya gaya operasi yang etis. Budaya itu ada karena sistem nilai yang dianut masih kuat. Filosofi pen gelolaan adalah “LPD padruwen desa ” atau “LPD adalah milik desa”, maka maju mundurnya LPD adalah tanggung jawab bersama di desa pakraman. Di lain pihak LPD adalah usaha ekonomis produktif, yang hasilnya sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat desa pakramandesa adat. Gaya operasi LPD sedikit berbeda dengan usaha-usaha lainnya. Produk regulasi di level desa pakraman masih kuat dan efektif. Karena sudah terbukti kuat, maka aturan-aturan seperti ini dipertahankan. Produk regulasi yang dimaksud adalah Awig-Awig dan Perarem Desa PakramanDesa Adat. Sejauh mana produk regulasi ini dapat memperkuat pengelolaan risiko menjadi pertanyaan penelitian yang penting. Subkomponen ini menggariskan perilaku pengurus dan karyawan yang etis dan tidak etis dapat mempunyai dampak besar terhadap pengendalian intern dan menciptakan suatu situasi yang secara signifikan mempengaruhi validitas proses pelaporan keuangan. Pengelola harus mengambil langkah proaktif untuk memastikan karyawan sadar akan standar dan tanggung jawab yang dibebankan 2 . Pengelola LPD juga harus menjadikan dirinya teladan dan mengikuti standar dengan ketat dalam perilaku sehari-hari. Dengan tunduk pada prinsip etis yang kuat bila berhadapan dengan situasi sulit, pengelola akan mengirim pesan positif bagi karyawan. Efektivitas sistem pengendalian intern tidak dapat ditingkatkan tanpa nilai-nilai etika dan integritas orang-orang yang menciptakan, mengelola dan memantaunya. Perilaku etis dan integritas merupakan produk budaya organisasi. Budaya organisasi yang dikembangkan oleh LPD sesungguhnya telah terpatri pada desa pakraman yang bersangkutan. Budaya malu sebagai sistem nilai yang masih relevan, seperti misalnya budaya 15 malu “mengemplang” utang atau dalam istilah lokalnya juga disebut dengan mirat dana. 2.2. Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya Menurut Johnstone dan Bedard 2003 evaluasi risiko sangat penting dilakukan oleh organisasi atau perusahaan karena menyangkut mekanisme tata kelola yang dikembangkan oleh perusahaan yang bersangkutan. Pengawsan internal akan efektif manakala evaluasi risiko dilakukan dengan baik, sistematis dan terukur. Johstone 2000 dan Kotchetova et.al 2010 juga mengemukan hal yang kurang lebih sama yaitu evaluasi risiko akan menentukan strategi monitoring yang akan dilakukan yang berarti risiko perusahaan semakin tinggi maka ruang lingkup pengawasannya juga akan semakin tinggi. Akan tetapi tidak semua strategi pengelolaan risiko akan berjalan efektif bila tidak diperkuat oleh budaya perusahaan dan budaya atau kearifan lokal yang masih diterima dan diyakini kebenarannya. Kluwer 2013 menyebut bahwa semenjak terjadinya kasus kecurangan besar-besaran yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat AS yang menyebabkan Kongres menandatangani Sarbanes-Okley Act kebutuhan kultur atau budaya ketaatan terhadap pengelolaan risiko semakin meningkat. Menurut Ramos 2009 evaluasi yang dilakukan untuk menilai perusahaan harus diikuti dengan pemahaman yang memadai terhadap sistem pengendalian intern dan proses bisnis yang diterapkan perusahaan. Proses bisnis juga meliputi budaya yang diterapkan perusahaan yang menjadi sistem nilai yang dianut. Dengan pemahaman ini evaluasi akan menghasilkan luaran berupa pengelolaan risiko yang lebih efektif. Catur Purusha Artha sebagai etalase nilai budaya dapat dijadikan dasar dalam kegiatan usaha LPD Pancadana dan Parwata, 2013. Budaya atau kearifan lokal Catur Purusha Artha menjelaskan empat hal yang penting bagi LPD dalam pengelolaan risiko usaha. 1 Dharma, merupakan dasar utama LPD dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD harus selalu dilandasi oleh Dharma yaitu kebaikan atau governance yang baik. Setelah mengamalkan kebaikan dalam menjalankan kegiatan usahanya maka Tuhan maha penciptanya akan melimpahkan berkatnya berupa Artha kepada umatnya yang telah konsisten mengamalkan 16 ajarannya. Artha, dalam hal ini setelah landasan yang utama dilaksanakan oleh Lembaga LPD berupa menjalankan ajaran Dharma atau kebaikan barulah LPD menekankan kegiatan usahanya pada aspek keuntungan dari berupa pendapatan bunga dari usaha simpan-pinjam yang dilakukan. Setelah aspek artha yang menjadi tujuan yang kedua terpenuhi maka selanjutnya adalah Kama yaitu nafsu atau keinginan atau pemenuhan keinginan atas dasar kebutuhan. Dengan artha tersebut maka kama atau keinginan akan bisa terpenuhi dengan keuntungan yang diperoleh LPD dalam kegiatan usahanya. Setelah ketiga tahap diatas tercapai maka yang terakhir adalah Moksa. Moksa yang dimaksud disini adalah kebahagiaan lahir dan bathin. Kegiatan usaha yang dilakukan dapat membantu perekonomian masyarakat desa adat sehingga dapat meringankan beban kehidupan maka masyarakat misalnya dalam hal upacara akan merasa lebih bahagia karena kebutuhan dasarnya terpenuhi. Keempat aspek Catur Purusha Artha tersebut memiliki konten pengelolaan risiko dalam ranah nilai- nilai yang dianut pengelola atau pengurus sehingga menjadikan LPD bias hidup secara berkelanjutan. Pada sisi lain, menurut Saputra www.undiksha.ac.id , 2013 dimensi keperilakuan yaitu locus of control dengan didukung oleh budaya Tri Hita Karana sebagai budaya suatau organisasi mampu lebih meningkatkan kinerja suatu perusahaan. Hasil ini bisa diinterpretasikan bahwa penerapan Tri Hita Karana akan mendukung bisnis berkelanjutan suatu entitas usaha. Dikaitkan dengan LPD yang merupakan entitas usaha yang rentan dengan risiko maka penerapan budaya Tri Hita Karana memperkuat pengelolaan risiko berkelanjutan. Penelitian yang yang dilakukan oleh Astawa et.al 2012 menunjukkan bahwa praktik-praktik nilai-nilai harmoni yang direpresentasikan dalam budaya Tri Hita Karana mempunyai pengaruh terhadap risiko kredit LPD. Esensi Tri Hita Karana akan menyebabkan turunnya NPL Non Performing Loan yang menjadi salah satu indikator terpenting dalam menilai kesehatan LPD. Organisasi LPD yang dikelola dengan baik biasanya sudah menjalankan beberapa fokus atas pengelolaan risiko. Begitu organisasi berkembang dengan kompleksitas dan melayani pasar yang lebih luas, merupakan suatu tantangan untuk memahami bagaimana berbagai macam unit organisasi saling berinteraksi dan berhubungan, dan bagaimana risiko dikelola secara terintegrasi 17 dan komprehensif dari tindakan sederhana berupa mengurangi risiko sampai dengan pengelolaan risiko berkelanjutan berupa optimalisasi risiko tanpa harus merugikan perusahaan. Pengelolaan risiko perusahaan juga merupakan potensi fluktuasi yang dapat merugikan laba atau arus kas atau modal yang diakibatkan oleh sistem pengendalian intern yang tidak memadai. Gambar 2.2 berikut disajikan gambar Flatform Bisnis Berkelanjutan aon,2013 sebagai rerangka model pengelolaan risiko usaha berkelanjutan. Gambar 2.2 Flatform Bisnis Berkelanjutan Sumber: www.aon.fr 2013 Dari gambar hasil kajian aon 2013 tersebut memberikan arah bahwa implementasi keberlanjutan usaha dimulai dari pemahaman prinsip-prinsip dan nilai-nilai perusahaan yang merupakan esensi penting dari budaya. Prinsip dan nilai menghasilkan optimalisasi pengelolaan risiko yang memandang risiko bukan sesuatu yang patut dihindari tetapi sesuatu yang patut dikelola dengan baik melalui pendekatan sosial, lingkungan dan kondusivitas prinsipnilai-nilai yang dianut.

2.3. Pengembangan Hipotesis