ANALISIS MASALAH PENANAMAN MENTAL PADA D
ANALISIS MASALAH PENANAMAN MENTAL PADA DIRI
PESERTA DIDIK BERDASARKAN STUDI KASUS
TERHADAP PERSIAPAN MENTAL PESERTA DIDIK DALAM
MENGHADAPI UJIAN NASIONAL
M A K A L A H
disusun oleh:
MUHAMMAD LUKMAN NUR HAKIM 1101100
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
(2)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME., Allah Azza wa Jalla, karena atas bimbingan dari-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah berjudul “ANALISIS MASALAH PENANAMAN MENTAL PADA DIRI PESERTA DIDIK BERDASARKAN STUDI KASUS TERHADAP PERSIAPAN MENTAL PESERTA DIDIK DALAM
MENGHADAPI UJIAN NASIONAL” merupakan permasalahan yang sudah cukup lama diamati oleh penulis dan baru dapat dituangkan ke dalam bentuk tulisan sehubungan dengan adanya tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik. Namun tentu bukan itu saja yang menjadi motifasi penulis dalam
menuliskan makalah sederhana ini. Penulisan makalah ini juga dilandasi dengan kesadaran untuk berkontribusi dalam membangun pendidikan yang gemilang.
Penulis sangat berharap, mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi sistem pengajaran di Indonesia.
penulis
(3)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ...ii
BAB I...1
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Tujuan Penulisan ...3
1.3. Manfaat Penulisan...4
BAB II...5
2.1. Kajian Teori...5
2.1.1. Pengertian Stress Menurut Para Ahli...5
2.1.2. Dampak Stress...6
2.1.3. Respon Terhadap Stress...7
2.2. Permasalahan Pendidikan dan Analisis Terhadap Tatanan Praktis Penyelenggaraan Pendidikan...7
BAB III...10
3.1. Kesimpulan...10
3.2. Rekomendasi...10
3.2.1. Rekomendasi Untuk Pemerintah ...10
3.2.2. Rekomendasi Untuk Guru ...10
DAFTAR PUSTAKA...12
(4)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Ujian Nasional (UN) masih menjadi topik yang selalu mengundang kontroversi setiap tahunnya. Kontroversi UN sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 (lihat. Tempo, 04/02/2005). UN yang semula bernama UAN (Ujian Akhir Nasional) merupakan pengganti bagi kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Kebijkan ini menggabungkan nilai ujian sekolah dan ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Kemudian pada tahun 2003-2010 UN menjadi penentu mutlak bagi kelulusan siswa. Kebijakan ini mendapat banyak penentangan keras dari berbagai pihak sehingga pada tahun 2011, kelulusan siswa kembali berdasarkan penggabungan nilai ujian nasional sebesar 60% ditambah nilai ujian sekolah sebesar 40% dengan syarat kelulusan skor siswa harus melampaui angka 5,5. Intinya terlepas dari berbagai kontroversi yang selalu muncul menyertai kebijakan ini, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, UN selalu menjadi tolak ukur dalam menilai kompetensi siswa.
Namun, kendati demikian UN masih saja menjadi fokus perhatian para praktisi dan pemerhati pendidikan. Memang benar banyak kasus yang
menunjukan bahwa pelaksanaan UN masih sangat buruk, baik dalam tataran penyediaan persiapan, pelaksanaan, sampai evaluasi sering kali masih sangat bermasalah. Terlebih lagi, banyak nya kasus siswa yang tidak lulus UN yang setiap tahun cenderung meningkat telah membawa dampak yang buruk kepada
(5)
siswa. Berbagai kasus stess dari stress ringan hingga stress berat pun menjangkit para siswa. Kemudian muncul pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi? Penulis menilai, kebanyakan dari kita sering mempertanyakan tentang efektifitas
pelaksanaan UN, bahkan kelemahan dalam pelaksanaan UN selalu dijadikan senjata untuk menggugat UN. Berkaitan dengan buruknya pelaksanaan UN, penulis memang merasa perlu untuk mempertanyakan kinerja pemerintah, yaitu mempertanyakan keseriusan mereka dalam menciptakan kebijakan yang baik bagi sistem pendidikan di negeri ini. Namun penulis menganggap ada hal penting lain yang seharusnya diperhatikan oleh siapapun orang yang terjun di dalam dunia pendidikan, yaitu bagi mereka yang menginginkan sistem pendidikan yang berkualitas dan mampu menciptakan generasi unggulan. Hal penting itu adalah bagaimana menciptakan generasi unggulan yang mampu menghadapi berbagai tantangan jaman.
Penulis memperhatikan, bahwa pelaksanaan pendidikan di negeri ini sudah melupakan arti penting pendidikan itu sendiri, yaitu memanusiakan manusia. Bagaimana tidak, semua itu nampak begitu jelas dalam keseharian pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Semua (termasuk ukuran sukses atau tidaknya seseorang) diukur oleh materi. Paradigma inilah yang menjadikan sistem pendidikan di Indonesia seperti sekarang, carut-marut, hancur, dan banyak melahirkan generasi yang bermasalah, materialistis. Hal ini akan terus berlanjut kecuali kita semua menyadari apa yang seharusya ditanamkan kepada diri para peserta didik. Bagaimana jadinya para peserta didik kita apabila dihadapkan dengan ujian nasional saja mereka tidak memiliki nyali? Padahal tantangan kehidupan bisa jadi
(6)
lebih berat dan menyiksa bagi mereka. Namun justru mental pengecut itulah yang ditanamkan oleh para pendidik di negeri ini kepada para siswanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pihak sekolah turut bermain dalam meluluskan anak
didiknya, meski tidak secara langsung namun tidak sedikit para pendidik yang ‘menganjurkan kebersamaan dalam mencapai kesuksesan’. Inilah fenomena yang hari ini terjadi dalam pelaksanaan pendidikan di negeri ini, kita tidak boleh menutup mata akan hal ini. Berdasarkan pengkajian penulis terhadap kasus-kasus seperti ini, kami berpendapat bahwa masalah mental peserta didik pada dasarnya dikarenakan masalah mental guru dan kesalahan pengajaran dalam sistem
pendidikan.
Itulah sebabnya di dalam penulisan makalah ini, penulis merasa perlu mengangkat isu mengenai bagaimana cara mempersiapkan mental peserta didik dalam mengarungi medan kehidupan.
1.2. Tujuan Penulisan
Kami berharap makalah ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan demi mewujudkan tatanan sistem
pendidikan yang lebih baik di masa depan. Kami mengetahui dan sedikitnya memahami hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendidikan, namun yang terpenting adalah tidak seharusnya kita melupakan hakikat dari pendidikan itu sendiri. Karena diakui ataupun tidak, penyelenggaraan pendidikan di negeri ini seringkali menanamkan nilai-nilai materi dan mendidik siswa untuk menilai segala sesuatunya dengan materi. Untuk itulah makalah ini kami buat untuk
(7)
menyalurkan ide dan saran mengenai apa yang seharusnya dilakukan bagi menciptakan generasi unggulan. Adapun tujuan yang secara praktis hendak dicapai dari penulisan makalah ini, tidak lain untuk menjelaskan bagaimana mengembangkan pendidikan yang mampu menumbuhkan mental dan kemandirian berfikir siswa.
1.3. Manfaat Penulisan
Makalah ini dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para praktisi dan pemerhati pendidikan. Penulis optimis bahwa gagasan yang disajikan dalam makalah ini dapat menjadi alternatif solusi bagi pendidikan di Indonesia.
(8)
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Kajian Teori
Salah satu penyebab adanya penolakan UN adalah karena masyarakat menganggap bahwa UN akan sangat membebani peserta didik. Banyak kasus yang memperlihatkan tingkatan stress para siswa menjelang UN. Namun benarkah persoalan UN ini menjadi sebab utama bagi meningkatnya kasus stress pada peserta didik? Untuk menjawab pertanyaan ini sudah selayaknya bagi kita untuk megkaji definisi stress terlebih dahulu.
2.1.1. Pengertian Stress Menurut Para Ahli
Stress menurut Hans Selye (1976) merupakan respon tubuh yang bersifat tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya. Robbins (2001) berpendapat bahwa stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Dan apabila pengertian stress dikaitkan dengan penelitian ini maka stress itu sendiri adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seseorang karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Menurut Woolfolk dan Richardson (1979) menyatakan bahwa adanya sistem kognitif, apresiasi stress menyebabkan segala peristiwa yang terjadi disekitar kita akan dihayati sebagai suatu stress berdasarkan arti atau interprestasi
(9)
yang kita berikan terhadap peristiwa tersebut, dan bukan karena peristiwa itu sendiri. Karenanya dikatakan bahwa stress adalah suatu persepsi dari ancaman atau dari suatu bayangan akan adanya ketidaksenangan yang menggerakkan, menyiagakan atau mambuat aktif organisme.
Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Sedangkan menurut Handoko (1997), stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa stress pada dasarnya merupakan dampak yang ditimbulkan akibat tekananyang ditimbulkan persepsi seseorang terhadap sesuatu.
2.1.2. Dampak stress
Hans (1976) berpendapat bahwa stress dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan dengan apa yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stress dapat menggangu cara seseorang dalam
(10)
menyerap realitas, menyelesaikan masalah, berfikir secara umum dan hubungan seseorang dan rasa memiliki.
2.1.3. Respon Terhadap Stress
Ada dua buah respon ketka seseorang dihadapkan dengan beberapa permasalahan dalam hidupnya. Pertama, “flight” yaitu sebuah respon untuk menghindari atau meninggalkan sumber stress tersebut, Kedua, “fight” yaitu kecenderungan untuk menghadapi dan menye-lesaikan sumber stress.
Hal ini penting untuk diahami karena akan membantu kita menilai kualitas mental dan kemandirian berfikir peserta didik.
2.2.Permasalahan Pendidikan dan Analisis Terhadap Tatanan Praktis Penyelenggaraan Pendidikan.
Kebanyakan orang menganggap bahwa Ujian Nasional (UN), merupakan terror terbesar bagi peserta didik. Bagaimana tidak, upaya selama tiga tahun ditentukan hanya dengan beberapa jam saja. Hal ini sering kali membuat pesrta didik mengalami stress bahkan depresi dikarenaan tekanan yang luar biasa dari lingkungan mereka. Tekanan tersebut dapat berupa berbagai ekspektasi keluarga, sekolah, teman dan dirinya sendiri. Akan tetapi di satu sisi peserta didik dibiarkan menyelesaikan masalah itu sendiri. Maka wajar apabila ketegangan itu pada akhirnya memuncak dan berpengaruh kepada perkembangan diri peserta didik.
Kami melihat dan mencoba mengurai penyebab munculnya stress pada siswa yang akan menghadapi ujian nasional dan setidaknya menemukan dua buah
(11)
penyebab utama: (1) cara pandang yang materialistis, dan (2) abai dalam membentuk karakter peserta didik.
Pertama, karena cara pandang yang materialistis. Disadari ataupun tidak, lingkungan kita hari ini merupakan lingkungan yang materialistis; masyarakat yang materialistis, gaya hidup yang materialistis, serta sistem pendidikan yang materialistis. Segala sesuatu diukur berdasarkan materi, sehingga dalam mengukur kesuksesan pun dilandaskan pada seberapa besar materi yang didapatkan.
Pandangan inilah yang merusak cara berpikir masyarakat kita, terlebih lagi dalam sistem pndidikan telah mendogma peserta didik dengan cara berpikir yang salah. Sehingga yang menjadi fokus perhatian mereka adalah “bagaimana mendapatkan materi dengan cara apapun juga”. Hal ini dapat berdampak secara langsung kepada perkembangan mental peserta didik tatkala cara berpikir materialistis ini telah terinternalisasi dalam diri mereka, karena mereka akan menilai kesuksesan dengan cara pandang yang sempit lagi sederhana: berdasarkan materi. Akibatnya seringkali memunculkan anggapan “sekolah hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah”.
Kedua, pengabaian dalam membangun karakter peserta didik. Bedasarkan pengalaman dan pengamatan penulis di lapangan, sekolah hanya merupakan tempat mentransfer ilmu pengetahuan tanpa adanya pembekalan pemahaanan yang dapat menumbuhkan mental-mental pemenang dalam diri siswa. Lihat saja bagaimana pelaksanaan UN selalu diwarnai dengan kecurangan baik di level SMP maupun SMA. Itulah contoh nyata peserta didik yan dijejali dengan berbagai pengetahuan namun mental mereka tidak dipersiapkan. Padahal menyiapkan
(12)
mental untuk mampu menerima kegagalan itulah yang penting. Maksudnya adalah bagaimana proses pendidikan dapat menumbuhkan mental peserta didik agar mereka dapat berpikir dan memandang jauh ke depan.
Namun untuk mewujudan kedua hal ini bukanlah perkara yang sedehana karena diperlukan kesadaran dari semua pihak dan adanya lingkungan yang mendukung. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perubahan cara pandang dalam diri masyarakat, yaitu dengan mengubah cara pandang yang materialistis dengan cara pandang lain.
(13)
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan
Demikianlah argumentasi yang dapat kami sajikan, berkenaan dengan masalah yang dihadapi peserta didik. Pada intinya, pendidikan dan sekolah seharusnya menjadi tempat yang mampu mencetak generasi unggulan yang memiliki kualitas mental orang-orang besar. Sudah selayaknya hal ini menjadi bahan pemikiran kita bersama. Apabila semua komponen pendidikan baik di sekolah ataupun di masyarakat menyadari akan hal ini, maka generasi unggulan yang sesungguhnya akan lahir.
3.2. Rekomendasi
3.2.1. Rekomendasi untuk pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus mampu menciptakan kebijakan yang bermutu. Dalam arti, menciptakan suasana yang ideal bagi siswa degan menyeleksi pemikiran-pemikiran yang masuk kedalam sistem pendidikan serta mengkondisikan cara pandang hidup masyarakat dalam menilai. Di sinilah petingnya pengawasan secara ketat terhadap perkembangan teknologi informasi. 3.2.2. Rekomendasi untuk guru
Sekolah harus menjadi tempat yng memberikan berbagai pemahaman tentang kehidupan. Peran guru adalah mendidik dan membimbing, namun juga menunjukan jalan bagi para peserta didik. Seorang guru tidak boleh menilai baik-buruk sesuatu atau seseorang berdasarkan materi, karena hal iu akan tertanam
(14)
dalam diri peserta didik untuk mengadopsi pemikiran yang sama. Guru harus mampu menjadi pemimpin yang dapat menunjuki jalan bagi setiap siswanya, tidak sebatas mengugurkan kewajiban dan melakukan transfer pengetahuan saja. Hendaknya para guru mendidik dengan hati, menumbuhkan mental pemenang dalam diri peserta didiknya sebagaimana Aaq Syamsuddin yang menjadi pembimbing Muhammad Al fattih, hingga ia mampu menekuk lutut kaisar romawi di istananya. Semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya motivasi dan kesungguhan dari seorang guru yang membimbingnya setiap waktu. Namun peranan kita tidak perlu sampai seperti itu, cukup dengan menunjukan jalan hidup dan menumbuhkan mental para siswa, hal itu sudah lebih dari cukup.
(15)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.antikorupsi.org/id/content/kontroversi-ujian-nasional http://rachmabuana.blogspot.com/2013/06/tugas-kesehatan-mental-3.html
(16)
LAMPIRAN
Mengapa saya layak mendapat nilai terbaik?
Saya merasa layak mendapatkan nilai tebaik dalam mata kuliah ini karena satu hal, yaitu bahwa tugas akhir yang diberikan telah saya kerjakan dengan sebaik mungkin sera dengan argumentsi yang sejelas mungkin dan saya telah mencurahkan segenap pemikiran saya untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan pendidikan. Jika berbicara tentang karya tulis maka, saya selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Karena bagi saya tulisan adalah media untuk mencurahkan semua pemikiran dan pemahaman yang saya miliki. Itulah satu-satunya kebanggaan bagi saya saat ini berkaitan dengan kelayakan saya mendapatkan nilai terbaik.
(1)
penyebab utama: (1) cara pandang yang materialistis, dan (2) abai dalam membentuk karakter peserta didik.
Pertama, karena cara pandang yang materialistis. Disadari ataupun tidak, lingkungan kita hari ini merupakan lingkungan yang materialistis; masyarakat yang materialistis, gaya hidup yang materialistis, serta sistem pendidikan yang materialistis. Segala sesuatu diukur berdasarkan materi, sehingga dalam mengukur kesuksesan pun dilandaskan pada seberapa besar materi yang didapatkan.
Pandangan inilah yang merusak cara berpikir masyarakat kita, terlebih lagi dalam sistem pndidikan telah mendogma peserta didik dengan cara berpikir yang salah. Sehingga yang menjadi fokus perhatian mereka adalah “bagaimana mendapatkan materi dengan cara apapun juga”. Hal ini dapat berdampak secara langsung kepada perkembangan mental peserta didik tatkala cara berpikir materialistis ini telah terinternalisasi dalam diri mereka, karena mereka akan menilai kesuksesan dengan cara pandang yang sempit lagi sederhana: berdasarkan materi. Akibatnya seringkali memunculkan anggapan “sekolah hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah”.
Kedua, pengabaian dalam membangun karakter peserta didik. Bedasarkan pengalaman dan pengamatan penulis di lapangan, sekolah hanya merupakan tempat mentransfer ilmu pengetahuan tanpa adanya pembekalan pemahaanan yang dapat menumbuhkan mental-mental pemenang dalam diri siswa. Lihat saja bagaimana pelaksanaan UN selalu diwarnai dengan kecurangan baik di level SMP maupun SMA. Itulah contoh nyata peserta didik yan dijejali dengan berbagai pengetahuan namun mental mereka tidak dipersiapkan. Padahal menyiapkan
(2)
mental untuk mampu menerima kegagalan itulah yang penting. Maksudnya adalah bagaimana proses pendidikan dapat menumbuhkan mental peserta didik agar mereka dapat berpikir dan memandang jauh ke depan.
Namun untuk mewujudan kedua hal ini bukanlah perkara yang sedehana karena diperlukan kesadaran dari semua pihak dan adanya lingkungan yang mendukung. Semua ini tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perubahan cara pandang dalam diri masyarakat, yaitu dengan mengubah cara pandang yang materialistis dengan cara pandang lain.
(3)
BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan
Demikianlah argumentasi yang dapat kami sajikan, berkenaan dengan masalah yang dihadapi peserta didik. Pada intinya, pendidikan dan sekolah seharusnya menjadi tempat yang mampu mencetak generasi unggulan yang memiliki kualitas mental orang-orang besar. Sudah selayaknya hal ini menjadi bahan pemikiran kita bersama. Apabila semua komponen pendidikan baik di sekolah ataupun di masyarakat menyadari akan hal ini, maka generasi unggulan yang sesungguhnya akan lahir.
3.2. Rekomendasi
3.2.1. Rekomendasi untuk pemerintah
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus mampu menciptakan kebijakan yang bermutu. Dalam arti, menciptakan suasana yang ideal bagi siswa degan menyeleksi pemikiran-pemikiran yang masuk kedalam sistem pendidikan serta mengkondisikan cara pandang hidup masyarakat dalam menilai. Di sinilah petingnya pengawasan secara ketat terhadap perkembangan teknologi informasi.
3.2.2. Rekomendasi untuk guru
Sekolah harus menjadi tempat yng memberikan berbagai pemahaman tentang kehidupan. Peran guru adalah mendidik dan membimbing, namun juga menunjukan jalan bagi para peserta didik. Seorang guru tidak boleh menilai baik-buruk sesuatu atau seseorang berdasarkan materi, karena hal iu akan tertanam
(4)
dalam diri peserta didik untuk mengadopsi pemikiran yang sama. Guru harus mampu menjadi pemimpin yang dapat menunjuki jalan bagi setiap siswanya, tidak sebatas mengugurkan kewajiban dan melakukan transfer pengetahuan saja. Hendaknya para guru mendidik dengan hati, menumbuhkan mental pemenang dalam diri peserta didiknya sebagaimana Aaq Syamsuddin yang menjadi pembimbing Muhammad Al fattih, hingga ia mampu menekuk lutut kaisar romawi di istananya. Semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya motivasi dan kesungguhan dari seorang guru yang membimbingnya setiap waktu. Namun peranan kita tidak perlu sampai seperti itu, cukup dengan menunjukan jalan hidup dan menumbuhkan mental para siswa, hal itu sudah lebih dari cukup.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.antikorupsi.org/id/content/kontroversi-ujian-nasional http://rachmabuana.blogspot.com/2013/06/tugas-kesehatan-mental-3.html
http://aditindi.blogspot.com/2011/04/stress.html
(6)
LAMPIRAN
Mengapa saya layak mendapat nilai terbaik?
Saya merasa layak mendapatkan nilai tebaik dalam mata kuliah ini karena satu hal, yaitu bahwa tugas akhir yang diberikan telah saya kerjakan dengan sebaik mungkin sera dengan argumentsi yang sejelas mungkin dan saya telah mencurahkan segenap pemikiran saya untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi perkembangan pendidikan. Jika berbicara tentang karya tulis maka, saya selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Karena bagi saya tulisan adalah media untuk mencurahkan semua pemikiran dan pemahaman yang saya miliki. Itulah satu-satunya kebanggaan bagi saya saat ini berkaitan dengan kelayakan saya mendapatkan nilai terbaik.