BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Semua data penelitian diambil dari data sekunder, yaitu data rekam medis pasien yang menderita penyakit intususepsi dalam periode 01 Januari 2010 sampai 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh dengan melihat hubungan lama timbul gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan (onset) dengan outcome intususepsi dan melihat variabel jenis kelamin, usia, manifestasi klinis, penyakit penyerta, letak kelainan, terapi bedah dan outcome penderita. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebanyak 32 sampel.

Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada table 4.1 dibawah ini.

4.1.2 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi jenis kelamin penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut:

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 23 71,09

Perempuan 9 28,01

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.2 tersebut, didapatkan bahwa penyakit intususepsi lebih banyak terjadi pada laki–laki dengan frekuensi 23 sampel (71,09%) daripada pada perempuan dengan jumlah 9 sampel (28,01%) dengan perbandingan jumlah laki-laki : perempuan adalah 2,5 : 1.


(2)

4.1.3 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan usia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi usia pada penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut:

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan usia

Usia Frekuensi (n) Persentase (%)

0 – 28 hari 1 3,1

1 – 12 bulan 24 75

2 – 6 tahun 3 9,4

6 – 12 tahun 2 6,3

13 – 18 tahun 2 6,3

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.3, didapatkan bahwa penyakit intususepsi ditemukan paling banyak terjadi pada usia 1 – 12 bulan sebanyak 24 sampel (75,00%) dan paling sedikit pada kelompok usia 0 – 28 hari (3,1%).

(data demografi digabung jadi 1 tabel)

4.1.4 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan manifestasi klinis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi manifestasi klinis penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan manifestasi klinis

Manifestasi Klinis Frekuensi (n) Persentase (%)


(3)

Bab berlendir bercampur darah 1 3,1

nyeri kolik abdomen 2 6,3

muntah+nyeri kolik abdomen 3 9,4

bab berlendir bercampur darah+

nyeri kolik abdomen 1 3,1

Muntah+Bab berlendir

bercampur darah 9 28,1

tidak diketahui 3 9,4

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, didapatkan hasil bahwa manifestasi klinis penyakit intususepsi yang ditemukan paling banyak terjadi adalah muntah sebanyak 13 sampel (40,06%).

4.1.5 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan penyakit penyerta

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi penyakit penyerta pada penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan penyakit penyerta Penyakit penyerta Frekuensi (n) Persentase (%)

Apendisitis 3 9,4

Batu buli+Hps 1 3,1

Bolus Ascariasis 1 3,1

Cerebral infark, subdural hemangioma, brain

atropi, enselopati metabolik 1 3,1

Pnemonia lobaris 1 3,1

Tidak ada 25 78,1

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.5 di atas, didapatkan hasil bahwa pada penderita penyakit intususepsi sebanyak 32 sampel (78,01%) tidak ada penyakit penyerta yang muncul. Sedangkan penyakit penyerta yang paling banyak muncul adalah penyakit apendisitis (9,4%).


(4)

4.1.7 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan letak kelainan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi letak kelainan penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut:

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan letak kelainan

Letak Kelainan Frekuensi (n) Persentase (%)

Ileocaecal 1 3,1

Ileocolica 10 31,3

Ileocolocolica 7 21,9

Ileoileal 2 6,3

Ileoileal Colocolica 1 3,1

Ileosaecal 1 3,1

Ileosaecocolica 2 6,3

Tidak ada 8 25

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas, ditemukan bahwa penyakit intususepsi ditemukan paling banyak terjadi pada bagian ileocolica sebanyak 10 sampel (88,47%) dan ileocolocolica sebanyak 7 sampel (21,9%).

4.1.8 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan terapi bedah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi terapi bedah definitif pada penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan terapi bedah

Reduksi Operatif Frekuensi (n) Persentase (%)

Laparotomi 1 3,1

Laparotomi Explorasi 2 6,3


(5)

Laparotomi Invaginasi 1 3,1

Red Ileostomi, Res Anastomosis 1 3,1

Red Milking 5 15,6

Red Milking, Apendectomi 1 3,1

Red Milking, Colostomi, Res Anastomosis 1 3,1

Red Milking, Laparotomi Explorasi,

Apendectomi 1 3,1

Red Milking, Red ileostomi, Res Anastomosis,

Colostomi Closure 1 3,1

Red Milking, Res Anastomosis 3 9,4

Red Milking, Res Ileostomi 2 6,3

Red Milking, Res ileostomi, End to end

Anastomosis 1 3,1

Red Milking, Res Ileostomi, Res Anastomosis 2 6,3

Release Invaginasi 1 3,1

Res Anastomosis 1 3,1

Res Ileostomi, Res Anastomosis 3 9,4

Res Ileostomi, Res Ileocolica 1 3,1

Res Ileostomi, Res Ileum, End to end

Anastomosis 1 3,1

Terapi Konservatif 1 3,1

Tidak ada 1 3,1

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

Berdasarkan Tabel 4.7 di atas, didapatkan hasil bahwa terapi bedah sebagai tatalaksana penyakit intususepsi yang paling banyak dilakukan adalah prosedur milking pada 5 sampel (15,6%).

4.1.9 Distribusi frekuensi penderita penyakit intususepsi berdasarkan outcome

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 32 sampel, maka distribusi outcome penderita penyakit intususepsi dapat dilihat pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Distribusi frekuensi outcome penderita penyakit intususepsi

Outcome Frekuensi (n) Persentase (%)

Hidup 28 87,5

Meninggal 4 12,5


(6)

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas, didapatkan hasil bahwa sebanyak 32 sampel (87,05%) penderita penyakit intususepsi hidup setelah dilakukan terapi bedah dan 4 sampel (12,05%) meninggal.

Hubungan antara lama gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan (onset) dengan outcome intususepsi

Onset Frekuensi (n) Persentase (%)

< 48 jam 18 56,3

> 48 jam 14 43,8

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

4.2 Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dan Rumah Sakit Ibu dan Anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lama timbul gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan dengan outcome intususepsi pada anak dengan profil penderita penyakit intususepsi. Sampel diambil dari data rekam medis pasien selama periode 01 januari 2010 s.d. 31 Desember 2012. Pada penelitian ini didapatkan 32 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

Berdasarkan jenis kelamin penderita, dijumpai penderita laki-laki (71,09%) lebih dominan daripada perempuan (28,01%) dengan angka perbandingan laki-laki : perempuan = 2,5:1. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Mulyaningrum (2010) yang menunjukkan bahwa intususepsi pada anak yang paling sering terjadi pada laki-laki. Lam (2000) juga membuktikan kecenderungan laki-laki menderita penyakit ini lebih besar dari perempuan dengan rasio 3:2. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Kong et al (2010) yang dilakukan pada 39 bayi dengan hasil 29 bayi laki-laki dan 10 bayi perempuan. Demikian pula pada penelitian Bhowmick et al (2009) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3.4:1. Pada penelitian Santoso (2010) menunjukkan hasil yang berbeda dengan penderita terbanyak adalah perempuan 17 anak (63%) dibandingkan anak laki-laki


(7)

yang berjumlah 10 anak (37%). Peneliti berasumsi bahwa perbedaan rasio perbandingan ini disebabkan karena jumlah sampel pada masing-masing penelitian berbeda sehingga mempengaruhi tingkat perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan. Meski demikian, penelitian ini sesuai dengan berbagai penelitian lainnya bahwa penyakit intususepsi lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Dalam penelitian ini, diagnosa penyakit intususepsi telah ditegakkan paling banyak dalam rentang usia 1-12 bulan (75%), usia 2-6 tahun (9,4%), dan usia 6-12 tahun (6,3%), usia 13-18 tahun (6,3) dan paling sedikit pada usia 0-28 hari (3,1%). Peneliti berasumsi bahwa penyakit intususepsi paling banyak ditegakkan dalam satu tahun pertama kehidupan karena perubahan diet makanan dari cair ke padat, pemberian makan pendamping asi yang terlalu dini, infeksi virus, peningkatan peristaltik usus dan beberapa penyebab lainnya yang belum diketahui. Sedangkan penyakit intususepsi yang muncul pada usia lebih besar disebabkan karena adanya kelainan usus. Pada penelitian Mulyaningrum (2010) terdapat (9,1%) penyakit intususepsi pada usia 1-4 tahun, sedangkan dalam rentang usia 5-8 bulan (63,6%) dan terdapat (18,2%) dalam rentang usia 9-11 bulan. Hasil penelitian Tate (2008) didapatkan bahwa intususepsi sering di temukan pada anak yang berusia kurang dari tahun. Wiley (2004) juga menyebutkan bahwa 60% pasien intususepsi berusia kurang dari satu tahun.

Pada penelitian ini, manifestasi klinis penyakit intususepsi yang paling banyak ditemukan adalah muntah (13%), muntah dengan BAB berlendir bercampur darah (28,1%), muntah dengan nyeri kolik abdomen (9,4%) dan manifestasi klinis berupa BAB berlendir bercampur darah dengan nyeri kolik abdomen dan BAB berlendir bercampur darah muncul dengan angka persentase yang tidak jauh berbeda, yaitu (3,1%). Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka lam (2000) yang menunjukkan presentasi gejala yang paling sering muncul adalah muntah.

Comorbid disease atau penyakit penyerta yang muncul dalam penelitian ini antara lain adalah apendisitis (9,4%), batu buli disertai hps (3,1%), bolus ascariasis (3,1%), cerebral infark (3,1%) dan pneumonia lobaris (3,1%).


(8)

Pada penelitian ini, terapi bedah yang paling banyak dilakukan adalah prosedur milking. Lainnya adalah prosedur ileostomi, colostomi dan reseksi anastomosis. Pada tinjauan kepustakaan Brand (1999) disebutkan bahwa reseksi usus dan ileostomi dilakukan reduksi milking tidak dapat dilakukan atau terdapat usus nonviabel. Pada penelitian Santoso (2010) juga didapatkan bahwa jenis reduksi yang paling sering digunakan adalah reduksi milking.

Pada penelitian ini, outcome penderita penyakit intususepsi adalah 32 penderita 28 penderita (87,5%) hidup dan 4 penderita (12,5%) meninggal. Peneliti berasumsi bahwa 4 orang penderita penyakit intususepsi yang meninggal disebabkan karena pasien intususepsi biasanya datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah berat atau complicated. Pada tinjauan kepustakaan Cusick et al (2005) disebutkan bahwa penyebab kematian pada anak dengan intususepsi dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosa (> 24 jam).

Wiley (2004) menyebutkan bahwa intususepsi yang tidak ditangani hampir selalu berakibat fatal, kesempatan untuk memperbaiki keadaan pasien berhubungan langsung dengan onset intususepsi sebelum reduksi. Shondheimer (2003) juga menyebutkan bahwa prognosa pada pasien intususepsi juga berhubungan langsung dengan onset intususepsi sebelum reduksi. Akan tetapi pada penelitian ini peneliti tidak menemukan hasil yang bermakna terhadap hubungan lama timbul gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan (onset) dengan outcome intususepsi. hal ini dapat disebabkan karena terbatasnya sampel pada penelitian ini.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan atau hambatan-hambatan dalam penelitian ini adalah :

1. Keterbatasan dalam mengatur jadwal penelitian di RSUDZA dan RSIA dengan jadwal kegiatan akademik peneliti sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

2. Jadwal penelitian terganggu karena gedung penelitian yang sedang dalam masa perbaikan.


(9)

2. Tidak semua rekam medis yang tersedia memiliki data yang lengkap, sehingga dari jumlah sampel sebanyak 40 kasus dalam periode 01 Januari 2010-31 Desember 2012, hanya ada 32 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat menjadi sampel penelitian.


(10)

(11)

(1)

Berdasarkan Tabel 4.9 di atas, didapatkan hasil bahwa sebanyak 32 sampel (87,05%) penderita penyakit intususepsi hidup setelah dilakukan terapi bedah dan 4 sampel (12,05%) meninggal.

Hubungan antara lama gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan (onset) dengan outcome intususepsi

Onset Frekuensi (n) Persentase (%)

< 48 jam 18 56,3

> 48 jam 14 43,8

Total 32 100

Sumber: Data Sekunder (Diolah, Februari 2013)

4.2 Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dan Rumah Sakit Ibu dan Anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lama timbul gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan dengan outcome intususepsi pada anak dengan profil penderita penyakit intususepsi. Sampel diambil dari data rekam medis pasien selama periode 01 januari 2010 s.d. 31 Desember 2012. Pada penelitian ini didapatkan 32 sampel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

Berdasarkan jenis kelamin penderita, dijumpai penderita laki-laki (71,09%) lebih dominan daripada perempuan (28,01%) dengan angka perbandingan laki-laki : perempuan = 2,5:1. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Mulyaningrum (2010) yang menunjukkan bahwa intususepsi pada anak yang paling sering terjadi pada laki-laki. Lam (2000) juga membuktikan kecenderungan laki-laki menderita penyakit ini lebih besar dari perempuan dengan rasio 3:2. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Kong et al (2010) yang dilakukan pada 39 bayi dengan hasil 29 bayi laki-laki dan 10 bayi perempuan. Demikian pula pada penelitian Bhowmick et al (2009) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 3.4:1. Pada penelitian Santoso (2010) menunjukkan hasil yang berbeda dengan penderita terbanyak adalah perempuan 17 anak (63%) dibandingkan anak laki-laki


(2)

yang berjumlah 10 anak (37%). Peneliti berasumsi bahwa perbedaan rasio perbandingan ini disebabkan karena jumlah sampel pada masing-masing penelitian berbeda sehingga mempengaruhi tingkat perbedaan jumlah laki-laki dan perempuan. Meski demikian, penelitian ini sesuai dengan berbagai penelitian lainnya bahwa penyakit intususepsi lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Dalam penelitian ini, diagnosa penyakit intususepsi telah ditegakkan paling banyak dalam rentang usia 1-12 bulan (75%), usia 2-6 tahun (9,4%), dan usia 6-12 tahun (6,3%), usia 13-18 tahun (6,3) dan paling sedikit pada usia 0-28 hari (3,1%). Peneliti berasumsi bahwa penyakit intususepsi paling banyak ditegakkan dalam satu tahun pertama kehidupan karena perubahan diet makanan dari cair ke padat, pemberian makan pendamping asi yang terlalu dini, infeksi virus, peningkatan peristaltik usus dan beberapa penyebab lainnya yang belum diketahui. Sedangkan penyakit intususepsi yang muncul pada usia lebih besar disebabkan karena adanya kelainan usus. Pada penelitian Mulyaningrum (2010) terdapat (9,1%) penyakit intususepsi pada usia 1-4 tahun, sedangkan dalam rentang usia 5-8 bulan (63,6%) dan terdapat (18,2%) dalam rentang usia 9-11 bulan. Hasil penelitian Tate (2008) didapatkan bahwa intususepsi sering di temukan pada anak yang berusia kurang dari tahun. Wiley (2004) juga menyebutkan bahwa 60% pasien intususepsi berusia kurang dari satu tahun.

Pada penelitian ini, manifestasi klinis penyakit intususepsi yang paling banyak ditemukan adalah muntah (13%), muntah dengan BAB berlendir bercampur darah (28,1%), muntah dengan nyeri kolik abdomen (9,4%) dan manifestasi klinis berupa BAB berlendir bercampur darah dengan nyeri kolik abdomen dan BAB berlendir bercampur darah muncul dengan angka persentase yang tidak jauh berbeda, yaitu (3,1%). Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka lam (2000) yang menunjukkan presentasi gejala yang paling sering muncul adalah muntah.

Comorbid disease atau penyakit penyerta yang muncul dalam penelitian ini antara lain adalah apendisitis (9,4%), batu buli disertai hps (3,1%), bolus ascariasis (3,1%), cerebral infark (3,1%) dan pneumonia lobaris (3,1%).


(3)

Pada penelitian ini, terapi bedah yang paling banyak dilakukan adalah prosedur milking. Lainnya adalah prosedur ileostomi, colostomi dan reseksi anastomosis. Pada tinjauan kepustakaan Brand (1999) disebutkan bahwa reseksi usus dan ileostomi dilakukan reduksi milking tidak dapat dilakukan atau terdapat usus nonviabel. Pada penelitian Santoso (2010) juga didapatkan bahwa jenis reduksi yang paling sering digunakan adalah reduksi milking.

Pada penelitian ini, outcome penderita penyakit intususepsi adalah 32 penderita 28 penderita (87,5%) hidup dan 4 penderita (12,5%) meninggal. Peneliti berasumsi bahwa 4 orang penderita penyakit intususepsi yang meninggal disebabkan karena pasien intususepsi biasanya datang ke rumah sakit dalam kondisi yang sudah berat atau complicated. Pada tinjauan kepustakaan Cusick et al (2005) disebutkan bahwa penyebab kematian pada anak dengan intususepsi dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosa (> 24 jam).

Wiley (2004) menyebutkan bahwa intususepsi yang tidak ditangani hampir selalu berakibat fatal, kesempatan untuk memperbaiki keadaan pasien berhubungan langsung dengan onset intususepsi sebelum reduksi. Shondheimer (2003) juga menyebutkan bahwa prognosa pada pasien intususepsi juga berhubungan langsung dengan onset intususepsi sebelum reduksi. Akan tetapi pada penelitian ini peneliti tidak menemukan hasil yang bermakna terhadap hubungan lama timbul gejala klinis awal hingga tindakan pembedahan (onset) dengan outcome intususepsi. hal ini dapat disebabkan karena terbatasnya sampel pada penelitian ini.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan atau hambatan-hambatan dalam penelitian ini adalah :

1. Keterbatasan dalam mengatur jadwal penelitian di RSUDZA dan RSIA dengan jadwal kegiatan akademik peneliti sebagai mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

2. Jadwal penelitian terganggu karena gedung penelitian yang sedang dalam masa perbaikan.


(4)

2. Tidak semua rekam medis yang tersedia memiliki data yang lengkap, sehingga dari jumlah sampel sebanyak 40 kasus dalam periode 01 Januari 2010-31 Desember 2012, hanya ada 32 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat menjadi sampel penelitian.


(5)

(6)