Bahan Responsi TM 8 2013

NEGERI KALAH BERSAING
PERSAINGAN telah menjadi bagian dari sejarah manusia sejak
lampau. Di era kolonialisme, persaingan akan bahan rempah
menciptakan tatanan dunia baru. Di era industri, negara-negara
bersaing untuk mendapatkan sumber-sumber energi.
Sayangnya, dalam soal persaingan antarnegara itu Indonesia
tidak bisa dibanggakan. Dari indeks daya saing global (global
competitiveness index/GCI) yang diumumkan World Economic
Forum beberapa hari lalu, posisi Indonesia turun empat
peringkat.
Dari urutan ke-46 pada tahun lalu kini kita di peringkat ke-50
dari 144 negara yang disurvei tahun ini. Kemerosotan itu bukan
baru. Peringkat pada 2011 pun merupakan penurunan dua tingkat
dari tahun sebelumnya.
Lebih menyedihkan, daya saing kita lemah tidak hanya jika
dibandingkan dengan negara-negara Barat atau negara maju
Asia, tetapi juga dengan negara tetangga.
Malaysia, meski juga turun empat peringkat, tetap 25 tingkat
lebih berdaya saing jika dibandingkan dengan Indonesia. Negara
kecil Brunei Darussalam pun bisa bangga duduk di posisi ke-28,
sementara Thailand di posisi ke-38.

Peringkat GCI menggambarkan kondisi bisnis suatu negara.
Negara dengan peringkat makin rendah berarti punya makin
banyak faktor penghambat bisnis.
Bagi Indonesia, faktor utama penghambat bisnis itu telah
menjadi penyakit kronis, yakni birokrasi berbelit dan korupsi.

Setiap faktor penghambat bisnis itu diberi nilai 15,4 dan 14,2.
Faktor penghambat lain ialah infrastruktur yang buruk (8,7),
etika kerja buruh yang rendah (7,4), regulasi buruh (6,8), dan
akses ke lembaga keuangan (5,4).
Dengan segudang penyakit itu, negara kita ibarat atlet yang
terseok-seok untuk mencapai finis. Penyakit itu semestinya
diobati saat ini juga. Tidak saja menjauhkan investor, daya saing
yang lemah sesungguhnya juga bisa menggerogoti sendi-sendi
dalam negeri sendiri.
Sejak zaman Adam Smith pun, tangan yang tidak terlihat
(invisible hands) dari pasar hanya bekerja jika produsen barang
dan jasa bersaing. Persaingan itulah yang bisa menekan harga
sekaligus memberikan insentif untuk inovasi.
Dalam hal korupsi, penindakan kasus tanpa tebang pilih harus

dibuktikan lembaga penegak hukum. Pengusutan dan hukuman
harus bisa menjerat para dalang korupsi, bukan sekadar pejabat
kelas rendah dan menengah.
Dalam soal birokrasi, prosedur penyelesaian satu atap yang
sudah didirikan terbukti belum efektif. Birokrasi yang berbelit di
Tanah Air merupakan buah pengadaan pegawai negeri yang tidak
terencana baik.
Gemuknya jumlah pegawai negeri sipil yang tidak seimbang
dengan jumlah pekerjaan akhirnya melahirkan lambannya
kinerja pelayanan negara.
Tidak berhenti di situ, pemerintah juga harus menggenjot
perbaikan dan percepatan infrastruktur di berbagai daerah.

Distribusi barang dan jasa yang selama ini hanya lancar di Pulau
Jawa sudah semestinya diperluas.
Tanpa perbaikan-perbaikan itu, daya saing yang ibarat oksigen
bagi nyala api bangsa tentunya akan cepat habis. Yang tersisa
kemudian hanya gelap karena makin tersisih dari percaturan
dunia.