KONSEP PERANCANGAN BANGUNAN PONDOK BUDAYA JAWA LANDASAN KONSEPTUAL PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PONDOK BUDAYA JAWA DI YOGYAKARTA.

(1)

BAB V

KONSEP PERANCANGAN BANGUNAN PONDOK BUDAYA JAWA

DI YOGYAKARTA

Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta merupakan sebuah fasilitas publik yang esensi kegiatannya bergerak di bidang kebudayaan. Dari bangunan ini diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk melestarikan kebudayaan Jawa. Pencapaian hal tersebut dapat diusahakan dengan pengolahan desain bangunan Pondok Budaya Jawa yang edukatif- rekreatif yang mengandung unsur dinamis, interaktif, dan inspiratif. Selain itu dengan adanya bangunan Pondok Budaya Jawa ini dapat lebih meningkatkan sifat keramahan dan rasa ingin berkumpul sebagai wujud nilai filosofi kemanusiaan orang Jawa.

Setelah melakukan proses analisis yang panjang, maka didapatkan konsep edukatif- rakreatif, keramahan, dan berkumpul di dalam perencanaan dan perancangan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta. Konsep tersebut diantaranya adalah:

- Konsep Hubungan Ruang - Konsep Aksessibilitas - Konsep Zonasi Ruang

- Konsep Gubahan dan Tatanan Massa - Konsep Tata Ruang Luar

- Konsep Sirkulasi dalam Site - Konsep Dimensi Site

- Konsep Material (Struktur dan Warna) - Konsep Struktur

- Konsep Pencahayaan - Konsep Akustik - Konsep Penghawaan


(2)

5.1 Konsep Hubungan Ruang

Setelah mengetahui pola hubungan ruang pada masing- masing fasilitas dalam Pondok Budaya Jawa, maka pola hubungan ruang tersebut dapat diintegrasikan menjadi satu kesatuan dalam desain Pondok Budaya Jawa. Pola hubungan ruang secara keseluruhan dapat menjadi dasar untuk menata ruang luar dan ruang dalam Pondok Budaya Jawa di dalam area tapak. Pola Hubungan keseluruhan ruang dalam Pondok Budaya Jawa secara umum adalah sebagai berikut.

!

! "

!

#

$ %

" % "

% &

%

'

!

!

( )

Gambar 5.1. Bagan Organisasi Bangunan Sumber: Analisis Pribadi, 2014


(3)

5.2 Konsep Aksesibilitas

Gambar 5.2. Konsep Aksessibilitas Sumber : Analisis Penulis, 2014

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa aksesibilitas bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini menonjolkan konsep keramahan dan berkumpul, sehingga sistem aksesibilitasnya dibuat agar mudah diakses oleh pengunjung maupun masyarakat yang ada di sekitarnya.


(4)

5.3 Konsep Zonasi Ruang

Gambar 5.3. Konsep Zonasi Ruang Sumber: Analisis Pribadi, 2014

Bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini dibagi menjadi 6 zona menurut fungsi bangunan. Zona fungsi bangunan tersebut diantaranya adalah zona Pertunjukkan, zona pengelola, zona museum, zona pelatihan, zona wisma, dan zona komersial.


(5)

5.4 Konsep Gubahan Massa dan Tatanan Massa

Bentuk bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta yang dapat mencitrakan kebudayaan Jawa dengan menggunakan pendekatan Neo-Vernakuler adalah sebagai berikut:

Tabel 5.1. Konsep Bentuk Bangunan

4$ #+ < ! $# 0# + 4 $ #+ *

" +# )

• # (

• 0# + *

> +# ( ! ++

# # + > # + +#*

# #$ + 3 + 0

# # # ! # (

# & 2# + *# 0# +

#

* +

0 # +# $#+ $ # * (

$# #$ # (

# # + # $# # #

# # # - * + !

# # $ #+ # &?# + *# % (

# + * ( $# # + ;

Gbr. 5.4. Tranformasi Bentuk Joglo Sumber: www.putumahendra.com E + >& #+ # > $

$ > # +$

> $ ! ++ # # +

*# + $ > ! + #

+ + !# #* $#( #

# * #

# # +$ # # # *

0# + * ( % ( # * + $ $ > $

$ > # +$

Gbr. 5.5. Tranformasi Bentuk Joglo Sumber: www.behance.net Sumber: Analisis Penulis, 2014


(6)

Gambar 5.6. Konsep Gubahan Massa Sumber: Analisis Penulis, 2014

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini terdiri dari 4 blok massa yang dipisahkan menurut fungsi dan kriteria kedekatan ruangnya. Keempat massa bangunan tersebut diantaranya adalah massa 1 digunakan sebagai gedung pertunjukkan dan pengelolaan, massa 2 digunakan sebagai fungsi edukatif yakni ruang museum, perpustakaan, massa 3 digunakan sebagai wisma tamu dengan kapasitas 12 orang per kamar, massa 4 digunakan sebagai wisma tamu dengan kapasitas 2 orang/ kamar, massa 5 digunakan sebagai bangunan latihan tari, Kerawitan dan wayang.

Jika ditinjau dari bentuk massanya, terdapat bangunan yang menggunakan bentuk lengkung. Bentuk lengkung ini diperoleh berdasarkan kata kunci dinamis yakni sifat yang diperoleh dari kata kunci edukatif- rekreatif.


(7)

5.5 Konsep Tata Ruang Luar

Gambar 5.7. Konsep Tata Ruang Luar Sumber: Analisis Penulis, 2014

Tata ruang luar bangunan dibuat sesuai konsep keramahan dan berkumpul yang diaplikasikan seperti gambar diatas. Keramahan diwujudkan dengan meletakkan amphytheter di tempat yang mudah diakses oleh masyarakat sekitar. Amphitheter ini di desain terbuka dengan alam dimana di sekelilingnya ditanami pohon- pohon tinggi yang rindang. Disekitar

amphitheater juga diletakkan lahan terbuka yang dapat digunakan sebagai

lahan bermain untuk anak- anak Fasilitas amphitheater dan ruang bermain inilah yang secara tidak langsung mengundang masyarakat sekitar untuk datang dan mengenal kebudayaan Jawa.

Selain taman yang menghiasi setiap sudut ruang luar bangunan, dapat dijumpai juga kolam ikan yang disertai air mancur. Kolam ikan ini difungsikan sebagai ruang penyegar atau pemecah kebosanan saat melewati ruang- ruang yang berada di sebelumnya.


(8)

5.6 Konsep Sirkulasi dalam Site

Gambar 5.8. Konsep Sirkulasi dalam Site Sumber: Analisis Penulis, 2014

Sirkulasi dalam site Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini menggunakan pola pergerakan linear. Pola ini digunakan untuk menuntun pengunjung melewati jalan pedestrian menuju tiap- tiap obyek yang ditawarkan di Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta.

Obyek yang ditawarkan pada kompleks bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini diantaranya adalah dimulai dari pengunjung datang, menuju ke taman, dapat menuju amphitheater atau langsung menuju gedung pagelaran budaya, masuk ke lobby, masuk ke zona koleksi museum Budaya Jawa, lalu menuju zona pelatihan pembuatan batik dan zona pelatihan pertunjukan, Karawitan, tari, Wayang, setelah itu bagi pengunjung yang menginap dapat menuju wisma budaya, untuk pengunjung yang tidak menginap dapat langsung menuju ke zona komersial yang diantaranya ditawarkan sebuah toko souvenir produk budaya Jawa dan terdapat juga warung Budaya Jawa yang menawarkan hidangan makanan khas Jawa.


(9)

Jalan pedestrian ini menggunakan material grass block, yang bertujuan agar mempermudah peresapan air hujan sehingga terhindar dari genangan air saat hujan.

5.7 Konsep Dimensi Ruang

Berikut ini adalah konsep dimensi ruang yang terdapat pada bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta.

Tabel 5.2. Konsep Dimensi Ruang

( * + ( "

2

5#$# $ $

5 1

1 *#

% 9: "/

" * % % 5 3

5 #+ # $

5 A # $ *

$ >> # #* (

# * $#

5 $ $

5 5

5 3# !

5 4 $

1 *#

% 2;< /<

: *

+ .

3 3 #*

5 5 $

5 # 7

$

5 # *

$ +

5 *

5 * " (

7 % #

1 *# # !

902 <

9 * & @

&

5 - ( 1

<

5 3#

# * * (

0 +

3# $ +


(10)

Sumber: Analisis Penulis, 2014

5.8 Konsep Material (Tekstur dan Warna)

Tabel 5.3. Material Atap

$ % ) 5

# #

# # ( ;77! * # # # + * $

* $ % 7

# # +

# # +

# #

+ # * +#% *

# # + $#* & $#*

# # #

# ! ! * + +#*

$ + +

4 +

( ;77 * $ ( #$ %

)# $ $# # + * ( # * % % + + + # # +* $ + # $ $+ # ( ( ! # *+ +# %

A*#( + # #

4 ( (# #

5 #

=2= :A

/ * % 1 + 0

, 0

*#

29< =9

< + . + $ $ =

+ $ $ =

5 0# $

22;2 A2

A * 6 0# +#* #+ $

5

-5 # $#

/=

= & 3 + , *

3 + ,

3 + , * 3# !

3 + , 3# !

3 + 0 $

9/0 ""


(11)

( $# + +

+ ( +

# # + > $ $

Sumber: Analisis Penulis, 2014

Tabel 5.4. Material Dinding $

%

) 5

0#

0#

( ;77 . %

0# * ( # *

! + + #

# * # +#$ + + (

$$ >

( ;77 $ &! %

* ( #*# # $ #+ # # + $ $ ( 0 * 0 4*

( ;77 $ # #% * $

% 7

0 *

# # + +#$ #

# * #+

$$ > +#! (

#* * !

# # +#$ #

# * 0 *

+ +

* (

$#+ $ #

%

%

( ;77+# + * $ %

% # $ ++

% ( # +$ *

# # * $


(12)

Tabel 5.5. Material Lantai $

%

) 5

3 L # #

-( ;77 #$ # ( % 7

)# $ # * # # +#$ ( )# $ % % + + # # + ' # +! '

( ;77 #* ? %

)# $ +# + + # + # $# # $ # + # !# $ # #$ + # #*#$# $# + *#( 1# #* +

1# #* 0 +

( ;77 # #$ %

)# $ # #* +

$ + ( * +

# # + +#$ $ >

# ! #* ! $# # * ( # + #* * ! % % + + + * # + + $ # + $

( ;77 #$ + *

$

* $ %

)# $ +# + # * + #+$

*# ( + $ +

+ + #

# $ > + * %

Sumber: Analisis Penulis, 2014

5.9 Konsep Struktur

Struktur pada setiap bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini berbeda- beda. Dengan bentuk massa yang beragam, dan beban yang beragam pula, maka sistem struktur yang digunakan berbeda- beda dan tersendiri.

Sistem struktur yang akan digunkan adalah system rangka kaku dengan beton bertulang dan profil baja. Penataan pola kolom berdasarkan pola bentuk bangunan pada Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta,


(13)

misalnya bentuk- bentuk seperti radial memerlukan tatanan khusus dan bentuk bentuk persegi dengan penataan grid tertentu.

Gambar 5.19: Sistem Struktur Sumber : Analisis Penulis, 2014

5.10 Konsep Pencahayaan

Pencahayaan pada bangunan Pondok Budaya ini dimaksimalkan dengan menggunakan pencahayaan alami dimana setiap ruangan harus terdapat jendela. Pencahayaan alami dimaksimalkan pada pagi dan siang hari sedangkan pada malam hari menggunakan pencahayaan buatan yakni lampu. Setiap ruangan menggunakan jenis lampu yang berbeda tergantung fungsi ruangan.

Khusus pada ruang museum dan galeri menggunakan jenis lampu

hologen. Lampu jenis ini berfungsi untuk memfokuskan pandangan pada

obyek. Lampu jenis ini memiliki keunggulan tersendiri untuk obyek yang disorot, keunggulan itu ialah cahaya yang dihasilkan tampak lebih berkilau dan terkesan glossy yang menambah kesan dramatis dan keemasan pada obyek yang disorot.

(ii) (ii) (i) Gambar 5.20. Lampu Hologen

Sumber: http://archive.kaskus.co.id

(ii) Gambar 5.21. Pengaplikasian Lampu Hologen

Sumber:http://pakaianbatiktulismadura.wordpress.com/2012/07/26/pencahayaa n-seni-atau-photo-gallery/


(14)

Pada ruang pertunjukan budaya menggunakan pencahayaan buatan yakni jenis lampu LED spot light. Jenis lampu ini memiliki keunggulan untuk menciptakan suasana termasuk adanya perasaan atau efek kejiwaan yang diciptakan oleh pemeran dengan di dukung oleh cahaya ini. Selain itu lampu ini juga dapat membantu membuat komposisi dengan cahaya sebagai elemen rancangan. Hal ini terkait dengan kebutuhan sekenario, obyek mana yang harus disorot dengan intensitas yang rendah/ tinggi hingga berkomposisi bagus, pola- pola bayangan juga harus diperhatikan.

(i) (ii)

(i) Gambar 5.22. Lampu LED Alumunium Raja Par 36 Cahaya 7 CH http://indonesian.ledstagelightingfixtures.com

(ii) Gambar 5.23. Pengaplikasian Lampu Spot light http://imam-marjinalpredator.blogspot.com/

5.11 Konsep Akustik

Konsep akustika untuk kompleks bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini adalah ditekankan pada bangunan- bangunan yang mengharuskan suasana dengan konsentrasi yang tinggi, misalnya pada galeri seni, studio, perpustakaan, hunian, dan ruang workshop. Pencegahan kebisingan dilakukan dengan membuat barrier yang langsung berhadapan dengan sumber kebisingan (jalan raya).

Untuk mereduksi kebisingan yang masuk ke dalam ruangan, dinding harus dilapisi dengan material- material akustik. Perletakan bukaan yang dapat memasukkan gelombang suara ke dalam bangunan harus tidak berhadapan dengan sumber kebisingan.


(15)

Gambar 5.24. Glasswool pelapis dinding dan rongga penyerap untuk barier. Sumber: Hand out perkuliahan Akustika Ir. A. Djiko Istiadji, MSc.Bld. Sc

Sistem akustik lebih difokuskan pada fungsi ruang pertunjukan tari, gamelan, dan teater. Persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan oleh Doelle (1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan kualitas suara yang baik, secara garis besar gedung pertunjukan harus memenuhi syarat : kekerasan (loudness) yang cukup, bentuk ruang yang tepat, distribusi energi bunyi merata dalam ruang, dan ruang harus bebas dari cacat- cacat akustik.

5.12 Konsep Penghawaan

Sistem penghawaan pada bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta adalah mengutamaan pengudaraan dengan sistem alami. Sistem ini dilakukan dengan melalui bukaan- bukaan secara maksimal. Untuk bangunan dengan kriteria khusus seperti galeri atau museum yang membutuhkan udara yang bersih dan bebas dari debu yang dapat mengakibatkan karya yang dipajang berjamur maka diperlukan Air

Conditional (AC). Berikut adalah data ruang yang menggunakan AC dan

yang hanya menggunakan pengudaraan alami.

Tabel 5.6. Penggunaan AC pada Ruang

7

# # ! + # + &

$# #

5 * ( # # $ + # + &

# + # + &&

5 #

5 $+ $ #

5 + # !

% >#

# + &


(16)

5 # #* * # + &

5 3# = # + &

5 3# = # + &

Sumber : Analisis Penulis, 2014

Keterangan: = ya

- = tidak

5.13.Konsep Pencegahan dan Penanggulangan Kondisi Darurat 5.13.1. Kontruksi Tahan Api

Kontruksi bangunan Pondok Budaya Jawa ini didesain agar mampu menahan bangunan agar saat terjadi kebakaran dapat menahan beban bangunan agar tidak menimpa pengguna yang berada di bawahnya. Definisi tersebut menyatakan beberapa ketentuan yang terkait pada kemampuan struktur untuk than terhadap api tanpa mengalami perubahan bentuk (deformasi) yang berarti, dan mencegah menjalarnya api ke seluruh bangunan. Dengan demikian, setiap komponen bangunan, dinding, lantai, kolom, dan balok harus dapat tetap bertahan dan dapat menyelamatkan isi bangunan, meskipun bangunan dalam keadaaan terbakar.

Pada bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini akan menggunakan struktur beton bertulang (kolom, balok, plat) yang mampu bertahan terhadap api. Kemudian sebagian struktur yang menggunakan baja, terlebih dahulu dilapisi oleh cat tahan api atau vermiculite.

5.13.2. Pintu Darurat

Syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan pintu darurat adalah sebagai berikut:

a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang- kurangnya dua jam. b. Pintu harus dilngkapi dengan tiga engsel.


(17)

Gambar 5.25. Pintu Darurat Sumber: http://d.yimg.com/kq/groups

c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatis

(door closer).

d. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tngkai pembuka pintu yang berada di luar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga), dan sebaliknya menggunakan tuas pembuka yang memudahkan terutama dalam keadaan panic (panic bar).

e. Perlu dilengkapi tanda peringatan: “TANGGA DARURAT TUTUP KEMBALI”.

f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api dengan luas maksimal 1 m2 dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.

g. Pintu harus dicat dengan warna merah.

5.13.3. Detektor Kebakaran

Pada Pondok Budaya ini memiliki ruang- ruang yang harus dijauhkan dari bahaya api karena nilai barang yang ada di dalamnya yang fantastis atau mungkin barang peninggalan sejarah yang harus dilindungi, ruang tersebut adalah museum dan galeri. Oleh sebab itu perlu adanya alat detektor kebakaran yang berfungsi untuk mendeteksi kebakaran agar barang- barang yang ada di dalamnya lebih cepat diselamatkan. Berikut adalah detektor kebakaran yang akan digunakan di bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta sebagai berikut:


(18)

Gambar 5.27. Fire Detector

Sumber: http://www.agenalatpemadamapi.com/smoke-detector/

5.13.4. Hidran

Hidran pada komplek bangunan Pondok budaya ini diletakkan pada tengah site, hal ini dimaksudkan agar mudah dijangkau oleh semua bangunan pada saat terjadi kebakaran.

Gambar 5.27. Hidran


(19)

DAFTAR PUSTAKA

-Daftar Buku-

Chiara, J.D. 2001. Time Saver Standars For Building Types – Fourth Edition. New

York: McGraw-Hill Book Company.

Chiara, J.D dan Lee E.Koppelman. 1989. Standar Perencanaan Tapak. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ching, F.D.K. 2007. Architecture: Dorm, Space, and Order. Canada: John Wiley &

Sons, Inc.

Ernest, Neufert. 1980. Architect’s Data 2nd Edition. London: Crossby Lockwood Staples.

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka

Mangunwijaya, Y.B. 2009, Wastu Citra, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 52

Susanto, Mikke. 2003. Membongkar Seni Rupa. Yogyakarta: Jendela. White, E.T. 2000. Analisis Tapak. Florida A&M University.

White, E.T. Concept Source Book – A Vocabulary of Architectural Forms. Arizona:


(20)

-Daftar Referensi-

Budijanto, Aloysius

1994 GEREJA POHSARANG SEBAGAI BANGUNAN IBADAT MENURUT BUDAYA JAWA, Tesis S 2 Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Hadiwikarta, Johanes

1999 PUHSARANG, tempo Doeloe dan di tahun 2000 Mahatmanto

2001 REPRESENTASI DALAM HISTORIGRAFI ARSITEKTUR KOLONIAL DI INDONESIA. Tesis S 2 Program Magister Arsitektur Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung

Hidayatun, Maria I.

2005 BELAJAR ARSITEKTUR NUSANTARA DARI GEREJA PUHSARANG KEDIRI TINJAUAN KE-BHINEKA TUNGGAL IKA-AN. Laboratorium Sejarah dan Teori Arsitektur Jur. Arsitektur FTSP. UK Petra

Hidayatun, Maria I

1999 PENDHAPA DALAM ERA MODERNISASI: Bentuk, Fungsi, dan Makna

Pendhapa pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan”. Dimensi

Teknik Arsitektur, 27, hal. 37-46. Santosa, R.B.

2000 OMAH: Membaca Makna Rumah JAwa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Suhardi

1986 “KONSEP SANGKAN PARAN DAN UPACARA SELAMATAN” dalam Budaya Jawa. Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. (Soedarsono dkk., ed). Yogyakarta: Dep. P & K Dirjen Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajiann Kebudayaan Nusantara.

Jessup H.

1975 MACLAINE PONT’S ARCHITECTURE IN INDONESIA, Report January

Prijotomo, Josef

2002 GLOBALISASI DAN ARSItEKTUR NUSANTARA: NO ACTION TALK ONLY, Makalah Seminar Nasional Nasional “Kematian Arsitektur Tradisional, Atmajaya Yogyakarta.


(1)

Gambar 5.24. Glasswool pelapis dinding dan rongga penyerap untuk barier. Sumber: Hand out perkuliahan Akustika Ir. A. Djiko Istiadji, MSc.Bld. Sc

Sistem akustik lebih difokuskan pada fungsi ruang pertunjukan tari, gamelan, dan teater. Persyaratan tata akustik gedung pertunjukan yang baik dikemukakan oleh Doelle (1990:54) yang menyebutkan bahwa untuk menghasilkan kualitas suara yang baik, secara garis besar gedung pertunjukan harus memenuhi syarat : kekerasan (loudness) yang cukup, bentuk ruang yang tepat, distribusi energi bunyi merata dalam ruang, dan ruang harus bebas dari cacat- cacat akustik.

5.12 Konsep Penghawaan

Sistem penghawaan pada bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta adalah mengutamaan pengudaraan dengan sistem alami. Sistem ini dilakukan dengan melalui bukaan- bukaan secara maksimal. Untuk bangunan dengan kriteria khusus seperti galeri atau museum yang membutuhkan udara yang bersih dan bebas dari debu yang dapat mengakibatkan karya yang dipajang berjamur maka diperlukan Air Conditional (AC). Berikut adalah data ruang yang menggunakan AC dan yang hanya menggunakan pengudaraan alami.

Tabel 5.6. Penggunaan AC pada Ruang

7

# # ! + # + &

$# #

5 * ( # # $ + # + &

# + # + &&

5 #

5 $+ $ #


(2)

5 # #* * # + &

5 3# = # + &

5 3# = # + &

Sumber : Analisis Penulis, 2014 Keterangan:

= ya

- = tidak

5.13.Konsep Pencegahan dan Penanggulangan Kondisi Darurat 5.13.1. Kontruksi Tahan Api

Kontruksi bangunan Pondok Budaya Jawa ini didesain agar mampu menahan bangunan agar saat terjadi kebakaran dapat menahan beban bangunan agar tidak menimpa pengguna yang berada di bawahnya. Definisi tersebut menyatakan beberapa ketentuan yang terkait pada kemampuan struktur untuk than terhadap api tanpa mengalami perubahan bentuk (deformasi) yang berarti, dan mencegah menjalarnya api ke seluruh bangunan. Dengan demikian, setiap komponen bangunan, dinding, lantai, kolom, dan balok harus dapat tetap bertahan dan dapat menyelamatkan isi bangunan, meskipun bangunan dalam keadaaan terbakar.

Pada bangunan Pondok Budaya Jawa di Yogyakarta ini akan menggunakan struktur beton bertulang (kolom, balok, plat) yang mampu bertahan terhadap api. Kemudian sebagian struktur yang menggunakan baja, terlebih dahulu dilapisi oleh cat tahan api atau vermiculite.

5.13.2. Pintu Darurat

Syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan pintu darurat adalah sebagai berikut:

a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang- kurangnya dua jam. b. Pintu harus dilngkapi dengan tiga engsel.


(3)

Gambar 5.25. Pintu Darurat Sumber: http://d.yimg.com/kq/groups

c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup pintu otomatis (door closer).

d. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tngkai pembuka pintu yang berada di luar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga), dan sebaliknya menggunakan tuas pembuka yang memudahkan terutama dalam keadaan panic (panic bar).

e. Perlu dilengkapi tanda peringatan: “TANGGA DARURAT TUTUP KEMBALI”.

f. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api dengan luas maksimal 1 m2 dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.

g. Pintu harus dicat dengan warna merah.

5.13.3. Detektor Kebakaran

Pada Pondok Budaya ini memiliki ruang- ruang yang harus dijauhkan dari bahaya api karena nilai barang yang ada di dalamnya yang fantastis atau mungkin barang peninggalan sejarah yang harus dilindungi, ruang tersebut adalah museum dan galeri. Oleh sebab itu perlu adanya alat detektor kebakaran yang berfungsi untuk mendeteksi kebakaran agar barang- barang yang ada di dalamnya lebih cepat diselamatkan. Berikut adalah detektor kebakaran yang akan digunakan di bangunan Pondok Budaya Jawa


(4)

Gambar 5.27. Fire Detector

Sumber: http://www.agenalatpemadamapi.com/smoke-detector/

5.13.4. Hidran

Hidran pada komplek bangunan Pondok budaya ini diletakkan pada tengah site, hal ini dimaksudkan agar mudah dijangkau oleh semua bangunan pada saat terjadi kebakaran.

Gambar 5.27. Hidran


(5)

DAFTAR PUSTAKA

-Daftar Buku-

Chiara, J.D. 2001. Time Saver Standars For Building Types – Fourth Edition. New

York: McGraw-Hill Book Company.

Chiara, J.D dan Lee E.Koppelman. 1989. Standar Perencanaan Tapak. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ching, F.D.K. 2007. Architecture: Dorm, Space, and Order. Canada: John Wiley &

Sons, Inc.

Ernest, Neufert. 1980. Architect’s Data 2nd Edition. London: Crossby Lockwood Staples.

Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka

Mangunwijaya, Y.B. 2009, Wastu Citra, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 52

Susanto, Mikke. 2003. Membongkar Seni Rupa. Yogyakarta: Jendela. White, E.T. 2000. Analisis Tapak. Florida A&M University.

White, E.T. Concept Source Book – A Vocabulary of Architectural Forms. Arizona:


(6)

-Daftar Referensi- Budijanto, Aloysius

1994 GEREJA POHSARANG SEBAGAI BANGUNAN IBADAT MENURUT BUDAYA JAWA, Tesis S 2 Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Hadiwikarta, Johanes

1999 PUHSARANG, tempo Doeloe dan di tahun 2000 Mahatmanto

2001 REPRESENTASI DALAM HISTORIGRAFI ARSITEKTUR KOLONIAL DI INDONESIA. Tesis S 2 Program Magister Arsitektur Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung

Hidayatun, Maria I.

2005 BELAJAR ARSITEKTUR NUSANTARA DARI GEREJA PUHSARANG KEDIRI TINJAUAN KE-BHINEKA TUNGGAL IKA-AN. Laboratorium Sejarah dan Teori Arsitektur Jur. Arsitektur FTSP. UK Petra

Hidayatun, Maria I

1999 PENDHAPA DALAM ERA MODERNISASI: Bentuk, Fungsi, dan Makna Pendhapa pada Arsitektur Jawa dalam Perubahan Kebudayaan”. Dimensi Teknik Arsitektur, 27, hal. 37-46.

Santosa, R.B.

2000 OMAH: Membaca Makna Rumah JAwa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Suhardi

1986 “KONSEP SANGKAN PARAN DAN UPACARA SELAMATAN” dalam Budaya Jawa. Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa. (Soedarsono dkk., ed). Yogyakarta: Dep. P & K Dirjen Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajiann Kebudayaan Nusantara.

Jessup H.

1975 MACLAINE PONT’S ARCHITECTURE IN INDONESIA, Report January

Prijotomo, Josef

2002 GLOBALISASI DAN ARSItEKTUR NUSANTARA: NO ACTION TALK ONLY, Makalah Seminar Nasional Nasional “Kematian Arsitektur Tradisional, Atmajaya Yogyakarta.