Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran Terhadap Pertumbuhan Dan Produktivitas Dioscorea Esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)

PENGUJIAN BEBERAPA TARAF TINGGI
LANJARAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKTIVITAS Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.
(Combilium)

Oleh
Muhammad Siddiq Mirza
A34101048

PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

PENGUJIAN BEBERAPA TARAF TINGGI
LANJARAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKTIVITAS Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.
(Combilium)

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Muhammad Siddiq Mirza
A34101048

PROGRAM STUDI AGRONOMI
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

RINGKASAN

Muhammad Siddiq Mirza. Pengujian Beberapa Taraf Tinggi Lanjaran
Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.
(Combilium). (Dibimbing Oleh Eko Sulistyono)
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui tinggi lanjaran optimum
terhadap pertumbuhan dan produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.
(Combilium) yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan IPB Sawah Baru

pada bulan Desember 2004 - Juli 2005.
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor,
yaitu tinggi lanjaran yang terdiri dari empat taraf perlakuan (tanpa lanjaran
sebagai kontrol, 50 cm, 100 cm, dan 150 cm) dengan 3 ulangan. Pengaruh dari
seluruh perlakuan dilihat dengan menggunakan uji-F dengan menggunakan uji
lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5% dan 1%.
Keeratan hubungan atau korelasi linier antara peubah vegetatif dengan peubah
produksi dianalisis dengan menggunakan uji korelasi.
Penanaman bibit dilakukan dalam lubang dengan jarak tanam 100 cm x 50
cm. Pupuk yang diberikan terdiri dari pupuk kandang dan pupuk anorganik.
Pupuk kandang diberikan pada saat penanaman, sedangkan pemberian pupuk
anorganik dilakukan 10 minggu setelah tanam (MST) dengan cara disebar di
sekeliling tanaman sedalam 5 cm. Pemasangan lanjaran dilakukan ketika tanaman
berumur 7 MST.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemasangan lanjaran berpengaruh
nyata untuk semua peubah vegetatif mulai 10 MST atau dua minggu setelah
perlakuan. Nilai tertinggi untuk semua peubah vegetatif dihasilkan oleh tinggi
lanjaran 150 cm. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman cenderung meningkat
pada 8-16 MST untuk semua perlakuan. Nilai bobot umbi basah dan kering per
tanaman tertinggi dihasilkan oleh lanjaran 150 cm, sedangkan terendah dihasilkan

oleh kontrol (tanpa lanjaran). Korelasi antara peubah vegetatif dengan peubah
panen menunjukkan nilai positif dan berbeda nyata.
Kesimpulan dari percobaan ini adalah secara keseluruhan pertumbuhan
vegetatif tanaman dipengaruhi secara nyata oleh tinggi lanjaran, dan lanjaran 150
cm menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang terbaik dibanding taraf perlakuan
lain. Lanjaran 150 cm dapat meningkatkan produksi umbi segar 70% dan bobot
umbi kering 96% dari hasil kontrol per tanaman. Nilai-nilai yang besar dari
peubah vegetatif cenderung untuk terjadi bersama-sama dengan nilai-nilai yang
besar dari peubah produksi

Judul

:PENGUJIAN

BEBERAPA

TARAF

TINGGI


LANJARAN

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS Dioscorea
esculenta (Lour.) Burk. (Combilium)
Nama : Muhammad Siddiq Mirza
NRP

: A34101048

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi
NIP : 131667779

Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr
NIP : 130422698


Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara pada
tanggal 1 April 1983. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari
pasangan suami istri bapak Mirza Jacob dan Juriah Sitinjak.
Tahun 1995 penulis lulus dari SD Muhammadiyah Pematangsiantar,
kemudian pada tahun 1998 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 1
Pematangsiantar. Selanjutnya pada tahun 2001 penulis lulus dari SMUN2
Pematangsiantar
Penulis diterima di IPB melalui jalur UMPTN tahun 2001 sebagai
mahasiswa Program Studi Agronomi, Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas
Pertanian.
Selama mengikuti studi, penulis pernah menjadi asisten lapang untuk mata
kuliah Ekologi Tanaman pada semester ganjil 2004/2005 dan mata kuliah
Tanaman Pangan Utama pada semester genap 2004/2005. Selain itu, penulis
merupakan salah satu penerima Beasiswa PT. Indocement pada periode
2004/2005.


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
mengaruniakan taufik dan hidayah-Nya sehingga tugas akhir ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penelitian pengujian beberapa taraf lanjaran pada tanaman Dioscorea
esculenta terdorong oleh keinginan penulis untuk memasyarakatkan dan
mengangkat kembali tanaman umbi-umbian potensial yang hampir terlupakan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Babakan IPB, sawah baruDramaga.
Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dr. Ir. Eko sulistyono, MSi
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi, Ir. Sugiyanta, MSi selaku dosen pembimbing akademik selama
penulis studi di IPB, Dr. Ir. Maya Melati, MS dan Ir. A. Pieter Lontoh, MSi
sebagai dosen penguji, dan kedua orangtua beserta keluarga yang telah
memberikan dorongan moril dan materi, serta seluruh teman dan sahabat yang
telah membantu dan berjuang bersama-sama selama di IPB.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi yang
membutuhkan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Bogor, 15 Desember 2005
Penulis


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................

ix

PENDAHULUAN ............................................................................

1

Latar Belakang .......................................................................
Tujuan ...................................................................................
Hipotesis ................................................................................

1

2
2

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

3

Taksonomi dan Penyebaran....................................................
Syarat Tumbuh ......................................................................
Siklus Hidup dan Produksi ....................................................
Tipe Perbanyakan ..................................................................
Lanjaran ................................................................................
Hama Penyakit ......................................................................
Cara dan Waktu Pemanenan...................................................

3
6
7
8
9

11
12

METODOLOGI ................................................................................

13

Tempat dan Waktu ...............................................................
Bahan dan Alat .....................................................................
Metode Penelitian .................................................................
Pelaksanaan Kegiatan ...........................................................
Pengamatan ..........................................................................

13
13
13
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................


17

Kondisi Umum .....................................................................
Tinggi Tanaman ...................................................................
Jumlah Daun .........................................................................
Panjang Daun .......................................................................
Lebar Daun ...........................................................................
Indeks Luas Daun .................................................................
Peubah Produksi ...................................................................
Korelasi Antara Peubah Vegetatif dengan Peubah Produksi ..
Pertumbuhan Vegetatif .........................................................
Peubah Hasil Produksi ..........................................................

17
19
20
22
23
25

26
28
29
33

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................

35

Kesimpulan ..........................................................................
Saran ....................................................................................

35
35

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

36

LAMPIRAN .....................................................................................

39

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

Teks
1.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa
Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Pertumbuhan Tanaman
Dioscorea esculenta .......................................................

18

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa
Taraf Tinggi Lanjaran terhadap Produktivitas Tanaman
Dioscorea esculenta .......................................................

19

Tinggi Tanaman pada Empat Taraf Tinggi
Lanjaran ........................................................................

20

Jumlah Daun pada Empat Taraf Tinggi
Lanjaran .........................................................................

21

Panjang Daun pada Empat Taraf Tinggi
Lanjaran ........................................................................

23

Lebar Daun pada Empat Taraf Tinggi
Lanjaran .........................................................................

24

7

ILD pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran .........................

25

8.

Peubah Hasil Produksi per Tanaman pada Empat Taraf
Tinggi Lanjaran .............................................................

27

2.

3.
4.
5.
6.

Lampiran
1.

Sidik Ragam Tinggi Tanaman 8-23 MST .......................

39

2.

Sidik Ragam Jumlah Daun 8-23 MST ............................

40

3.

Sidik Ragam Panjang Daun 8-23 MST ...........................

42

4.

Sidik Ragam Lebar Daun 8-23 MST ..............................

43

5.

Sidik Ragam Indeks Luas daun 8-23 MST .....................

45

6.

Sidik Ragam Bobot Basah Akar .....................................

46

7.

Sidik Ragam Bobot Kering Akar ...................................

46

8.

Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk ...................................

47

9.

Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk ..................................

47

10.

Sidik Ragam Bobot Basah Umbi ....................................

47

11.

Sidik Ragam Bobot Kering Umbi ..................................

47

12.

Sidik Ragam Panjang Umbi ...........................................

47

13.

Sidik Ragam Diameter Umbi .........................................

48

14.

Nilai Titik Kritis Uji DMRT ..........................................

48

15.

Korelasi Tinggi Tanaman dengan Peubah Produksi .......

50

16.

Korelasi Jumlah Daun dengan Peubah Produksi .............

50

17.

Korelasi Lebar Daun dengan Peubah Produksi ...............

51

18.

Korelasi Panjang Daun dengan Peubah Produksi ...........

51

19.

Korelasi ILD dengan Peubah Produksi ...........................

51

20.

Data Klimatologi ...........................................................

53

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman
Teks

1. Tipe Lanjaran untuk Tanaman Dioscorea esculenta ............

10

2. Hubungan Luas Daun dengan Panjang Kali Lebar Daun ....

15

3. Tinggi Tanaman .................................................................

20

4. Jumlah Daun .......................................................................

21

5. Panjang Daun .....................................................................

23

6. Lebar Daun .........................................................................

24

7. Indeks Luas Daun ...............................................................

26

8. Peubah Hasil Produksi.........................................................

27

Lampiran
1. Denah Rancangan Percobaan .................................................

52

2. Keadaan Tanaman Sebelum Perlakuan pada 7 MST ..............

54

3. Keadaan Tanaman Setelah Perlakuan pada 12 MST ..............

54

4. Penampilan Tanaman pada Setiap Taraf Perlakuan ................

55

5. Penampilan Umbi pada Setiap Taraf Perlakuan .....................

56

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman umbi-umbian merupakan sumber pangan karbohidrat penting
yang memproduksi dan menyimpan pati dalam organ penyimpanan dalam tanah
berupa akar, umbi, dan stolon. Salah satu sumber karbohidrat dari kelompok
umbi-umbian yang ada di Indonesia dan belum banyak dikembangkan dan
dimanfaatkan adalah Dioscorea spp. (yam). Menurut Lingga (1989) di dunia jenis
ini terdapat sekitar 600 jenis dan hanya sebagian kecil saja dari jenis-jenisnya
yang dibudidayakan untuk diambil umbinya sebagai bahan pangan, obat-obatan,
racun, dan keperluan lainnya. Jenis-jenis yang dibudidayakan pun masih banyak
yang tumbuh liar seperti di hutan-hutan, hutan bambu, hutan jati, dan lain-lain.
Karena bagi penduduk yang tinggal dekat dengan kawasan hutan lebih banyak
memungut hasil di tempat tersebut daripada sengaja menanamnya.
Menurut Sediaoetama (1996) nutrisi uwi (yam) adalah pati 19.8%, lemak
0.2% dan protein 2.0% dan bila dibandingkan dengan kandungan nutrisi kentang
(pati 19.1%, lemak 0.1% dan protein 2.0%), ketela pohon (pati 34.7%, lemak
0.3% dan protein 1.2%), serta ubi jalar (pati 27.8%, lemak 0.7% dan protein
1.8%) tidak terlalu jauh berbeda. Sejak dahulu umbi ini sudah dikenal dan
dikonsumsi masyarakat Indonesia terutama di wilayah Maluku, Nusa Tenggara
dan Sulawesi dalam bentuk gaplek sebagai pengganti beras atau sagu pada saat
rawan pangan.
FAO (1993) menyatakan bahwa luas areal tanaman Dioscorea spp. di
Indonesia belum sampai 1 000 ha dan data luas areal untuk Asia Tenggara adalah
19 ribu ha dengan produksi 249 ribu ton. Data ini menunjukkan bahwa
pengembangan kurang maksimal terutama di Indonesia. Umbi Dioscorea spp. di
negara Afrika Barat dan Filipina digunakan sebagai makanan pokok, selain itu
dapat juga digunakan sebagai bahan baku pati, alkohol, obat luka dan insektisida.
Salah satu spesies Dioscorea spp. yang merupakan penghasil karbohidrat
potensial yang telah dikenal oleh petani dan dibudidayakan secara tradisional
adalah Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium) (Flack dan Rumawas
dalam Partohardjono, 2001). Di Indonesia, pengembangan tanaman ini belum

mendapat perhatian karena informasi tentang tanaman tersebut sangat terbatas.
Karakterisasi maupun teknik budidayanya belum banyak diketahui, sehingga
prospektif tanaman ini belum terlihat jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian-penelitian untuk mencari dan memperdalam informasi tentang tanaman
ini. Salah satu aspek budidaya yang penting diketahui untuk pengembangan
komoditi ini di daerah beriklim basah adalah penggunaan lanjaran (staking)
sebagai dukungan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Budidaya yam
tanpa lanjaran di daerah-daerah ini menimbulkan masalah dalam hal pengendalian
gulma, penyakit daun dan batang, serta mengurangi hasil tanaman (Wilson and
Akapa, 1981).
Lanjaran merupakan teknik pengaturan pertumbuhan tanaman secara fisik
yang dapat mengatur bentuk, ukuran, dan arah tanaman. Menurut Janick dalam
Maryasa (1990) penggunaan lanjaran menyebabkan pemakaian ruang oleh
tanaman menjadi lebih efisien, mempercepat masa pembungaan, memperpanjang
masa produktif, dan memperluas areal tangkapan sinar matahari. Seandainya
sosialisasi dan pengenalan teknik budidaya terus dilakukan, kemungkinan besar
tanaman ini dapat dikembangkan dengan baik untuk diversifikasi pangan maupun
mengurangi ketergantungan kita terhadap komoditi beras yang setiap tahunnya
menjadi masalah politis dan klasik di negara Indonesia.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinggi lanjaran optimum
terhadap pertumbuhan dan produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk.
(Combilium)

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Tinggi lanjaran mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas terbaik.
2. Adanya korelasi antara peubah-peubah vegetatif dengan peubah-peubah
produksi.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Penyebaran
Dioscorea adalah satu dari tiga genera anggota famili Dioscoreaceae, dari
ordo liliales, kelas Monocotydoledoneae. Dioscorea merupakan genus yang
paling besar dan penting dari famili Dioscoreaceae dibanding dengan kedua
anggota genera yang lain yaitu Rajanta dan Tamus (Tjondronegoro, 1991).
Dioscorea merupakan tanaman dioeceous, dimana bunga jantan dan betina
terdapat pada tanaman yang berbeda (Lingga, 1989). Urutan taksonomi tanaman
dari yang tertinggi adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plant/Tumbuhan

Subkingdom : Tracheobionta/Tumbuhan Berpembuluh
Superdivisi

: Spermatophyta/Tumbuhan Berbiji

Divisi

: Magnoliophyta/Tumbuhan Berbunga

Kelas

: Liliopsida/Monokotil

Subkelas

: Lilidae

Ordo

: Liliales

Famili

: Dioscoreaceae/Yam Family

Genus

: Dioscorea L./Yam

Spesies

: Dioscorea esculenta (Lour.) Burkill/Lesser yam

(O'Hair, 1990)
Dioscorea esculenta dikenal juga dengan istilah lesser yam atau chinese
yam. Beberapa nama daerah yang lazim digunakan di Indonesia adalah sebagai
berikut: huwi teropong, huwi landak, huwi kemayung (Sunda); ubi torak, ubi
teropong (Melayu); uwi sayavu (Sulawesi Utara); ubi opang, opa (Sulawesi
Selatan); lame, cengka (Sulawesi); bihaun (Bali); kaburan (Madura); katilin
(Seram); nale (Irian Jaya bagian Selatan) (Sudiarta, 1979). Nama-nama daerah
lain, diantaranya gembili, sudo, ubi aung, ubi jahe, dan huwi butul (Indobiogen,
2005).
Tanaman ini berbatang tipis, berduri, dan berbentuk silinder serta
membelit ke kiri. Jumlah daunnya sedikit dan berwarna hijau muda serta
berbentuk ginjal. Tipe daunnya adalah bertipe tunggal dan tersusun berselingan

pada cabang. Dasar petiol diperbesar oleh tiga sampai empat duri yang menonjol,
pada akar juga terdapat duri. Bunganya tersusun dalam bulir yang berwarna hijau
kekuningan (Sastrapradja, 1977). Tetapi, pembungaan jarang terjadi pada tipe
yang dibudidayakan. Umbinya banyak dan bentuknya bulat sampai bulat panjang
serta berukuran kecil. Tanaman ini biasanya hanya memproduksi satu atau dua
umbi yang berukuran besar, tidak seperti kebanyakan Dioscorea spp. lain. Setiap
tanaman bisa menghasilkan 5-20 umbi. Setiap umbi tumbuh di ujung stolon yang
panjangnya kira-kira 5-50 cm. Umbi dewasa memiliki ukuran panjang 8-20 cm,
diameter 2-5 cm, dan berat mencapai 100-200 g. Daging umbinya putih sampai
putih kekuningan. Umbi berkulit tipis, licin, dan berwarna coklat kekuningan serta
memiliki kandungan karbohidrat yang berjaring lebih halus daripada jenis yam
lain, ubi kayu, dan ubi jalar (Onwueme, 1978).
Tumbuhan dengan seluruh permukaannya diliputi rambut lembut
berbentuk T. Percabangan terdiri atas satu cabang atau lebih, berpenampang
lintang bulat panjang, berduri rapat pada bagian pangkalnya dan makin berkurang
pada bagian atas. Seluruh ruas pangkal batang berduri sedangkan pertengahan
batang hanya berduri pada buku-buku saja, masing-masing pangkal tangkai daun
berduri pada tepinya. Daun kebanyakan berukuran 10 cm x 10 cm, kadang-kadang
dapat juga mencapai 15 cm x 17 cm, dengan ujung daun meruncing; tangkai daun
1-1.5 panjang helai daun, kadang-kadang dengan duri-duri kecil diantara rambutrambut lembut pada permukaan helai daun (Sudiarta, 1979).
Sumbu bunga majemuk jantan tumbuh satu-satu di ketiak daun; karangan
bunga sekaligus berupa sebuah payung-menggarpu atau kadang-kadang terdiri
atas 2-4 buah payung-menggarpu kecil; mengandung bunga sekitar 70 kuntum
atau lebih; sumbu bunga agak bersegi. Daun pelindung berbentuk bulat telur
meruncing, lebarnya 2.5 mm. Tangkai bunga berukuran 1.5 mm, namun biasanya
hampir-hampir berukuran 0 mm, sehingga merupakan bunga duduk (tak
bertangkai). Dasar bunga jantan berbentuk cawan ceper (mendatar). Tenda bunga
terluar berbentuk lebar-melembing, berujung runcing, berukuran 1.75 mm, tenda
bunga bagian dalam berukuran lebih kecil dan tidak jelas. Sumbu-sumbu bunga
betina muncul satu-satu dari ketiak daun bagian atas, panjangnya 40 mm,
melengkung agak bersegi. Daun pelindung berbentuk bulat telur, berujung

meruncing, berukuran 2 mm. Tangkai bunga betina sangat pendek. Dasar bunga
hampir berbentuk tabung. Tenda bunga terluar berbentuk bulat-bulat melembing,
berujung tumpul, berukuran 1.5 mm, tenda bunga bagian dalam berujung lebih
runcing. Buah kotak sejati terpilin, berukuran 27 mm x 12 mm, berujung agak
berlekuk dan berpangkal agak terputus, dan biji-bijinya bersayap (Sudiarta, 1979).
Dioscorea esculenta merupakan tumbuhan yang berasal dari Muang Thai
dan Indo-Cina kemudian menyebar ke Asia Tenggara, Madagaskar, India Utara,
dan New Guinea. Di Indonesia, jenis ini tersebar mulai dari Sulawesi, Buton
sampai ke Maluku, dan telah lama dikenal pula di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara
(Barat dan Timur) (Sudiarta, 1979). Umumnya telah dibudidayakan dan jarang
ditemukan tumbuh liar. Beberapa tipe liar dari spesies ini juga ditemukan di
daerah Malasyia, New Guinea, dan Philipina. Tipe liar memiliki daun yang
banyak dan lebih besar, stolon lebih panjang, daging umbi berserat, serta memilki
duri yang banyak pada tunas dan akar (Onwueme, 1978). Secara botani, tipe yang
dibudidayakan dapat dibedakan ke dalam dua varietas, yaitu varietas spinosa
(Roxb.) merupakan varietas dengan akar berduri dan varietas fasciculata (Roxb.)
merupakan varietas dengan akar berduri sedikit (Sudiarta, 1979).
Yam secara bebas telah didomestikasikan di banyak tempat berbeda di
dunia. Yam merupakan tanaman sumber penghasil diosgenin, prekursor
progesterone, kortison, dan sumber steroid-steroid penting secara medis. Koleksi
tanaman untuk produksi diosgenin diizinkan di beberapa negara di dunia
(WealthFood, 2003). Umbinya bila telah direbus, enak rasanya. Agak lekat-lekat
seperti ketan dan manis. Umbi yang masih mentah berkhasiat obat yang bila
dimakan rasanya agak gatal. Di Afrika Barat umbinya dipakai sebagai bahan
industri pati dan alkohol (Sastrapradja, 1977).
Di daerah Jawa umbi yang kecil disebut gembili, sedangkan umbi yang
besar disebut gembolo. Pada umumnya dibudidayakan sebagai usaha sambilan
saja. Pada musim kemarau mengalami masa istirahat selama 1-6 bulan. Menjelang
musim hujan umbi ini akan bertunas dan dipergunakan sebagai bibit. Perbanyakan
dapat dilakukan selain dengan umbinya, juga dapat dilakukan dengan stek batang.
Umbi gembili dapat mulai dipanen pada umur 8-9 bulan setelah masa tanam
(Indobiogen, 2005).

Percobaan evaluasi awal dengan 24 tipe Dioscorea esculenta memiliki
peranan penting dalam mengidentifikasi dua tipe yang bernilai hasil tinggi, yaitu
DeK-4/86 (11.6 ton/ha) dan DeK-17/87 (11.5 ton/ha). Jenis-jenis tersebut toleran
terhadap naungan dan lebih unggul daripada Sri Latha yang dikeluarkan oleh
CTCRI (KAU, 2003).
Yam biasanya ditumpangsarikan dengan barisan tanaman giant taro
(Alocasia macrorrhiza), pisang (Musa cultivars), dan taro (Colocasia esculenta).
Di sepanjang pinggiran, Dioscorea esculenta sering ditanam bersebelahan dengan
tiang pagar dan pandan-pandanan sebagai bahan baku anyaman. Tebu atau bayam
hibiscus (Abelmoschus manihot) yang merupakan sayuran daun hijau penting
sering di tanam di sepanjang pinggiran atau garis pagar kebun. Pagar hidup yang
sering ditanam adalah Abelmoschus manihot, hibiscus pantai atau fau (Hibiscus
tiliaceus), dadap, atau ngatae (Erythrina variegata). Pohon kayu seperti kasuarina
(Casuarina equisetifolia) atau spesies-spesies introduksi, seperti kauri Australia
(Agathis robusta) atau mahogany India Barat (Swietenia macrophylla) ditanam di
beberapa baris sepanjang batas pinggir pada pertanaman, atau kadang-kadang
seperti gundukan kayu. Tanaman-tanaman semusim atau jangka pendek seperti
bawang hijau (Allium fistulosum dan A. ascalonicum), kubis cina atau paak tsoi
(Brassica chinensis), dan jagung (Zea mays) sering ditanam secara sistematis.
(Australian Agroforestry, 2001).

Syarat Tumbuh
Dioscorea esculenta tumbuh baik di daerah tropik dengan curah hujan
tinggi serta musim hujan dan musim kemarau jelas. Curah hujan minimal 1150
mm selama pertumbuhan, dengan musim kemarau 2-4 bulan. Pada daerah tersebut
produksi mencapai 60-70 ton/ha (Gurnah, 1974 dan Martin, 1972 dalam
Marpaung).
Suhu udara optimum selama pertumbuhan maksimum adalah 25-30oC,
yaitu selama 14-20 minggu setelah tanam. Sifat fisik tanah yang penting adalah
kegemburan, kedalaman dan drainase. Kegemburan tanah penting karena umbi
menembus tanah pada saat pembesaran umbi (Onwueme, 1978). Dioscorea
esculenta memerlukan kesuburan tanah yang tinggi sehingga sering ditanam

pertama kali setelah pembukaan lahan. Umumnya ditanam di lahan-lahan kering
seperti tegalan, ladang dan kebun, baik di tempat datar maupun di tempat berbukit
(Lingga, 1989).
Menurut Lingga (1989) pemanenan dilakukan apabila daun sudah mulai
menguning, kering serta batang mengering. Bila keadaan menunjukkan umbi
sudah siap untuk dipanen, tetapi tidak segera dilakukan pemanenan maka pada
musim penghujan akan tumbuh tunas yang akan dihasilkan umbi yang
membentuk tanaman baru.
Ketinggian hinggá 900 m dpl cocok untuk pertumbuhan tanaman, panjang
hari yaitu hari pendek berkisar 10-12 jam untuk merangsang pembentukan umbi,
sementara hari panjang yang lebih dari 12 jam mendukung perkembangan cabang.
Pemberian mulsa setelah penanaman melindungi tanaman dari panas dan
pengeringan yang berlebihan. Penurunan drastis hasil panen terjadi seandainya
mulsa tidak diaplikasikan (terutama penurunan persentase perkecambahan),
khususnya di daerah dimana temperatur panas dan cuaca kering sering terjadi.
Pengendalian gulma penting dilakukan selama 2-3 bulan pertama setelah
penanaman. Tipe tanah yang disukai adalah bersolum dalam, kaya hara, dan
permeabel. Tanah bertekstur remah penting untuk perkembangan dan pembesaran
umbi. Tanah-tanah yang tergenang sebaiknya dihindari.

Siklus Hidup dan Produksi
Secara umum Dioscorea esculenta mengalami siklus hidup yang terdiri
dari empat fase. Fase pertama dimulai saat umbi berkecambah hingga berumur
enam minggu berikutnya, pada saat itu sistem akar mulai terbentuk dan batang
(liana) mulai merambat. Fase kedua berlangsung mulai sekitar minggu 6-10
setelah berkecambah, dicirikan oleh pertumbuhan daun yang luas, pertumbuhan
selanjutnya dari batang (liana), dan pengurangan pertumbuhan akar. Pada saat
umur 10 minggu setelah berkecambah dimulai fase ketiga, dimana umbi mulai
terisi sehingga akar sejati mulai berkembang (Onwueme, 1992).
Pada fase selanjutnya, umbi terus terisi pati sebagai cadangan makanan,
kemudian pada umur 24 minggu setelah berkecambah terjadi penurunan berat
umbi karena adanya pengurangan air pada umbi. Jika tidak segera dilakukan
pemanenan, maka cadangan makanan yang berupa pati pada umbi tersebut akan

mulai menurun, karena dijadikan sebagai sumber energi

untuk metabolisme

tanaman (Onwueme, 1978). Pada fase ini tanaman juga mulai menunjukkan gejala
senescence. Senescen didefenisikan sebagai kegagalan reaksi-reaksi sintesis yang
mendahului kematian sel. Senescen atau penuaan merupakan fase pertumbuhan
tanaman yang lamanya berkisar dari dewasa penuh hingga kematian aktual. Proses
tersebut diciri-cirikan dengan penimbunan produk metabolis dan kehilangan bobot
kering, khususnya daun dan buah. Senescen daun-daun ditandai dengan
penguningan dan kehilangan zat klorofil sebelum absisi atau layu serta matinya
daun yang tidak gugur (Osborne dalam Weaver, 1972).
Pada tanaman perennial senescen merupakan proses proteksi aktif.
Asimilat sering diekspor dari daun-daun senescen ke tanaman induk yang dapat
memberikan proteksi lebih besar terhadap tanaman dari faktor lingkungan seperti
kekeringan, udara dingin, dan kondisi-kondisi merugikan lainnya. Jangka hidup
suatu daun ditentukan oleh kondisi tersebut. Tanaman dapat mengalami kenaikan
atau penurunan pertumbuhan karena beberapa sebab. Seandainya hanya satu daun
tertinggal pada tanaman maka daun dapat hidup dalam waktu lebih lama.
Potongan daun atau daun tunggal yang tidak berkompetisi dengan jaringan atau
organ lainnya untuk nutrisi dan substansi pertumbuhan dapat hidup dalam periode
yang lebih lama. Sebaliknya, lama kehidupan tersebut turun dengan adanya
perkembangan bagian sink pada bagian lain dari tanaman (Osborne dalam
Weaver, 1972).
Produksi Dioscorea esculenta berbeda-beda di setiap daerah, yaitu 24.1
ton/ha (Malaysia), 20-30 ton/ha (Philipina), 20 ton/ha (Irian Jaya) dan 10-20
ton/ha (Papua New Guinea) dengan berat umbi 0,1-3 kg (Onwueme, 1996). Kay
(1973) menyatakan walaupun ukuran umbi kecil, hasil Dioscorea esculenta sering
lebih tinggi daripada yang diperoleh dari spesies lainnya.

Tipe Perbanyakan
Ada

beberapa

tipe

perbanyakan

yang

dapat

dilakukan

untuk

pembudidayaan tanaman Dioscorea spp., antara lain: dengan umbi, bulbil atau
umbi gantung, benih, stek cabang, dan kultur jaringan. Tetapi, tipe perbanyakan
dengan umbi merupakan tipe yang paling sering dan umum dilakukan, terutama
untuk tujuan komersil (Onwueme,1978).

Secara alami, umbi tersedia sebagai organ tahunan utama bagi tanaman,
sehingga memungkinkan tanaman tetap hidup pada musim yang kurang
menguntungkan, dan tumbuh kembali pada tahun berikutnya. Oleh karena itu,
banyak famili liar dari genus ini dan sebagian tipe yang sudah dibudidayakan
memiliki duri yang mengelilingi umbi dalam jumlah banyak. Hal ini bermanfaat
sebagai alat proteksi ketika keadaan lingkungan tidak mendukung (Onwueme,
1978).

Lanjaran
Lanjaran merupakan salah satu aspek pemeliharaan paling penting untuk
mendukung pertumbuhan tanaman Dioscorea esculenta. Di beberapa negara,
seperti dimana bahan lanjaran sulit tersedia mengakibatkan lanjaran menjadi
aspek pemeliharaan yang mahal. Menurut Lingga (1989) pemasangan lanjaran
harus sudah dilakukan saat panjang batang sudah mencapai 1 m. Hal ini berguna
sebagai pendukung bagi batang untuk memanjat dan membelit. Ada beberapa tipe
lanjaran yang umum digunakan pada tanaman Dioscorea esculenta, antara lain:
tipe individu, piramid, dan tipe pagar (Gambar 1).
Pada tipe lanjaran individu, tiang kokoh ditempatkan secara vertikal dan
tanaman diarahkan untuk membelitinya. Biasanya satu lanjaran digunakan untuk
satu tanaman atau dapat dibuat untuk 2-3 tanaman yang berdekatan. Lanjaran
harus cukup kuat untuk menahan kerusakan atau tercabut, terutama ketika daun
sudah berkembang penuh. Lanjaran bambu cukup ideal untuk tipe lanjaran ini. Di
daerah-daerah pembudidayaan tradisional cabang tanaman kadang-kadang
diarahkan membeliti semak dan pohon-pohon tertentu yang dibiarkan pada plot
selama pembukaan lahan. Tanaman biji-bijian (cereal) seperti jagung kadangkadang juga ditumpangsarikan dengan yam. Cabang tanaman diusahakan
menggunakan tanaman cereal sebagai pendukung. Praktek ini sebenarnya tidak
mendukung karena batang cereal yang lemah menyebabkan kerusakan dalam
skala besar, selain itu hasil yang diperoleh sangat rendah baik untuk yam maupun
tanaman cereal sendiri (Onwueme, 1978).
Tipe piramid; setiap tanaman didukung dengan satu lanjaran, tetapi
lanjaran-lanjaran dari 3-4 tanaman yang berdekatan dimiringkan satu sama lain
dan diikat semuanya menjadi satu pada bagian atas sehingga membentuk struktur

piramid (Onwueme, 1978). Setelah membeliti keseluruhan lanjarannya, setiap
tanaman kemudian akan saling membelit satu sama lain pada titik pertemuan
lanjaran. Keuntungan tipe lanjaran ini adalah lebih stabil karena bentuk piramid
cenderung saling mendukung satu dengan lainnya. Lanjaran yang diperlukan juga
tidak harus sekuat pada lanjaran individu. Seandainya yang kuat tersedia
sebaiknya digunakan, tetapi jika tidak ada lanjaran berstruktur lemah seperti
tulang tengah daun kelapa sawit bisa digunakan (Onwueme, 1978).
Tipe pagar; tipe lanjaran pagar sederhana sudah lama digunakan oleh
petani yam tradisional di daerah savana Afrika Barat, seperti daerah Oyo dan
Ilorin di Nigeria. Baru-baru ini sistem pagar yang lebih kompleks untuk budidaya
yam dikembangkan di India Barat. Pada sistem ini, dua tiang kuat ditempatkan
pada kedua ujung setiap baris yang menyusuri panjang lahan keseluruhan. Seutas
kawat besi direntangkan antara tiang pada ketinggian kira-kira 2 m di atas
permukaan tanah. Tiang tengah (lanjutan) pada interval kira-kira 20 m merupakan
dukungan tambahan bagi kawat. Diatas setiap tanaman digantung seutas tali ke
bawah dari kawat utama. Ketika tanaman berkecambah, cabang akan membelit
dengan perantara tali hingga mencapai kawat. Tanaman kemudian berkembang
dan merambat sepanjang kawat. Tipe pagar ini memiliki keuntungan, yaitu
material yang sama dapat digunakan selama beberapa tahun dan seandainya
pemanenan secara mekanik dilakukan, lanjaran dapat dibongkar dengan mudah.

Gambar 1. Tipe Lanjaran untuk Tanaman Dioscorea esculenta (YamProj, 2002)
Lanjaran merupakan pendukung bagi tanaman untuk meninggikan cabangcabang yang lemah, membuka daerah daun menjadi lebih luas untuk melakukan

proses metabolisme, sehingga mendorong proses fotosintesis lebih besar
(Chapman dalam Osiru dan Hahn, 1994). Menurut Onwueme (1978) bahwa
dengan pemberian lanjaran maka sebagian daun akan muncul dan tumbuh lebih
baik. Daun-daun yang ternaungi akan berkurang, sehingga kapasitas fotosintesis
lebih besar. Selain itu dapat memelihara tunas pucuk sehingga tidak menyentuh
permukaan tanah yang mungkin berada dalam kondisi panas atau basah yang
dapat menyebabkan tanaman terbakar atau terserang penyakit. Penyiangan dan
kegiatan pemeliharan lainnya juga lebih mudah dikerjakan karena cabang tidak
merambat acak di permukaan tanah.

Hama dan Penyakit
Jenis-jenis kumbang kecil yang menyerang umbi atau tunas diantaranya
Heterogilus meles, Aspediella hartii, Crioceris livida, dan Palaeopus dioscorae.
Apabila tunas yang diserang perkembangan umbi menjadi terhambat. Jenis cacing
tanah yang membusukkan umbi diantaranya Meloidogyne spp., Scutel Ionema
bradys, dan Pratylenchus spp. Tindakan pengendalian hama, baik kumbang kecil
maupun cacing tanah yang menyerang umbi agak sulit diketahui pada taraf dini
karena tertimbun oleh tanah, hanya akan diketahui apabila tanaman sudah mulai
menguning atau mati sebelum waktunya akibat serangan hebat dari hama tersebut.
Pencegahan tersebarnya hama ke lokasi lain yaitu tanaman dibongkar dan dibuang
jauh-jauh dari kebun atau dibakar, sedangkan lubang bekas bongkaran tadi diberi
insektisida dan dibiarkan terbuka (Lingga, 1989).
Bintik-bintik coklat atau hitam pada daun dan batang bisa disebabkan oleh
sejenis jamur Cercospora carbonacea, terdapat pula beberapa jenis jamur lain
yang menyerang batang dan daun, diantaranya Gloesoporium pestis dan
Glomerella singulata. Virus Phylluethypa Dioscoreae dan Gopiana Dioscoreae
dapat mengakibatkan batang atau cabang menjadi kecil mengeriting seperti sapu.
Jenis jamur yang menyerang umbi di gudang berupa Rosellina bunodes,
Penicillium spp., dan Fusarium spp., sedangkan untuk jenis Botrydiplodia
theobromae selain menyerang di gudang juga menyerang di kebun. (Lingga,
1989).
Hama atau penyakit yang menyerang tanaman Dioscorea spp. seperti yang
telah dituliskan, banyak terjadi di negara-negara yang memiliki areal pertanaman

dalam jumlah besar seperti di Afrika Barat dan Karibia. Di Indonesia kasus serupa
agak langka dijumpai dan memang masih dalam tahap penelitian, baik cara
pemberantasannya maupun jenis hama dan penyakit yang ditimbulkan. (Lingga,
1989).

Cara dan Waktu Pemanenan
Tanaman Dioscorea spp. dipanen pada usia rata-rata 6-12 bulan, masa
pemanenan ini juga bisa tergantung pada jenisnya. Tanaman yang sudah siap
panen dapat dicirikan dengan daunnya yang sudah mulai menguning dan kering,
keadaan demikian biasanya terjadi pada musim-musim kemarau. Pemanenan juga
bisa ditangguhkan sampai musim berikutnya. Pemeliharaan tanaman Dioscorea
spp. dengan masa panenan yang ditangguhkan umumnya tidak jauh berbeda
dengan pemeliharaan pada tahap permulaan (Lingga, 1989).
Pemanenan tanaman dilakukan dengan jalan membongkar seluruh
kelompokannya atau hanya mengambil sebagian dari kelompokannya saja. Cara
yang kedua ini dapat dilakukan bila jumlah uwi yang diperlukan dalam jumlah
sedikit saja atau jika tanaman tersebut akan dibiarkan hidup untuk kemudian
diambil bijinya sebagai bibit. Alat yang dipergunakan untuk memanen yaitu
cangkul, garpu, kored, dan lain-lain. Pemanenan dilakukan dengan mencangkul
atau menggarpu tanah di sekitar rumpunnya. Pekerjaan ini harus dilakukan secara
hati-hati sekali jangan sampai melukai umbi, sebab umbi-umbi yang luka akan
mudah membusuk. Hasil rata-rata per hektar tipe jenis berkisar antara 7-20 ton.
Beberapa perbandingan hasil Dioscorea spp. yang dihasilkan oleh negara-negara
lain yaitu 7.5-17.5 ton/ha di Afrika Barat, di Asia Tenggara 12.5-25 ton/ha, dan di
Amerika 20-30 ton/ha (Lingga, 1989).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di UPT Kebun Percobaan Babakan IPB, DramagaBogor. Kegiatan ini dilaksanakan dari bulan Desember 2004 sampai dengan Juli
2005 pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl) dengan jenis tanah
Latosol.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan meliputi bahan tanam berupa umbi dengan
berat 85-95 g yang berasal dari daerah Wonosari, furadan 3-G, dan Artona (anti
rayap) sebagai bahan proteksi lanjaran. Pupuk yang digunakan adalah pupuk
kandang 20 ton/ha, KCl 200 kg/ha, Urea 135 kg/ha, dan SP-36 250 kg/ha.
Alat-alat yang digunakan terdiri atas seperangkat alat budidaya pertanian,
tali rafia, meteran, lanjaran berupa bambu berdiameter kurang lebih 6 cm, gergaji,
automatic area meter, oven, kertas label, jangka sorong, mistar, meteran,
seperangkat alat tulis, dan timbangan.

Metode Penelitian
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor,
yaitu tinggi lanjaran yang terdiri dari empat taraf perlakuan (tanpa lanjaran
sebagai kontrol, 50 cm, 100 cm, dan 150 cm) dengan 3 ulangan. Total percobaan
berjumlah 12 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari delapan
tanaman yang berjarak 100 cm x 50 cm dengan luasan 2 m x 2 m. Total tanaman
contoh berjumlah 60, yaitu setiap petak diambil lima tanaman contoh.
Model linier yang digunakan adalah:
Yij

= µ + ái + âj + Σij

Yij

= Nilai pengamatan dari perlakuan pada taraf ke-i dalam kelompok ke-j

µ

= Nilai tengah populasi

ái

= Pengaruh aditif dari perlakuan taraf ke-i

ßj

= Pengaruh aditif dari kelompok ke-j

Σij

= Pengaruh galat percobaan dari perlakuan pada taraf ke-i dalam kelompok
ke-j

Pengaruh dari seluruh perlakuan dilihat dengan menggunakan uji-F pada
taraf 5% dan 1%. Apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati
maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan
Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5% dan 1%. Keeratan
hubungan antara peubah vegetatif dengan peubah produksi dianalisis dengan
menggunakan uji korelasi.

Pelaksanaan Kegiatan
Sebelum penanaman, terlebih dahulu dilakukan pengolahan tanah secara
minimum sekaligus pembuatan plot penelitian berukuran 2 m x 2 m sebanyak 12
petakan yang dibagi dalam tiga kelompok (ulangan). Kemudian dibiarkan hingga
kondisi siap tanam selama satu minggu.
Penanaman bibit dilakukan dalam lubang dengan jarak tanam 100 cm x 50
cm. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman kira-kira 30-40 cm. Pupuk yang
diberikan terdiri dari pupuk kandang dan pupuk anorganik. Pupuk kandang
diberikan pada saat penanaman, yaitu dicampur dengan tanah galian dan
dimasukkan kembali ke dalam lubang hingga penuh. Kedalaman bibit yang
terbenam ke dalam tanah antara 5-12 cm, kemudian ditutup dengan tanah.
Sedangkan pemberian pupuk anorganik dilakukan 10 minggu setelah tanam
(MST) dengan cara disebar di sekeliling tanaman sedalam 5 cm. Pemasangan
lanjaran sebagai tempat membelitnya batang dan cabang dilakukan ketika
tanaman berumur 7 MST. Tipe lanjaran yang digunakan pada penelitian ini adalah
single staking (lanjaran individu).
Pengamatan dilakukan mulai 8-23 MST terhadap peubah-peubah yang
telah ditentukan. Ketika tanaman berumur kurang lebih 31 MST dilakukan
pemanenan secara serempak pada seluruh tanaman. Kegiatan pemeliharaan
tanaman meliputi pengguludan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama
penyakit bila diperlukan.

Pengamatan
Peubah yang diamati untuk mengetahui pengaruh lanjaran terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman dalam penelitian meliputi peubah
vegetatif dan hasil panen, yaitu:

Peubah Vegetatif:
1. Tinggi tanaman: sebagai indikator pertumbuhan maupun peubah yang
digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang
ditetapkan. Peubah diukur setiap minggu dimulai ketika tanaman berumur
8 MST hingga 23 MST.
2. Jumlah daun: sebagai indikator pertumbuhan dan data penunjang untuk
menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi. Peubah dihitung setiap
minggu pada saat tanaman berumur 8 MST hingga 23 MST. Kriteria daun
yang dihitung adalah yang telah terbuka penuh dan dalam kondisi baik.
3. Panjang dan lebar daun, diukur satu daun/tanaman contoh mulai 8-23
MST. Daun contoh diambil dari buku kedua dari cabang primer tanaman.
Pengukuran dilakukan pada bagian daun yang terpanjang dan terlebar.
4. Indeks Luas Daun (ILD): merupakan perbandingan luas daun total dengan
luas tanah yang ditutupi. Peubah dihitung berdasarkan metode panjang
kali lebar dari daun yang diukur. Hubungan luas daun dengan panjang kali

Luas Daun dengan Alat

lebar daun ditampilkan pada gambar berikut:
y = 0,6849x - 2,0235
2
R = 0,9944

140
120
100
80
60
40
20
0
0

100

200

P x L Daun

Gambar 2. Hubungan Luas Daun dengan Panjang Kali Lebar Daun
Luas satu daun contoh = 0.6849 x (P x L) – 2.0235
Luas daun per tanaman = 1.000051 x jumlah daun x luas satu daun contoh
ILD

= luas daun per tanaman/jarak tanam

Peubah Hasil Panen:
4. Bobot Basah Tajuk per tanaman contoh
5. Bobot Basah Akar per tanaman contoh
6. Bobot Basah Umbi per tanaman contoh
7. Bobot Kering Tajuk per tanaman contoh

8. Bobot Kering Akar per tanaman contoh.
9. Bobot Kering Umbi per tanaman contoh
10. Diameter dan panjang umbi tanaman contoh, diambil umbi terbesar
sebagai sampel untuk pengukuran.

HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Kondisi Umum
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2004 sampai Juli 2005 dengan
curah hujan rata-rata 620 mm/bulan (Tabel Lampiran 21). Selama penelitian,
curah hujan sangat tinggi sehingga penyiraman (irigasi) tidak dilakukan sama
sekali. Kegiatan penggantinya adalah melakukan perbaikan drainase di sekeliling
petakan. Pada umur kurang lebih tujuh minggu setelah tanam (MST), umbi-umbi
sudah mulai bertunas menembus permukaan tanah. Persentase daya tumbuhnya
cukup baik, yaitu sekitar 90.625 %.
Selama pertumbuhan dan perkembangan, hama dan penyakit yang
menyerang tanaman antara lain: hama belalang, walang sangit, dan penyakit karat
daun. Namun, hal tersebut tidak mengganggu pertanaman atau masih di bawah
batas ambang ekonomi, sehingga tidak dilakukan pengendalian secara kimiawi.
Pada awal pertumbuhan atau sebelum diberikan perlakuan lanjaran, seluruh
tanaman tumbuh menjalar dan merayap di permukaan tanah. Kondisi ini
berlangsung kira-kira seminggu. Kemudian ketika tanaman berumur 7 MST,
lanjaran dipasang dengan beberapa taraf tinggi yang berbeda pada tanaman yang
telah ditentukan.
Pada dua minggu pertama, taraf perlakuan belum memperlihatkan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, kecuali terhadap
tinggi tanaman. Tetapi, pada minggu-minggu berikutnya perlakuan rata-rata
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap semua parameter vegetatif yang
diamati. Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa tinggi lanjaran
berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, jumlah
daun, dan indeks luas daun (ILD).
Tanaman yang diberikan taraf lanjaran 150 cm mengalami pertumbuhan
vegetatif yang paling baik dibandingkan taraf perlakuan lainnya. Hal ini mungkin
dikarenakan tanaman memperoleh dukungan untuk pertumbuhan cabang, tunas
dan daun serta memungkinkan mendapat ruang tumbuh yang baik, sehingga
kondisi tanaman tetap terjaga dari faktor-faktor yang merugikan (Lampiran

Gambar 23). Sebaliknya, pada tanaman kontrol (tanpa lanjaran) menunjukkan
pertumbuhan dan perkembangan yang lambat dan kurang sempurna. Keadaan ini
mungkin karena tanaman tidak memiliki dukungan untuk pertumbuhan, faktor
mutual shading (ternaungi satu sama lain), serta kondisi yang merugikan bagi
tanaman karena merambat di permukaan tanah sehingga perkembangan bagianbagian tanaman terhambat (Gambar Lampiran 22).
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi
Lanjaran terhadap Pertumbuhan Tanaman Dioscorea esculenta
Umur
(MST)
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

TT
L
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**

KK
17.24
15.00
13.80
14.57
11.43
4.63
3.06
5.33
5.65
4.57
3.76
1.87
3.80
4.49
9.53
2.69

JD
L
tn
tn
*
tn
tn
*
*
*
*
**
*
*
*
*
*
*

KK
21.23
18.29
17.14
17.14
20.19
15.60
13.52
13.00
12.43
11.43
11.58
11.46
11.48
11.64
11.71
11.34

Keterangan:
L
: Lanjaran
KK
: Koefisien Keragaman (%)
*
: Nyata pada taraf Uji 5%
**
: Nyata pada taraf Uji 1%
ILD
: Indeks Luas Daun

PD
L
tn
tn
**
*
tn
*
**
**
**
**
**
**
**
**
**
**

KK
6.95
10.14
4.13
5.77
6.87
9.39
7.88
9.16
7.42
4.34
3.88
4.94
5.05
4.54
3.80
4.29
tn
TT
JD
PD
LD

LD
L
tn
tn
**
*
tn
*
*
**
**
**
**
**
**
**
**
**

KK
6.45
8.94
4.89
6.56
9.43
11.73
10.06
9.90
7.70
4.83
6.28
7.36
4.64
4.74
4.72
5.87

L
tn
tn
*
*
tn
*
*
*
**
**
**
**
**
**
**
**

ILD
KK
26.91
29.87
23.46
29.56
32.63
42.50
35.68
36.51
27.72
21.74
20.67
22.50
21.84
17.46
17.79
19.59

: Tidak nyata
: Tinggi Tanaman
: Jumlah Daun
: Panjang Daun
: Lebar Daun

Pada Gambar Lampiran 22 terlihat penampilan tanaman setelah dibumbun.
Pada umur ini tanaman sudah mulai memasuki fase inisiasi (pembentukan) umbi.
Ketika tanaman berumur 21 MST, tanaman mulai menunjukkan gejala senescence
(penuaan), yaitu daun mulai tampak menguning bahkan gugur (Gambar Lampiran
24). Hal tersebut merupakan tanda bahwa tanaman sudah mulai mencapai fase
dewasa penuh. Tanaman memperlihatkan penurunan pertumbuhan vegetatif yang
drastis pada umur tersebut. Pemanenan dilakukan ketika tanaman berumur kurang
lebih 31 MST.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengujian Beberapa Taraf Tinggi
Lanjaran terhadap Produktivitas Tanaman Dioscorea esculenta
Peubah

Keragaman
L
KK
*
19.03
*
13.69
*
9.72
tn
17.92
*
19.37
**
11.05
tn
10.08
**
5.09

Bobot Basah Tajuk
Bobot Basah Akar
Bobot Basah Umbi
Bobot Kering Tajuk
Bobot Kering Akar
Bobot Kering Umbi
Panjang Umbi
Diameter Umbi
Keterangan:
L
: Lanjaran
*
: Nyata pada taraf Uji 5%
tn
: Tidak nyata

KK
**

: Koefisien Keragaman (%)
: Nyata pada taraf Uji 1%

Tinggi Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tinggi lanjaran berpengaruh
sangat nyata dalam meningkatkan tinggi tanaman pada setiap minggu pengamatan
(Tabel Lampiran 2). Tinggi tanaman pada 8 hingga 23 MST dengan tinggi
lanjaran 150 cm nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, lanjaran 50 cm,
dan lanjaran 100 cm, sedangkan tinggi lanjaran 50 cm menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata terhadap kontrol pada 8 dan 11 MST dan tinggi lanjaran 100
cm pada 18 MST (Tabel 3).
Lanjaran 150 cm menghasilkan pertambahan tinggi terbesar dibandingkan
taraf perlakuan lainnya, sedangkan kontrol menghasilkan pertambahan yang
terendah. Lanjaran 150 cm menghasilkan pertumbuhan tanaman tertinggi ketika
17 MST, yaitu sebesar 160.73 cm dan terendah dihasilkan oleh tanaman kontrol,
yaitu 27.13 cm pada 8 MST (Tabel 3).
Gambar 3 menunjukkan bahwa pertambahan tinggi tanaman cenderung
meningkat ketika umur 8-13 MST pada hampir semua taraf perlakuan. Pada saat
tanaman berumur lebih dari 13 MST, pertambahan tinggi tanaman hampir tidak
terjadi atau cenderung konstan pada kontrol, lanjaran 50 dan 100 cm, sedangkan
pada lanjaran 150 cm pertambahan tinggi masih terjadi. Penurunan tinggi tanaman
terjadi ketika menjelang panen untuk semua taraf perlakuan. Tinggi tanaman
optimum rata-rata dihasilkan pada 17 MST.

Tabel 3. Tinggi Tanaman pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran
Umur
(MST)
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

0 cm
27.13 c
32.13 d
33.53 d
40.67 c
36.53 d
41.86 d
35.93 d
38.13 d
33.73 d
36.20 d
36.73 d
35.66 d
35.40 d
36.53 d
36.00 d
36.26 d

Taraf Tinggi Lanjaran
cm
50 cm
100 cm
47.80 c
86.40 b
59.13 c
94.13 b
59.73 c
95.86 b
57.20 c
101.27 b
60.06 c
104.66 b
59.93 c
108.60 b
60.93 c
104.06 b
60.86 c
104.80 b
62.20 c
106.26 b
64.13 c
106.26 b
61.60 c
104.06 c
62.20 c
105.93 b
59.33 c
105.80 b
60.80 c
108.06 b
59.26 c
100.40 b
57.53 c
104.06 b

150 cm
118.66 a
124.20 a
132.60 a
140.60 a
148.53 a
155.60 a
154.26 a
156.53 a
155.53 a
160.73 a
155.46 a
158.06 a
159.00 a
158.93 a
152.20 a
157.33 a

Tinggi Tanaman (cm)

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

0 cm
50 cm
100 cm
150 cm

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Umur Tanaman (MST)

Gambar 3. Tinggi Tanaman pada Berbagai Taraf Tinggi Lanjaran

Jumlah Daun
Hasil analisis ragam (Tabel Lampiran 2) menunjukkan bahwa tinggi
lanjaran memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 10 MST,
13-23 MST dan sangat nyata pada 17 MST. Pada 8 dan 9 MST menunjukkan
pengaruh yang tidak berbeda nyata. Tabel 4 memperlihatkan tinggi lanjaran 150

cm memiliki jumlah daun yang berbeda nyata dengan kontrol, lanjaran 50 cm, dan
lanjaran 100 cm ketika tanaman berumur14-23 MST. Pada 10 MST, lanjaran 150
cm hanya berbeda nyata terhadap lanjaran 100 cm dan pada 13 MST berbeda
nyata dengan kontrol dan lanjaran 100 cm.
Tabel 4. Jumlah Daun pada Empat Taraf Tinggi Lanjaran
Umur
(MST)
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

0 cm
40.13
55.20
86.87ab
118.40
150.80
179.13 b
203.80 b
224.07 b
240.73 b
247.40 b
264.20 b
271.07 b
274.87 b
276.93 b
275.73 b
275.67 b

Taraf Tinggi Lanjaran
50 cm
100 cm
43.80
29.33
57.90
42.60
100.80 a
67.13 b
146.87
120.87
186.27
151.67
217.13ab
182.80 b
245.80 b
211.93 b
270.27 b
233.27 b
289.27 b
249.67 b
304.87 b
263.53 b
315.47 b
274.07 b
321.67 b
288.53 b
324.87 b
293.20 b
325.73 b
295.13 b
325.27 b
295.73 b
293.87 b
324.47 b

150 cm
44.33
70.80
120.13 a
188.40
235.67
281.8

Dokumen yang terkait

Pengaruh Beberapa Genotipe dan Pelukaan Stek (Pengeratan) Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot esculenta Crantz) untuk Meningkatkan Produktivitas

0 4 75

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 3 81

KUALITAS ES KRIM GEMBILI (Dioscorea esculenta Lour.) DENGAN PENAMBAHAN DAUN BAYAM MERAH Kualitas Es Krim Gembili (Dioscorea esculenta Lour.) Dengan Penambahan Daun Bayam Merah (Alternanthera amoena Voss).

0 1 14

KUALITAS ES KRIM GEMBILI (Dioscorea esculenta Lour) DENGAN PENAMBAHAN DAUN BAYAM Kualitas Es Krim Gembili (Dioscorea esculenta Lour.) Dengan Penambahan Daun Bayam Merah (Alternanthera amoena Voss).

0 2 15

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 13

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 2

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 4

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 8

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 2

Pengaruh Beberapa Genotipe Dan Bagian Asal Stek Terhadap Pertumbuhan Ubikayu (Manihot Esculenta Crantz) Untuk Meningkatkan Produktivitas

0 0 24