Analisis keterkaitan alokasi anggaran dan sektor unggulan dalam mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah di kabupaten Bogor

(1)

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN

SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR

FERDINAN SUKATENDEL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Alokasi Anggaran dan Sektor Unggulan Dalam Mengoptimalkan Kinerja Pembangunan Daerah di Kabupaten Bogor adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Ferdinan Sukatendel


(3)

FERDINAN SUKATENDEL. Analisis Keterkaitan Alokasi Anggaran dan Sektor Unggulan Dalam Mengoptimalkan Kinerja Pembangunan Daerah di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BABA BARUS.

Anggaran pemerintah daerah merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan dan pembangunan suatu perekonomian daerah. Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian. Pengalokasian anggaran kepada sektor-sektor unggulan diharapkan akan memberikan dampak kepada sektor-sektor-sektor-sektor lainnya sehingga dapat mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah.

Penelitian ini antara lain bertujuan: 1) meneliti sektor unggulan, 2) potensi dan pengembangan sektor unggulan dan 3) alokasi anggaran untuk sektor unggulan di kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis input-output, analisis kewilayahan, analisis kelembagaan alokasi anggaran dan pembuatan peta tematik.

Hasil penelitian menunjukkan sektor unggulan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan, perdagangan, bangunan dan pertanian tanaman pangan. Sektor unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan lokasinya memusat di wilayah utara Bogor Bagian Tengah dan Bogor Bagian Timur. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan (pertanian) sebagian besar berlokasi di Bogor Bagian Barat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan anggaran pembangunan Kabupaten Bogor untuk sektor unggulan masih sangat kurang (tidak ada keterkaitan) kecuali untuk sektor Bangunan. Namun untuk sektor unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan sebenarnya tidak perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar karena akan mengakibatkan semakin besarnya ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan masih perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar agar sektor tersebut bisa semakin berkembang sehingga diharapkan dapat mengatasi ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor.

Pemerintah diharapkan lebih memprioritaskan alokasi anggaran untuk mengatasi ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor serta mengarahkan investasi kepada sektor unggulan yang berbasis sumber daya lokal (pertanian) yang berasal dari daerah hinterland sehingga terjadi keterkaitan sektoral yang kuat agar optimalisasi kinerja pembangunan kabupaten Bogor tercapai.


(4)

FERDINAN SUKATENDEL, Analysis of budget allocation and leading sector linkage to optimalize regional development performance in Bogor Regency, Supervised by: SETIA HADI and BABA BARUS.

One of important components in regional economics development was regional government’s budget. The allocation of development budget that is done properly will caused a huge impact to economic improvement. Budget allocation to leading sector is hopefully will give multiplier effect to other sectors so it would be optimalized the region development performance.

This research is aimed to: 1) searching of leading sector, 2) searching potential and development plan of leading sector, and 3) identification budget allocation to leading sector in Bogor Regency. The method that is used were input-output analysis, region/boundaries analysis, institution of budget allocation analysis and making of thematic map.

The result of research shows that leading sector in Bogor Regency are processing industries, trading, real estate, and food crops estates. Leading sector such as processing industries and trading were mostly located in the north of Centre of Bogor Side and East of Bogor Side. Furthermore, food crop estates (agriculture)’s leading sector was mostly located in West of Bogor Side.

The results of research also shows that budget allocation of Bogor Regency’s support to leading sector was so little, or in other wordthere was no linkage unless for the real estate sector. Nevertheless, there was no need supported by huge budget allocation development for leading sector such as processing industries and trading, because it would be caused a larger lack of area development in Bogor Regency. On the other side, leading sector of food crops estates still needs to support by huge budget allocation so that it would be growed and hopefully it could be solved a lack of area development problem in Bogor Regency.

Government is hoped set priority budget allocation to solve the lack of development area in Bogor Regency and it also directed the investment to the leading sector that based of local resources (agriculture) which is came from hinterland area so it would be get a high sectoral linkage. So, development performance in Bogor Regency would be achieve.


(5)

SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR

FERDINAN SUKATENDEL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(6)

Kabupaten Bogor

Nama : Ferdinan Sukatendel

NRP : A. 253050024

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Setia Hadi, M.Si Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

Kupersembahkan karya ini kepada

Ayahnda Alm. U. Sukatendel SH dan Ibunda L. Sinuraya

Mertua yang Ananda hormati

Ayahnda G. Sinuraya MS dan Ibunda R. Pinem

Istriku tercinta Julia Forcina MSi dan kedua anakku yang tersayang

Michael Febrian dan Juan Dicky Augustinus

Adik-adikku Budi, Melda, Safri dan Daniel

Yang telah mendukung selama ini


(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini telah banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si, selaku pembimbing tesis yang telah memberikan banyak masukan, arahan dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Dr. Nur Azam yang bersedia menjadi penguji pada ujian tesis.

4. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan.

5. Pimpinan Bapepam-LK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Para Dosen, Staf dan Karyawan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) yang telah membantu penulis selama studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL).

7. Ibunda, Bapak & Ibunda mertua dan adik-adik terkasih Budi, Melda, Safri, Daniel di Medan dan di Freeport Timika atas dukungan moril maupun materiil serta senantiasa mendoakan keberhasilan penulis.

8. Istri tercinta Julia F. Sinuraya, MSi atas dukungan, doa dan bantuannya dalam pengolahan data tesis ini, serta anak-anakku tersayang Michael Febrian dan Juan Dicky yang menjadi sumber semangat dan penghibur penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2005 atas segala bantuan, supportnya dan kebersamaannya kepada penulis selama pendidikan.

10.Teman-teman di Bapepam-LK atas perhatian dan dukungannya kepada penulis. 11.Semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam

penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari, tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Mei 2007 Penulis


(9)

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Maret 1969 dari ayah (Alm) U. Sukatendel, SH dan ibu L. Sinuraya. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Julia F Sinuraya pada tahun 1997, penulis mendapatkan dua putra yang bernama Michael Febrian (9 tahun) dan Juan Dicky Augustinus (5 tahun).

Penulis menyelesaikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas di kota Medan. Kemudian pada tahun 1987 melanjutkan pendidikan Sarjana pada Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1992.

Pada tahun 1992 sampai dengan 1996 penulis bekerja di perusahaan baja PT Gunung Garuda, Cibitung. Sejak tahun 1996 hingga sekarang bekerja di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, konsentrasi di Manajemen Keuangan dan lulus pada Januari 2007. Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.


(10)

@ Hak cipta milik Ferdinan Sukatendel, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya


(11)

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN

SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR

FERDINAN SUKATENDEL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Alokasi Anggaran dan Sektor Unggulan Dalam Mengoptimalkan Kinerja Pembangunan Daerah di Kabupaten Bogor adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2007

Ferdinan Sukatendel


(13)

FERDINAN SUKATENDEL. Analisis Keterkaitan Alokasi Anggaran dan Sektor Unggulan Dalam Mengoptimalkan Kinerja Pembangunan Daerah di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SETIA HADI dan BABA BARUS.

Anggaran pemerintah daerah merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan dan pembangunan suatu perekonomian daerah. Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian. Pengalokasian anggaran kepada sektor-sektor unggulan diharapkan akan memberikan dampak kepada sektor-sektor-sektor-sektor lainnya sehingga dapat mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah.

Penelitian ini antara lain bertujuan: 1) meneliti sektor unggulan, 2) potensi dan pengembangan sektor unggulan dan 3) alokasi anggaran untuk sektor unggulan di kabupaten Bogor. Metode yang digunakan adalah analisis input-output, analisis kewilayahan, analisis kelembagaan alokasi anggaran dan pembuatan peta tematik.

Hasil penelitian menunjukkan sektor unggulan di Kabupaten Bogor adalah industri pengolahan, perdagangan, bangunan dan pertanian tanaman pangan. Sektor unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan lokasinya memusat di wilayah utara Bogor Bagian Tengah dan Bogor Bagian Timur. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan (pertanian) sebagian besar berlokasi di Bogor Bagian Barat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan anggaran pembangunan Kabupaten Bogor untuk sektor unggulan masih sangat kurang (tidak ada keterkaitan) kecuali untuk sektor Bangunan. Namun untuk sektor unggulan seperti industri pengolahan dan perdagangan sebenarnya tidak perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar karena akan mengakibatkan semakin besarnya ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan masih perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar agar sektor tersebut bisa semakin berkembang sehingga diharapkan dapat mengatasi ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor.

Pemerintah diharapkan lebih memprioritaskan alokasi anggaran untuk mengatasi ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor serta mengarahkan investasi kepada sektor unggulan yang berbasis sumber daya lokal (pertanian) yang berasal dari daerah hinterland sehingga terjadi keterkaitan sektoral yang kuat agar optimalisasi kinerja pembangunan kabupaten Bogor tercapai.


(14)

FERDINAN SUKATENDEL, Analysis of budget allocation and leading sector linkage to optimalize regional development performance in Bogor Regency, Supervised by: SETIA HADI and BABA BARUS.

One of important components in regional economics development was regional government’s budget. The allocation of development budget that is done properly will caused a huge impact to economic improvement. Budget allocation to leading sector is hopefully will give multiplier effect to other sectors so it would be optimalized the region development performance.

This research is aimed to: 1) searching of leading sector, 2) searching potential and development plan of leading sector, and 3) identification budget allocation to leading sector in Bogor Regency. The method that is used were input-output analysis, region/boundaries analysis, institution of budget allocation analysis and making of thematic map.

The result of research shows that leading sector in Bogor Regency are processing industries, trading, real estate, and food crops estates. Leading sector such as processing industries and trading were mostly located in the north of Centre of Bogor Side and East of Bogor Side. Furthermore, food crop estates (agriculture)’s leading sector was mostly located in West of Bogor Side.

The results of research also shows that budget allocation of Bogor Regency’s support to leading sector was so little, or in other wordthere was no linkage unless for the real estate sector. Nevertheless, there was no need supported by huge budget allocation development for leading sector such as processing industries and trading, because it would be caused a larger lack of area development in Bogor Regency. On the other side, leading sector of food crops estates still needs to support by huge budget allocation so that it would be growed and hopefully it could be solved a lack of area development problem in Bogor Regency.

Government is hoped set priority budget allocation to solve the lack of development area in Bogor Regency and it also directed the investment to the leading sector that based of local resources (agriculture) which is came from hinterland area so it would be get a high sectoral linkage. So, development performance in Bogor Regency would be achieve.


(15)

SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN

KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR

FERDINAN SUKATENDEL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2007


(16)

Kabupaten Bogor

Nama : Ferdinan Sukatendel

NRP : A. 253050024

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Setia Hadi, M.Si Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(17)

Kupersembahkan karya ini kepada

Ayahnda Alm. U. Sukatendel SH dan Ibunda L. Sinuraya

Mertua yang Ananda hormati

Ayahnda G. Sinuraya MS dan Ibunda R. Pinem

Istriku tercinta Julia Forcina MSi dan kedua anakku yang tersayang

Michael Febrian dan Juan Dicky Augustinus

Adik-adikku Budi, Melda, Safri dan Daniel

Yang telah mendukung selama ini


(18)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini telah banyak bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si, selaku pembimbing tesis yang telah memberikan banyak masukan, arahan dan penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc, selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini. 3. Bapak Dr. Nur Azam yang bersedia menjadi penguji pada ujian tesis.

4. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan.

5. Pimpinan Bapepam-LK yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Para Dosen, Staf dan Karyawan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) yang telah membantu penulis selama studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL).

7. Ibunda, Bapak & Ibunda mertua dan adik-adik terkasih Budi, Melda, Safri, Daniel di Medan dan di Freeport Timika atas dukungan moril maupun materiil serta senantiasa mendoakan keberhasilan penulis.

8. Istri tercinta Julia F. Sinuraya, MSi atas dukungan, doa dan bantuannya dalam pengolahan data tesis ini, serta anak-anakku tersayang Michael Febrian dan Juan Dicky yang menjadi sumber semangat dan penghibur penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2005 atas segala bantuan, supportnya dan kebersamaannya kepada penulis selama pendidikan.

10.Teman-teman di Bapepam-LK atas perhatian dan dukungannya kepada penulis. 11.Semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu yang membantu penulis dalam

penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari, tesis ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Mei 2007 Penulis


(19)

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 30 Maret 1969 dari ayah (Alm) U. Sukatendel, SH dan ibu L. Sinuraya. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Julia F Sinuraya pada tahun 1997, penulis mendapatkan dua putra yang bernama Michael Febrian (9 tahun) dan Juan Dicky Augustinus (5 tahun).

Penulis menyelesaikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas di kota Medan. Kemudian pada tahun 1987 melanjutkan pendidikan Sarjana pada Fakultas Ekonomi, Universitas Andalas Padang dan lulus pada tahun 1992.

Pada tahun 1992 sampai dengan 1996 penulis bekerja di perusahaan baja PT Gunung Garuda, Cibitung. Sejak tahun 1996 hingga sekarang bekerja di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan.

Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia, konsentrasi di Manajemen Keuangan dan lulus pada Januari 2007. Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.


(20)

@ Hak cipta milik Ferdinan Sukatendel, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya


(21)

Latar Belakang

Pelaksanaan otonomi daerah melalui Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.25 tahun 1999 juncto No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, merupakan babak baru dalam sistem pemerintahan, dimana terjadi perubahan sistem pemerintahan yang terpusat (sentralistik) menjadi sistem pemerintahan yang bersifat otonomi daerah (desentralistik). Sistem pemerintahan desentralistik memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus sendiri bidang pemerintahan, keuangan dan pembangunan di daerahnya.

Perekonomian Indonesia saat ini masih belum pulih dari krisis yang berdampak melemahnya daya beli masyarakat, terpuruknya sektor riil, meningkatnya jumlah pengangguran dan anggaran pemerintah mengalami defisit. Salah satu penyebab krisis adalah akibat dari perekonomian yang dibangun tanpa adanya keterkaitan antar sektor dan wilayah serta koordinasi antar lembaga terkait. Selain itu anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan belum mendukung sektor-sektor yang menjadi prioritas.

Anggaran pemerintah daerah merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pengembangan dan pembangunan suatu perekonomian daerah. Setiap daerah mempunyai keterbatasan sumberdaya dan sumber pendapatan yang terbatas dalam melaksanakan pembangunan. Dengan demikian perlu kejelian dari pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggarannya yang terbatas tersebut untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan di daerahnya.

Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian, karena pengalokasian anggaran kepada sektor-sektor unggulan (leading sector) akan memberikan dampak kepada sektor-sektor lainnya (multiplier effect). Sektor unggulan mempunyai keterkaitan dengan sektor lainnya baik kedepan (foward linkage) maupun keterkaitan kebelakang (backward linkage), sehingga dapat menciptakan total output yang besar didalam perekonomian wilayah. Sektor unggulan sebagai motor


(22)

pengggerak sektor lainnya perlu mendapatkan perhatian dan fokus dari pemerintah karena akan memberikan dampak kepada sektor-sektor perekonomian lainnya secara simultan, disamping itu bisa dihindari terjadinya pengalokasian anggaran yang tidak efektif dan efisien. Perencanaan penganggaran yang tepat terhadap sektor unggulan akan menentukan tercapainya target pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan.

Sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik merupakan elemen penting untuk mewujudkan good governance. Pengelolaan keuangan daerah yang tepat, efisien, efektif dan bertanggung jawab membutuhkan adanya transparasi dalam proses penyusunan anggaran dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada. Sehingga mempengaruhi sistem penganggaran yang ada di berbagai daerah untuk lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Kabupaten Bogor merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta. Wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor dibagi dalam 3 (tiga) wilayah pembangunan yaitu Wilayah Barat, Tengah dan Timur. Jika diamati sekilas terlihat bahwa secara fisik pembangunan wilayah Kabupaten Bogor yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta (Wilayah Tengah dan Timur) lebih maju dibanding wilayah Kabupaten Bogor yang jauh dari Kota Jakarta (Wilayah Barat). Sedangkan jika dilihat dari sisi perekonomian, terlihat bahwa kontribusi PDRB sektor industri dan perdagangan jauh lebih dominan dibandingkan sektor pertanian. Demikian juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Bogor masih sangat tergantung pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat.

Selama ini sudah banyak peneliti yang meneliti tentang kondisi wilayah dan sumber daya di Kabupaten Bogor, namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai alokasi anggaran belanja Kabupaten Bogor yang dikaitkan dengan sumber daya dan pembangunan wilayah di Kabupaten Bogor.

Berangkat dari berbagai hal di atas, maka tesis ini mencoba menganalisis alokasi belanja pembangunan daerah setelah berlakunya otonomi daerah dan hubungannya dengan sektor unggulan sebagai upaya mengoptimalkan kinerja pembangunan Kabupaten Bogor .


(23)

Tabel 1 Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Bogor atas harga berlaku dan konstan tahun 2001 – 2004

HARGA BERLAKU HARGA KONSTAN TAHUN 2000 SEKTOR

2001 2002 2003 2004* 2001 2002 2003 2004* 1. Sektor Primer

a. Pertanian

b. Pertambangan & Penggalian

8.88 6.62 5.92 6.91 6.23 13.22 8.27 -6.94 2.86 (0.09) 0.02 (1.61) (1.88) 8.22 0.42 (13.26) 2. Sektor Sekunder

a. Industri Pengolahan

b. Listrik, Gas dan Air

c. Bangunan

9.57 9.67 9.80 12.24 12.75 12.72 12.87 13.52 15.20 14.66 15.05 15.20 4.15 4.12 4.46 4.98 4.86 5.22 5.36 5.11 5.81 6.28 5.92 6.68

3. Sektor Tersier

a. Perdagangan, Hotel & Restauran

b. Angkutan dan Komunikasi

c. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

d. Jasa-jasa

9.89 9.64 9.34 9.44 11.02 13.23 12.48 12.58 14.21 14.44 12.54 11.93 13.77 14.53 13.16 13.05 3.49 5.10 3.86 5.04 4.38 5.62 5.22 5.01 5.00 6.46 5.68 5.49 5.83 7.34 6.08 6.34

PDRB 9.51 11.55 12.69 13.65 3.94 4.43 4.87 5.51

Ket: *Angka Sementara, BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2005.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, jika dilihat dari harga konstan tahun 2000 secara sektoral rata-rata sektor ekonomi pada tahun 2004 mengalami pertumbuhan yang cukup baik kecuali untuk sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan minus 13.26%. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2001 hampir seluruh sektor ekonomi yang mengalami percepatan kecuali sektor pertambangan dan penggalian.

Tabel 2 Kontribusi sektor dalam perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2001-2004

Tahun Kode

Sektor SEKTOR 2001 2002 2003 2004

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

I PRIMER 9.33 8.88 8.47 7.85

1 Pertanian 7.64 7.25 6.84 6.51

2 Pertambangan dan Penggalian 1.70 1.63 1.63 1.34

II SEKUNDER 66.49 66.49 67.13 67.76

3 Industri Pengolahan 59.52 59.89 59.99 60.52

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 3.76 3.80 3.83 3.88

5 Bangunan 3.21 3.24 3.31 3.36

III TERSIER 24.17 24.19 24.40 24.39

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 15.39 15.32 15.52 15.54

7 Angkutan dan Komunikasi 2.66 2.70 2.74 2.76

8

Keuangan, Persewaan&Jasa Perusahaan 1.75 1.76 1.76 1.75

9 Jasa-jasa 4.38 4.41 4.38 4.34

PDRB 100 100 100 100


(24)

Dari Tabel 2 di atas terlihat bahwa struktur perekonomian Kabupaten Bogor tahun 2004 merupakan struktur yang didominasi oleh sektor industri pengolahan 60,52% kemudian perdagangan, hotel dan restoran 15,54% dan sektor pertanian 6,51%. Ketiga sektor tersebut di atas mempunyai pangsa ± 83% dari total PDRB Kabupaten Bogor pada tahun 2004.

Menurut kelompok sektor, maka kelompok sektor sekunder merupakan sektor yang paling besar kontribusinya, yaitu sebesar 67,13 persen pada tahun 2003 meningkat menjadi 67,76 persen pada tahun 2004, kedua kelompok sektor tersier, yaitu sebesar 24,40 persen pada tahun 24,40 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 24,39 persen pada tahun 2004 dan ketiga kelompok sektor primer, yaitu sebesar 8,47 persen pada tahun 2003 menurun menjadi 7,85 persen pada tahun 2004. Pada tahun 2004 telah terjadi penurunan peranan sektor primer dan peningkatan peranan sektor tersier dan sekunder di Kabupaten Bogor.

Tabel 3 Jumlah dan Persentase pekerja menurut lapangan usaha di Kabupaten Bogor tahun 2004

Lapangan Usaha Utama Jumlah %

1. Perdagangan

2. Industri

3. Pertanian

4. Konstruksi

5. Komunikasi

6. Jasa

7. Pertambangan & Galian

8. Listrik, Gas & Air Minum

9. Keuangan

10. Lainn-lainnya

320.228 290.410 261.880 84.238 117.776 188.182 9.726 5.354 12.252

0

24,82 22,25 20,30 6,65 9,12 14,58 0,75 0,41 0,95 0

Jumlah 1.290.046 100,00

Sumber: Kabupaten Bogor Dalam Angka 2004.

Dari Tabel 3 terlihat sebagian besar penduduk Kabupaten Bogor bekerja di enam sektor utama. Sektor terbesar yang menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan kemudian diikuti secara berurutan yakni sektor industri, pertanian, jasa, komunikasi dan terakhir sektor konstruksi. Tetapi dilihat dari segi PDRB Kabupaten Bogor pada tahun 2004 yang bersumber dari sektor perdagangan dan pertanian hanya menyumbang masing-masing sebesar 15,54% dan 6,51% persen terhadap perekonomian Kabupaten Bogor.


(25)

Tabel 4 Sumber-sumber pendapatan daerah Kabupaten Bogor tahun 2003 – 2005 (dalam jutaan)

No Obyek Pendapatan Pendapatan

2003 % 2004 % 2005 %

1 Sisa Lebih Tahun Lalu - - -

2 PAD 142.756 17.15 155.818 16.88 194.224 18.61

3 Dana Perimbangan 681.102 81.85 747.099 80.91 835.872 80.90

4 Penerimaan Lainnya 8.190 1.00 20.392 2.21 13.548 0.49

Jumlah 832.049 100 923.309 100 1.043.646 100

Sumber: Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor tahun 2006.

Semenjak berlakunya otonomi daerah, sumber pendapatan Kabupaten Bogor sebagian besar masih berasal dari dana pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Jika dilihat dari jumlah dana yang diberikan, maka dari tahun ke tahun dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2005. Namun jika dilihat dari persentase yang diterima maka jumlah yang diterima menurun. Pada tahun 2003 total alokasi dana perimbangan yang diterima Kabupaten Bogor sebesar 81,85%, tahun 2004 sebesar 80,91%, dan tahun 2005 sebesar 80,09%. Penurunan jumlah dana dari segi persentase diakibatkan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun 2003 sebesar 17,15% meningkat menjadi 16,88% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 18,61% pada tahun 2005. Sedang pendapatan lainnya berfluktuatif dari tahun 2003 hingga tahun 2005.

Dari sisi belanja Kabupaten Bogor sebagaimana ditunjukkan Tabel 5 di bawah ini, terlihat bahwa anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pengeluaran anggaran belanja dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pelayanan publik antara lain seperti pendidikan dan kesehatan. Adapun nilai untuk belanja rutin meningkat setiap tahun, namun dari segi persentase mengalami penurunan dari tahun 2003 sebesar 60,12% meningkat sedikit tahun 2004 menjadi 60,23% dan menurun menjadi 55,37% pada tahun 2005. Sedangkan belanja pelayanan publik meningkat dari tahun 2003 hingga 2005 baik dari segi jumlah maupun persentase yakni sebesar 16,90% tahun 2003, meningkat menjadi 21,96% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 31,60% pada tahun 2005. Namun anggaran pembangunan belanja daerah Kabupaten Bogor mengalami defisit dari tahun 2003 hingga 2005.


(26)

Tabel 5 Anggaran belanja Kabupaten Bogor tahun 2003 – 2005 (dalam jutaan)

Tahun

No Belanja 2003 2004 2005

1 Aparatur Daerah 559.349 628.391 639.276

2 Pelayanan Publik 154.697 229.183 364.825

3 Bagi Hasil & Bantuan

Keuangan

135.242 149.736 135.370

4 Tak Tersangka 65.792 35.932 15.000

Jumlah Belanja 915.081 1.043.243 1.154.473 Jumlah Pendapatan 832.049 923.309 1.043.646 Surplus/(Defisit) (83.032) (119.934) (110.827)

Sumber: Kebijakan Umum APBD Kabupaten Bogor tahun 2006.

Berdasarkan Tabel 5 di atas, terlihat bahwa anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pengeluaran anggaran belanja dibandingkan dengan anggaran belanja untuk pelayanan publik antara lain seperti pendidikan dan kesehatan. Adapun nilai untuk belanja rutin meningkat setiap tahun, namun dari segi persentase mengalami penurunan dari tahun 2003 sebesar 60,12% meningkat sedikit tahun 2004 menjadi 60,23% dan menurun menjadi 55,37% pada tahun 2005. Sedangkan belanja pelayanan publik meningkat dari tahun 2003 hingga 2005 baik dari segi jumlah maupun persentase yakni sebesar 16,90% tahun 2003, meningkat menjadi 21,96% tahun 2004 dan meningkat lagi menjadi 31,60% pada tahun 2005. Namun anggaran pembangunan belanja daerah Kabupaten Bogor mengalami defisit dari tahun 2003 hingga 2005.

Dengan anggaran yang defisit pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggunakan secara jeli dalam mengalokasikan anggarannya yang terbatas tersebut untuk mengoptimalkan kinerja pembangunan di daerahnya. Alokasi anggaran pembangunan yang dilakukan secara tepat akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan perekonomian.

Perumusan Masalah

Pembangunan hendaknya tidak hanya mementingkan aspek pertumbuhan semata tetapi harus diikuti aspek pemerataan, penciptaan dan perolehan kesempatan


(27)

kerja serta tidak terganggunya ekosistem, karena pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan sering menciptakan dampak kesenjangan baik di sektor ekonomi maupun spasial antar wilayah serta selalu diikuti kesenjangan pendapatan antar golongan masyarakat.

Menurut Anwar dan Hadi (1996) perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi tekanannya lebih kepada upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari tolak ukur peningkatan angka Produk Domestic Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh rakyat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Sehingga perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik itu investasi pemerintah maupun swasta.

Hirschman dalam Todaro (1989), menyatakan bahwa untuk negara (daerah) yang berkembang, pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (imbalanced growth) namun dilakukan dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan memberi implikasi ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap sektor-sektor lainnya. Untuk menentukan prioritas pembangunan berdasarkan sektor unggulan menurut Nazara (1997), metode yang bisa digunakan adalah analisis keterkaitan antar sektor. Sektor dengan keterkaitan paling tinggi berarti memiliki potensi menghasilkan output produksi yang tinggi pula.

Tingginya konsentrasi pusat-pusat pertumbuhan di sekitar wilayah tertentu di Kabupaten Bogor, menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pembangunan wilayah. Kurangnya kesadaran spasial antar wilayah mengakibatkan dampak pembangunan yang terkonsentrasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi wilayah-wilayah lainnya, yang secara tidak langsung turut memberikan sumbangan bagi kemajuan bagi wilayah telah maju. Pada akhirnya hubungan fungsional yang terjadi antarwilayah bukannya saling memperkuat namun akan


(28)

saling melemahkan. Terkait dengan sektor-sektor unggulan di Kabupaten Bogor, perlu dilakukan indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan tersebut di Kabupaten Bogor. Dengan mengetahui lokasi-lokasi sektor unggulan, diharapkan arahan pengembangan sektor unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, dapat lebih terfokus tanpa mengabaikan struktur perekonomian di kabupaten tersebut selama ini. Selain itu, kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan ini memberikan konsekuensi logis kepada perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Prinsip di dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Sejalan dengan berlakunya UU No 17/2004 tentang Keuangan Negara yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2005, maka anggaran yang disusun harus mengacu kepada anggaran yang berbasis kinerja. Dengan anggaran berbasis kinerja, diharapkan semua pengeluaran anggaran dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Yang menjadi persoalan di dalam pengalokasian anggaran selain tidak berimbangnya alokasi antara belanja rutin dan pembangunan adalah ketidaktepatan di dalam mengalokasikan anggaran itu sendiri terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas. Ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran akan menyebabkan inefisiensi dan kemubaziran, sehingga tujuan pembangunan yang diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran yang lebih menitikberatkan kepada belanja pembangunan atau investasi akan menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.

Masalah ekonomi bagi masyarakat bukan hanya soal kelancaran alokasi tetapi juga soal distribusi, maka setiap bentuk dan arah alokasi belanja pemerintah tentu punya nilai tersendiri. Jika alokasi anggaran lebih banyak untuk anggaran belanja


(29)

rutin birokrasi dan belanja para pejabat publik, maka aspek keadilannya menjadi kecil. Jika alokasi APBD untuk belanja pembangunan atau belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan ditemukan jawabannya, yaitu :

1. Sektor-sektor apa saja yang dapat diidentifikasikan sebagai sektor unggulan di Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana potensi dan rencana pengembangan sektor unggulan di Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana dukungan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis sektor-sektor unggulan dalam perekonomian di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis potensi dan rencana pengembangan sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

3. Identifikasi alokasi anggaran pembangunan untuk mendukung sektor unggulan di Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Memberikan suatu gambaran tentang kondisi dan peran sektor-sektor perekonomian dalam pembangunan wilayah di Kabupaten Bogor dan faktor-faktor pendukungnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di dalam membangun keterkaitan antar sektor dalam kerangka pengembangan wilayah serta pengalokasian anggaran pemerintah daerah Kabupaten Bogor.


(30)

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah di dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, serta penulisan diharapkan dapat lebih terfokus. Pembatasan permasalahan dilakukan pada beberapa hal sebagai berikut : 1. Dalam kaitan antara alokasi anggaran dengan sektor unggulan di Kabupaten

Bogor, maka pembahasan hanya melihat keterkaitan antara pola alokasi anggaran dengan sektor unggulan.

2. Untuk menentukan sektor unggulan, penelitian difokuskan pada aspek ekonomi namun tidak mengabaikan aspek sumberdaya yang ada. Dalam hal ini pembahasan aspek sumberdaya dilakukan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek ekonomi.


(31)

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah

Secara yuridis menurut Undang-Undang No 24/1992 tentang Penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget 1977 dalam Rustiadi et al. 2005a) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Wilayah homogen (uniform/ homogenous region); 2. Wilayah nodal (nodal region);

3. Wilayah perencanaan (planning region atau programming region).

Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah.

Menurut Tacoli (1998) bahwa konsep pembangunan dalam beberapa dekade terakhir ditujukan pada peubahan hubungan antara sektor pertanian dengan industri. Kebijakan pertumbuhan ekonomi mengikuti satu atau dua pendekatan, yaitu pertama investasi di sektor pertanian berpengaruh pada penyediaan kebutuhan sektor industri dan perkotaan, sedangkan pendekatan kedua berpendapat bahwa pertumbuhan industri dan perkotaan memerlukan sektor pertanian yang lebih modern.


(32)

Strategi pembangunan dengan pusat pertumbuhan didasarkan pada asumsi bahwa pembangunan dimulai pada beberapa sektor yang dinamis dan pada wilayah tertentu, yang dapat memberikan dampak yang luas (spread effect) dan dampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain dan wilayah yang lebih luas (Stohr 1981 dalam Mercado 2002). Pandangan ekonomi neo-klasik berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin ekuilibrium (kesetimbangan) dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai, dan akan turun ke kawasan hinterland dan perdesaan melalui beberapa mekanisme yaitu hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar.

Mercado (2002) menyatakan bahwa kegagalan teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah hinterland. Friedman (1976) menyebutkan bahwa antara pusat dengan hinterlandnya mempunyai hubungan yang minimal sehingga apabila pembangunan berjalan maka biasanya hanya terjadi pada satu sisi dimana hinterland selalu terbelakang, tereksploitasi dan tidak dapat berkembang karena hinterland hanya penunjang perkembangan pusat.

Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling berseberangan. Dominasi pertama menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat (production centered development) dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Dominasi kedua menekankan pembangunan desentralistik atau pembangunan yang berpusat kepada masyarakat (people centered development).

Menurut Zen (1999) pengembangan wilayah adalah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia, dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat.


(33)

Perencanaan dan Keuangan Daerah

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), sistem perencanaan pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, perencanaan pembangunan yang sudah disusun lebih khusus dan mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah,

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan.

Perencanaan pembangunan selalu memerlukan skala prioritas, karena (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda kepada pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karateristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar tidak merata dan bersifat spesifik, sehingga beberapa sektor cenderung terpusat dan terkait dengan sumberdaya alam, sumber buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial (adat istiadat) yang ada. Dengan demikian tujuan pembangunan wilayah itu adalah: (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan sosial (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability) ekosistem (Anwar 2000 dalam Dermoredjo 2001).

Pengalaman bangsa Indonesia menunjukkan bahwa perencanaan yang sentralistik dengan harapan adanya trickle down effect ke arah hinterland ternyata tidak terjadi; sebaliknya yang terjadi adalah net-effect-nya malah menimbulkan masive backwash effect (Lipton, 1997 dalam Anwar dan Rustiadi, 2000). Ditingkat


(34)

pelaksanaan program pembangunan banyak kegagalan karena terjadi misleading policy yang menyesatkan. Sehingga dampaknya menjadi semakin jauh dari tujuan pembangunan yang diinginkan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Munculnya isu pemerintahan yang good governance dimana peningkatannya relatif lambat, sehingga telah terjadi pergeseran dari bentuk sentralisasi ke arah desentralisasi. Dengan arah pembangunan yang terdesentralisasi mengakibatkan tumbuhnya keinginan yang mengharuskan terjadinya transfer kekuasaan dalam bidang fiskal dari pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal sangat berperan dalam pengumpulan pendapatan dan pengeluarannya sebagai alat untuk mengarahkan peningkatan kegiatan ekonomi.

Selama proses desentralisasi diperkirakan akan terjadi secara simultan hal-hal yang menyangkut kejadian-kejadian ekonomi yang memerlukan perhatian seperti dalam memberikan kewenangan perpajakan lokal dari pemerintah pusat dan memberi kesempatan untuk mewujudkan kekuasaan meminjam (borrowing power) oleh daerah dan di lain pihak masih diperlukan untuk menjamin stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional. Fenomena-fenomena yang terjadi secara simultan ini mempunyai aspek-aspek positif maupun negatif. Oleh karenanya pendekatan yang memusatkan kepada aplikasi dan pengaturan fiskal yang tepat dan mekanisme yang lebih tepat pula untuk mencapai potensi manfaat dari desentralisasi fiskal, sementara berusaha untuk meminimumkan kemungkinan terjadi dampak-dampak negatif yang tidak diinginkan.

Menurut Anwar (2001), semua keputusan kebijakan yang menyangkut desentralisasi fiskal harus berhubungan dengan empat isu secara simultan, yaitu: (1) efisiensi ekonomi, (2) ketidakmerataan antar wilayah-wilayah, (3) ketidakstabilan makro ekonomi akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal, dan (4) kompetisi regional.

Efisiensi ekonomi yang didefinisikan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari pengeluaran pemerintah untuk diterima oleh pembayar pajak, sedangkan nilai outputnya menjadi bertambah besar dari pemanfaatan sejumlah sumberdaya tertentu. Kedua aspek dari efisiensi ekonomi tersebut dikenal sebagai “consumer efficiency” dan “producer efficiency”. Dalam definisi yang terakhir ini peningkatan output dapat berarti juga dalam memperbaiki kualitas dari output. Perbaikan atau


(35)

peningkatan efisiensi pada gilirannya tergantung dari perancangan yang baik dari enam faktor yaitu: (1) penentuan belanja pengeluaran, (2) penentuan sumber-sumber pendapatan, (3) transfer fiskal, (4) manajemen fiskal dan penentuan anggaran, (5) struktur hukum dan (6) lembaga serta peran masyarakat.

Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik dan menempatkan daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai patner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap tahun oleh gubernur/bupati/walikota atas persetujuan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya adalah pemilihan presiden secara langsung, membawa konsekuensi tidak adanya lagi mandaris MPR sehingga secara otomatis GBHN juga tidak ada lagi. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Namun, hal ini bukan berarti sistem perencanaan pembangunan secara nasional tidak diperlukan lagi. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.

Di era otonomi daerah, pemerintah daerah harus mampu mengatur dengan hati-hati masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Karena APBD merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.


(36)

Dengan desentralisasi fiskal pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat.

Lewis (2001), menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil.

Konsep-konsep pembangunan dalam era otonomi daerah tetap harus berjalan seiring dan harmonis antara daerah dan pusat. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka pemerintah daerah ditempatkan sebagai patner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan di Indonesia, membawa konsekuensi tidak ada lagi GBHN. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.

Dalam undang-undang ini, perencanaan pembangunan dibagi dalam tiga dimensi waktu, yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan. Oleh karena itu, dalam penyampaian visi, misi, dan strategi pemilihan presiden berikutnya harus mengacu kepada perencanaan pembangunan 25 tahun mendatang sehingga terjadi kesinambungan antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.


(37)

RPJP NASIONAL RPJM NASIONAL Pedoman RKP RENSTRA

KL RENJA KL

Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman RJA-KL Pedoman RAPBN Pedoman RINCIAN APBN APBN RPJP DAERAH RPJM DAERAH Pedoman RKP DAERAH Dijabarkan RAPBD Pedoman APBD RENSTRA

KL RENJA KL

Pedoman Pedoman RJA-KL Pedoman RINCIAN APBN Diacu Diacu Diperhatikan PE M E R IN T A H PU SA T P E M E R INT AH DA E R A H Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun

UU 25 TAHUN 2004 - SPPN UU 17 TAHUN 2004 - KN

Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.

Gambar 1 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004.

Sumber Pendapatan Daerah

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati/walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.


(38)

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Pengelolaan Daerah Yg Dipisahkan

Lain-Lain PAD Yang Sah D a na B a gi H as il D a na A lo k as i U m u m D a na A lok a s i K h us u s Pemerintah

Pemerintah Daerah Lain Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat H ib ah Y an g B er a s al D a ri P em er int ah an As in g D a n a D a ru ra t Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan Pinjaman Daerah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah

SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH

PBB BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21

Kehutanan Pertambangan Umum

Perikanan Pertambangan Minyak Bumi

Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi

Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU

Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 2 Sumber-sumber pendanaan daerah.

Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah tersebut sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan.

a. Dana Bagi Hasil

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.


(39)

b. Dana Alokasi Umum

Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah. Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar. c. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

Prioritas Pembangunan Sektoral

Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi


(40)

pemerintah maupun swasta. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan yang diharapkan dapat menggerakan sektor-sektor lainnya.

Dalam analisis input-output menurut Arief (1993), kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan adalah sektor-sektor yang :

a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya b. menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan

permintaan akhir yang relatif tinggi pula

c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi

Rustiadi et al.(2005a) menyatakan bahwa syarat suatu sektor layak dijadikan sebagai unggulan di dalam perekonomian daerah ialah memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian daerah serta mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya baik ke depan dan ke belakang yang besar.

Sedangkan menurut Saefulhakim (2004) skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa (1) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karateristik yang berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan, sosial yang ada.

Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam konsep pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antar sektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap kearah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumberdaya (Anwar dan Hadi 1996).

Sumberdaya Dasar

Sumberdaya dasar adalah sumberdaya yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah yang ada dan


(41)

ditemukenali serta yang bersumber di dalam wilayah otoritas yang bersangkutan. Sumberdaya dasar merupakan anasir penting dalam pelaksanaan pengembangan wilayah. Sumberdaya dasar dimaksud adalah sumberdaya alam yang terkait dengan potensi fisik wilayah, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Kiat manajemen/pengelolaan yang berimbang dan berkelanjutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam peningkatan produktivitasnya. Keberhasilan pengelolaan dengan berpijak pada kaidah kelestarian lingkungan dan berkelanjutan akan dapat menjamin terhadap meningkatnya masukan daerah.

Manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Sumberdaya manusia merupakan kunci sukses dalam setiap pelaksanaan pembangunan baik dalam skala kecil, menengah maupun sedang. Dalam rangka peningkatan keberhasilan pelaksanaan pembangunan tersebut maka diperlukan kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas di tingkat regional untuk masa-masa sekarang dan yang akan datang perlu dilakukan dan perlu memperoleh/mendapatkan perhatian yang serius dalam penanganannya sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara baik dan benar. Permbangunan regional bukanlah membangun fisik daerah semata-mata, melainkan inti pembangunan daerah adalah membangun sumberdaya manusia (Christanto 2002).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

The United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan pembangunan manusia sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan terakhir (the ultimate end) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means) untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas, pemerataan, kesinambungan, pemberdayaan (IPM Kabupaten Bogor tahun 2005).

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia berlangsung melalui dua macam jalur. Jalur pertama, melalui kebijaksanaan dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah pengeluaran


(42)

pemerintah untuk sub sektor sosial yang merupakan prioritas seperti pendidikan dan kesehatan dasar. Jalur kedua, adalah melalui kegiatan pengeluaran rumah tangga. Dalam hal ini faktor yang menentukan adalah besar dan komposisi pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan dasar seperti pemenuhan nutrisi anggotanya, untuk biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar, serta untuk kegiatan lain serupa.

Dalam tatanan desentralisasi atau otonomi daerah, tercapainya peningkatan taraf kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh peningkatan kualitas dari manusianya. Pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia yang ada di daerah tidak bisa dilakukan dengan baik apabila tidak didukung oleh data-data atau indikator-indikator pembangunan

Dewasa ini untuk mengukur tingkat pencapaian upaya pembangunan manusia, UNDP mengembangkan suatu indeks komposit yang memasukan unsur keberhasilan pembangunan ekonomi dan keberhasilan sosial yang selanjutnya disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan angka rata-rata indeks dari tiga komponen IPM yaitu indeks kesehatan (angka harapan hidup), indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), serta indeks kemampuan daya beli (PPP).

Kabupaten Bogor dengan sumber daya alam yang cukup kaya berusaha untuk menempatkan penduduk sebagai tujuan sebenarnya dari seluruh kegiatan pembangunan. Maka pembangunan manusia di Kabupaten Bogor memandang semua program kegiatan pembangunan harus dipusatkan pada upaya-upaya pemberdayaan untuk meningkatkan kemajuan (achievement), kapabilitas (capability), kebebasan (freedom) manusia sesuai dengan arah reformasi. Untuk itu indikator komposit IPM dijadikan sebagai salah satu alat untuk melihat, merencanakan dan menganalisis pembangunan manusia di Kabupaten Bogor. UNDP mengelompokkan IPM dengan kategori sebagai berikut (Todaro, 2000):

Kategori tinggi : IPM lebih dari 80

IPM menengah atas : IPM antara 66,00 – 79,99 IPM menengah bawah: IPM antara 50,00 – 65,99 IPM bawah : IPM kurang dari 50,00 Metode Penghitungan IPM


(43)

Keterangan:

X1 : Harapan Hidup

X2 : Pendidikan

X3 : Daya Beli

Metode Penghitungan Indeks Xi,j

Indeks Xi,j = (Xij – Xi–min) / (Xi–max – Xi–min)

Xi,j : indikator ke-i dari daerah ke-j

Xi–min : nilai minimum dari Xi

Xi–max : nilai maksimum dari Xi

Tabel 6 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM

Sumber: IPM Kabupaten Bogor tahun 2005.

Analisis Input-Output

Pendekatan analisis Input-Output merupakan kerangka komprehensif untuk menganalisis wilayah. Pendekatan ini mampu menggambarkan beragam sifat hubungan di antara sektor-sektor industri dan di antara sektor-sektor industri dengan komponen ekonomi lainnya (Isard, 1972). Penerapan kerangka Input-Output dalam perekonomian dikembangkan oleh Wasilly Leontief pada tahun 1930-an. Model Input-Output merupakan salah satu peralatan analisis yang banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi, geografi, regional science and engineering (Young, 2002).

Berbagai manfaat atau kegunaan analisis Input-Output menurut Tarigan (2004b), antara lain :

1. Menggambarkan keterkaitan antar sektor sehingga memperluas wawasan terhadap perekonomian wilayah.

Komponen IPM Satuan Nilai Maksimal

Nilai Minimal

Keterangan

Angka Harapan Hidup Tahun 85 25 Standar UNDP

Angka Melek Huruf % 100 0 Standar UNDP

Rata-rata Lama Sekolah Tahun 15 0 Standar UNDP

Daya Beli Rp pada PPP 737.720 360.000 Modifikasi


(44)

2. Dapat digunakan untuk mengetahui daya menarik (backward linkage) dan daya mendorong (forward linkage) dari setiap sektor sehingga mudah menetapkan sektor mana yang dijadikan sebagai sektor strategis dalam perencanaan pembangunan perekonomian wilayah.

3. Dapat meramalkan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat kemakmuran 4. Sebagai salah satu alat analisis yang penting dalam perencanaan pembangunan

ekonomi wilayah karena bisa melihat permasalahan secara komprehensif.

5. Dapat digunakan sebagai bahan menghitung kebutuhan tenaga kerja dan modal dalam perencanaan pembangunan ekonomi wilayah.

Tabel input output pada hakekatnya merupakan suatu sistem pencatatan transaksi, maka dalam proses penyusunannya digunakan beberapa asumsi. Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam penyusunan Tabel input output adalah:

1. Homogenitas, yaitu asumsi bahwa satu sektor hanya akan menghasilkan satu jenis output dengan struktur input yang tunggal dan tidak ada substitusi otomatis antar output dan sektor yang berbeda.

2. Proporsionalitas, yaitu kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang dihasilkan oleh sektor tersebut.

3. Aditivitas, asumsi bahwa jumlah pengaruh dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan hasil penjumlahan dari setiap pengaruh pada masing-masing sektor tersebut. Asumsi ini sekaligus menegaskan bahwa pengaruh yang timbul dari luar sistem input-output diabaikan.

Keunggulan analisis Input-Output dibandingkan analisis lainnya adalah:

1. Kemampuan model Input-Output untuk melihat sektor demi sektor dalam perekonomian sampai pada tingkat yang sangat rinci sehingga membuat analisis ini cocok untuk proses perencanaan.

2. Kemampuan menganalisis keterkaitan dan hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Hubungan antar sektor ini menjadi penting sejak analisis pembangunan ekonomi tidak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga mulai melihat pembagian pertumbuhan antar faktor produksi dan juga sumber-sumber pertumbuhan itu sendiri.


(45)

Selain itu menurut Bendavid-Val (1991) bahwa analisis Input-Output merupakan analisis yang memiliki kekuatan dalam mengidentifikasi aktivitas ekonomi regional serta keterkaitan di antaranya, yang dapat menawarkan kesempatan yang luas untuk meningkatkan pendapatan dalam suatu wilayah.

Kelemahan analisis Input-Output dibandingkan analisis lainnya adalah:

1. Analisis Input-Output sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan, yaitu bahwa koefisien input atau koefisien teknis diasumsikan tetap selama periode analisis. Karena koefisien teknis dianggap konstan, maka teknologi yang digunakan oleh sektor-sektor ekonomi dalam proses produksi pun dianggap konstan. Akibatnya perubahan kuantitas dan harga input akan selalu sebanding dengan perubahan kuantitas dan harga output.

2. Analisis Input-Output tidak mampu menjelaskan masalah distribusi pendapatan dalam suatu perekonomian karena dalam model Input-Output tidak terdapat elemen yang dapat mencerminkan distribusi pendapatan.

3. Analisis Input-Output tidak mampu menjawab bagaimana tujuan yang ditetapkan dengan cara yang paling mungkin, dimana pilihan tersebut dihadapkan pada sumberdaya tertentu. Analisis Input-Output hanya mampu menjawab pertanyaan mengenai apakah daerah mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mencapai target yang ingin dicapai.

Dalam metode Input-Output, output yang diproduksi oleh suatu sektor i didistribusikan ke dua pemakai, yaitu pemakai yang menggunakan output tersebut untuk proses produksi lebih lanjut (sektor produksi) dan pemakai yang menggunakan output tersebut untuk pemakaian akhir. Bagi pemakai pertama, output sektor i merupakan bahan baku atau input antara, sedangkan bagi pemakai kedua, output sektor i merupakan permintaan akhir. Dalam input antara dapat terjadi arus perpindahan barang antar sektor misalnya dari sektor i ke sektor j dan dapat pula terjadi perpindahan dalam sektor itu sendiri.

Pada hakekatnya model Input-Output dikembangkan untuk menganalisis dan mengukur hubungan antar berbagai sektor produksi dan konsumsi dalam perekonomian wilayah. Ketergantungan antar sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui persamaan linear. Hasil analisis Input-Output menunjukkan


(46)

sektor-sektor kunci dalam perekonomian yang menjadi pertimbangan utama untuk dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Struktur dasar dari Tabel transaksi Input-Output dapat digambarkan dalam Gambar berikut ini:

Permintaan Internal Wilayah

Permintaan Antara Permintaan

Akhir

Permintaan Eksternal

Wilayah

Total Output

1 2 … J … n C G I E

1 X11 … … X1j … X1n C1 G1 I1 E1 X1

2 X21 … … X2j … X2n C2 G2 I2 E2 X2

: … … … …

i … … … Xij … … Ci Gi Ii Ei Xi

: … … … …

Inpu

t An

tara

n Xn1 … … Xnj … Xnn Cn Gn In En Xn

W W1 … … Wj … Wn CW GW IW EW W

T T1 … … Tj … Tn CT GT IT ET T

Inpu

t In

tern

al

Wilay

ah

Nilai Tamba

h

S S1 … … Sj … Sn CS GS IS ES S

Input Eksternal

Wilayah

M M1 … … Mj … Mn CM GM IM - M

Total Input X1 … … Xj … Xn C G I E X

Sumber: Modul Permodelan (Saefulhakim S. 2004). Gambar 3 Struktur dasar tabel Input-Output. Keterangan :

i,j : Sektor ekonomi: i=1,2,..,n; j=1,2,..,n

Xij : Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j

Xi : Total output sektor i; Xj : total input sektor j; untuk sektor yang sama (i=j), total output sama

dengan total intput (Xi=Xj)

Ci : Permintaan konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i

Gi : Permintaan konsumsi (pengeluaran belanja rutin) pemerintah terhadap output sektor i

Ii : Permintaan pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i; output sektor i

yang menjadi barang modal

Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang diekspor/dijual ke luar wilayah,

permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i

Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+Ei)

Wj : Pendapatan (upah dan gaji) rumah tangga dari sektor j, nilai tambah sektor j yang

dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j

Tj : Pendapatan pemerintah (Pajak Tak Langsung) dari sektor j, nilai tambah sektor j yang

menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j

Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha


(47)

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan model Input-Output antara lain yang dilakukan oleh Assidiqqi (2005), yakni untuk menganalisis sektor ekonomi yang memiliki struktur keterkaitan antar sektor yang kuat (sektor unggulan) di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur. Hasil analisis Input-Output tersebut dapat diidentifikasi enam sektor unggulan di Kota Batu yakni sektor industri, pariwisata (hotel dan restoran), bangunan, listrik dan air bersih, perdagangan dan pertanian.

Suryawardana (2006), menggunakan metode Input-Output untuk mengidentifikasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur. Hasil analisis Input-Output tersebut dapat diidentifikasi lima sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur yaitu sektor industri kertas dan barang cetakan, sektor industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, sektor makanan kacang-kacang lainnya, sektor restoran dan sektor bangunan dan konstruksi.


(48)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran dan Kerangka Analisis

Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menjalankan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 juncto No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 juncto No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sejak saat itu di Indonesia telah terjadi perubahan yang gradual dalam konsep pembangunan nasional. Pergeseran paradigma pembangunan ini setidaknya terlihat dari aspek perencanaan, aspek pengelolaan seluruh sumberdaya, dan aspek kelembagaannya.

Anggaran bagi suatu pemerintahan merupakan rencana kerja yang akan dilaksanakan pada satu tahun ke depan dan disajikan dalam bentuk angka-angka. Angka-angka pada sisi penerimaan mencerminkan rencana pendapatan serta sumber-sumber untuk mendapatkannya, sedangkan angka-angka pada sisi pengeluaran mencerminkan program kerja pemerintahan maupun pembangunan yang akan dilaksanakan. Keterbatasan dana sebagai sumber pembiayaan dalam melaksanakan pembangunan merupakan alasan ditetapkannya suatu skala prioritas di dalam pembangunan. Penetapan prioritas dalam suatu pembangunan di daerah berarti merupakan suatu pilihan untuk melaksanakan rencana kerja dengan tujuan bahwa rencana kerja tersebut mempunyai dampak atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

Wilayah yang berkembang dengan baik ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor dalam perekonomian, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang berlangsung secara dinamis. Pendekatan pembangunan secara sektoral dilakukan dengan jalan menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian satu per satu untuk dilihat peluang dan potensinya. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat keterkaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya dilakukan dengan menggunakan metode analisis Input-Output.

Dengan menggunakan metode analisis tersebut, maka dapat ditetapkan berbagai sektor yang merupakan sektor unggulan dengan berbagai kriteria yang


(49)

telah ditetapkan, sehingga pada akhirnya dapat ditetapkan skala prioritas tentang sektor apa yang perlu dikembangkan di wilayah tersebut berdasarkan sasaran yang ingin dicapai. Selain itu, pemahaman tentang struktur perekonomian wilayah sangat diperlukan dalam rangka mengambil kebijakan-kebijakan yang diperlukan dalam pembangunan wilayah pengetahuan tentang karakteristik perekonomian wilayah dan sektor-sektor yang menjadi unggulan pada wilayah tersebut akan memudahkan di dalam menentukan prioritas pembangunan dan pengalokasian anggaran dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Anwar dan Hadi (1996) penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian antar sektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, terwujudnya keterkaitan antar sektor, proses pembangunan bisa berjalan secara bertahap kearah yang lebih maju dan dihindari adanya kebocoran wilayah dan kemubaziran sumber daya

Alokasi anggaran belanja yang terkait dengan sektor unggulan akan memberi dampak terhadap sektor-sektor lainnya. Atau dapat dikatakan, dengan melakukan pembiayaan terhadap suatu sektor tertentu maka sektor lainnya akan menerima manfaat juga.

Perencanaan pembangunan wilayah yang disusun secara komprehensif pada akhirnya akan meningkatkan kinerja pembangunan daerah sehingga hasil-hasil yang diharapkan dapat tercapai. Dalam pembangunan perekonomian daerah, setiap kebijakan dan kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan pembangunan di daerah pasti akan mendasarkan diri dari kekhasan yang menjadi ciri daerah yang bersangkutan, dimana kegiatan tersebut ditujukan bagi terciptanya peningkatan baik jumlah maupun jenis kesempatan kerja bagi masyarakatnya, pertumbuhan perekonomian wilayah yang stabil, dan peningkatan pendapatan per kapita.


(1)

Lampiran 12 Hirarki Wilayah di Kabupaten Bogor

No. Kecamatan F B X C A Q L S Z M N D P V T R W U O K Y G I E J H Indeks

Urt. Hirarki

1 Cibinong 1.570 2.944 2.703 4.212 3.190 0.989 2.125 4.619 1.967 4.385 2.087 4.992 1.714 3.022 2.336 4.520 2.472 4.214 1.387 2.089 0.065 3.818 1.102 4.110 3.840 2.638 73.110 2 Cilengsi 1.546 3.084 0.637 2.174 2.552 1.649 3.718 2.140 3.670 2.558 1.809 1.498 3.429 1.511 2.548 2.782 3.344 1.405 3.466 0.232 0.521 1.091 1.102 0.000 1.920 0.000 50.385 3 Citeureup 1.280 1.635 4.097 1.631 0.780 1.154 2.656 2.028 1.879 1.340 1.948 2.329 3.429 1.511 1.911 1.043 3.344 2.809 3.120 1.161 0.000 2.182 1.102 0.000 0.000 2.638 47.007 4 Gunung Putri 0.846 2.009 2.909 1.495 2.126 1.154 1.062 1.802 3.259 2.923 3.896 1.498 3.429 0.000 2.123 0.695 1.890 1.405 0.693 4.178 0.000 1.636 0.000 0.000 0.000 0.000 41.030 5 Bojonggede 1.739 1.448 1.394 3.941 4.324 0.824 1.062 2.591 0.881 1.462 4.036 1.830 1.714 1.511 2.336 0.695 0.145 0.000 0.693 3.018 0.065 2.727 1.102 0.000 0.000 0.000 39.541 6 Ciampea 2.633 2.476 1.377 1.902 1.772 4.782 2.125 0.282 3.347 0.609 0.835 2.662 1.714 1.511 1.486 0.695 0.872 1.405 1.040 1.625 0.195 1.636 1.102 0.000 0.000 0.000 38.085 7 Ciawi 1.135 0.093 1.618 0.951 0.567 2.144 1.062 1.718 1.233 1.705 2.227 1.331 3.429 1.511 2.973 1.391 2.617 2.809 1.733 1.857 0.261 0.000 0.000 1.028 1.920 0.000 37.313 8 Parung 1.232 2.196 2.462 2.446 0.851 0.660 1.062 1.633 0.558 1.157 2.644 1.664 3.429 1.511 2.123 2.782 0.291 1.405 0.000 0.696 0.130 1.636 1.102 1.028 1.920 0.000 36.618 9 Leuwiliang 2.561 3.551 0.534 2.038 0.992 1.814 3.187 1.352 0.675 0.670 0.835 2.163 3.429 1.511 3.185 1.043 0.872 1.405 0.693 0.696 0.000 0.000 0.000 1.028 1.920 0.000 36.154 10 Cisarua 1.280 0.327 1.739 0.544 0.780 0.660 1.062 1.971 0.939 0.670 0.417 0.333 1.714 4.533 2.123 1.391 0.727 1.405 1.387 0.696 5.015 0.545 1.102 0.000 1.920 2.638 35.919 11 Ciomas 3.068 2.290 1.360 1.902 0.780 0.165 3.187 1.774 0.470 1.949 0.696 1.997 3.429 0.000 2.548 0.348 0.436 1.405 1.040 0.696 0.130 0.000 0.000 1.028 0.000 0.000 30.696 12 Kemang 0.942 1.355 0.327 1.631 0.780 0.989 0.531 0.591 0.264 0.487 1.670 2.163 1.714 3.022 2.123 0.000 0.291 1.405 0.347 1.393 0.130 1.091 0.000 1.028 1.920 0.000 26.194 13 Cijeruk 4.638 3.084 0.361 1.631 0.284 0.330 1.062 0.845 0.117 0.305 0.696 1.498 1.714 1.511 1.911 0.000 0.145 0.000 0.347 0.000 0.065 0.545 1.102 0.000 0.000 2.638 24.830 14 Mega Mendung 0.991 0.561 0.775 0.544 0.284 2.308 0.531 0.676 0.059 0.305 0.557 0.666 1.714 1.511 2.123 0.695 0.145 1.405 0.693 0.232 2.475 1.091 1.102 3.083 0.000 0.000 24.524 15 Cigudeg 2.682 2.850 0.052 0.544 0.071 0.989 3.718 0.366 0.235 0.853 0.417 0.666 1.714 4.533 0.212 0.348 0.000 1.405 2.773 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 24.427 16 Sukaraja 1.329 1.308 0.740 1.495 0.992 1.154 1.593 1.296 0.675 0.183 0.557 0.499 1.714 1.511 2.336 0.348 0.291 1.405 0.347 1.393 0.130 1.636 1.102 0.000 0.000 0.000 24.034 17 Gunung Sindur 0.000 0.794 0.103 1.087 0.425 1.319 2.125 0.253 1.204 0.305 1.252 0.832 1.714 1.511 1.062 0.348 0.145 0.000 0.000 0.000 0.000 2.182 4.409 0.000 0.000 2.638 23.709 18 Caringin 2.054 0.561 1.205 1.087 0.071 1.484 0.531 1.239 0.851 0.548 1.113 1.165 1.714 1.511 1.274 1.391 0.436 2.809 0.693 0.232 0.391 0.000 0.000 1.028 0.000 0.000 23.388 19 Jonggol 1.788 1.542 0.361 0.679 0.284 2.803 0.531 0.197 0.822 0.244 0.835 0.998 1.714 1.511 0.212 0.695 0.000 1.405 2.773 0.232 0.000 1.091 2.205 0.000 0.000 0.000 22.923 20 Darmaga 0.773 0.327 1.171 0.136 0.354 0.989 1.539 1.267 0.382 0.426 0.417 0.499 1.714 1.511 1.274 1.391 1.454 1.405 1.040 0.464 0.065 0.000 0.000 2.055 0.000 0.000 20.709 21 Pamijahan 3.527 0.888 0.224 1.087 0.567 0.495 1.062 0.422 0.528 0.487 0.000 0.832 3.429 1.511 0.000 2.086 0.000 1.405 0.347 0.000 0.977 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 19.874 22 Jasinga 1.425 1.729 0.189 0.544 0.000 0.495 1.539 0.422 0.558 0.365 0.696 0.666 1.714 1.511 0.000 1.043 0.582 1.405 0.000 0.232 0.065 0.545 1.102 0.000 0.000 0.000 16.882 23 Rumpin 1.715 1.962 1.515 0.679 0.213 0.824 1.539 0.253 0.793 0.122 0.278 0.998 1.714 1.511 0.849 0.348 0.436 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.028 0.000 0.000 16.833 24 Parung Panjang 0.531 1.028 0.000 0.951 0.851 0.330 0.531 0.366 0.176 0.183 1.252 1.165 1.714 1.511 0.212 0.695 0.145 0.000 0.347 0.696 0.065 0.545 2.205 0.000 0.000 0.000 15.501 25 Cibungbulang 1.691 1.028 0.310 1.087 0.354 0.000 1.062 0.535 0.382 0.305 1.252 1.165 1.714 1.511 0.849 0.348 0.145 1.405 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 15.144 26 Cariu 2.029 1.448 0.396 0.544 0.142 0.330 2.125 0.394 0.059 0.122 0.696 0.499 1.714 1.511 0.212 1.043 0.000 1.405 0.347 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 15.015 27 Nanggung 1.232 0.000 0.052 0.000 0.638 0.000 0.531 0.225 0.029 0.244 0.139 0.166 3.429 1.511 0.000 0.000 0.000 1.405 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 9.601 28 Tenjo 0.193 0.467 0.448 0.544 0.071 0.330 0.531 0.169 0.088 0.000 1.252 0.499 0.000 1.511 0.637 0.348 0.000 0.000 0.000 0.232 0.000 0.000 1.102 0.000 0.000 0.000 8.422 29 Babakan Madang 0.362 0.888 0.293 0.408 0.496 0.165 1.062 0.141 0.088 0.122 0.696 0.000 0.000 0.000 1.062 0.000 0.291 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.205 0.000 0.000 0.000 8.277 30 Suka Makmur 2.078 0.187 0.103 0.136 0.071 0.000 0.000 0.000 0.000 0.061 0.278 0.000 3.429 1.511 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.854


(2)

Lampiran 13 Variabel-variabel yang digunakan dalam Analisa Skalogram

No. Kode Variabel

1. A Jumlah unit TK

2. B Jumlah unit SD

3. C Jumlah unit SLTP

4. D Jumlah unit SLTA

5. E Jumlah unit Akademi 6. F Jumlah unit Masjid 7. G Jumlah unit Gereja 8. H Jumlah unit Pura 9. I Jumlah unit Vihara 10. J Jumlah unit Rumah Sakit 11. K Jumlah unit Rumah Bersalin 12. L Jumlah unit Puskesmas

13. M Jumlah unit Tempat Praktek Dokter 14. N Jumlah unit Poliklinik

15. O Jumlah unit Apotik

16. P Jumlah unit pasar permanen dan non permanen

17. Q Jumlah unit KUD

18. R Jumlah unit BANK 19. S Jumlah unit Wartel

20. T Jumlah unit Telepon Umum 21. U Jumlah unit Kantor Pos 22. V Jumlah unit Pos Polisi 23. W Jumlah unit Swalayan

24. X Jumlah unit Restoran/Rumah Makan 25. Y Jumlah unit Hotel


(3)

Lampiran 14 Variabel-variabel yang digunakan dalam Analisa Klaster

No. Kode Variabel

1. A Persen keluarga pertanian

2. B Kepadatan penduduk

3. C Rasio angkatan kerja

4. D Pendapatan asli kecamatan per kapita 5. E Jumlah sarana Perbelanjaan

6. F Jumlah sarana komunikasi 7. G Jumlah sarana kesehatan

8. H Jumlah SD

9. I Jumlah SMP

10. J Jumlah SMA

11. K Jumlah Mesjid

12. L Jumlah Gereja

13. M Jumlah Pura

14. N Jumlah Vihara

15. O Jarak terhadap ibukota Kabupaten

16. P Densitas jalan

17. Q Jarak lurus ke Bogor 18. R Jarak lurus ke Jakarta

19. S Persen kawasan hutan lindung 20. T Persen kawasan hutan lainnya 21. U Persen kawasan bukan hutan

22. V Persen luas areal dengan lereng > 25% 23. W Persen luas areal dengan lereng 8 – 25% 24. X Persen luas areal dengan lereng 0 – 8%

25. Y Jumlah Hotel


(4)

No. Wilayah Kecamatan Indeks Hirarki

Urt. Hirarki Wilayah

1 Kabupaten Bogor Cibinong 73.110 I

2 Kabupaten Bogor Cilengsi 50.385 I

3 Kabupaten Bogor Citeureup 47.007 I

4 Kabupaten Bogor Gunung Putri 41.030 I

5 Kabupaten Bogor Bojonggede 39.541 I

6 Kabupaten Bogor Ciampea 38.085 I

7 Kabupaten Bogor Ciawi 37.313 I

8 Kabupaten Bogor Parung 36.618 I

9 Kabupaten Bogor Leuwiliang 36.154 I

10 Kabupaten Bogor Cisarua 35.919 I

11 Kabupaten Bogor Ciomas 30.696 II

12 Kabupaten Bogor Kemang 26.194 II

13 Kabupaten Bogor Cijeruk 24.830 II

14 Kabupaten Bogor Mega Mendung 24.524 II

15 Kabupaten Bogor Cigudeg 24.427 II

16 Kabupaten Bogor Sukaraja 24.034 II

17 Kabupaten Bogor Gunung Sindur 23.709 II

18 Kabupaten Bogor Caringin 23.388 II

19 Kabupaten Bogor Jonggol 22.923 II

20 Kabupaten Bogor Darmaga 20.709 II

21 Kabupaten Bogor Pamijahan 19.874 III

22 Kabupaten Bogor Jasinga 16.882 III

23 Kabupaten Bogor Rumpin 16.833 III

24 Kabupaten Bogor Parung Panjang 15.501 III 25 Kabupaten Bogor Cibungbulang 15.144 III

26 Kabupaten Bogor Cariu 15.015 III

27 Kabupaten Bogor Nanggung 9.601 III

28 Kabupaten Bogor Tenjo 8.422 III

29 Kabupaten Bogor Babakan Madang 8.277 III 30 Kabupaten Bogor Suka Makmur 7.854 III


(5)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sektor unggulan Kabupaten Bogor adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, sektor bangunan dan sektor tanaman bahan makanan. Sektor unggulan seperti perindustrian dan perdagangan lokasinya memusat di wilayah utara Bogor Bagian Tengah dan Bogor Bagian Timur. Hal tersebut didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup untuk mendukung aktivitas perekonomian wilayah. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan (pertanian) sebagian besar berlokasi di Bogor Bagian Barat.

2. Sektor unggulan yang berbasis sumber daya lokal (pertanian) yang berasal dari daerah hinterland sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan Kabupaten Bogor seperti Agribisnis dan Agropolitan.

3. Hasil analisis I-O, analisis kewilayahan dan hasil analisis kelembagaan alokasi anggaran menunjukkan adanya disparitas wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor sedangkan struktur APBD Kabupaten Bogor tahun 2004 belum diarahkan untuk dapat mengatasi permasalahan disparitas wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Hal ini terlihat dari masih rendahnya anggaran bagi sektor unggulan tanaman bahan makanan (pertanian).

4. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor unggulan seperti perindustrian dan perdagangan tidak perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar karena akan mengakibatkan semakin besarnya ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor. Sedangkan sektor unggulan tanaman bahan makanan masih perlu didukung oleh anggaran pembangunan yang besar agar bisa semakin berkembang sehingga diharapkan dapat mengatasi ketimpangan wilayah pembangunan di Kabupaten Bogor.


(6)

Saran

1. Pemerintah Kabupaten Bogor hendaknya mengkaji lebih cermat mengenai kebijakan pembangunan dan pengalokasian anggaran untuk mengatasi disparitas wilayah pembangunan. Pemerintah diharapkan mempertimbangkan keterpaduan antara perencanaan pembangunan ekonomi wilayah dengan perencanaan spasial, sehingga dapat memberikan nilai tambah yang optimal bagi wilayah yang kurang maju (hinterland) dengan adanya trickle down effect dari wilayah pusat pertumbuhan.

2. Pemerintah Kabupaten Bogor perlu memperhatikan pola interaksi spasial antar wilayah sehingga diketahui bagaimana sebenarnya aliran input dan output produk dan tenaga kerja antarwilayah. Dengan demikian dapat diperkirakan fasilitas dan aksesibilitas yang dibutuhkan antara daerah pusat pertumbuhan, lokasi sumberdaya lokal dan pasar. Sehingga pemerintah dapat memperoleh gambaran prioritas pembangunan dan pengalokasian anggaran di wilayahnya untuk meminimalkan kesenjangan pembangunan antarwilayah.

3. Sebagai daerah yang berbasis pada sektor industri, sektor pertanian dan sektor perdagangan, pemerintah daerah harus berperan menjaga iklim investasi yang kondusif, mengarahkan investasi kepada sektor unggulan yang berbasis sumber daya lokal (pertanian) yang berasal dari daerah hinterland sehingga terjadi keterkaitan sektoral yang kuat. Pembangunan Kabupaten Bogor sudah seharusnya diarahkan kepada peningkatan daya saing produk, sehingga perlu digali dan dikembangkan keunggulan lokal dan menciptakan sinergi antar wilayah dengan didukung oleh pola penganggaran yang tepat dan memadai.