Kepastian Hukum Tujuan Hukum

2.5.3 Kemanfaatan

Berkaitan dengan hal tersebut, Teori Utilitis yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham 1748-1832, dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation” menyatakan bahwa “hukum bertujuan untuk mewujudkan semata- mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya”. 95 Pendapat lain disampaikan oleh Soebekti yang menyatakan, bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. Artinya, tujuan hukum hendaknya memberikan manfaat seluas- luasnya dan sebesar-besarnya kepada masyarakat. 96 Sekalipun keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum itu merupakan nilai dasar dari hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, namun di antara masing-masing terdapat suatu pertentangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikian dikarenakan ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum maka sebagai nilai, makaakan menggeser nilai keadilan dan kemanfaatan karena yang penting bagi kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. 97 Dari ketiga aspek tujuan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Gustav Radbruch berpendapat bahwa tujuan hukum pertama-tama wajib memprioritaskan keadilan, selanjutnya kemanfaatan dan kepatisan hukum. Teori 95 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 21. 96 Marwan Mas, Loc. Cit., hlm. 81. 97 Chainur, Loc. Cit, hlm. 17. ini dikenal dengan “asas prioritas”. Idelanya, tiga nilai dasar tujuan hukum itu diusahakan agar dalam setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim maupun aparat penegak hukum lainnya dapat terwujud secara bersama-sama. Apabila tidak, maka diprioritaskan keadilan terlebih dahulu, barulah kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum. 98 Teori lain menyatakan bahwa ketiga tujuan hukum tersebut harus diprioritaskan sesuai dengan kasus yang dihadapi. Teori ini disebut sebagai “asas prioritas yang kasuistis”. 99

2.6 Peninjauan Kembali

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, peninjauan adalah proses, cara, perbuatan meninjau. Meninjau adalah melihat memeriksa, menilik, mempertimbangkan kembali aturan-aturan. 100 Menurut Kamus Hukum, peninjauan kembali herziening adalah peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; revisi. 101 Menurut Andi Sofyan dan Abd Asis, Herziening adalah suatu peninjauan kembali atas putusan di semua tingkat pengadilan, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 102 Peninjauan kembali herziening, semula telah diatur di dalam Reglement of de Strafvordering Sv. yakni peraturan mengenai hukum acara pidana bagi pengadilan-pengadilan tinggi di Pulau Jawa dan bagi Mahkamah Agung 98 Marwan Mas, Loc Cit, hlm. 82. 99 Ibid, hlm. 83. 100 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang: Widya Karya, 2005, hlm. 574. 101 J.C.T Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 64. 102 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Prenada Media Group, 2014, hlm. 290-291. Indonesia, yang mulai diberlakukan tanggal 1 Mei 1848 dengan Staatsblad Tahun 1848 Nomor 40 juncto Nomor 57, dan telah diundangkan tanggal 14 September 1847 dalam Staatsblad StbTahun 1847 Nomor 40. 103 Setelah berlakunya Sv dan sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 104 hanya menyebut kemungkinan peninjauan kembali tersebut, tetapi pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pada tanggal 19 Juli 1969 dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang memungkinkan diajukan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tetapi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 13 Oktober 1969, menunda berlakunya peraturan Mahkamah Agung tersebut, dengan alasan masih diperlukan peraturan lebih lanjut. 105 Pada tanggal 19 November 1980 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur kemungkinan mengajukan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana. 106 Mengenai perkara pidana, diatur di dalam Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 103 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 526. 104 LNRI Nomor 107, Tahun 1964, TLNRI Nomor 2699. 105 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 304. 106 Ibid., hlm. 305.