Putusan Mahkamah Konstitusi RI No: 34/PUU-XI/2013 Dalam Persepektif Mashlahat

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NO: 34/PUU-XI/2013
DALAM PERSPEKTIF MASHLAHAT
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :
ILYAS FADILAH
NIM:1110043200024

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015M

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
NoMoR : 34/PUU-xv2013 DALAM PERSFEKTTF MASLAHAT


SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

ILYAS FADILAII
NM:1110043200024

Dibawah Bimbingan:

JW
Drs.Abu Tamrin, SH.,MH.

afrani SHI.,MCCL

NIP. I 9650908 1 99503 1 001


KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA
1436 H / 201sM

.

{

sn.i.:t.

l

7',
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKIRIPSI


skiripsi berjudul *PUTUSAIII MAIIKAMAH KONSTITUST RI Nor 34/pWxI/2013 DALAIVT PERSPEKTTF MASHLAHA'T, telah diujikan dalam sidang
mmaqasah Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 1 Juli 2015. Skiripsi ini telah di terima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana $yariah (s.sy) pada program Studi
Pebandingan Mazhab dan Hukum.
Jakartg"? Juli 2015

M

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr.Asep Sa[pudin
NIP. 19691216t996031 00 I
PANTTIA UJIAN MTINAQASAH

l.

Ketua

: Dr. Khamami Zada.


MA

NIP. 1 9750 t0220s3 121001

2.

Sekretaris

3.

Pembimbing

Hi. Siti Hanna S.Ag. Lc.. MA
NIP. 1 974 021 62008A1 20 I 3

I Drs.Abu Tarnrin. SH..MH.
NIP. 19650908199503 1001

4.


Pembimbing II : Andi Svafrani SHI..MCCL

5.

Penguji

I

6. Penguji II

Muhamd Ainul

Sf'aEnsp"

SH..MH.

Kamanrsdiana SAg.. M.H'
Nip.19720224t998431


:3t
.a...r........,/

\

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan kebutuhan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 Juli 2015 M


Ilyas Fadilah

iii

ABSTRAK
ILYAS FADILAH. NIM 1110043200024. PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI RI NOMOR: 34/PUU-XI/2013 DALAM PERSPEKTIF
MASHLAHAT.
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi
Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI Tahun 2013 yang menghapuskan Pasal
368 ayat (3) KUHAP yang berisikan tentang pembatasan permintaan Peninjauan
Kembali yakni hanya boleh satu kali. Putusan ini menimbulkan pro-kontra
dikalangan ahli hukum karena dianggap bertentangan dengan kepastian hukum
tapi putusan ini juga dianggap sesuai dengan tujuan hukum untuk mencari
keadilan. Pro-kontra Putusan Mahkamah Konstitusi ini sendiri tidak ada yang
meninjaunya dengan hukum Islam menggunakan aspek mashlahat apakah Putusan

ini dianggap sesuai dengan aspek mashlahat dalam hukum Islam atau tidak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian
terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, sesuaikah dengan hukum Islam
dengan menggunakan aspek mashlahat. Dengan pendekatan kualitatif yaitu
bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study
pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif.
Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data,
memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang
penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan
mudah difahami sertamenginformasikannya kepada pembaca.
Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat mengetahui dan memahami
bagaiamana pandangan hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi ini
sesuai atau tidak penerapannya didalam masyarakat.
Kata kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Mashlahat.
Pembimbing: Drs Abu Tamrin SH.,M.Hum. & Andi Syafrani SHI,.MCCL.
Daftar Pustaka: Tahun 1964 sampai Tahun 2011

iv

KATA PENGANTAR


‫بسم اَّّه اّرَحمٰن اّرَحيم‬
Tidak ada kata yang pantas diucapkan untuk mengawali kata pengantar ini
kecuali Alhamdulillah. Puji dan syukur selalu terucapm pada Allah SWT Tanpa
seizinNya Penulis tidak dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tak lupa

pula

Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi akhir, Muhammad SAW
yang telah diutus kebumi sebagai lentera bagi hati manusia.
Skripsi yang berjudul "PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No:
34/PUU-XI TAHUN 2011 DALAM PERSFEKTIP MASHLAHAT". Selama
proses penelitian Penulis banyak berhutang budi kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis antara lain Yth:
1. Dr. Asep Saefudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Khamami,MA dan SIti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum. Fahmi Muhammad Ahmadi
S.Ag. M.Si Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin,SH.,M.Hum., dan Andi Syafrani,SHI.,MCCL., Dosen

Pembimbing Skripsi. Dr,M. Muhammad Taufiki, M.Ag. Dosen Pembimbing
Akademik serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
membimbing dan mendidik Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

v

5. Secara Khusus Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yang
tercinta, Ayahanda Toto Irmansyah dan Ibunda Iin Warkinah sebagai
ungkapan terima kasih yang tiada terhingga yang telah membesarkan dan
mendidik Penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang. Serta memberikan
semangat kepada Penulis dan juga memberikan doa, Sehingga Penulis dapat
menyelasaikan skripsi ini dengan lancar.
6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Tedi Sudarna,
Aidzbillah, Bambang Tri Nugroho, Laka Rhamadhan Mubarak, Ramdhani,
Ahmad Sandi, Wiwin Winata, Ridwan Anas, Anjo Momaitri, Ahmad Dhani
Hidayat, Yususf Hilmi, Fatin Nugroho, Saipul Anwar. Semua yang menjadi
guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga

persahabatan ini selalu dalama RidhoNya dan apa yang dicita-citakan akan
tercapai. Amiin
Penulis berdoa semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi
catatan pahala di sisi Allah SWT. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi inimasih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga
skripsi ini bermanfaat adanya. Amiin.
Jakarta, 22 Mei 2015

Penulis

vi

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI ................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .........................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................................7
D. Metode Penelitian ..............................................................................8
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ................................................11
F. Sistematika Penulisan ......................................................................12

BAB II

Kerangka Teori Tentang Kepastian Hukum , Teori Keadilan
dan Teori Mashlahat.
A. Teori Kepastian Hukum...................................................................14
B. Teori Keadilan. ................................................................................15
C. Teori Mashlahat. ..............................................................................17

BAB III TINJAUAN TENTANG PENINJAUAN KEMBALI
A. Pengertian Peninjauan Kembali Dalam Perundang-Undangan. ......27
B. Sejarah Peninjauan Kembali............................................................29
C. Peninjaun Kembali Dalam Hukum Islam. .......................................39

vii

BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO: 34/PUU-XI/2013
DALAM PANDANGAN MASHALAHAT.
A. Obyek & Subjek Permohonan. ........................................................44
B. Kerugian Konstitusional Pemohon........................................... .......46
C. Pertimbangan Hukum Hakim..................................................... .....49
D. Analisa Putusan Hukum Islam dengan menggunakan Aspek
Mashlahat terhadap Putusan Mahkamah Konstitusin Nomor:
34/PUU-XI 2013. ............................................................................53
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................62
B. Saran ................................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hukum memiliki sejarah yang panjang, yang sama dengan peradaban
umat manusia. Pelaksanaan hukum itu sendiri menjadi salah satu cara
penyelesaian ragam masalah yang timbul dalam hubungan inter-subjektif
sesama anggota masyarakat. Penyelesaian masalah dengan instrumen hukum
ternyata kemudian menjadi tidak sederhana. Mengapa harus dihukum? karena
menghukum berarti harus benar dan adil, demi kebenaran dan keadilan itu
juga, maka hukum acara harus pula berfungsi untuk membebaskan, seseorang
yang terbukti tidak bersalah. Hukum disitu mengandung esensi soal besar dan
mendalam tentang kebenaran dan keadilan yang berkepastian.1
Konteks ini melalui lembaga peradilan hukum, menjadi alat utama
negara dalam menjalankan roda pemerintahan dan untuk mencapai tujuannya
bagi keadilan. Dalam peradilan sendiri ada upaya hukum biasa dan luar biasa
yang bisa diajukan bagi mereka yang berperkara dan merasa belum puas
dengan putusan yang sudah dijatuhkan. Di tahap banding sampai ke
Peninjauan Kembali (PK) Awalnya PK sebagai tahap akhir dalam upaya
hukum di Indonesia hanya dibatasi sekali untuk memberikan kepastian hukum
dan tidak berlarut-larut dalam satu kasus tapi setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 34/PUU-XI/2013 yang menghapuskan Pasal

1

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Penerbit Ghalia
Indonesia,2012 h pendahuluan xxvii.

1

2

268 Ayat (3) KUHAP yang berisi "Permintaan peninjauan kembali atas suatu
putusan hanya dapat diajukan satu kali saja"..
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 34/PUU-XI/2013, yang
dibacakan pada tanggal 6 Maret 2014 Menimbulkan kontroversi di kalangan
ahli hukum. Kontroversi tersebut dikarenakan adanya perbedaan pandangan
mengenai PK yang diperbolehkan lebih dari satu kali. Bagi mereka yang
mendukung putusan Mahkamah Konstitusi RI itu alasannya antara lain :
1. Pembatasan Peninjauan Kembali mengabaikan Keadilan.
2. Peninjauan Kembali yang hanya sekali adalah bentuk kemalasan negara.
3. Peninjauan Kembali adalah sarana memperoleh keadilan bukan kepastian
hukum.
Ada sebagian juga yang menolak terhadap putusan mengenai Peninjauan
Kembali boleh lebih dari satu kali ini alasannya antara lain :
1. Pembatasan Peninjauan Kembali merupakan bentuk penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
2. Peninjauan Kembali hanya sekali adalah bentuk kepastian hukum.
3. Peninjauan kembali yang diajukan berkali kali akan menimbulkan
kekacauan hukum.
4. Peninjauan Kembali yang diajukan berkali-kali tidak sejalan dengan asas
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.2
Tanggal 31 Desember 2014 Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali
mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 7 Tahun

2

http://www.hukumpedia.com/negara/pergesaran-peninjauan-kembali-dari-kepastianhukum-menuju-keadilan-hukum-hk5399a5185509e.html Di Akses 25 Maret 2015.

3

2014. SEMA ini berisi tentang pembatasan Peninjauan Kembali menjadi satu
kali yang didasarkan pada Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 Ayat (1) UndangUndang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang mengatur
Peninjauan Kembali hanya sekali karena kedua ketentuan itu tidak dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi. SEMA ini pun langsung mendapat respon dari
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta Mahkamah Agung
untuk mencabut SEMA Nomr: 7 Tahun 2014 karena dianggap bertentangan
dengan konstitusi.3
Banyaknya pro-kontra di kalangan ahli hukum bahkan sampai
Mahkamah Agung dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
perubahan Peninjauan Kembali ini, walaupun ada permintaan pencabutan
SEMA ini dari ICJR bukan berarti SEMA ini tidak mempunyai dasar hukum
yang kuat.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Pasal 268 ayat
(3) KUHAP yang membatasi permintaan PK hanya diajukan satu kali. Bagi
para terpidana sendiri bisa memberikan peluang untuk membuktikan akan
ketidak bersalahannya sebelum dilaksanakannya eksekusi tapi juga sebaliknya
bisa menimbulkan kekacauan hukum. Bagi terpidana yang memiliki keuangan
yang memadai bisa terus-terusan mengajukan Peninjauan Kembali sehingga
berlarut-larut dalam satu kasus untuk mengundur undur eksekusi putusan
walaupun pada prinsipnya upaya hukum luar biasa PK ini tidak

3

http;//nasional.kompas.com/read/2015/01/05/06551981/MA.Didesak.Cabut.Surat.Edaran
.soal.Pembatasan.Peninjauan.Kembali.Di akses 25 maret 2015.

4

memperlambat proses eksekusi karena pada kenyataannya dengan adanya
pembatasan PK yang satu kali pun ada saja kasus yang eksekusinya terus di
undur tapi dengan Peninjauan Kembali boleh lebih dari satu kali memberikan
nafas lega bagi mereka para pencari keadilan.
Disini harusnya para pembuat Perundang-undangan di Indonesia ini juga
menerapkan prinsip-prinsip umum hukum Islam salah satu diantaranya yang
paling dominan adalah mashlahat,4 apakah dengan keputusannya itu dapat
memberikan kebaikan atau malahan sebaliknya memberikan keresahan di
antara masyarakat itu sendiri karena dianggap tidak sesuai dengan norma yang
ada didalam masyarakat. Disinilah kekurangan hukum positif yang kurang
menerapkan konsep mashlahat seperti yang diajarkan dalam prinsip hukum
Islam yang lebih mengedepankan kemashlahatan bagi orang banyak, bukan
hanya mengedepankan bertentangan atau tidaknya dengan Undang-undang
yang lebih kuat.
Suatu Kemashlahatan dalam Islam harus sejalan dengan tujuan syara',
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemashlahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak -kehendak syara' tetapi
sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu.5
Model pendekatan yang lebih menekankan dimensi mashlahat, tidak
berarti bahwa segi legal formal tekstualharus diabaikan. Ketentuan legal
4

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 2005) Kata "maslahat"
merupakan kata bahasa Indonesia yang diserap dari kata bahasa Arab, yakni maslahah. Secara
leksikal-etimologis, kata "maslahat" sebagai kata benda-diartikan dengan; (i) sesuatu yang
mendatangkan kebaikan (keselamatan, dan sebagainya); (ii) faedah; dan (iii) guna.Sedangkankata
"kemaslahatan"-juga sebagai kata benda mengandung arti; kegunaan, kebaikan, manfaat,
kepentingan.
5

152

Ma'rf Amin.Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. (Jakarta Paramuda Adversting 2008) h

5

formal tekstual yang valid harus tetap menjadi acuan. Namun pada saat yang
sama, haruslah benar-benar dipahami bahwa patokan legal formal dan tekstual
hanyalah merupakan salah satu cara yang nota bene terikat dengan ruang dan
waktu, agar cita mashlahat itu dapat terwujud dalam kehidupan.6
Aplikasi mashlahat ini tidak berarti harus mengabaikan aturan hukum
yang lebih kuat. Mashlahat yang tanpa memperhitungkan ketentuan yang ada
di nash Al-Quran maupun dalam sabda Rasulullulah SAW bisa hanya nafsu
belaka walaupun seiring berjalannya waktu ada banayk masalah baru yang
belum pernah ada sebelumnya tapi bukan berarti kita bisa seenaknya
menetukan mana mashlahat yang lebih baik tanpa memperhatikan hukum
yang lebih kuat.
Relasi mashlahat dan pembuatan aturan hukum tentu bisa dikaji lebih
jauh lagi, untuk kemudian dikontekstualisasikan dalam spektrum tata hukum
nasional. Artinya dapat dilakukan pengkajian mendalam mengenai aplikasi
dari relasi tersebut dalam konteks hukum nasional pada masa reformasi ini.
Sebagai metode, mashlahat harus diposisikan sebagai pisau analisis atau kaca
mata untuk membaca tata hukum nasional.7
Pengkajian mashlahat menjadi sangat urgen jika dikaitkan dengan upaya
menemukan relevansi mashlahat tersebut dengan perundang-undangan
nasional diatas. Di samping itu, agar hukum indonesia senantiasa mampu

6

Muthafa Ahmad al-Zarqa, al-istilah wa al-Masalihal-Mursalah fi al-Syari'ah al
Islamiayahtwa Usul Fiqhiha, h 87-89. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya
Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara
RI) h 7.
7

Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus Hermenutika: Mambaca Islam dari Kanada dan
Amerika, (Yogyakarta; Pesantren Newesea Pers, 2006), h. 48

6

menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan maka membuka diri dan
menerima unsur-unsur luar yang relevan merupakan suatu keharusan,
termasuk perihal penyerapan hukum Islam melalui doktrin mashlahat.8
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan diatas maka
dari itu Penulis akan menuliskan skripsi tentang "Putusan Mahkamah
Konstitusi RI No: 34/PUU-XI/ 2013 Dalam Persfektip Mastlahat".

B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan. Disini Penulis
hanya akan membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
34/PUU-XI/ 2013 dalam perspektif Mastlahat.
2. Perumusan Masalah
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang
penghapusan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berisikan tentang
pembatasan permintaan pengajuan PK yang hanya diperbolehkan satu kali
dan bagaimana hukum Islam sendiri menanggapinya dengan menggunakan
pandangan maslahat.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :

8

Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di
Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 6.

7

a. Apa dasar pertimbangan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi
dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No: 34/PUU-XI/2013.
b. Bagaimana tinjauan Mashlahat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
No: 34/PUU-XI/2013.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan yang
ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian,
Penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah
Konstitusi RI No: 34/PUU-XI 2013.
b. Untuk mengetahui tinjauan mashlahat dalam hukum Islam terhadap
Pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI
NO: 34/PUU-XI Tahun 2013.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini diharapkan dapat mampu menyumbangkan wacana ilmu
pengetahuan yang diperlukan serta menambah khazanah kepustakaan
untuk kepentingan akademik.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti dan penegak hukum.

8

c. Memberikan informasi pada masyarakat umum tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU XI 2014 dan korelasinya
dengan perspektif Mastlahat dalam hukum Islam.

D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kajian ilmu hukum normatif
yaitu pendekatan yang didasarkan pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam
hukum syariat, dengan memuat deskripsi masalah yang diteliti berdasarkan
tinjauan pustaka yang dilakukan secara cermat dan mendalam.
2. Pendekatan Masalah
Penulis menggunakan beberapa pendekatan yang akan dilakukan
yaitu pendekatan perundang-undangan (statue-approach), Pendekatan
historis (historical approach) dan pendekatan kasus (case-approach)9.
Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian
(seorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya.10
Pendekatan

Perundang-undangan

(statue-approach)

adalah

pendekatan dengan penelaahan lebih lanjut untuk menjawab rumusan

9

Peter Mahmud Marzuki, Penelitain Hukum, (Surabaya: Kencana, 2010, cetakan keenam)

h 96-126.
10

Hadari Nawawi, Metode PenelitianBidang Sosial, Cet. 12, (Yogyakarta: GajahMada
Universitas Press 2007), h 67.

9

masalah. Antara lain dalam hal kompetensi Mahkamah Konstitusi
mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 N RI Tahun 1945, dasar
hukum di dalam putusan dan pertimbangan hukum lainnya,
Pendekatan

sejarah

digunakan

untuk

mengungkap

filosofis,

bagaimana penyelesaian acara peradilansebelum dan setelah adanya
Putusan MK tersebut. Semua pendekatan tersebut akan dikomparasikan
dengan persfektip Maslahat menurut hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (library
research) atau studi dokumen. Pada penelitian kualitatif, bahan pustaka
merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan dalam data
sekunder. Namun, dalam penelitian hukum, data sekunder ini mencakup
bahan hukum primer (Konstitusi, Peraturan Perundang-undangan, dll).
Teknik pengumpulan data ini berwujud dokumentasi naskah, baik itu
kitab-kitab, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan bahasanbahasan yang berkaitan dengan rumusan masalah. Berikut adalah sumbersumber data yang akan dikumpulkan dan menjadi rujukan dalam penelitian
ini:
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang dikumpulkan oleh Penulis
langsung dari sumber utamanya, data primer yang dimaksud ini antara
lain sebagai berikut :
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10

2) Undang-Undang Nomor: 24 Tahun 2003.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:34/PUU-XI/ 2013.
4) Undang-Undang Nomor:8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi.
5) Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
6) KUHAP/undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1981.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
terdiridari buku-buku, jurnal, ataupun materi materi hukum lainnya
yang berkaitan dengan tema yang akan Penulis bahas.
c. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesaia, kitab-kitab
Islam maupun materi-materi lainnya.
4. Tehnik Pengolahan dan Analisa bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, UUD 1945 N RI Tahun 1945, Perundang-undangan, dan
bahan materi lainnya penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa,
sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan
hukum ataupun materi lainnya akan dianalisa secara mendalam sesuai
dengan pendekatan yang digunakan.

11

5. Metode Penulisan
Metode Penulisan menggunakan metode kualitatif yakni metode yang
lebih menekankan pada analisis secara mendalam terhadap suatu masalah
dan cara pandang para ahli hukum yang berbeda pendapat terhadap
putusan Mahkamaha Kontitusi RI ini.

E. Kajian Terdahulu
Judul skripsi ini sejauah yang Penulis ketahui, apa yang Penulis tulis ini
belum pernah ada yang menulisnya, setidaknya di lingkungan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Adapun buku yang
menjadi panduan penulisan Karangan Asmawi, Teori Maslahat dan
Relevansinya dengan Undang-Undang Khusus di Indonesia, diterbitkan
oleh Badan Litbang dan Diklat Kementrian RI. Judul Skripsi yang mempunyai
kesamaan ialah tulisan Ihsan Badruni Nasution yang berjudul "Problematika
Upaya Hukum Peninjauan Kembali Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama (analisis Putusan Peninjauan Kembali Nomor 54/PK/AG/2008).
Saudara Ihsan Badrudin lebih meneliti kehukum perdata Islam yakni tentang
hukum keluarga yang memang di Indonesia ini hukum keluarga untuk orang
muslim didasarkan pada hukum Islam dengan adanya lembaga Peradilan
Agama. Ini sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan yang lebih
berfokus kepada putusan MK mengenai penghapusan salah satu pasal 268 ayat
(3) KUHAP.
Penulis mempunyai titik khusus terhadap Putusan MK No 34/PUUXI/2013 dan prinsip hukum Islam yaitu maslahat. Permasalahan ini belum

12

pernah dikupas oleh peneliti yang dilakukan sebelumnya dikarenakan
permasalahan ini masih baru. Atas pertimbangan di atas Penulis merasa perlu
untuk memaparkan persoalan ini dalam skripsi ini dengan pengkajian
komparatif.
Dalam karya ini, Penulis mencoba mamaparkan sehingga hal ini sangat
menarik karena terdapat kontribusi penelitian yang akan menjawab
permasalahan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima BAB.
Masing-masing terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan masalah yang diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok
pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN Merupakan bab yang memuat: Latar belakang
masalah, dilanjutkan dengan batasan dan rumusan masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan (Review)
Studi Terdahulu dan Sistematika Penelitian.

BAB II

Tinjauan tentang Peninjauan Kembali. Merupakan bab yang
membahas mengenai Peninjauan Kembali dalam PerundangUndangan di Indonesia, Sejarah Peninjauan Kembali. Peninjauan
Kembali dalam hukum Islam.

BAB III

Profil Mahkamah Konstitusi RI dan Tinjauan Tentang Mashlahat.
Merupakan

bab

yang

membahas

tentang

Latar

Belakang

13

Mahkamah Konstitusi RI. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi RI.
Definisi Mashlahat oleh ilmuan Islam. Kategorisasi Mashlahat.
BAB IV

Putusan Mahkamah Konstitusi NO: 34/PUU-XI/2013 Dalam
Pandangan Mashlahat.
Merupakan bab yang membahas tentang Obyek dan Subjek
Permohonan. Kerugian Konstitusional Pemohon. Pertimbangan
Hukum Hakim. Analisa Putusan. Pandangan Hukum Islam dengan
menggunakan Aspek Mashlahat terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi NO: 34/PUU-XI/2013.

BAB V

Penutup Berisi Kesimpulan dan saran-saran penulis.

BAB II
KERANGKA TEORI TENTANG KEPASTIAN HUKUM, TEORI
MASHLAHAT DAN TEORI KEADILAN
A. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum tertuang dalam UUD 1945 pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi “setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”
Menurut Sudikno Mertokusumo (2007 : 160), kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan
tidak menyamaratakan.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan
bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan.
Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah
bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang
positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif
(Fernando M. Manullang, 2007 : 95).
Nusrhasan Ismail (2006: 39-41) berpendapat bahwa penciptaan
kepastian

hukum

dalam

peraturan

perundang-undangan

memerlukan

persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu
sendiri.

14

15

Keharusan akan adanya peraturan dalam masyarakat merupakan syarat
pokok untuk adanya kepastian hukum sehingga peraturan merupakan kategori
tersendiri yang tidak bersumber kepada ideal maupun kenyataan. Menjadi
sasarannya bukanlah untuk menemui tuntutan ide-ide sahari-hari mealinkan
tuntutanagar peraturan ada. (satjipto Rahardjo, 1986: 19-20).1
Pemaparan materi diatas dapat diambil pengertian bahwa yang
terpenting dari kepastian itu adalah adanya peraturan itu sendiri. Peraturan itu
sendiri apakah sudah sesuai atau tidaknya dengan keadilan maupun manfaat
itu berada diluar dari tuntutan kepastian hukum itu sendiri.
B. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sifat (perbuatan, perlakuan, dan lain
sebagainya) yang adil: sama berat, tidak memihak, berpegang pada kebenaran,
tidak sewenang-wenang. Keadilan itu menurut Plato dikualifikasikan kedalam
3 hal:
1. Suatu karakteristik atau “sifat” yang terberi secara alami dalam diri tiap
individu manusia.
2. Dalam

keadaan

ini,

Keadilan

emungkinkan

orang

mengerjakan

pengkoordinasian (menata) serta memberi batasan (mengendalikan) pada
tingkat “emosi” mereka dalam usaha menyesuaikan diri dengan
lingkungan tempat ia bergaul dengan demikian,

1

Chairul Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta, Sinar Grafika. 2008) h 16

16

3. Keadilan merupakan hal yang memungkinak masyarakat manusia
menjalankan kodrat kemanusiaannya dalam cara-cara yang utuh dan
semestinya.2
Plato, seperti kutipan diatas mengemban fungsi “menyelaraskan” dan
“menyeimbangkan”, hal itu kurang lebih berbunyi: Keadilan merupakan
“besar-besaran” atau “asset-aset yang akan membuat kondisi kemasyarakatan
menjadi selaras dan seimbang. Keadilan yang dimaksud adalah besaran nyang
bersumber dari jiwa tiap-tiap masyarakt itu sendiri, yang pada dirinya tidak
dapat dipahami atau diekspletasikan /dijabarkan melalui argumentasiargumentasi.
Untuk dapat memahami lebih jauh tentang bekerjanya keadilan
didalam jiwa tiap-tiap individu manusia, Plato menelaah sifat manusia dalam
konteks yang sangat luas, yakni dalam kaitannya dalam sebuah “Negara
Kota”, bahwa:
1. Dalam Suatu Masyarakat yang adil, tiap warga Negara harus dapat
memainkan perannya (fungsi kemasyarakatan) yang paling sesuai dengan
dirinya demikian juga halnya dalam asset-aset ekonomi perorangan.
2. Keadilan hanya akan menjadi pemenang jika akal (nalar) juga menang,
selera serta nafsu binatang semestinya diletakan (dikendalikan) sedemikian
rupa pada tempat yang sesuai.
3. Tatanan masyarakat yang berkeadilan hanya akan tercapai sepanjang akal
manusia beserta keseluruhan prinsip-prinsipnya rasional lainnya dapat
memandu penyelenggaraan kehidupan dari elemen-elemen (masyarakat).3
2

Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,
(Bandung: Refika Aditama 2007) h177.
3

Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan,
(Bandung: Refika Aditama 2007) h178.

17

Aristoteles, Hukum dibentuk berlandaskan kepada keadilan, dan ia
diarahkan

sebagai

pedoman

bagi

perilaku

individu-individu

dalam

keseluruhan hal yang bersinggungan dengan konteks kehidupan masyarakat.
Proses pembentukan itu dengan demikian, bertitik berat pada atau melingkupi
keseluruhan tema yang berhubungan dengan masyarakat.
Keadilan dikualifikasikan kedalam lima model yaitu :
1.

Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya
masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara
masyarakat dengan perorangan.

2.

Keadilan Komunitatif: Perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasajasanya. Keadilan komunitatif berhubungan dengan sanksi tanpa
mempedulikan jasa yang telah diperbuatnya.4

C. Teori Mashlahat
Secara

etimologis,

arti

al-mashlahah

dapat

berarti

kebaikan,

kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata almashlahah ada kalanya dilawankan dengan kata al-mafasadah dan adakalanya
dilawankan dengan kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan5.
Secara termilogis Mashlahat telah diberi muatan makna oleh ulama usul
al-fiqh. Al-Gazali (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine
4

Herman Bakri, SH., MH. Filsafat Hukum Desain dan Arsitektur Kesejarahan (Bandung:
Refika Aditama 2007) h 182.
5

Isma'il ibn Hammad al-Jauhari,al-shihah Taj al-lugah wa Sihah al-Arabiyah. (Beirut:
Dar al-Ilm li Malayin, 1367H/1956 M).Juz ke 1.h 383-384. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat
dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Negara RI) h 10.

18

dari mashlahat adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menghindari
kemudaratan (jalb al-manfa'ah atau daf al-madarrah).
Al-Gazali berpendapat,

yang dimaksud mashlahat, dalam arti

terminologis syar'i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam
(syariah) yang berupa memeliihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan
harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazali bahwa setiap sesuatu yang dapat
menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari kelima hal tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai mashlahat: sebaliknya setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dinilai sebagai
al-mafsadah. Maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut maka
dikualifikasikan sebagai mashlahat6.
Izz al-Din Ibn 'Abd al-Salam mengemukakan pandangannya, mashlahat
itu identik dengan al-khair (kebaikan)7. Sementara Najm al-Din al-Tufi
(w.716H) berpendapat bahwa makna mashlahat dapat ditinjau dari segi 'urfi
dan syar'i. Menurut al-Tufi, dalam arti 'urfi, mashlahat adalah sebab yang
membawa kepada kebaikan dan kemanfaatan, seperti perniagaan sebab yang
membawa kepada keuntungan, sedang dalam arti syar'i, mashlahat adalah
sebab yang membawa kepada tujuan al-syari, baik yang menyangkur ibadah
6

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-mustafa min 'ilm al-usul,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke 1, h 5.
Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di
Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 36.
7

'Izz al-Din ibn'Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Kairo: Maktabat
al-Kuliyyat al-Azhariyah, 1994), Juz ke 1, h 5 Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan
Relevansinya Dengan Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Negara RI) h 36.
.

19

maupun muamalah.8 Tegasnya, mashlahat masuk dalam akupan maqasid alsyariah.9.
Al-Khawarizmi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi
Al-Ghazali di atas, yaitu "memelihara tujuan syara' (dalam menetapkan
hukum), dengan cara menghindarkan kerusakan pada manusia". Definisi ini
memiliki kesamaan dengan definisi Al-Ghazali dari segi arti dan tujuannya
karena menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan
menolak kemaslahatan berarti menarik kerusakan10.
Al-Syatibi mengartikan Mashlahat itu dari dua pandangan, yaitu dari
segi terjadinya maslahat dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara' kepada maslhahat.
1. Dari segi terjadinya mashlahat dalam kenyataan berarti:
Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna
hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya
secara mutlak.
2. Dari segi tergantungnya tuntutan syara' kepada mashlahat yaitu:
Kemashlahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara'.
Untuk menghasilkannya Allah menuntut manusia untuk berbuat.11

8

Bajm al-Din al-Tufi, Syarh al-Arba'in al-Nawawiyah, hlm.19, lampiran dalam Mustafa
Zaid, al-Maslaha, al-Maslhah fi al-Tasyri' al-Islamiy wq Najm al-Din al-Tufi, dar al-Fikr alArabiy. 1384H/1964 M), h 211. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan
Perundang-Udangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h
56.
9

Hamadi al-Ubaidi, Ibn Rusyd wa 'Ulum al-Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr alArabiy, 1991), h 97. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan PerundangUdangan Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 57 .

347.

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. H 346.

11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. h 346-

20

Al-Tufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-Alim dalam
bukunya al-Maqashid al-Ammah li al-Syaro' ati al-Islamiyyah mendefinisikan
mastlahat adalah "Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara'
dalam bentuk ibadat atau adat". Definisi al-Thufi ini bersesuaian dengann
definisi al-Ghazali yang memandang mashlahat dalam artian syara' sebagai
sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara'.12
Dari beberapa definisi tentang mashlahat diatas dengan rumusan yang
berbeda tersebut dapat disimpulakn bahwa mashlahat itu adalah sesuatu yang
dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan
syara' dalam menetapkan hukum.
Sebelum mengkategorisasikan Mashlahat patut diketahui terlebih
dahulu mengenai kriteria maslahat yang dikemukakan oleh al-Buti apakah
sudah valid secara syar'i. Menurut pandangan al-Buti kriteria mashlhat itu
mencakup lima ha, yaitu :
1. Sesuatu yang akan dinilai itu masih dalam koridor nass syara'.
2. Sesuatu tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran.
3. Ia tidak bertentangan dengan Sunah.
4. Ia tidak bertentangan dengan al-Qiyas.
5. Mastlahat ini tidak mengorbankan Mastlahat lain yang lebih penting.13

12

13

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Cetakan ke 5 Diterbitkan Kencana. 2008. h 347.

Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Marsalah fi al-Syari'ah al-Islamiyah,
(Beirut: Mu'assasat al-Risalah, 1421 H/2000 M), h 110, 118, 144, 190, dan 217.

21

Al-Ghazali menjelaskan kategori mashlahat. Pertama mendapat
ketegasan justifikasi teks suci Syariah terhadap penerimaannya (al maslahahal-mu'tabarah), merupakan al-hujjah al-syar'iyah dan buahnya berupa alqiyas yang mengandung makna memetik hukum dari kandungan makna-logis
suatu al-nass i dan al-ijma. Kedua mashlahat yang mendapatkan justifikasi
Syariah

terhadap

penolakannya

(al-maslhah

al-mulgah),

al-Gazali

mencontohkan kasus fatwa seorang ulama kepada sang raja yang menyetubuhi
isterisnya pada siang hari di bulan Ramadhan, yakni kewajiban berpuasa dua
bulan berturut-turut sebagai kaffarah yang harus ditunaikan sang raja, dengan
dasar pertimbangan (al-dalil) bahwa kalau ditetapkan bagi sang raja itu
memerdekakan budak sebagai kaffarah, tentu sangatlah ringan bagi dirinya
sehingga tidak mendidikya untuk berjuang melawan hawa nafsu syahwat,
tidak membawa efek jera baginya.
Dalam penilaian al-Gazali, hal demikian merupakan suatu pendapat
yang tidak benar, suatu tindakan penyimpangan terhadap nass al-Quran, yang
pada gilirannya membawa kepada dekonstruksi teks suci Syariah dengan
alasan adanya perubahan situasi dan kondisi. Ketiga iyalah mashlahat yang
tidak mendapatkan ketegasan justifikasi teks suci Syariah, baik terhadap
penerimaannya maupun penolakannya. Hal ini menjadi medan perselisihan
para ulama.14

14

Abu Hamid Muhammad al-Gazali, al-Mustafa min 'Ilm al-Usul, ,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke-1, hlm
415-416. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan
Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) h 61 .

22

Pada

sisi

lain

al-Gazali

juga

mengkategorisasikan

mashlahat

berdasarkan segi kekuatan substansialnya (quwwatiha fi dzatiha), di mana
mashlahat itu dibedakan menjadi tiga, yaitu: Mashlahat level al-darurat,
merupakan mashlahat tertinggi dan terkuat memiliki lima prinsif dasar
diantaranya. Satu (1) memelihara agama (hifz al -din). Kedua (2) memelihara
jiwa (hifz al-mal). Ketiga (3) memlihara akal pikiran (hifz al-aql). Empat (4)
Memelihara keturunan (hifz al-nasl). Lima (5) Memelihara harta kekayaan
(hifz al-mal).15Pandangan al-Gazali ini disempurnakan lagi oleh Syihab al-Din
al-Qarafi (w. 684 H) dengan menambahkan satu tujuan prinsif dasar lagi yakni
memelihara kehormatan diri (hifz al-'ird). Meskipun diakui sendiri oleh alQarafi bahwa hal ini menjadi lahan perdebatan para ulama.16Sedangkan
Mashlahat level al-hajat merupakan Mashlahat tingkatan kedua. Adapun yang
ketiga adalah mashlahat level al-Tahsinat/al-tazniyat merupakan mashlahat
yang tidak berada pada level darurat maupuan hajat. Mashlahat al-hajat dan
al-tahsinat/al-tazniyat tidak boleh diajdikan dasar/landasan yang mandiri bagi
penerapan hukum manakala tidak didukung oleh justifikasi asl, karena jika
tidak demikian berarti menetapkan hukum dengan al-ra'yu: jadi sama dengan
Ihtisan. Apabila didukung oleh asl maka namanya al-qiyas. Adapun mashlahat

15

Abu Hamid Muhammad al-Gazali, al-Mustafa min 'Ilm al-Usul, ,tahqiq wa ta'liq
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Mu'assar al-Risalah, 1417H/1997 M), Juz ke-1, hlm
417. Dikutip dari Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-Udangan
Khusus di Indonesia.(Badan Litbang dan Diklat Kementrian Negara RI) 61.
16

Syihab al-Din al-Qarafi.Syah Tangih al-Fusul Fi Ikhtisar al-Mahsul fi al-Usul, (Mesir:
al-Matba'ah al-Khairiyah, 1307 H) sebagaiman dikutip dalam 'Abd al-Aziz ibn Abd al-Rahman ibn
Ali bin Rabi'ah, Ilm Maqasid al-Syari, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al Wataniyah, 1423
H/2002). h. 63.

23

yang berada pada level al-darurat bisa dicapai oleh ijtihad sang mujtahid
meskipun tidak didukung oleh justifikasi al-asl yang spesifik.
Izz al-Din ibn al-Salam (w.660 H). Mashlahat dibedakan menjadi tiga
macam.yaitu (1) Mashlahat yang terkandung dalam urusan yang bersifat
boleh/halal (masalih al-mustabahat). (2) Maslahat yang terkandung dalam
urusan yang bersifat sunnah (masalih al-mandubat). (3) Mashlahat yang
terkandung dalam urusan yag bersifat wajib (masalih al-wajibat). Sedangkan
mafsadah dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Mafsadah yang terkandung
dalam urusan yang bersifat haram (mafasid al-makruhat) dan mafsadah yang
terkandung dalam urusan yang bersifat haram (mafasid al-muharramat).17
Lebih dari itu, al-Izz ibn 'Abd al-Salam memandang mashlahat itu dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) mashlahat dalam arti denotatif
(haqiqi), yakni kesenangan dan kenikmatan. (2) mashlahat dalam arti konotatif
(majazi), yakni media yang mengantarkan kepada kesenangan, kebaikan dan
kenikmatan. Bisa saja terjadi media yang mengantarkan itu adalah almafsadah, sehingga al-mafsadah ini diperintahkan atau dibolehkan, bukan
karena lantaran statusnya sebagai mafsadah, tetapi sebagai sesuatu yang
mengantarkan kepada mashlahat, seperti mengamputasi organ tubuh si pasien
demi menyelamatkan hidupnya.18

17

Izz al-Din ibn 'Abd al-Salam, Qawa'id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Beirut: Dar alJail, 1400 H/1980 M), Juz ke 1, h 9.
18

Izz al-Din ibn 'Abd al-Salam, Qawa'id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, (Beirut: Dar alJail, 1400 H/1980 M), Juz ke 1, h 9.

24

Najm al-Din al-Tufi mashlahat dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu mastlahat dalam arti iurfi' dan mastlahat dalam arti syar'i. Menurut al
Tufi yang dimaksud pertama adalah hal penyebab yang membawa kepada
kebaikan dan kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan penyebab
membawa keuntungan. Kedua penyebab yang membawa kepada tujuan syar'i,
baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah. Di sisi lain, al-Tufi
membedakan mashlahat itu menjadi dua macam: (1) Mastlahat yang
dikehendaki al-Syariuntuk hak-Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2)
mastlahat yang dikehendaki syar'í untuk kebaikan makhlukNya dan
keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.19
Abu Ishaq al-Syatibi mengkategoriskan mashlahat menjadi 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Al-Daruriyah ialah sesuautu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya
kebaikan dan kesejahtraan, baik menyangkut urusan duniawi maupun
ukhrawi, dimana manakala dia lenyap , tidak ada, maka tidak terwujudnya
kehidupan dunia yang tertib dan sejahtera bahkan, yang terwujud adalah
kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan ukhrawi yang celaka dan
menderita. Bagi al-Syatibi, al-Daruriyah ini mencakup upaya-upaya
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara
kekayaan, dan memelihara akal budi.20

19

Najm-al-Din al-Tufi, Syarh al-Aba'in al-Nawawiyah, hlm. 19, sebagaiman dimuat
sebagai lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyri' al-Islamy wa Najm al-Din al-Tufi.
(t.tp: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1384H/1964 M), h. 211
20

Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2, h. 7-13.

25

2. Al-Hajiyyah dalam pandangan al-Syatibi ialah sesuatu yang dibutuhkan
dari sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan
kesempitan yang biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusah
payahan yang di iringi dengan luputnya tujuan/sasaran. Apabila al-hajiyah
tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran atau kesusah payahan,
tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada
kasus al-maslahah al-daruriyah. Kategori al-hajiyah sesungguhnya
mengarah kepada penyempurnaan al-daruriyah. Dimana dengan tegaknya
al-hajiyah, akan lenyapnya al-masyaqah terciptanya keseimbangan dan
kewajaran sehingga tidak menimbulkan ekstrimitas.21
3. Al-tahsiniyah menurut pendapat al-Syatibi ialah sesuatu yang berkenaan
dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari
kebiasaan-kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Hal ini sering disebut dengan makharaim al-akhlaq. Keberadaan altahsiniyah bagi al-Syatibi bermuara kepada kebaikan-kebaikan yang
melengkapi prinsif al-maslahah al-daruriyah dan al-maslahah al-hajiyah.
Ini karena ketiadaan al-tahsiniyah tidak merusak urusan al-hajiyah dan aldaruriyah. Ia hanya berkisar kepada upaya mewujudkan keindahan,
kenyamanan dan kesopanandalam hubungan sang hamba dengan tuhan
dan sesama makhlukNya. Lebih lanjut al-Syatibi menandaskan bahwa
relasi trio mashlahat itu merupakan relasi yang suplematif, dimana alhajiyah melengkapi al-daruriyah dan al-tahsinyah melengkapi al-hajiyah.
21

Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 14.

26

Baik al-daruriyah al-hajiyah maupun al-tahsinyah masing-masing
memiliki pelengkap atau penyempurna (takmili).22

22

Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Munawafaqat fiUsul al-Syari'ah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.), Jilid 1, Juz KE 2 h 9-10

BAB III
TINJAUAN TENTANG PENINJAUAN KEMBALI DI INDONESIA

A. Pengertian Peninjauan Kembali
Dilihat secara gramatikal, peninjauan adalah proses atau cara meninjau
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia meninjau bisa berarti melihat sesuatu
dari ketinggian, mempelajari dengan cermat dan memeriksa untuk
memahami1.Dengan demikian, peninjauan kembali secara gramatikal berarti
melihat dan memahami kembali dengan teliti suatu keadaan.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, Peninjauan Kembali merupakan salah
satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia. Upaya
hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa yaitu
persidangan pada Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi,
dan kasasi pada Mahkamah Agung. Dalam upaya hukum biasa, kasasi
Mahkamah Agung merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh untuk
mendapatkan keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam suatu perkara.
Putusan kasasi Mahkamah Agung bersifat akhir, mengikat dan berkekuatan
hukum tetap. PK dapat diajukan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung
apabila pada putusan sebelumnya diketahui terdapat kesalahan atau kekhilafan
hakim dalam memutus perkara ataupun terdapat bukti baru yang belum pernah
diungkapkan dalam persidangan.
1

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta Balai Pustaka, 2002). Edisi Ketiga, h.1198.

27

28

Peninjauan Kembali/Herziening adalah Peninjauan Kembali terhadap
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sebagai
tahap akhir dari proses peradilan di Indonesia. Peninjauan Kembali ini dapat
dimintakan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap disemua tingkat pengadilan, seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggidan Mahkamah Agung.Akan tetapi atas putusan bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali (Pasal
263 (1) KUHAP). Adapun yang berhak untuk mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, adalah terpidana atau Ahlli
warisnya (Pasal 263 (1) KUHAP.2
Praktek Peninjauan Kembali bisa diajukan oleh Jaksa bukan hanya oleh
Terpidana dan Ahli Warisnya saja. Seperti dalam kasus terpidana Muchtar
Pakpahan yang termuat dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor; 55
PK/PID Tahun 1996.Alasan Jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali
adalah dalam kapasitasnya sebagai penuntut umum yang mewakili negara dan
kepentingan umum dalam proses penyelesaian perkara pidana. Permintaan
Peninjauan Kembali ini bukan untuk kepentingan pribadi Jaksa tetapi demi
kepentingan umum/negara.3
Pada awalnya Lembaga Peninjauan Kembali ini tidak dikenal dalam
sistem HIR. Pengaturan tent