Dimana : KD = Seberapa jauh perubahan variabel Y dipergunakan oleh variabel X
r² = Kuadrat koefisien korelasi
3.2.5.2 Pengujian Hipotesis
Rancangan pengujian hipotesis ini dinilai dengan penetapan hipotesis nol dan hipotesis alternatif, penelitian uji statistik dan perhitungan nilai uji statistik,
perhitungan hipotesis, penetapan tingkat signifikan dan penarikan kesimpulan. Hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan ada
tidaknya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Hipotesis nol H
o
tidak terdapat pengaruh yang signifikan dan Hipotesis alternatif H
a
menunjukkan adanya pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat.
Rancangan pengujian hipotesis penelitian ini untuk menguji ada tidaknya pengaruh antara variabel independent X yaitu Pendapatan Asli Daerah X
1
dan Dana Alokasi Umum X
2
terhadap Belanja Daerah sebagai variabel dependen Y, dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Penetapan Hipotesis
a. Hipotesis Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka
dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: a
Hipotesis parsial antara variabel bebas Pendapatan Asli Daerah terhadap variabel terikat Belanja Daerah..
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan bebas Dana Alokasi Umum terhadap variabel terikat Belanja Daerah..
Ha : Terdapat pengaruh positif yang signifikan Dana Alokasi
Umum terhadap variabel terikat Belanja Daerah. b
Hipotesis parsial antara variabel bebas Dana Alokasi Umum terhadap variabel terikat Belanja Daerah.
Ho : Tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah.
Ha : Terdapat pengaruh positif yang signifikan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah.
c Hipotesis secara keseluruhan antara variabel bebas Dana Alokasi
Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap variabel Belanja Daerah. H
o
: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap variabel Belanja
Daerah. H
a
: Terdapat pengaruh yang signifikan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap variabel Belanja Daerah.
b. Hipotesis Statistik 1. Pengujian Hipotesis Secara Parsial Uji Statistik t.
Dalam pengujian hipotesis ini menggunakan uji satu pihak one tail test dilihat dari bunyi hipotesis statistik yaitu hipotesis nol H
: ρ 0 dan
hipotesis alternatifnya H
1
: ρ 0
Ho : ρ 0 : Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh positif terhadap variabel dan Belanja Daerah lebih kecil dari Dana Alokasi
Umum. Ha : ρ 0 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap variabel
dan Belanja Daerah lebih besar. Ho : ρ 0 : Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh positif terhadap
Belanja Daerah, Belanja Daerah lebih kecil dari Dana Alokasi Khusus.
Ha : ρ 0 : Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap Belanja Daerah lebih besar.
2. Pengujian Hipotesis Secara Simultan Uji Statistik F. Ho : ρ 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana
Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah.
Ha : ρ ≠ 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Daerah.
2. Menentukan tingkat signifikan
Ditentukan dengan 5 dari derajat bebas dk = n – k – l, untuk menentukan
t
tabel
sebagai batas daerah penerimaan dan penolakan hipotesis. Tingkat signifikan yang digunakan adalah 0,05 atau 5 karena dinilai cukup untuk
mewakili hubungan variabel – variabel yang diteliti dan merupakan tingkat
signifikasi yang umum digunakan dalam statu penelitian. 3. Menghitung nilai t
hitung
dengan mengetahui apakah variabel koefisien korelasi signifikan atau tidak dengan rumus :
dan
Dimana : r = Korelasi parsial yang ditentukan
n = Jumlah sampel t = t
hitung
Selanjutnya menghitung nilai F
hitung
sebagai berikut :
Sumber: Sugiyono Dimana:
R = koefisien kolerasi ganda K = jumlah variabel independen
n = jumlah anggota sampel
3. Menggambar Daerah Penerimaan dan Penolakan
Untuk menggambar daerah penerimaan atau penolakan maka digunakan kriteria
sebagai berikut :
a. Hasil t
hitung
dibandingkan dengan F
tabel
dengan kriteria : b
Jika t
hitung
≥ t
tabel
maka H ada di daerah penolakan, berarti Ha
diterima artinya antara variabel X dan variabel Y ada pengaruhnya. c
Jika t
hitung
≤ t
tabel
maka H ada di daerah penerimaan, berarti Ha
ditolak artinya antara variabel X dan variabel Y tidak ada pengaruhnya.
d t hitung; dicari dengan rumus perhitungan t hitung, dan
e t tabel; dicari di dalam tabel distribusi t student dengan ketentuan
sebagai berikut, α = 0,05 dan dk = n-k-1 atau 24-2-1=21
c. Hasil Fhitung dibandingkan dengan F
tabel
dengan kriteria : a
Tolak ho jika F
hitung
F
tabel
pada alpha 5 untuk koefisien positif. b
Tolak Ho jika F
hitung
F
tabel
pada alpha 5 untuk koefisien negatif. c
Tolak Ho jika nilai F-sign ɑ ,05.
4. Menggambar Daerah Penerimaan dan Penolakan
Gambar 3.1 Daerah Penerimaan dan Penolakan Hipotesis
5. Penarikan Kesimpulan
Daerah yang diarsir merupakan daerah penolakan, dan berlaku sebaliknya. Jika t
hitung
dan F
hitung
jatuh di daerah penolakan penerimaan, maka Ho ditolak diterima dan Ha diterima ditolak. Artinya koefisian regresi signifikan tidak signifikan.
Kesimpulannya, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh tidak berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Tingkat signifikannya yaitu 5
α = 0,05, artinya jika hipotesis nol ditolak diterima dengan taraf kepercayaan 95 , maka
kemungkinan bahwa hasil dari penarikan kesimpulan mempunyai kebenaran 95 dan hal ini menunjukan adanya tidak adanya pengaruh yang meyakinkan signifikan
antara dua variabel tersebut.
71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Pemerintah Kota Bandung
4.1.1 Sejarah Pemerintah Kota Bandung
A. Zaman Penjajahan Sebelum Tahun 1906
Pada zaman penjajahan Belanda Indonesia disebut “Hindia Belanda”, yang memegang kekuasaan di Hindia Belanda ialah seorang Gubernur Jenderal. Mr.
Herman Willem Deandels adalah yang menjadi Gubernur Jenderal yang menjabat tahun 1808 dan tahun 1811. Gubernur inilah yang memerintahkan untuk membuat
jalan raya sepanjang pulau Jawa dari anyer sampai Panarukan. Jalan raya ini melintasi Wilayah Kabupaten Bandung dan Kotamadya Bandung. Pusat
Pemerintah Kota Bandung pada waktu itu terletak di kota Krapyak Citereup yaitu kurang lebih 9 km sebelah Selatan dari pusat kota Bandung. Letak kota itu oleh
Gubernur Jenderal Deandels dipandang dari segi komunikasi, stategi, keamanan dan pertahanan tidak memenuhi kepentingannya. Maka diperintahkan kepada
Bupati Bandung, ketika itu Wiranatakusumah III untuk memindahkan Ibukota Kabupaten dari kota Krapyak ke sebelah utaranya pada poros jalan raya dekat
dengan sungai Cikapundung. Pembangunan Ibukota Kabupaten Bandung dilaksanakan dibawah pimpinan
Bupati Wiranatakusumah III tanggal 25 Mei 1810. Pertama-tama dibangun gedung menghadap ke Alun-alun yang selesai pada 18 Januari 1881. Secara resmi
dipindahkannya Ibukota Kabupaten Bandung pada 25 Mei 1881. Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan Kabupaten ternyata makin lama makin ramai, sehingga
tahun 1862 oleh pemerintah Kolonial Belanda dijadikan tempat kedudukan Residen Priangan, yang sebelumnya berkedudukan di Kota Cianjur.
Pada waktu R.A. Martanegara diangkat menjadi Bupati 1893 kota Bndung mengalami perubahan yang penting. Rumah-rumah yang beratap alang-
alang diganti dengan genting. Selain itu juga memperhatikan perekonomian rakyat. Kota Bandung semakin lama semakin maju dan ramai. Terutama setelah adanya
penghubung kereta api. Dengan keputusan Gubernur Jenderal pada 29 Pebruari 1906, kota Bandung dibentuk sebagai daerah Otonom
“Gemeente” yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 April 1906. Saat itulah yang dijadikan Hari Jadi Kota
Bandung.
B. Zaman Pemerintahan Belanda 1906-1942
Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 21 Pebruari 1906, kota Bandung dibentuk sebagai
“Gemeemte”. Menurut pasal 7 SK tersebut “Gemeente Bandung” itu diadakan suatu Dewan Haminte Gemeenteraad yang terdiri dari 11
anggota, yaitu 8 orang Bangsa Eropa, 2 orang Bangsa Indonesia Asli dan 1 orang Bangsa Timur Asing. Badan tersebut diketuai oleh kepala Pemerintahan setempat
Hoofd van Plaatselijk Bestuur di Bandung, yang dalam jabatan it uterus berlaku dari tahun 1906 sampai 1 Juli 1917, pada waktu itu pertama kalinya disebut
“Burgemeester van Bandung” Walikota Bandung. Adanya penyusunan kembali pemerintahan, maka dengan SK Gubernur
Jenderal pada 27 Agustus 1926 No. 3x Staadsblaad 1926 N0. 369 sebagai pelaksanaan dari wet vande staads inriching van Ned Indie dinyatakan berlaku
untuk “Gemeente Bandung”. Maka sejak 1 Oktober 1926 ketentuan dalam Stanadgemeentte Ordonantie berlaku untuk Gemeente Bandung. Sesuai dengan