Jenis – Jenis dan Fungsi Kimono dalam Masyarakat Jepang “Nihon Shakai Ni Okeru Kimono No Shurui To Kinou

(1)

JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM

MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKERU KIMONO NO SHURUI TO

KINOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

Indah Sri Puspita 100708056

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

MEDAN 2015


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan segala nikmat dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Jenis – Jenis dan Fungsi Kimono dalam Masyarakat Jepang “Nihon Shakai Ni Okeru Kimono No Shurui To Kinou”

ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Dosen Pembimbing I, yang mana telah banyak menyediakan waktu ditengah banyaknya kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan arahan serta


(3)

5. Para Dosen Penguji Skripsi, yang mana telah menyediakan waktunya untuk membaca dan menguji skripsi ini. Kemudian terima kasih pula terhadap seluruh Dosen Pengajar Departemen S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

6. Ayah tercinta, Pusito yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk tetap mandiri kepada penulis, juga kepada ibu tersayang (almh.) Sri Yulinarti, yang dari hasil merawat penulis hingga menghembuskan nafas terakhir, ibu mengajarkan banyak hal dan nilai-nilai kehidupan penting terutama tentang kepercayaannya dan kasih sayang yang luar biasa terhadap penulis. Untuk adik-adik tersayang, Prasetyo, Azri dan Raihana, juga terhadap seluruh keluarga besar penulis yang sedikit banyak turut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Teman yang selalu ada, membantu dan menemani dalam situasi dan kondisi apapun selama berteman dengan penulis, Kak Ecy. Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik, kakak yang tegas. Semoga kita selalu menjadi teman baik dan tetap jadi kakak untuk penulis yang selalu memberikan berbagai dukungan, masukan dan kritik yang membangun.

8. Kakak-kakak teman penulis yang selama ini secara tidak langsung turut andil dalam penulisan skripsi: Kak Hanny, Kak Dhiny, Kak


(4)

Mimi. Terima kasih atas sekian banyak waktu yang kita habiskan bersama-sama.

9. Teman dekat penulis di Stambuk 2010, Liska, Echa, Savitri dan Nurul. Semoga kita tetap berteman baik dimana pun nanti kita akhirnya dan tetap saling mendukung dan menjalin pertemanan ini seterusnya.

10.Untuk senior-senior Sastra Jepang yang secara tidak langsung telah memberikan semangatnya agar penulis tetap semangat menyelesaikan skripsi dengan baik: Kak Yulia, Kak Nisa, dan Kak Mita.

11.Dan yang terakhir untuk seluruh teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Stambuk 2010, yang selalu dengan semangat saling menguatkan untuk menyelesaikan studi dan berbagi ilmu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk dalam penulisan skripsi ini. Karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Namun penulis tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk hasil yang maksimal.

Medan, Januari 2015 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………..iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah………1

1.2.Rumusan Masalah……….5

1.3.Ruang Lingkup Pembahasan……….6

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………..6

1.4.1. Tinjauan Pustaka……….6

1.4.2. Kerangka Teori………...8

1.5.Tujuan dan Manfaat Penelitian………...11

1.5.1.Tujuan Penelitian………...11

1.5.2. Manfaat Penelitian………....12

1.6.Metode Penelitian………....12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KIMONO PADA MASYARAKAT JEPANG 2.1. Sejarah Kimono di Jepang………...14

2.1.1. Zaman Jomon dan Zaman Yayoi………..14

2.1.2. Zaman Kofun………15

2.1.3. Zaman Nara………...16


(6)

2.1.5. Zaman Kamakura………..17

2.1.6. Zaman Muromachi………18

2.1.7. Zaman Edo………19

2.1.8. Zaman Meiji………..20

2.1.9. Zaman Showa………21

2.2. Bahan Dasar Kimono………..22

2.2.1. Kain Sutera………22

2.2.2. Serat Kulit Pohon………..22

2.2.3. Katun……….23

BAB III JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG 3.1. Jenis-Jenis Kimono………..24

3.1.1. Kimono Wanita……….24

3.1.2. Kimono Pria………..31

3.1.3. Kimono Khusus………33

3.2. Aksesoris Kimono………...39

3.2.1. Hakama………..39

3.2.2. Haneri………41

3.2.3. Jaket Kimono……….43

3.2.4. Hiyoku………...46

3.2.5. Juban………..47

3.2.6. Tabi………48

3.2.7. Alas Kaki………..49


(7)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan………..69 4.2. Saran………71

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(8)

Abstrak

JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG

Masyarakat Jepang sangat peduli dengan budaya dan tradisi peninggalan leluhur mereka. Walaupun Jepang sudah sangat maju dengan berbagai teknologi, mereka selalu berusaha untuk hidup berdampingan dengan lingkungan yang memiliki berbagai macam peninggalan budaya. Salah satu budaya Jepang adalah pakaian tradisional yaitu kimono.

Kimono adalah pakaian tradisional Jepang yang berbentuk mantel, dengan lengan panjang dan memiliki kerah. Kimono dikenakan oleh pria dan wanita. Namun jenis kimono untuk wanita lebih banyak dibandingkan pria. Bentuk kimono wanita seperti baju terusan dan bentuk kimono pria berbentuk seperti setelan.

Ada beberapa macam jenis dari kimono. Pemakaian kimono disesuaikan dengan fungsi dan keadaan. Seperti ketika melakukan kunjungan formal, wanita mengenakan houmongi atau kimono untuk berkunjung. Dan mengenakan yukata saat festival musim panas berlangsung.

Berdasarkan macam-macam kimono yang dikenakan, kimono dapat menunjukkan usia pemakai, status perkawinan, dan berbagai acara yang dihadiri. Banyaknya perayaan sepanjang tahun di Jepang, membuat kimono memiliki berbagai macam jenis yang digunakan pada kesempatan yang berbeda-beda.


(9)

Masyarakat Jepang juga menggunakan kimono sesuai dengan musim. Pemilihan warna, pola dan dekorasi pada kimono selalu menyatu dengan alam dan sesuai dengan musim di berbagai kesempatan.

Tingkat formalitas pada kimono pun berbeda-beda. Tergantung pada banyaknya lambang keluarga pada kimono yang dikenakan. Semakin banyak lambang keluarga pada kimono, maka tingkat formalitasnya semakin tinggi. Pada kimono wanita, formalitas ditentukan pada pola tenunan, lambang dan warna. Sedangkan untuk kimono pria, hanya lambang dan warna pada kimono yang lebih gelap dari warna kimono wanita.

Seiring berjalannya waktu, kimono menjadi sesuatu yang eksklusif dan hanya digunakan terbatas pada orang tertentu atau kesempatan yang khusus. Dalam keseharian, kimono jarang digunakan. Selain tidak praktis, harga kimono juga sangat mahal.

Walaupun sekarang kimono hanya dikenakan pada keadaan tertentu, masyarakat Jepang tetap mengenakannya sepanjang tahun. Dan ketika mengenakan kimono, mereka menggunakan kain, warna dan model dari kimono untuk menunjukkan empat musim yang ada di Jepang.


(10)

日本社会における着物の種類と機能

日本社会は先祖の文化と伝統をにたいして非常に懸念している。日 本は様々な技術の面で非常に進んでいても、彼らは常に文化遺跡の広い、 環境と共存しようとしている。日本文化の一つは伝統は着物としてである。

着物は日本伝統的な衣類でコートの形で長い腕と同様の形状を持っ ている。女と男は着物を着る。しかし、女の着物は男の着物より種類が多 い。女の着物の形状はオーバールで男の着物の形状はスーツのように形を する。

着物の種類はさまざまある。着物の使用は、機能及び状況に適合さ れる。形式的なの訪問では、女が訪問着をきる。そして夏祭りにゆかたを きる。

着用着物の種類に基ずいて、きる人の年齢を示すこと、配偶者の有 無のことをしめる。日本では年中行事によって、着物を合わせて使用され ている。

日本社会は着物を季節に合わせて使用されている。着物上の色、模 様や装飾品の選択で、自然と一体にし、様々な場面での季節に常である。 着物姿の形式のレベルが異なっている。着用着物での家紋の数に応 じている。着物に家紋が沢山あるとともに、形式的なよりより高い。女の 着物は織り模様、家紋と色に規定される。男の着物は、女の着物より字紋 と色がくろいほうである。

時間がたつとともに、着物は現在特定の人や特別な機会に限られて 使用する。日常生活の中で、着物はほとんど使用しない。ふべんの外 に、

きもの

,着物の

かかく

,価格も

ひじょう

,非常に

こうか


(11)

今在は、特定の状況においてきられているが、日本社会はまだ年間 を通じて着物も着用する。そして着物を身に着けているとき、彼らは布、 色や形状の着物の使用が、日本の四季を表示する。


(12)

BAB I

JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT JEPANG

1.1.Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi manusia dengan sesamanya memunculkan suatu peradaban yang menghasilkan suatu budaya. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan dan kebudayaan itu menghasilkan suatu karya, dimana karya tersebut bertujuan membantu peradaban dalam hal kehidupan sosial, bekerja maupun dalam mempertahankan sesuatu.

Kebudayaan menurut Chris Jenks (1993:xii) adalah perwujudan dari sebuah pertarungan dan perjuangan sejak awal kejadiannya dan dalam pemahaman orang tentangnya. Dimana kebudayaan itu sendiri mencakup perluasan potensi manusia. Maka dari itu kebudayaan ada bukan untuk diperlakukan asal-asalan; dengan artian kebudayaan tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam sebuah generalisasi atau dilarutkan ke dalam sebuah mood relativisme post-modern.

Sedangkan menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2-3) menerangkan kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga


(13)

sistem kepercayaan dan seni, oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Kebudayaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan masyarakat sesuai kebutuhan situasi pada zamannya. Budaya suatu bangsa dapat diidentifikasi dari ciri-ciri yang dimilikinya yaitu dari bahasa, pakaian, tradisi dan adat yang merupakan hasil dari peradabannya. Seperti halnya budaya bangsa Jepang dapat dikenali melalui pakaian yang digunakan yaitu Kimono.

Pakaian membawa pesan yang mencerminkan masyarakat dan zaman. Seperti halnya bahasa, pakaian berpengaruh pada kondisi sosial dari penggabungan unsur yang baru, pergeseran bentuk, atau merentas gaya lama menjadi sesuatu yang unik. Kapasitas pakaian sebagai pembawa informasi sangat besar. Pesan itu secara diam-diam dan efisien memberitahukan kepada masyarakat lain, dimana semua dilengkapi oleh pengetahuan tentang kebudayaan untuk membaca semua simbol atau kode. Kimono adalah kode untuk pesan, tentang usia, jenis kelamin, musim, formalitas, dan kesempatan (maupun) kekayaan dan cita rasa (Liza Dalby, 2001:7)

Kimono adalah pakaian tradisional bangsa Jepang untuk pria dan wanita yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Kemudian pada jaman Edo, kimono mengalami perubahan yang sampai sekarang masih dipertahankan, yaitu lengan kimono yang sedikit lebih panjang dan obi (sabuk lebar untuk mengencangkan kimono) yang semakin besar bagi wanita yang belum menikah. Kimono (着物)


(14)

berasal dari kata Ki (着) yang berarti mengenakan dan Mono (物) yang berarti pakaian. Jadi secara umum kimono adalah mengenakan pakaian.

Kimono adalah salah satu dari produk budaya manusia Jepang yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Dengan adanya kimono sebagai identitas kultural yang melekat dalam masyarakat Jepang, menjadikan budaya sebagai proses organis yang hidup sesuai dengan perubahan zaman. Kimono tidak hanya sekedar menjadi identitas kultural tetapi juga mempunyai makna kearifan lokal yang ada dalam model pakaian kimono.

Kimono mempunyai nama lain, gofuku (bahasa Jepang: 呉服yang berarti “pakaian dari zaman Go di Tiongkok”). Kimono yang dulunya sangatlah berat karena pengaruh dari baju tradisional Cina Han, yang sekarang dikenal hanfu atau dalam bahasa Jepang disebut kanfuku (漢服).

Kimono Jepang yang berdasarkan pengertiannya berarti “sesuatu untuk dipakai” atau “pakaian” terbuat dari enam kain panjang. Jahit bersamaan enam potong dari kain tersebut secara simetris; kiri dan kanan, dan terbentuklah kimono. Disamping perbedaan-perbedaan kecil tergantung usia pemakainya, pada dasarnya kimono identik dalam bentuk untuk pria dan wanita di segala umur.

Dan juga hanya ada satu ketentuan untuk memakai kimono; tarik kain kimono sisi kanan sampai ke dada sebelah kiri, kemudian timpa dengan menarik kain dari sebelah kiri ke sebelah kanan, lalu ikat dengan himo (sabuk) dan letakkan pada sebuah obi (selempang/ikat pinggang yang lebar). Dalaman dan luaran yang dipakai bersama kimono memiliki bentuk yang identik pula. Lapisan


(15)

Unsur yang menonjol pada kimono yaitu terdapatnya karakter dan corak dari kimono yang sangat unik. Unik jika dapat menggunakan pakaian tradisional Jepang tersebut. Pertama, teknik menggunakan atau memakai kimono yang tidak semua orang bisa memakainya. Kedua, sebagai simbol penghargaan terhadap kaum perempuan yang sangat menjaga adat ketimuran yaitu adat yang suka melihat perempuan berpakaian yang sopan dan pantas.

Pemilihan jenis kimono yang tepat dibutuhkan pengetahuan tentang simbolisme dan isyarat atau kode terselubung yang dimiliki oleh berbagai jenis kimono. Filosofi kimono sendiri tidak sekeadar untuk menunjukkan identitas bangsa atau masyarakatnya, karena Jepang pada masa kini pun juga membawa pengaruh pada eksistensi kimono sebagai budaya. Pada perkembangan kimono, kini perlahan-lahan eksistensinya mulai tergeser oleh arus globalisasi dari budaya barat yang membuat kimono semakin lama kehilangan identitasnya. Untuk dimensi yang sangat menonjol dalam kimono dapat dilihat dari konsistensi bentuk, model dan karakter kimono yang tidak berubah. Walaupun pengaruh perkembangan busana modern begitu pesat di Jepang seperti harajuku, tapi tidak dapat menyamakan kimono yang mempunyai karakter sendiri.

Dewasa ini, kimono mempunyai bentuk mengikuti abjad “T”, seperti mantel berlengan panjang dan berkerah. Kimono dibuat panjang hingga ke pergelangan kaki. Pada umumnya, kimono yang dipakai wanita berbentuk baju terusan. Sedangkan pada laki-laki, kimono berbentuk setelan. Kerah yang ada pada kimono harus berada dibawah kerah bagian kiri. Kemudian melilitkan sabuk kain yang disebut obi dibagian pinggang atau perut dan diikat di bagian punggung.


(16)

Pada masa sekarang, kimono lebih sering digunakan wanita pada waktu-waktu yang istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang dinamakan furisode. Ciri khas dari furisode ini sendiri adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Pria mengenakan kimono pada pesta atau perayaan formal seperti pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Pada anak-anak, kimono biasa dipakai ketika mengikuti perayaan

Shichi-Go-San.

Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang fungsi dan spesifikasi kimono

pada masyarakat Jepang penulis memfokuskan tulisan ini tentang Fungsi dan Jenis-Jenis Kimono pada Masyarakat Jepang sebagai skripsi.

Dengan demikian penulis membuat judul skripsi ini “ Fungsi dan Jenis-Jenis Kimono pada Masyarakat Jepang”.

1.2 Rumusan Masalah

Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang dimana ketika globalisasi barat mulai memperluas keberadaannya, kimono tetap menjadi pakaian yang mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri bagi masyarakat Jepang. Kimono mempunyai banyak jenis dan masing-masing mempunyai fungsinya tersendiri. Tentang kapan, untuk apa dan apa saja jenis-jenis kimono. Serta hal-hal yang melengkapi kimono itu sendiri. Saat ini, kimono kebanyakan dipakai hanya pada saat acara atau perayaan besar dan formal. Misalnya seperti acara pesta pernikahan, acara upacara minum teh, dan acara formal yang mengharuskan


(17)

penggunaannya. Dari hal tersebut dan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, ada 2 masalah yang akan dikaji dalam skripsi ini adalah :

1. Fungsi kimono bagi masyarakat Jepang 2. Jenis-jenis kimono pada masyarakat Jepang

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis mencoba membatasi ruang lingkup penelitian pada kajian mengenai Fungsi dan Spesifikasi Kimono pada Masyarakat Jepang. Penulis sebelum memaparkan uraian pembahasan pada bab III akan menjelaskan terlebih dahulu tentang sejarah kimono, fungsi kimono, dan jenis-jenis kimono pada masyarakat Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan adalah identitas bagi suatu bangsa yang dimiliki setiap orang dan diwarisi dari generasi ke generasi. Menurut Kroeber dan Kluckhohn (1952) mengumpulkan berpuluh-puluh defenisi yang dibuat ahli-ahli antropologi dan membaginya atas 6 golongan, yaitu : (1) depskriptif, yang menekankan unsur-unsur kebudayaan, (2) Historis, yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, (3) Normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku, (4) Psikologis, yang menekankan kegunaaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup, (5) Struktural, yang menekan sifat kebudayaan


(18)

sebagai suatu system yang berpola dan teratur, (6) Genetika, yang menekankan terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia (P.W.J.Nababan,1984 : 49).

Herskovits dan Malinowski

Menurut Eppink

) mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah ini disebut dengan Cultural-Determinism. Herskovist memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik.

Sepanjang sejarahnya, Jepang banyak mengadaptasi budaya dari negara-negara lain seperti teknologi, adat istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang telah banyak mengembangkan budayanya yang unik mengintegrasikan masukan-masukan dari luar. Dewasa ini, gaya hidup orang

), Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan adat istiadat, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Dari berbagai defenisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata.


(19)

Seperti halnya banyak kebudayaan Jepang yang populer di negara-negara luar, pakaian tradisional Jepang juga salah satu daya tarik negara asing terhadap Jepang. Meskipun Jepang perlahan mengadaptasi sedikit budaya luar, tetapi Jepang tidak meninggalkan budaya asli itu sendiri.

Sebagian besar dari kebudayaan Jepang juga merupakan percampuran unsure-unsur dari luar. Masyarakat Jepang sangat memberi perhatian pada kebudayaan, baik kebudayaan tradisional maupun kebudayaan baru. Beberapa diantaranya yaitu:

• Upacara minum teh

• Hari anak-anak

• Festival Hina

• Menikmati bunga sakura

Dari banyaknya festival di atas, masyarakat Jepang biasanya mengenakan pakaian tradisional yaitu “kimono”. Penggunaan kimono pada masing-masing acara biasanya berbeda. Karena dalam penggunaan kimono memperhatikan beberapa hal diantaranya, usia, musim dan peristiwa itu sendiri.

Sehubungan dengan perkembangan zaman, maka kimono juga mengalami perkembangan dari segi bentuk, jenis, dan fungsinya.

1.4.2. Kerangka Teori

Menurut Nawawi (2001:39-40) setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya.


(20)

Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot. Tidak mungkin melakukan penelitian tanpa teori dan tidak mungkin mengembangkan suatu teori tanpa adanya penelitian.

Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dan membantu dalam memberikan makna terhadap data. Mengacu terhadap judul yang diangkat ada 2 teori yang akanu digunakan penulis yaitu teori Fungsionalisme Struktural dan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur. Didalam pendekatan ini kita dapat melakukan penguraian data-data yang diperoleh secara kronologis.

Teori Fungsionalisme Struktural yang mengutarakan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari bagian dan struktur-struktur yang saling berkaitan dan saling membutuhkan keseimbangan, fungsionalisme struktural lebih mengacu pada keseimbangan (Robert K. Merton, 1937)

html). Teori ini menilai

bahwa semua sistem yang ada di dalam masyarakat pada hakikatnya mempunyai fungsi tersendiri. Suatu struktur akan berfungsi dan berpengaruh terhadap struktur yang lain. Maka dari itu peristiwa mempunyai fungsi tersendiri yang dapat dihasilkan melalui suatu sebab dan akibat yang pada dasarnya dibutuhkan dalam masyarakat.


(21)

masyarakat Jepang yang kini menjadi salah satu identitas bagi negara Jepang sendiri yang erat kaitannya dengan masyarakat Jepang. Kimono sendiri mengalami perubahaan pemakaian oleh setiap orang tergantung zamannya dikarenakan politik, atau bahkan kebutuhan bagi masyarakat Jepang itu sendiri maka penelitian fungsi Kimono dapat dilakukan dengan teori Fungsionalisme Struktural.

Semiotik pragmatik arsitektur menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Pragmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

Semiotik pragmatik arsitektur oleh Peirce dalam T.Christommy (2001:119) mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni sign (tanda), object (objek), dan interpretant

(pengguna tanda). Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari


(22)

perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Benda hasil kebudayaan disamping dari segi fungsi tentu mempunyai makna bagi masyarakat. Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang yang menjadi simbol bagi bangsa Jepang sendiri juga merupakan identitas bahwa salah satu budaya yang terdapat juga di dalam pakaian tradisional yang dikenakan masyarakat Jepang. Dari berbagai macam makna yang berevolusi tersebut maka penelitian akan jenis-jenis kimono dapat dilakukan menggunakan teori Semiotik Pragmatik Arsitektur.

Untuk menganalisa masalah yang diangkat dalam skripsi ini dengan melihat fungsi dan jenis-jenis kimono pada masyarakat Jepang maka penulis menggunakan pendekatan Fungsionalisme Struktural dan Semiotik Pragmatik Arsitektur.

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan fungsi kimono pada masyarakat Jepang 2. Untuk mengetahui spesifikasi kimono pada masyarakat Jepang


(23)

1.5.2. Manfaat Penelitian

1. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara umum maupun mahasiswa yang berminat terhadap kimono

2. Dengan adanya penulisan ini diharapkan Kimono dapat semakin dikenal oleh masyarakat luas sehingga membuat masyarakat luas tersebut tertarik mengetahui dan mempelajari hasil budaya Jepang khususnya tentang Kimono.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian dalam menggunakan data. Metode memiliki peran yang sangat penting, metode merupakan syarat atau langkah-langkah yang dilakukan dalam sebuah penelitian (Djajasudarma, 1993:3).

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian fungsi dan spesifikasi kimono pada masyarakat Jepang adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif, bertujuan memperjelas secara tepat sifat-sifat individu, keadaan gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koentjraningrat,1991:29).

Sedangkan menurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176), penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi


(24)

aspek/bidang kehidupan tertentu pada objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian Kuantitatif.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KIMONO PADA MASYARAKAT JEPANG

2.1. Sejarah Kimono di Jepang

Dulunya kimono adalah salah satu dari 2 jubah formal yang biasa digunakan di pengadilan Cina. Kemudian berevolusi dan diadopsi oleh Jepang pada abad ke-7. Di Jepang, jubah itu disebut agekubi (berleher tinggi) dan tarikubi

(penutup leher depan), sebagaimana di Cina, jubah tersebut dipakai secara khusus oleh kaum bangsawan. Pada awalnya, pria menggunakan jubah dengan bentuk

agekubi, dimana wanita mengenakan jubah tarikubi. Lambat laun, jubah agekubi

tersebut hanya menjadi pakaian resmi pada acara tertentu, digunakan oleh pria untuk kepentingan formal berkaitan dengan pengadilan pemerintahan. Dan itu masih digunakan oleh anggota pengadilan sampai hari ini.

Adapun sejarah kimono pada masyarakat Jepang adalah sebagai berikut:

2.1.1. Zaman Jomon dan Zaman Yayoi

Di Jepang, tidak jelas sampai kapan zaman primitif itu berlangsung. Namun dihipotesakan bahwa zaman Jomon dan zaman Yayoi adalah zaman primitif. Seperti yang diketahui dari catatan Cina, dari hubungan dengan kebudayaan Yayoi bahwa masyarakat Jepang faktanya mengenakan pakaian, sebagaimana dengan jelas dicatat oleh Cina. Masyarakat pada periode zaman Yayoi telah belajar bagaimana caranya menenun, seperti teks-teks dari Cina pada abad ke-3 Masehi bahwa pria dan wanita mengenakan kain Wa (bukan dari kulit


(26)

binatang, seperti pada zaman Jomon sebelum ditemukannya cara menenun). Beberapa dari bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa masyarakat pada zaman Yayoi memiliki alat tenun primitif, yang termasuk tubuh penenun sebagai salah satu dari titik untuk memasukkan benang, dan dengan demikian menghasilkan panjang yang sama lebarnya dengan tubuh si pembuat. Jika dua dari panjang kain tersebut dijahit bersamaan pada bagian tepi, dengan sebuah lubang ditengah-tengah untuk kepala, itu akan menghasilkan apa yang disebut dengan poncho, seperti apa yang dicatat oleh Cina tentang apa yang Jepang kenakan pada zaman Yayoi.

2.1.2. Zaman Kofun

Pakaian pada zaman Kofun adalah lanjutan dari perkembangan utama pada masa pra-sejarah pakaian yang hanya dapat dilihat pada bentuk figur haniwa.

Haniwa adalah figur atau patung yang digunakan untuk ritual dan ditimbun bersamaan dengan orang yang sudah wafat sebagai bagian dari pemakaman pada periode zaman Kofun. Perbedaan pakaian pada apa yang digambarkan Cina untuk dikenakan dan pakaian yang dibuat untuk digunakan pada haniwa dideskripsikan untuk menunjukkan banyak hal seperti kelas sosial, mengubah struktur sosial, atau hanya sekedar revolusi dalam keadaan yang dihasilkan dari hubungan yang berkelanjutan dengan Cina.


(27)

2.1.3. Zaman Nara

Pada periode zaman Nara, setelan pakaian yang berkelas terinspirasi dari dinasti Tang. Wanita modern pada zaman dinasti Tang mengenakan rok yang terikat dengan jubah mereka. Tidak seperti ketika pertama kali Cina berhubungan dengan Jepang, dimana jaket dan baju harus digantungkan dari atas rok. Bahkan sampai di zaman modern, pria dan wanita sama-sama menggunakan celana

hakama diatas kimono mereka. Hakama adalah pakaian luar yang dipakai masyarakat Jepang untuk menutupi pinggang sampai mata kaki.

Terjadi perubahan cara pemakaian kimono pada zaman Nara. Jika pada sebelumnya kerah bagian kiri harus berada dibawah kerah bagian kanan, dimulai pada periode zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada dibawah kerah bagian kerah kiri. Busana dan aksesoris pada periode zaman Nara sendiri juga banyak dipengaruhi budaya Cina yang secara tidak langsung masuk ke Jepang secara perlahan.

2.1.4. Zaman Heian

Pada periode zaman Heian, terjadinya penurunan dalam dinasti Tang. Jepang berhenti mengirimkan utusan kepada dinasti Tang kemudian fokus pada keadaan di dalam Jepang itu sendiri. Berakibat pada terjadinya ledakan arsitektur halus, puisi, novel, dan pengembangan pakaian wanita.

Pada periode zaman Heian, pakaian yang paling terkenal adalah juunihitoe

(十二単). Adalah kimono yang sangat elegan dan luar biasa rumit yang telah dipakai oleh para wanita dengan tingkat sosial tinggi dari pengadilan kekaisaran.


(28)

Secara harfiah, Juunihitoe diartikan sebagai “jubah dengan dua belas lapis” (Ito, 2011 : 76).

Para wanita memakainya paling sedikit dua sampai dua puluh lapis atau lebih dari itu. Tergantung pada musim, kesempatan, pangkat, dan keadaan.

Kimono ini adalah pakaian formal tertinggi bagi wanita dan kimono ini bisa menjadi lebih berat 30 sampai 40 pon pada musim dingin.

2.1.5. Zaman Kamakura

Dengan munculnya kelas samurai pada pengadilan kekaisaran, sebuah pergeseran yang menarik terjadi dalam fashion pada zaman ini. Pakaian ekstrim pada pengadilan di zaman Heian menjadi terkendali pada akhir zaman Heian. Pada pemakaian kimono untuk wanita dibatasi hanya sampai lima lapisan untuk acara yang informal.

Pria pada kelas samurai, sepanjang hingga Shogun, mengenakan kimono

dengan dekorasi brokat yang dikenakan oleh para petani dari zaman Heian. Semakin sedikit lapisan dan lengan yang semakin kecil membuatnya menjadi lebih mudah untuk mengenakan baju besi yang dikenakan diatas kimono mereka.

Kelas perempuan pada zaman ini kemudian mengambil versi dari pakaian formal yang sopan dari para pendahulu mereka, sebagai cara untuk menampilkan pendidikan dan perbaikan mereka, tetapi menggunakan lapisan yang lebih sedikit sebagai tanda dari sifat berfikiran praktis. Istri para samurai dan anak-anak


(29)

tambahan ketika berpergian dan bertemu dengan para wanita yang lainnya. Wanita dengan kelas sosial tinggi, seperti istri dari Shogun akan memakai lima lapis brokat untuk memperlihatkan kekuatan, kelas sosial mereka, dan untuk menjaga dirinya agar tetap hangat pada udara dingin dari laut dan gunung.

2.1.6. Zaman Muromachi

Pada zaman Muromachi kedekatan pada pengadilan kekaisaran memungkinkan model pakaian bergerak kembali ke kemewahan istana kekaisaran, dimana masih mencerminkan mode pakaian non-bangsawan, karena munculnya keshogunan Ashikaga yang sebagian besar terjadi oleh upaya yang kurang kuat dari samurai dan para prajurit. Dengan demikian, lebih banyak dekorasi dari berbagai jenis dari hitatare dan dua setel pakaian tanpa lengan yang disebut kataginu yang menjadi mode pakaian pada pria di zaman Muromachi.

Sedangkan pada wanita, perlahan mulai meninggalkan lapisan berlengan lebar yang terinspirasi pada zaman Heian sekali dan hanya menggunakan kosode

berwarna putih. Sekarang kosode resmi menjadi pakaian luar, dan mulai mengambil warna serta pola. Pada zaman Muromachi para wanita juga menciptakan cara-cara baru menggunakan kosode mereka. Dua mode baru yang sangat signifikan yaitu gaya katsugu dan uchikake. Gaya katsugu adalah kosode yang didesain untuk digunakan di kepala seperti kerudung, sementara model

uchikake adalah panggilan kembali ke tradisi lapisan tambahan untuk meningkatkan formalitas. Dengan demikian populer dikalangan wanita yang lebih tinggi-tingkatan kelas samurai. Katsugu terus dipakai selama berabad-abad


(30)

sebelum akhirnya ditinggalkan. Sementara uchikake masih dipakai di zaman modern, tetapi hanya pada upacara pernikahan.

Perubahan terbesar untuk fashion wanita pada zaman Muromachi adalah ditinggalkannya penggunaan hakama bagi wanita. Wanita dengan tingkatan kelas sosial bawah tidak menggunakan hakama dari kelas atas. Kurangnya ikatan di pinggang hakama, berarti para wanita harus menemukan cara untuk menutup

kosode mereka. Jawabannya adalah menghias pinggang mereka dengan selempang. Atau biasa disebut obi.

2.1.7. Zaman Edo

Penyederhanaan pakaian untuk samurai berlanjut hingga pada zaman Edo. Pada zaman ini pakaian untuk samurai adalah setelan berpundak lebar yang biasa disebut kamishimo (裃). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣) dan

hakama. Sedangkan di kalangan wanita, pada zaman Edo kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Setiap samurai dari berbagai wilayah dapat dikenal dari warna dan pola kimono dari seragam samurai tersebut. Dengan banyaknya pakaian samurai yang dibuat, pengrajin kimono membuat lebih dan lebih bagus lagi pada keterampilan mereka dalam membuat kimono, dan membuat kimono menjadi salah satu bentuk seni di Jepang.


(31)

sepanjang tahun, namun dalam 100 tahun, kelas pedagang akan memegang kendali penuh pada dunia fashion.

Pada akhir zaman Edo, terjadi politik isolasi yang membuat impor benang sutra menjadi terhenti. Kimono mulai dibuat dari benang sutra buatan dalam negeri. Namun, setelah adanya peristiwa kelaparan pada zaman Temmei (1783-1788), keshogunan zaman Edo pada tahun 1785 melarang para rakyatnya untuk mengenakan kimono dari bahan sutra.

2.1.8. Zaman Meiji

Selama periode zaman Meiji, Jepang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan asing. Pemerintah resmi mendorong masyarakat untuk mengadaptasi pakaian dan kebiasaan dari negara-negara barat. Karena terus berkembangnya industri pada zaman Meiji, produksi sutra mulai meningkat dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal banyak jenis-jenis kain sutra.

Tidak lama setelah pakaian impor Barat masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian barat. Sejak saat itu pula istilah wafuku dipakai untuk membedakan pakaian yang dipakai orang Jepang dengan pakaian Barat.

Di era modernisasi Meiji, para bangsawan di istana kekaisaran mengganti

kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun begitu, beberapa orang kota masih banyak yang tetap menggunakan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria di zaman Meiji masih


(32)

sering memakai kimono walaupun perlahan para pria mulai memakai setelan jas untuk acara-acara formal.

Sebagian besar wanita Meiji pun masih memakai kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru perempuan yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

2.1.9. Zaman Showa

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, kimono mulai dipakai kembali menjadi pakaian sehari-hari sebelum akhirnya perlahan ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Banyak orang-orang yang mulai meninggalkan

kimono pada pakaian sehari-hari dan mulai memakai pakaian Barat karena memakai kimono sangat rumit. Sedangkan pakaian Barat lebih praktis dipakai untuk kegiatan sehari-hari.

Hingga pertengahan tahun 1960-an, kepopuleran penggunaan kimono

terangkat kembali dan beberapa wanita di Jepang masih menggunakannya sebagai pakaian sehari- hari setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita pada saat itu sangat menyukai kimono dari bahan wol sebagai pakaian untuk waktu bersantai.

Kimono pada saat ini mulai jarang dipakai sebagai pakaian sehari-hari di masyarakat Jepang. Walau bagaimanapun, tradisi memakai kimono pada acara-acara resmi tetap menjadi kebudayaan pada masyarakat Jepang.


(33)

2.2. Bahan Dasar Kimono

2.2.1. Kain Sutera

Jantung budaya Jepang pada kimono adalah kain sutera, yang mana merupakan bahan kuno yang terhubung ke berbagai legenda di Asia. Bahan ini kuat dan berkilau, selain itu sangat mudah untuk diwarnai, dan bahan sutera dapat dibuat menjadi berbagai macam bentuk. Secara turun temurun, seni dari memelihara ulat sutera dan memproduksi kain sutera telah diperkenalkan di Jepang oleh pengrajin dari Cina dan Korea selama abad ke-3.

Bahan sutera termasuk bahan yang kuat, serat protein yang berkilau yang terdapat pada sutera dibuat oleh larva atau ulat sutera. Pada saat itu, sebanyak 200 lebih berbagai macam ulat sutera dibudidayakan di Jepang yang menghasilkan serat sutera dengan berbagai macam ketebalan serta warna seperti warna putih seputih salju, kuning, orange, merah muda, hijau dan biru.

2.2.2. Serat Kulit Pohon

Jubah dari Jepang juga dibuat dari bahan pakaian yang terbuat dari serat kulit pohon yang diperoleh dari berbagai macam tanaman. Serat-serat tersebut dikumpulkan dari jaringan batang besar tumbuhan; lapisan jaringan yang terbentuk di bawah kulit dari berbagai macam batang tanaman dikotil (pohon, semak belukar, rumput, dan tumbuhan yang menjalar) yang mana juga dibudidayakan atau tumbuh secara liar.


(34)

Pakaian dari serat kulit pohon bahannya kuat dan tahan lama. Sebelumnya, masyarakat Jepang hidup dalam bagian terdingin dari Jepang dan menggunakan beberapa lapis dari pakaian tersebut untuk menambahkan kehangatan pada tubuh mereka. Untuk pembenbentukan serat diperlukan waktu-waktu yang sangat panjang dalam proses pengupasan, kemudian direbus hingga mendidih, lalu dibasahi, dipukul-pukul dan diputar-putar yang selalu dilakukan selama bulan-bulan musim dingin. Pakaian dari serat kulit pohon, bagaimana pun sangat sesuai untuk pakaian musim panas, karena dapat kering dengan mudah dan tidak lengket pada kulit di kelembaban yang tinggi dan panas.

2.2.3. Katun

Kain katun mulai diimpor ke Jepang dari Cina pada abad ke-4. Tapi awal mulanya, katun sangat mahal dan eksklusif. Pemakaian kain katun pertama kali dimulai di Jepang pada abad ke-6, karena bahan jenis ini sensitif terhadap iklim dingin, bahan tersebut hanya dapat digunakan di Kyuushuu, di pulau paling selatan di Jepang. Masyarakat mengetahui bahwa kain katun dapat menjadi lebih lembut dari kain yang terbuat dari serat kulit pohon dan proses produksinya tidak memakan waktu lama serta pengawasan terus menerus. Pada abad ke-7, pendistribusian katun telah meluas di Jepang; pakaian yang terbuat dari katun mulai dipakai oleh masyarakat kelas atas dan juga rakyat jelata.


(35)

BAB III

JENIS-JENIS DAN FUNGSI KIMONO DALAM MASYARAKAT

JEPANG

3.1. Jenis-jenis Kimono

Kimono adalah pakaian tradisional Jepang yang berbentuk seperti huruf “T”, mirip mantel dengan lengan panjang serta mempunyai kerah. Kimono mempunyai panjang yang dibuat hingga ke pergelangan kaki. Bentuk kimono

wanita seperti baju terusan, sementara untuk kimono pria berbentuk seperti setelan. Pada saat sekarang, kimono biasanya dipakai pada saat kesempatan tertentu saja dan wanita lebih sering mengenakan kimono pada kesempatan istimewa.

3.1.1. Kimono Wanita

Untuk memilih kimono yang tepat, diperlukan pengetahuan tentang simbolisme dan isyarat yang terkandung pada setiap jenis kimono. Tingkatan formalitas pada kimono wanita sedikit banyak ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono yang digunakan untuk bersantai. Berdasarkan berbagai macam kimono yang dipakai, biasanya

kimono dapat menunjukkan usia pemakai, status perkawinan, dan berbagai acara yang dihadiri.


(36)

a. Houmongi(訪問着)

Secara harafiah houmongi artinya baju untuk berkunjung. Houmongi

adalah kimono wanita yang bersifat formal. Baik untuk yang sudah menikah maupun yang belum menikah. Namun biasanya houmongi dikenakan oleh wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, upacara minum teh, merayakan tahun baru, dan untuk pesta-pesta resmi lainnya. Kebanyakan

houmongi juga dikenakan oleh teman dari pengantin wanita kecuali saudara-saudara si pengantin yang menghadiri acara tersebut.

Houmongi mempunyai ciri khas dengan motif diseluruh bagian kain, baik itu di bagian depan maupun di bagian belakang. Houmongi memiliki kelas yang sedikit lebih tinggi diatas kimono sejenisnya, tsukesage.

b. Tsukesage (付け下げ)

Tsukesage adalah kimono yang bersifat semi-formal dimana pada desain

tsukesage mempunyai bagian lapisan yang terputus-putus. Arti dari tsukesage

sendiri merujuk pada sebuah metode tentang bagaimana membuat pola pada pakaian tradisional Jepang yang mana pola paling banyak terdapat pada bagian tertinggi di pundak. Sering kali, tidak ada perbedaan antara tsukesage dan

houmongi yang dibuat di Jepang.

Latar belakang kain untuk membuat tsukesage dapat berbagai macam warna termasuk hitam dan putih. Kamon atau simbol keluarga yang terdapat pada


(37)

c. Iromuji (色無地)

Iromuji adalah salah satu dari jenis-jenis kimono. Dimana bahan kimono

tersebut didominasi oleh satu warna selain dari warna hitam. Iromuji disarankan sebagai kimono permulaan karena penggunaan iromuji sangat fleksibel; tergantung pada penggunaan obi dan aksesoris lain yang dikenakan,yang membuat kimono ini dapat menjadi formal atau tidak formal.

Kimono iromuji mempunyai warna yang menyatu dengan pola yang tidak begitu jelas. Pakaian tersebut terdapat pada hampir setiap warna, tetapi warna yang paling banyak adalah warna-warna yang lembut, warna yang mempunyai kemurnian rendah. Warna pada bahan iromuji terbuat dari warna biru muda, kuning, pink atau warna yang lainnya. Namun warna paling populer pada iromuji

adalah warna merah muda. Iromuji biasa mempunyai mulai dari 0, 3 hingga 5 simbol.

Sebenarnya iromuji adalah jenis kimono semi-formal yang bisa dijadikan kimono formal jika pada iromuji terdapat lambang atau simbol keluarga yang biasa disebut kamon. Iromuji dapat digunakan pada pesta pernikahan jika kamon

pada kimono tersebut terdapat lima buah lambang. Namun jika hanya satu, pakaian ini dapat digunakan pada saat acara minum teh.

d. Komon (小紋)

Arti harafiah dari komon adalah “cetakan kecil”. Pengertian ini mengacu pada berbagai kimono dengan meliputi cetakan seluruh permukaan dari kimono

dengan tidak adanya arah atau susunan tertentu pada kimono ini. Desain sesungguhnya dapat seperti beberapa dari pola atau tenunan.


(38)

Komon sendiri memiliki pola yang diulang-ulang pada keseluruhan kainnya. Pada komon anak muda, terdapat pola-pola yang besar. Kimono ini sendiri terbuat dari bahan wol, sutera, sintetis, rami dan kain katun halus.

Selama zaman kebesaran Taisho, banyak sekali kerancuan dan berbagai macam desain formal dan sesekali sebuah potongan yang aneh yang sepertinya menjadi selisih antara komon dan houmongi atau irotomesode. Selama zaman ini, ada banyak perubahan untuk kimono formal dengan corak garis-garis yang vertikal.

Pada zaman standar modern, corak garis-garis umumnya digolongkan sebagai kimono yang tidak formal dan biasanya hanya terlihat pada komon, dimana potongan-potongan yang antik seharusnya tidak digolongkan menjadi

komon dan tingkatan formalitasnya harus dipertimbangkan sejalan sebagaimana

houmongi atau irotomesode, dengan banyaknya kamon yang terdapat pada komon

yang diutamakan dan diperhitungkan.

Meskipun komon adalah kimono yang kasual, komon dianggap satu dari

kimono yang sangat fleksibel potongannya pada sebuah kumpulan kimono. Model kain, bentuk motif dan ukuran, serta variasi dari komon, dapat dikenakan dengan aksesoris yang tepat untuk meningkatkan formalitas.

e. Kurotomesode (黒留袖)

Kurotomesode atau disebut juga itstutsu montsuki susomoyo tomesode

yang artinya lima lambang dengan pola di bagian bawah yang berlengan pendek.


(39)

dari mulai setengah bagian bawah tubuh. Namun pada bagian atas tubuh dan lengan, tidak terdapat pola apapun. Kurotomesode modern dapat dikenakan dengan hiyoku atau lapisan dalam kimono yang sangat formal. Sedangkan

kurotomesode jenis lama dapat dikenakan dengan lapisan kasane putih yang asli atau yang mempunyai pola yang sama dengan pola pada kurotomesode. Kasane

adalah kombinasi warna untuk menghias pakaian wanita. Pemilihan warna untuk

kasane tergantung musim, suasana pada waktu, dan umur wanita itu sendiri. Meskipun kurotomesode yang lama masih sering kali digunakan dengan berbagai macam motif dari semua musim, pada keadaan sekarang, jenis ini biasanya digunakan untuk pesta pernikahan dan pesta perayaan yang menyenangkan.

Sebagai kimono yang paling formal, kurotomesode dipakai oleh wanita yang sudah menikah. Tapi, pada acara tertentu di istana kekaisaran, wanita dilarang menggunakan kurotomesode dikarenakan menggunakan warna hitam adalah warna yang dipercaya dapat membawa sial. Karena kuatnya formalitas pada pada kurotomesode, pada zaman modern, kimono ini dikenakan pada pernikahan oleh ibu dari pengantin pria dan wanita.

Sebagai mode di Jepang, perubahan pada kimono menjadi kombinasi dari modern dan tradisional, adalah umum melihat kurotomesode dibuat menjadi sebuah gaun. Pada kurotomesode juga terdapat lambang keluarga yang terletak pada tiga sisi yaitu pada punggung, dada bagian atas kanan dan kiri, dan bagian belakang lengan.


(40)

f. Irotomesode (色留袖)

Irotomesode adalah kimono yang biasa dipakai oleh wanita baik yang sudah menikah maupun belum. Irotomesode mempunyai tingkat formal yang sama dengan kurotomesode. Irotomesode juga dipakai oleh saudara dekat dari pengantin pria dan wanita pada pesta pernikahan dan digunakan pada acara istana kekaisaran yang tidak memperbolehkan mengenakan kurotomesode.

Secara keseluruhan, irotomesode hanya memiliki satu warna dasar dan mempunyai hingga lima lambang keluarga. Pada irotomesode bagian atas tubuh dan lengan tidak terdapat pola apapun. Dan irotomesode jenis lama dapat dikenakan bersama kasane dengan bentuk yang menyerupai pola irotomesode.

g. Furisode (振袖)

Furisode adalah kimono yang dikenakan oleh perempuan yang belum menikah. Dengan “lengan yang berkibar”, furisode mempunyai panjang lengan yang bervariasi mulai dari 105 cm (lengan panjang, disebut oofurisode), 90 cm (lengan dengan panjang sedang, chuufurisode) dan 75 cm (lengan pendek,

kofurisode). Furisode dengan lengan pendek tidak terlalu formal dan biasanya dikenakan dengan hakama.

Furisode hanya dikenakan pada perempuan yang belum menikah atau para anak gadis. Mempunyai lengan yang panjang dan ‘berkibar”. Furisode

mempunyai desain terbaru yang cocok digunakan untuk anak muda dan mempunyai warna lebih hidup.


(41)

bersamaan dengan hakama untuk acara kelulusan, walaupun oofurisode juga dapat dijadikan pilihan. Sebuah oofurisode tanpa lambang keluarga tapi dengan desain yang jahitannya berseberangan dapat dikenakan menjadi kimono yang formal untuk perayaan menuju kedewasaan atau biasa disebut Coming of Age ceremony. Penambahan pada lambang keluarga dapat membuatnya menjadi lebih formal.

h. Tsumugi (紬)

Jenis kimono yang lain adalah tsumugi. Tsumugi adalah kain sutera tenun dari benang yang tersisa pada kepompong ulat sutera setelah dipisahkan secara penuh. Dengan putaran helaian yang bersamaan, peternak ulat sutera membuat kain untuk mereka gunakan sendiri. Pada masa sekarang, tsumugi mempunyai harga yang cukup tinggi dan paling mahal diantara kain kimono lainnya meskipun dari asal yang sederhana.

Tsumugi awalnya dipintal, ditenun dan dijahit menjadi sebuah kimono oleh satu orang untuk digunakan sebagai keperluan rumah tangga. Benang rusak yang tertinggal di dalam kepompong ulat sutera kemudian dikumpulkan oleh para petani. Kepompong dan benang sutera dipisahkan dengan menggunakan air hangat yang dibubuhi oleh sodium bicarbonate atau baking soda dan sulfurous acid atau bahan pemutih ringan. Setelah dibilas, kemudian kain tersebut dikeringkan dibawah sinar matahari langsung. Setelah kering, benang sutera ditempatkan pada bak yang berisi biji wijen dan air. Minyak yang dihasilkan dari biji wijen tersebut memudahkan untuk menarik benang yang akan diputar secara tersendiri.


(42)

Banyak sekali jenis kimono ini menurut daerah tempat dibuatnya tsumugi. Walaupun begitu, tsumugi dapat dengan cepat dikenali pada ciri-ciri slub (garis kasar pada hasil tenunan) dan kainnya yang berkilau. Awalnya kain tsumugi

sangat kaku, dikarenakan adanya zat tepung selama kain tsumugi itu diputar. Namun setelah berkali-kali digunakan, kain tsumugi menjadi lebih lembut. Kain

tsumugi yang sudah berumur sangat lama tekstur kainnya sangat lembut seperti kain sutera yang ditenun dari benang yang terurai.

3.1.2. Kimono Pria

Tidak hanya wanita saja yang mengenakan kimono. Pria pun punya

kimono tersendiri untuk mereka kenakan pada acara-acara tertentu di Jepang. Pria yang menggunakan pakaian tradisional adalah salah satu hal yang biasa di Jepang. Karena ketika mereka mengenakan kimono, mereka terlihat cocok dengan atasan

kimono. Kimono pria kebanyakan dibuat dengan warna-warna gelap seperti hijau tua, cokelat tua, biru tua dan hitam. Kimono pria terdiri atas dua macam, montsuki

yang dikenakan bersama dengan hakama dan haori, dan kinagashi yang merupakan kimono yang dikenakan pada acara informal dan kegiatan sehari-hari.

a. Kinagashi (着流し)

Arti kinagashi merujuk pada memakai pakaian tradisional Jepang tanpa mengenakan hakama. Hakama sendiri adalah salah satu pakaian tradisonal Jepang yang dikenakan diluar kimono dikenakan seperti rok dan diikat pada pinggang.


(43)

Dulu, kinagashi hanya merujuk pada penerapan menghilangkan (tidak memakai) haori atau jaket sebagai luaran kimono yang telah disesuaikan dengan ukuran kimono yang akan dikenakan. Mengenakan haori tanpa mengenakan

hakama masih dapat dianggap formal, tapi sekarang walaupun haori tidak dikenakan, kinagashi tetap berarti penerapan untuk tidak memakai hakama.

Pada zaman Edo, mengenakan hakama adalah patokan bagi samurai pria, namun bagi pria penduduk kota, mereka tidak memiliki kebiasaan ini. Jadi

kinagashi telah melekat pada pria penduduk kota.

Formalnya sebuah kimono bagi pria adalah mengenakan hakama dan haori

pada kimono mereka. Ketika mereka mengenakan kimono tanpa hakama atau

haori, kimono tersebut menjadi kurang formal. Tidak formalnya kimono seorang pria ketika mereka mengenakannya tanpa hakama dan haori. Kimono inilah yang disebut kinagashi. Kinagashi dikenakan pada acara-acara informal dan kasual serta dapat dikenakan sebagai pakaian sehari-hari.

b. Montsuki (紋付)

Montsuki atau montsuki haori hakama (紋 付 き 羽 織 袴) secara harfiah berarti kimono dengan mon, haori dan hakama atau juga disebut kuromontsuki haori hakama (黒紋付き羽織袴) yang berarti montsuki hitam dengan haori dan

hakama adalah kimono pria yang paling formal. Kimono formal ini terdiri atas lima buah mon atau lambang keluarga, hakama dan haori.

Sebuah setelan montsuki adalah kimono yang tepat sebagai pakaian untuk acara-acara yang sangat formal seperti pakaian untuk pengantin pria atau relasi dan teman dekat dari pengantin pria pada acara pernikahan tradisional Jepang.


(44)

Digunakan dalam acara pemakaman, pada pertunjukan musik, teater, acara penerimaan penghargaan, dan pakaian formal untuk petarung sumo.

Montsuki sudah seharusnya berwarna hitam berbahan sutera dan memiliki lima buah mon atau lambang keluarga. Mon yang diwarnai adalah yang paling formal, sedangkan mon yang disulam adalah yang paling tidak formal. Baik

kimono dan haori digunakan harus sesuai musim. Kimono montsuki dan haori

digunakan hanya satu warna yaitu hitam selain hitam, montsuki dianggap kurang formal.

Pada pemakaian haori untuk montsuki, warnanya harus hitam dan berbahan sutera serta memiliki lima buah mon pula. Seperti montsuki, yang paling formal adalah mon yang diwarnai. Untuk haori himo atau pengikat haori, yang paling formal ialah berwarna putih dan datar. Namun penggunaan bentuk dan warna lainnya dari pengikat haori masih dapat digunakan walaupun mengurangi formalitas. Untuk pengecualian warna abu-abu digunakan untuk upacara pemakaman yang telah dipakai semenjak zaman Meiji.

3.1.3. Kimono Khusus

a. Kimono pernikahan

Pada dasarnya ada tiga jenis kimono untuk pernikahan di Jepang. Masing-masing memiliki penggunaan yang berbeda.

• Uchikake


(45)

berbentuk agak tebal dan tidak berikat seperti penggunaan kimono

pada umumnya. Walaupun dikenakan terbuka, namun bagian uchikake

ditutupi dengan lapisan yang lain yang disebut kakeshita. Uchikake

biasanya dipesan untuk pengambilan foto atau hanya dikenakan saat upacara pernikahan saja. Selama upacara pernikahan, kelebihan dari panjang uchikake diangkat sendiri oleh pengantin wanita hingga sebatas pinggang dengan tangannya atau dijepit. Namun tidak diikat seperti kimono.

• Kakeshita

Kakeshita adalah kimono pernikahan yang dikenakan di lapisan bawah

uchikake. Pola pada kakeshita sedikit rumit, tidak simetris dan termasuk simbol keberuntungan pernikahan seperti pohon pinus yang melambangkan kesabaran dan umur yang panjang atau lambang burung bangau yang melambangkan pasangan hidup. Pola pada

kakeshita biasanya menyebar pada pertengahan kimono, sebagaimana dapat ditutupi dengan sebuah obi yang formal. Kain kakeshita hampir sama dengan kimono jenis furisode dan lengannya juga cukup panjang.

Kakeshita juga dapat berwarna putih bersih terutama jika dipakai dibawah lapisan shiromuku.


(46)

• Shiromuku

Shiromuku dalam bahasa Jepang, shiro artinya putih dan jenis kimono

ini selalu putih diatas putih atau warna krem juga dapat berwarna cangkang telur. Biasanya ada gambar keberuntungan pernikahan pada tenunan kainnya. Pada jenis yang lebih modern terdapat benang yang berkilauan ditenun menjadi desain atau mungkin sedikit aksen warna pada tepi atau kerah. Shiromuku, seperti uchikake juga dikenakan tanpa sebuah obi, dilapis diatas kakeshita dan obi itu sendiri. Warna putih digunakan sebagai simbol kematian, dan pada kasus ini untuk seorang pengantin wanita, warna putih berarti akhir dari kehidupan lamanya dan memulai hidup dengan dirinya yang baru sebagai seorang istri.

Shiromuku terkadang dikenakan dengan sebuah penutup kepala yang menyerupai tudung yang disebut tsunokakushi yang berarti “menutupi tanduk”, simbol dari pengantin wanita yang menyembunyikan rasa cemburunya yang mungkin suatu saat terjadi pada keluarga baru si pengantin wanita.

b. Mofuku (喪服)

Mofuku dapat diartikan sebagai semua jenis kimono yang mempunyai warna hitam pada keseluruhan kimono. Ada pengecualian untuk mengenakan

kimono ini. Kimono ini hanya dikenakan pada keadaan berkabung dan dengan berbagai gelar. Mengenakan mofuku diluar keadaan berkabung dan berduka masih dianggap kontroversial.


(47)

bagiannya namun mempunyai kamon yang diwarnai sebanyak 5 buah. Untuk standar saat ini mofuku mempunyai garis berwarna putih, namun pada mofuku

jaman dahulu mempunyai garis berwarna merah.

Obi mofuku mungkin dapat berpola namun pola dan latar belakang pada

mofuku tetaplah berwarna hitam. Obi yang biasa digunakan adalah Nagoya obi.

Mofuku yang cocok dengan haori berwarna hitam tanpa pola dan mempunyai satu, tiga atau lima buah lambang keluarga. Haori yang dikenakan dengan mofuku bukan dari bagian mofuku itu sendiri namun dapat digunakan pada acara formal lain.

Mofuku adalah kimono formal yang hanya dikenakan pada acara berkabung, pemakaman dan memperingati hari kematian anggota keluarga.

Mofuku di Jepang tersedia untuk pemakaman dan hari berduka. Mofuku tidak dapat dipakai diluar keadaan berduka atau acara pemakaman. Diluar Jepang dan disekitar orang-orang yang tidak familiar dengan kimono, obi mungkin dapat tidak digunakan.

Pakaian berkabung di Jepang seperti kebanyakan budaya timur dimulai dengan warna putih. Setelah Jepang memulai budaya barat, dimulailah dengan mengambil warna hitam sebagai standar pakaian berduka. Pada zaman sekarang, warna putih digunakan oleh orang yang meninggal dan disebut sebagai

shinisouzoku. Walaupun begitu, mofuku hitam tetap bukan menjadi patokan pakaian berduka di Jepang. Beberapa daerah di Jepang masih ada yang menggunakan mofuku berwarna putih. Begitu juga dengan umat Buddha di Jepang yang masih lebih memilih menggunakan mofuku berwarna putih.


(48)

Pada zaman dahulu, anggota keluarga yang memakai setelan mofuku

lengkap dengan obi dan aksesorisnya sehari demi sehari melepaskan luaran

mofuku hingga bagian berwarna hitam tidak tersisa. Kimono tersebut dapat dilapisi dengan iromuji pada lapisan pertama, kemudian obi, lalu obi-age dan yang terakhir obi-jime. Untuk hari peringatan kematian, anggota keluarga dapat memilih mengenakan bagian-bagian mofuku lagi.

Setelan mofuku lengkap dikenakan oleh anggota keluarga yang mempunyai hubungan dekat dengan orang yang meninggal. Semakin jauh hubungan antara anggota keluarga dengan orang yang meninggal maka semakin sedikit lapisan mofuku yang dikenakan. Anggota keluarga seperti istri, anak atau kakak perempuan menggunakan kimono mofuku, obi beserta aksesorisnya. Bagi anggota keluarga yang lain, mengenakan iromuji dengan lambang yang lebih tenang dengan obi dan aksesoris. Sedangkan untuk teman dan relasi yang jauh, menggunakan obi-age dan obi-jime dengan iromuji yang lembut dan Nagoya obi. Menggunakan mofuku yang tidak normal dari biasanya dapat memberikan pemikiran yang salah. Jika yang mengenakan mofuku bukan dari istri yang meninggal, dan ia mengenakan seluruh perlengkapan mofuku, dapat menandakan perempuan tersebut mempunyai hubungan gelap dengan orang yang meninggal tersebut.

Pada acara pemakaman, laki-laki yang dekat dengan orang yang meninggal diperkirakan memakai kimono paling formal yang disebut montsuki. Dimana kimono ini tidak hanya dikenakan pada saat keadaan berduka tapi dapat


(49)

tabi yang berwarna hitam atau putih, seta zouri yang digunakan dengan hanao hitam atau putih, nagajuban yang dikenakan mempunyai kerah dengan warna hitam atau abu-abu, haori-himo dengan warna hitam atau putih, pemakaian hakama berwarna hitam atau garis-garis putih atau bisa juga dengan keseluruhan berwarna hitam. Dan yang terakhir obi yang digunakan dapat berbagai warna seperti warna hitam atau putih.

Pria yang tidak begitu dekat dengan orang yang meninggal, dapat mengenakan kimono iromuji dengan warna apapun dan dilengkapi dengan tiga lambang keluarga dengan haori yang sama. Haori yang digunakan dapat berwarna apa saja. Sebuah kaku obi dengan berbagai warna, tabi yang berwarna hitam atau putih, hanao berwarna hitam atau putih pada seta zouri, dan dapat memilih untuk tidak mengenakan hakama.

c. Yukata (浴衣)

Yukata adalah jenis

pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilalui yukata dipakai agar badan menjadi sejuk di sore hari atau berendam dengan air panas.

Menurut tingkat formalitas, yukata adalah kimono tidak formal yang dipakai

sewaktu melihat pesta

perayaan


(50)

Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.

3.2. Aksesoris Kimono

Pada penggunaan kimono biasanya disertai dengan adanya beberapa aksesoris yang menjadi pelengkap pada pakaian tersebut. Aksesoris ini juga digunakan sesuai dengan jenis keadaan dan bentuk kimono itu sendiri.

3.2.1. Hakama

Hakama adalah istilah umum untuk pakaian yang menyerupai rok berlipat dan digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Ada dua kategori luas dari hakama dibagi atas umanori (馬乗り) atau hakama “menunggang kuda” dan

andon hakama (行灯袴) secara harafiah berarti hakama lentera dimana bentuknya seperti rok yang lebar. Kedua hakama ini mempunyai penampilan yang sama ketika dikenakan. Hakama diikat di pinggang dengan menggunakan empat buah

himo dan panjang hingga menyentuh mata kaki.

Pada umanoribakama, kedua belah tungkai dibungkus sama seperti menggunakan celana panjang karena adanya jahitan yang dimulai dari bagian selangkangan hingga pergelangan kaki. Pada bagian bawah dibuat melebar sehingga mudah dipakai bergerak. Jenis ini sering digunakan dikalangan bela diri tradisional.


(51)

umanoribakama, pada andonbakama pemakainya memiliki ruang gerak yang lebih terbatas. Andonbakama juga dipakai sebagai pakaian resmi. Para mahasiswi mengenakan andonbakama sewaktu diwisuda.

Hakama sebenarnya adalah satu bagian dari luaran yang disebut

kamishimo (上下 atau 裃, secara harafiah artinya atasan dan bawahan). Dikenakan oleh laki-laki kelas atas, hakama dipadukan dengan jaket tanpa lengan yang disebut kataginu (肩衣)

Hakama dikenakan oleh laki-laki pada seluruh jenis kimono kecuali yukata. Secara umum, mengenakan hakama membuat peningkatan formalitas pada sebuah pakaian. Dan biasanya laki-laki mengenakan hakama untuk acara yang sangat formal termasuk acara upacara minum teh, upacara atau pesta pernikahan dan pada upacara pemakaman. Sedangkan perempuan mengenakan hakama lebih jarang dibanding laki-laki dan sangat khusus pada upcara kelulusan. Perempuan yang mengunjungi kuil juga mengenakan hakama. Baik laki-laki maupun perempuan mengenakan hakama untuk seni bela diri Jepang tertentu, termasuk memanah dan aikido.

a. Hakama Pria

Pria menggunakan hakama sebagai bagian dari pakaian sehari-hari, namun tradisi ini berakhir pada zaman Edo dimana pria pada kelas tertentu, seperti dokter, telah mulai meninggalkan hakama.

Pria mengenakan umanori dan andon-bakama dengan kimono. Untuk digunakan dengan kimono, hakama pria sering sekali hanya mempunyai satu warna (biasanya berwarna lembut) atau mempunyai garis-garis menurun berwarna


(52)

gelap dan terang. Hakama yang yang paling formal adalah kain sutera bergaris, tetapi hakama dapat terbuat dari katun, polister, rami, dan kain lainnya.

b. Hakama Wanita

Hakama pada wanita yang digunakan dengan kimono berbeda dengan laki-laki di setiap bagian. Wanita secara khusus menggunakan gaya andon-bakama

yang tidak terpisah pada bagian tengah dari pemakaian hakama. Hakama wanita biasanya mempunyai koshi-ita yang terletak dibagian kain belakang hakama yang berbentuk trapesium dari papan atau kain keras yang dilapisi kain yang karakteristiknya tidak kaku seperti koshi-ita laki-laki. Dan biasanya hakama pada wanita lebih mudah berkibar dibandingkan laki-laki. Tambahan, untuk hakama

wanita biasanya tidak bergaris, tapi mungkin dapat berwarna lebih dari satu warna yang mana dapat lebih cerah dari yang dikenakan oleh pria dan dapat juga seperti penggabungan warna, tenunan, atau desain bordir. Wanita secara khusus mengikat

hakama mereka lebih tinggi dari laki-laki. Cara mengikatnya pun juga berbeda, wanita menggunakannya secara longgar dan lebih banyak hiasan pada simpulnya.

3.2.2. Haneri

Haneri adalah potongan pakaian yang dikenakan diatas kerah juban untuk memberikan gaya atau warna pada sebuah pakaian. Juga ditambahkan untuk melindungi kerah juban dan mudah dilepaskan untuk dicuci. Haneri sering dibordir dengan motif bunga atau geometris. Biasanya bahan untuk haneri adalah polister yang mudah untuk dicuci. Dapat juga terbuat dari bahan satin, kain sutera


(53)

Jika dibordir, bagian yang dibordir biasanya mempunyai panjang sekitar 25cm. Terletak pada 20cm diatas dari ujung kain. Adanya beberapa haneri yang tidak biasa dimana desain bordirnya pada setiap sisi berbeda.

Menambahkan haneri pada sebuah juban terkadang memberikan tempat untuk menambahkan sebuah eri-shin atau perlengkapan kimono untuk membuat kerah juban menjadi kaku jika pada juban tidak memiliki tempat.

Sebuah haneri dikenakan untuk melapisi kerah juban. Pelurusan pada pertengahan dari haneri dengan bagian tengah belakang kerah dan menandainya untuk menghindari kesalahan ketika dijahit. Saat ini, penambahan untuk pakaian yang menggunakan pin atau yang dijahit menggunakan jahitan jelujur. Jahitan jelujur yang dijahit dengan tangan dapat membuat jahitan beberapa senti lebih besar per jahitan.

Haneri dapat digunakan dengan berbagai jenis dari kimono, kecuali

mofuku. Haneri dengan banyak warna atau berwarna dasar gelap umumnya tidak formal dibandingkan dengan warna putih atau yang mempunyai dasar warna putih dan sering terlihat digunakan dengan kimono komon. Haneri yang berwarna digunakan dengan furisode. Ketika mengenakan haneri dengan kurotomesode, yang harus sangat diperhatikan adalah ketika memilih warna. Aturan formalitas menunjukkan bahwa warna putih pada haneri dengan bordir yang berwarna terang, termasuk warna metalik yang mana jenis ini dapat digunakan pada kimono kurotomesode.

Beberapa haneri sepenuhnya manik-manik. Haneri dengan bordir lebih formal dari yang tidak memiliki bordir apapun.


(54)

3.2.3. Jaket Kimono a. Haori

Haori adalah jaket yang panjangnya sepinggang atau berukuran panjang hingga betis yang dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan dengan

kimono. Mereka mengenakannya untuk menghangatkan tubuh juga sebagai penambah formalitas dari keadaan santai menjadi sangat resmi. Haori telah digunakan di Jepang sejak jaman Muromachi. Walaupun pada penggunaan kanji

haori berarti “bulu” dan “tenunan”.

Haori hampir mirip dengan bagian atas dari kimono, tetapi kerahnya dikenakan dengan dilipat pada bagian belakang, dan bagian depannya tidak melintang melainkan ditahan bersama dengan haori-himo yaitu tali tenun yang berumbai yang digunakan untuk mengikat haori dengan warna paling formal adalah warna putih. Haori-himo mempunyai banyak jenis dan dapat dipisah menjadi tiga grup utama; haori-himo yang dijahit pada haori dan yang dibuat dari kain yang sama seperti kain utama; yang ditambahkan di haori pada putaran atau simpulan kain; dan yang ditambahkan pada haori dengan kaitan berbentuk S. Dengan tiga grup utama tersebut, ada banyak jenis bagian grup, termasuk himo

modern dengan manik-manik; himo anyaman; dan himo yang mengeliling. Haori dibuat sama dengan jenis dan pola dari kain seperti kimono, dan pembentukan tersebut tergantung dari musim. Lengan dari haori pria ditambahkan penuh pada tubuh; pria juga mengenakan haori tanpa lengan yang kasual pada bulan-bulan musim panas. Lengan pada haori wanita terbuka pada bagian sisi tubuh seperti


(55)

Haori pria kebanyakan selalu mempunyai hanya satu warna atau warna dasar pada bagian luar. Pada lapisan, bagaimanapun sering sangat berwarna-warni atau mempunyai desain dan ganbar yang rumit. Pada masa sekarang mereka dapat mengenakannya dengan semua jenis dan formalitas dari kimono kecuali yukata.

Pada haori wanita, dapat hanya satu warna atau mempunyai keseluruhan atau hanya sebagian dari desain. Pada saat ini para wanita mengenakan haori

dengan segala jenis dan formalitas kimono kecuali pada yukata, kimono

pernikahan, dan furisode. Sampai hari ini, haori biasanya tidak dianggap pakaian formal untuk wanita dengan pengecualian montsuki haori hitam.

Kuromontsuki haori atau montsuki haori hitam sangat populer diantara wanita yang sudah menikah. Ada dua jenis kuromontsuki haori; hitam polos dan warna hitam dengan desain atau pola (e-haori), keduanya mempunyai sebuah mon

yang diwarnai pada bagian belakang. Ada juga e-haori yang tidak mempunyai dasar hitam dan tidak mempunyai mon. Kuromontsuki sangat populer karena menambah formalitas untuk setiap kimono. Sampai pada periode sekarang, e-haori hitam sangat umum dikenakan oleh para ibu yang menghadiri upacara tahun ajaran baru dan upacara kelulusan.

b. Michiyuki

Pada gaya ini dengan bentuk leher persegi dan kancing yang dikatupkan atau yang ditutup, juga dikenakan diatas kimono sebagai penghangat dan pelindung. Michi artinya “street” dan yuki yang berarti “pergi keluar”. Banyak dari michiyuki mempunyai saku rahasia di bawah dibagian depan rangkaiannya, dapat diakses dengan menggunakan tangan kanan. Walaupun banyak jenis untuk pria, kebanyakan michiyuki walaupun berwarna gelap dan polos berwarna gelap


(56)

dibuat untuk wanita. Tidak ada standar panjang untuk michiyuki, dan beberapa dapat sepanjang hingga berada dibawah panjang kimono, dimana kebanyakan model dari michiyuki dibuat sebagai pakaian untuk musim hujan. Michiyuki yang jarang dan masih dikoleksi adalah michiyuki dengan bahan beludru yang dibuat setelah perang dunia ke II dan menjadi populer di Jepang pada tahun 1950-an.

c. Dochugi

Pada jenis jaket kimono ini mempunyai model yang mendekati kimono itu sendiri, dengan model lengan yang sama seperti kimono. Dibanding sebuah obi, kain atau jalinan tali dapat digunakan untuk menutup jaket; pada bagian depan diikat ke dalam sebelah kiri lapisan dan bagian kiri diikat keluar sebelah kanan lapisan. Ikatan dapat disesuaikan dan memberi sedikit ruang ditengah-tengah jika diinginkan.

d. Happi

Haori sering kali disalah artikan sebagai happi karena mempunyai bentuk yang hampir sama, tetapi happi jelas berbeda dengan haori. Mereka tidak pernah membuat happi dari bahan sutera, biasanya bahannya terbuat dari katun dan tidak selalu berarti sebagai luaran kimono.

Secara tradisional, happi digunakan sebagai jaket untuk bekerja atau pada festival atau acara di perusahaan untuk mengenali kelompok yang mengikuti acara. Menurut jenisnya, ada sebuah lambang besar yang terdapat dibagian tengah di belakang, pola geometris yang membuat batas sepanjang tepi, dan dibawah kedua sisi dari kerah depan adalah kumpulan dari karakter kanji yang menunjukkan


(57)

menggunakan happi tersebut. Saat ini, happi dapat berupa berbagai warna, tapi jenis vintage biasanya berwarna biru tua dengan desain warna merah dan putih.

e. Hanten

Jaket jenis ini dapat juga mempunyai bagian depan yang lurus yang tidak disilang di depan haori atau disilang menutupi dochugi. Pada kasus lain, hanten

dapat dikenali pada lapisannya yang tebal, yang artinya hanten yang dikenakan di rumah berfungsi untuk memberi kehangatan. Jaket hanten ini masih dapat dijumpai pada daerah pedesaan namun kurang populer dikalangan penduduk daerah perkotaan atau rumah-rumah yang sudah memiliki pemanas ruangan.

f. Neneko

Neneko atau terkadang sering diucapkan nenneko adalah jenis jaket yang mempunyai panjang hingga mata kaki, lapisan yang yang tebal, dan cukup besar sekalipun diukur dengan tubuh orang Barat. Ukuran besar pada neneko disengaja untuk seorang ibu yang membawa anaknya dipunggung, dibalik jaket tersebut. Walaupun berat, kebanyakan jenis lapisan yang tipis dapat juga digunakan.

neneko yang sebenarnya adalah sebuah selimut. Dalam bahasa Jepang, nene

adalah ucapan bayi yang artinya nemu yaitu tidur. Dan neneko menjaga agar mendekap anak secara hangat ketika seorang ibu ingin pergi ke kota.

3.2.4. Hiyoku

Hiyoku belakangan ini sering diartikan sebagai dua lapis alas pada sebuah

kimono, biasanya pada kerah tepi bagian dalam dan pada lapisan yang lebih rendah dari kimono. Aslinya, hiyoku adalah jenis dari bagian dalam kimono, dikenakan untuk menambahkan nagajuban dibagian dalam kimono oleh wanita, dibalik dari luaran kimono. Sekarang, banyak orang mengenakan hiyoku hanya


(58)

pada acara formal, seperti acara pernikahan dan acara sosial penting lainnya. Kimono yang mempunyai tingkat yang lebih tinggi dapat memiliki lapisan alas yang lebih untuk menyamakan penampilan hiyoku yang dikenakan di bawah.

3.2.5. Juban

Juban adalah istilah yang merujuk pada beberapa jenis dari pakaian dalam tradisional yang dikenakan oleh pria dan wanita dibalik kimono atau pakaian tradisional Jepang lainnya.

Adapun juban terbagi atas 3 macam:

a. Nagajuban

Nagajuban atau juban yang panjang adalah jubah bagian dalam yang berbentuk seperti kimono. Karena bentuk yang mirip seperti kimono, sebuah lapisan nagajuban dikenakan tepat dibalik kimono. Nagajuban kira-kira memiliki panjang hingga pergelangan kaki dan mempunyai lengan seperti kimono. Bagian kerah dan lengan dari nagajuban dapat terlihat ketika mengenakan kimono, dan karena itu harus sesuai dengan musim, acara, dan jenis kimono yang dikenakan.

b. Hadajuban

Disebut hadajuban karena bahannya langsung menyentuh ke kulit. Hadajuban dikenakan dibalik nagajuban untuk mencegah pakaian lapisan ini dari sentuhan langsung ke kulit dan menjadi rusak dan kotor karena kontak langsung dengan kulit. Karena hadujuban dikenakan mengenai langsung ke kulit, biasanya dibuat dengan menggunakan kain yang mudah menyerap keringat. Hadajuban


(59)

c. Hanjuban

Hanjuban bentuknya lebih pendek dari nagajuban, biasanya sedikit lebih panjang dari panjang pinggang. Hanjuban lebih sering dikenakan pada musim penghangat dibandingkan nagajuban. Pada kerah dan lengan dari hanjuban dapat terlihat ketika mengenakan kimono.

3.2.6. Tabi

Tabi adalah kaus kaki tradisional yang berukuran setinggi mata kaki yang membelah jari. Maksud dari membelah jari adalah celah antara ibu jari dan jari kedua setelahnya. Dikenakan oleh pria juga wanita dengan zori, geta, dan alas kaki yang lainnya. Tabi adalah bagian dari perlengkapan kimono. Tabi juga dikenakan tanpa alas kaki yang lainnya pada upacara minum teh dan beberapa seni bela diri. Tidak ada perbedaan pada tabi wanita dan pria.

Tabi tradisional terbuat dari katun dan mempunyai dua, tiga, atau empat kaitan yang disebut dengan kohaze pada bagian belakang. Tabi yang berwarna putih digunakan pada keadaan formal, seperti pada upacara minum teh dan seni bela diri. Pria terkadang memakai tabi berwarna biru atau hitam untuk liburan. Tabi yang berpola dan berwarna biasanya dikenakan kebanyakan oleh wanita untuk memperoleh popularitas dari para pria. Ada tiga jenis tabi yang dikenal masyarakat Jepang; Jika-tabi (地下足袋 tabi yang berhubungan langsung dengan tanah atau lantai) tabi ini digunakan oleh buruh, petani dan para pekerja. Tabi ini menyerupai sepatu boots dengan tapak sepatu dari karet atau kulit. Kemudian ada

Himo tabi (紐足袋) adalah tabi yang tidak terbuka pada bagian belakang di dekat tumit, namun mempunyai celah pada bagian depan dan menutupnya dengan cara diikat. Himo tabi juga terkadang disebut dengan Ebisu tabi. Himo berarti


(1)

lebih tua, dan sebagainya, orang Jepang selalu memilih kimono apa yang sesuai untuk dipakai.

Walaupun kimono sekarang bukan lagi pakaian sehari-hari bagi masyarakat Jepang, orang-orang masih sering memakainya untuk berbagai acara dan waktu tertentu disepanjang tahun. Ketika memakainya, masyarakat Jepang menggunakan kain, warna dan model dari kimono untuk memperlihatkan kecintaan mereka dari keempat musim yang ada di Jepang.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Di dalam akhir penulisan skripsi ini, penulis mencoba membuat kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini sebagai berikut:

1. Jepang merupakan salah satu negara yang kaya akan ragam budaya dan tradisi termasuk kimono.

2. Kimono mempunyai berbagai macam jenis dan fungsinya. Ada kimono yang hampir keseluruhannya dipenuhi dengan pola, ada pula kimono yang hanya berwarna putih bersih. Ada yang fungsinya hanya untuk digunakan saat pernikahan saja dan ada yang digunakan untuk festival atau upacara tertentu.

3. Bagi masyarakat Jepang, keberadaan kimono sangat penting karena merupakan warisan budaya yang berharga.

4. Kimono bukan hanya sebagai pakaian pelindung tubuh saja, namun juga digunakan dalam upacara atau perayaan penting di Jepang. Biasanya kimono yang dipakai juga berbeda-beda pula dalam setiap perayaan.

5. Kimono sekarang hanya dikenakan pada saat perayaan, upacara dan kesempatan penting lainnya yang mengharuskan mengenakan kimono. 6. Tidak semua masyarakat Jepang mempunyai kimono karena harganya

yang cukup mahal. Terlebih lagi bahan kimono yang kebanyakan terbuat dari bahan sutera. Jadi beberapa orang tua di Jepang sering


(3)

7. Walaupun kimono bukan lagi pakaian sehari-hari kecuali kesempatan tertentu yang mengharuskan mengenakan kimono setiap hari, namun daya tarik kimono masih tetap bersinar. Bahkan hingga ke luar Jepang. Tidak jarang ada beberapa wisatawan yang pulang dari Jepang membawa pulang kimono sebagai oleh-oleh walaupun harganya sangat mahal.


(4)

4.2. Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian ini, saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Ada baiknya mahasiswa-mahasiswa Sastra Jepang dapat menambah wawasan tentang berbagai macam budaya Jepang dengan membaca dan berbagai hasil karya lain atau tulisan-tulisan lain yang memuat tentang Jepang.

2. Jepang adalah negara yang mempunyai aneka ragam budaya. Jadikan budaya Jepang sebagai alat pembelajaran untuk memperkaya pengetahuan. Dengan begitu, kita pun akan menghargai budaya kita juga.

3. Dengan membaca skripsi ini, semoga dapat memberi sedikit pengetahuan tentang budaya Jepang yang beraneka ragam.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Christommy, Tommy.2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Peirce : Nonverbal dan Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan penelitian Semiotika, hlm. 7-14.

Clyde, Kluckhohn, A. L. Kroeber, Wayne Untereiner. 1952. Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. New York : Vintage Book.

Dalby, Liza. 2001. Kimono: Fashioning Culture. Seattle: University of Washington Press.

Ito, Sacico. 2011. The Kimono: History and Style. Japan: PIE International

Jenks, Chris. 1993. Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kerlinger, Fred N. 1986. Foundations of behavioral research. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Koentjraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Mulyati, Sri dkk. 2007. Sosiologi:Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Uneversity press.


(6)

Nawawi, Hadari, Mimi Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalila Indonesia.

Sinaga M, dan Sinuhaji J. 1997. Metode Penelitian. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press.

Van Assche, Annie. 2005. Fashioning Kimono: Dress and Modernity in Early Twentieth-Century in Japan. Milan: 5 Continents Editions srl.

http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_09.html (28/04/2014)