Need And Demand Perawatan Maloklusi Pada Murid-Murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan
NEED AND DEMAND PERAWATAN MALOKLUSI
PADA MURID-MURID SMA PERGURUAN KRISTEN
IMMANUEL MEDAN
Oktavia Dewi, drg.,M.Kes
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI PENCEGAHAN/ KESEHATAN GIGI MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAN SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia tidak dapat dipisahkan dari keindahan. Penampilan yang indah dan menarik akan menambah rasa percaya diri khususnya remaja yang merupakan bagian dari masyarakat yang sangat mementingkan estetis. Senyum yang menawan merupakan salah satu hal yang membuat penampilan lebih menarik. Dengan susunan gigi yang teratur rapi, putih, bersih, dan senyum yang menawan akan membuat penampilan seseorang lebih sempurna dan percaya diri.1
Kelainan susunan letak gigi yang diderita pasien, seperti gigi berjejal dan diastema dikenal dengan istilah maloklusi. Maloklusi merupakan penyimpangan oklusi dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk oklusi yang normal. Penyimpangan tersebut berupa ciri-ciri maloklusi yang jumlah dan jenisnya sangat bervariasi baik pada setiap individu maupun sekelompok populasi. Menurut data Departemen Kesehatan, masalah maloklusi di Indonesia merupakan masalah nomor tiga terbesar setelah gigi berlubang dan penyakit gusi.2
Penilaian kebutuhan (need) akan perawatan maloklusi memerlukan suatu pengertian yaitu bahwa tanpa perawatan maloklusi akan berakibat negatif, dan keadaan negatif tadi tidak akan terjadi bila kondisi tersebut dirawat atau dinormalkan. Komponen need ada tiga, yaitu persepsi individu terhadap status kesehatannya, jumlah hari sakit, dan kebutuhan berdasarkan diagnosa klinis. Komponen need yang
(3)
digunakan dalam penelitian ini adalah kebutuhan yang berdasarkan pada diagnosa klinis. Dalam studi yang menggunakan kuesioner para orang tua yang anaknya mendapat perawatan maloklusi, Shaw dkk. menemukan persentase yang tinggi pada orang tua yang mengharapkan manfaat positif dari perawatan maloklusi. Lebih 70% responden percaya bahwa susunan gigi yang rapi akan menyebabkan anaknya lebih menarik dan cantik dan 75% merasa bahwa perawatan maloklusi penting untuk keberhasilan kedudukan anaknya di masa depan, mendekati 90% merasa gigi yang rapi itu penting untuk kesehatan gigi anaknya. Jika persepsi kebutuhan dipengaruhi oleh ketersediaan pelayanan dan petugas maka diharapkan bahwa orang-orang yang tinggal di suatu tempat dimana perawatan maloklusi tersedia dan memadai akan merasa lebih besar kebutuhannya akan kebutuhan daripada orang-orang yang berada di daerah dimana perawatan maloklusinya kurang ditekankan.3
Tuntutan akan perawatan maloklusi (demand) ditunjukkan oleh jumlah pasien yang betul-betul menginginkan dan mencari pelayanan perawatan maloklusi. Seperti kita ketahui bahwa tidak semua orang dengan gigi yang malokusi menginginkan perawatan meskipun mereka memiliki gigi yang sangat menyimpang dari normal. Beberapa diantara orang-orang tersebut tidak menyadari bahwa mereka mempunyai masalah dengan giginya, sedangkan yang lain merasa bahwa mereka memerlukan perawatan tetapi tidak berusaha dan tidak dapat memperoleh perawatan. Data survey epidemiologi (United Stated of Public Health Service) menggambarkan bahwa kurang lebih 35% remaja di Amerika masih dianjurkan oleh orangtuanya untuk merawatkan giginya dan dibiayai perawatan giginya, sedangkan yang 20% lainnya dianjurkan oleh dokter gigi.3 Penelitian Muhammad D dkk tentang kebutuhan anak
(4)
remaja akan perawatan ortodonti di Samarinda hilir kotamadya Samarinda disimpulkan tingkat keparahan maloklusi adalah kategori sedang. Anak yang membutuhkan perawatan ortodonti terdapat sebesar 55,6% dan yang tidak membutuhkan perawatan 44,4%.6
Hasil penelitian Oktavia tentang maloklusi pada remaja SMU di Medan tahun 2007 dengan menggunakan skor HMAR menunjukkan prevalensi maloklusi sebesar 60,5% dengan kebutuhan perawatan ortodonti sebesar 23%.5 Menurut studi epidemiologi yang dilakukan pada remaja Amerika Serikat dilaporkan 11% remaja umur 12-17 tahun mempunyai oklusi normal, 34,8% mempunyai maloklusi ringan dan 25,2% mempunyai maloklusi yang berat sehingga beberapa kasus memerlukan perawatan (Dewanto 1993).
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja dimana usia 10-14 tahun sebagai remaja awal dan 15-20 tahun sebagai remaja akhir. Kelompok remaja akhir (15-20 tahun) dipilih menjadi sampel penelitian ini karena kelompok umur tersebut sangat mementingkan estetis. Remaja yang menderita maloklusi akan mengalami hambatan dalam perkembangan psikologis dan kehidupan sosial dengan teman sebayanya. Berdasarkan hal di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang need and demand perawatan maloklusi pada murid-murid SMA di kota Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan masalah bagaimana persentase need terhadap demand perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel?
(5)
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui persentase need perawatan maloklusi berdasarkan kebutuhan diagnosa klinis pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan.
2. Untuk mengetahui persentase demand perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat:
1. Menambah kesadaran akan perlunya perawatan maloklusi untuk mengoreksi maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan.
2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai susunan atau letak gigi, perawatan dan sumber informasi perawatan maloklusi dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perawatan maloklusi dalam meningkatkan kesehatan gigi dan mulut.
3. Menambah data mengenai need and demand perawatan maloklusi di Indonesia.
(6)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Need and Demand
Need (kebutuhan) terhadap pelayanan gigi sering dirancukan dengan demand
(permintaan) terhadap perawatan. Dalam hal ini akan ada sejumlah perbedaan antara kebutuhan absolut dengan kebutuhan terhadap pengobatan dan permintaan terhadap perawatan. Pemeriksaan klinis penyakit yang dapat dideteksi pada diri seorang pasien dapat mengungkapkan kepada dokter gigi kebutuhan terhadap perawatan gigi pasien. Gambaran need dan demand ada perbedaan antara dokter gigi dan pasien dalam pengkajian kehebatan penyakit gigi dan konsep status kesehatan gigi yang diakui mereka.9
Need terhadap pelayanan kesehatan merupakan fungsi dari need terhadap kesehatannya sendiri dan didasari oleh pengalaman yang selama itu dilalui oleh seseorang.10 Need adalah status kesehatan yang dinilai sebagai kebutuhan atas pelayanan medis, atau keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan harus mendapatkan penanganan medis. Need ini dinamis dan cenderung terus tumbuh bersama dengan berjalannya waktu. Need adalah stimulus langsung dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan (Sorkin 1975 : 33). Komponen need terdiri dari persepsi individu terhadap status kesehatannya (Self-rated health) , jumlah hari sakit (disability days), dan kebutuhan berdasarkan diagnosa klinis (Sorkin 1975:32-33). Faktor-faktor yang melandasi kebutuhan akan perawatan ortodonti dalam masyarakat adalah multifaktorial dan peka terhadap fluktuasi yang berasal dari kualitas pelayanan
(7)
gigi yang umum, ketersediaan pelayanan, perkembangan tehnik perawatan dan gaya hidup orang-orang tersebut.9
Demand adalah keinginan untuk lebih sehat yang diwujudkan dalam perilaku mencari pertolongan kedokteran (dokter gigi). Demand juga merupakan pengkajian pasien yang akan menentukan kebutuhan terhadap pengobatan. Dalam pemikiran rasional semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan merupakan modal untuk bekerja dan hidup untuk mengembangkan keturunan, sehingga timbul keinginan yang bersumber dari kebutuhan hidup manusia, dan demand untuk menjadi sehat tidaklah sama antar manusia. Seseorang yang kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih tinggi akan status kesehatannya (Laksono 2004).
Need adalah status kesehatan yang dinilai sebagai need atas pelayanan medis (Laksono,2004).9 Tuntutan terhadap perawatan ortodonti ditentukan oleh gabungan 2 faktor utama yaitu :3
1. Kebutuhan akan perawatan ortodonti yang timbul dari masyarakat dan profesi.
2. Sumber ekonomi yang tersedia untuk membiayai perawatan tersebut.
2.2. Indeks Maloklusi
Indeks-indeks maloklusi dapat dikelompokkan sebagai berikut:3 a. Occlution Feature Index (OFI)
Ciri oklusi yang dinilai adalah letak gigi berjejal, kelainan integritas tonjol gigi posterior, tumpang gigit, dan jarak gigit. Skor total didapat dengan
(8)
menjumlahkan skor keempat macam maloklusi tersebut. Metode ini tidak mememrlukan peralatan diagnostik yang rumit seperti model, gnathostatik dan alat sefalometri. Pengukuran bersifat kuantitatif sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelilian secara terukur (objektif) dan lebih cepat.
b. Handicapping Malocclution Asessment Index (HMA Index)
Metode ini menggunakan suatu lembar isian dan digunakan untuk melengkapi cara menentukan prioritas perawatan maloklusi menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian tersebut.
c. Treatment Priority Index (TPI Index)
Diperkenalkan oleh Grainger tahun 1967. Ciri-ciri yang dinilai adalah jarak gigit, gigitan terbalik, tumpang gigit, gigitan terbuka anterior, gigi insisivus agenese, distooklusi, mesiooklusi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas bukoversi, gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas linguoversi, malposisi gigi indivual, celah langit-langit, kondisi traumatik dan lain-lain anomali dentofasial yang berat.
Maloklusi diukur dengan menggunakan indeks HMA yaitu menggunakan suatu lembar isian dan digunakan untuk melengkapi cara menentukan prioritas perawatan maloklusi menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian tersebut. Metode ini dipilih karena mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi serta tidak memerlukan alat khusus penilaian maloklusi.
(9)
2.3. Perawatan Maloklusi
Pencegahan dan perawatan yang dilakukan sejak dini lebih mudah dibandingkan gigi orang dewasa. Jika perawatan tidak dilakukan maka akan timbul akibat negatif pada penderita seperti menurunnya kesehatan jaringan periodontal, meningkatnya resiko karies, gangguan fungsi TMJ, ketidakmampuan berbicara atau makan, atau ketidaksesuaian psikososial. Kekhawatiran terhadap akibat negatif pengaruh sikap sosial dan budaya berperan besar dalam menentukan rasa membutuhkan perawatan.2
Kasus maloklusi dirawat dengan beberapa cara antara lain:11 a. Kasus maloklusi ringan
Pada umumnya kasus maloklusi ringan tidak memerlukan perawatan maloklusi, tetapi pada beberapa kasus keadaan ini dapat dikoreksi dengan seri ekstraksi dan pesawat lepasan, seperti aktivator. Selain itu, dapat juga dilakukan perawatan ortodonti interseptif, seperti seri ekstraksi, pemakaian space regaining dan lain-lain.
b. Kasus maloklusi sedang sampai berat
Perawatan maloklusi sedang sampai berat umumnya dilakukan dengan pencabutan gigi yang berjejal kemudian dilakukan perawatan menggunakan pesawat lepas ataupun pemakaian pesawat cekat untuk kasus maloklusi berat. Perawatan maloklusi sedang sampai berat dapat juga dilakukan dengan mengkombinasikan tindakan bedah seperti distraksi dan reseksi rahang dengan perawatan ortodonti.
(10)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey deskriptif yaitu penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan didalam suatu komunitas atau masyarakat.
3.2. Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang berjumlah 270 orang. Sampel diambil dengan cara sistematik random sampling dengan menjumpai murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan selama 3 hari. Besar sampel diambil menurut WHO berdasarkan kriteria umur yaitu sejumlah 100 orang (kelas I sebanyak 35 orang, kelas II sebanyak 35 orang, dan kelas III sebanyak 30 orang). Sampel yang diperiksa adalah murid-murid yang tidak memakai pesawat ortodonti.
3.3. Variabel dan Defenisi Operasional Penelitian No Variabel Defenisi Operasional
1 Need Kebutuhan untuk perawatan maloklusi yang dinilai oleh tenaga
ahli atau pemeriksa.
2 Demand Keinginan untuk melakukan perawatan maloklusi yang
dibutuhkan oleh responden.
3 Maloklusi Kelainan susunan gigi dari bentuk oklusi yang dianggap menyimpang dari bentuk standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi pada penelitian ini adalah maloklusi yang membutuhkan perawatan berdasarkan kriteria indeks HMA.
(11)
3.4. Cara Penelitian
Cara Pemeriksaan : 1. Pengukuran Need
Status maloklusi diukur dengan menggunakan indeks HMA, yaitu menggunakan satu lembar isian dan digunakan untuk melengkapi cara menentukan prioritas perawatan maloklusi menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isisan tersebut. Metode ini dipilih karena mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi serta tidak memerlukan alat khusus penilaian maloklusi.
Cara penilaian yang dilakukan adalah : a. Penyimpangan gigi dalam satu rahang
1). Segmen anterior,setiap gigi anterior rahang atas yang terlibat diberi skor 2, dan setiap gigi anterior rahang bawah diberi skor 1.
a) Gigi absen (missing).
Gigi yang tidak terdapat dalam mulut, termasuk jika tinggal akar/radiks. b) Gigi berjejal (crowdeed).
Gigi yang berjejal karena kurang tempat sehingga untuk mengatur perlu menggeser gigi yang lain yang ada dalam rahang. Gigi yang sudah dinilai rotasi maka tidak boleh dinilai berjejal.
c) Gigi rotasi (rotation).Gigi yang letaknya berputar tetapi cukup tempat untuk mengaturnya dalam lengkung rahang. Gigi yang sudah diberi skor rotasi tidak boleh diberi skor berjejal atau renggang.
(12)
(1) Renggang terbuka (open spacing), yaitu celah yang terdapat diantara gigi sehingga terlihat papil interdental. Pemberian skor adalah jumlah papila yang tampak, bukan giginya.
(2) Renggang tertutup (closed spacing), yaitu penutupan ruang sebagian sehingga tidak memungkinkan gigi untuk erupsi penuh tanpa menggeser gigi lainnya dalam lengkung rahang yang sama, yang diberi skor adalah giginya.
2). Segmen posterior, setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a) Absen : cara penilaian seperti segmen anterior. Dicatat jumlah gigi yang tidak ada dalam rongga mulut, termasuk radiks.
b) Berjejal : penilaian seperti pada segmen anterior. c) Rotasi : penilaian seperti pada segmen anterior. d) Renggang :
(1) Renggang terbuka, yaitu celah interproksimal yang menampakkan papila disebelah mesial adn distal sebuah gigi.
(2) Renggang tertutup : penilaian seperti pada segmen anterior.
b. Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (inter arch deviation).
1). Segmen anterior, untuk setiap gigi rahang atas yang terlibat diberi skor 2. a) Jarak gigit, penilaian jarak gigit adalah bila gigi insisivus atas labioversi sehingga gigi insisivus bawah pada waktu oklusi mengenai mukosa palatum. Apabila gigi insisivus atas tidak labioversi maka kelainan itu hanya diberi skor sebagai kelainan tumpang gigit.
(13)
b) Tumpang gigit, penilaian tumpang gigit adalah apabila pada waktu oklusi gigi insisivus atas mengenai mukosa gingiva gigi insisivus bawah, sedang gigi bawah tersebut mengenai mukosa palatum. Jika insisivus atas labioversi maka kelainan tumpang gigit juga jarak gigit.
c) Gigitan silang, yaitu apabila gigi insisivus atas pada waktu oklusi disebelah lingual gigi insisivus bawah.
d) Gigitan terbuka, yaitu apabila waktu oklusi gigi depan atas dan bawah tidak berkontak.
2) Segmen posterior, untuk setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a) Kelainan anteroposterior, yaitu kelainan oklusi dimana pada waktu oklusi gigi kaninus, premolar pertama dan premolar kedua serta gigi molar pertama bawah berada disebelah distal atau mesial gigi antagonisnya. Kelainan tersebut diberi skor bila terdapat satu tonjol atau lebih dari gigi molar, premolar, dan kaninus beroklusi di daerah interproksimal lebih ke mesial atau distal dari posisi normal.
b) Gigitan silang, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat gigi pada segmen bukal yang posisinya lebih ke lingual atau bukal diluar kontak oklusi terhadap gigi antagonisnya.
c) Gigitan terbuka, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat celah antara gigi posterior atas dan bawah. Hubungan tonjol lawan tonjol tidak termasuk gigitan terbuka.
Setiap ciri maloklusi yang berupa kelainan dentofasial diberi skor 8. Ciri-ciri tersebut yaitu celah bibir dan celah mulut, bibir bawah terletak di palatal gigi insisivus atas, gangguan oklusal (occlusal interference), gangguan fungsi rahang
(14)
(functional jaw limitation), asimetris muka/wajah, gangguan bicara (speech impairment).
Skor total didapat dengan menjumlahkan skor keempat macam ciri utama maloklusi dengan menggunakan indeks HMA. Kriteria penilaian maloklusi sebagai berikut :
Skor 0 – 4 = variasi oklusi normal
Skor 5 – 9 = maloklusi ringan, tidak perlu perawatan
Skor 10 – 14 = maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan Skor 15 – 19 = maloklusi berat, memerlukan perawatan
Skor ≥ 20 = maloklusi berat, sangat memerlukan perawatan
2. Pengukuran Demand
Pengukuran demand diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner pada murid-murid.
3.5. Cara Pengambilan Data
Data mengenai need and demand murid-murid terhadap perawatan maloklusi dan informasi mengenai kebutuhan mereka tentang perawatan diperoleh dengan melakukan wawancara menggunakan kuesioner pada murid-murid. Data mengenai kondisi maloklusi murid diperoleh dengan pemeriksaan rongga mulut menggunakan kaca mulut. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari. Pada penelitian ini digunakan
HandicappingMalocclusion Assesment Index (HMA) oleh Salzman untuk mengukur kelainan gigi pada satu rahang dan mengukur ciri maloklusi yang merupakan kelainan dentofasial.
(15)
3.6. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer .
3.7. Analisa Data
Dihitung distribusi jumlah murid-murid sesuai kriteria indeks HMA , dan distribusi murid-murid mengenai keinginan perawatan maloklusi.
(16)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menunjukkan persentase murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel berdasarkan jenis kelamin adalah 52 % laki-laki dan 48% perempuan. (Tabel 1)
TABEL 1. DISTRIBUSI MURID-MURID SMA PERGURUAN KRISTEN IMMANUEL MEDAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Jenis Kelamin Jumlah (orang)
Persentase
Laki-Laki 52 52%
Perempuan 48 48 %
Jumlah 100 100%
Pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan tingkat keparahan maloklusi tertinggi berupa maloklusi ringan yaitu 28%, dan yang terendah adalah maloklusi berat, memerlukan perawatan ada sebanyak 13%. (Tabel 2)
TABEL 2. DISTRIBUSI TINGKAT KEPARAHAN MALOKLUSI PADA MURID-MURID SMA PERGURUAN KRISTEN IMMANUEL MEDAN
Tingkat Keparahan Maloklusi (HMAR) N Persentase
Oklusi normal 16 16%
Maloklusi ringan 28 28%
Maloklusi ringan, perlu perawatan kasus tertentu 24 24 % Maloklusi berat, memerlukan perawatan 13 13% Maloklusi sangat berat, sangat memerlukan perawatan 19 19%
JUMLAH 100 100%
Berdasarkan jenis kelamin, persentase kebutuhan (need) perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan dari 56 orang yang
(17)
butuh perawatan maloklusi lebih banyak yaitu 54% laki-laki dan 46% perempuan daripada 44 orang yang tidak butuh perawatan maloklusi yaitu 50% laki-laki dan 50% perempuan. (Tabel 3)
TABEL 3. DISTRIBUSI KEBUTUHAN (NEED) PERAWATAN MALOKLUSI PADA MURID-MURID SMA PERGURUAN KRISTEN IMMANUEL MEDAN BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Laki-Laki Perempuan Total
Tingkat Kebutuhan Perawatan Maloklusi Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentas e Tidak butuh
22 50 % 22 50% 44 100%
Butuh 30 54% 26 46% 56 100%
Dari 100 orang murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan, 25 orang merasa bahwa susunan giginya sudah rapi dan 75 orang menyadari susunan giginya tidak rapi. Persentase murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang merasa susunan giginya tidak rapi lebih banyak yaitu 56% laki-laki dan 44% pada perempuan dibandingkan dengan yang merasa susunan giginya sudah rapi yaitu 40% laki-laki dan 60% perempuan. (Tabel 4)
TABEL 4. DISTRIBUSI MURID-MURID YANG MERASA SUSUNAN GIGI SUDAH RAPI BERDASARKAN JENIS KELAMIN
Laki-laki Perempuan Total
Merasa Susunan Gigi
Sudah Rapi Jumlah
(orang) Persentase
Jumlah (orang)
Persentase Jumlah
(orang) Persentase
Ya 10 40% 15 60% 25 100%
(18)
Dari 75 orang murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang merasa giginya tidak rapi lebih banyak murid-murid yang tidak ingin melakukan perawatan maloklusi sebanyak 47 orang, 68,09% (Tabel 5)
TABEL5.DISTRIBUSI KEINGINAN (DEMAND) MURID-MURID MELAKUKAN PERAWATAN MALOKLUSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN (N=75)
Laki-laki Perempuan Total Merasa ingin melakukan perawatan maloklusi Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase
Ya 10 35,71% 18 64,29% 28 100%
Tidak 32 68,09% 15 31,91% 47 100%
Dari 75 murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang merasa susunan giginya tidak rapi, kelainan posisi gigi yang terbanyak dialami adalah letak gigi berjejal 31 orang, 51,61% laki-laki dan 48,39% perempuan; dan yang paling sedikit adalah posisi gigi terlalu keluar 14 orang, 42,86% laki-laki dan 57,14% perempuan.(Tabel 6)
TABEL 6. DISTRIBUSI KELAINAN POSISI GIGI PADA MURID-MURID BERDASARKAN JENIS KELAMIN (N=75)
Laki-laki
Perempuan
Total Kelainan posisi
gigi/maloklusi Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Letak gigi berjejal 16 51,61% 15 48,39% 31 100% Posisi gigi terlalu
keluar
6 42,86% 8 57,14% 14 100% Hubungan rahang
tidak harmonis
11 73,33% 4 26,67% 15 100%
(19)
Distribusi masalah yang dialami oleh murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan akibat kelainan posisi gigi yang terbanyak yaitu rasa malu sebanyak 40 orang, 55% laki-laki dan 45% perempuan; dan yang paling sedikit bau mulut sebanyak 17 orang, 58,82% laki-laki dan 41,18% perempuan. (Tabel 7)
TABEL 7. DISTRIBUSI MASALAH YANG DIALAMI MURID AKIBAT KELAINAN POSISI GIGI BERDASARKAN JENIS KELAMIN (N=75)
Laki-laki Perempuan Total Masalah yang
dialami Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase
Malu 22 55% 18 45% 40 100%
Bau mulut 10 58,82% 7 41,18% 17 100%
Sukar mengucap 10 55,56% 8 44,44% 18 100%
Alasan murid yang memiliki kelainan maloklusi dan tidak ingin melakukan perawatan maloklusi adalah takut ke dokter gigi sebanyak 21% serta malu memakai pesawat dan sukar makan sebanyak 19%. (Tabel 8)
TABEL 8. DISTRIBUSI ALASAN MURID YANG MEMILIKI KELAINAN MALOKLUSI DAN TIDAK MAU MELAKUKAN PERAWATAN MALOKLUSI (N=47) Total Alasan Jumlah (orang) Persentase
Biaya mahal 5 11%
Malu memakai pesawat 9 19%
Takut ke dokter gigi 10 21%
Sukar makan 9 19%
Kelainan posisi gigi tidak mengganggu 5 11%
Tidak tahu perawatan 1 2%
Mengganggu saat bicara 8 17%
JUMLAH 47 100%
(20)
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan persentase murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang menderita maloklusi menggunakan indeks HMAR adalah 84%, hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian prevalensi maloklusi remaja SMA di Kota Medan oleh Oktavia Dewi, yang menggunakan indeks HMAR yaitu 60,5% (Tabel 1). Murid-murid yang membutuhkan perawatan maloklusi 56%, hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Oktavia Dewi yaitu 23% remaja SMA memerlukan perawatan maloklusi.12 (Tabel 2). Hal ini mungkin disebabkan perbedaan gaya hidup yang lebih sering mengkonsumsi makanan lunak sehingga pertumbuhan rahang berkurang dan prevalensi maloklusi meningkat. Selain itu, perbedaan jumlah sampel yang terlalu besar mempengaruhi validitas penelitian ini.
Murid-murid SMA Kristen Immanuel Medan yang membutuhkan (need) perawatan maloklusi lebih banyak pada laki-laki 54% daripada murid perempuan 46% (Tabel 3), tetapi jika dilihat dari keinginan (demand) akan perawatan maloklusi lebih banyak pada perempuan 64,29% daripada laki-laki 35,71% (Tabel 5). Murid perempuan lebih banyak merasa susunan giginya sudah rapi 60% daripada murid laki-laki 40% (tabel 4) .Hal ini menunjukkan bahwa murid-murid perempuan lebih mementingkan faktor estetis dan penampilan daripada murid laki-laki.
Diantara murid-murid yang memiliki kelainan posisi giginya sebanyak 41,33% murid memaknai kelainan posisi gigi adalah letak gigi berjejal, hubungan rahang tidak harmonis 20%, letak gigi jarang 20%, dan posisi gigi terlalu keluar
(21)
18,67% (Tabel 6). Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil penelitian Fitri E (2008) yang mengatakan bahwa kelainan posisi gigi berjejal sebanyak 57,6%, posisi gigi depan terlalu keluar 39,52%, hubungan rahang yang tidak harmonis 8,10%, dan letak gigi yang jarang sebanyak 5,24%.7
Pada umumnya murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan merasa malu karena kelainan posisi giginya ada sebanyak 53% (Tabel 7). Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor psikis. Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang mengalami maloklusi dan merasa tidak ingin melakukan perawatan maloklusi sebanyak 47 orang, 68,09% laki-laki dan 31,91% perempuan Alasan murid-murid SMA Immanuel tidak melakukan perawatan maloklusi yang paling banyak adalah takut ke dokter gigi sebanyak 21% (Tabel 8). Hal ini menunjukan bahwa murid-murid tersebut trauma ke dokter gigi. Mereka menganggap dokter gigi sebagai sosok yang menakutkan dan rasa sakit pada pencabutan terdahulu bagi yang sudah pernah ke dokter gigi.
(22)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan, 84% menderita maloklusi, 56% diantaranya membutuhkan perawatan maloklusi. Murid-murid SMA Kristen Immanuel Medan yang membutuhkan (need) perawatan maloklusi lebih banyak pada laki-laki 54% daripada murid perempuan 46%, tetapi jika dilihat dari keinginan (demand) akan perawatan maloklusi lebih banyak pada perempuan 64,29% daripada laki-laki 35,71%. Hal ini menunjukkan bahwa murid perempuan lebih mementingkan faktor estetis dan penampilan. Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang merasa susunan giginya tidak rapi 75% lebih banyak daripada yang merasa giginya rapi. Dari murid-murid yang susunan giginya tidak rapi, terdapat kelainan posisi gigi berjejal yang paling banyak yaitu 41,33%, dan yang paling sedikit adalah posisi gigi terlalu keluar yaitu 18,67 %. Akibat kelainan posisi gigi yang dialami yaitu merasa malu 53,34% lebih tinggi dari sukar mengucap 24% dan bau mulut 22,66%.
Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang tidak ingin melakukan perawatan maloklusi 62,67% lebih banyak daripada yang ingin melakukan perawatan maloklusi 37,33%. Alasan mereka tidak ingin melakukan perawatan maoklusi karena mereka takut ke dokter gigi. Mereka menganggap dokter gigi adalah sosok yang menakutkan dan adanya rasa trauma bagi yang pernah
(23)
berkunjung sebelumnya. Alasan lain yaitu malu memakai pesawat ortodonti 19%, sukar makan akibat pesawat ortodonti 19 %.
6.2. Saran
Melihat rendahnya persentase keinginan melakukan perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang mengalami maloklusi dan butuh perawatan maloklusi, maka seharusnya dilakukan usaha untuk mengenalkan perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan. Adanya kunjungan berkala 6 bulan sekali ke dokter gigi sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar angka terjadinya maloklusi berkurang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada populasi lebih besar untuk memperoleh tingkat validitas yang lebih tinggi.
(24)
DAFTAR PUSTAKA
1. Suryanegara RJ. Memperbaiki dan memperindah posisi gigi anak. Jakarta: Trubus Agriwidya, 2000: 1-2.
2. Juanita SV. Kolom preview pasFM healthcare: Gigi indah, sehat, terawat dengan kawat. Sinar Harapan, 2003.
3. Dewanto H. Aspek-aspek epidemiologi maloklusi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993: 112,132, 159-96.
4. Kaimenyi JT. Oral health in Kenya. Int Dent J, 2004, 54: 381.
5. Dewi O. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU kota Medan tahun 2007. Tesis.Medan:Sekolah Pasca Sarjana USU,2008.
6. Natamiharja L. Maloklusi pada remaja usia 12 sampai 17 tahun di Medan. JKG UI,1999;6(2):26-30
7. Fitri E.Penelitian pengetahuan, sikap, perilaku dan kebutuhan perawatan maloklusi pada murid-murid SMPN 1 dan SMUN 1 Medan. Skripsi.2008.
8. WHO. Oral health survey: basic method. 4th Ed. Geneva. 1997.
9. Ramola E. faktor-faktor yang berhubungan dengan Need dan Demand kesehatan gigi siswa kelas VI SD dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi di wilayah kerja puskesmas kotamatsum tahun 2005.
10. Natamiharja L. Situmorang N. Pendidikan kesehatan masyarakat (Bahan ajar). Ilmu kesehatan gigi masyarakat FKG USU.
(25)
11. Harris NO, Christen AG. Primary preventive dentistry. 2nd ed; California:Appleton & Lange,1987:1-2.
12. Alamsyah R M, Tamba E H F, Natamiharja L. Kebutuhan dan pemakaian pesawat ortodonti pada siswa/i empat SMA di Medan. Dentika dent J, 2006 :11(1);9-15
(1)
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan persentase murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang menderita maloklusi menggunakan indeks HMAR adalah 84%, hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian prevalensi maloklusi remaja SMA di Kota Medan oleh Oktavia Dewi, yang menggunakan indeks HMAR yaitu 60,5% (Tabel 1). Murid-murid yang membutuhkan perawatan maloklusi 56%, hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Oktavia Dewi yaitu 23% remaja SMA memerlukan perawatan maloklusi.12 (Tabel 2). Hal ini mungkin disebabkan perbedaan gaya hidup yang lebih sering mengkonsumsi makanan lunak sehingga pertumbuhan rahang berkurang dan prevalensi maloklusi meningkat. Selain itu, perbedaan jumlah sampel yang terlalu besar mempengaruhi validitas penelitian ini.
Murid-murid SMA Kristen Immanuel Medan yang membutuhkan (need) perawatan maloklusi lebih banyak pada laki-laki 54% daripada murid perempuan 46% (Tabel 3), tetapi jika dilihat dari keinginan (demand) akan perawatan maloklusi lebih banyak pada perempuan 64,29% daripada laki-laki 35,71% (Tabel 5). Murid perempuan lebih banyak merasa susunan giginya sudah rapi 60% daripada murid laki-laki 40% (tabel 4) .Hal ini menunjukkan bahwa murid-murid perempuan lebih mementingkan faktor estetis dan penampilan daripada murid laki-laki.
Diantara murid-murid yang memiliki kelainan posisi giginya sebanyak 41,33% murid memaknai kelainan posisi gigi adalah letak gigi berjejal, hubungan rahang tidak harmonis 20%, letak gigi jarang 20%, dan posisi gigi terlalu keluar
(2)
18,67% (Tabel 6). Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan dengan hasil penelitian Fitri E (2008) yang mengatakan bahwa kelainan posisi gigi berjejal sebanyak 57,6%, posisi gigi depan terlalu keluar 39,52%, hubungan rahang yang tidak harmonis 8,10%, dan letak gigi yang jarang sebanyak 5,24%.7
Pada umumnya murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan merasa malu karena kelainan posisi giginya ada sebanyak 53% (Tabel 7). Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor psikis. Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang mengalami maloklusi dan merasa tidak ingin melakukan perawatan maloklusi sebanyak 47 orang, 68,09% laki-laki dan 31,91% perempuan Alasan murid-murid SMA Immanuel tidak melakukan perawatan maloklusi yang paling banyak adalah takut ke dokter gigi sebanyak 21% (Tabel 8). Hal ini menunjukan bahwa murid-murid tersebut trauma ke dokter gigi. Mereka menganggap dokter gigi sebagai sosok yang menakutkan dan rasa sakit pada pencabutan terdahulu bagi yang sudah pernah ke dokter gigi.
(3)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan, 84% menderita maloklusi, 56% diantaranya membutuhkan perawatan maloklusi. Murid-murid SMA Kristen Immanuel Medan yang membutuhkan (need) perawatan maloklusi lebih banyak pada laki-laki 54% daripada murid perempuan 46%, tetapi jika dilihat dari keinginan (demand) akan perawatan maloklusi lebih banyak pada perempuan 64,29% daripada laki-laki 35,71%. Hal ini menunjukkan bahwa murid perempuan lebih mementingkan faktor estetis dan penampilan. Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang merasa susunan giginya tidak rapi 75% lebih banyak daripada yang merasa giginya rapi. Dari murid-murid yang susunan giginya tidak rapi, terdapat kelainan posisi gigi berjejal yang paling banyak yaitu 41,33%, dan yang paling sedikit adalah posisi gigi terlalu keluar yaitu 18,67 %. Akibat kelainan posisi gigi yang dialami yaitu merasa malu 53,34% lebih tinggi dari sukar mengucap 24% dan bau mulut 22,66%.
Murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang tidak ingin melakukan perawatan maloklusi 62,67% lebih banyak daripada yang ingin melakukan perawatan maloklusi 37,33%. Alasan mereka tidak ingin melakukan perawatan maoklusi karena mereka takut ke dokter gigi. Mereka menganggap dokter gigi adalah sosok yang menakutkan dan adanya rasa trauma bagi yang pernah
(4)
berkunjung sebelumnya. Alasan lain yaitu malu memakai pesawat ortodonti 19%, sukar makan akibat pesawat ortodonti 19 %.
6.2. Saran
Melihat rendahnya persentase keinginan melakukan perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan yang mengalami maloklusi dan butuh perawatan maloklusi, maka seharusnya dilakukan usaha untuk mengenalkan perawatan maloklusi pada murid-murid SMA Perguruan Kristen Immanuel Medan. Adanya kunjungan berkala 6 bulan sekali ke dokter gigi sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar angka terjadinya maloklusi berkurang. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada populasi lebih besar untuk memperoleh tingkat validitas yang lebih tinggi.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
1. Suryanegara RJ. Memperbaiki dan memperindah posisi gigi anak. Jakarta: Trubus Agriwidya, 2000: 1-2.
2. Juanita SV. Kolom preview pasFM healthcare: Gigi indah, sehat, terawat dengan kawat. Sinar Harapan, 2003.
3. Dewanto H. Aspek-aspek epidemiologi maloklusi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993: 112,132, 159-96.
4. Kaimenyi JT. Oral health in Kenya. Int Dent J, 2004, 54: 381.
5. Dewi O. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU kota Medan tahun 2007. Tesis.Medan:Sekolah Pasca Sarjana USU,2008.
6. Natamiharja L. Maloklusi pada remaja usia 12 sampai 17 tahun di Medan. JKG UI,1999;6(2):26-30
7. Fitri E.Penelitian pengetahuan, sikap, perilaku dan kebutuhan perawatan maloklusi pada murid-murid SMPN 1 dan SMUN 1 Medan. Skripsi.2008.
8. WHO. Oral health survey: basic method. 4th Ed. Geneva. 1997.
9. Ramola E. faktor-faktor yang berhubungan dengan Need dan Demand kesehatan gigi siswa kelas VI SD dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan gigi di wilayah kerja puskesmas kotamatsum tahun 2005.
10. Natamiharja L. Situmorang N. Pendidikan kesehatan masyarakat (Bahan ajar). Ilmu kesehatan gigi masyarakat FKG USU.
(6)
11. Harris NO, Christen AG. Primary preventive dentistry. 2nd ed; California:Appleton & Lange,1987:1-2.
12. Alamsyah R M, Tamba E H F, Natamiharja L. Kebutuhan dan pemakaian pesawat ortodonti pada siswa/i empat SMA di Medan. Dentika dent J, 2006 :11(1);9-15