Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan

(1)

MEDIASI DI PENGADILAN PASCA KELUARNYA

PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR

MEDIASI DI PENGADILAN

TESIS

O l e h

NURHILMIYAH 087005121/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2 0 1 0


(2)

NASKAH PUBLIKASI

MEDIASI DI PENGADILAN PASCA KELUARNYA

PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR

MEDIASI DI PENGADILAN

TESIS

O l e h

NURHILMIYAH 087005121/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2 0 1 0


(3)

MEDIASI DI PENGADILAN PASCA KELUARNYA

PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR

MEDIASI DI PENGADILAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

O l e h

NURHILMIYAH 087005121/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2 0 1 0


(4)

Judul Tesis :

MEDIASI DI PENGADILAN PASCA KELUARNYA

PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN

Nama Mahasiswa : Nurhilmiyah Nomor Pokok : 087005121 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum.) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH.) (Prof. Dr. Sunarmi, SH., M. Hum.)


(5)

Telah diuji pada

Tanggal 02 Agustus 2010

=============================================================

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M. Hum. 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M. Hum.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH.


(6)

ABSTRAK

Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan pernyataan umum dan sulit dihilangkan. Oleh karena birokrasi sistem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa. Sehingga penumpukan perkara di pengadilan terus menerus terjadi. PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan belum cukup mencapai tujuan yang diinginkan oleh pembuat peraturan. Untuk itu keluarlah PERMA terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dalam PERMA tersebut tercantum ketentuan Pasal 2 yang secara tegas mewajibkan setiap perkara perdata melewati proses mediasi di pengadilan apabila tidak melalui proses mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum.

Judul penelitian ini yaitu Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Kerangka teori diarahkan untuk memberikan landasan bagi analisis dan pembahasan permasalahan. Penelitian ini menggunakan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman sebagai pisau analisis. Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu: Structure, Substance, dan Culture.

Mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan berdasarkan data yang telah dihimpun, seoptimal mungkin diupayakan berjalan sesuai ketentuan, namun hasilnya sangat tergantung kepada para pihak itu sendiri. Perkara yang berhasil mencapai perdamaian melalui mediasi di pengadilan masih sangat minim karena sebagian besar dilanjutkan ke proses sidang berikutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi di pengadilan bisa dilihat dari faktor struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Kriteria keberhasilan suatu proses mediasi belum dijabarkan secara rinci dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, sehingga mediator dalam menjalankan fungsinya tidak memiliki suatu pedoman yang jelas.

Mediasi seharusnya dilaksanakan dengan penuh kesukarelaan, tanpa adanya paksaan, karena bagaimanapun juga jika para pihak sudah membawa persoalannya ke pengadilan berarti menandakan perkaranya sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara damai. Minimnya ketersediaan data laporan perkara perdata yang diproses melalui mediasi berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2008. Hal ini menyulitkan untuk melihat jumlah perkara perdata dalam frekuensi waktu tertentu di suatu pengadilan. Padahal dari Mahkamah Agung telah menyediakan format yang sangat jelas untuk ditindaklanjuti. Diharapkan kedepannya agar lebih mudah mengakses informasi di Mahkamah Agung untuk dapat mengikuti pelatihan sertifikasi mediator khususnya mediator dari kalangan nonhakim.


(7)

ABSTRACT

The criticism of the slow process of solving a dispute through litigation is a public statement and is hard to eliminate because the bureaucratic system of the court of law itself is very potential to slow down the dispute solving process that the cases filed in the court of law keep being accumulated. The Regulation of Supreme Court No.2/2003 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law has not adequately met the objectives expected by the regulation maker. For that purpose, the latest Regulation of Supreme Court, Regulation No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law was issued whose Article 2 clearly obligates that any civil case must go through the process of mediation in court otherwise the case is cancelled for the sake of law.

The title of this normative legal study is Court Connected Mediation of Law after the Issuance of Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law. The theoretical framework of this study was intended to provide a base to analyze and discuss the research problem. The analysis of the study was based on the Theory of Legal System developed by Lawrence M. Friedman stating that there are three elements needed to be paid attention to in the legal system such as Structure, Substance, and Culture.

Based on the data obtained, Court Connected Mediation of Law After the Issuance of Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law has been planned to be implemented as optimal as possible according to its existing stipulation, but whether or not its objective can be met depends a lot on the parties involved. The number of cases which can be peacefully solved through the court connected mediation is very minimal because most the cases were processed and preceded to the next trials. The factors influencing the implementation of court connected mediation can be seen from the factors of legal structure, legal substance, and legal culture. The criteria of success in one process of mediation have not been clarified in details in the Regulation of Supreme Court No.1/2008, that the mediator does not have a clear guidance in implementing his job.

Mediation should be implemented voluntarily, without any pressure on doing it, because, however, if the parties involved have brought the cases to the court, it indicates that their cases cannot be peacefully solved. The less provision of the reported data about the civil cases which have been process through mediation based


(8)

on Regulation of Supreme Court No.1/2008 has made it difficult to know the number of civil cases in a certain frequency in a court of law although the Supreme Court has provided a clear format to follow up. It is expected that in the future it will be easier to access information in the Supreme Court in order to be able to follow the mediator certification training especially for the non-judge mediators.

Key words: Case Accumulation, Court Connected Mediation, Regulation of Supreme Court Number 1/2008


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur senantiasa terucap ke hadirat Allah SWT atas

segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat berangkaikan salam kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Adapun topik penelitian tesis ini mengenai Mediasi di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tesis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bimbingan, saran dan arahan yang diberikan oleh para dosen pembimbing dan penguji sejak pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sehingga menjadi mahasiswa pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera sekaligus selaku Ketua Komisi Pembimbing, atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan di Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Demikian juga atas bimbingan dan arahan yang diberikan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini.


(10)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingannya sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum sekaligus selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan masukan dan arahan kepada penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., dan Bapak Prof. Budiman Ginting, SH., M. Hum. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya untuk perbaikan tesis ini.

6. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Zainuddin, M. Pd., selaku Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Sumut-Aceh atas izin belajarnya sehingga penulis bisa mengikuti studi ini dengan baik.

8. Bapak Prof. Dr. Darma Bakti Nasution, SH., MS., selaku Rektor Universitas Asahan tempat penulis bertugas sebagai Staf Pengajar, atas dukungannya baik moril maupun materil sehingga studi ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. 9. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Drs. H. Abdul Halim Ibrahim, SH., MH., dan


(11)

ini penulis selalu bersemangat mengerjakan segala sesuatu seoptimal mungkin. Tanpa doa mereka penulis tak dapat meraih apapun jua.

10.Suami tercinta, Fadli Azhari, ST. yang harus rela menjalani long distance marriage dan anak-anak tersayang, Nafila Zahra (4,5 thn) dan Faqih Ahmad Royyan (2,5 thn) yang telah mengikhlaskan sebagian waktu untuk mereka “dicuri“ demi penyelesaian studi umminya.

11.Adik-adik penulis, Hilmansyah Halim, ST., Fadhilah Halim, SHI., Maulida Ulfa., S.Pd., dan Rizqiana Halim, terima kasih atas support-nya.

12.Tak lupa kepada sahabat seperjuangan dan kerabat yang tak dapat disebutkan satu persatu, yang telah mendukung dan mendoakan penulis.

Harapan penulis agar tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang terkait, namun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam tulisan ini. Untuk itu dimohon saran dan masukan dari peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai mediasi di pengadilan.

Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi karunia dan kekuatan lahir dan batin kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hormat penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nurhilmiyah

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Balai, 14 Nopember 1981 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Tangguk Bongkar No. 14 Medan 20226 Pekerjaan : Dosen Kopertis Wilayah I Sumut-Aceh

dpk pada Fakultas Hukum Universitas Asahan (UNA)

PENDIDIKAN FORMAL

1. SDN 106789 Medan dari tahun 1987 sampai tahun 1993

2. SMP Swasta Supriyadi Medan dari tahun 1993 sampai tahun 1996

3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan dari tahun 1996 sampai tahun 1999 4. Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dari tahun

1999 sampai dengan tahun 2003

5. Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dari tahun 2008 sampai tahun 2010


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... . iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

A. Latar Belakang ... 1

B. Ketentuan yang Mengatur Mediasi di Pengadilan ... 8

C. Mediasi di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 ... 19

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan... 21

E. Kesimpulan ... 23


(14)

DAFTAR TABEL   

 

No          Judul          Halaman 

    

1    Perbedaan PERMA No. 2 Tahun 2003 dengan    

    PERMA No. 1 Tahun 2008 ...  49   

2    Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 ...  51   

3    Laporan Perkara Perdata Tahun 2009 di Pengadilan 

      Negeri Medan ...  60   

4 Data keadaan Jenis Perkara Perdata Gugatan pada 

Pengadilan Negeri Binjai 05 Jan s.d. 31 Des 2009 ...  69   

5 Data keadaan Jenis Perkara Perdata Gugatan pada 

Pengadilan Negeri Kisaran 05 Jan s.d. 31 Des 2009 ...  79   

 

     


(15)

DAFTAR GAMBAR   

   

No          Judul          Halaman 

    

1    Statistik Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Medan...     61   

 

                           


(16)

DAFTAR LAMPIRAN   

   

No          Judul           

   

1    PERMA No. 1 Tahun 2008  

2    Pedoman wawancara 

3    Laporan Perkara Perdata Tahun 2009 di Pengadilan Negeri Medan  

4  Data keadaan Jenis Perkara Perdata Gugatan pada Pengadilan Negeri Binjai  05 Jan s.d. 31 Des 2009  

5 Data keadaan Jenis Perkara Perdata Gugatan pada Pengadilan Negeri Kisaran 

05 Jan s.d. 31 Des 2009  

6 Akta Perdamaian dalam perkara perdata No. 371/Pdt.G/2009/PN MDN 

7 Akta Perdamaian dalam perkara perdata No. 21/Pdt.G/2009/PN BJ 

8 Akta Perdamaian dalam perkara perdata No. 02/Pdt.G/2010/PN KIS 

9 Blanko Penetapan Penunjukan Mediator 

10 Blanko Kesepakatan Perdamaian/Mediasi 

11 Blanko Pernyataan Mediasi Gagal 

12 Blanko Laporan Proses Mediasi  

13 Blanko Laporan Perkara Perdata yang diproses melalui mediasi (PERMA No. 1 

Tahun 2008) 

14 Surat Izin Penelitian ke Pengadilan Negeri Medan 

15 Surat Izin Penelitian ke Pengadilan Negeri Binjai 

16 Surat Izin Penelitian ke Pengadilan Negeri Kisaran 

17 Surat Keterangan Melakukan Penelitian Dari PN Medan 

18 Surat Keterangan Melakukan Penelitian Dari PN Binjai 

19 Surat Keterangan Melakukan Penelitian Dari PN Kisaran 


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... . i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsional ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Tipe atau Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 22

3. Lokasi Penelitian ... 23

4. Teknik Pengumpulan Data ... 23

5. Analisis Data ... 24

BAB II : KETENTUAN MENGENAI MEDIASI DI PENGADILAN ... 26

A. Pengembangan Mediasi Di Pengadilan ... 26

... 1. Sejarah Mediasi Di Indonesia ... 26

2. Komparasi Mediasi Di Beberapa Negara ... 36

3. Pengertian Mediasi ... 40

4. Dasar Hukum Mediasi Di Pengadilan ... 45

1) SEMA No. 1 Tahun 2002 ... 45

2) PERMA No. 2 Tahun 2003 ... 46


(18)

BAB III : MEDIASI DI PENGADILAN PASCA KELUARNYA PERMA

NO. 1 TAHUN 2008 ... 60

A. Deskripsi Perkara Perdata Yang Dimediasi ... 60

1. Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Medan ... 60

2. Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Binjai ... 69

3. Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Kisaran ... 78

B. Pihak Yang Meminta Mediasi ... 88

C. Mediator Yang Menangani Perkara ... 89

BAB IV : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN ... 95

A. Faktor Struktur Hukum ... 95

B. Faktor Substansi Hukum ... 102

C. Faktor Budaya Hukum ... 104

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113  


(19)

ABSTRAK

Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan pernyataan umum dan sulit dihilangkan. Oleh karena birokrasi sistem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa. Sehingga penumpukan perkara di pengadilan terus menerus terjadi. PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan belum cukup mencapai tujuan yang diinginkan oleh pembuat peraturan. Untuk itu keluarlah PERMA terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dalam PERMA tersebut tercantum ketentuan Pasal 2 yang secara tegas mewajibkan setiap perkara perdata melewati proses mediasi di pengadilan apabila tidak melalui proses mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum.

Judul penelitian ini yaitu Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Kerangka teori diarahkan untuk memberikan landasan bagi analisis dan pembahasan permasalahan. Penelitian ini menggunakan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman sebagai pisau analisis. Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu: Structure, Substance, dan Culture.

Mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan berdasarkan data yang telah dihimpun, seoptimal mungkin diupayakan berjalan sesuai ketentuan, namun hasilnya sangat tergantung kepada para pihak itu sendiri. Perkara yang berhasil mencapai perdamaian melalui mediasi di pengadilan masih sangat minim karena sebagian besar dilanjutkan ke proses sidang berikutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi di pengadilan bisa dilihat dari faktor struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Kriteria keberhasilan suatu proses mediasi belum dijabarkan secara rinci dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, sehingga mediator dalam menjalankan fungsinya tidak memiliki suatu pedoman yang jelas.

Mediasi seharusnya dilaksanakan dengan penuh kesukarelaan, tanpa adanya paksaan, karena bagaimanapun juga jika para pihak sudah membawa persoalannya ke pengadilan berarti menandakan perkaranya sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara damai. Minimnya ketersediaan data laporan perkara perdata yang diproses melalui mediasi berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2008. Hal ini menyulitkan untuk melihat jumlah perkara perdata dalam frekuensi waktu tertentu di suatu pengadilan. Padahal dari Mahkamah Agung telah menyediakan format yang sangat jelas untuk ditindaklanjuti. Diharapkan kedepannya agar lebih mudah mengakses informasi di Mahkamah Agung untuk dapat mengikuti pelatihan sertifikasi mediator khususnya mediator dari kalangan nonhakim.


(20)

ABSTRACT

The criticism of the slow process of solving a dispute through litigation is a public statement and is hard to eliminate because the bureaucratic system of the court of law itself is very potential to slow down the dispute solving process that the cases filed in the court of law keep being accumulated. The Regulation of Supreme Court No.2/2003 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law has not adequately met the objectives expected by the regulation maker. For that purpose, the latest Regulation of Supreme Court, Regulation No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law was issued whose Article 2 clearly obligates that any civil case must go through the process of mediation in court otherwise the case is cancelled for the sake of law.

The title of this normative legal study is Court Connected Mediation of Law after the Issuance of Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law. The theoretical framework of this study was intended to provide a base to analyze and discuss the research problem. The analysis of the study was based on the Theory of Legal System developed by Lawrence M. Friedman stating that there are three elements needed to be paid attention to in the legal system such as Structure, Substance, and Culture.

Based on the data obtained, Court Connected Mediation of Law After the Issuance of Regulation of Supreme Court No.1/2008 on the Procedure of Court Connected Mediation of Law has been planned to be implemented as optimal as possible according to its existing stipulation, but whether or not its objective can be met depends a lot on the parties involved. The number of cases which can be peacefully solved through the court connected mediation is very minimal because most the cases were processed and preceded to the next trials. The factors influencing the implementation of court connected mediation can be seen from the factors of legal structure, legal substance, and legal culture. The criteria of success in one process of mediation have not been clarified in details in the Regulation of Supreme Court No.1/2008, that the mediator does not have a clear guidance in implementing his job.

Mediation should be implemented voluntarily, without any pressure on doing it, because, however, if the parties involved have brought the cases to the court, it indicates that their cases cannot be peacefully solved. The less provision of the reported data about the civil cases which have been process through mediation based


(21)

on Regulation of Supreme Court No.1/2008 has made it difficult to know the number of civil cases in a certain frequency in a court of law although the Supreme Court has provided a clear format to follow up. It is expected that in the future it will be easier to access information in the Supreme Court in order to be able to follow the mediator certification training especially for the non-judge mediators.

Key words: Case Accumulation, Court Connected Mediation, Regulation of Supreme Court Number 1/2008


(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sudah menjadi rahasia umum, penumpukan perkara di lembaga peradilan masih terus terjadi. Hal ini karena semua perkara masuk ke pengadilan, sementara tekad untuk menyelesaikan perkara secara win-win solution belum membudaya.1

Jalur perdata khususnya di Indonesia, kurang disenangi orang karena berlarut-larutnya proses perdata di pengadilan. Hampir semua kasus perdata akhirnya diajukan pula ke pengadilan yang tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya para pihak yang kalah. Bahkan ada kecenderungan orang sengaja mengulur waktu dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan walaupun kurang beralasan dilanjutkan pula ke Peninjauan Kembali.2

Kritik atas lambatnya penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan pernyataan umum dan sulit dihilangkan. Oleh karena birokrasi dan formalistik dari sistem peradilan itu sendiri memang sangat potensial memperlambat penyelesaian sengketa. Keadaannya diperburuk lagi oleh sikap irrasional yang telah merasuki masyarakat pencari keadilan, menyebabkan segala upaya hukum yang dibenarkan Undang-Undang dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan lagi apakah putusan yang dijatuhkan itu benar dan adil. Sementara itu di dalam hukum acara perdata yang masih

       1

Yoshiro Kusano, Wakai Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Grafindo, 2008), hlm.7.

2


(23)

berlaku saat ini, tidak ada mengatur tentang pembatasan penggunaan upaya hukum tersebut. 3

Akibat dari penumpukan perkara antara lain menambah waktu penyelesaian sengketa dan menambah biaya perkara. Penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia adalah penyelesaian sangat lambat atau buang waktu (waste of time), hal itu terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaannya sangat formalistis (very formalistic), juga sangat teknis (very technical), sedangkan pada sisi lain, arus perkara semakin deras baik secara kuantitas dan kualitas, sehingga terjadi beban yang berlebihan (overloaded).4

Selain itu, umumnya kemampuan dan pengetahuan para hakim menghadapi berbagai kasus hanya bersifat generalis. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa yang menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Mungkin juga tidak memahami sama sekali masalah asuransi, perkapalan dan perdagangan internasional, dan sebagainya.5

Memperhatikan para hakim yang hanya mempunyai kualitas dan kemampuan generalis, sangat diragukan kemampuan dan kecakapan mereka menyelesaikan

       3

Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi, Disertasi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, (Medan: USU, 2002), hlm. 53-54.

4

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 233. 5


(24)

sengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.6

Hukum Acara Perdata Indonesia yaitu HIR dalam Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi. Pasal 130 ayat (1) jo. Pasal 131 ayat (1) HIR, berbunyi sebagai berikut: Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.7

Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.8

Untuk memberdayakan pasal tersebut pada tahun 2002 telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR). SEMA ini sama sekali tidak berlaku secara efektif karena hanya memberikan peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak memiliki

       6

Ibid. 7

R. Soesilo, RBG/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1985), hlm. 88. 8

Ibid. hal. 187. Lihat juga dalam K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm 15.


(25)

kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian.9

Belum lengkapnya SEMA No. 1 Tahun 2002 ditegaskan dalam konsiderans PERMA No. 2 Tahun 2003 huruf d yang berbunyi sebagai berikut: “Bahwa Surat Edaran No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan."10

Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, untuk membatasi perkara kasasi secara substantif dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi. Belakangan Mahkamah Agung menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum mendamaikan para pihak.11

Mahkamah Agung dalam pertimbangannya pada PERMA No. 2 Tahun 2003 telah cukup tegas menyatakan bahwa SEMA No. 1 Tahun 2002 tidak berdaya dan tidak efektif dalam mencapai tujuan mengatasi penumpukan perkara.

SEMA itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi,       

9

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 242. 10

Konsiderans PERMA No. 2 Tahun 2003 huruf d 11


(26)

serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya sejak berlakunya SEMA tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara. Tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.12

Keberadaan SEMA tersebut dapatlah dikatakan merupakan wujud dari upaya positif dari Mahkamah Agung dalam mengurangi derasnya laju perkara di pengadilan yang pada akhirnya menyebabkan penumpukan perkara.

Setahun lebih kemudian Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Namun keberadaan Perma ini tampaknya tidak juga mengurangi bertumpuknya perkara di pengadilan sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Banyaknya perkara kasasi maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung disebabkan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung.

Perlunya dicarikan penyelesaian yang lebih mendasar yaitu mengurangi lajunya perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung atau dengan membatasi perkara-perkara yang tidak perlu sampai ke Mahkamah Agung, antara lain dengan sedapat mungkin menyelesaikan perkara di pengadilan tingkat pertama atau tingkat

       12


(27)

banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan.13

Salah satu alternatif dari penyelesaian sengketa adalah mediasi. Lembaga mediasi bukanlah suatu lembaga litigasi oleh karena itu pada mulanya Lembaga Mediasi berada di luar pengadilan. Sebenarnya masyarakat di Indonesia telah lama mengenal dan menerapkan penyelesaian sengketa secara damai. Mediasi bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia yang latar belakang budayanya berasaskan musyawarah mufakat.

Mengapa harus mediasi yang dikembangkan di Indonesia? Sekurang-kurangnya ada dua alasan yang melandasi pemikiran dalam memilih mediasi sebagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang tepat untuk dikembangkan di Indonesia. Pertama, dalam masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat konsensus, cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga netral (mediasi) ini mempunyai basis sosial yang kuat, baik di pedesaan (rural community) maupun perkotaan (urban community). Hasil studi perkembangan hukum di Indonesia menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa alternatif telah digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka.14

Setiap lembaga sampai keluarga mempunyai kebiasaan (habits) dan kebutuhan membuat aturan, begitu juga ada kebutuhan umum untuk mencari cara dan sarana guna       

13

H. Soeharto, “Mediasi dan Perdamaian”, Mahkamah Agung RI, 2002, hlm. 12. 14

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, (Medan: USU, 2006), hlm. 5


(28)

menegakkan aturan itu, jika tidak, aturan itu tidak akan berarti sama sekali. Oleh karenanya tidaklah mengejutkan bahwa arbitrase dan proses semacamnya (termasuk mediasi) begitu meresap dalam masyarakat.15

Muncul kebutuhan terhadap bagaimana menyelesaikan sengketa yang tidak dapat dipenuhi oleh pengadilan biasa, atau dapat dipenuhi dengan harga yang terlalu mahal. Bisa diumpamakan pengadilan formal bagaikan restoran mewah di tengah-tengah masyarakat yang juga membutuhkan pizza dan hamburger untuk makanan murah, cepat saji.16

PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan belum cukup mencapai tujuan yang diinginkan oleh pembuat peraturan. Sehingga diperlukan peraturan yang lebih lengkap. Belum cukupnya PERMA tersebut mengatasi penumpukan perkara, berdasarkan penelitian sebelumnya, Bahwa sistematika dan materi dari PERMA No. 2 Tahun 2003 banyak yang tidak jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan menyulitkan penerapannya.

Untuk itu keluarlah PERMA terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dalam PERMA tersebut tercantum ketentuan Pasal 2 yang secara tegas mengharuskan setiap perkara perdata melewati proses mediasi di pengadilan apabila tidak melalui proses mediasi maka perkara tersebut batal demi hukum. Sebagaimana tercantum sebagai berikut “Tidak menempuh prosedur mediasi

       15

Lawrence Friedman, American Law An Introduction 2nd Edition, Penerjemah: Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm. 32.

16 Ibid.


(29)

berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.”17

Dimasukkannya redaksional pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat memaksa (compulsory)18 PERMA No. 1 tahun 2008 membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Misalnya, memungkinkan para pihak menempuh mediasi pada tingkat banding atau kasasi. Perubahan-perubahan itu penting dipahami oleh para hakim, penasihat hukum, advokat, pencari keadilan dan mereka yang berkecimpung sebagai mediator atau arbiter.19

Timbulnya pertanyaan apakah bobot pengabaian tahap proses mendamaikan sedemikian rupa beratnya, sehingga berakibat pemeriksaan batal demi hukum? Pada dasarnya tahap proses mendamaikan dianggap sangat prinsipil. Alasannya sekiranya tidak prinsipil, tidak perlu diatur dalam pasal khusus.20

Persoalan ini sangat menarik untuk diteliti agar mengetahui sejauhmana pelaksanaan mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang bersifat memaksa para hakim untuk lebih menyelesaikan perkara dengan mediasi dibandingkan dengan memutus perkara melalui proses litigasi biasa.

       17

Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008. 18

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 242.

19

Toni Budidjaya, “Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum”,

http://www.cicods.org/upload/database/mediasi_database.pdf, diakses 28 Juni 2009

20


(30)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ketentuan yang mengatur tentang mediasi di pengadilan?

2. Bagaimanakah mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi di pengadilan? C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang masalah mediasi yang diterapkan di dalam penyelesaian perkara perdata pada pengadilan tingkat pertama serta untuk mendapatkan perumusan yang lebih rinci seperti:

a. Mengetahui dan memahami ketentuan yang mengatur tentang mediasi di pengadilan

b. Mengetahui secara rinci mengenai mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

c. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi di pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini dihubungkan dengan peraturan yang ada dan diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu penelitian ini bermanfaat untuk:


(31)

a. Sudut pandang teoritisi, penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan dan paradigma berpikir dalam memahami dan mendalami isu hukum khususnya mengenai mediasi di pengadilan. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya kepustakaan tentang penyelesaian sengketa perdata dengan prosedur mediasi yang diintegrasikan melalui jalur litigasi.

b. Sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran berupa sumber bahan hukum bagi legislator dan aparat penegak hukum, khususnya yang berhubungan langsung dengan persidangan di pengadilan yaitu hakim dan advokat.

E. Keaslian Penelitian

Pemeriksaan yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, tentang “Mediasi Di Pengadilan Pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan”, sepanjang pengetahuan penulis belum ada ditemukan judul penelitian yang sama persis dengan judul tesis ini.

Namun mengenai mediasi di pengadilan dan mediasi di luar pengadilan, telah ada ditemukan berdasarkan PERMA terdahulu yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003. Beberapa tesis karya mahasiswa sebelumnya mengangkat masalah mediasi dan bidang kajiannya sangat jauh berbeda yaitu:


(32)

1. Maurid Sinaga, NIM: 037005007/Hukum Ekonomi, Penyelesaian Sengketa

Melalui Mediasi (Studi tentang PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi)

2. Fira Dinda Tantri Hamzah, NIM: 047011025/M.Kn, Peranan Mediasi Dalam

Penyelesaian Sengketa Tanah Di Luar Pengadilan Dengan Jalan Pemberian Good Will (Studi Kasus Penyelesaian Sengketa Tanah Antara PT. Victor Jaya Raya Dengan Masyarakat Kelurahan Mangga dan Kuala Bekala)

3. Ahmad Suhada, NIM: 057005002/HK, Aspek-aspek Hukum Penyelesaian

Sengketa Bisnis Internasional Melalui Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

4. Sermon Samosir, NIM: 077005058/HK, Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Melalui Mediasi Antara Masyarakat dengan Pihak Perkebunan Di Serdang Bedagai

5. Aswin Tampubolon, NIM: 087005001/HK, Mediasi Sebagai Alternatif

Penyelesaian Sengketa Di Bidang Pertanahan Di Kota Medan

Dari kesemua tesis di atas hanya 1 (satu) yang berkaitan dengan judul penelitian yang dilakukan yaitu tesis atas nama Maurid Sinaga, NIM: 037005007/Hukum Ekonomi, Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi (Studi tentang

PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi)

Permasalahannya:

1. Bagaimanakah mengembangkan Pasal 130 HIR/154 Rbg dengan memberlakukan Lembaga Mediasi di Pengadilan (Court Annexed Mediation).


(33)

2. Bagaimanakah konsep negara lain dalam melakukan mediasi atau Alternative

Dispute Resolution.

3. Bagaimanakah penerapan PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan hambatan-hambatannya.

Temuannya:

Bahwa sistematika dan materi dari PERMA No. 2 Tahun 2003 banyak yang tidak jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan menyulitkan penerapannya. Bilamana PERMA tersebut diganti dengan PERMA yang baru dan berhasil dilaksanakan maka hendaklah Pasal 130 HIR/154 Rbg dihapuskan dari hukum acara perdata, namun untuk sementara biarlah ketentuan tersebut tetap menjadi bagian dari process orde. Apabila pelaksanaan mediasi tidak berhasil maka budaya damai dalam berperkara perlu diubah ke arah litigasi langsung untuk memperpendek mata rantai menuju akses keadilan bagi justisiabelen.

Dilihat dari titik permasalahan dan lokasi penelitian dari penelitian diatas terdapat adanya perbedaan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Lokasi penelitian yang diteliti oleh penulis berbeda dengan peneliti sebelumnya maka dapatlah dikatakan bahwa penelitian ini asli dan jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka.

Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka baik di sidang yang bersifat ilmiah maupun di hadapan masyarakat pada umumnya. Berbagai saran dan masukan yang konstruktif sehubungan dengan


(34)

pendekatan dan perumusan masalah ini sangat diharapkan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sehubungan dengan judul usulan penelitian ini yang berkaitan dengan Mediasi Di Pengadilan Pasca Keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, maka kerangka teori yang digunakan juga diarahkan untuk memberikan landasan bagi analisis dan pembahasan permasalahan. Penelitian ini menggunakan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman sebagai pisau analisis.

Salah satu fungsi dari sebuah sistem hukum adalah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa.21 Konsepsi “sistem hukum” menitikberatkan telaahnya pada prosedur. Namun telaah mengenai prosedur ini tidak begitu banyak membantu apabila yang ingin diketahui tidak hanya sekadar kerangka formal hukum. Oleh karena konsepsi tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan bagaimana sesungguhnya masalah-masalah hukum itu diselesaikan oleh masyarakat.22

Menurut Lawrence M. Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu: Structure, Substance, dan Culture. Struktur dalam suatu sistem hukum, misalnya mengenai kedudukan peradilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah mengenai norma, peraturan,       

21

Lawrence Friedman, The Legal System, (Newyork: Russel Sage Foundation, 1975), hlm. 18 22


(35)

maupun Undang-Undang, tetapi lebih menarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat.23

Penegakan hukum sangat bergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:24

1. faktor hukum atau peraturan itu sendiri 2. faktor petugas yang menegakkan hukum

3. faktor sarana atau fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. 4. faktor warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan hukum, dan

5. faktor kebudayaan atau legal culture.

Ada dua jenis mediasi yaitu mediasi di luar pengadilan yang termasuk

Alternative Dispute Resolution (ADR) dan mediasi di dalam pengadilan (court connected mediation)25. Dalam sistem penyelesaian sengketa perdata terdapat tahapan penyelesaian sengketa melalui ruang nonlitigasi (di luar peradilan) sebelum sengketa

       23

Lawrence Friedman, Op. Cit. hlm. 9. 24

Satjipto Rahardjo, Wajah Hukum Di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Satjipto Rahardjo (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 104.

25

Sistem ini sama dengan court connected mediation yang dikembangkan di beberapa negara, seperti di Amerika, Australia, dan sebagainya. M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 243.


(36)

tersebut diproses di peradilan, penyelesaian nonlitigasi tersebut dibagi dua yaitu Arbitrase dan Alternative Dispute Resolution (ADR).26

Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas “sederhana, cepat dan biaya ringan” merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas-asas lainnya yang terdapat dalam UU No.4 Tahun 2004.27

Salah satu yang menjadi pertanyaan adalah berhubungan dengan asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Banyak pertanyaan dari para praktisi hukum, apakah pelaksanaan mediasi nantinya dalam setiap perkara perdata yang masuk ke pengadilan tidak akan mengganggu asas peradilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.28

Asas tersebut di atas sejalan dengan upaya diterbitkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Dalam huruf (a) konsideransnya disebutkan bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

       26

Adhitya Johan Rahmadan, “Negoisasi dan Mediasi”,

http://pedulihukum.blogspot.com/2009/02/negoisasi-dan-mediasi.html, diakses 28 Juni 2009.

27

Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 36.

28

Siddiki, “Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan”, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/mediasi%20pengadilan%20dan%20asas%20peradilan.pdf, diakses 28 Juni 2009


(37)

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. ‘Berada di tengah’ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.29

Menurut Garry Goodpaster, mediasi merupakan salah satu bentuk Alternative

Dispute Resolution (ADR) yang ditangani oleh pihak ke-3 yang bersifat netral,

imparsial, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa.30

Mediation, Private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The Mediator has no power to impose decision on the parties.31

Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam suatu perselisihan sebagai penasihat.32 Defenisi mediasi menurut Pasal 1 angka 7 PERMA No. 1 Tahun 2008, Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

       29

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 1-2.

30

Garry Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 Arbitrase di Indonesia dalam Felix O. Soebagjo, ed. Cetakan I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 11.

31

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Contennial Edition (1891-1991) Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1991), hlm. 981.

32

Tim Penyusun Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 96.


(38)

Terkait dengan PERMA tersebut di atas, menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dari pengertian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi.33

Jika demikian, pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Produk yang merupakan

beschikking/decree yaitu suatu keputusan yang diterbitkan oleh pejabat administrasi

yang bersifat konkret dan khusus, misalnya Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Bupati, Keputusan suatu badan tertentu, dan lain-lain, tidak dapat digunakan dalam pendekatan perundang-undangan.34

Penelitian ini ingin mencarikan jawaban mengenai mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008. Sebagaimana diketahui bahwa PERMA diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai suatu badan tertentu. MA menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para hakim di pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang berperkara.35

       33

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 97 34

Ibid. 35


(39)

Selanjutnya, Pasal 7 (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menetapkan Jenis dan Hierarki Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut ketentuan tersebut, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah36

Menurut Peter Mahmud Marzuki, ayat (4) dari Pasal 7 Undang-Undang itu menyebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud Ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. .37

Untuk mengetahui apa yang disebut sebagai “Jenis Peraturan perundang-undangan” selain yang ditentukan oleh Pasal 7 (1), perlu dirujuk Penjelasan Pasal 7 (4) UU No. 10 Tahun 2004. Bunyi penjelasan tersebut sebagai berikut:

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

       36

Ibid. 37


(40)

Apabila dilihat sekilas bunyi penjelasan tersebut dan dikaitkan dengan Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004, seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan organ negara lainnya secara hierarkis berada di bawah Peraturan Daerah. Akan tetapi apabila dicermati bunyi ketentuan Pasal 7 (4) akan terlihat bahwa peraturan yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal itu bergantung kepada diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang mana.38

Hukum acara yang kodratnya selalu mengabdi kepada hukum materil, seharusnya mengikuti sifat, perkembangan, keunikan, dan keanekaragaman hukum materil untuk menjaga keseimbangan keadilan hukum yang dipikul oleh SEMA dan PERMA. Dalam konteks ini keberadaan kedua lembaga tersebut pada praktik hukum acara perdata di Indonesia memiliki peran yang urgen bagi hakim di seluruh Indonesia sebagai pembaruan pedoman untuk menjalankan tugas pokok peradilan.39

2. Konsepsional

Konsepsional adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis:40“Bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptualisasi dari bacaan dan tinjauan pustaka.”

       38

Ibid. 39

Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Ke Arah Pembaruan Hukum Acara Perdata Dalam SEMA Dan PERMA, Cet. I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. vi.

40


(41)

Konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep dasar yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini, antara lain:

1. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.41 Mediasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mediasi di dalam pengadilan, bukan mediasi di luar pengadilan seperti yang dimaksudkan dalam ADR (Alternative Dispute Resolution).

2. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.42

3. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.43 Dalam proses mediasi digunakan istilah para pihak, bukan para pihak yang berperkara.

4. Prosedur Mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008.44

       41

PERMA No. 1 Tahun 2008 angka (7) 42

PERMA No. 1 Tahun 2008 angka (6) 43

PERMA No. 1 Tahun 2008 angka (8) 44


(42)

5. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.45

6. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini.46

7. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 adalah PERMA pengganti PERMA No. 2 Tahun 2003, Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, berlaku sejak tanggal 31 Juli 2008. Dengan terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2008 maka PERMA No.2 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku lagi.

8. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan pengadilan agama.47

G. Metode Penelitian

6. Tipe atau Jenis Penelitian

Tipe atau jenis penelitian hukum yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum memiliki karakter tersendiri. Meskipun bersifat       

45

PERMA No. 1 Tahun 2008 angka (2) 46

PERMA No. 1 Tahun 2008 angka (5) 47


(43)

eksplanatoris, penelitian hukum bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai gejala hukum tertentu.48

7. Sumber Data

Menurut Soerjono Soekanto49, dalam penelitian hukum dikenal data primer dan data sekunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka yang menurut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam:

1. Bahan hukum primer terdiri dari bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dan Peraturan Organ Lainnya seperti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

2. Bahan hukum Sekunder terdiri dari bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, pendapat para sarjana, contoh perkara yang berhasil dimediasi di pengadilan, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan pembahasan tentang mediasi di pengadilan.

3. Bahan hukum tersier terdiri dari bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

       48

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 34-35. 49

Diparafrasekan dari Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 51.


(44)

8. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Binjai dan Pengadilan Negeri Kisaran. Adanya lokasi penelitian untuk melengkapi data-data yang diperlukan dalam penelitian yang dilakukan.

9. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumen dan wawancara.50 Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis.51 Sebelum melakukan pencarian data ke lapangan, terlebih dahulu melaksanakan studi pustaka untuk memperoleh data sekunder yang telah lebih dahulu ada. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan cara mewawancarai informan.

Adapun informan terdiri hakim dan advokat dengan perincian sebagai berikut: 1 (satu) orang hakim dari masing-masing Pengadilan Negeri, yang menangani perkara baik yang berhasil diselesaikan melalui mediasi di pengadilan maupun yang gagal melalui mediasi di pengadilan, 1 (satu) orang advokat (kuasa hukum para pihak) dari masing-masing wilayah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 1 (satu) atau lebih para pihak yang bersengketa. Untuk memperoleh laporan tahunan didapat dari Panitera Muda Hukum masing-masing Pengadilan Negeri yang menyediakan informasi mengenai jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.

       50

Wawancara sebagai salah satu teknik dalam penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan atau data. Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indhilco, 1990), hlm. 115.

51


(45)

10.Analisis Data

Adapun data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan makalah diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Pengolahan data dan bahan hukum dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui pelaksanaan mediasi di pengadilan pasca keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2008. Sehingga dapat membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam penyusunan peraturan perundangan mediasi di pengadilan secara tepat.


(46)

BAB II

KETENTUAN MENGENAI MEDIASI DI PENGADILAN

A. Pengembangan Mediasi Di Pengadilan 1. Sejarah Mediasi Di Indonesia

Penyelesaian sengketa alternatif telah lama digunakan oleh masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka. Penyelesaian sengketa alternatif secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup di dalam masyarakat.52

Bagi masyarakat barat yang litigious minded, konsep Alternatif Dispute

Resolution (ADR) menjadi sesuatu hal yang baru. Sementara untuk masyarakat Timur

yang didasari dengan kultur yang mengedepankan keharmonisan misalnya Indonesia, pendekatan dengan ADR adalah sebuah konsep yang dianggap bagian yang telah lama ada di dalam konteks penyelesaian sengketa dan biasa diterapkan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang memosisikan pengetua adat sebagai penengah dan mengakui putusan adat sebagai penyelesaian sengketa di antara warganya.53

       52

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hlm. 247.

53

Maurid Sinaga, Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi (Studi Tentang Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi), Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, (Medan: USU, 2005), hlm. 108.


(47)

Mediasi atau ADR di Indonesia adalah merupakan culture bangsa Indonesia sendiri, baik di dalam masyarakat tradisional maupun sebagai di dalam dasar negara yaitu Pancasila, dikenal istilah musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda akan tetapi mempunyai filosofi yang sama.54

Klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “Apabila di kemudian hari terjadi suatu sengketa atau perselisihan maka akan diselesaikan dengan cara musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”.55

Paling tidak ada 4 (empat) faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan sengketa alternatif di Indonesia: pertama, sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang Penanam Modal ke Indonesia. Kedua, tuntutan masyarakat terhadap mekanisme yang efisien dan mampu memenuhi rasa keadilan.56

Ketiga, sebagai upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan secara aktif dalam proses pembangunan (terutama pengambilan keputusan terhadap urusan-urusan publik). Keempat adalah menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga peradilan.57

       54

Ibid. 55

Ibid. 56

Runtung, Op. Cit., hlm. 18-19. 57


(48)

Kehadiran mediasi sebagai bagian dari ADR secara keseluruhan, tidak lepas dari tidak efektifnya penyelesaian sengketa melalui proses litigasi di pengadilan dirasakan masyarakat pencari keadilan.

Jika dahulu kala dan sampai saat ini masih saja ada yang selalu mengaitkan antara keadilan dan pengadilan dimana terkesan kuat bahwa pengadilan adalah tempat satu-satunya untuk memperoleh keadilan bagi mereka yang mencari keadilan, maka dalam konteks Indonesia memang kita dapat menemukan banyak pengadilan yang terdapat hampir di seluruh kota akan tetapi sangat sulit menemukan keadilan.58

Kinerja hukum dan institusi penegak hukum sampai saat ini masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last fortress) untuk mendapat keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.59

Berbagai usaha dan pemikiran yang bertujuan mendesain peradilan yang lebih efektif dan efisien telah dikemukakan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sementara itu kritik global yang ditujukan kepada pengadilan

       58

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia Dan Penegakan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 30.

59


(49)

semakin menderu. Dapat dikemukakan beberapa kritik tajam yang dialamatkan kepada pengadilan terutama setelah era 1980, antara lain:60

a. penyelesaian sengketa lambat, penyakit kronis yang diderita dan menjangkiti semua badan peradilan dalam segala tingkat peradilan di seluruh dunia:

1). Penyelesaian sangat lambat atau buang waktu (waste the time)

2). Hal itu terjadi sebagai akibat sistem pemeriksaannya, sangat formalistis (very

formalistic) dan juga sangat teknis (very technical).

b. biaya perkara mahal, pada dasarnya biaya berperkara mahal, dan biaya ini semakin mahal sehubungan dengan lamanya biaya yang dikeluarkan.

Perlu dikemukakan bahwa biaya berperkara di pengadilan Indonesia ternyata sangat mahal karena beberapa faktor. Pertama, biaya yang dibebankan oleh pengadilan dirasakan “cukup tinggi”, sebagaimana digambarkan di sini: biaya pendaftaran untuk berperkara di pengadilan negeri (di sekitar Jakarta) mencapai Rp.115.000,- bila yang digugat hanyalah satu orang. 61

Manakala seluruh persidangan selesai (bila berlangsung tidak lebih dari 12 sesi), putusan dapat diperoleh hanya setelah membayar biaya administrasi tambahan (materai sebesar Rp.2000,- penyuntingan sebesar Rp. 200 per halaman dan pengetikan sebesar Rp. 15.000,-)62

       60

M. Yahya Harahap, Op.Cit., 233-235. Lihat juga M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 153-159.

61

Ali Budiarjo dkk, Reformasi Hukum Di Indonesia (Jakarta: Cyberconsult, 2000), hlm. 125. 62


(50)

Setelah mendapatkan putusan bila dimintakan banding maka biaya yang sama jumlahnya dengan biaya pada tahap awal akan dibebankan kembali. Bila diperlukan eksekusi atas suatu putusan akan ada permintaan untuk biaya eksekusi sebesar Rp.60.000,- biaya untuk juru sita sebesar Rp. 150.000,- dan biaya lelang sekitar Rp.1.300.000. Sebagai catatan tambahan, biaya juga tergantung pada jumlah saksi yang dihadirkan dalam persidangan yang pemanggilannya merupakan tanggung jawab penggugat. Semakin banyak saksi dan semakin jauh tempat tinggal mereka, semakin tinggi pula biayanya.63

Kedua, dalam proses dibawanya tuntutan perkara ke pengadilan, biaya tidak resmi (atau “tidak biasa”) dapat dijumpai, yang dikenakan oleh pihak tertentu selaku “penjual jasa hukum”. Sebagai suatu contoh, bahkan walaupun secara matematis biaya sebuah putusan yang dibebankan pada pihak yang bersengketa adalah Rp.15000, pengalaman menunjukkan bahwa putusan tersebut tidak akan dikerjakan atau segera diserahkan oleh panitera bila yang dibayar adalah hanya jumlah yang resmi.64

Peradilan tidak tanggap (unresponsive), berdasarkan pengamatan, peradilan kurang tanggap (unresponsive) dalam bentuk perilaku tidak tanggap membela dan melindungi kepentingan umum (public interest), Pengadilan atau hakim sering mengabaikan perlindungan kepentingan umum. Tidak peduli terhadap kebutuhan dan perasaan keadilan masyarakat luas.65

       63

Ibid. 64

Ibid.

65 


(51)

Pengadilan sering berlaku tidak jujur (unfair), pengadilan hanya melayani dan memberi keleluasaan kepada lembaga besar atau orang kaya. Tidak tanggap dan tidak peduli kepada rakyat biasa dan golongan miskin (ordinary citizen). Kelompok ini sering diperlakukan tidak wajar (unappropriate), dan bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi (unhumanly).66

Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang dihadapi putusan pengadilan tidak memberi penyelesaian yang menyeluruh. Bahkan tidak memuaskan kepada yang kalah maupun yang menang. Menang atau kalah sama keadaannya. Sama-sama tidak puas. Terutama atas besar biaya yang dikeluarkan. Selain itu kekalahan dan kemenangan tidak mendatangkan kedamaian kalbu dan nurani.67

Putusan pengadilan membingungkan, terkadang tanpa alasan yang kuat dan masuk akal, pengadilan mengabulkan ganti rugi yang luar biasa jumlahnya. Sebaliknya meskipun dasar alasan hukum dan buktinya kuat, tuntutan ganti rugi ditolak atau yang dikabulkan dalam jumlah sangat kecil sehingga tidak masuk akal sehat.68

Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum, terutama pada masa belakangan ini sering ditemukan putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Padahal sesuai dengan doktrin yurisprudensi dalam kasus yang sama (in similar

causes): harus diberi perlakuan penerapan hukum yang sama sehingga dapat dibina legal certainty dan penegakan hukum yang predictable. Tetapi yang terjadi adalah

       66

Ibid. 67

Ibid. 68


(52)

sebaliknya sehingga terjadi pelanggaran terhadap asas diskriminasi, asas equal

treatment dan asas equal before the law.69

Kemampuan hakim yang bercorak generalis. Kualitas dan kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim. Para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam sengketa yang menyangkut bidang perbankan atau pasar modal. Mungkin juga tidak memahami sama sekali masalah asuransi, perkapalan dan perdagangan internasional dan sebagainya. Memperhatikan para hakim yang hanya mempunyai kualitas dan kemampuan generalis, sangat diragukan kemampuan dan kecakapan mereka menyelesaikan sengketa secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma yang berlaku pada sengketa tersebut.70

Mutu para hakim juga mendapatkan sorotan tajam. Banyak hakim khususnya di lingkungan pengadilan negeri, dianggap tidak memiliki pengetahuan yang memadai atas hukum substantif (terutama hukum perdata dan dagang) dan hukum acara. Mereka juga dianggap sebagai “tidak terdidik secara hukum” (dan tidak peduli terhadap ketepatan hukum) ketika membuat putusan atas berbagai perkara dan membiarkan pihak yang berperkara mengajukan banding atas putusan tersebut ke pengadilan tinggi. Kelambanan proses dan penumpukan perkara dianggap telah berkembang luas dalam sistem peradilan.71

       69

Ibid. 70

Ibid. 71


(53)

Alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa atau beda pendapat dalam bidang perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.

Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menunjuk seorang mediator.72 Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.73

Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditanda tangani oleh kedua       

72

Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

73


(54)

belah pihak yang terkait.74 Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.75 Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.76

Tidak seperti arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution77. Tidak ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Kecenderungan memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute

Resulotion) oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada :78

       74

Pasal 6 ayat (6) 75

Pasal 6 ayat (7) 76

Pasal 6 ayat (8) 77

Karnaen Perwataatmaja, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 292.

78

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 82.


(55)

1) Kurang percayanya pada sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau kelebihan sistem arbitase dibanding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku bisnis lebih mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya; 2) Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang

disebabkan banyaknya klausula-klausula arbitrase yang tidak berarti sendiri, melainkan mengikuti dengan klausula kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.

Model yang dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terhadap kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir sebagai putusan perkara.

2. Komparasi Mediasi di Beberapa Negara a. Amerika Serikat

Kedudukan dan keberadaan mediasi di Ameriksa Serikat sebagai lembaga penyelesaian sengketa telah didukung secara formal oleh hukum positif, berupa

Dispute Resorution Act yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Presiden Jimmy


(56)

dimediasikan, baik jenis sengketa yang bersifat umum maupun jenis sengketa yang bersifat khusus, seperti sengketa perceraian dan sengketa bisnis.79

b. Srilanka

Pada tahun 1988 di Srilanka diundangkan Mediation Boards Act Nomor 72 yang meletakkan pengawasan terhadap para penyedia jasa di bawah komisi khusus yang ditunjuk oreh Presiden, yaitu Komisi Badan Mediasi (Mediation Boards

commission). Komisi ini terdiri atas lima orang, tiga diantaranya harus berpengalaman

di dunia pengadilan setingkat Mahkamah Agung atau pengadilan Tinggi. Bersamaan dengan itu diberlakukan pula mediasi sebagai upaya wajib yang harus ditempuh para pencari keadilan sebelum menempuh upaya pengadilan (compulsory mediation atau

primary iurisdiction).80

c. Filipina

Secara tradisional, ADR dan termasuk mediasi di dalamnya juga telah dikenal di Philippina melalui tradisi penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kooperatif di tingkat pedesaan (barangay atau barrio). Pelembagaannya didorong oleh keinginan untuk mengatasi penumpukan serta kemacetan administrasi perkara di pengadilan yang menimbulkan penurunan kualitas keadilan. Pelembagaan ADR tersebut dilakukan oleh pemerintah Filipina melalui Presidential Decree Philippina Nomor 1508 tanggal 11 Juni 1978, yang dikenal dengan Katarungang Pambarangay Law atau Barangay       

79

Atja Santjaja, “Perkembangan Mediasi Di Berbagai Negara”, Pusdiklat MARI, April 2010, hlm.1-11.

80 Ibid.


(57)

Justice Law. Adapun kewenangan yang dimilikinya adalah menyelesaikan seluruh

jenis sengketa perdata dan pidana dengan ancaman hukuman ringan.81 d. China

Sejak tahun 1949, sistem mediasi di China telah diformalkan dalam berbagai bentuk pedoman dan instruksi. Pada tahun 1982, Konstitusi China secara tegas menyebutkan pendirian Komisi Mediasi Rakyat (People's Mediations Committees) di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Salah satu fungsi mediasi rakyat disebutkan melaksanakan upaya-upaya penengahan (to mediate) sengketa perdata (civil dispute).82 e. Korea Selatan

ADR di Korea Selatan sistem penyelesaiannya pun berkoneksitas antara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Tipe sengketa yang dapat diselesaikannya adalah domestik dan internasional. Bentuk ADR yang paling menonjol adalah arbitrase.83 f. Hongkong

ADR yang populer di Hongkong dalam mencari penyelesaian sengketa bisnis, adalah arbitrase, mediasi, dan adjudikasi. Ajudikasi khusus menyelesaikan sengketa di bidang konstruksi lapangan terbang dengan cara mengangkat seorang adjudikator profesional di bidang konstruksi lapangan terbang.84

g. Australia

       81

Ibid. 82

Ibid. 83

Ibid.

84 


(58)

Pengembangan ADR di Australia baru muncul belakangan bila dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Korea Selatan, akan tetapi dalam waktu singkat dapat menandingi kemajuan yang dicapai negara lain. Bahkan sekarang sudah hampir sampai tahap konsolidasi. ADR dikelola dalam satu wadah yang dinamakan Centre for

Dispute Resolution yang didirikan pada tahun 1988, yang bernaung dibawah

University of Technology, Sidney bekerjasama dengan Faculty of Law and Legal

Practice and Bussines.85

Pada prinsipnya lingkup mediasi yang dikembangkan di Australia tidak jauh berbeda dengan mediasi yang dikembangkan di Amerika Serikat. Akan tetapi bila perbandingannya termasuk dengan mediasi di Jepang dan Korea, maka Australia mengatur sistem mediasi yang berkoneksitas dengan pengadilan (mediation connected

to the court). Pada umumnya yang bertindak sebagai mediator adalah pejabat

pengadilan.86 h. Singapura

Singapura telah mengenal konsepsi penyelesaian sengketa nonlitigasi sejak tahun 1966, yang termuat dalam subordinate Rules 1966. Ketentuan ini mengatur bahwa sebelum para pihak melanjutkan keinginannya membawa sengketa ke pengadilan, hendaknya terlebih dahulu menempuh jalur penyelesaian antar pihak, oleh sebab itu singapura mempunyai Court Mediation Centre. Di samping itu, di Singapura dikembangkan pula Night Court Mediation yang ditujukan bagi pihak-pihak yang       

85 

Ibid. 86


(59)

hanya mempunyai waktu setelah mereka bekerja pada siang hari. Kasus-kasus yang diselesaikan pada umumnya kasus-kasus keluarga (family cases). Keberhasilan mediasi sengketa bisnis 90%.87

i. Jepang

Di Jepang, mediasi sudah lama populer. Namun sistemnya selalu berkoneksitas dengan konsiliasi dan arbitrase. Bila mediasi gagal, prosesnya dihentikan tetapi langsung dilanjutkan dengan konsiliasi dan mediator bertindak sebagai konsiliator. Bila konsiliasi juga gagal, maka proses langsung dilanjutkan melalui arbitrase dan konsiliator bertindak sebagai arbitrator. Sistem Mediasi di Jepang dikenal dengan

Wakai dan Chotei, keberhasilan Chotei 40% dan wakai 80%.88

3. Pengertian Mediasi Di Pengadilan

Dasar filosofi mediasi di luar pengadilan maupun mediasi di dalam pengadilan di Indonesia adalah Pancasila. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam sila tersebut terdapat asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

Pengaturan mengenai mediasi di luar pengadilan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai       

87 

Ibid.  

88 


(60)

kelanjutan dari gagalnya negoisasi yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.89

Dasar hukum negoisasi, mediasi, dan konsiliasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan) belum ada pengaturannya secara tegas, hanya berpedoman pada etika bisnis90.

Mediasi yang dibicarakan dalam hal ini adalah dikhususkan pada mediasi di dalam pengadilan atau dikenal dengan court connected mediation, court integrated

mediation, court dispute resolution, court connected ADR, court based ADR.91

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat mengenai perdamaian yaitu pada Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.92

Ketentuan pasal 16 ayat (2) di atas menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui mediator tetap diperbolehkan. Tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

       89

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Press, 2001), hlm. 90.

90

http://www.hukbis.files.wordpress.com/2008/05/mediasi.ppt, diakses 09 Mei 2010 91

H. Soeharto, Op. Cit., hlm. 11 92


(1)

lagi diselesaikan secara damai. Memaksakan mediasi di pengadilan akan berimplikasi pada pelaksanaan mediasi yang “setengah hati” dan hanya formalitas belaka.

4. Tersedianya laporan perkara perdata (lampiran 14/berkas panitera) yang diproses melalui mediasi berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2008. Hal ini memudahkan untuk melihat jumlah perkara perdata dalam frekuensi waktu tertentu, misalnya dalam 1 (satu) bulan atau dalam 1 (satu) tahun. Padahal dari Mahkamah Agung telah menyediakan format/blanko213 yang sangat jelas untuk ditindaklanjuti.

5. Diharapkan kedepannya agar lebih mudah mengakses informasi di Mahkamah Agung untuk mengetahui dan mengikuti pelatihan sertifikasi mediator khususnya mediator dari kalangan nonhakim.

       213


(2)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari;ah, Hukum Adat, & Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2009.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia Dan Penegakan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Contennial Edition (1891-1991) Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co, 1991.

Echols, Jhon dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan XXVI, Jakarta: Gramedia, 2005.

Lawrence, Friedman, American Law An Introduction 2nd Edition, Penerjemah: Wisnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001.

____________________, The Legal System, Newyork: Russel Sage Foundation, 1975.

Goodpaster, Garry, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 Arbitrase di Indonesia dalam Felix O. Soebagjo, ed., Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.

_______________, Panduan Negoisasi Dan Mediasi, Jakarta: Elips, 1999.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju,1992.

Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Cetakan I, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.


(3)

__________________, Hukum Acara Perdata, Cetakan VI, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Kamil, Ahmad dan Fauzan, M., Ke Arah Pembaruan Hukum Acara Perdata dalam SEMA dan PERMA, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Kusano, Yoshiro, Wakai Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Grafindo, 2008.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994. Margono, Suyud, ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan IV, Jakarta: Kencana, 2008. Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Perwataatmaja, Karnaen, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1998.

Rahardjo, Satjipto. Wajah Hukum Di Era Reformasi, Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Satjipto Rahardjo, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Medan: USU, 2006

________, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif: Studi Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe dan Brastagi Disertasi, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan: USU, 2002. Saleh, K. Wantjik, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Cetakan VII, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990.

Sinaga, Maurid, Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi (Studi Tentang Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi), Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan: USU, 2005.


(4)

Subekti, R. Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Jakarta: UI Press, 1986.

_________________, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indhilco, 1990.

_________________, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Soesilo, R., RBG/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politea, 1985.

Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Tim Penyusun Kamus Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Widjaja, Gunawan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grafindo Press, 2001

II. Makalah

Arwan, Firdaus Muhammad, “Cara Mudah Memahami Dan Melaksanakan PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan”, Pusdiklat MARI, April 2010.

Dewi, DS., “Implementasi PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan”, Pusdiklat MARI, April 2010.

H. Soeharto, Pengarahan Dalam Rangka Pelatihan Mediator dalam “Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung RI, April 2004.

Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT), “Pengantar Mediasi”, Mahkamah Agung RI, April 2010.

Indonesian Institute for Conflict Tranformation (IICT), “Keterampilan Dan Teknik Mediator, Mahkamah Agung RI, April 2010.


(5)

Pusdiklat Teknis Peradilan, “Materi Pelatihan Mediasi”, Mahkamah Agung RI, April 2010.

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Teknis Peradilan, “Pelatihan Mediasi”, Mahkamah Agung RI, April 2010.

Pusdiklat Teknis Peradilan, “Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa Pada Umumnya”, Pusdiklat MARI, April 2010.

Sunarmi, “Penemuan Hukum”, Medan, USU, September 2009.

III. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang N0. 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaaan Kehakiman

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Jenis dan Hierarki Perundang-undangan. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

IV. Sumber dari Internet

Adhitya Johan Rahmadan, “Negoisasi dan Mediasi”, http://pedulihukum.blogspot.com/2009/02/negoisasi-dan-mediasi.html, diakses 28 Juni 2009

Siddiki, “Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan”,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/mediasi%20pengadilan%20dan %20asas%20peradilan.pdf, diakses 28 Juni 2009

Toni Budidjaya, “Tanpa Mediasi Wajib, Putusan Hakim Bisa Batal Demi Hukum”, http://www.cicods.org/upload/database/mediasi_database.pdf, diakses 28 Juni 2009


(6)

http://www.hukbis.files.wordpress.com/2008/05/mediasi.ppt, diakses 09 Mei 2010

http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf,diakses 28 Juni 2009