Latar Belakang Budaya Organisasi Pemerintahan Gampong Bireuen Meunasah Capa Utara

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan hal yang sangat menarik bila kita amati perkembangannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia, karena sejak para pendiri negara founding leaders menyusun format negara, konsep otonomi daerah telah diakomodasikan di dalam UUD khususnya Pasal 18 UUD 1945 dengan dilakukannya pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa Selain itu melalui Pasal 18 UUD 1845 pemerintah juga mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat adat yang menjalankan aktifitas tradisionalnya selama tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Kausar AS:dalam Jurnal Otonomi Daerah, Vol. VII,No.3, Agustus-September 2007 Indonesia sebagai Negara Bangsa nation state,mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di Indonesia terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang yang kemudian melembaga dan diyakini oleh masyarakatnya. Termasuk didalamnya adalah lembaga-lembaga yang berupa institusi pemerintahan yang bercorak khusus di setiap daerah. Oleh karena itu UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI mengakui keberadaan dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa Hal ini sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa otonomi luas harus lebih diarahkan pada pengertian kemandirian, yaitu kemandirian untuk secara bebas mengurus rumah tangganya sendiri, menurut prinsip umum pemerintahan atau negara berotonomi. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah 2001. Hal. 186 Universitas Sumatera Utara Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tersebut membuat beberapa pemerintah daerah tetap mempertahankan corak lokal kedaerahannya. Salah satunya adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh di bumi nusantara, memperlihatkan bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di daerah Aceh telah mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkesinambungan dalam menyikapi kehidupan duniawi dan ukhrawi. Sebuah falsafah kehidupan bermasyarakat telah menjadi pegangan umum masyarakat Aceh, yakni “Adat bak po teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana“ yang bila diartikan “ Adat dari Sultan pemimpin, Hukum dari Ulama, Peraturan dari Putri Pahang mahkamah Rakyat, Diplomasi dan etika dari Panglima”. Hal ini masih dapat diartikulasikan dalam persfpektif modern bernegara serta mengatur pemerintahan yang demokratis dan bertanggung jawab dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Falsafah tersebut merupakan suatu visi sebagai wujud dari adanya sinergisitas antara kehidupan masyarakat dengan adat dan agama. Keinginan masyarakat Aceh untuk menjalankan syariat Islam di Aceh merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat Aceh menunjukkan bahwa adat dan agama merupakan satu kesatuan dalam kehidupan manyarakat Aceh yang menjadi dasar bagi struktur kekeluargaan dan hubungan dengan sosialnya. Dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 1 6 Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan : ”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam Pasal 10 Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong. Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah. Namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah setara dengan Keuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda. Imam gampong menyangkut dengan keagamaan, ketua tuhapet menyangkut dengan urusan gampong dan adat-istiadat, kemudian keuchik itu mengangkut dengan pemerintahan. Begitu juga dengan bidang legislatif. Dalam Gampong secara tegas dibatasi bahwa unsur legislatif adalah di luar badan eksekutif. Ini sejalan dengan Pasal 1 7 Qanun Nomor 5 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong atau nama lain adalah Badan Perwakilan Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong. Jadi, Tuha Peut Gampong biasanya dipilih dari berbagai unsur. Unsur pemerintahan diambil biasanya orang yang sudah menjabat sebagai Keuchik atau orang yang sudah pernah terlibat dalam Pemerintahan Gampong. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban. Dalam kepemimpinan Keuchik, pertanggungjawaban dilakukan kepada masyarakat. Dalam kenyataan, biasanya hal itu Universitas Sumatera Utara dilaksanakan melalui Tuha Peut. Dan pemilihan Keuchik dan Tuhapet juga dilaksakan secara oleh masyarat gampong. Apabila dilihat sebagai sebuah organisasi pemerintahan maka pemerintah Gampong bisa dikatakan sebagai organisasi pemerintahan yang sangat maju. Fungsi eksekutif dan legislatif berlangsung dengan sangat baik dan sistematis. Setiap lembaga yang dibentuk menjalankan fungsi dan perannya dengan baik dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Kenyataan itu mempertegas bahwa nilai yang terkandung dalam kearifan lokal masyarakat aceh tersebut menciptakan suatu budaya organisasi dimaksudkan agar birokrasi pemerintah Gampong lebih mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien kepada masyarakatwarga Gampong. Seperti uraian Suryono dalam Jurnal Administrasi Negara, 2001 : 53, bahwa birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku rigid menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif. Peneyerapan nilai-nilai kearifan lokal tersebut diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebetuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi pemerintah desa dapat menyediakan pelayanannya sesuai dengan harapan masyarakat sebagai pelangganrya. Meskipun juga yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan kuantitas dari aparat pemerintah desa itu sendiri, yakni aparatur pemerintah desa harus mempunyai kemampuan capabelity, memiliki loyalitas kepentingan competency, dan memiliki keterkaitan kepentingan consistency atau coherency. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah bottom-up benar-benar dapat dilaksanakan, misalnya dalam penyusunan Rusam peraturan Gampong. Rancangan peraturan Gampong yang disusun oleh Keuchik bersama perangkat Gampong Universitas Sumatera Utara pemerintah desa kemudian disodorkan kepada Tuha Puet Gampong untuk diadakan rapat membahas rancangan tersebut. Pengambilan keputusan terhadap materi dalam peraturan Gampong tersebut didasarkan pada aspirasi dankebutuhan masyarakat yang telah ditampung oleh anggota Tuha Peut Gampong sebagai wewenang dan tanggung jawabnya. Adanya semangat demokrasi dalam hal ini menunjukkan demokratisasi telah merambah segi kehidupan di Gampong sesuai dengan semangat reformasi dan Otonomi Khusus. Bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat popular sovereignity, kesamaan politik political equality, konsultasi atau dialog dengan rakyat popular consultation, dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas Ranny dalam Thoha, 2003 : 99. Menurut Muklir dan M. Akmal Dosen FISIP Universitas Malikussaleh dalam penelitiannya mengenai ”Demokratisasi Pemerintahan Gampong Dalam mendukung Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” adapun Dampak Positif dari dilaksanakannya Pemerintahan Gampong ini Pertama, Meningkatkan responsivitas aparatur pemerintah gampong. Kedua, meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan gampong. Dan ketiga, Transparansi penyelenggaraan pemerintahan gampong. Kolaborasi adat dan agama yang ada di masyarakat Aceh tidak bisa dilepaskan baik aspek politik maupun sosial kemasyarakatan. Salah satu yang menjadi ciri identitas masyarakat Aceh ialah relasi antara raja, adat, dan ulama yang begitu kuat serta terdapat pembagian kekuasaan yang terstruktur antara ketiganya. Menurut Antony Reid, masyarakat Aceh dibentuk bersama oleh negara held together by a state. Universitas Sumatera Utara Adat Istiadat dan Agama telah menjadi nilai yang mengisi sendi-sendi organisasi pemerintahan Gampong di Aceh. Nilai tersebut menjadi suatu budaya organisasi tersendiri yang membuat Pemerintahan Gampong menjadi unik dan demokratis. Dalam hal ini peneliti ingin meneliti sejauh mana Budaya organisasi tersebut berperan dalam memajukan Gampong itu sendiri. Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan diatas maka penulis terarik untuk meneliti Budaya Organisasi pada Pemerintahan Gampong di Gampong Bireuen Meunasah Capa.”

1.2. Rumusan Masalah