Kesesuaian Budaya Lokal di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, di Gampong Lhok Pawoh)
Daftar Pustaka
Buku
Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Pelajar.
Burhan Bungin, Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University Press. 2001,
Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Gratifipers.
Gunawan, Restu. 2003. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Hurgronje, C Snouck. 1996. Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: Indonesian– Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). 2007. Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press.
H.Badruzaman Ismail,SH.M.Hum dan Sanusi M. Syarif. 2012. Sejarah Adat Aceh (2002-2006). Provinsi Aceh:Majelis Adat Aceh.
Irwan, Abdullah. 2007. “Potret Retak Komunalisme Aceh”. Makalah Bahan Perbincangan Masa Depan Aceh di Aceh Institute tanggal 8 Juni 2007.
Koentjaraningrat.(2009. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.
Nyak Pha M. Hakim. 2000. “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, dalam Haba No. 13/2000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Melalatoa, M. Junus. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang M. Arief, Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca
(2)
Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Sinulingga, Sukaraja. 2011. Metode Penelitian. Medan; USUpress.
Strauss, Ansem dan Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syahrizal, Hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia, Nadiya Foundation Nanggroe Aceh , cet Pertama Mei 2004
Pamudji, S. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Yunus, Rasid. 2014. NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL (LOCAL GENIUS) SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA Studi Empiris Tentang Huyula. Yogyakarta: Deepublish.
Varma, SP.2001. Teori Politik Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo, Persada.
Zaini Ali dkk.. 2009. Narit Maja Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh.
Jurnal:
Abdurrahman, Reusam Gampong, 2008. Majalah Jeumala, Edisi No. XXVII Juli 2008, Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh.
Gayatri, Irine Hiraswari dan Septi Satriani (ed). 2007. Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press.
Gayatri, Irine H. 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh,LIPI Press.
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2009, A Study of Panglima Laot, UN FAO Banda Aceh Tripa, Sulaiman (2003). Rekonstruksi Gampong di Aceh. www.acehinstitute.org pada 15
(3)
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
A. Nilai-nilai Budaya Lokal Aceh terkait dengan Kepemimpinan
Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan
suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang
menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat.60
Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah,
dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau
tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam
menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja
Masyarakat Aceh
juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan
kepemimpinan. Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh
dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. Kebenaran pendapat ini bertumpu pada
kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas
yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan
sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan
penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
61
60
Melalatoa, M. Junus. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.)
Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam. Hlm. 10
, sebagai bagian folklore lisan
(4)
alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga
alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang
dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga
idelanya dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Pelanggarnya disebut tercela.
Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati
diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja.
Menurut Ali dkk62
Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan
yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris,
dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini
sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampung haruslah ada pimpinannya narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat
Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah Wahyu Allah Swt. Tingkat kebenaran kedua
adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih
peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua
zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada
umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat Istiadat, pendidikan, dan kehidupan
masyarakat. Narit yang tidak mengarah ke arah keluhuran budi tidak disebut narit/hadih
(5)
yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan
menjadi kacau balau disebut tidak berbudaya (no culture) bahkan lebih jauh lagi disebut
tidak beradab (uncivilized). Berdasarkan teori serba sifat-sifat (traits theory) dalam
kepemimpinan yang dipaparkan dalam kerangka teori, Di Aceh secara tradisional dikenal
tiga syarat minum dari seorang pemimpin, yaitu cerdas, berani, jujur.63
Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat
tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang
pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Jika salah satu
syarat tidak terpenuhi gugur semua syarat lain atau gagal/tidak terpenuhi sebagai
pemimpin. Jelas syarat ini diwarisi dari keislaman. Ketentuan ini dinisbatkan kepada
tungku tempat menyerang periuk. Jadi hanya dua tungku pastilah gagallah acara
menyerang/menanak.
64
Selain
itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya
konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter
masyarakat yang dipimpinnya secara baik.65
63
Wawancara dengan Bapak Azharudin Ramli, Keuchik gampong Lhok pawoh. Wawancara dilakukan tanggal 10 Mei 2015
64 ibid
Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan
tajam, seorang pemimpin di Aceh tidak bertahan lama, gagal, dan tidak berharga. Hal ini
tampak pada narit maja berikut ini
(6)
(Kebun berpagar, sawah berpetak)
Nanggroe meusyarak maseng na raja
(Negeri berhukum semua ada raja)
Lagee mon tuha, Geulupak, tapeh keunan bandum
(Seperti sumur tua, Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ)
Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem
kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu:
1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan.
Hal ini disebabkan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan
yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih
maja yang menyatakan hal tersebut,
Nibak lon kalon dumnoe pie, Bakkeuh reule ho langkah ba, Hantom digob na digeutanyoe, Saboh nanggroe dua raja
(Daripada kulihat begini keadaannya, Biarlah hancur kemana langkah bawa, Tidak
pernah pada orang ada sama kita, Satu negeri dua orang raja)
Saboh nanggroe dua tanglong Saboh gampong dua peutua
(7)
2. Pemimpin adalah raja
Dalam terminologi masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja.
Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja
dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui
pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hukum. Hukum adat tidak
membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting
juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang
pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas sebagai factor/karakter
genetis, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini
adalah:
Euncien bak putu bek tasok bak gitek, Aneuk bak gundek bek taboh keu raja
(Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking, Anak pada gundik jangan
diangkat menjadi raja)
3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang
Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat
dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi
seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan
menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan
menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada narit
(8)
Nyankeuh raja nyang seureuloe Aneuk nanggroe that geuaja
(itulah raja yang sangat utama Selalu mengajari rakyatnya)
Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau
bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik,
tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip
ini tercermin dalam hadih maja berikut ini:
Raja ade geuseumah Raja laklem geusanggah
(Raja adil disembah Raja zalim disanggah)
Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah
karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial,
yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk
mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting
dalam negara harus memberikan peringatan kepada kepala negara, baik cara lembut
maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Dimungkinkan
halnya makmum dianjurkan menegur imam yang lalai atau keliru dalam rukun
shalat berjamaah. Hal ini tampak dari narit maja berikut
Paleh inong hana lakoe Paleh nanggroe laklem raja
(9)
B. Pengaruh Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh
Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang
asing. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam
yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala
pola sikap, tindak -tanduk, tata perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan
sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek,
baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan apakah sejajar atau
bertentangan dengan ajaran Islam.
Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya.
Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam
bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang
telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat,
maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula,
atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut.66
1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.
Oleh karena
itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas
dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek
seperti yang termaktub dalam beberapa narit maja di bawah ini.
66
(10)
(Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab sultan/raja/kepala pemerintahan, sedangkan hukum- hukum Islam berada di
bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat, tata upacara protokoler istana berada di
bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putroe Phang/permaisuri
sultan dan adat istiadat atau kebiasaan lokal berada di bawah tanggung jawab
penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).
2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet
(Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat
dipisahkan) karena hokum adat adalah perangkat pelaksanaan dari hukum.
3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih)
Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau
mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas
kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaannya (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Al Bukhari dan Muslim).
(11)
Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
diri anggota masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem
organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang
bernuansa Islami, Karena sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’,
lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng mepetua.” yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpagar, sawah berpematang, orang berpimpinan’. Narit maja ini
menyiratkan bahwa sebuah komunitas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan
batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah
kehidupan yang harmonis.
Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang
berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut:
”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang tidak mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.
Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari
al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi
kerajaan Aceh, yaitu:
(12)
b. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.
c. Kekuasaan Qanun (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat
(Dewan Perwakilan Rakyat).
d. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa Tunggal,
yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam masa darurat atau waktu negara
dalam keadaan perang.
Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi
menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (tidak boleh jauh atau
bercerai) dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:
”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau ulama bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.
Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kerajaan, keharmonisan tersebut
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit dalam komunitas
tersebut, seperti dikatakan dalam narit maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu
Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang,
(13)
Reusam bak Bentara/Laksamana. Narit maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan
diserahkan sepenuhnya pada raja, Poteu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh
ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat
ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan kembali, dan takut
sekali melanggar adat (walau kadang bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini
merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat
idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud narit maja, “Boh malairi ie
paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.
C. Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di Aceh Berdasarkan Qanun Meukuta Alam
Di dalam Qanun Meukuta alam ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk
menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam
praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan,
dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, mufti, dan Shaykh al-Islam hingga
posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan). Ulama
merujuk kepada kitab suci Al Qur’an, Hadis Rasulullah, Qias
Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek
kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat
(14)
ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam
suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan
atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit
pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit
pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit
pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadi pimpinan pada unit
pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam
struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu secara hierarkis dikenal sebagai lapisan
pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.67
Tabel 1
Struktur Kepemimpinan Masyarakat Aceh
Tingkat/Hirarki
Jabatan
Pemimpin Agama
Pemimpin Dunia
Negara Kadhi Malikul Adil Sultan
67
(15)
Keuleebalangan
Qadli Uleebalang
Mukim Imeum Mesjid Imeum Mukim
Gampong Imeum Meunasah
(teungku)
Keuchik
Sumber: Agus Budi Wibowo (2009)68
1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi
masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau
masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang
menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang cendekiawan yang berilmu agama
Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai
dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli
pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebut yaitu :
68
(16)
keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong (kampung).
2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada
tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap
hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.
3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang
mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan
juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.
4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti
dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik, setingkat
diatasnya diberi gelar dengan Teungku Syeikh (Syaikhul Islam/guru besar), aulia
(waliyullah), dan seterusnya.
Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk
kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin
yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial
terkecil dari susunan Pemerintahan di Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah
tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi
warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari
Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong.
(17)
Sistem pemerintahan yang ada dalam masyarakat Aceh diduga kuat berasal dari
Qanun Asyi (adat meukuta alam), sebuah undang-undang yang dibuat pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1675 M).14 Undang-udang ini mengatur sistem pemerintah mulai
pada level paling bawah (gampong) sampai pada level paling atas yaitu kesultanan. Pada
masa ini tidak ada batasan waktu tertentu bagi seorang keuchik, waki, maupun tuha peet
dalam menjabat.69
Ada syarat untuk menjadi pemimpin dan itu telah ditulis dalam Qanun Syara’
Al-Asyi, karena adat Aceh itu berdasarkan syariat Islam. Pada masa Sultan Shalahuddin
Syarat yang mesti dimiliki calon pemimpin gampong yang dalam istilah kitab
“Tazkirah Thabaqat” disebut Geusyik boleh dinamakan sebagai syarat kunci. Sebab semua
jabatan lain terlebih dahulu juga harus memiliki syarat-syarat ini; selain harus pula
mempunyai syarat-syarat khusus di bidang yang diembannya. Jadi, “syarat kunci” itu
selain berlaku untuk jabatan di bawah Geusyik, juga diterapkan buat jabatan yang tertinggi
dalam kerajaan; terkecuali bagi Sultan Aceh. Jabatan di bawah Geusyik pada masa dahulu
sejumlah 10 orang, yakni Wakil Kuchik, Tuha Peuet, Imam Rawatib atau Teungku
Meunasah dan 4 orang wakilnya. Sementara jabatan-jabatan di atas keuchik (Kepala desa)
banyak sekali seperti Kadli Malikul Adil/Jaksa Tinggi, Kerukun Katibul Muluk/Sekretaris
Negara, Kadli Mu’adham (Hakim Agung), para Menteri, Hulubalang-hulubalang, para
Mukim, Panglima Laot dan lain-lain. Maka semua mereka itu wajib memiliki syarat-syarat
kunci itu.
(18)
Syamsu Syah (881 H) beliau menyatakan, bahwa Aceh Islam. Adat istiadat, seni budaya
harus sesuai dengan Islam, yang tidak sesuai dengan Islam harus dimodifikasi sehingga
sesuai dengan Islam. Dan yang tidak bisa dimodifikasi seperti penyembahan terhadap
patung dan berhala itu wajib ditinggalkan.
Syarat untuk dapat dipilih dan lalu diangkat sebagai Geusyik tersebut 20 (dua
puluh) macam kriterianya. Malah, kalau terus diperinci lagi akan menjadi 30 macam.
Namun, penyebutan istilah syarat dalam naskah lama ini, kalau dengan istilah bahasa
Indonesia modern sekarang bisa bermakna: “Syarat dan Tugas/Kewajiban.
Untuk lebih jelasnya, baiklah saya kutip syarat-syarat tersebut. Karena kitab
“Struktur Kerajaan Aceh” itu tertulis dalam bahasa Melayu, maka akan saya kutip secara
langsung, karena bahasanya tidak berbeda jauh dari bahasa Indonesia.
Syarat-syarat calon keuchik di Aceh tempoe dulu adalah sebagai berikut; yaitu:
1. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun.
2. Bukan bekas ‘abdi pemerdehkaan orang.
3. Mengetahui hukum wajib fardhu ‘ain dan hukum wajib fardhu kifayah.
4. Mengetahui hukum syarak Allah dan hukum syarak Rasulullah, dan hukum
syarak Qanun kerajaan Aceh.
5. Mengetahui rukun Qanun kerajaan negeri (negeri Aceh) yang sepuluh
(19)
7. Memelihara lidah dari pada perkataan yang keji-keji.
8. Ahli ‘akal bijaksana, luas pikir, paham dalam.
9. Janganlah mendengar khabaran fitnah dan hasutan.
10.Janganlah thamak atas harta orang dengan merampas milik orang.
11.Handaklah memperdamaikan orang yang berkelahi, bantah dakwa-dakwi
dalam Gampong, yaitu Hukum dan Adat dan Resam, dan Qanun pada
masing-masing hak, sekali-kali jangan bertukar-ukar.
12.Hendaklah menyembunyikan rahasia dirinya dan rahasia rakyat Gampong
pada tiap-tiap yang keji, yang memberi ‘ayib kejahatan sehingga jadi sampai
haru-hara.
13.Dapat menikahkan orang dalam Gampong, apabila perlu datang masanya.
14.Qari dan fasih membaca Fatihah waktu jadi Imam Sembahyang Jamaah.
15.Dapat menunaikan fardlu kifayah, yaitu memandikan mayat, mengafani
mayat dan jadi imam sembahyang mayat dan lain-lain.
16.Dapat menahan amarah serta sabar atas kepayahan.
17.Jangan bersetia dan jangan bersahabat dengan orang yang jahil dan jahat
perangainya. Tetapi wajib dengan menghardik dengan memberi nasehat
dengan mempertakut mereka itu.
18.Dapat membahagikan harta zakat fitrah yang ada dalam Gampong;
masing-masing HAK bahagian delapan; seperti perintah Allah dan Rasul Allah, dan
(20)
memperbaiki sekalipun. Maka haramlah kerjanya itu, maka hukumnya yang
demikian dhalim, maka yang boleh diambil satu saja, yaitu “Bulueng
Meu-Utang” namanya; buat keperluan memperbaiki yang tersebut.
19.Peliharalah dirimu dari pada seterumu, dan musuhmu dengan lemah-lembut
bijaksana. Dan
20.Janganlah berkhianat kepada sekalian manusia yang Islam atau kafir, baik
lahir atau bathin”.
Lembaga adat gampong lainnya yang harus ada dalam sistem pemerintahan
gampong yaitu: Waki artinya Wakil Keuchik sebagai pejabat penyampai informasi kepada
masyarakat atas perintah Keuchik dan berkewajiban mendampingi Keuchik dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari. Ia memukul tambö (bedug) untuk memanggil orang
menghadiri suatu musyawarah atau bersifat pengumuman lainnya.
Imeum Meunasah yang lebih populer dengan panggilan Teungku Meunasah, merupakan pembantu Keuchik, dalam bidang agama Islam ( huköm) termasuk memimpin
upacara keagamaan umumnya, kenduri/pesta, dan kemalangan (kematian hingga
penguburan) pada setiap Gampong. Fungsi ini sangat dihormati dalam masyarakat
Gampong.
Tuha Peut adalah suatu institusi perangkat Gampong yang terdiri dari empat orang unsur ketokohan masyarakat, yang dituakan karena pengalaman, integritas, kearifan dan
(21)
memberi nasehat/saran atau tempat Keuchik meminta pendapat/nasehat dalam mengambil
kebijakan/keputusan pelbagai masalah, terutama “bidang pengadilan” dalam hal sengketa.
Imeum Mukim adalah orang yang memimpin wilayah Mukim, wilayah gabungan dari beberapa Gampong yang berdekatan. Mukim berasal dari wilayah kesatuan penduduk
dalam melaksanakan sembahyang Jumat di sebuah Masjid. Imeum Mukim mulanya berasal
dari fungsi Imam Mesjid. Karena perkembangan masyarakat, fungsi Imeum Mukim berubah
menjadi Kepala wilayah Mukim, mengkoordinir Keuchik-keuchik yang mengepalai
Gampong. Sekarang Imeum Mukim merupakan elemen pemerintah (sesuai dengan Qanun No.4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim), sekaligus sebagai Kepala Adat,
berwenang menyelesaikan sengketa adat di wilayahnya, sedangkan Imam Mesjid adalah
berfungsi mengelola urusan Mesjid (agama).
Keujruen Blang adalah seseorang atau lebih yang ditugasi Keuchik untuk mengurus hal-hal yang berkenaan dengan pertanian/persawahan/irigasi Gampong , seperti
menetapkan waktu turun ke sawah, penetapan tatacara/adat istiadat upacara “khanduri”
turun ke sawah, penetapan lepas panen untuk lepas ternak (luwaih blang) pengaturan air ke
sawah penduduk, dan lain-lain. Ia dibantu oleh keujrun lueng (petugas saluran irigasi) dari
sumber air (sungai, waduk, dan sebagainya) sampai ke areal persawahan dan distribusinya
Panglima Laot (Panglima Laut) adalah orang yang mengatur para nelayan dalam
mencari ikan, tatacara pemasaran dan sistem pembagian hasil penangkapan ikan di laut,
(22)
laut.
Peutua Seuneubök adalah seseorang yang diangkat untuk memimpin, pengaturan dan penyelesaian persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pembukaan lahan hutan
untuk areal perkebunan, misalya perkebunan lada, cengkeh, pala, karet, kopi, sawit, serta
mengumpulkan hasil hutan itu.
Haria Peukan adalah seseorang pejabat pengurus pasar yang ditugasi untuk
mengatur Peukan (Pasar dagang), mengutip pajak atau cukai yang disebut Cok Adat pada
peukan-peukan tertentu sesuai adat peukan, termasuk hari-hari Peukan (Uroe Gantoe ), keseragaman takaran dan timbangan di Gampong atau Mukim. Haria Peukan disebut juga
“Ureueng Cok Adat” dan bila muncul persoalan-persoalan di Peukan, maka Haria peukan
dapat mengatasinya atau menyelesaikannya.
Syahbanda artinya Syahbandar. Dia adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengepalai pelabuhan/kota dagang dalam wilayah hukum tertentu. Tugas utamanya
adalah mengawasi kegiatan perdagangan ekspor impor, aturan dan ketertiban, keselamatan
pelayaran kapal-kapal yang masuk dan keluar dari pelabuhan dalam wilayah hukumnya
dibantu sejumlah pejabat di setiap muara sungai yang disebut keujruen kuala.
Pawang Glé adalah seseorang yang mengatur dan mengurusi orang -orang yang mata pencaharian di Gle/gunung, menyangkut mencari rotan, mengumpulkan hasil hutan,
(23)
D. Pemerintahan Gampong berdasarkan Qanun Nomor 5 Tahun 2003
Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali
masa jabatan. Keuchik Gampong Lhok Pawoh saat ini adalah Azharudin Ramli yang sudah
menjabat selama 2 tahun.
Sebagai kepala eksekutif gampong dalam menyelenggarakan pemerintahan
gampong keuchik. Keuchik merupakan representatif dari masyarakat gampong yang diberi mandat dan kepercayaan untuk menjalankan roda pemerintahan, menetapkan berbagai
kebijakan gampong dalam upaya mensejahterakan masyarakat gampong. Urusan
pemerintahan yang diselenggarakan oleh Keuchik lebih banyak berorientasi pada adat. Hal
itu sebagai implikasi dari kehidupan keseharian masyarakat gampong yang masih patuh
menjalankan serta melestarikan nilai-nilai adat-istiadat dalam kehidupan bermasyarakat.
Disini jelas bahwa keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan gampong dan
menetapkan suatu kebijakan tidak boleh sekehendak hati tanpa meminta persetujuan dari
tuha peut gampong, dan setelah itu harus mempertanggungjawabkan kepada rakyat gampong dan tuha peut gampong. Hal ini karena tuha peut dibentuk untuk menjadi sarana dalam mewujudkan demokrasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan gampong. Di samping itu tuha peut juga berfungsi sebagai
pemberi nasehat dan pertimbangan kepada keuchik dalam bidang hukum adat, adat-istiadat
(24)
Sebagai penasehat keuchik, tuha peut dalam menganalisa setiap persoalan dan
masalah yang timbul dalam masyarakat harus memberikan nasehat saran dan pertimbangan
kepada keuchik baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, maka suatu keputusan dan
kebijakan gampong yang belum diketahui tuha peut belum sempurna dan pelaksanaannya
akan kurang berwibawa, keputusan yang demikian akan hambar dalam pelaksanaannya.
Keuchik selain menjalankan pemerintahan berdasarkan kebijakan tuha peut, ia juga mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja gampong kepada tuha peut
gampong untuk mendapatkan persetujuan tuha peut sebelum ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong ( APBG ). Selain itu pemerintah gampong juga perlu
membuat peraturan-peraturan ( reusam ) yang disebut Qanun Gampong untuk mengatur
tatanan kehidupan masyarakat sebuah gampong.
Menyangkut penyusunan reusam atau qanun gampong, pemerintah gampong harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Untuk menampung aspirasi masyarakat, pemerintah gampong dan atau tuha peut dapat
mengadakan rapat atau pertemuan dengan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di
gampong. Selanjutnya Rencana Reusam Gampong yang telah dirancang oleh keuchik kemudian diajukan kepada tuha peut gampong dan dibahas bersama. Keuchik kemudian
baru bisa menetapkannya sebagai reusam gampong setelah mendapatkan persetujuan dari
(25)
Tuha peut juga menjalankan pengawasan, selain menyangkut penyusunan reusam gampong seperti mengaawasi pelaksanaan tugas keuchik, kebijakan keuchik, penerapan peraturan atau reusam dalam masyarakat, juga pelaksanaan proses pemilihan keuchik serta
mengusulkan pemberhentian keuchik apabila habis masa jabatan atau hal-hal tertentu.
Istilah Keuchik mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan
pengertian Kepala Desa. Seorang Keuchik bukan saja dituntut oleh masyarakat untuk
mampu memimpin suatu gampong, tetapi harus juga mengetahui secara mendalam tentang
Hukum Agama Islam. Disamping itu juga seorang Keuchik harus mengetahui dengan baik
hubungan kekerabatan antara penduduk dalam gampong yang dipimpinnya, maupun orang
yang disegani dan berpengaruh di dalam gampong serta sejarah penduduk (asal-usul), batas
gampong dan luas tanah yang dimiliki oleh masing-masing penduduk. Seorang Keuchik juga harus menguasai benar adat-istiadat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
gampong yang di pimpinnya.
Untuk memegang jabatan Keuchik, seseorang harus memenuhi beberapa
persyaratan, terutama dalam menjalankan tugasnya sebagai Hakim gampong. Karena ketika
terjadi suatu kejadian perselisihan diantara penduduk dalam gampongnya, maka Keuchik
harus mampu menyelesaikan secara damai. Keuchik melakukan musyawarah bersama
dengan tuha peut sehingga persoalan yang ada bisa terselesaikan. Oleh karena itu, untuk
(26)
Seseorang yang ingin menjadi keuchik haruslah yang telah mapan dan
berpengalaman dalam membina hubungan dalam keluarganya dan dikenal baik dalam
kehidupan, nermasyarakat, disegani, dihormati dan bertanggungjawab, mau bekerja kepada
orang lain tanpa dibayar.
Keuchik diberikan beberapa tugas dan kewajiban yang harus dijalankan. Adapun tugas dan kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) Qanun No. 5 Tahun 2003
Tentang Pemerintahan Gampong dinyatakan bahwa tugas dan kewajiban keuchik adalah
sebagai berikut:
a. Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Gampong.
b. Membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat
c. Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat.
d. Membina dan memajukan perekonomian masyarakat serta memlihara kelestarian
lingkungan hidup.
e. Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan
maksiat dalam masyarakat.
f. Menjadi hakim perdamaian antara penduduk dalam gampong.
g. Mengajukan Rencana Reusam Gampong kepada Tuha peut Gampong untuk
(27)
h. Mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong kepada Tuha peut
Gampong untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja Gampong.
i. Keuchik mewakili gampongnya di dalam dan di luar pengadilan dan berhak
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya.
Pemilihan Keuchik sesuai dengan yang diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam keuchik dipilih secara langsung oleh penduduk Gampong melalui pemilihan
demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Masa jabatan keuchik
adalah 5 (lima) tahun, terhitung mulai tanggal pelantikan dan dapat kembali dipilih untuk
satu kali masa jabatan berikutnya.
Syarat-syarat untuk seseorang dapat ditetapkan menjadi seorang keuchik adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat-syarat :
a. Taat dalam menjalankan syari’at Islam secara benar dan sungguh-sungguh
b. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Pemerintah yang sah
c. Telah tinggal menetap di gampong sekurang-kurangnya selama lima tahun secara
terus-menerus
d. Telah berumur sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya
60 (enam puluh) tahun pada saat pencalonan
e. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau
(28)
f. Sehat jasmani dan rohani
g. Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya
h. Berkelakuan baik, jujur, dan adil serta bersikap tegas, arif dan bijaksana
i. Tidak pernah dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap
j. Tidak pernah dihukum penjara, kurungan percobaan karena melakukan suatu tindak
pidana
k. Mengenal kondisi geografis, kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya
gampong serta dikenal secara luas oleh masyarakat setempat
l. Memahami dengan baik qanun, reusam dan adat istiadat serta tidak pernah
melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan tersebut
m. Bersedia mencalonkan diri atau dicalonkan pihak lain
Proses pemilihan keuchik dilaksanakan secara langsung secara demokratis/ untuk
melaksanakan pemilihan keuchik, tuha peut gampong membentuk komisi atau panitia
Independen Pemilihan Keuchik yang terdiri dari anggota masyarakat. Pemilihan keuchik
dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu :
1. Tahap Pencalonan
a. pendaftaran pemilih yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilih Keuchik;
(29)
c. pemaparan rencana kerja (program) oleh bakal calon dihadapan Tuha Peuet
Gampong;
d. penetapan bakal calon oleh Tuha Peuet Gampong sekurang-kurangnya 2 orang
dan sebanyak-banyaknya 5 orang;
e. penetapan calon oleh Tuha Peuet Gampong.
2. Tahap Pelaksanaan
a. pemungutan suara untuk pemilihan calon Keuchik dilaksanakan oleh Panitia
Pemilihan Keuchik;
b. perhitungan suara di Tempat Pemungutan suara segera setelah pemungutan suara
dinyatakan selesai, yang dilaksanakan oleh Panitia Pemilih Keuchik secara
terbuka, disaksikan oleh Imeum Mukim, Imeum meunasah dan Tuha Peuet
Gampong serta dapat dihadiri oleh para pemilih;
c. pembuatan Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara yang
ditanda-tangani oleh Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Wakil Sekretaris Panitia
Pemilihan Keuchik dan para saksi;
d. penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara oleh Panitia
Pemilihan Keuchik kepada Tuha Peuet Gampong;
e. penyampaian Laporan dan Berita Acara Hasil Perhitungan Suara oleh Tuha Peuet
Gampong, didampingi Imeum Mukim kepada Bupati atau Walikota melalui
(30)
a. pengesahan Keuchik terpilih oleh Bupati atau Walikota dengan menerbitkan
keputusan pengangkatannya;
b. Keuchik dilantik oleh Bupati atau Walikota atau pejabat lain yang ditunjuk untuk
bertindak atas nama Bupati atau Wali Kota dalam suatu upacara yang khusus
diadakan untuk itu di Gampong yang bersangkutan.
Seorang Keuchik berhenti dari jabatannya karena :
a. Meninggal dunia
b. Mengajukan permohonan berhenti atas permintaan sendiri
c. Berakhir masa jabatan dan telah dilantik keuchik baru.
d. Tidak lagi memenuhi syarat seperti yang dimaksud dalam syarat-syarat keuchik
e. Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus-kasus yang melibatkan
tanggung-jawabnya dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh Tuha peut
Gampong.
Keuchik Gampong Lhok Pawoh saat ini sudah menjabat selama 2 tahun di periode pertamanya. Keuchik memiliki kekuasaan yang besar dalam memerintah dan mengatur
masyarakat Gampong Lhok Pawoh. Kekuasaan yang dimiliki seorang keuchik mencakup
seluruh aspek dalam pemerintahan gampong, baik dalam bidang sosial, keagamaan,
maupun urusan pemerintahan.
(31)
Selain keuchik juga ada Tuha peut Gampong yang berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra kerja pemerintah gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong,
tuha peut berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan gampong, menampung dan melakukan pengawasan secara efektif terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Gampong. Tuha peut dibentuk untuk menjadi wahana dalam mewujudkan demokrasi, keterbukaan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Sebutan tuha peut yang berhubungan
erat dengan empat unsur atau golongan yang menjadi dasar dari terbentuknya lembaga tuha
peut. Dengan demikian orang-orang yang duduk pada lembaga tuha peut ini mewakili empat unsur. Unsur-unsur tuha peut gampong tersebut adalah unsur ulama gampong,
tokoh masyarakat termasuk pemuda dan perempuan, pemuka adat, dan cerdik
pandai/cendikiawan. Jumlah tuha peut gampong ditentukan berdasarkan jumlah penduduk
gampong sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya pada gampong setempat.
Tuha peut sebagai lembaga adat sekaligus lembaga pemerintahan gampong
memiliki peran-peran penting dalam mewujudkan cita-cita pembangunan gampong. Setelah
tuha peut terbentuk, lembaga ini mempunyai fungsi sebagaimana yang diatus dalam pasal 35 qanun provinsi nomor 5 tahun 2003, yaitu
a. Meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan syari’at islam dalam adat istiadat dalam
masyarakat.
b. Memelihara kelestarian adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat
(32)
c. Melaksanakan fungsi legislatif, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetujuan terhadap penetapan keuchik.
d. Melaksanakan fungsi anggatan, yaitu membahas/merumuskan dan memberikan
persetujuan terhadap Rencana Anggaran pendapatan belanja gampong sebelum
ditetapkan menjadi anggaran pendapatan dan belanja gampong.
e. Melaksanakan fungsi pengawasan, yaitu meliputi pengawasan terhdapa pelaksanaan
reusam gampong70
f. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan gampong. , pelaksanaan keputusan dan kebijakan lainnya dari keuchik.
Tuha peut juga memiliki fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong, adapun tugas tuha peut tersebut yaitu
1. Meningkatkan proses pemilihan keuchik melalui pembentukan panitia pemilihan;
2. Mengusungkan pengangkatan atas keuchik terpilih dalam pilciksung kepada
bupati/walikota melalui camat
3. Mengusulkan pemberhentian keuchik karena habis masa jabatan dan hal-hal lain
yang melanggar aturan hingga seorang keuchik tidak dapat memenuhi persyaratan
sebagai keuchik kepada bupati/walikota melalui camat
4. Mengusulkan pejabat keuchik sementara dan mengusulkan pengesahan kepada
bupati/walikota melalui camat
5. Bersama dengan keuchik menetapkan peraturan gampong
(33)
6. Bersama dengan keuchik menetapkan anggaran pendapatan dan belanja gampong
(apbg) dalam peraturan gampong
7. Memberikan persetujuan kerjasama dengan gampong laun dan atau dengan pihak
ketiga
8. Memberikan saran dan pertimbangan kepada keuchik terhadap penyelesaian
masalah-masalah dan kebijakan-kebijakan gampong
9. Mengawasi kinerja pelaksanaan pemerintahan gampong
10.Memberikan persetujuan terhadap pembentukan, penggabungan dan penghapusan
gampong.
Pimpinan dan anggota tuha peut gampong tidak dibenarkan merangkap jabatannya
dengan pemerintahan gampong. Hal ini kearena kedudukan tuha peut sejajar dengan unsur
pemerintahan gampong, selain itu tuha peut dan pemerintahan gampong mempunyai
kedudukan yang mandiri dengan susunan organisasi serta tugas dan fungsi yang berbeda.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi tuha peut dibentuk sekretariat tuha peut
gampong. Sekretariat tuha peut gampong dipimpin oleh seorang sekretaris dan beberapa orang tenaga staf yang berada langsung dan bertanggung jawab kepada pimpinan tuha peut
akan tetapi tidak boleh berasal dari unsur perangkat gampong.
Imeum Meunasah atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
memimpin kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan, peningkatan pendidikan agama
(34)
dengan kemakmuran Meunasah/Mushalla dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan
dengan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat.
Perangkat Gampong membantu Keuchik dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewajibannya. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perangkat Gampong langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Keuchik.
Perangkat Gampong diangkat dari penduduk Gampong yang memenuhi syarat sesuai
dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perangkat Gampong diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Keuchik, setelah mendapatkan persetujuan dari Tuha
Peuet Gampong.
Perangkat Gampong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 27, terdiri dari :
a. Unsur staf, yaitu Sekretariat Gampong, yang dipimpin oleh seorang Sekretaris
Gampong atau nama lain, yang dalam pelaksanaan tugasnya, dibantu oleh beberapa
orang staf, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Gampong seperti :
1. Kepala Urusan Pemerintahan;
2. Kepala Urusan Perencanaan dan Pembangunan;
3. Kepala Urusan Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan Sosial;
4. Kepala Urusan Ketertiban dan Ketentraman Masyarakat;
5. Kepala Urusan Pemberdayaan Perempuan;
6. Kepala Urusan Pemuda;
(35)
8. Kepala Urusan Keuangan.
b. Unsur pelaksana, yaitu pelaksana teknis fungsional yang melaksanakan tugas
tertentu sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi sosial ekonomi dan
sosial budaya masyarakat, seperti :
1. Tuha Adat atau nama lain, yang mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
memelihara kelestarian adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan budaya setempat
yang memiliki asas manfaat;
2. Keujruen Blang atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
yang berhubungan dengan kegiatan persawahan;
3. Peutua Seuneubok atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi
yang berhubungan dengan pengaturan bidang perkebunan, peternakan dan
perhutanan;
4. Pawang Laot atau nama lain, mempunyai tugas dan melaksanakan fungsi yang
berhubungan dengan usaha penangkapan ikan di laut, termasuk pengaturan
tentang usaha tambak sepanjang pantai, usaha-usaha pelestarian terumbu
karang dan hutan bakau dipinggir pantai serta kegiatan yang berhubungan
dengan sektor perikanan laut;
5. Haria Peukan atau nama lain mempunyai fungsi dan melaksanakan tugas yang
berhubungan dengan kegiatan pasar Gampong;
6. Dan lain-lain unsur pelaksana teknis yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan,
(36)
c. unsur wilayah, adalah pembantu Keuchik dibagian wilayah Gampong, yaitu Kepala
(37)
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Terdapat nilai-nilai budaya Aceh yang terkait dengan kepemimpinan. Nilai-nilai
menjadi bagian dari karakter pemimpin yang diidamkan, Selain itu, nilai-nilai budaya
tersebut menjadi suatu pedoman yang dipakai di dalam menetapkan kepemimpinan dalam
masyarakat.
Ajaran Islam telah merasuk ke dalam budaya masyarakat Aceh sehingga
kepemimpinan pundidasarkan kepada nilai-nilai Islami. Ada nilai-nilai dualistis dalam
kepemimpinan masyarakat Aceh, yaitu antara kepemimpinan duniawi dan kepemimpinan
agama. Sifat dualistis tidak hanya pada tingkatan kerajaan, tetapi juga merambah pada
tingkatan paling rendah, yaitu gampong. Semuanya berorientasi kepada ketertiban dan
keharmoniasan, serta saling diuntungkan.
Bentuk/wujud kepemimpinan pada masyarakat Aceh memiliki kekhasan tersendiri,
sehinggatidak dapat disamaratakan dengan daerah lain. Kiranya perlu dikembangkan
keberagamaan (kebhinekaan) dan mengurangi keragamaan (keekaan).
Terdapat perbedaan pada cara pemilihan pemimpin yang sekarang dengan
pemilihan pada masyarakat gampong. Hal ini terkait criteria maupun syarat untuk menjadi
(38)
Budaya lokal awalnya sangat perpengaruh didalam sistem pemerintahan gampong.
Hal ini dapat dilihat dari syarat dan kriteria seorang pemimpin yang ada di Aceh. Akan
tetapi, seiring dengan masuknya sistem pemerintahan desa pada masa orde baru di Aceh,
secara perlahan hal tersebut mulai memudar.
B.Saran
Menindaklanjuti hasil-hasil penelitian ini, peneliti juga menyarankan beberapa hal,
yaitu:
pertama sistem kepemimpinan masyarakat Aceh memiliki nilai-nilai budaya lokal
yang tinggi dan tidak dapat disamaratakan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya-upaya
pelestariannya melalui peraturan daerah/qanun, pembentukan gampong dengan sistem
kepemimpinan yang pernah diwariskan oleh indatu-indatu ureueng Aceh.
Kedua, perlu diupayakan pendidikan dan sosialisasi budaya lokal Aceh kepada generasi muda sehingga mereka lebih mengetahui budaya-budya lokal daerah mereka
(39)
BAB II
PROFIL PEMERINTAHAN GAMPONG LHOK PAWOH KECAMATAN SAWANG KABUPATEN ACEH SELATAN
A. Pemerintahan Gampong
1 Sejarah Lahirnya Pemerintahan Gampong
a. Masa Kerajaan Aceh
Dalam sejarah Aceh, sejak zaman kesultanan Sultan Iskandar Muda (memerintah
1607-1636 M), Aceh telah memiliki tata pemerintahannya tersendiri, mulai dari
pemerintahan pada tingkat terendah yaitu Gampong. Lembaga yang terdapat di dalam
Gampong terdiri dari: Majelis Adat Aceh, Imueum Mukim yang merupakan Kepala
Pemerintahan Mukim. Imeum chik, Imam Masjid pada tingkat mukim, yaitu orang yang
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di wilayah mukim yang berkaitan dengan bidang
agama Islam dan pelaksanaan Syari’at Islam.
Kemudian juga di dalam gampong juga memerintah seorang Keuchik, yang
merupakan kepala persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan
pemerintahan gampong. Tuha Lapan, sebagai lembaga adat pada tingkat mukim dan
gampong yang berfungsi membantu Imeum Mukim dan Keuchik. Imeum Meunasah,
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang
(40)
yang membantu pimpinan mukim dan gampong dalam urusan pengaturan irigasi untuk
pertanian atau persawahan dan sengketa sawah. Panglima Laot, pemimpin adat yang
memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut dan sengketa laut.
Peutua Sineubok, pemimpin adat yang mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan hutan perladangan, perkebunan pada wilayah gunung atau perbukitan dan
lembah-lembah. Haria Peukan, pemimpin adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan
pengutip retribusi pasar. Syahbandar, pemimpin adat yang mengatur urusan tambatan kapal
atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. Selain lembaga-lembaga adat lain
yang hidup didalam masyarakat Aceh yang diakui keberadaannya, dipelihara dan
diberdayakan. Semua lembaga adat ini mempunyai struktur dan perannya masing-masing di
dalam masyarakat.
Kemudian terdapat sebuah lembaga bernama Tuha peut yang merupakan lembaga
kelengkapan gampong dan mukim, berfungsi memberikan nasehat-nasehat kepada Keuchik
dan Imum mukim dalam bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan
masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa ditingkat gampong dan mukim. Untuk
mendukung peran ini, lembaga-lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk
menyelesaikan konflik yang timbul ditengah masyarakat.42
Tuha peut telah berfungsi sebagai tata pemerintahan gampong dalam hirearki sosial aceh, memiliki fungsi, peran dan kekuatan dimata hukum dan masyarakatnya. Tuha peut
(41)
memainkan peranan penting dalam kelangsungan dan dinamika pemerintahan gampong dan
masyarakatnya. Akan tetapi dengan dalih dan faktor apa kemudian seperempat abad
terakhir hilang seolah ditelan masa.
Ciri khas kedaerahan Aceh ini bisa dilihat dari nilai maupun norma yang telah
diimplementasikan dalam bentuk lembaga adat dan sosial sebagai bagian dari interaksi
masyarakat Aceh. Manifestasi dari identitas khas Aceh ini bisa dilihat dari keberadaan
kelembagaan yang asli yaitu gampong. Gampong merupakan sebutan untuk desa atau unit
pemerintahan terendah dalam struktur pemerintahan yang ada di Provinsi Aceh. Aceh
memiliki konsep kekuasaan yang dibangun dari dua pilar, yakni agama dan adat. konsep
kekuasaan ini diwujudkan melalui lembaga-lembaga kekuasaan dan sosial dari tingkat
pusat (kesultanan) hingga ke tingkat gampong sebagai unit pemerintahan terkecil.43
Gampong sudah dikenal sejak zaman pemerintahan kerajaan Aceh pada tahun 1514. Pada saat itu bentuk pemerintahan terendah yang asli lahir dari masyarakat dalam sususan
pemerintahan kerajaan Aceh yakni gampong. Gampong ini muncul pada suatu Qanun
Maeukata Alam Al Arsyi yang menyebutkan bahwa kerajaan Aceh Raya Darussalam
tersusun dari gampong (kampung/kelurahan), mukim (kumpulan gampong-gampong),
sagoe (federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaan).44
43
Gayatri, Irine H. 2007 Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh,LIPI Press. Hal 110
44
M.Mansur Amin,dkk.1988. Kelompok Elit dan Hubungan Sosial di Pedesaan.Jakarta: Pustaka Grafika Kita.
(42)
Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap
rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia
merdeka. Pada masa kolonial belanda, Aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah
indirect yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan daerah direct yang terdiri atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri
dipimpin oleh uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan. 45
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong.
Adanya praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit
gampong berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik indirect rule sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi kaki tangan belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi
lain, peranan ulama bagi gampong disingkirkan.
46
Tidak berhenti sampai disitu, corak politik indirect rule yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial belanda membuat kepemimpinan gampong bercorak patrimonial.
Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di
Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,
gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian.
45
(43)
Tingkat tetinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh adalah pemerintahan
pusat, yang berkendudukan di ibu kota Kerajaan, yang duhulunya bernama Bandar Aceh
Darussalam. Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para kerebat kelompoknya
bergelar Tuwanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu oleh bebeerapa
pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan sebuah manuskrip (MS),
susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24 lembaga atau jabatan yang
terdapat dikenal pada saat sekarang adalah menteri. Nama dari masing-masing lembaga
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kerukunan Katibul, Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Adddaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat Addaulah Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al Harbiah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat al Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10. Wazirat al Kharijiyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dhakhiliyah atau Menteri Dalam Negeri
12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf
(44)
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri Urusan Harta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al Asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Ilam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Kadli Raja yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Mualdlam atau Kadli atau Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan yang disebutkan diatas, dipegang oleh
orang-orang tertentu yang diangkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan
Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang berfungsi hamper dapat
disamakan dengan lembaga legislative sekarang. Lembaga ini turut mendampingi Sultan
dalam melaksanakan tugasnya. Lembaga ini turut mendampingi Sultan dalam
melaksanakan tugasnya. Ketiga lembaga ini adalah:
1. Balai lungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (hulubalang
empat) dan tujuh orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.
(45)
3. Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat
sebanyak tujuh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi
tiap-tiap mukim diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama “Qanun Meukuta
Alam Sultan Iskandar Muda”, disebut pula ada Balai Laksamana, yang tunduk yang berada
di bawah perintah Sultan. Selanjutnya ada pula yang disebut Balai Fardah, yang tugasnya
emmungut atau mengumpulkan wase’ (bea cukai). Balai ini tunduk kepada perintah
Perdana Menteri atau menteri-menteri. Disebutkan pula, dalam memerintah kerajaan,
Sultan Aceh tunduk kepada Qanun.
Demikianlah struktur kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultan yang terakhir Sultan
Muhammad Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang merupakan awal
berakhirnya kerajaan Aceh. karena setelah itu daerah ini diduduki oleh Belanda hingga
tahun 1942. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disebutkan bahwa
masyarakat Aceh dapat dikenal ada dua jenis kelompok pemimpin yaitu kemlompok
pemiimpin adat (umara) dan kelompok pemimpin agama (ulama).
Adapun mereka yang tergolong dalam kelompok pemimpin adat (umara) adalah:
1. Sultan, yang disebut dengan istilah Potue (tuan kita) atau Poe Teu Raja,yang
keturunan laki-lakinya diberi gelar Tuwanku.
2. Uleebalang, mereka merupakan raja-raja kecil beserta dengan kerabat-kerabat
(46)
kerajaan) merupakan bawahan Sultan Aceh, yang untuk pengukuhannya diberikan
sebuah sarakata (besluit) yang dibubuhi segel atau stempel Sultan Aceh yang
dikenal dengan nama cap sikureueng (cap Sembilan). Para Uleebalang memerintah
unit pemerintahan nanggroe secara otokratis yang ditetapkan menurut adat secara
turun menurun. Anak lelakinya mendapat gelar Teuku dan [anggilan yang lazim
juga untuk mereka Ampon. Bila mereka sudah memegang jabatan Uleebalang
dalam waktu yang cukup lama disebut Ampon Chik. Gelar untuk anak perempuan
mereka yaitu Cut yang ditempatkan di depan namanya. Dalam menjalankan
pemerintahannya Uleebalang dibantu oleh pembantu-pembantunya seperti Kadli,
Bantadan Rakan.
3. Kepala Mukim, yaitu mengepalai suatu kesatuan wilayah kekuasaan yang
merupakan gabungan dari beberapa buah Gampong yang berdekatan dan
penduduknya melksankan sembahyang bersama pada setiap hari jum’at di sebuah
mesjid dalam wilayah mukim yang bersangkutan.
4. Panglima Sagoe, yaitu sebagai pimpinan segi yang merupakan federasi dari
mukim-mukim yang khusus terdapat di Aceh Besar yang istilah Aceh Aceh
Rayeuk. Jumlahnya haya tiga buah, yaitu sagi XXII mukim, sagi XXV mukm dan
Sagi XXVI mukim. Ketiga sagi inilah yang lazim disebut dengan nama Aceh lhee
sagoe (Aceh tiga sagi). Gelar untuk Panglima sagoe ini juga ada yang
menyebutnya dengan istilah Uleebalang.
(47)
aparat lainnya, seperti yang disebut waki (wakil) yang merupakan wakil Keuchik
dan kelompok orang tua yang dinamakan Ureueng Tuha. Menurut adat jumlah
hanya empat orang, yang disebut Toeha Peuet. Disamping itu juga ada delapan
orang yag disebut Toeha Lapan. Unsur lain dalam suatu Gampong yaitu yang
dinamakan Ureueng leu (orang banyak), yang merupakan anak-anak dari ayah
kampung (Keuchik), Umara dan Ibu kandung (Teungku Meunasah), sebagai
Ulama.
Sementara yang tergolong pemimpin agama (kelompok Ulama) yang mengurusi
masalah keagamaan yang disebut hukom, yaitu:
1. Kadli yaitu orang yang mengurusi pengadilan agama atau yang dipandang
mengerti mengenai hukum agama di Kerajaan Aceh. Jabatan Kadli ini diadakan
pertama kali di Kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda,
yaitu untuk mengatur pelaksanaan pengadilan agama yang terpisah dengan
pengaturan mengenai adat. Menurut tradisi lisan, Kadli yang pertama di Kerajaan
Aceh bernama Dja Sandang atau disebut juga Dja Bangka, karena ia berasal dari
kawom Dja Sandang. Kadli di kerajaan Aceh popular dengan panggilan Kadli
Malikul Adil. Selain pada tingkat kerajaan Kadli ini juga ada pada tingkat
pemerintahan nanggroe, yaitu yang membantu Uleebalang.
2. Imum Mukim (imim Mukim), yaitu yang menjadi panasehat Kepala Mukim dalam
(48)
3. Teungku Meunasah, meskipun sebagai pembantu Keuchik dalam sebuah mesjid,
bidang hukom tetapi jabatan ini paling dominan dalam kehidupan masyarakat
Gampong.
4. Teungku-teungku, pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti
Dayah dan Rangkang juga termasuk murid-muridnya yang juga dipanggil dengan
sebutan Teungku.
Dengan semboyan “Serambi Mekkah” Aceh tempo doeloe, tidak saja telah mengisi
dictum Adt dan Islam seperti Zat dengan Sifat seupama “kuku dan daging” disamping
Keuchik dengan Meunasah yang tak ubahnya sebagai “Ibu dan Ayah”, pengelola Adat juga
dikenal sebagai elit sekuleir dan Ulama sebagai elit religious telah menujukkan suatu
hubungan yang akrab dan intim namun juga adanya masa-masa yang suram dan renggang.
Contoh yang paling konkrit dapat dilihat pada masa perang Belanda di Aceh. Pada mulai
terjadinya perang tersebut Ulama dan Uleebalang bersama-sama telah melakukan
perlawanan yang mengakibatkan Belanda kewalahan. Sebagai Aceh di bawah pimpinan
Ulama dan Uleebalang dengan gigih dan heroic mengangkat senjata secara terbuka maupun
secara gerilya melawan Belanda.
Namun dalam perkembangannya setelah melakukan berbagai usaha dengan politik
divide et empera, pihak Belanda berhasil mematahkan perlawanan Aceh. salah satu cara
yaitu dengan memisahkan atau merenggangkan hubungan antara kelompok ulama dengan
(49)
C. Snouck Hurgronje ini, kemudian sebagian Uleebalang dapat dirangkul dan selanjutnya
mereka ini dijadikan sebagai aparat-aparat dalam struktur birokrasi Belanda. Mereka
dijadikan sebagai perantara antara Belanda dengan rakyat. Selanjutnya Uleebalang yang
menjadi lebih terampil dan tidak lagi dipengaruhi oleh para Ulama, maka mereka diididik
dengan pendidikan barat. Dalam perkembangannya dari mereka yang dididik ini telah
muncul kelompok baru dalam masyarakat Aceh.
b. Masa Orde Lama
Dalam perjalanan sejarahnya, gampong memiliki lika-liku yang beragam disetiap
rezim politik yang memerintah di Indonesia. baik pada masa kolonial dan pasca Indonesia
merdeka. Pada masa kolonial belanda, Aceh dibagi menjadi dua bagian, yakni daerah
indirect yang terdiri dari leih dari 100 zelfbestuur/landschap, dan daerah direct yang terdiri atas beberapa puluh daerah adat dan administratif. Untuk daerah zelfbestuur sendiri
dipimpin oleh uleebalang, tentu saja sifat mengalir dari kesetiaan gampong dihentikan. 47
Pada masa kolonial belanda, gampong banyak mengalami trasformasi sosial dan
pergeseran nilai dan ikatan tradisional antara uleebalang, ulama dan warga gampong.
Adanya praktik tanam paksa membuat ikatan tradisional antara warga gampong dan elit
gampong berubah menjadi ikatan kontrak. Belanda secara efektif menjalankan politik indirect rule sampai ke unit pemerintahan paling bawah membuat para uleebalang menjadi
(50)
kaki tangan belanda dalam mengontrol komoditas pertanian di gampong, sedangkan disisi
lain, peranan ulama bagi gampong disingkirkan.48
Meskipun otonomi dan diakuinya hak-hak istimewa bagi unit pemerintahan terkecil
sudah diakui oleh pemerintah pusat. namun pada masa revolusi (1945-1950) terjadi
kemerosotan terhadap komoditi pertanian yang berimbas pada stagnansi ekonomi gampong.
Gampong yang pada awalnya merupakan tanah tempat bercocok tanam yang didiami oleh Tidak berhenti sampai disitu, corak politik indirect rule yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial belanda membuat kepemimpinan gampong bercorak patrimonial.
Kondisi gampong makin diperparah dengan masuknya penjajahan Jepang (1942-1945) di
Indonesia. Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan perang,
gampong di Aceh juga mengalami hal seperti demikian.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, salah satu agenda yang dipersiapkan
bagi daerah-daerah di Indonesia yakni mengenai otonomi daerah. Desa diakui sebagai
komunitas rakyat yang otonom dengan diakuinya hak – hak istimewa. Hak otonomi
diberikan negara di tingkat paling bawah sampai ke desa bukan kelurahan sebagai kesatuan
masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Undang-Undang 22 tahun 1948
menyebutkan bahwa Desa sebagai daerah yang memiliki bentuk dan wewenang yang
otonom untuk mengatur dan menjalankan pemerintahannya sendiri.
(51)
sekelompok manusia kini semakin ditinggalkan karena memudarnya ikatan sosial dan
ikatan territorial.
Melemahnya otoritas pranata pemerintahan gampong seperti uleebalang, keuchik,
dan ulama tidak sekuat pada masa lampau karena adanya trasnformasi sosial dari pola
kehidupan agraris ke pola semi-urban mengakibatkan reduksi identitas cultural warga
gampong.49
Pada masa orde baru berkuasa yakni tahun 1966 sampai dengan tahun 1998
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah. Isi dari Undang-Undang ini lebih bernuansa sentralistik. Melalui UU no. 5 tahun
1974 pemerintah Orde Baru menerapkan sistem sentralistis dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah mulai dari provinsi sampai ke desa. Pemerintah daerah dijadikan
instrumen pemerintah pusat agar bisa melaksanakan semua kebijakan pusat secara efektif
dan efisien. Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak memperkuat daerah otonom, tapi
memperkuat wilayah administrasi. c. Masa Orde Baru
50
Pada masa orde baru terjadi tekanan politik terhadap desa, dalam konteks negara
Orde Baru yakni ketika rezim memberlakukan Undang-Undang No. 5/Th. 1979 tentang
49
Hiraswari Gayatri, Irine dan Septi Satriani (ed). Dinamika Kelembagaan Gampong dan Kampung Aceh Era Otonomi Khusus. Jakarta:LIPI Press, 2007, hal 114
50
Hanif Nurcholis.2011.Hubungan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Serta Peran Wakil Pemerintah.Jakarta:Jurnal Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Terbuka Jakarta Vol. 2 No 2
(52)
Pemerintahan Desa yang menyeragamkan kelembagaan desa. Aturan ini mendefenisikan
desa dalam pengertian administratif, yaitu suatu satuan pemerintahan desa sebagai strategi
untuk mengontrol desa. Dengan demikian, secara resmi desa berada di rantai terbawah
hierarki birokrasi sistem pemerintahan nasional. Akibatnya desa menjadi bagian dari
struktur negara, yang meniadakan otonomi asli desa. Potret desa tersebut juga berlangsung
di gampong di Aceh, daerah nusantara yang selama sekian puluh tahun sejak 1976 hingga
2003 mengalami abnormalitas politik karena berlangsungnya konflik bersenjata.
Bisa dilihat bahwa orde baru secara sistematis melakukan penghancuran terhadap
eksistensi gampong di Aceh. Berbekal UU No 5 tahun 1979 yang berisi tentang
penyeragaman satuan unit pemerintahan terkecil sebagai desa ini, orde baru juga menaruh
elit-elit baru untuk menguasai pemerintahan daerah Aceh dalam rangka mengontrol
gampong melalui teknokrat lokal, birokrasi militer dan ulama yang telah dikooptasi melalui MUI.51
Dampak dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa juga
dirasakan oleh masyarakat Aceh di mana sebelumnya ada Keuchik yang memiliki otoritas
mengurus dan menyelesaikan berbagai persoalan pemerintahan menurut adat, Teungku
Imuem Meunasah berkompeten menangani persoalan di bidang keagamaan. Sedangkan
sebutan untuk desa disebut dengan Gampong. Dan apabila ada persoalan di sebuah
gampong langsung diselesaikan secara internal di dalam Gampong. Sedangkan pada saat
(53)
pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, Para keuchik atau pimpinan gampong
tidak lebih dari kepanjangan tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema
pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun gampong jabatan
Teungku Imuem meunasah dihilangkan dari kelembagaan formal menjadi informal. Dan
terjadinya penyeragaman sebutan desa di seluruh Indonesia.
Demikian juga halnya fungsi lembaga perwakilan gampong atau lembaga Tuha peut
Gampong yang menyamai fungsi sebagai Lembaga Perwakilan dihapus dan diganti menjadi Lembaga Musyawarah Desa atau disebut LMD. Dalam kenyataannya LMD juga tidak
mendapat peran yang maksimal, karena bisa dipastikan bahwa peranan LMD dalam rezim
orde baru sangat impoten tidak bisa memenuhi representasi masyarakat karena diketuai
oleh kepala desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah secara bersamaan. Sehubungan
dengan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai
satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter
khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi.
d. Masa Reformasi
Setelah Rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, sistem pemerintahan sentralistik
mulai tergantikan posisinya oleh sistem pemerintahan desentralistik. Gelombang arus
demokratisasi yang semakin populer dan menjadi pilihan negara-negara dalam sistem
pemerintahannya khususnya di negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Terlebih lagi
(54)
Masyarakat khususnya yang di daerah-daerah, yang selama ini merasa terbelenggu karena
sistem pemerintahan orde baru, kemudian menyambut baik glombang demokratisasi di
Indonesia. Menyambut proses demokratisasi di Indonesia, pemerintah kemudian
mengeluarkan Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah.
Undang-Undang ini mengakui Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak
asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu Desa bisa disebut dengan nama lain atau sesuai
dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Pada masa reformasi ini pula momentum bagi gampong untuk merevitalisasi diri.
Dikeluarkannya UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi NAD yang
ditindaklanjuti dengan Qanun No 5/2003 tentang gampong dalam membuka ruang guna
kembali lagi ke adat dan agama islam. Gampong-gampong kembali untuk membangun
kembali seperti bentuk dahulu sebagai self-governing community di unit pemerintahan
terkecil di Aceh.
Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir
diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Aceh dan Gerakan Aceh Merdeka
yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk
rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh
(55)
Sebelum keluarnya undang Pemerintahan Aceh ini telah diberlakukan
Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan untuk Aceh Besar telah
mengeluarkan Qanun Kabupaten Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Gampong yang merupakan penjabaran dari Pasal 41 Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong. Qanun tersebut dimaksudkan untuk menata
Pemerintahan Gampong yang salah satunya bertujuan untuk pembangunan masyarakat di
Gampong.
B. Pemerintahan Gampong Lhok Pawoh
Gampong Lhok Pawoh dipimpin oleh seorang keuchik dan dibantu oleh Teungku
Imeum meunasah dan Tuha peut. Adapun struktur pemerintahan gampong Lhok pawoh adalah sebagai berikut:
1. Keuchik berserta perangkat desa yang terdiri dari:
a. Bapak Azharudin Ramli sebagai Keuchik Lhok Pawoh.
b. Safriadi sebagai Sekretaris Gampong Lhok Pawoh, yang mana dibantu oleh :
c. Misdar Hasan sebagai kepala dusun Twi Lhok.
d. Tgk. Sulaiman sebagai kepala dusun Pasie.
e. Tgk. Irwata sebagai kepala dusun Tengoh.
f. Suriyadi sebagai kepala dusun Paya.
(56)
a) Ruzuar Is Maidi, SE sebagai Ketua.
b) M. Nasir, SE sebagai Wakil Ketua 1.
c) Zulkarnaini sebagai Wakil Ketua 2.
d) Muzakkir. S.Pd sebagai Sekretaris.
e) Masrizal sebagai Anggota.
f) Tgk. Yulizar Abdia sebagai Anggota.
g) Afrizal sebagai Anggota.
h) Yuli Iskandar sebagai Anggota.
i) Henazar sebagai Anggota.
j) Mariah sebagai Anggota.
k) Musdar sebagai Anggota.
3. Tokoh Agama:
a. Tgk. Safrinasir
b. Tgk. Sukardi
c. Tgk. Yulizar Abdia
4. Tokoh Pemuda:
a. Muzakkir, S.Pd
b. Ayuzar
5. Tokoh Adat
a. Tgk. Sulaiman
(57)
c. Irwata
d. Muajar sebagai Panglima laot gampong lhok pawoh
e. Zulkarnain sebagai peutua seuneubok gampong lhok pawoh
f. Safriadi.52
Sumber : Kantor Keuchik Gampong Lhok Pawoh Kecamatan Sawang
Sebagai kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh, gampong merupakan kumpulan
hunian yang diikat oleh satu meunasah (madrasah). Gampong sendiri terdiri dari beberapa
jurong, Tumpok (kumpulan rumah) atau ujong (ujung gampong).53 Penanda dari wilayah suatu gampong bisa dilihat dari keadaan fisik atau topografi alam setempat untuk menandai
wilayah gampong yang satu dengan yang lain digunakan batas alam (sungai, tanah, gunung
dan bukit). Gampong memiliki karakteristik yang ditandai dengan pola pemukiman yang
padat dan terpusat dengan arah bangunan menghadap ke kiblat. Terdapat bangunan rumah
berbentuk rumah panggung dengan meunasah sebagai tempat beribadah yang terletak di
tengah-tengah gampong.54
Pasal 1(5) Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003
menyebutkan bahwa Mukim atau dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong Setiap gampong mempunyai sekurang-kurangnya sebuah
meunasah (mushalla).
52
Data dari kantor Keuchik Gampong Lhok Pawoh.
53
M. Arief, Sanusi. 2005. Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekronstruksi Pasca Tsunami, Bogor: Pustaka Latin. Hal. 11
54
(58)
yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan
langsung di bawah camat atau dengan nama lain dan dipimpin oleh Imeum Mukim atau
dengan nama lain.
Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa
gampong yang berada langsung dibawah dan bertanggungjawab kepada camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003
disebutkan bahwa mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan syari’at islam.
Yang mana kemudian dijelaskan lagi dalam pasal 4 Qanun Nomor 4 Tahun 2003, bahwa
untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 tersebut diatas, mukim
mempunyai fungsi :
1. Penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi
dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;
2. Pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi,pembangunan fisik, maupun
mental spiritual;
3. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan,
peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat;
4. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
5. Penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal
(59)
Pada umumnya tugas Mukim bersifat banding yang diajukan oleh Keuchik, karena
tidak selesai pada tingkat Gampong. Pada Kemukiman juga ada Majelis Adat Mukim yang
dipimpin oleh Imeum Mukim dan dibantu oleh Sekretaris Mukim serta dihadiri oleh
seluruh Tuha peut Mukim. Majelis Adat Mukim berfungsi sebagai Badan yang memelihara
dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat dengan cara menyelesaikan
dan memberikan keputusan-keputusan Adat terhadap persilihan-perselisihan dan
pelanggaran adat. Majelis adat mukim juga memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu
hal dan pembuktian lainnya menurut hukum adat. Yang mana keputusan-keputusan dan
ketetapan-ketetapan Majelis Adat Mukim tersebut menjadi pedoman bagi para Keuchik
dalam menjalankan roda pemerintahan Gampong.
Gampong mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, menata masyarakat, dan meningkatkan pelaksanaan syari’at islam. Dalam
menjalankan tugas tersebut gampong juga memiliki fungsi sebagai :
1. Penyelenggaraan pemerintahan, baik berdasarkan atas Desentralisasi,
Dekonsentrasi dan Urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan
lainnya yang berada di gampong.
2. Pelaksanaan Pembangunan, baik pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan
hidup maupun pembangunan mental spiritual di Gampong.
3. Pembinaan kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradaban, sosial budaya,
(60)
4. Peningkatan pelaksanaan Syari'at Islam.
5. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat.
6. Penyelesaian persengketaan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan
atau perkara-perkara adat dan adat-istiadat.
Pemerintahan Gampong diselenggarakan oleh pemerintah gampong yaitu Keuchik,
Teungku Imeum meunasah, beserta Perangkat Gampong dan Tuha peut Gampong. Keuchik
sebagai kepala badan eksekutif gampong dalam penyelenggaraan pemerintahan gampong.
Teungku Imeum meunasah mempunyai tugas memimpin kegiatan keagamaan dan seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan kemakmuran Meunasah dan kegiatan lainnya yang
berhubungan dengan pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat gampong.
Sedangkan Tuha peut adalah lembaga legislatif gampong atau disebut juga badan
perwakilan gampong.
Perangkat Gampong membantu keuchik dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewajibannya. Dalam pelaksanaan tugasnya perangkat gampong langsung berada dibwaha
dan bertanggung jawab kepada keuchik. Perangkat gampong diangkat dari penduduk
gampong yang memenuhi syarat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perangkat gampong diangkat dan dapat diberhentikan dengan keputusan keuchik setelah
mendapat persetujuan dari Tuha peut.
(1)
Karya ini dipersembahkan untuk
Ayahanda Tercinta dan Ibunda Tercinta
(2)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kesesuaian Budaya Lokal Di Dalam Sistem Pemerintahan (Analisis Qanun Provinsi Aceh No 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, Di Gampong Lhok Pawoh)”. Skripsi ini menguraikan budaya lokal yang ada di dalam masyarakat Aceh terutama di Gampong Lhok pawoh kecamatan Sawang, dan keterkaitan dengan sistem pemerintahan gampong di dalam qanun nomor 5 Tahun 2003 tentang pemerintahan gampong. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dari Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M. Si, sebagai Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua Jurusan Departemen Ilmu Politik. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang tulus kepada Bapak Drs. Zakaria Taher M.SP sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu dan banyak bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membangun dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen dan staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah meluangkan waktu untuk mendidik penulis selama menjalani masa perkuliahan. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Kak Ema, Pak Burhan dan Kak Siti yang membantu penulis dalam urusan administratif kampus.
Secara khusus penulis mengucapkan kepada kedua orang tua tersayang, Ayahanda Jasman, S.Pd dan Ibunda Tercinta Yusmanidar atas cinta, kasih sayang, do’a dan kesabaran dalam membesarkan dan mendidik penulis kearah yang lebih baik sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga kepada adik penulis, Dian Salwa, Rahmatul Azkia dan Muhammad fauzul Ambia yang telah memberikan do’a dan dukungan selama ini kepada penulis.
(3)
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Teman-teman seperjuangan Departemen Ilmu Politik Stambuk 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Compact FC yang telah memotivasi, mendorong dan bersenang-senang bersama selama masa perkuliahan, M Habibie, Togi Nalom, M Andri, Heru Guntara, M Sazali, M Hafiz, Sopian Manalu, Syarif Hasibuan, Hotlam Simamora.
Terakhir penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, baik dari pihak Kantor Keuchik Gampong Lhok pawoh, yakni Bapak Azharudin ramli selaku keuchik dan Suriadi selaku sekretaris gampong, Bapak Ruzuar Ismaidi S.E selaku anggota tuha peut Gampong Lhok Pawoh, dan Bapak Hamdan selaku mukim dan orang yang di Tua di gampong lhok Pawoh, dan Masyarakat Gampong Lhok Pawoh yang sudah bersedia menjadi narasumber saya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih atas semua bantuan dari semua pihak dalam penyelesaian skripsi ini dan berharap skripsi ini memberikan manfaat bagi kita.
Medan, Februari 2016
Febrianda Yulfa 100906011
(4)
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul
Abstrak ... ii
Abstract ... iv
Halaman Pengesahan ... v
Halaman Persetujuan ... vi
Lembar Persembahan ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Gambar ... xv
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Kerangka Teori ... 10
1. Teori Pemerintahan... 10
2. Teori Kearifan Lokal ... 15
3. Teori Struktur Fungsional ... 18
4. Teori kepemimpinan ... 24
F. Metode Penelitian ... 31
(5)
2. Lokasi Penelitian ... 32
3. Teknik Pengumpulan Data ... 32
4. Teknik Analisa Data ... 33
G. Sistematika Penulisan ... 35
BAB II Profil Pemerintahan Gampong Lhok Pawoh Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan A. Pemerintahan Gampong ... 37
1. Sejarah Lahirnya Pemerintahan Gampong ... 37
a. Masa Kerajaan Aceh ... 37
b. Masa Orde Lama ... 48
c. Masa Orde Baru ... 50
d. Masa Reformasi ... 53
B. Pemerintahan Gampong Lhok Pawoh ... 55
C. Lokasi dan Keadaan Geografis Gampong Lhok Pawoh ... 63
D. Demografis Gampong Lhok Pawohh ... 59
1. Jumlah Penduduk ... 63
a. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 63
b. Jumlah penduduk Gampong Lhok pawoh berdasarkan Mata Pencaharian ... 64
c. Jumlah Penduduk Gampong Lhok Pawoh Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 65
E. Adat Istiadat Gampong Lhok Pawoh ... 66
BAB III Penyajian Dan Analisis Data A. Nilai Budaya Aceh Terkait dengan Kepemimpinan ... 74
B. Pengaruh Islam Terhadap sistem Kepemimpinan di Aceh ... 81
C. Bentuk/Wujud Sistem Pemerintahan Gampong Berdasarkan Qanun Meukuta Alam ... 86
(6)
D. Pemerintahan Gampong dalam Qanun Nomor 5 2003 ... 96
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 111
Daftar Pustaka ... 130
Daftar Lampiran:
Lampiran 1. Pedoman Wawancara dengan Keuchik Gampong Lampiran 2. Pedoman Wawancara dengan Staff Gampong Lampiran 3. Pedoman Wawancara dengan Masyarakat Gampong Lampiran 4. Pedoman Wawancara dengan Tuha Peut Gampong Lampiran 4. Pedoman Wawancara dengan Mukim