Tokoh dan Penokohan
3.1.2 Burung-Burung Manyar
Novel ini bercerita tentang perbedaan pandangan antara Setadewa (Teto) dan Larasati (Atik). Teto, anak seorang kompeni bernama Brajabasuki, membenci republik Indonesia yang “menye- rah” kepada Jepang. Teto juga membenci Jepang yang telah mem- bunuh ayahnya serta menggundik(-i) ibunya. Teto masuk menjadi tentara KNIL di bawah pimpinan Verbruggen dan mengadakan Novel ini bercerita tentang perbedaan pandangan antara Setadewa (Teto) dan Larasati (Atik). Teto, anak seorang kompeni bernama Brajabasuki, membenci republik Indonesia yang “menye- rah” kepada Jepang. Teto juga membenci Jepang yang telah mem- bunuh ayahnya serta menggundik(-i) ibunya. Teto masuk menjadi tentara KNIL di bawah pimpinan Verbruggen dan mengadakan
Relasi oposisi di atas menghadirkan konflik cerita yang berisi muatan kritik sosial dan kritik terhadap dunia priyayi Jawa, di sam- ping menggambarkan sikap-sikap tokoh yang mengacu kepada tradisi subkultur Jawa. Sahid (1986:68) menunjukkan bahwa sikap yang mengacu kepada subkultur Jawa terlihat pada tokoh Larasati (Atik), Marice, dan Bu Antana. Terhadap pernyataan ini, kita harus lebih berhati-hati dalam melihat sikap dan sifat tokoh Larasati. Kontradiksi tokoh Larasati menyebabkab di satu pihak ia bertindak menurut acuan tradisi subkultur Jawa dan di sisi lain ia membe- rontak terhadap keberadaan kaum priyayi; suatu sikap yang di- anggap tidak njawani.
Proses pelaksanaan ‘kebebesan dari’ tradisi (tokoh Larasati) terlihat dari penolakan tokoh Larasati terhadap penggunaan gelar den Rara (Burung-Burung Manyar , hlm. 11), kebahagiaan Larasati dalam menerima kenyataan bahwa ibunya menikah tidak dengan seorang pangeran atau kaum istana (hlm. 22), dan ia bersyukur karena tidak menjadi seorang putri kraton (hlm. 23). Alasan ini bisa ditambah lagi dengan melihat kenyataan bahwa Larasati bu- kan tipe wanita Jawa yang meyadari kodratnya sebagai wanita, tidak bersikap pasrah dan nrima seperti umumnya wanita Jawa kebanyakan.
“Atik bukan gadis desa yang serba menerima dan sumarah belaka. Atik adalah tipe Klenting Kuning. Ngunggah-unggahi ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, si Teto juga bukan Ande-Ande Lumut.” (Burung-burung Manyar, hlm. 239)
Larasati bersedia ngunggah-ngunggahi berarti menunjuk pada sikap yang menurut ukuran masyarakat Jawa terlalu berani dan istimewa, walaupun sikap semacam ini sudah ada dalam referensi epos Mahabharata maupun dalam cerita Ande-Ande Lumut. Geertz
(1983:125) menjelaskan bahwa dalam hal perjodohan, wanita Jawa priyayai dan juga wong cilik tidak mempunyai hak untuk melakukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri.
Beberapa uraian di atas membuktikan bahwa Larasati bukan merupakan tokoh wanita produk kraton yang memiliki ciri tradi- sional konservatif. Dapat dikatakan bahwa Larasati merupakan gambaran wanita Jawa masa kini dengan ciri-ciri seperti yang ditunjukkan Sadli (1983:153): cerdas, berinisiatif, berani menolak sesuatu jika tidak sesuai dengan pandangannya, dan tidak segan melontarkan pendapat.
Hal yang menarik adalah kontras antara Larasati dengan du- nia Belanda. Bagaimanapun juga fanatiknya Teto pada pihak Be- landa, namun terasa adanya ikatan yang halus untuk tetap kontak dengan Indonesia. Larasati seolah-olah menjadi dunia ideal yang tidak bisa dikesampingkan oleh Teto. Larasati menjadi semacam simbolisasi ibu pertiwi yang diam walau membutuhkan sesuatu yang selalu bergerak. Novel Burung-Burung anyar mempunyai cerita yang unik karena merupakan novel Indonesia yang mengacu pada plot dan tokoh cerita wayang.
3.1.3 Roro Mendut
Novel sejarah Roro Mendut karya Mangunwijaya mengisah- kan perebutan kekuasaan daerah Pati oleh Sultan Agung. Raja Mataram memerintahkan Tumenggung Wiroguno untuk meng- ambil alih kekuasaan Adipati Pragola. Perintah itu berhasil dilak- sanakan Tumenggung Wiroguno dengan memenggal kepala Adi- pati Pragola, merampas harta benda dan putri-putri Kadipaten Pati.
Roro Mendut, calon selir Adipati Pragola, ikut terampas dan dibawa ke Mataram. Selanjutnya Roro Mendut diboyong ke puri Wirogunan sebagai hadiah dari Sultan Agung atas keberhasilan Tumenggung Wiroguno.
Hasrat Tumenggung Wiroguno menundukkan Roro Mendut diwarnai oleh kobaran api asmara yang menimbulkan berbagai konflik dalam lingkungan puri Wirogunan. Terdesak oleh hasrat kekuasaan Tumenggung Wirpguno, Roror Mendut terpaksa ber- Hasrat Tumenggung Wiroguno menundukkan Roro Mendut diwarnai oleh kobaran api asmara yang menimbulkan berbagai konflik dalam lingkungan puri Wirogunan. Terdesak oleh hasrat kekuasaan Tumenggung Wirpguno, Roror Mendut terpaksa ber-
Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan penelitian ini, novel Roror Mendut menempatkan tokoh wanita (Roro Mendut) opada posisi yang penting yang mengakibatkan Wirohuno meneri- ma akibat dari perbuatan Roro Mendut. Tragedi yang menimpa Wiroguno terjadi karena adanya manifestasi dari pikiran dasar pelaksanaan ‘kebebasan untuk’ memilih dari Roro Mendut yang merupakan kelanjutan dari usaha ‘kebebasan dari’ tradisi. Kondisi ini tercermin dalam penggambaran tokoh Roro Mendut sebagai tokoh garda depan, tokoh pendobrak, tokoh yang penuh keperca- yaan diri dan berani menantang arus demi keyakinannya. Sikap menolak untuk diangkat menjadi selir Tumenggung Wiroguno me- rupakan gambaran tindakan kontroversial yang dilakukan wanita Jawa dari golongan wong cilik. Sebab dalam pola pemikiran masya- rakat Jawa tradisional, menjadi selir merupakan suatu anugerah. Geertz (1983:307) menegaskan bahwa dunia priyayi bagi wong cilik merupakan bentuk puncak apa yang menjadi angan-angan mereka – berbagai sikap seperti menahan diri, berbudaya, berpengetahuan, merasa diri penting, dianggap merupakan bentuk kegembiraan dalam hidup.
“Tetapi Roro Mendut memang sungguh harus dimarahi. Ke- terlaluan! Mosok, dipinang jadi istri panglima besar negara kuasa kok menolak. Itu ajaran dari siapa! Seandainya dia itu anak kandungnya sendiri, o, sudahlah, dikepruk siwur sung- guh. Dosa, sungguh dosa menolak rahmat Allah dan hati budi- wan seorang besar. Ini ada dari mana! Sungguh, Ni Semongko tidak mudeng.” (Roro Mendut, hlm. 195)
Paling tidak, gambaran tersebut merupakan lambang keman- dirian dan ketinggian martabat wanita sekaligus merupakan kesa- Paling tidak, gambaran tersebut merupakan lambang keman- dirian dan ketinggian martabat wanita sekaligus merupakan kesa-
Pandangan tokoh komplementer terhadap tokoh utama meng- isyaratkan bahwa Roro Mendut memang bebnar-benar merupakan wanita istimewa untuk ukuran wanita Jawa. Roro Mendut bukan tipe wanita Jawa yang nrima dan pasrah.
“Harus diakui, Roro Mendut memang gemilang. Kemenang- an Roro Mendut pada hakikatnya kemenangan kaum wanita juga. Hal itu sangat terasa oleh Nyai Ajeng, yang selain wanita cantik, bernalar cerdas juga. Ada dalam diri seorang istri, yang mendorongnya membela suami. Akan tetapi banyak segi, setelah kedudukan dan penghargaan selaku istri atau pun ibu tercapai, maka segi wanitalah yang akan lebih berbicara. Bagaimanapun, Roro Mendut dalam mata Nyai Ajeng toh semacam pahlawan juga. Pemberang, ya, tetapi tanpa wanita semacam mendut itu, kaum perempuan tetap tinggal lumpur sawah yang hanya bertugas menumbuhkan padi. Dihargai memang, tetapi tetap diinjak-injak kerbau dan dicangkuli seenak petani. Dipuja dipuji keindahan sawah-sawah dan petak-petak yang penuh air dan yang mencerminkan angkasa pada permukaannya. Kebanggan Jawadwipa, “loma boma- bumi, luber bojo brono, dyah endah biyung mrumbung ” (serba melimpah hadiah langit bumi, meluap makan serta harta, sebagai perawan ia cantik, sebagai ibu ia subur), tetapi tetap lumpur yang terinjak dan tercangkuli, tanpa hak apa pun dan yang hanya bertugas: sendiko.” (Roro Mendut, hlm. 295—296)
Keadaan tersebut sesuai dengan komentar tokoh komplemen- ter (Arumadi) bahwa selayaknya dan seharusnya wanita boleh dan mau memilih (Roro Mendut, hlm. 360). Penolakan terhadap dunia priyayi juga dapat diamati lewat apa yang terlintas dalam pikiran Roro Mendut.
“Tak habis-habisnya Mendut bertanya dalam hati, mengapa begitu banyak gadis dan wanita mendamba dan penuh mimpi untuk hidup di dalam istana. Memang dunia ini aneh. Mereka yang begitu ingin hidup dalam istana tidak terpilih, sedang- kan orang yang benci hidup di dalamnya, dialah yang dipak- sa.” (Roro Mendut, hlm. 200)
Seperti halnya tokoh Larasati (dalam Burung-Burung Manyar), tokoh Roro Mendut pun dihadirkan dengan mengacu kepada gam- baran wanita Jawa masa kini yang mempunyai sikap kritis, cerdas, berani menyimpang dari kebiasaan yang berlaku, menunjukkan sikap “merdeka”, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan hidup.
3.1.4 Genduk Duku
Sama halnya dengan novel Roro Mendut, dalam novel Genduk Duku pun Mangunwijaya menempatkan tokoh wanita (Genduk Duku) pada posisi yang penting sehingga tokoh Wiroguno, Jibus, Badogbadig, menerima akibat dari sikap-sikap Genduk Duku.
Salah satu konflik yang penting terjadi ketika Genduk Duku harus berhadapan kembali dengan Tumenggung Wiroguno. Kon- flik tersebut menyebabkan terjadinya tegangan-tegangan dalam cerita yang mengakibatkan munculnya beberapa tokoh lain untuk menciptakan situasi yang harmoni (selaras). Perlu diingat bahwa seorang tokoh dapat berbuat sesuatu terhadap tokoh lain dan ini dapat menghadirkan ciri tertentu terhadap tokoh–tokoh tersebut (Luxemburg dkk., 1984:141). Selanjutnya diterangkan pula bahwa dalam perkembangan alur, si pejuang dibantu atau dihalangi oleh pelaku-pelaku lain. Pembantu (adjuvant) dan penghalang (opposant) mempengaruhi perjuangan tokoh utama secara insidental. Pada tingkat permulaan (Hawkes, 1977:90), hubungan ini akan menye- babkan action fundamental yang menyeluruh dari disjunction (pe- misah) dan conjunction (penghubung. Dalam Genduk Duku dapat diperhatikan adanya kaitan konflik cerita dengan munculnya tokoh- tokoh cerita yang terlibat di dalamnya. Penyajian peristiwa-peris- Salah satu konflik yang penting terjadi ketika Genduk Duku harus berhadapan kembali dengan Tumenggung Wiroguno. Kon- flik tersebut menyebabkan terjadinya tegangan-tegangan dalam cerita yang mengakibatkan munculnya beberapa tokoh lain untuk menciptakan situasi yang harmoni (selaras). Perlu diingat bahwa seorang tokoh dapat berbuat sesuatu terhadap tokoh lain dan ini dapat menghadirkan ciri tertentu terhadap tokoh–tokoh tersebut (Luxemburg dkk., 1984:141). Selanjutnya diterangkan pula bahwa dalam perkembangan alur, si pejuang dibantu atau dihalangi oleh pelaku-pelaku lain. Pembantu (adjuvant) dan penghalang (opposant) mempengaruhi perjuangan tokoh utama secara insidental. Pada tingkat permulaan (Hawkes, 1977:90), hubungan ini akan menye- babkan action fundamental yang menyeluruh dari disjunction (pe- misah) dan conjunction (penghubung. Dalam Genduk Duku dapat diperhatikan adanya kaitan konflik cerita dengan munculnya tokoh- tokoh cerita yang terlibat di dalamnya. Penyajian peristiwa-peris-
Dapat dikatakan bahwa sikap-sikap tokoh (terutama tokoh protagonis) dalam menghadapi suatu peristiwa mempunyai mak- na yang berhubungan dengan gagasan-gagasan atau wawasan pengarang. Kondisi ini dapat dipahami dengan melihat konteks sosial pengarang dan pandangan pengarang terhadap perubahan- perubahan dalam masyarakat. Mangunwijaya dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat mengambil dua sikap, yaitu: (1) merefleksi semua aspek yang lahir dalam masyarakat yang kemu- dian dikembalikan kepada satu sikap pandangan hidup masyara- kat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono, (2) menolak kemenangan yang lahir dari gengsi dan ambisi tanpa memperhatikan kesela- rasan masyarakat yang mengelilinginya. Dari semua peristiwa yang dihadapi, tampak bahwa Genduk Duku pada hakikatnya hanya menginginkan agar manusia menyadari keberadaan dan harkatnya tanpa ingin mendapatkan kekuasaan dan pengakuan: ngono yo ngono ning ojo ngono.
Pada tataran pembicaraan ini perlu diingat bahwa bagian besar alur (Luxemburg dkk., 1984:152) berupa komplikasi. Secara global komplikasi itu dapat merupakan kemajuan atau kemundur- an, sejauh pelaku utama maju atau mundur. Berbagai kelompok peris- tiwa pada taraf abstraksi yang lebih rendah dapat juga dicirikan sebagai kemajuan atau kemunduran, perbaikan atau pemburukan.
Proses perbaikan terjadi jika sebuah tugas terselesaikan atau seorang lawan dapat disingkirkan; sedangkan proses kemunduran (Luxemburg dkk., 1984:152) terjadi jika pelaku utama tergelincir dalam dosa, terpaksa mengorbankan sesuatu, terkena serangan atau fitnah
Dalam novel ini makna keseimbangan yang diaktualisasikan melalui tokoh-tokoh cerita tidak sekedar terlihat dari oposisi kekua- saan atau kekuatan (power) yang dihadapkan kepada kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri, tetapi melibatkan harapan keseim- bangan hubungan antara sesama manusia, keseimbangan kedu- dukan antara perempuan dan laki-laki sebagai proses pambebasan diri untuk tidak dikuasai orang lain.
“Tidak ada pihak kalah atau menang dalam lakon omah-omah. Kalau yang satu kalah, yang lainnyapun kalah. Sebaliknya juga begitu. Kejayaan istri adalah kejayaan suami. Namun sering tidaklah mudah bagi Slamet bila melihat, betapa merdeka dan tangkas si Duku, seolah-olah tanpa Slamet pun ia mampu maju.” (Genduk Duku, hlm. 49)
Kebencian Genduk Duku terhadap Wiroguno, pengingkar- annya terhadap dunia priyayi tidak bisa lain harus dipandang se- bagai perwujudan keinginan Genduk Duku untuk tidak dikuasai orang lain (baik secara langsung maupun secara tidak langsung).
Sikap Genduk Duku dan Slamet yang pasrah sumarah, percaya bahwa hidup hanya untuk mampir ngombe, serta banyaknya pan- dangan masyarakat Jawa yang terungkap dalam novel ini mampu memberi aksentuasi latar lokal Jawa. Hubungan sosial yang ber- makna lokal dapat pula diperhatikan dari sikap-sikap Genduk Duku dan Slamet terhadap Putri Arumardi, Nyi Pahit Madu, dsb. yang selalu bersikap sendika dawuh.
3.1.5 Lusi Lindri
Novel ini merupakan buku ketiga trilogi Roro Mendut. Pandang- an dunia yang terungkap dalam novel ini tetap berakar pada kon- sep pandangan masyarakat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono.
Konsep ini muncul secara implisit dalam kutipan di bawah ini. “Apakah wanita yang pernah dipaksa, tetapi akhirnya setia
dan menikmati kelonan pembunuh suami pertamanya itu, ikut bersalah juga selama tujuh belas tahun menghibur si algojo agung dengan bukit-bukit lezat dan lembah-lembah sarinya? Sampai mana manusia bersalah atau tidak bersalah dalam susunan-susunan hidup bersama si kuat makan si le- mah, yang boleh jadi mudah dicari alas-alas pengesahannya, tetapi yang nyatanya menjerumuskan sekian puluh ribu orang-orang besar dan kecil, dibantai, dibakar, digilas, diper- kosa? Hanya Allah Hyang Mubeng Rat memiliki hak wewe- nang mutlak menjatuhkan kepastian salah satu atau tidak bersalah Itu benar. Tetapi apakah alasan lantas bukan sejenis perahu pesiar Segarayasa yang nikmat terbuai angin semilir, untuk melupakan tanggung jawab? Untuk pura-pura tidak tahu, bahwa Segarayasa nyatanya hanya mungkin terben- tangseluas sekian ribu esok, sesudah dibayar dengan biaya ratusan ribu kuli-kuli paksaan sesama warga nagari; kaum terpenggal yang dipegat mendadak dari istri dan anak-anak yang kelaparan, karena tiada yang bekerja di sawah ladang? Kuburan Ratu Malang ini telah dipugar, diperindah oleh se- orang suami yang tergila-gila pada satu wanita, tetapi mem- bunuh tiga ratus lima puluh wanita lain, yang sehari-harinya mengabdi dengan kesetiaan dan ketaatan perempuan. Mana nalar? Mana kunci kemacetan cita rasa yang sehat? Semua cucu, semua anak telah menjadi tumbal bagi sang pengasa di Plered. Tumbal pada hakikatnya dari suatu iklim jiwa Jawa yang melahirkan seorang raden mas Sayidin alias raden mas Jibus alias Mangkurat.” (“Lusi Lindri”, Nomor 34)
Refleksi pandangan Mangunwijaya yang menolak keme- nangan yang lahir dari gengsi dan ambisi tanpa memperhatikan ke- selarasan masyarakat terlihat pada sikap penolakan tokoh prota- gonis terhadap power dan kekuasaan Mangkurat. Jadi, interelasi Refleksi pandangan Mangunwijaya yang menolak keme- nangan yang lahir dari gengsi dan ambisi tanpa memperhatikan ke- selarasan masyarakat terlihat pada sikap penolakan tokoh prota- gonis terhadap power dan kekuasaan Mangkurat. Jadi, interelasi
Pengusiran Tumenggung Singaranu yang arif dan budiman beserta Nyi Pinundi yang penuh keibuan dari Puri Jagaraga oleh Mangkurat, dapat dipandang sebagai faktor penyebab peralihan kedudukan Lusi Lindri dalam relasi antartokoh. Semula ia menjadi objek dalam hubungan relasional dengan Mangkurat, kemudian (dengan adanya kekuasaan yang menekan) Lusi Lindri mampu mengaktualisasikan diri menjadi subjek yang mengakibatkan Mangkurat menjadi objek dalam relasi tersebut.
Perlu diingat bahwa perubahan dalam watak tokoh cerita dapat terjadi bertepatan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam perkembangan alur. Akibat adanya suatu peristiwa (Luxemburg dkk., 1984:141) dapat mengakibatkan profil psikologis seorang tokoh berubah dan hubungan-hubungan antara berbagai tokoh dapat berubah pula. Sebaliknya, perubahan dalam watak seorang tokoh dapat mempengaruhi perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut. Bagan III menunjukkan fase perubahan keberadaan Lusi Lindri dari objek menjadi subjek dalam relasinya dengan Mang- kurat. Kondisi ini membawa dampak pengelompokan tokoh, yakni tokoh protagonis dengan tokoh komplementer yang beroposisi dengan tokoh antagonis.
Dalam Genduk Duku, tokoh protagonis Genduk Duku me- rupakan tokoh yang berusaha menciptakan harmoni (keseimbang- an) hubungan antara kekuasaan dan prestise (harga diri), bergerak dari salah satu sikap pandangan hidup masyarakat Jawa: ngono yo ngono ning ojo ngono . Beban tersebut dikenakan kepada Lusi Lindri yang sejak semula dipersiapkan Mangunwijaya untuk mengganti- kan Genduk Duku dalam menghadapi kekuasaan.
Usaha tersebut dapat dipahami dengan memperhatikan arti atau nilai anak di kalangan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa (Kodiran, 1979:44) pada prinsipnya ada dua macam nilai anak, yaitu nilai positif (meliputi keuntungan emosional, ekonomi, dan sosial) serta nilai negatif (adanya beban perasaan, ekonomi, fisik, kemasyarakatan). Dengan memiliki Lusi Lindri berarti Genduk Duku memiliki keuntungan emosional dan keuntungan sosial: dapat mewariskan tradisi keluarga, turut membentuk watak dan proses sosialisasi Lusi Lindri. Jadi, dapat dimengerti jika dalam proses penyelesaian cerita terjadi penggabungan kekuatan antara Lusi Lindri dengan Genduk Duku, sebab keduanya sama-sama meiliki jiwa dan sikap memberontak Roro Mensut, penolong penderita, pembela kaum yang terbelenggu, cerdas dan berani. Faktor penen- tu lain adalah bahwa mereka merupakan tokoh yang bergerak mewakili gagasan Mangunwijaya dalam mewujudkan konsep pan- dangan hidup masyarakat : ngono yo ngono ning ojo ngono; melawan kekuasaan yang berdasarkan gengsi dan ambisi kekuasaan. Kedua Usaha tersebut dapat dipahami dengan memperhatikan arti atau nilai anak di kalangan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa (Kodiran, 1979:44) pada prinsipnya ada dua macam nilai anak, yaitu nilai positif (meliputi keuntungan emosional, ekonomi, dan sosial) serta nilai negatif (adanya beban perasaan, ekonomi, fisik, kemasyarakatan). Dengan memiliki Lusi Lindri berarti Genduk Duku memiliki keuntungan emosional dan keuntungan sosial: dapat mewariskan tradisi keluarga, turut membentuk watak dan proses sosialisasi Lusi Lindri. Jadi, dapat dimengerti jika dalam proses penyelesaian cerita terjadi penggabungan kekuatan antara Lusi Lindri dengan Genduk Duku, sebab keduanya sama-sama meiliki jiwa dan sikap memberontak Roro Mensut, penolong penderita, pembela kaum yang terbelenggu, cerdas dan berani. Faktor penen- tu lain adalah bahwa mereka merupakan tokoh yang bergerak mewakili gagasan Mangunwijaya dalam mewujudkan konsep pan- dangan hidup masyarakat : ngono yo ngono ning ojo ngono; melawan kekuasaan yang berdasarkan gengsi dan ambisi kekuasaan. Kedua
“Ya, tak ada kesimpulan lain: Mangkurat telah tamat. Raja Agung yang masih dapat disebut Susuhunan Senapati ing Alaga yang terakhir bernama Nyakrakusuma. Sesudah itu tinggal kubangan para cacing pita. Bersama setiawan Luwak- Luweng, Lusi dan Peparing masih ingin berusaha tetap men- jadi manusia wajar saja, yang tak berselera memakan orang lain.” (“Lusi Lindri”, No. 83)
Pemberontakan Lusi Lindri terhadap dunia kaum Istana Mangkurat di samping dapat ditafsirkan sebagai salah satu wujud perlawanan terhadap kekuasaan yang dipaksakan, juga sekaligus menghadirkan Lusi Lindri sebagi figur wanita Jawa yang kontro- versial, berbeda dengan kebiasaan wanita Jawa yang merasa bang-
ga jika dapat hidup di lingkungan kaum bangsawan. “Maka jelaslah sekarang mengapa tersiar desas-desus, bahwa
Istana sedang mempersiapkan lomba besar-besaran untuk mencari dua ribu calon di dalam negeri sendiri yang paling ayu dan ditaksir paling memenuhi selera putera Mahkota. “Hoahaha, mampus kau Lusi. Terang gadis seperti kamu ini tidak lulus dalam saringan. Hohaha. Apa Tidak menyesal?” “Satu hembusan nafsu pun, pangeran, hambamu tidak pernah dibisiki gagasan apalagi keinginan untuk dipakai oleh orang seperti putera mahkota.” (“Lusi Lindri”’ No. 49).
Kutipan di atas mengisyaratkan penolakan tokoh protagonis terhadap rasa keunggulan, nafsu kuasa Mangkurat, dan penging- karan terhadap pandangan bahwa wanita di seluruh kerajaan ada- lah milik susuhunan.
Pentingnya kedudukan Lusi Lindri dalam pengertian sebagai tokoh wanita yang diposisikan dengan tokoh laki-laki secara impli- Pentingnya kedudukan Lusi Lindri dalam pengertian sebagai tokoh wanita yang diposisikan dengan tokoh laki-laki secara impli-
“Benarkah manusia hanya selembar wayang kulit kerbau yang ditatah berlobang, yang kaku menunggu tertancap di gedebog pisang, dan tinggal dimbil digerak-gerakkan dan di- tempeli bincang bicara dari luar karena dia endiri bisu tuli? Berulang-ulang ibunya telah mewaeiskan riwayat Roro Men- dut yang cerdas berani; yang tak gentar melawan kehendak seorang panglima besar berbalatentara ratusan ribu perwira dan prajurit gagah berserta ratusan moncong meriam; seorang gadis teladan yang sadar resiko memilah sendiri siapa yang boleh mengairi sawah raganya, keris berpamor apa yang diizin- kan beristirahat dalam warangka jiwanya,” (“Lusi Lindri”, No. 50).
Kekuatan Lusi Lindri mempertahankan kehadirannya meng- akibatkan eksitensi Mangkurat dalam relasi oposisi dengan Lusi Lindri tidak lebih sekedar keris beracun warangan (“Lusi Lindri”, No.22), seorang berjiwa cebol yang selalu merasa takut di luar ista- na (“Lusi Lindri”, No. 36), bunglan muda yang sudah tidak dapat berpikir waras (“Lusi Lindri”, No. 53).
Latar lokal Jawa dalam novel ini tersirat lewat sikap sumarah tokoh protagonis dan beberapa tokoh komplementer dalam men- jalani hidup, menghadapi tragedi, adanya kepercayaan terhadap
Nyai Rara Kidul sebagai kekasih dan pemberi kesaktian kepada Panembehan Senapati ing Alaga beserta seluruh keluarga raja keturunannya., kepercayaan kepada Mbah Petruk si Merapi ke- kasih ratu Samudere Selatan, penggunaan ungkapan perumpama- an mengenai tokoh cerita yang selalu dikaitkan dengan tokoh- tokoh dalam dunia pewayangan. Latar lokal yang bermakna sosial tercermin dari hubungan abdi dan raja, hubungan wong cilik de- ngan pryayi, suatu hubungan yang menghendaki sikap sendika da- wuh dan sikap hormat yang mendalam.
3.1.6 Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari
Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari merupakan dua dari trilogi novel Ahmad Tohari. Novel lainnya dalah Jentera Bianglala diterbitkan Gramedia pada tahun 1986. Trilogi novel Ahmad Tohari tersebut mampu memberikan corak yang spesifik dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, baik jika ditinjau dari segi permasalahan maupun segi latar.
Lewat Ronggeng Dukuh Paruk dan Lintang Kemukus Dini Hari, Amad Tohari berusaha menyingkap kehidupan ronggeng di kalangan masyarakat Jawa yang nrimo ing pandum; kehidupan ronggeng yang harus dimulai dengan upacara bukak klambu hingga bersedia menjadi pelaku dalam upacara gowokan. Linggar Sumukti (1985) mengemukakan bahwa upacara bukak klambu merupakan upacara yang harus dijalani oleh calon ronggeng di Banyumas. Infor- masi lain menyebutkan bahwa konon gowokan berasal dari kata gowok yang berarti ‘bilik’ atau ‘kamar’ yang sengaja dibuat sempit. Gowok ini dipergunakan latihan seks oleh seorang pemuda yang siap memasuki jenjang perkawinan. Pelatihnya adalah wanita de- wasa yang dianggap mempunyai pengalaman luas di bidang seks yang sengaja ditugaskan melakukan “pendidikan”. Kegiatan dalam gowok itu kemudian dikenal dengan istilah gowokan. Wanita yang mem- beri pelajaran seks itu disebut pelanyahan, di samping ada pula yang menyebutnya dengan Nyi Ronggeng. Tradisi gowokan pernah mem- budaya di daerah Wangon kabupaten Banyumas dan di Kejobong.
Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan yang ditam- pilkan Ahmad Tohari bertolak dari kegiatan kehidupan ronggeng Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan yang ditam- pilkan Ahmad Tohari bertolak dari kegiatan kehidupan ronggeng
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk meskipun tokoh yang menda- pat porsi lebih banyak adalah Rasus, tetapi ini bukan berarti tokoh Srintil terkesampingkan. Tokoh Srintil bahkan merupakan tokoh yang menjadi titik tolak pemikiran Rasus dalam mengambil dan menen- tukan sikap. Dalam novel ini sekurang-kurangnya ada empat tokoh penting (perhatikan juga pernyataan Endarmoko, 1984:15) sepan- jang perkembangan kejiwaan Rasus, yaitu Srintil, Emak Mantri, dan sersan Slamet. Relasi tokoh-tokoh tersebut menjadi menarik karena tokoh Emak dan Mantri hanya merupakan tokoh rekaan Rasus belaka, di samping terjadinya opsisiantara Rasus dan Srintil. Tidak dapat dipungkiri lagi andaikata ada pendapat yang menga- takan bahwa tokoh Srintil dan Emak di satu sisi mewakili masa lalu Rasus (tradisional), di sisi lain tokoh Mantri dan sersan Slamet menggambarkan kekinian atau setidaknya masa depan Rasus (mo- dern).
Sebagai tokoh dengan muatan nilai-nilai tradisi, Srintil ber- usaha bersikap konform terhadap keadaan, percaya kepada Karta- reja bahwa ia dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Seca- menggala dengan tugas menjadi ronggeng (Ronggeng Dukuh Paruk, hlm. 23), bersedia menjalankan upacara sakral beruapa pemandian di depan makam Ki Secamenggala dan melakukan upacara bukak klambu agar benar-benar dapat diakui sebagai ronggeng di Dukuh Paruk. Srintil menjadi unsur paling penting bagi Dukuh Paruk, ia hidup di atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru yang sudah ditentukan, cetak biru seorang ronggeng.
Perkembangan watak Srintil secara penuh terlihat dalam Lintang Kemukus Dini Hari . Relasi oposisi yang terjadi antara Srintil dengan Rasus, Srintil dengan lingkungannya, mampu memper- lihatkan eksistensi ronggeng dengan segenap persoalan yang harus dihadapi dan menghadirkan konflik yang berkepanjangan. Untuk memberi kesan dinamis, Srintil melakukan pengingkaran terhadap tradisi. Pengingkaran ini lebih terasa disebabkan oleh desakan emosi, bukan atas dasar adanya kesadaran untuk melaksanakan proses ‘kebebasan dari’ ke proses ‘kebebasan untuk’. Jadi, pembe- rontakan yang dilakukan Srintil berbeda dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Roro Mendut (Roro Mendut) maupun Genduk Damirin (Generasi Yang Hilang).
Karya sastra berwujud pengedepanan secara sistematik dan maksimal. Kondisi ini tercipta dengan adanya deviasi-deviasi yang terjadi dalam karya sastra. Deviasi yang tampak dalam Lintang Kemukus Dini Hari terlihat pada pemilihan latar cerita dan diksi.
F. Rahardi (1984: 17) dan Eko Endarmoko (1984:10) sama-sama mengakui kehebatan Ahmad Tohari dalam mengungkapkan latar cerita yang dipenuhi oleh berbagai jenis tumbuh-tumbuhan dan ber- macam-macam hewan. Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Endarmoko, 1984:11) menampilkan 20 macam unggas, 16 macam serangga, 11 macam hewan menyusui, 5 macam reptil dan 5 hewan lainnya. Di dalam Lintang Kemukus Dini Hari (Mardianto, 1986) ditemukan 37 macam unggas, 18 macam serangga, 15 macam hewan menyusui,
3 macam hewan mengerat, 3 macam binatang melata, 1 macam bina- tang amphibi, 4 macam binatang merayap dan 4 macam binatang 3 macam hewan mengerat, 3 macam binatang melata, 1 macam bina- tang amphibi, 4 macam binatang merayap dan 4 macam binatang
“Srintil meneruskan perjalanan ke rumah Tampi hendak meng- ambil Goder. Masih di dekat rumah Sakum dia melihat sepa- sang bunglon berkejaran di ranting pohon dadap. Yang betina lari tunggang-langgang lalu melompat ke dahan lain. Yang jantan mengejar, ragu-ragu lalu menyusul melompat. Kali ini dia luput dan terbanting ke tanah. Diam dan seakan-akan mati. Warna kulitnya yang semula hijau terang perlahan-lahan ber- ubah warna tanah. Binatang itu baru bergerak setelah langkah Srintil begitu dekat. “Bila Kang Sakum tidak picek tentu dia akan berkata kepadaku; jangan membabi buta mengejar orang yang lari. Nanti terbanting seperti bunglon itu.” (Lintang Kemukus Dini Hari, hlm. 92)
Sebagai sosok wanita Jawa, Srintil menunjukkan sifat yang khas; pasrah dan nrima. Sikap-sikap ini sekaligus mewakili pandang- an masyarakat Dukuh Paruk yang percaya bahwa semua kegetiran merupakan bagian garis hidup yang harus dilalui. Dalam hidup ini orang harus nrima ing pandum; ikhlas menerima jatah (Lintang kemukus Dini Hari , hlm. 53). Penyelesaian konflik (baik konflik da- lam maupun konflik luar) yang dialami Srintil tidak lepas dari sikap nrima dan tradisi Dukuh Paruk yang mengajarkan bahwa hidup mesti demikian adanya, hak hanya kelihatan samar di ba- wah sikap yang nrima ing pandum (hl. 188). Usaha Srintil untuk me- milih, menentukan sikap menolak kemauam “priyayi” akhirnya ter- halang oleh sikap pasrah dan pandangan Srintil serta masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya bahwa sesuatu itu terjadi karena kehendak sang Mahasutradara.
Latar lokal di samping tergambar melalui sikap Srintil yang nrima , pasrah, adanya perbedaan klas antara wong cilik dan priyayi, Latar lokal di samping tergambar melalui sikap Srintil yang nrima , pasrah, adanya perbedaan klas antara wong cilik dan priyayi,
3.1.7 Jantera Bianglala
Permasalahan dan latar geografis novel ini tidak jauh berbeda dengan dua novel di atas. Dalam novel ini, proses perubahan dari wanita menjadi perempuan terlihat dengan jelas. Untuk memfo- kuskan pembicaraan perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu perbedaan pengertian antara betina – perempuan – wanita (lihat Junus, 1983:21—36). Pengertian betina lebih dihubungkan dengan binatang, mempunyai naluri kebinatangan. Hubungan seks lebih merupakan pemuasan hasrat seks yang tidak diformalkan melalui perkawinan. Pengertian perempuan dapat berarti “pengrumahan”, yaitu merupakan bagian dari suatu kehidupan rumah, terpisah dari dunia luar rumah: bekerja dan bermain. Dalam tataran ini perempuan bertugas untuk melayani suami yang didapat dari per- kawinan. Perempuan bertugas untuk melahirkan keturunan (seba- gai tugas utama). Pengertian wanita ada kaitannya dengan rumah tangga, tetapi tidak sekedar berarti “pengrumahan”, sebab dalam perkawinan baik pria maupun wanita mempunyai tanggung jawab dan hak yang sama tanpa ada yang lebih berkuasa. Hubungan yang terjadi lebih ditekankan kepada aspek cinta, saling menghargai, dan bukan kepada keinginan untuk mendapatkan keturunan. Defi- nisi ini memberi pengertian bahwa wanita bukan milik pria seba- gaimana perempuan.
Kodrat Dukuh Paruk yang menuntut adanya ronggeng dan seloroh cabul merupakan akibat pertama yang menjadikan Srintil sebagai betina, kehidupan dengan suasana /+ alam/. Rasus yang lebih dikuasai oleh suasana /- alam/ akhirnya menjadi tokoh anta- gonis yang tidak membebaskan Srintil dari suasana /+ alam/, jus- tru sebaliknya menghadirkan tragedi yang berkepanjangan.
Proses peralihan Srintil dari kondisi /+alam/ atau betina ke kondisi /-alam/ atau perempuan merupakan lompatan yang penuh perjuangan dan berdasrkan cita-cita untuk mewujudkan dirinya sebagai perempuan somahan, bukan menjadi pemangku naluri primitif, tetapi menjadi inti kelembagaan perempuan. Hal ini dapat dimengerti karena pada hakikatnya proses memperempuankan sekaligus bersrti membendung kekuatan alami (Junus, 1983:29). Kehadiran Goder dan kepahitan sejarah hidup Srintil dapat diang- gap sebagai faktor yang mempertegas penghilangan suasana / +alam/. Ada kondisi spesifik yang menyebabkan Srintil tidak akan pernah menjadi perempuan dalam pengetian memiliki suami dan mempunyai keturunan. Kondisi yang secara langsung mempenga- ruhi keberadaan Srintil adalah kepergian Rasus dari Dukuh Paruk. Rasus sebagai tokoh pengubah (agent of change) tetap membiarkan Srintil menjadi ronggeng; sekaligus mengelak dari pepesten Dukuh Paruk yang memberi pertanda bahwa dirinya yang mampu meng- ubah kondisi Srintil dari suasana /+alam/ ke suasana /-alam/. Srintil menerima akibat dari penolakan Rasus, dan perkawinan ting- gal merupakan tragedi. Kesadaran Srintil akan pengertian menjadi istri (seorang) laki-laki tertentu adalah inti keberimbangan antara keperempuanan dan kelelakian (Jantera Bianglala, hlm. 129), meru- pakan harapan yang tidak pernah terwujud sekalipun di Dukuh Paruk terjadi perubahan sosial yang sanggup menggoncang nilai- nilai tradisi.
Proses peralihan Srintil dari betina ke perempuan dapat dicer- mati lewat kehadiran tokoh Goder sejak dalam Lintang Kemukus Dini Hari dan munculnya tokoh Bajus dalam Jantera Bianglala. Tokoh Goder memunculkan suasana “pengrumahan” sehingga Srintil merasa mencapai fitrah keibuannya, masuk ke dalam suasana /- alam/. Tokoh Bajus hadir dalam kenyataan Srintil, dimanfaatkan pe- ngarang untuk membuktikan keperempuan Srintil dan mencipta- kan suasana trgis. Bajus hadir sebagai laki-laki tanpa keperkasaan untuk berhadapan dengan lawan jenisnya.
Latar lokal tercermin melalui sikap hidup Srintil yang nrima dalam menjalani hidup sebagai bekas tahanan. Sikap ini sejalan dengan kesadaran Srintil bahwa pakem hidup yang harus dijalani- Latar lokal tercermin melalui sikap hidup Srintil yang nrima dalam menjalani hidup sebagai bekas tahanan. Sikap ini sejalan dengan kesadaran Srintil bahwa pakem hidup yang harus dijalani-
Pergeseran nilai sosial tampak dengan menyusutnya keper- cayaan masyarakat Dukuh Paruk terhadap jimat, mantra-mantra, makam Ki Secamenggala, dan perubahan jalan hidup Srintil dari suasana /+ alam/ ke suasana /- alam/. Hal ini terjadi karena masuk- nya modernisasi ke Dukuh Paruk yang secara langsung mengaki- batkan perubahan pandangan hidup masyarakat yang semula bang-
ga terhadap nilai-nilai tradisi akhirnya dipaksa berkenalan dengan nuilai-nilai baru yang dirasa lebih maju. Menurut Hassan (1977:33), bagaimanapun juga proses perubahan sosial dalam masyarakat akan tetap terjadi karena diakibatkan oleh sentuhan-sentuhan de- ngan dunia luar yang tidak mungkin dapat dihindari sepenuhnya.
Dari uraian di atas dapat ditarik kejelasan bahwa dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari berhasil mengangkat permasalahan ronggeng lengkap dengan tradisinya.
3.1.8 Generasi yang Hilang
Sama halnya dengan novel Roro Mendut, novel Generasi Yang Hilang memuat adanya usaha pelaksanaan proses ‘kebebasan dari’ tradisi ke arah pencapaian ‘kebebasan untuk’ memilih yang dilaku- kan oleh tokoh protagonis wanita. Dalam Generasi Yng Hilang, Gen- duk Darmirin diwujudkan sebagai wakil dari sosok masyarakat modern yang memberontak terhadap berbagai nilai, sikap, dan pandangan hidup tradisional. Di pihak lain, tokoh Suryapraba di- tampilkan sebagai wakil sosok masyarakat tradisional yang meng- Sama halnya dengan novel Roro Mendut, novel Generasi Yang Hilang memuat adanya usaha pelaksanaan proses ‘kebebasan dari’ tradisi ke arah pencapaian ‘kebebasan untuk’ memilih yang dilaku- kan oleh tokoh protagonis wanita. Dalam Generasi Yng Hilang, Gen- duk Darmirin diwujudkan sebagai wakil dari sosok masyarakat modern yang memberontak terhadap berbagai nilai, sikap, dan pandangan hidup tradisional. Di pihak lain, tokoh Suryapraba di- tampilkan sebagai wakil sosok masyarakat tradisional yang meng-
Genduk Darmirin merupakan tokoh kontroversial dengan pengingkarannya terhadap pandangan orang Jawa yang mengang- gap bahwa dunia priyayi merupakan bentuk puncak dari apa yang menjadi angan-angan mereka. Seorang perempuan dikatakan ber- untung atau berhasil hidupnya jika bergaul dekat dengan bangsa- wan dan melahirkan bayi keturunannya. Derajat kebangsawanan merupakan jaminan hidup, kekayaan, dan kekuasaan (Generasi Yang Hilang, hlm. 32). Orang kebanyakan hanya budak, hanya saksi, tidak berhak dan tidak dimintai pertimbangan (Generasi Yang Hilang, hlm. 112). Penolakan terhadap derajat kebangsawanan tersebut mengisyaratkan bahwa Genduk Darmirin merupakan sosok wanita Jawa masa kini yang memiliki ciri-ciri cerdas, bersi- kap kritis terhadap kepincangan-kepincangan dalam lingkungan sosialnya, berani memilih suatu sikap dengan tidak begitu saja tun- duk sebagai seorang gadis Jawa yang dengan kuat diikat oleh keten- tuan-ketentuan tradisi Jawa.
“Tapi Darmirin bukanlah perempuan yang lemah. Tidak mudah terbius oleh rayuan kata-kata manis. Tidak gampang tergiur oleh kedudukan derajat bangsawan yang tinggi. Dar- mirin seorang perempuan terpelajar, telah banyak memper- kuat jiwamya dengan membacai buku-buku berbahasa Be- landa. Luas pandangannya. Sekalipun ia tetap berdandan se- perti perempuan Jawa, hidup di kalangan istana yang penuh dengan liku-liku budaya Jawa dan mengikuti cara hidup lingkungannya, tetapi alam pikirannya tidak terbebat seperti kaki perempuan Jawa. Apalagi pergaulannya dengan den Sla- met, yang dengan semangat selalu menggembleng Darmirin agar tahu tentang kesamaan hak-hak wanita dan pria di dunia Internasional. Semua manusia sama haknya. Wanita dan pria, miskin dan kaya, awam dan bangsawan. Darmirin sedikit banyak kerasukan juga paham itu. Tidak ia tidak mau tahluk kepada Suryapraba hanya karena Suryapraba laki-laki dan “Tapi Darmirin bukanlah perempuan yang lemah. Tidak mudah terbius oleh rayuan kata-kata manis. Tidak gampang tergiur oleh kedudukan derajat bangsawan yang tinggi. Dar- mirin seorang perempuan terpelajar, telah banyak memper- kuat jiwamya dengan membacai buku-buku berbahasa Be- landa. Luas pandangannya. Sekalipun ia tetap berdandan se- perti perempuan Jawa, hidup di kalangan istana yang penuh dengan liku-liku budaya Jawa dan mengikuti cara hidup lingkungannya, tetapi alam pikirannya tidak terbebat seperti kaki perempuan Jawa. Apalagi pergaulannya dengan den Sla- met, yang dengan semangat selalu menggembleng Darmirin agar tahu tentang kesamaan hak-hak wanita dan pria di dunia Internasional. Semua manusia sama haknya. Wanita dan pria, miskin dan kaya, awam dan bangsawan. Darmirin sedikit banyak kerasukan juga paham itu. Tidak ia tidak mau tahluk kepada Suryapraba hanya karena Suryapraba laki-laki dan
Dari kutipan di atas tersirat keinginan pengarang untuk me- nyatakan bahwa masalah wanita merupakan bagian intergal dari masyarakat. Kutipan tersebut juga mencerminkan suatu proses pembebasan diri untuk tidak dikuasai oleh orang lain. Alex Lanur (1986:122) memandang proses ini sebagai wujud dari emansipasi. Kadangkala dapat menjadi penting, sangat kuat, dan berpengaruh (Rosaldo, 1986:4). Hubungan segitiga yang terjadi antara Surya- praba dengan Bendara Raden Ajeng Sri Andrini dan Genduk Dar- mirin membenarkan gagasan Rosaldo. Pangeran Suryapraba yang semula hanya mencintai Gusti Bendara Raden Ajeng Sri Andrini akhirnya memperalat Darmirin untuk mengelabuhi pandangan keluarga kraton. Sikap kontras yang diperlihatkan Darmirin dalam menghadapi Suryapraba mampu menghadirkan tragedi bagi tokoh laki-laki tersebut. Pentingnyakedudukan wanita dalam novel ini juga tersirat dari posisi tokoh Genduk Darmirin sebagai tokoh pro- tagonis.
Masalah perkawinan merupakan persoalan penting dalam analisis protagonis wanita. Ratna (1985:239) menjelaskan bahwa per- kawinan merupakan lembaga yang memberikan dua kemungkin- an yang berlawanan bagi seorang wanita: kebebasan dan ikatan. Perkawinan bertujuan untuk membawa tokoh-tokoh pada jenjang kehidupan yang lebih tinggi, sesuai dengan lingkaran kehidupan manusia. Banyak wanita (Budiman, 1982:33) yang kemudian per- caya bahwa perkawinan merupakan tempat satu-satunya bagi me- reka untuk menyelamatkan hidup karena perkawinan dapat meme- cahkan masalah ketergantungan ekonomis dan psikologis mereka. Dalam hal perkawinan (Widati dkk, 1986:20), wanita Jawa priyayi dan juga wong cilik kebanyakan tidak mempunyai hak untuk me- lakukan pilihan dan mengambil keputusan sendiri.
Sebagai wanita yang luar biasa, berani menyimpang dari arus kebiasaan, maka meskipun Suryapraba (menurut ibu Damirin) Sebagai wanita yang luar biasa, berani menyimpang dari arus kebiasaan, maka meskipun Suryapraba (menurut ibu Damirin)
Inti permasalahan yang terdapat dalam Generasi Yang Hilang secara implisit dapat disimak dari orientasi budaya tokoh prota- gonis Damirin, mapun tokoh lain seperti Raden Mawardi dan Kus- noprobo. Lewat dialog antartokoh cerita, dapat diketahui bahwa sejak semula Damirin memang dipersiapkan untuk mengadakan pemberontakan terhadap tradisi.
“Segala hidupku kupertaruhkan untuk menjagamu. Demi kesetiaanku kepada Pangeran Suryapraba!” “Bohong! Bukan itu alasanmu! Tapi karena engkau bukan laki-laki! Kesetiaanmu kepada bangsawan tingkat tinggi itu hanyalah sarana pelarianmu. Membentuk sikap mendewa- dewakan tata cara Feodal! Bentuk pengabdian dan sikap yang kini sedang ramai-ramainya direvolusikan? Tidak perlu kau bangga-banggakan lagi! Padaku sikap dan tata kehidupan seperti itu sudah lama kukuburkan. Hampir sama waktunya sejak lahirku di dunia. Sebenarnya hanya melihat di kulit sini saja semua perbuatanku di istana pusat gerakan feodal itu terlaksana. Jiwaku tidak pernah menerimanya.” (Generasi Yang Hilang, hlm. 222)
Melalui Generasi Yang Hilang, Suparta Brata bermaksud menggambarkan perubahan kondisi kehidupan tradisi subkultur Jawa yang disebabkan oelh wafatnya Pakubuwana X dan terjadi- nya perubahan sosial. Kraton sebagai pusat kebudayaan berhasil diangkat sebagai latar cerita, mendukung permasalahan yang di- lontarkan dengan kemampuan Suparto Brata mengekspresikan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan keluarga kraton. Latar Sosial masyarakat Jawa ditunjukkan dengan adanya sebutan-sebutan gelar bangsawan yang mengacu kepada perbedaan strata sosial.
3.1.9 Ibu Sinder
Novel ini mendudukkan tokoh wanita (Ibu Sinder) sebagai tokoh protagonis. Ibu Sinder dianalogikan seperti Dewi Supraba, salah satu istri Arjuna, lambang wanita Jawa yang setia kepada suami, bersikap pasrah, nrima, dan sayang terhadap maru-nya.
“Teringatlah ia akan ibu kandungnya, ibu Bendoro. Ibunya sama sekali tidak mencemburui bibi-bibinya, malahan begitu sayangnya ibu Bendoro itu kepada maru-maru-nya. Juga tidak membenci pacar-pacar ayahnya. “Wanita Indo ini bukan maru -ku, hakikatnya dalam kenyataannya memang harus membagi cinta suami dengan wanita-wanita lain juga, di luar bibi-bibi. Aku juga harus membagi cinta suami dengan Fien van Hoogendoorp. Ya Tuhan, segala puji dan syukur untuk Mu. Alalh menghapus amarah dan rasa benci dari sanubariku. Ya Allah, matur sewu nuwun, ucapnya dalam hati.” (Ibu Sinder, hlm. 57)
Kutipan di atas sekaligus memperlihatkan sikap orang Jawa yang percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur oleh Kang Murbeng Gesang sehingga orang Jawa bersikap nrima, me- nyerahkan nasib kepada takdir.
Ibu Sinder merupakan citra sosok wanita Jawa tradisional yang ideal dengan kepandaian membatik, meramu jamu-jamuan, masak- memasak, menyulam, menguasai seni tari, karawitan, mengenal dengan baik dunia pewayangan dan kitab-kitab babad serta Jangka Jayabaya. Hal ini berbeda dengan sifat dan sikap tokoh komple- menter, Winarsih, yang tidak mau tunduk kepada segala tradisi, meyukai kebebasan, cerdas (Ibu Sinder, hlm 15). Relasi ini mampu menampilkan gambaran ibu Sinder sebagai profil wanita Jawa dengan segala sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh wanita Jawa. Saparinah Sadli (1983:155) menegaskan bahwa masih cukup ba- nyak wanita Jawa dengan berbagai latar pendidikan, minat, dan ketrampilan yang menunjukkan kecenderungan lebih suka bersi- kap konform atau menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku agar dapat memenuhi harapan-harapan dari lingkungan- Ibu Sinder merupakan citra sosok wanita Jawa tradisional yang ideal dengan kepandaian membatik, meramu jamu-jamuan, masak- memasak, menyulam, menguasai seni tari, karawitan, mengenal dengan baik dunia pewayangan dan kitab-kitab babad serta Jangka Jayabaya. Hal ini berbeda dengan sifat dan sikap tokoh komple- menter, Winarsih, yang tidak mau tunduk kepada segala tradisi, meyukai kebebasan, cerdas (Ibu Sinder, hlm 15). Relasi ini mampu menampilkan gambaran ibu Sinder sebagai profil wanita Jawa dengan segala sifat dan sikap yang harus dimiliki oleh wanita Jawa. Saparinah Sadli (1983:155) menegaskan bahwa masih cukup ba- nyak wanita Jawa dengan berbagai latar pendidikan, minat, dan ketrampilan yang menunjukkan kecenderungan lebih suka bersi- kap konform atau menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan yang berlaku agar dapat memenuhi harapan-harapan dari lingkungan-
Sikap konform yang diperlihatkan ibu Sinder menunjuk pada sikap andap asor (merupakan salah satu sikap dari etika priyayi) untuk menciptakan keselarasan hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat. Sikap andap asor (Geertz, 1983:326) merupakan sikap merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang harus ditunjukkan kepada setiap orang yang sederajat atau yang lebih tinggi kedudukannya. Hasil dari sikap ini adalah ada- nya tendensi untuk bergerak seperti seekor ulat melata di air, penuh kehati-hatian untuk menghindarkan langkah yang salah. Sikap seperti ini ditunjukkan ibu Sinder, baik ketika ia hidup di lingkung- an Kusumajaten, di lingkungan pabrik gula Madugondo, maupun di Balokan (sebuah kompleks pelacuran di Yogyakarta).
Ibu Sinder merupakan wanita Jawa yang cerdas. Kesadaran terhadap perubahan zaman, perubahan makna hubungan sosial da- lam masyarakat luas, diperlihatkan lewat jalan pikiran ibu Sinder yang kritis.
“Canggung rasanya ibu Sinder melihat istri saudara-saudara- nya duduk di bawah. Ia sudah marasa asing dengan tata cara “Kusumojaten”. Lebih-lebih waktu mendengar wanita itu me- nyebut “Ndoro Mas” kepada anaknya sendiri. Tiba-tiba anak itu bangkit lalu menempati kursi di samping ayahnya. Istri Pujitomo tetap duduk sila di atas tikar. Gumam ibi Sinder da- lam hati, “Dulu bibi-bibi juga begitu. Akulah yang sudah berubah.” (Ibu Sinder, hlm. 94)
Penolakan ibu Sinder untuk kembali kepada kehidupan ke- luarga Kusumojaten di Surakarta sebenarnya mengisyaratkan bah- wa ia telah melupakan tata kehidupan kalangan bangsawan yang telah membentuk kepribadiannya.
3.1.10 Canting
Novel Canting karya Arswendo Atmowiloto dapat disejajar- kan dengan prosa lirik Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), novel Ibu Sinder (Pandir Kelana), ketiga karya tersebut menggambrkan sikap hidup wanita yang pasrah dan nrima. Menurut Sumanto (1987:19), novelet “Sri Sumarah” (Umar Kayam), Pengakuan Pariyem, dan Canting, ketiganya memiliki pusat pengisahan yang sama, yaitu wanita dengan latar budaya jagad Jawa.
Penggambaran tokoh Bu Bei, Pariyem, dan Ibu Sinder sangat berlainan bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan penggam- baran tokoh Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, maupun Genduk Damirin. Tokoh-tokoh dalam kelompok pertama tetap ber- ada dalam iklim budaya Jawa di mana orang selalu setia berangan- angan mengenai wanita yang sumarah, nrimo, nurut, dapat menjadi kanca wingkin , kalau siang bersedia menjadi alas kaki dan malam hari menjadi kasur atau selimut bagi laki-laki: awan teklek bengi lemek . Pada kelompok kedua, kita dihadapkan dengan tokoh yang diharapkan mampu membuka lagi sejarah kekuasaan kaum wanita dengan memberontak melawan perampasan hak oleh kaum laki- laki. Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri selalu bergerak me- lawan kekuasaan: ngono yo ngono ning ojo ngono, serta memberontak terhadap dinia priyayi. Jika prosa lirik Pengakuan Pariyem meng- hadirkan konsep pasrah yang ditegaskan lagi dengan sikap lega- lila dan hidup yang mengalir, maka novel Canting menyajikan kon- sep pasrah lewat penokohan Bu Bei dengan cara lain yang menawan (Sumanto, 1987:30).
“Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, ber- siap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik.” (Canting, hlm. 82)
Sikap pasrah Bu Bei tergambar juga lewat reaction of others to character (Bagaimana pandangan pelaku lain dalam suatu cerita terhadap pelaku utama) ketika Pak Bei berbincang-bincang dengan Ni.
“Saya makin sadar bahwa selama ini ibumu tak pernah me- rintangi saya. Tak pernah satu kalipun. Segalanya serba iya, serba inggih, serba sak-kersa, serba semau saya. Belum pernah ibumu menolak apa yang saya inginkan. Tidak dengan kata- kata, tidak juga dengan suara hatinya. Ibumu berhasil menya- tukan suara hatinya dengan tindakan suaminya sebagai wa- nita dengan suara hati seorang istri. Ini yang luar biasa. Ini sebabnya saya menganggap ibumu adalah wanita yang baha- gia, lahir maupun batin. Ini yang istimewa sebab ibum men- capai tingkat pasrah dalam artian sebenarnya. Ibumu bisa menyatukan antara karir, kepentingan pribadi, kepentingan seotang istri, kepentingan seorang ibu, dalam satu tarikan na- pas yang sama.” (Canting, hlm 268-269).
Sikap pasrah Bu bei yang begitu kuat bukanlah sikap pasrah yang mengalir, tidak berarti tidak ada kemungkinan bagi Bu Bei untuk “unjuk rasa” (Teeuw, 1987:23).
“Seminggu lebih Pak Bei tidak pulang ke rumah. Setelah itu setiap dua hari sekali, tiga hari datang dan bermalam. Pak Bei mengetahui bahwa Bu Bei mengetahui. Tapi Bu Bei tak pernah menanyakan, tidak pernah mengurusi. Hanya Bu Bei tidak pernah menunjukkan sikap manis di dalam kamar. Namun sehari-hari tetap sama. Manata meja, mengatur anak-anak – saat itu belum pergi ke pasar Klewer dan bersikap manis serta menghormat. Hanya malam harinya, bu Bei berdiam diri bagai guling. Tak bereaksi walau juga tidak menolak. Ini selalu mem- buat esoknya, Pak Bei berangkat ke Mbakti dan menemukan apa yang tersendat di rumah. Apalagi kalau habis bertugas di medan perangBu Bei masih pasti mengetahuisiapa Karmiyem, dimana rumahnya. Entah bagaimana caranya. Mungkin saja dengan menyuruh mbok Tuwuh mencari tahu. Karena rasanya< Pak Bei seperti melihat mbok Tuwuh datang ke Mbakti. Tapi tak pernah terucap satu patah kata pun dari Bu Bei.” (Canting, hlm. 68-69)
Dari kutipan di atas jelas tergambar sikap keutamaan tokoh Bu Bei yang sangat dihargai oleh masyarakat Jawa, yaitru kemam- puan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Sikap Bu Bei tersebut mengacu pada prinsip-prinsip ke- rukunan yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Menurut Suseno (1985:39) berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ke- tegangan dalam masyarakat atau antarpribadi sehingga hubungan- hubungan sosial tetap kelihatan selaras. Keadaan rukun bisa terjadi jika semua pihak berada dalam damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima. Dalam masyarakat Jawa (tertama priyayi) setiap macam perasaan yang negatif terhadap orang lain harus ditutup-tutupi, orang sangat dianjurkan untuk menyenangkan orang lain. Usaha ini guna menjaga tingkat keakraban dalam hubungan antarindividu. Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan berpura-pura, kemampuan ber-ethok-ethok, yaitu tidak pernah mengatakan apa yang benar-benar ada dalam pikiran (Geertz, 1983:331--332). Tokoh Bu Bei walaupun mengadakan “unjuk rasa” terhadap hubungan Pak Bei dengan Karmiyem, tetapi “unjuk rasa’ tersebut bersifat tertutup, tidak ingin menggoncang- kan keselarasan yang sudah ada.
Novel Canting mempunyai keunikan lain, yaitu menempat- kan Bu Bei dalam dua peran sekaligus: di rumah sebagai isti dn di pasar sebagai wanita karir. Pasar yang menjadikan Bu Bei tokoh yang terhormat, pasar tempat yang mungkin memberikan kepuasan batin sebagai manusia penuh: otoritas, keuangan, memberi ke- mungkinan di menjadi manusia independen, tidak tergantung pada suami, semacam wanita karier (Sumanto, 1987:30). Di sisi lain ia tetap mituhu kepada Pak Bei, yang harus menunggu jika keputusan memang mengatakan dia harus berhenti di pasar.
“Pasar adalah dunia wanita yang sesungguhnya. Dunia yang demikian jauh berbeda dengan suasana rumah. Bu Bei berubah menjadi seorang direktur, seorang manajer, seorang pelaksana yang sigap. Sejak memutuskan siapa yang menarik becak, kuli mana yang disukai, sampai dengan memilih Yutun dan Yumi.” (Canting, hlm. 41)
“Yang berbeda hanyalah penampilan Bu Bei di rumah dan di pasar Klewer. Dan itu hanya diketahui yang bersangkutan, dalam artian disadari. Tapi peran yang disediakan Pasar Kle- wer sedemikian besar, sehingga Bu Bei yang memijati kaki suaminya dengan tabah, setia, bekti, penuh kasih sayang, dan juga ketakutan, adalah juga Bu Bei yang galak dan bisa me- maki polisi, yang bisa bercanda, mencolek dan dicolek, dan dengan keberaniannya memutuskan masalah-masalah yang sulit. Mengambil keputusan sampai dengan ratusan ribu rupiah dalam satu tarikan napas.” (Canting, hlm. 49)
Canting adalah simbol budaya yang kalah, tersisih dan melelahkan. Akan tetapi, Ni (Sabandini Dewaputri Sestrokusuma – tokoh komplementer) berusaha menekuni, mengubah keadaan tersebut walaupun harus berhadapan dengan Bu Bei maupun Pak Bei. Untuk menciptakan tragedi dan pencapaian klimaks, sosok Ni ditampilkan berbeda dengan Bu Bei. Ni berani tidak Jawa (ora njawani ). Artinya ia dapat dengan sadar mengaku ada beberapa bagian dalam kehidupan di Ngabean yang tidak sepenuhnya bisa dipahami secara gamblang (Canting, hlm 236). Beberapa unsur pembeda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bu Bei
Ni
Lahir sebelum kemerdekaan x Lahir setelah kemerdekaan Tidak mengenal sekolah x
Sarjana Farmasi Memahami usaha pembatikan x
Kurang paham dunia batik Trdisional x
Berusaha Sistematis Berpikiran lugu x
Berpikiran maju Perbedaan sikap kedua tokoh itu tampak secara tajam setelah
Bu Bei meninggal dunia dan Ni mengambil alih perusahaan batik cap Canting yang hampir bangkrut. Dulu bu Bei (anak desa Nusu- pan) tidak terlalu memikirkan gaji/tunjangan buruh batik, mem- bedakan buruh bau njaba dan bau njero, tidak menawarkan fasilitas berlebih, berdagang berdasarkan prinsip saling percaya; sedang- Bu Bei meninggal dunia dan Ni mengambil alih perusahaan batik cap Canting yang hampir bangkrut. Dulu bu Bei (anak desa Nusu- pan) tidak terlalu memikirkan gaji/tunjangan buruh batik, mem- bedakan buruh bau njaba dan bau njero, tidak menawarkan fasilitas berlebih, berdagang berdasarkan prinsip saling percaya; sedang-
Kehadiran tokoh Ni merupakan sarana untuk menciptakan ketegangan, menghadirkan konflik terselubung antara Pak Bei dan Bu Bei, Pak Bei dengan Mijin. Pertentangan ketiga tokoh ini tetap tidak terselesaikan secara eksplisit, sengaja “digelapkan” Arswen- do sampai cerita berakhir. Penciptaan situasi ini merupakan ke- unggulan Arswendo dalam mengulur ketegangan suasana, keingin- an terus menyembunyikan siapa sesungguhnya Ni, menghadirkan pertanyaan siapa ayah Ni sebenarnya: Apakah Ni lahir karena hubungan Pak Bei dengan Bu Bei atau hubungan antara Bu Bei dengan Mijin? Keadaan ini menjadi lebih tragis karena Pak Bei tidak pernah mau menyelesaikan persoalan Ni; di sisi lain Mijin diciptakan sebagai tokoh buruh pabrik yang penurut, tidak me- ngenal sekolah, tidak mudah mengerti, mengandalkan otot dalam bekerja, selebihnya Mijin adalah pribadi yang menarik bagi Bu Bei justru karena secara keseluruhan Mijin berbeda dengan Pak Bei (Canting, hlm 59).
Banyak alternatif yang ditawarkan Arswendo bagi pemecah- an konflik tiga tokoh tersebut, tetapi semua tidak menyelesaikan permasalahan, sebaliknya justru melahirkan teka-teki yang ber- kepanjangan.
“Tidak, tak ada yang menghubungkan kehamilan Bu Bei kali ini dengan Mijin. Tidak juga Pak Bei menyinggung hal ini. Selama ini Mijin tidak pernah menginjak ruangan dalam se- lain mengepel. Selama ini, hanya sekali Mijin berada di rung utama, yaitu saat memperbaiki tiang penyangga yang kero- pos. Mijin berada di ruang utama, akan tetapi manjat ke atas. Membantu mereka yang memperbaiki rumah itu saja. Barang- kali Mijin akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, jika dia ditanyai, tetapi tak ada yang menanyainya. Tidak juga istrinya sendiri. Tidak juga dirinya sendiri.” (Canting, hlm. 63)
“Pak Bei akhirnya menemui dukun yang terkenal itu. Bukan untuk mengurus Minah. Untuk mengurus dirinya sendiri. Untuk menanyakan bibit siapa yang berada dalam kansungan istrinya. Pak Bei memberikan uang, ayam putih, dan segala perlengkapan: termasuk tanggal lahirnya, tanggal lahir Bu Bei, asal-usul, dan segala yang ditanyakan. “Apakah ada saudagar yang menghamili?” Mbah dukun itu melihat ke telur, dan menggeleng. “Tidak.” “Apakah ada kerabat dekat?” “Tidak. Pak Bei benar mendengarkan jawaban yang saya lihat di dalam telur ini? Kalau Pak Bei mau melihat sendiri bisa.” Bu Bei menunggu. Pak Bei menggantung persoalan. Saat itu pun is menggeleng, dan meninggalkan dukun itu.” (Canting, hlm. 66—67)
Jika kita sependapat dengan Sumanto (1987:30) yang secara implisit menyatakan bahwa Mijin yang berkekuatan luar biasa, yang sesekali menarik perhatian Tuginem (nama kecil Bu bei) ada- lah ayah Ni, maka dapat digambarkan bagan hubungan Pak Bei dengan Bu Bei sebagai berikut.
Keseimbangan/Harmoni
Ada beberapa indikasi yang secara tidak langsung menunjuk- kan bahwa Ni sebenarnya merupakan anak Mijin.
“Anakmu sudah lahir, Bu,” kata Pak Bei di samping Bu Bei yang masih susah mengatur napas. “Hitam seperti cengkerik.” Bu Bei menangis lagi. Dulu, ketika kelima anaknya lahir, Pak Bei sudah menyiapkan nama. Kali ini tidak dibisikkan nama itu. Kali ini biasa-biasa saja. Tak menjenguk kembali. Bu Bei menunggu semuanya, sambil meneteki, dan merasa bayinya sangat kuat menghisap dan membuat sakit. —— “Aha, saya masih pantas menjadi seorang ayah,” kata Pak Bei bergurau “Tahun depan juga masih pantas,” kata Bu Bei Noto. “Aku tahu kau namakan apa anakmu ini,” kata Pak Meng- gung. “Pasti ada hubungannya dengan Suryomentaram.” “Namanya Subandini Dewiputri Sestrokusumo.” “Kok pakai Sestrokusumo segala. Kamu kurang yakin itu darahmu sendiri? Terdengar tawa ramai.” (Canting, hlm. 82-83)
“Pak Bei dulu pernah menyangsikan apakah Ni putri kan- dungnya atau bukan. Ada semacam keraguan. Dan Pak Bei mengatakan kalau Ni jadi pembatik, itu berarti ia berasal dari darah pembatik. Dari buruh batik. Sejak kecil Bu Bei selalu memarahi Ni jika mencoba mendekati pembatik. Jika tanganya memegang lilin atau peralatan batik, Bu Bei akan menyentil keras sekali. Hingga Ni menangis. Sejak kecil Bu Bei tak mengizinkan Ni mengetahui soal-soal mem- batik. Diawasi dengan sangat hati-hati. Dan Bu bBei mulai lega ketika Ni tak menunjukkan perhatian pada pembatikan.” (Canting, hlm 190)
Beberapa indikasi di atas menjadi lebih jelas jika dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan: (a) keengganan Pak Bei menyele- saikan permasalahan secara tuntas, (b) keengganan tersebut ber- kaitan dengan pencapaian harmoni atau keseimbangan keadaan, dan (c) keinginan kuat Ni untuk menjadi pengusaha batik. Per- tanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa Pak Bei dapat menerima kehadiran Ni tanpa konflik terbuka? Jawaban atas per- tanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari makna kehadiran Pak Bei dalam keseluruhan cerita: tugas Pak Bei ternyata bukan sekedar menjaga keselarasan tetapi justru mengembalikan adanya kemung- kinan tidak selaras (Canting, hlm. 368).
Hal lain yang berpengaruh terhadap sikap-sikap Pak Bei yang dapat menerima Ni (yang memang aeng – yang berambisi meng- urusi usaha batik walau sebenarnya ia tidak tahu hapengkong ten- tang pembatikan), mampu meredam konflik baik terhadap Bu Bei maupun Mijin; yaitu kenyataan bahwa Pak Bei bukan sekedar tokoh pembantu yang muncul karena diperlukan sebentar. Pak Bei ter- nyata lebih mirip pemeran utama. Tenang, berwibawa, tapi tuntas. Segala apa dilakukan dengan terbuka, tapi juga masih banyak yang tidak bisa diperkirakan (Canting, hlm. 103).
3.1.11 Titisan Nyai Ladrang
Novelet ini terbagi dalam tujuh bagian, merupakan karya yang berhasil memenangkan hadiah pertama sayembara mengarang novelet majalah Femina pada tahun 1984.
Pengertian novelet (dalam bahasa Perancis sering disebut nouvelle ) adalah kisahan prosa rekaan yang lebih panjang dan lebih kompleks dibandingkan dengan cerita pendek, tetapi tidak sepan- jang novel (Sudjiman, 1984:53). Seperti cerita pendek, jangkauan novelet umumnya terbatas pada suatu peristiwa, satu keadaan, dan satu titik tikaian. Novelet yang menjadi objek pembicaraan kali ini mempunyai titik tikaian yang berpusat pada tokoh Ginuk yang berproses menjadi sinden titisan Nyai Ladrang.
Ada unsur yang tampak dipertentangkan sejak awal cerita yang menyangkut keberadaan tokoh Ginuk dan Sujilah. Ginuk mempu- nyai sejarah yang jelas, tidak menginginkan dirinya sebagai wanita
yang mampu membangkitkan birahi, sedangkan Sujilah hadir be- gitu saja tanpa kita tahu asal-usulnya, ia adalah wanita pembangkit semangat atau pengendor syaraf masyarakat Mantri jeron. Di samping itu, Ginuk ingin bersikap konkret berhadapan dengan kenyataan hidup di sisi lain Sujilah berpegang pada pandangan tradisional masyarakat Jawa bahwa dalam menjalani hidup manusi harus nrimo ing pandum. Pertentangan ini tidak mampu diperli- hatkan secara tajam, bahkan terasa dikacaukan sehingga konflik batin kedua tokoh tersebut tidak tampak. Ginuk dengan mudah larut ke dalam kehidupan Sujilah yang mengalir. Pada bagian ini kita layak tidak mempercayai sepenuhnya gagasan Sumardjo (1987:38) yang menyatakan bahwa tokoh Ginuk diciptakan mewa- kili sikap masyarakat modern yang menjunjung kebebasan indi- vidu untuk memilih, sedangkan Sujilah mewakili sikap pesinden yang sebenarnya. Bagan di atas menunjukkan bahwa kemandirian (kebebasan individu) Ginuk muncul di tengah proses ia menjadi sinden, proses menjadi Nyai Ladrang. Kemandirian ini hampir tidak menunjuk pada kebebasan individu yang dapat dikatakan mewakili sikap masyarakat modern karena kebebasan itu lebih berkenaan dengan masalah: (a) kepuasan batin memperoleh penghargaan sebagai sinden, (b) perasaan yang tampak dipaksakan kehadiran- nya agar cerita menjadi wajar. Selebihnya Ginuk mengalami kontra- diksi: keinginannya menjadi sinden diikuti oleh sikap tidak senang terhadap Sujilah yang mampu membangkitkan birahi, bersikap “menyerah” kepada setiap laki-laki yang menghendaki dirinya, tetapi akhirnya Ginuk pun tidak kuasa menolak kenyataan dirinya sebagai sinden yang harus bersedia memenuhi setiap keinginan laki-laki yang menghendakinya.
“Ginuk tidak boleh menolak sekiranya tidak menginginkan- nya. Tapi kamus itu tidak ada pada diri pesinden. Tidak ada kata tidak ingin atau ingin. Tidak ada kata tidak mau atau mau. Kini ia hanya melakukan apa yang mesti dan pantas dilakukan seorang pesinden, bukan seorang Ginuk. Gimuk sudah diku- bur, walaupun tidak soal hati. Tapi kini bukan saatnya bicara soal hati. Maka perempuan muda itu pun telah siap ketika
Den Bei Tumenggung menghendakinya menginap. Ia sudah mengerti apa yang harus dilakukan ketika Den Bei untuk memijit tubuhnya yang tambun. Itu adalah teknik usang kaum laki-laki.” (Titisan Nyai Ladrang, hlm.51)
Novelet ini memberikan gambaran tentang konsep ideal wanita Jawa menurut tradisi, di samping menampilkan tata cara hubungan antara wong cilik dengan priyayi, dan priyayi dengan priyayi-priyayi lain yang memiliki kedudukkan lebih tinggi.
Beberapa kejanggalan yang tampak antara lain menyangkut kematangan berpikir tokoh protagonis, faktor usia tokoh yang tidak sesuai dengan perkembangan permasalahan, cerita terasa dipaksa- kan untuk mengangkat legenda Nyai Ladrang sehingga perkem- bangan konflik batin individu tidak tampak sekali Ada kecurigaan bahwa ide cerita yang ditampilkan Niken Pratiwi berangkat dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang terbit empat tahun lebih dahulu (1982) dibandingkan dengan novelet Titisan Nyai Ladrang (1986). Dugaan ini dikuatkan dengan adanya kesamaan segi penokohan (protagonis) dan penampilan latar cerita dengan memanfaatkan dunia tumbuh-tumbuhan dan berbagai jenis binatang.