KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JA

BEBERAPA

KARYA SASTRA INDONESIA

BERLATAR LOKAL JAWA TAHUN 1970—1980-AN

Herry Mardianto BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

BEBERAPA KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JAWA TAHUN 1970 — 1980-AN

Penulis:

Herry Mardianto

Penyunting:

Imam Budi Utomo Dhanu Priyo Prabowo

Cetakan Pertama:

Juni 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan pertama kali oleh:

BALAI BAHASA YOGYAKARTA PUSAT BAHASA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

BEBERAPA KARYA SASTRA INDONESIA BERLATAR LOKAL JAWA TAHUN 1970- 1980-AN/Herry Mardianto —cet. 1—Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa Yogyakarta,

78 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009 ISBN (10) 979-188-190-1 (13) 978-979-188-190-6 1. Literatur

I. Judul

II. Imam Budi Utomo

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana

dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta

atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

PRAKATA KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Salah satu tugas pokok Balai Bahasa Yogyakarta adalah me- lakukan pengkajian (penelitian) di bidang kebahasaan dan kesastra- an Indonesia dan Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau dirunut sejarahnya, pengkajian (penelitian) itu secara rutin telah dilakukan sejak tahun 1970-an dan sampai sekarang sebagian besar hasil penelitian itu telah diterbitkan dan dipublikasikan ke masya- rakat. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan, sebagai salah satu instansi pemerintah yang bertugas melaksanakan program pem- bangunan nasional di bidang kebahasaan dan kesastraan, Balai Bahasa Yogyakarta adalah suatu lembaga yang mengemban amanat rakyat (masyarakat) sehingga ada kewajiban untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat (masyarakat). Oleh karena itu, sudah selayaknya kami, Balai Bahasa Yogyakarta, berusaha dan akan selalu berusaha menyuguhkan hasil kerjanya kepada masya- rakat, salah satu di antaranya adalah buku (terbitan) ini.

Berkenaan dengan hal itu, Balai Bahasa Yogyakarta meng- ucapkan terima kasih kepada masyarakat (pembaca) yang telah berkenan dan bersedia membaca dan memanfaatkan buku (terbit- an) ini. Walaupun buku ini menyuguhkan disiplin ilmu yang khu- sus, yakni khusus mengenai kebahasaan dan kesastraan, sesung- guhnya tidak menutup kemungkinan untuk dibaca oleh khalayak umum karena bahasa dan sastra sebenarnya adalah sesuatu yang melekat pada setiap orang. Adakah atau mampukah kita mening- galkan atau lepas dari bahasa dan seni (sastra) dalam kehidupan keseharian kita? Tentu saja tidak. Sebab, setiap hari kita akan meng- Berkenaan dengan hal itu, Balai Bahasa Yogyakarta meng- ucapkan terima kasih kepada masyarakat (pembaca) yang telah berkenan dan bersedia membaca dan memanfaatkan buku (terbit- an) ini. Walaupun buku ini menyuguhkan disiplin ilmu yang khu- sus, yakni khusus mengenai kebahasaan dan kesastraan, sesung- guhnya tidak menutup kemungkinan untuk dibaca oleh khalayak umum karena bahasa dan sastra sebenarnya adalah sesuatu yang melekat pada setiap orang. Adakah atau mampukah kita mening- galkan atau lepas dari bahasa dan seni (sastra) dalam kehidupan keseharian kita? Tentu saja tidak. Sebab, setiap hari kita akan meng-

Selain hal di atas, Balai Bahasa Yogyakarta juga mengucapkan terima kasih kepada tim kerja, baik penulis, penilai, penyunting, maupun panitia penerbitan sehingga buku (terbitan) ini siap dipubli- kasikan dan dibaca oleh khalayak (masyarakat). Semoga buku ini benar-benar bermanfaat.

Yogyakarta, Juni 2009

Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.

SEKAPUR SIRIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan-Nya buku ini dapat diterbitkan. Di- harapkan agar buku ini pada gilirannya dapat menjadi bahan ma- sukan untuk pengkajian keberadaan sastra Indonesia di Yogyakarta, utamanya untuk kepentingan penyusunan sejarah sastra Indone- sia modern yang berada di Yogyakarta.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada (1) Kepala Balai Bahasa Yogyakarta yang telah memberi kesempatan kepada penu- lis untuk melakukan penelitian, dan (2) semua pihak yang merasa (baik secara langsung maupun tidak langsung) membantu me- wujudkan penerbitan buku ini.

Untuk perbaikan tulisan ini, penulis sangat mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang menaruh minat terhadap per- kembangan dan pengembangan sastra Indonesia modern.

Penulis,

HM

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fenomena yang menarik dalam perkembangan karya sastra (khususnya prosa) Indonesia pada tahun 1980-an adalah muncul- nya beberapa karya sastra yang berusaha mengungkapkan latar Jawa lewat fakta sastra sebagai elemen pembentuk cerita. Keistime- waan pengungkapan latar Jawa tersebut terletak dalam jalinan an- tara latar sosial yang tidak mungkin dapat dilepaskan hubungan- nya dengan faktor geografis. Berbagai tanggapan mengenai mun- culnya latar Jawa dalam novel Indonesia tahun 1980-an telah diberi- kan oleh para ahli maupun peminat sastra. Pradopo (1981) ber- spekulasi bahwa akan lahir tradisi sastra Indonesia asli yang mem- punyai teori poetika sendiri. Sumardjo (1982) melontarkan gagasan terjadinya arus balik kultural, masa berburu pada eksistensialis— absuditas mulai memasuki masa baru penggalian potensi asli. Sastroatmodjo (1983:3) mengomentari munculnya latar Jawa dalam karya sastra disebabkan oleh keterlibatan pengarang sebagai pe- nentu nilai budaya. Sementara itu, Sahid (1986:5) menyatakan mun- culnya sublkultur Jawa dalam karya sastra tahun 1980-an sedikit banyak berkaitan dengan usaha pengarang untuk menangggapi dan berkomunikasi dengan keadaan sosial budaya Jawa. Selanjut- nya, Teeuw (1987:41) menegaskan terjadinya semacam Jawanisasi dalam kesusastraan Indonesia adalah akibat dari dominasi tradisi Jawa.

Berbagai alasan yang dikemukakan di atas membutikan bahwa karya sastra mampu menunjukkan fungsinya yang khas, merefleksikan kehidupan sosial budaya, mencerminkan pengaruh timbal balik antara faktor sosial dan kultural masyarakat tertentu (dalam konteks ini masyarakat Jawa). Keadaan ini mengisyaratkan akan pentingnya eksistensi karya sastra sebagai medium komu- nikasi budaya. Di samping itu, alasan-alasan tersebut di atas sekali- gus membuktikan kebenaran praduga Sumardjo (1982) bahwa secara sosiologis-historis ada kecenderungan “bergeraknya” episentrum sastra Indonesia dari Sumatera ke Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya karya sastra yang secara sosiologis mengangkat tradisi subkultur Jawa, misalnya Kubah (1980), Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Jantera Bianglala (1986) karya Ahmad Tohari; Canting (1986) karya Arswendo Atmowiloto; Tunjung Biru (1985) karya Arti Purbani; Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi Ag.; Burung-Burung Manyar (1981), Roro Mendut (1984), Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1986) karya Mangunwijaya, Tresna Atas Tresna (1983), Bukit Harapan (1984) karya Nasjah Djamin; Titisan Nyai Ladrang (1986) karya Niken Pratiwi,; Ibu Sinder (1983) karya Pandir Kelana; dan Generasi Yang Hilang (1981) karya Suparto Brata.

Keberadaan karya sastra Indonesia tahun 1970—1980-an merupakan bagian dari proses perjalanan sastra Indonesia yang tengah mencari diri. Proses perjalanan itu sepanjang sejarahnya akan memperlihatkan akan memperlihatkan adanya benang merah jika ditinjau dari segi internal maupun eksternal penciptaan karya sastra. Dengan kata lain, perkembangan latar daerah yang terlihat dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an bisa ditelusur fenomenanya dari perkembangan karya sastra Indonesia tahun- tahun sebelumnya. Pada tahun 1970-an latar Jawa telah muncul dengan hhadirnya novel Orang Buangan (1971) karya Harijadi S. Hartowardojo, novelet Sri Sumarah dan Bawuk (1975) karya Umar Kayam. Gejala munculnya latar daerah dalam karya sastra Indo- nesia dapat diamati sejakl awal pertumbuhan kesusastraan Indo- nesia modern. Menurut Sumardjo (1981:51), perkembangan latar Keberadaan karya sastra Indonesia tahun 1970—1980-an merupakan bagian dari proses perjalanan sastra Indonesia yang tengah mencari diri. Proses perjalanan itu sepanjang sejarahnya akan memperlihatkan akan memperlihatkan adanya benang merah jika ditinjau dari segi internal maupun eksternal penciptaan karya sastra. Dengan kata lain, perkembangan latar daerah yang terlihat dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an bisa ditelusur fenomenanya dari perkembangan karya sastra Indonesia tahun- tahun sebelumnya. Pada tahun 1970-an latar Jawa telah muncul dengan hhadirnya novel Orang Buangan (1971) karya Harijadi S. Hartowardojo, novelet Sri Sumarah dan Bawuk (1975) karya Umar Kayam. Gejala munculnya latar daerah dalam karya sastra Indo- nesia dapat diamati sejakl awal pertumbuhan kesusastraan Indo- nesia modern. Menurut Sumardjo (1981:51), perkembangan latar

Latar Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an mempunyai daya tarik tersendiri yang pada gilirannya mampu menggeser pernyataan Siregar (1981:1) bahwa kecende- rungan umum novel Indonesia tidak mengidentifikaksikan pelaku atau figur yang diceritakan dalam kaitannya dengan budaya etnis. Latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an mengacu pada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Termoshuizen (dalam Navis, 1985:43) membatasi latar lokal sebagai latar belakang sosiologis yang memberikan warna berbeda jika ditulis oleh penga- rang dari suku bangsa lain. Latar lokal menunjuk pada latar sosial yang khas dari daerah tertentu, latar geografis dari masyarakat tertentu yang meliputi adat-istiadat. Lingkungan hidup, dan sistem kehidupan subkultur tertentu.Pengertian tersebut sejajar dengan pengertian warna lokal yang dikemukakan Abrams (1981:98) dalam A Glossary of Literary Terms bahwa warna lokal adalah lukis- an mengenai latar, adat-istiadat, cara berpakaian, dan cara berpikir yang khas dari suatu daerah tertentu. Pengertian warna lokal men- cakup penggunaan dialek dari bahasa tertentu yang dipakai dalam karya sastra. Mahmud (1987:25) memandang hakikat warna lokal sebagai realitas soaial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tidak langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik (da- lam konteks struktur karya), warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Selebihnya di- jelaskan bahwa dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna Latar Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an mempunyai daya tarik tersendiri yang pada gilirannya mampu menggeser pernyataan Siregar (1981:1) bahwa kecende- rungan umum novel Indonesia tidak mengidentifikaksikan pelaku atau figur yang diceritakan dalam kaitannya dengan budaya etnis. Latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an mengacu pada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Termoshuizen (dalam Navis, 1985:43) membatasi latar lokal sebagai latar belakang sosiologis yang memberikan warna berbeda jika ditulis oleh penga- rang dari suku bangsa lain. Latar lokal menunjuk pada latar sosial yang khas dari daerah tertentu, latar geografis dari masyarakat tertentu yang meliputi adat-istiadat. Lingkungan hidup, dan sistem kehidupan subkultur tertentu.Pengertian tersebut sejajar dengan pengertian warna lokal yang dikemukakan Abrams (1981:98) dalam A Glossary of Literary Terms bahwa warna lokal adalah lukis- an mengenai latar, adat-istiadat, cara berpakaian, dan cara berpikir yang khas dari suatu daerah tertentu. Pengertian warna lokal men- cakup penggunaan dialek dari bahasa tertentu yang dipakai dalam karya sastra. Mahmud (1987:25) memandang hakikat warna lokal sebagai realitas soaial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tidak langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara intrinsik (da- lam konteks struktur karya), warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Selebihnya di- jelaskan bahwa dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna

Darma (1988:20) melontarkan gagasan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuangkan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, Ahmad Tohari, dsb. Merupakan sua- tu usaha untuk memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha un- tuk menhayati salah satu tradisi yang telah ikut andil atau berpar- tisipasi dalam mewujudkan konsep (ke)budaya(an) Indonesia.

Karya sastra lahir tidak dari suatu kekosongan. Sastra adalah strukturasi dari pengalaman manusia, keberadaannya berhubung- an dengan berbagai konflik dalam realitas. Objek karya sastra adalah realitas, apa pun bentuk realitas itu, sehingga dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra (dunia imajinatif) dengan masya- rakat (dunia nyata). Sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi-intuisi yang hidup dalam masyarakat diha- yati oleh sastrawan dan diendapkan dalam dirinya untuk kemu- dian diungkapkan kembali lewat karya sastra yang memiliki spe- sifikasi estetik imajinatif. Jadi, bagaimanapun juga sastra adalah struturasi pengalaman manusia; sastra selalu berhubungan dengan berbagai konflik dalam realitas. Perspektif ini mengacu pada pemi- kiran bahwa pengarang lahir, hidup, dan tumbuh dalam pergaulan masyarakat. Pengarang menulis berdasarkan kekayaan pengalam- an hidup yang diperoleh dari masyarakat. Kuntowijoyo (1987:127) berpendapat bahwa karya sastra sebagai simbol verbal mengaki- batkan sastrawan dalam mewujudkan karyanya setidaknya mem- punyai tiga peranan, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehen- sion) , berkomunikasi dengan realitas (mode of comunication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan adanya tiga peranan tersebut, pengarang dalam mewujudkan karya sastra dipengaruhi oleh lingkungan dan interes pribadinya yang me- rupakan bagian dari suatu elemen dalam struktur masyarakat yang lebih luas.

Bagi Taine (dalam Damono, 1979:21), sastra bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya; sastra merupakan re- kaman atas tata cara zamannya – suatu perwujudan macam pikiran tertentu. Lebih tegas, Grabstein (dalam Damono, 1979:5) menyim- pulkan bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami secara leng- kap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan yang meng- hasilkannya. Karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya, sebab karya sastra merupakan hasil pengaruh tim- bal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural (tuntutan sastra sebagai media komunikasi budaya). Siregar (1981:1) men- jelaskan bahwa untuk menjadikan novel sebagai media komuni- kasi budaya dapat ditempuh dengan menjadikan figur yang ter- identifikasi secara rasional dengan latar belakang budaya etnis tertentu.

Dari pembacaan data diketahui bahwa karya-karya sastra Indonesia tahun 1980-an memiliki kecenderungan mengidentifi- kasikan tokoh secara rasional dengan latar cerita (baca: budaya Jawa); mengacu kepada situasi sastra sebagai media komunikasi budaya. Penelitian secara cermat yang bertumpu pada aspek sastra sebagai media komunikasi budaya belum pernah dilakukan orang untuk memahami karya sastra Indonesia tahun 1980-an. Padahal, penelitian tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui kejelasan motivasi lahirnya karya-karya sastra dengan muatan latar lokal dan tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980- an.

Beberapa kajian tentang warna lokal dan latar lokal Jawa dalam sastra Indonesia telah dilakukan oleh beberapa orang peng- amat, misalnya “Latar Lokal Jawa dalam Beberapa Novel Indo- nesia”(Sahid, 1986), “Renaisans Jawa dalam Sastra Indonesia” (Sumardjo, 1987), “Jawanisasi Kesusastraan Indonesia” dan “Ten- tang Priyayi, sastra dan Sejarah” (keduanya tulisan Teeuw, 1987), “Sri Sumarah, Pariyem, Bu Bei” (Sumanto, 1987), “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Jawa: Tinjauan Sosiologis Tokoh dalam Canting” (Setyowati, 1989), dan “Apa yang Harus Dikatakan ten- tang Arswendo” (Ali, 1990). Beberapa kajian tersebut lebih menitik- beratkan pada aspek latar atau penokohan secara parsial sehingga Beberapa kajian tentang warna lokal dan latar lokal Jawa dalam sastra Indonesia telah dilakukan oleh beberapa orang peng- amat, misalnya “Latar Lokal Jawa dalam Beberapa Novel Indo- nesia”(Sahid, 1986), “Renaisans Jawa dalam Sastra Indonesia” (Sumardjo, 1987), “Jawanisasi Kesusastraan Indonesia” dan “Ten- tang Priyayi, sastra dan Sejarah” (keduanya tulisan Teeuw, 1987), “Sri Sumarah, Pariyem, Bu Bei” (Sumanto, 1987), “Perubahan Sosial dalam Masyarakat Jawa: Tinjauan Sosiologis Tokoh dalam Canting” (Setyowati, 1989), dan “Apa yang Harus Dikatakan ten- tang Arswendo” (Ali, 1990). Beberapa kajian tersebut lebih menitik- beratkan pada aspek latar atau penokohan secara parsial sehingga

1.2 Masalah

Karya sastra Indonesia yang terbit pada tahun 1970—1980- an umumnya menampilkan cerita dengan latar Jawa. Sumardjo (1982) menyatakan bahwa secara historis sosiologis ada kecende- rungan bergeraknya episentrum sastra Indonesia dari Sumatra ke Jawa – khususnya Jawa Tengah. Dari 180 novel yang dijadikan data penelitian (Sumardjo, 1981:50) terlihat bahwa 32 novel meng- ambil lokasi bermain (latar tempat) di Jawa Tengah. Berdasarkan kenyataan itu, Teeuw (1987:41) menilai telah terjadi Jawanisasi dalam kesusastraan Indonesia tahun 1980-an.

Novel-novel dengan muatan latar lokal Jawa tersebut umum- nya memiliki tokoh utama dan atau tokoh penggerak cerita wanita. Hal ini setidaknya tercermin dari judul-judul novel yang mengacu pada nama atau kegiatan yang biasanya dilakukan oleh wanita Jawa, misalnya Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, 1982), Can- ting (Arswendo Atmowiloto, 1986), Roro Mendut (1984), Genduk Duku (1987), Lusi Lindri (1986) ketiganya karya Mangunwijaya, Titisan Nyi Ladrang (Niken Pratiwi, 1986), dan Ibu Sinder (Pandir Kelana, 1983).

Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini berkaitan dengan beberapa pertanyaan: (1) faktor apakah sesungguhnya yang mendorong munculnya latar lokal Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an; (2) sejauh manakah latar lokal tersebut dapat menunjukkan fungsi “istimewa”-nya bagi eksistensi karya sastra yang bersangkutan – artimya apakah kehadiran latar lokal tersebut hanya berfungsi sebatas sebagai variasi pengucapan, ber- peran sebagai papan penguak kemonotonan ekspresi dan persoal- an yang sering memboosankan pembaca; dan (3) apakah penam- Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini berkaitan dengan beberapa pertanyaan: (1) faktor apakah sesungguhnya yang mendorong munculnya latar lokal Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an; (2) sejauh manakah latar lokal tersebut dapat menunjukkan fungsi “istimewa”-nya bagi eksistensi karya sastra yang bersangkutan – artimya apakah kehadiran latar lokal tersebut hanya berfungsi sebatas sebagai variasi pengucapan, ber- peran sebagai papan penguak kemonotonan ekspresi dan persoal- an yang sering memboosankan pembaca; dan (3) apakah penam-

1.3 Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diungkapkan di atas, maka penelitian ini bertujuan: (1) melihat faktor penyebab muncul- nya latar lokal Jawa dalam novel Indonesia tahun 1970—1980-an; (2) mengetahui sejauh mana pengarang Indonesia mampu men- dudukkan tokoh wanita dalam cerita rekaan mereka; dan (3) mem- perhatikan dengan seksama relasi antara penggambaran tokoh cerita dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat – berusaha menemukan keterangan intern yang ada dalam karya sastra (khu- susnya mengenai perwatakan) dalam hubungannya dengan sikap hidup masyarakat Jawa.

1.4 Anggapan Dasar dan Hipotesis

Anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1970—1980-an dapat dihubungkan dengan potensi pengarang yang akrab dengan budaya Jawa dan mereka berasal atau tinggal (setidak-tidaknya pernah menetap) di pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah).

Terhadap munculnya anasir Jawa tersebut, Teeuw (1987:41) mensinyalir terjadinya proses Jawanisasi dalam kesusastraan Indo- nesia. Keadaan ini terjadi karena pendukung akar tradisi Jawa jum- lahnya lebih banyak dibandingkan dengan pendukung akar tradisi daerah lainnya; dan budaya Jawa merupakan pusat kehidupan dari kebudayaan Indonesia. Anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia mulai terlihat sejak tahun 1970-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-an.

Dalam karya sastra dengan muatan latar lokal Jawa ternyata mempunyai tokoh utama tatau tokoh penggerak cerita wanita. Hal ini setidaknya mengisyaratkan adanya kehendak pengarang untuk mendudukkan tokoh wanita Jawa pada peringkat yang cukup pen- ting dalam perkembangan karya sastra Indonesia tahun 1980-an.

1.5 Landasan Teori

Seperti telah dijelaskan di bagian terdahulu, ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi rea- litas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of comunication ), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation); maka jelas kiranya bahwa mempelajari karya sastra akan sampai pada taraf pemahaman terhadap kondisi sosial budaya suatu masya- rakat. Hogart (dalam Haridas, 1986:79) mengemukakan bahwa kesusastraan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat; karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu. Lewat karya sastra dapat diamati pantulan tata nilai budaya yang dianut oleh suatu masyarakat – karya sastra menyodorkan sejumlah ide atau konsep-konsep mengenai manusia dengan segala persoalan- nya. Menurut Sumardjo (1979:12), sastra adalah produk masyara- kat, karya sastra berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan rasional. Dalam anggapan seperti ini maka pendekatan yang tepat untuk diterapkan dalam menelaah karya sastra adalah pende- katan sosiologi sastra.

Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:129), sosiologi sastra menempatkan pengarang dalam konteks sosialnya; penafsiran teks secara sosiologis merupakan usaha untuk mendapatkan gambaran tentang dunia dan masyarakat dalam karya sastra. Sosiologi sastra (Damono, 1979:8) berkaitan dengan usaha untuk menciptakan kem- bali dunia sosial: hubungan manusia dengan keluarga, lingkung- an, negara, dsb. Faruk (1982:9) berpendapat bahwa sosiologi me- rupakan ilmu yang mencoba mengaitkan hubungan sastra dengan masyarakat dengan tidak mendudukkan kedua unsur tersebut dalam posisi yang bertentangan.

Manfaat penelitian dengan menerapkan pendekatan sosiologi sastra adalah dapat diketahuinya fungsi sosial dan kultural karya sastra di tengah masyarakat. Damono (1979:3) menyatakan adanya dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang bergerak dari faktor-faktor luar sastra yang lebih mempertimbangkan karya sastra sebagai proses sosial ekonomi. Dalam pendekatan ini, teks sastra tidak dianggap pen- ting. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan, analisis teks untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena sosial yang ada di luar sastra. Model pendekatan kedua ini akan diguna- kan sebagai pegangan untuk membicarakan tokoh wanita Jawa da- lam karya sastra Indonesia tahun 1980-an. Penelitian akan difokus- kan pada unsur penokohan dengan usaha menemukan keterangan intern yang ada dalam karya sastra mengenai pandangan dan sikap hidup masyarakat Jawa, khususnya persoalan yang berkaitan de- ngan eksistensi wanita Jawa.

Beberapa pendekatan sosiologi sastra yang berkembang dan dikenal adalah sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Lowen- thal (1964), Escarpit (1971), Swingewood (1972), Kettle (1975), Goldman (1977), dan Damono (1979). Pendekatan sastra tersebut mempunyai penekanan yang berbeda-beda. Swingewood, misal- nya, memberi tekanan pada karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosial masyarakat pada masa tertentu. Kelemahan pendekatan ini terletak pada ketidakpedulian- nya terhadap koherensi struktur intrinsik karya sastra. Kettle ber- tolak belakang dari teori Marxisme sehingga ia lebih menaruh perhatian kepada persoalan pertentangan kelas sosial dalam karya sastra. Pendekatan model Escarpit lebih terarah pada resepsi sastra.

Sesuai dengan tujuan penelitian yang berusaha menemukan keterangan intern yang ada dalam karya sastra mengenai per- watakan, sikap hidup masyarakat Jawa (khususnya menyangkut persoalan wanita Jawa) – dan sekaligus memandang karya sastra sebagai media komunikasi budaya, maka pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra model Damono yang ditawarkan lewat buku Sosiologi Sastra: Sebuah

Pengantar (1979). Pilihan ini dilakukan dengan pertimbangan bah- wa model pendekatan tersebut mengutamakan analisis teks sastra untuk mengetahui strukturnya yang kemudian dimanfaatkan guna memahami fenomena-fenomena perubahan sosial yang terjadi da- lam masyarakat.

1.6 Metode dan Teknik

Metode yang digunakan adalah metode sosiologi sastra yang melihat karya sastra secara deskriptif-dialektik. Pengertian dialek- tik dalam konteks ini adalah upaya untuk melihat secara timbal balik antara faktor-faktor di luar teks sastra dengan faktor internal teks sastra yang diteliti. Cara itu pertama-tama digunakan untuk memahami unsur internal teks sastra dan baru kemudian dikaitkan dengan faktor di luar teks sastra; sedangkan pembuktiannya ber- tolak penelusuran dan pendeskripsian berbagai fenomena yang ada dalam karya sastra untuk memperoleh simpulan.

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan lewat studi pus- taka. Artinya, data-data untuk keperluan analisis dikumpulkan dari sumber-sumber pustaka, yaitu berupa buku-buku sastra (novel) yang diterbitkan sekitar tahun 1980-an.

1.7 Sumber Data

Kata prosa yang dipakai dalam penelitian ini digunakan untuk membedakan karya-karya sastra yang berbentuk puisi, di samping karena tidak semua karya sastra yang dipakai sebagai data ber- bentuk novel. Istilah prosa yang dipergunakan mencakup penger- tian novel atau roman, dan prosa lirik. Selanjutnya, pengertian novel dan roman tidak dibedakan secara istimewa karena (dalam masyarakat sastra Indonesia) perbedaan pengertian bukan meru- pakan persoalan penting; hal ini setidaknya dapat disimak dari penggunaan istilah novel dan roman yang tidak dibedakan dalam Kamus Istilah Sastra (Panuti, 1984:53) serta Panduan di Dunia sastra (Hartoko, 1986:95).

Populasi karya sastra yang berlatar Jawa yang terbit pada tahun 1970—1980 -an cukup banyak. Berdasarkan populasi ter- Populasi karya sastra yang berlatar Jawa yang terbit pada tahun 1970—1980 -an cukup banyak. Berdasarkan populasi ter-

Cerita Genduk Duku semula merupakan cerita bersambung yang dimuat dalam harian Kompas pada tahun 1985, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel oleh Gramedia pada tahun 1987. Untuk itu analisis akan menggunakan novel Genduk Duku sebagai pegangan. Kisah Lusi Lindri pun semula dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Kompas, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel (juga) oleh Gramedia pada tahun 1987. Dalam perwu- judannya sebagai novel ternyata banyak bagian yang hilang yang sifatnya sangat merugikan bagi kepentingan penelitian ini sehing-

ga analisis dalam penelitian ini tetap bertitik tolak dari cerita Lusi Lindri yang dimuat secara bersambung dalam Kompas. Pembahasan novel Ronggeng Dukuh Paruk akan dipadukan dengan Lintang Kemukus Dini Hari. Hal ini dilakukan mengingat Ronggeng Dukuh Paruk hanya memaparkan tentang asal-usul Srin- til, belum begitu menampakkan gambaran problematika Srintil dalam menghadapi dunia ronggeng dan relasi opisisinya dengan tokoh lain. Prosa lirik Pengakuan Pariyem diangkat sebagai data mengingat karya ini merupakan titik pangkal pembicaraan menge- nai latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an.

Novel Tunjung Biru walaupun mencerminkan muatan subkul- tur Jawa yang kuat, melukiskan kehidupan tipe ideal wanita Jawa, tetapi tidak diangkat sebagai data karena karya tersebut tidak lebih Novel Tunjung Biru walaupun mencerminkan muatan subkul- tur Jawa yang kuat, melukiskan kehidupan tipe ideal wanita Jawa, tetapi tidak diangkat sebagai data karena karya tersebut tidak lebih

Novel Kadarwati Wanita dengan Lima Nama walaupun mem- punyai tokoh utama seorang wanita, tetapi tidak dimasukkan seba- gai data karena tidak memiliki spesifikasi latar lokal Jawa yang kuat. Anasir subkultur Jawa hanya terlihat lewat latar geografis yang menunjuk pada tempat bermain cerita di kota Yogyakarta, Magelang, dan Jakarta.

1.8 Pengolahan Data

Pengolahan data dipusatkan pada tokoh wanita (baik sebagai tokoh utama maupun tokoh penggerak cerita) tiap-tiap karya sastra dengan memperhatikan latar sosial budaya, geografis, dan pandangan hidup masyarakat Jawa yang berkaitan dengan konsep wanita Jawa. Dengan demikian, dalam analisis akan memperhati- kan pula unsur penokohan, latar, dan permasalahan dalam satu rang- kaian pembicaraan mengenai wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an. Dalam penelitian ini disinggung pula latar belakang sosiologis yang dianggap menjadi faktor penyebab munculnya latar lokal Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an.

1.9 Ejaan

Dalam penulisan laporan penelitian dipergunakan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), kecuali judul buku dan nama diri (pengarang, tokoh, dsb.). Kedua hal ini ditulis sesuai dengan ejaan aslinya.

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA JAWA

Menyadari bahwa karya sastra merupakan sarana komuni- kasi budaya, pemahaman terhadap beberapa karya sastra Indo- nesia dengan latar lokal Jawa tidak dapat lepas dari pembicaraan mengenai aspek sosial budaya Jawa. Diharapkan dengan demikian kita dapat mengetahui motivasi-motivasi lahirnya karya sastra dengan latar lokal Jawa dan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra sastra merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap ke- kuatan-kekuatan sosial. Perspektif ini dapat mendudukkan karya sastra pada posisi sosial yang tepat, kita berusaha melihat kesu- sastraan dari konteks perkembangan masyarakatnya, tidak sekedar meyelewengkan ke dalam lingkup pembicaraan tentang takaran nilai-nilai estetik karya sastra. Sastra adalah produk suatu masya- rakat, mencerminkan masyarakatnya; dengan demikian, mempe- lajari sastra berarti mempelajari aspirasi masyarakat, tingkat kul- turalnya, seleranya, pandangan hidupnya, dsb. (Sumardjo, 1981:30). Pada tataran ini kita tidak bisa mengelak dari anggapan bahwa karya sastra adalah bentuk kreatif untuk menggambarkan manu- sia, baik secara pasti, secara sejarah, maupun secara sosial. Menurut Ralph Fox (melalui Faruk, 1982:19), membicarakan karya sastra dari sudut pandang sosiologi struktural, khususnya mengenai penokohannya, berarti membicarakan tokoh sebagai tipe manusia yang menunjuk kepada kelompok sosial tertentu sebagai elemen

struktur kemasyarakatan secara menyeluruh. Sejajar dengan pendapat ini, Grebstein (melalui Damono, 1979:5) menyatakan bahwa masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah: (pertama) sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan (kedua) sebagai tradisi, yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian, bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. Taufik Abdullah (1983:503) menjelaskan bahwa pada tingkat awal dapat dikatakan seni, khususnya seni sastra, tidak dapat dipisahkan dari adanya komunitas, suatu corak hidup sosial. Lebih jauh Kuntowijoyo (1987:127) menyatakan bahwa kar- ya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarang untuk menyampai- kan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah. Akhirnya dapat ditarik kejelasan bahwa bagaimanapun juga sebagai manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu, sastra- wan dipengaruhi oleh pola kebudayaan pada masanya. Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi-intuisi yang hidup dalam masya- rakat dijadikan ilham penciptaan karya sastra. Dalam pembahasan ini, konteks sosial yang dimaksud adalah kondisi sosial budaya Jawa. Beberapa elemen yang dapat dikemukakan sebagai dasar penelaahan adalah latar belakang historis kebudayaan Jawa dan pandangan hidup dan sikap hidup orang Jawa. Gambaran sekilas mengenai elemen-elemen tersebut akan dipaparkan pada pem- bicaraan di bawah ini.

2.1 Latar Belakang Historis Kebudayaan Jawa

Daerah kebudayaan Jawa sangat luas, meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Menurut Kodiran (1979:302), keraja- an Mataram sebelum pecah menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, pada tahun 1755 merupakan pusat kebudayaan Jawa. Herusatoto (1985:56) menggariskan dari segi antropologi budaya bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari. Di bagian lain dijelas- kan peran penting pulau Jawa dalam sejarah kebudayaan Indone- Daerah kebudayaan Jawa sangat luas, meliputi seluruh bagian tengah dan timur pulau Jawa. Menurut Kodiran (1979:302), keraja- an Mataram sebelum pecah menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, pada tahun 1755 merupakan pusat kebudayaan Jawa. Herusatoto (1985:56) menggariskan dari segi antropologi budaya bahwa yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari. Di bagian lain dijelas- kan peran penting pulau Jawa dalam sejarah kebudayaan Indone-

Prijohutomo (dalam Satoto, 1985:56) memberikan keterangan bahwa sebelum pemerintahan Sanjaya (raja pertama yang mendiri- kan negara Mataram kuno), di Jawa Tengah sudah terdapat kebu- dayaan Hindu, sekalipun pada masa itu Mataram belum mempu- nyai pengaruh yang besar. Mengenai pengaruh luar yang masuk dan mempengaruhi kebudayaan Jawa (Ali, 1986:27) dapat dilihat dari konsep-konsep tentang raja di dalam perspektif kebudayaan Jawa yang merupakan kombinasi pengaruh antara ajaran-ajaran Islam dan Hindu-Budha.

Pengaruh Hindu-Budha terlihat pada sistematika pandangan manusia dalam bentuk hirarkis, adanya klasifikasi wong cilik dan priyayi . Priyayi adalah semua orang yang menjalankan salah satu tugas dari raja, tetapi kaum priyayi tidak hanya terbatas pada ka- langan kraton (Jong, 1976:70). Pengertian periyayi menurut Koentja- raningrat (1985:37—42) adalah sekelompok orang terpelajar yang berorientasi kepada status dan kebahagiaan hidup di dunia ini. Lebih terinci Geertz (1983:305—348) mengemukakan bahwa tipe priyayi memiliki konsep-konsep tertentu dalam pandangan dunia- nya, yakni konsep alus dan rasa. Konsep alus tersirat dalam penger- tian bahasa itu halus, kain yang diberi disain yang rumit dan halus di atasnya adalah alus, jiwa dan watak alus, yang kesemuanya da- pat dipertentangkan dengan sesuatu yang kasar: musik yang di- mainkan dengan buruk, lelucon yang bodoh, sepotong kain murah- an, dsb. Golongan priyayi sebagai kelompok sosial memiliki ciri- ciri tertentu yang dengan jelas menunjukkan perbedaan dengan kelompok sosial lainnya, terutama kelompok rakyat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan itu meliputi adat sopan-santun, bahasa, Pengaruh Hindu-Budha terlihat pada sistematika pandangan manusia dalam bentuk hirarkis, adanya klasifikasi wong cilik dan priyayi . Priyayi adalah semua orang yang menjalankan salah satu tugas dari raja, tetapi kaum priyayi tidak hanya terbatas pada ka- langan kraton (Jong, 1976:70). Pengertian periyayi menurut Koentja- raningrat (1985:37—42) adalah sekelompok orang terpelajar yang berorientasi kepada status dan kebahagiaan hidup di dunia ini. Lebih terinci Geertz (1983:305—348) mengemukakan bahwa tipe priyayi memiliki konsep-konsep tertentu dalam pandangan dunia- nya, yakni konsep alus dan rasa. Konsep alus tersirat dalam penger- tian bahasa itu halus, kain yang diberi disain yang rumit dan halus di atasnya adalah alus, jiwa dan watak alus, yang kesemuanya da- pat dipertentangkan dengan sesuatu yang kasar: musik yang di- mainkan dengan buruk, lelucon yang bodoh, sepotong kain murah- an, dsb. Golongan priyayi sebagai kelompok sosial memiliki ciri- ciri tertentu yang dengan jelas menunjukkan perbedaan dengan kelompok sosial lainnya, terutama kelompok rakyat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan itu meliputi adat sopan-santun, bahasa,

Pengertian wong cilik merupakan satuan dasar sosial politik petani, kehidupan berpusat di sekitar batih (keluarga inti). Hubung- an di antara mereka (Kartodirdjo, 1984:40—41) bersifat tertutup dan kerap kali terpencil, desa sangat berkepentingan dalam mem- pertahankan keserasian internal dan kerjasama yang baik. Kelom- pok yang termasuk golongan wong cilik adalah kaum pedagang, pengrajin, tukang, dll. Prinsip hubungan sosial wong cilik terdiri dari dua bagian besar (Ali, 1986:14—16): prisip kerukunan untuk menciptakan keselarasan dan prinsip hormat berdasarkan pen- dapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis serta tiap individu wajib menyadari keadaan ini, mempu- nyai rasa wedi, isin, dan sungkan. Pengaruh Islam di Jawa mela- hirkan adanya Islam santri dan Islam kejawen (Koentjaraningrat, 1985:339). Islam santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang secara taat menjalankan ajaran agama Islam. Islam kejawen adalah golongan orang Islam yang walaupun tidak menjalankan salah satu rukun Islam, tetapi tetap percaya kepada ajaran keimanan agama Islam dan tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga kebanyakan orang Jawa selalu bersikap nerima, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Menurut Mulder (1981:31), golongan bukan muslim santri telah mencampur- kan beberapa konsep dan cara pandangan asli mengenai alam dunia ini dan alam adikodrati (alam gaib). Kenyataan ini terwujud dalam kebatinan atau mistik Jawa. Lingkup agama Islam, menurut Jong 1976:102), searah dengan kebatinan di kalangan masyarakat Jawa, selalu menekankan tema ketuhanan, pamoring kawula gusti, neneng hening (penghayatan dari dalam).

Dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik kejelasan adanya pendukung kebudayaan Jawa yang dapat kita bedakan secara hi- rarkis (dengan mempertimbangkan gaya hidup, status sosial eko- nomi), yaitu golongan priyayi di satu pihak dan di pihak lainnya Dari beberapa uraian di atas dapat kita tarik kejelasan adanya pendukung kebudayaan Jawa yang dapat kita bedakan secara hi- rarkis (dengan mempertimbangkan gaya hidup, status sosial eko- nomi), yaitu golongan priyayi di satu pihak dan di pihak lainnya

2.2 Pandangan Hidup Masyarakat Jawa

Pandangan hidup orang Jawa terbentuk dari penggabungan alam pikiran yang terpengaruh oleh ajaran Hindu-Budha dan Islam. Pengaruh kepercayaan Hindu terdapat dalam kitab Parama- yoga karya Ranggawarsita, sedangkan pengaruh filsafat Islam tersirat dalam serat karya Ranggawarsita, sedangkan pengaruh filsafat Islam tersirat dalam serat Centhini karya Yasadipura II. (Herusatoto, 1985:74—78). Sikap hidup orang Jawa tercermin da- lam alam kebatinan orang Jawa yang pada dasarnya ingin men- capai kesatuan harmonis yang selaras. Keadaan ini tidak dapat kita lepaskan dari sikap hidup (Jong, 1976:17) yang meliputi dis- tansi, konsentrasi, dan representasi, yang berpijak pada konsep rila, narima, sabar. Sikap rila yang sering juga disebut iklas merupa- kan kesediaan melepas hak milik, kemampuan, dan hasil karya secara tulus ikhlas kepada Tuhan, ini mengingat karena semua yang tampak atau ada itu di dalam kekuasaan Tuhan Sikap narima atau nrima (Suseno, 1985:143) berarti merasa puas dengan segala nasib dan kewajiban yang sudah ada. Sikap nrima (Jong, 1976:19) menuntut kekuatan untuk menerima segala sesuatu tersebut. Sikap ini merupakan perisai orang Jawa terhadap penderitaan yang di- akibatkan oleh malapetaka. Sikap temen mewajibkan kepada orang Jawa untuk selalu jujur (Suseno, 1985:144). Diharapkan dengan demikian orang akan mempunyai sikap adil. Di samping itu, orang Jawa diharapkan untuk selalu bersikap sederhana (prasaja), meng- anggap diri lebih rendah dari orang lain (andhap asor), selalu sadar akan batas-batas dan situai dalam bergerak/berbuat (tepa slira).

Sikap sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan ketak- sabaran, dan ketiadaan nafsu yang bergolak (Geertz, 19883:323). Orang sabar akan selalu bersikap hati-hati dalam mengambil ke- putusan dan mawas diri dalam langkah hidupnya. Sikap sabar ber- kaitan dengan sikap rila dan narima. Orang yang bersikap rila dan narima akan menjadi sabar, menjadi bijaksana karena pengalaman.

BAB III ANALISIS: TOKOH/PENOKOHAN DAN WARNA LOKAL JAWA

3.1 Tokoh dan Penokohan

Membicarakan prosa Indonesia tahun 1970—1980-an dapat dicermati dari segi penokohan yang merupakan unsur intrinsik bagi penciptaan karya sastra (khususnya prosa) dengan melihat relasi oposisi protagonis atau tokoh penggerak cerita dengan anta- gonis dan tokoh komplementernya. Kenney (1986:26) menggaris- kan bahwa penokohan merupakan bagian dari struktur internal ceita. Menyadari bahwa dalam sebuah karya sastra telah terkan- dung aspek-aspek sosial budaya (tuntutan novel sebagai media komunikasi budaya) maka pemahaman terhadap segi penokohan menyarankan melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang terkait dalam penciptaan karya sastra . Sesuai dengan tentutan tersebut maka pembahasan ini tidak dapat lepas dari persoalan dan kondisi sosial masyarakat Jawa.

Unsur penokohan merupakan faktor penting dalam pencipta- an cerita rekaan, sebab setiap tokoh mempunyai fungsi-fungsi ter- tentu sebagai pendukung cerita. Tanpa kehadiran tokoh tidak mung- kin terjadi cerita dengan segenap peristiwa: perjuangan, perten- tangan, berbagai konflik manusia dengan manusia; manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitar, dan bahkan manusia dengan dirinya sendiri.

Tokoh-tokoh dalam cerita rekaan dapat dibedakan menjadi tiga macam (Ratna, 1985:49—50), yaitu (1) tokoh utama atau pro- Tokoh-tokoh dalam cerita rekaan dapat dibedakan menjadi tiga macam (Ratna, 1985:49—50), yaitu (1) tokoh utama atau pro-

Berangkat dari pemikiran bahwa karya sastra merupakan media komunikasi budaya, kita harus mampu melihat sejauh mana tokoh teridentifikasi oleh latar belakang budaya etnis yang muncul sebagai latar cerita. Sumardjo (1981:57) menegaskan bahwa sebuah cerita yang mengambil latar masyarakat tertentu, di suatu tempat dan di suatu masa, harus mampu memberi pengetahuan khusus tentang masyarakat tersebut lengkap dengan permasalahan, per- watakan, sikap hidup, ambisi tokoh, dsb. Lebih khusus lagi Ratna (1985:163) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan karya sas- tra sebagai produk sosial, setiap protagonis jelas mewakili masing- masing semestaan yang telah dihidupi.

Atas dasar beberapa pemikiran di atas dan sesuai dengan tujuan analisis yang akan melihat (a) relasi antara penggambaran tokoh dalam karya sastra dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat (dunia nyata) dan (b) berusaha menemukan keterang- an interen yang ada dalam karya sastra mengenai perwatakan, sikap hidup masyarakat Jawa. Untuk itu dipilih objek penelitian yang dianggap memadahi, yaitu prosa lirik Pengakuan Pariyem, Atas dasar beberapa pemikiran di atas dan sesuai dengan tujuan analisis yang akan melihat (a) relasi antara penggambaran tokoh dalam karya sastra dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat (dunia nyata) dan (b) berusaha menemukan keterang- an interen yang ada dalam karya sastra mengenai perwatakan, sikap hidup masyarakat Jawa. Untuk itu dipilih objek penelitian yang dianggap memadahi, yaitu prosa lirik Pengakuan Pariyem,

Menyadari bahwa unsur penokohan hanya meruapakan salah satu aspek totalitas karya sastra maka untuk melengkapi pembahas- an akan dikaitkan pula dengan unsur latar dan permasalahan seba- gai aspek penting dalam membangun cerita rekaan.

3.1.1 Pengakuan Pariyem

Keberhasilan prosa liris ini mengungkapkan latar lokal Jawa menyebabkan Djawanai berasumsi bahwa untuk dapat mengerti Pengakuan Pariyem, pembaca atau pendengar perlu memahami sedikit banyak ciri-ciri formal bahasa, nilai-nilai sosial budaya yang tercermin, dan latar belakang kemasyarakatan serta kebudayaan yang melahirkan karya tersebut. Pemahaman ini (Djawanai, 1982:2) merupakan tuntutan dan sekaligus kendala untuk memahami tingkah laku dan bahasa Pariyem. Suyitno (1986:136) mengemuka- kan bahwa meskipun Pariyem tidak bisa mewakili secara keselu- ruhan pribadi wanita Jawa, setidaknya Pariyem mampu memberi- kan gambaran mengenai sistem budaya Jawa, minimal dalam ku- run waktu dan lokasi budaya tertentu. Pernyataan ini mengisyarat- kan bahwa untuk dapat memahami Pengakuan Pariyem dengan baik, pembaca harus terlebih dahulu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa.

Pariyem merupakan nama seorang wanita tokoh utama da- lam Pengakuan Pariyem. Ia bekerja sebagai babu keluarga nDoro Kanjeng Cokro Sentono yang hidup bersama Raden ayu Cahya Wula- ningsih, istrinya, dan dua anak mereka, yaitu Raden Bagus Ario Atmojo dan nDoro Putri Wiwit Setyawati di nDalem Suryomen- taraman Ngayogyakarta. Karena ulah Raden Bagus Ario Atmojo, Pariyem hamil. Atas perlakuan majikannya itu, Pariyem tidak be- reaksi apa-apa. Ia pun cukup puas dengan menjadi selir.

Latar cerita yang menampilkan nDalem Suryomentaraman yang membingkai figur tokoh Pariyem sebagai pembantu rumah tangga, mengisyaratkan adanya strata sosial dalam kehidupan Latar cerita yang menampilkan nDalem Suryomentaraman yang membingkai figur tokoh Pariyem sebagai pembantu rumah tangga, mengisyaratkan adanya strata sosial dalam kehidupan

“Ya,ya, Pariyem saya Maria Magdalena Pariyem lengkapnya “Iyem” panggilan sehari-harinya dari Wonosari Gunung Kidul Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono Di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Saya sudah terima, kok Saya lega lila Kalau memang sudah nasib saya Sebagai babu, apa ta repotnya? Gusti Allah Mahaadil, kok Saya nrima ing pandum” (Pengakuan Pariyem, hlm. 35)

Sebagai profil wanita Jawa dari kalangan wong cilik Pariyem dalam keseluruhan cerita menunjukkan sikap pasrah, lega lila, nrima, dan senantiasa menyadari kedudukannya sebagai wong cilik. Kon- disi ini menggambarkan cita-cita masyarakat Jawa dalam mencipta- kan tata tertib masyarakat yang selaras. Di dalam masyarakat Jawa, orang sebagai individu tidak menjadi penting: bersama-sama me- reka mewujudkan masyarakat dan keselarasan masyarakat men- jamin kehidupan yang baik bagi individu-individu. Tugas moral seseorang dalam masyarakat Jawa (Mulder, 1981:36) adalah men- jaga keselarasan dengan menjalankan kewajiban-kewajiban sosial. Pariyem menyadari bahwa penguasa, priyayai, mempunyai wewe- nang, tanggung jawab, dan kewajiban-kewajibab yang berbeda dengan wong cilik.