Wanita dan Latar Lokal Jawa
3.2 Wanita dan Latar Lokal Jawa
Kenyataan yang menarik pada awal perkembangan karya sastra Indonesia modern adalah bahwa sejak tahun 1920-an, wanita telah menjadi pusat perhatian di dalam karya sastra. Novel Siti Nurbarya maupun Azab dan Sengsara, yang dianggap sebagai novel awal dalam perkembangan novel Indonesia modern, keduanya menguak kehidupan wanita. Dari sisi lain, perkembangan awal karya sastra Indonesia diwarnai oleh pengungkapan latar Minang- kabau. Kondisi ini dimungkinkan karena tahun 1920-an hingga tahun 1940-an, mayoritas pengarang Indonesia berasal dari Suma- tera (khususnya Sumatera Barat) sehingga banyak tema karya sastra yang berkaitan dengan konflik modernisasi kontra adat istiadat masyarakat Minangkabau. Persoalan tersebut setidaknya meng- akibatkan tokoh wanita terseret kedalam konsep kawin paksa.
Menurut Sumardjo (1981:44), wanita dalam roman-roman sebelum perang rata-rata merupakan korban dari kondisi sosial- nya. Pengamatan membuktikan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap situasi tersebut adalah faktor orang tua, baik karena ambisi materialistiknya maupun adat masyarakat. Sejajar dengan pendirian ini, Alisjahbana (1977:88) menegaskan bahwa kebebasan dalam memilih jodoh merupakan unsur yang paling banyak menimbulkan pertikaian dalam konteks realitas dengan sastra, seperti terlihat dalam karya sastra Indonesia sebelum perang, misalnya Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), dsb. Ratna (1985:165) menggariskan bahwa roman sastra sebelum perang umumnya mengangankan wanita sebagai komponen yang dapat memberikan keseimbangan terhadap mobilitas rumah tangga, merupakan antagonis dari pria sebagai kepala rumah tangga; karena itu, kebanyakan roman sebelum perang menggambarkan berbagai tindakan yang pada dasarnya merugikan kaum wanita. Penyebab keadaan ini (Junus, 1984:170) secara pasti dapat diperhatikan lewat dominannya kekuasaan tokoh laki-laki sehingga secara tidak sadar tokoh perempuan menjadi korban dari suatu keadaan.
Ada tiga hal esensial yang harus diperhatikan untuk mem- bicarakan eksistensi wanita dan faktor penyebab munculnya tokoh wanita (khususnya wanita Jawa) dalam karya sastra. Tiga hal yang dimaksud adalah: (1) karya sastra harus dilihat sebagai pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial kultural, dan untuk menjadikan novel sebagai media komunikasi sosial budaya dapat ditempuh dengan jalan menjadikan figur yang teridentifikasi secara rasional dari latar belakang budaya etnis tertentu, (2) analisis aspek tokoh wanita selalu dengan mempertimbangkan totalitas karya sastra dan dipihak lain karya sastra dipertimbangkan sebagai salah satu hirarki aspek sosial budaya, dan (3) wanita sebagai se- buah konsep, baik yang diangankan oleh pengarang maupun pem- baca, berbeda dalam setiap periode, semestaan bahkan pada setiap individu. Dari tiga hal tersebut tergambar adanya kaitan antara faktor latar, penokohan dan gerak atau kondisi kebudayaan.
Mengenai perkembangan latar (yang berpengaruh terhadap aspek penokohan) dalam karya sastra dapat dicermati dari gagasan
Sumardjo (1982:10) yang menyatakan bahwa kesusastraan Indone- sia yang resmi muncul sekitar tahun 1920-an didominasioleh sastra- wan Melayu atau Sumatera. Setelah revolusi barulah sastrawan Jawa mulai menyumbangkan aspirasinya. Hal ini semakin nyata setelah tahun 1970-an dengan munculnya latar Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur) di dalam karya sastra Indonesia, misalnya dalam karya-karya NH. Dini, Hariadi S. Hartowardoyo, Ashadi Siregar, Jaso Winarto, Umar Kayam, dsb.
Kasus menarik pada perkambangan berikutnya adalah mun- culnya latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an yang mengacu kepada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai sosial budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Situasi ini dapat dihubungkan dengan potensi pengarang (misalnya YB. Mangunwijaya, Linus Suriadi, Ahmad Tohari, Suparto Brata, Pandir Kelana, dan Arswendo Atmowiloto) yang akrab dengan budaya Jawa; mereka setidaknya berasal atau pernah menetap di wilayah Pulau Jawa. Dalam tataran ini perlu diingat kembali bahwa seorang pengarang selalu memperhatikan dan mempergunakan kehidupan di sekelilingnya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (1987:127), karya sastra sebagai simbol verbal mengakibatkan sastrawan da- lam mewujudkan karyanya (paling tidak) mempunyai tiga peran- an, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomu- nikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan adanya tiga peranan tersebut pengarang dalam memilih latar (yang kemudian dikaitkan dengan tema dan permasalahan serta aspek penokohan) dipenga- ruhi oleh lingkungan, interes pribadi, dan onteres itu sendiri me- rupakan bagian dari suatu elemen masyarakat yang lebih luas. Jadi, bukan tidak mungkin seorang tokoh dianggap sebagai simbol suatu sistem nilai tertentu, sama halnya denngan latar yang men- jadi bahan yang diekspresikan oleh sastrawan ke dalam karyanya. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa muatan latar lokal dalam karya sastra menuntut kamampuan sastrawan menjelaskan hubungan antara corak watak tertentu, budaya tertentu, dengan daerah lingkungan hidupnya. Pandangan ini mengasumsikan ke- Kasus menarik pada perkambangan berikutnya adalah mun- culnya latar Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an yang mengacu kepada cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan sistem nilai sosial budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Situasi ini dapat dihubungkan dengan potensi pengarang (misalnya YB. Mangunwijaya, Linus Suriadi, Ahmad Tohari, Suparto Brata, Pandir Kelana, dan Arswendo Atmowiloto) yang akrab dengan budaya Jawa; mereka setidaknya berasal atau pernah menetap di wilayah Pulau Jawa. Dalam tataran ini perlu diingat kembali bahwa seorang pengarang selalu memperhatikan dan mempergunakan kehidupan di sekelilingnya sebagai sumber inspirasi penciptaan karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (1987:127), karya sastra sebagai simbol verbal mengakibatkan sastrawan da- lam mewujudkan karyanya (paling tidak) mempunyai tiga peran- an, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomu- nikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan adanya tiga peranan tersebut pengarang dalam memilih latar (yang kemudian dikaitkan dengan tema dan permasalahan serta aspek penokohan) dipenga- ruhi oleh lingkungan, interes pribadi, dan onteres itu sendiri me- rupakan bagian dari suatu elemen masyarakat yang lebih luas. Jadi, bukan tidak mungkin seorang tokoh dianggap sebagai simbol suatu sistem nilai tertentu, sama halnya denngan latar yang men- jadi bahan yang diekspresikan oleh sastrawan ke dalam karyanya. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa muatan latar lokal dalam karya sastra menuntut kamampuan sastrawan menjelaskan hubungan antara corak watak tertentu, budaya tertentu, dengan daerah lingkungan hidupnya. Pandangan ini mengasumsikan ke-
Dalam perkembangan karya sastra Indonesia, terlihat adanya berbagai tradisi subkultur yang telah berhasil diekspresikan oleh para sastrawan ke dalam karya-karya mereka. Warna tradisi subkultur ternyata tidak hanya muncul dalam karya prosa, tetapi terlihat pula dalam beberapa punisi Darmanto Jatman, Danarto, Linus Suryadi Ag., Goenawan Mohammad; di samping terlihat juga dalam beberapa naskah drama, misalnya Sang Prabu (Saini KM) yang ditulis berdasarkan legenda Sangkuriang, Malin Kumdang, Puti Bungsu (Wisran Hadi), dan Jaka Tarub (Akhudiyat). Meskipun setiap sastrawan Indonesia berhasrat kembali ke akar tradisi yang bermacam-macam itu, tetapi akar tradisi Jawa terasa lebih dominan. Teeuw (1987:41) menjelaskan bahwa Jawanisasi kesusastraan Indonesia terjadi karena sastrawan Indonesia yang menonjol belakangan ini adalah mereka yang berangkat dari akar tradisi Jawa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pada hakikatnya anasir Jawa yang muncul dalam karya sastra Indonesia tahun 1970—1980-an merupakan cermin tanggung jawab pengarang atas wujud dan format kebudayaan nasional bangsanya. Dalam rangka mengisi kebidayaan nasional (yang “mengindonesia”), maka penga- rang mencoba mencari “terobosan” dengan memanfaatkan khasa- nah tradisi subkultur Jawa untuk diungkapkan ke dalam karya sastra mereka.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pe- nampilan wanita dalam karya sastra tahun 1980-an, antara lain dalam Pengakuan Pariyem, Burung-Burung Manyar, Rara Mendut, Ronggeng Dukuh Paruk diharapkan mampu menunjukkan eksistensi wanita, memperlihatkan mobilitas wanita dalam proses perubahan sosial budaya Indonesia pada umumnya. Hal ini meng- ingat bahwa wanita dalam mobilitas sosial telah mencoba memper- tanyakan eksistensinya, baik dengan cara menoleh dan menilai masa lampau sebagai aspek budaya bangsa yang kokoh maupun dengan melihat ke masa depan ke dalam lintas budaya internasio- nal yang dinamis. Dalam realitas sosial, seperti juga ditunjukkan oleh Sadli (1983:142), dewasa ini sulit sekali memberi gambaran Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pe- nampilan wanita dalam karya sastra tahun 1980-an, antara lain dalam Pengakuan Pariyem, Burung-Burung Manyar, Rara Mendut, Ronggeng Dukuh Paruk diharapkan mampu menunjukkan eksistensi wanita, memperlihatkan mobilitas wanita dalam proses perubahan sosial budaya Indonesia pada umumnya. Hal ini meng- ingat bahwa wanita dalam mobilitas sosial telah mencoba memper- tanyakan eksistensinya, baik dengan cara menoleh dan menilai masa lampau sebagai aspek budaya bangsa yang kokoh maupun dengan melihat ke masa depan ke dalam lintas budaya internasio- nal yang dinamis. Dalam realitas sosial, seperti juga ditunjukkan oleh Sadli (1983:142), dewasa ini sulit sekali memberi gambaran
Sekitar tahun 1970-an muncul keprihatinan masyarakat akan semakin rendahnya peran dan kedudukan wanita. Meskipun begi- tu, di sisi lain muncul kesadaran akan pentingnya kedudukan wanita karena sesungguhnya persoalan wanita tidak bisa dipisahkan dari persoalan laki-laki serta persoalan kemanusiaan secara menyelu- ruh. Keadaan ini mampu memunculkan berbagai diskusi dan pem- bicaraan mengenai wanita yang mengangkat tema seputar masalah kesempatan kerja yang sifatnya merugikan wanita, masalah upah kerja wanita, dan keluarga berencana, dsb. Sementara itu, perhati- an pemerintah terhadap masalah wanita tercermin dalam rencana pembangunan (repelita III), yaitu dengan meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa, meningkat- kan pengetahuan serta ketrampilan wanita agar dapat lebih ber- peran dalam pembangunan; di samping diangkatnya Menteri Ne- gara Urusan Peranan Wanita. Masdalah peran ganda wanita, men- jadi tema utama dalam repelita IV yang semakin menuntut keseim- bangan peranan wanita dan laki-laki dalam pembangunan. Oey (1985:16) mengemukakan bahwa dalam era pembangunan di Indo- nesia pada dasawarsa 1970-an ditandai oleh banyaknya perubahan, termasuk perubahan pola kerja kaum wanita.
Khusus mengenai kelompok wanita Jawa, terbukanya kesem- patan yang semakin luas dalam masyarakat mampu menimbulkan masalah-masalah tersendiri. Hal ini disebabkan karena wanita Jawa masa kini pada hakikatnya masih mempunyai atau menyim- pan (dalam dirinya) sifat-sifat khas yang menjadi karakteristik umum wanita Jawa tempo dulu, di samping adanya aspirasi-aspi- rasi baru dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan pengalam- an-pengalaman pribadi, latar belakang pendidikan, serta kesem- patan-kesempatan yang diberikan kepada wanita Jawa oleh masyarakat dewasa ini.
Persoalan yang menarik dalam kondisi belakangan ini me- nyangkut adanya perubahan gambaran mengenai stereotipe Jawa. Menurut Sadli (1983:158), meskipun pada saat ini wanita-wanita Jawa menunjukkan perilaku dan sifat-sifat khas yang tidak sama (bahkan mungkin bertentangan) dengan stereotif ideal wanita Jawa masa lalu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi wanita Jawa (khususnya golongan priyayi) untuk memperoleh pendidikan dalam arti luas, maka dapat diprediksi bahwa dalam waktu men- datang gambaran stereotipe mengenai wanita Jawa akan meng- alami perubahan.
Hasil penelitian antropologis yang dilakukan Mulyowati (1986) mengenai wanita Jawa dan kemajuan zaman, khususnya menyang- kut pendapat wanita Jawa yang berprodesi sebagai pegawai, peda- gang, dan mahasiswa tentang pandangan hidup masyarakat Jawa (yang berkaitan dengan keberadaan wanita – meliputi konsep swarga nunut neraka katut , konsep nrima, dan pasrah), menunjukkan ada- nya perubahan pandangan hidup wanita Jawa. Sebagian wanita Jawa menolak konsep swarga nunut neraka katut karena mereka telah mampu mandiri, merasa mempunyai tanggung jawab yang sama dengan pria (baik terhadap keluarga maupun masyarakat).
Berkaitan dengan konsep sabat, nrima, dan pasrah, wanita Jawa masa kini berusaha untuk menyesuaikan diri dengan alam sekitar, memelihara keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Konsep manut dianggap bernilai positif jika bermanfaat, rasional, sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlaku. Ditekankan oleh Sapa- rinah Sadli (1983:155) bahwa wanita Jawa pada umumnya memang masih mempunyai sifat-sifat sebagaimana tergambar dalam stereo- tip mengenai kelompoknya; namun selain itu, wanita Jawa pun mempunyai sifat kritis dan berani menyatakan pendiriannya,
Kembali kepada proses penciptaan karya sastra, menimbang peranan pengarang sebagai penanggap realitas (dengan demikian is berusaha berkomunikasi dengan realitas) dan menyadari bahwa aktivitas yang tertuang ke dalam karya sastra, mau tidak mau, sela- lu melihat kepada sosok manusi dan kemanusiaan sebagi sumber primer pengungkapan segenap peristiwa, maka munculnya tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an dapat Kembali kepada proses penciptaan karya sastra, menimbang peranan pengarang sebagai penanggap realitas (dengan demikian is berusaha berkomunikasi dengan realitas) dan menyadari bahwa aktivitas yang tertuang ke dalam karya sastra, mau tidak mau, sela- lu melihat kepada sosok manusi dan kemanusiaan sebagi sumber primer pengungkapan segenap peristiwa, maka munculnya tokoh wanita Jawa dalam karya sastra Indonesia tahun 1980-an dapat
Dari berbagai uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa fak- tor penyebab munculnya tokoh wanita Jawa dalam prosa Indonesia tahun 1980-an dapat dikaitkan dengan (1) munculnya budaya Jawa dalam karya sastra, (2) bergeraknya episentrum sastra Indonesia dari Sumatera ke Jawa, dan (3) dalam rangka pengukuhan nilai- nilai subkultur Jawa maka hal tersebut dapat terwakili oleh ke- beradaan wanita Jawa. Pada tataran ini harus diingat bahwa wanita lebih kuat memegang dan dipegang oleh adat. Penjabaran konsep pasrah, nrima, nurut, misalnya, hanya bisa terwakili oleh tokoh wa- nita. Di samping itu, munculnya tokoh wanita Jawa dalam bebe- rapa karya sastra tersebut diharapkan mampu memberikan gam- baran sosok wanita Jawa ideal dalam pencarian identitas wanita Jawa masa kini.