Landasan Teori

1.5. Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan untuk merespons Musim Semi Arab (The-Arab Spring ) yang bergejolak sejak awal tahun 2011. Turbulensi politik dipandang oleh banyak pengamat politik Timur Tengah sebagai awal dari bangkitnya demokratisasi di negara-negara tersebut, sementara sebagian kalangan atau pengamat juga meragukannya seiring dengan perjalanan waktu yang belum memberikan tanda-tanda yang cukup positif, kecuali Tunisia. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah mengkaji demokratisasi di negara-negara Arab setelah The-Arab Spring tersebut bergulir dan teori yang peneliti gunakan sebagai kacamata dalam melakukan pengkajian tersebut adalah teori demokrasi.

Di sini penulis akan mengambil teori demokrasi menurut Robert A. Dahl, Jack Snyder, dan Georg Sorensen untuk membaca demokratsasi di negara-negara Arab, dalam hal ini negara-negara yang penulis sebut dalam tema sentral penelitian ini, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Dahl memperkenalan kita istilah fondasi demokrasi dan keterlibatan pihak asing dalam demokratisasi. Sementara Jack Snyder mempunyai istilah mature democracies, democratizing states, serta demokratisasi dan konflik nasionalis. Adapun Georg Sorensen memperkenalkan kepada kita model dalam transisi dan konsolidasi demokrasi.

1.5.1. Demokrasi

Demokrasi telah didiskusikan selama kurang lebih dua ribu lima ratus tahun, suatu kurun waktu yang cukup lama untuk memberikan suatu perangkat gagasan yang Demokrasi telah didiskusikan selama kurang lebih dua ribu lima ratus tahun, suatu kurun waktu yang cukup lama untuk memberikan suatu perangkat gagasan yang

Secara tradisional, negara demokratis antara lain dicirikan dengan penerapan sistem politik terbuka multipartai dan pergantian kekuasaan dilakukan melalui pemilihan umum yang bebas, ekonomi pasar bebas, juga kebebasan pers dijamin. Adapun negara yang tidak demokratis dicirikan dengan kekuasaan terpusat di elite satu partai, sistem ekonominya pun tertutup, dan pers dikontrol pemerintah. Namun seiring dengan perkembangannya, demokrasi tidak sekadar dipahami sebagai kebebasan politik, tetapi juga termasuk konsep keadilan dan kesetaraan sosial (Kompas, 23/04/2015).

Perlu juga dipahami bahwa kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi Perlu juga dipahami bahwa kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi

Dari sini dapat kita menarik benang merah bahwa demokrasi sejatinya sebuah sistem yang memberikan keterlibatan kepada publik secara luas agar supaya pemerintahan yang berjalan dapat mengedepankan kebaikan bersama (rakyat banyak). Oleh karena itu sistem tersebut harus transparan, akuntabel, serta memberi ruang partisipasi publik secara luas. Itulah demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat Arab, terutama setelah The Arab Spring bergejolak.

Kata sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno dengan a danya negara kota “polis” di Athena pada abad V-

IV SM. Sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk yang juga tidak banyak, sehingga prinsip demokrasi langsung dapat dijalankan secara partisipatoris. Menurut beberapa rujukan, warga Athena bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun untuk membahas persoalan-persoalan publik. Boleh jadi karena itu, demokrasi kerap dirumuskan sebagai government of, by and for the people (Ketchum: xi-xii).

Dalam masyarakat modern, demokrasi dipandang sebagai simbol peradaban sosial dan juga kemajuan itu diapresiasi. Dari historis gagasannya, demokrasi tidak mempunyai kualitas keabsolutan (quality of absoluteness). Dengan kata lain, pada masa lalu, demokrasi tidak berjalan sama positifnya dengan demokrasi yang diterapkan hari ini. Intinya adalah bahwa demokrasi, dalam arti yang sesungguhnya, harus dimaknai sebagai cara untuk mencapai kompromi sosial (as a way to social compromi ), yang bertujuan untuk menjamin kehidupan politik yang adil (Zhen, 2006: 1). Kehidupan politik yang adil itu akan terbangun dengan adanya pembagian kekuasaan (distribution of power), Montesqiu, pakar hukum asal Perancis, menyebutnya dengan istilah Trias Politika; pemisahan antara kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Huntington menambahkan bahwa masa depan demokrasi erat kaitannya dengan masa depan kebebasan di dunia. Menurut Huntington, korelasi antara keberadaan demokrasi dan keberadaan kebebasan individu sangat tinggi (Huntington, 1996:76).

1.5.2. Demokrasi Menurut Robert A. Dahl.

1.5.2.1. Fondasi Demokrasi

Robert A. Dahl memperkenalkan kepada dunia politik istilah “fondasi demokrasi”. Dari fondasi demokrasi ini, Dahl mensyaratkan, dengan menggali dari teori „populis‟, adanya tiga karakteristik demokrasi yang dapat dibuat bermanfaat

secara operasional; (1) kedaulatan popular (popular sovereignty), (2) persamaan politik (political equality), dan pemerintahan oleh mayoritas (majority rule) (Krouse,

1982:442-443). Dahl kemudian membuatnya lebih spesifik menjadi setidaknya delapan unsur hal cerminan sistem yang demokratis, yaitu:

1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (berserikat dan berkumpul);

2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat);

3. hak memilih dan dipilih;

4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

5. hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi dalam mendapatkan dukungan atau memberi dukungan;

6. alternatif sumber-sumber informasi;

7. pemilu yang bebas dan adil;

8. pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau tergantung suara rakyat lewat pemungutan suara maupun cara-cara lain yang sejenis (Dahl, 1971: 7).

Dahl juga mencoba mengklasifikasikan demokrasi dalam dua bentuk, yaitu demokrasi substantif dan demokrasi prosedural atau “poliarki” (istilah Dahl).

Demokrasi substantif adalah demokrasi yang membawa prinsip dan nilai-nilai demokratis dalam tatanan praktis. Adapun demokrasi prosedural atau “poliarki”, menurut Dahl, adalah lebih menekankan kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensinya, poliarki tidak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite- elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Pengklasifikasian demokrasi menurut Dahl ini dikembangkan oleh Charles Tilly. Menurut Tilly, terdapat 4 Demokrasi substantif adalah demokrasi yang membawa prinsip dan nilai-nilai demokratis dalam tatanan praktis. Adapun demokrasi prosedural atau “poliarki”, menurut Dahl, adalah lebih menekankan kemerdekaan rakyat memilih pemimpin. Esensinya, poliarki tidak lain adalah pemilahan pemimpin dan wakil rakyat dari elite- elite yang berebut kuasa melalui mekanisme pemilu. Pengklasifikasian demokrasi menurut Dahl ini dikembangkan oleh Charles Tilly. Menurut Tilly, terdapat 4

1. Demokrasi secara Konstitusional (constitutional)

2. Demokrasi secara Substantif (substantive)

3. Demokrasi secara Prosedural (procedural)

4. Demokrasi secara Orientasi Proses (process-oriented) (Basri Dalam blog/http.Seta Basri Menulis Terus)

Yudi Latif menuliskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights ), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights). Pertimbangan inilah yang membuat para pemikir demokrasi, seperti Alexis de Toxqueville dan Amy Gutmann, menghubungkan demokrasi dengan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Di sinilah terlihat, tulis Yudi Latif, bahwa konsolidasi demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi prosedural, tetapi harus menjangkau hal-hal yang substantif (Latif, 2012). Oleh karena itu, dalam demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah) harus mendapatkan jaminan hukum yang menjamin implementasi ke delapan unsur di atas tersebut. Di samping itu, gerakan-gerakan penguatan civil society penting dilakukan, baik oleh Yudi Latif menuliskan bahwa demokrasi yang sehat menghendaki kesederajatan hingga taraf tertentu dari basis ekonomi dan sosial. Demokrasi tidak melulu berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil dan politik (civil and political rights ), tetapi juga dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ecosoc rights). Pertimbangan inilah yang membuat para pemikir demokrasi, seperti Alexis de Toxqueville dan Amy Gutmann, menghubungkan demokrasi dengan keadilan ekonomi dan kesejahteraan. Di sinilah terlihat, tulis Yudi Latif, bahwa konsolidasi demokrasi tidak boleh hanya berhenti pada reformasi prosedural, tetapi harus menjangkau hal-hal yang substantif (Latif, 2012). Oleh karena itu, dalam demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah) harus mendapatkan jaminan hukum yang menjamin implementasi ke delapan unsur di atas tersebut. Di samping itu, gerakan-gerakan penguatan civil society penting dilakukan, baik oleh

Sampai saat ini, demokrasi telah menjadi populer secara universal karena merupakan sistem politik terbaik yang dapat ditempuh dan diandalkan oleh umat manusia. Kini, sebagian besar bangsa dan masyarakat menyaksikannya. Fasisme telah gagal sejak lama. Komunisme tidak ada lagi, sedangkan kekuasaan militer tidak dapat menciptakan pemerintahan yang efektif. Demokrasi memungkinkan rakyat untuk memutuskan siapakah yang sebaiknya memimpin mereka dan, dengan mempertimbangkan syarat-syarat tertentu, dapat ikut menghasilkan para pemimpin politik yang baik. Demokrasi memberikan pilihan tertentu, yang secara defenitif tidak dapat diberikan oleh sistem partai tunggal. Menurut Francis Fukuyama, otoritarianisme, entah kiri atau kanan, telah gagal karena tidak mampu menciptakan legitimasi yang memuaskan atas kekuasaaannya sendiri. Rezim-rezim seperti itu tidak memiliki modal berupa niat baik yang dapat menguji dirinya selama masa-masa sulit; rezim-rezim tersebut tidak fleksibel seperti halnya negara-negara demokrasi liberal (Giddens, 2009: 148-151).

1.5.2.2. Faktor Asing sebagai Pendorong Demokrasi

Menurut Robert A. Dahl, bergeraknya suatu negara ke arah transisi demokrasi tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor luar. Hal itu karena sistem apa pun yang diterapkan oleh sebuah negara, ia tidak akan pernah lepas dari pengaruh pihak asing sebagaimana dikatakan oleh Robert Dahl bahwa takdir dari sebuah negara adalah ia Menurut Robert A. Dahl, bergeraknya suatu negara ke arah transisi demokrasi tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor luar. Hal itu karena sistem apa pun yang diterapkan oleh sebuah negara, ia tidak akan pernah lepas dari pengaruh pihak asing sebagaimana dikatakan oleh Robert Dahl bahwa takdir dari sebuah negara adalah ia

Oleh karena itu, terbentuknya pranata-pranata politik yang demokratis karena adanya interaksi yang terbangun dengan pihak luar, faktor asing. Dalam banyak kasus, dominasi yang datangnya dari pihak luar (negara lain) sangat menentukan untuk menjalankan roda pemerintahan. Setiap negara berdiri dalam sebuah lingkungan yang terdiri dari negara lain. Di bawah setiap rezim, para pengambil kebijakan harus mencermati kemungkinan tindakan beserta reaksi dari pengambil kebijakan di negara lain. Dalam hal ini, bahkan negara yang paling kuat sekalipun dalam beberapa hal dibatasi oleh pengaruh dan kontrol atau kekuasaan dari negara lain. Lebih dari itu, kebanyakan negara berpartisipasi lebih luas dalam ekonomi multinasional; konsekuensinya, para pengambil kebijakakn biasanya mencermati tindakan dan reaksi orang-orang dari luar negeranya yang kemungkinan mempengaruhi ekonomi lokal. Negara-negara, dengan berat, tergantung pada perdagangan internasional atau investasi asing (Dahl: 189).

Menyadari begitu kompleksnya pengaruh lingkungan internasional pada pengembangan hegemoni ataupun poliarki (demokrasi prosedural dalam istilah Robert Dahl), Dahl membedakan bentuknya secara lebih rinci menjadi tiga cara

(jalan) di mana tindakan, reaksi, dan tindakan yang diharapkan oleh pihak luar memengaruhi kesempatan poliarki atau hegemoni di negara tertentu.

Pertama, tindakan politik dari pihak luar (asing) dapat dan hampir pasti mempunyai dampak terhadap satu atau lebih kondisi dalam negeri, kepercayaan aktivis politik; asumsi, budaya politik, kepercayaan, dan paradigma. Kepercayaan dari aktivis politik, jalan menuju era hari ini, level pengembangan sosio-ekonomi, tingkat konsentrasi atau disperse ekonomi, ketidakmerataan, bahkan penyebaran pengepungan subkultur – semua terbuka dengan pengaruh-pengaruh dari aktor-aktor luar.

Kedua, tindakan dari pihak asing dapat mengubah secara drastis pilihan- pilihan yang ada pada sebuah rezim tanpa harus mengganti bentuk dari rezim tersebut. Sebagaimana sudah disinggung bahwa keberadaan dalam sebuah lingkungan internasional merubah atau mengurangi pilihan-pilihan yang ada pada setiap rezim di setiap negara.

Ketiga, orang-orang di suatu negara boleh saja dengan sengaja mencari untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk menanamkan bentuk-bentuk tertentu rezim politik atas negara lainnya: dominasi asing secara sengaja (Dahl: 189- 191).

1.5.3. Demokrasi Menurut Jack Snyder

Jack Snyder dalam bukunya Democratization and Nationalist Conflict, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dari Pemungutan Suara ke

Pertumpahan Darah , memberikan klasifikasi yang cukup menarik perihal negara demokrasi. Snyder membedakan bahwa istilah demokratisasi terdiri dari negara- negara yang demokrasinya matang (mature democracies/MD) dan negara yang sedang menuju demokrasi (democratizing states/DS).

1.5.3.1. Mature Democracies dan Democratizing States

Snyder memberikan klasifikasi pertumbuhan demokrasi di sebuah negara dengan dua tahap. Tahap pertama adalah dengan apa yang ia sebut dengan istilah Mature Democracy/ Negara Berdemokrasi Matang (MD), demokrasi yang sudah pada tahap yang matang/dewasa. Dalam negara yang demokrasinya sudah matang (mature democracy ), kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri dan kebijakan militer, disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang luber- jurdil dan berkala; tindakan-tindakan para pejabat dibatasi dengan berbagai ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil. Dalam pemilihan umum, calon pemerintah seringkali kalah dan karena itu harus melepaskan jabatan mereka. Kebebasan berbicara, kebebasan berorganisasi untuk bersaing dalam pemilihan umum, dan terwakilinya secara adil pandangan yang beragam di dalam media massa, dianggap sebagai prasyarat-prasyarat terlaksananya pemilihan umum yang luber- jurdil. Adapun Democratizing State/Negara Sedang Menuju Demokrasi (NSMD) didefinisikan oleh Snyder sebagai Negara yang baru saja memenuhi satu atau lebih prasyarat demokrasi tersebut di atas, sekalipun negara itu masih mempertahankan ciri-ciri penting yang tidak demokratis (Snyder, 2003:16-17).

Ketegori Democratizing State/DS sangatlah luas, tercakup di dalamnya negara seperti Republik Ceko pada awal 1990-an, yang melaksanakan transisi dari otokrasi penuh menuju demokrasi penuh. Juga termasuk dalam kategori itu bekas Yugoslavia dekat menjelang negara tersebut terpecah-belah pada 1991, ketika pertama kali pemilihan umum diselenggarakan dengan sedikit banyak kebebasan berbicara, namun belum luber dan jurdil (Snyder:17).

Pertanyaan yang muncul di benak banyak pihak tentunya adalah kapankah suatu DS berhasil menjadi MD? Kapan demokrasi di DS dapat dikatakan sudah terkonsolidasi? Snyder menuliskan bahwa beberapa sarjana menggunakan rumus

“dua kali pergantian kekuasaan” (two turnover rule) untuk menandai konsolidasi demokrasi: demokrasi dianggap sudah terkonsolidasi apabila kekuasaan sudah dua

kali pindah tangan melalui proses pemilihan umum yang luber-jurdil. Ada pula yang mengatakan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi apabila dia merupakan

“permainan satu-satunya” (the only game in town). Itu berarti tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain memenangkan pemilihan

umum yang luber-jurdil. Terakhir, sarjana lain mengukur sejauh mana suatu negara telah menunjukkan ciri-ciri MD yang bersifat kelembagaan dan hukum, dengan menggunakan berbagai indikator seperti adanya politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas. Apabila suatu negara telah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir semua kriteria di atas, maka negara tersebut dikatakan telah berhasil umum yang luber-jurdil. Terakhir, sarjana lain mengukur sejauh mana suatu negara telah menunjukkan ciri-ciri MD yang bersifat kelembagaan dan hukum, dengan menggunakan berbagai indikator seperti adanya politik yang bersifat kompetitif, pemilihan umum yang tetap, partisipasi yang luas, pembatasan kekuasaan eksekutif, kebebasan berbicara, dan penghormatan terhadap kebebasan sipil, termasuk hak-hak minoritas. Apabila suatu negara telah mencapai nilai cukup tinggi dalam hampir semua kriteria di atas, maka negara tersebut dikatakan telah berhasil

1.5.3.2. Demokratisasi dan Konflik Nasionalis

Dalam pandangan Jack Snyder, demokratisasi tidak dapat terlepas dari konflik nasionalis atau konflik antargolongan. Konflik yang terjadi di negara-negara Arab setelah bergulirnya The Arab Spring juga diwarnai oleh konflik tersebut. Beragam fakta menunjukkan adanya hubungan antara demokratisasi dan konflik yang disulut oleh nasionalisme. Sejalan dengan makin banyaknya orang memainkan peran yang lebih besar dalam politik, maka bertambah besar pula kemungkinan konflik SARA di dalam suatu negara, sebagaimana agresi asing makin banyak dengan alasan nasionalisme. Kebanyakan negara-negara tercebur dalam konflik SARA yang hebat dan yang menjadi berita utama selama dasawarsa 1990-an adalah negara-negara yang mengalami kemajuan tanggung (partial) dalam kebebasan politik atau kebebasan sipil satu dua tahun sebelum pecahnya pertikaian. Bagian terbesar konflik tersebut terjadi di negara-negara yang sedang mengayunkan langkah awal menuju transisi demokratis, seperti menyelenggarakan pemilihan umum dan mengizinkan berbagai kelompok politik melancarkan kritik terhadap pemerintah maupun terhadap satu sama lain (Snyder:18).

Studi sistematis mengenai semua konflik SARA yang terjadi pada 1990 hingga 1998 menunjukkan bahwa tuntutan politik SARA memuncak selama masa Studi sistematis mengenai semua konflik SARA yang terjadi pada 1990 hingga 1998 menunjukkan bahwa tuntutan politik SARA memuncak selama masa

Terkait dengan ini, Snyder juga memberikan pengklasifikasian yang cukup menarik. Menurut Snyder, dua wawasan yang bertentangan, yang masing-masing dia

beri nama “persaingan antar-kelompok rakyat” (popular-rivalries) dan “propaganda elite” (elite persuasion), memberikan penjelasan terhadap adanya korelasi antara

demokratisasi dan konflik nasionalis. Wawasan yang pertama beranggapan bahwa persaingan nasionalis di dalam masyarakat sudah lama ada sebelum terjadi demokratisasi. Menurut pandangan ini, demokratisasi sekadar mencerminkan cita-cita kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita- cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” ini merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat” (Snyder: 22-23).

Snyder berpendapat sebaliknya. Sebelum demokratisasi mulai, nasionalisme biasanya lemah atau belum ada kalangan luas massa penduduk. Nasionalisme massa biasanya muncul selama tahap paling awal demokratisasi, ketika para elite menggunakan pesona nasionalisme untuk mendapatkan dukungan rakyat. Demokratisasi melahirkan nasionalisme ketika golongan-golongan kuat dalam masyarakat tidak hanya perlu menggalang dukungan rakyat untuk keperluan perang atau peningkatan ekonomi, tetapi juga enggan menyerahkan wewenang politik kepada warga biasa. Bagi lapisan elite ini, nasionalisme merupakan doktrin yang berguna untuk membenarkan demokrasi tanggung atau setengah-setengah, yang mana para elite dapat berkuasa atas nama rakyat tetapi tidak sepenuhnya bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam demokrasi setengah-setengah, elite sering dapat memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian, dan media massa untuk mengobarkan nasionalisme, dan dengan begitu menentukan agenda wacana umum. Konflik nasionalisme muncul sebagai hasil samping upaya elite membujuk rakyat menerima gagasan-gagasan nasionalisme yang sarat sentiment perpecahan (Snyder: 23).

Teori demokrasi menurut Dahl dan Snyder inilah yang penulis gunakan dalam penelitian ini untuk melihat demokratisasi yang diperhadapkan dengan berbagai tantangan di negara-negara Arab. Di mana kitahui bahwa demokrasi, menurut Dahl, mempunyai delapan unsur yang menjadi fondasi berpijaknya sistem yang demokratis. Artinya bahwa demokratisasi di negara-negara Arab, dalam hal ini Tunisia, Mesir, dan Suriah, adalah upaya untuk mewujudkan ke delapan unsur tersebut. Selain itu,

Dahl juga melihat adanya peran pihak luar (asing) dalam proses terciptanya sistem yang demokratis.

Teori Snyder juga penulis gunakan, memadukannya dengan teori Dahl, karena dalam demokratisasi, Snyder melihat adanya tahap-tahap yang dialami oleh setiap negara yang sedang dalam transisi menuju sistem yang demokratis. Kedua tahap itu adalah dengan apa yang ia istilahkan mature democracy dan democratizing state. Di mana Menurut Snyder, perlu adanya pergantian kepemimpinan secara demokratis (pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara yang masih dalam kategori democratizing state untuk menjadi mature democracy. Dalam fase democratizing state itulah, konflik nasionalis seringkali tidak dapat dihindarkan. Teori ini, hemat penulis, sangat tepat untuk membaca tantangan demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah).

Demokratisasi di Tunisia, Mesir, dan Suriah tentulah akan melalui fase-fase tersebut, dari democratizing state menjadi mature democracy. Pada tahap democratizing state ( demokratisasi) menuju mature democracy inilah menghadapi berbagai tantangan yang menjadi fokus dari penelitian ini.

1.5.4. Proses Transisi dan Konsolidasi Demokrasi Menurut Georg Sorensen

George Sorensen berpendapat, sedikit berbeda dari Jack Snyder, bahwa transisi dari sistem atau aturan yang tidak demokratis menuju sistem yang demokratis merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan beberapa fase. Sorensen George Sorensen berpendapat, sedikit berbeda dari Jack Snyder, bahwa transisi dari sistem atau aturan yang tidak demokratis menuju sistem yang demokratis merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan beberapa fase. Sorensen

Konsolidasi dan transisi demokrasi ini lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan yang dibuatkan oleh Georg Sorensen sebagai berikut.

2. Fase pengambilan keputusan: mulai membangun tatanan

1. 2. Fase persiapan: yang demokratis Fase persiapan:

Kejatuhan rezim Latar belakang kondisi: Kejatuhan rezim Latar belakang kondisi:

3. Fase konsolidasi: persatuan nasional persatuan nasional