Arab spring dan demokrasi pdf

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

The Arab Spring , Musim Semi Arab, adalah bahasa politik yang mulai populer dalam kancah politik internasional, terutama di negara-negara Arab, sejak awal Januari 2011 lalu. Istilah yang menunjukkan kejatuhan berderet rezim pemimpin-pemimpin otoriter dunia Arab, dimulai dari Tunisia, Zein al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), diikuti Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, kemudian ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya, dilanjutkan oleh Yaman, Bahrain, dan Suriah yang masih berlangsung sampai sekarang.

Rakyat Arab menyebut peristiwa politik penting ini dengan sebutan al- Tsaurat al-Arabiyyah yaitu revolusi yang akan mengubah tatanan menuju masyarakat dan bangsa ideal setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter, dengan kekuasaan yang tidak dibatasi, yang mengekang kebebasan masyarakat serta melahirkan kesenjangan antara elite (penguasa), yang hidup mewah, dengan rakyat yang miskin. Orang Barat menyebutnya dengan Arab Springs (Musim Semi Arab/al- Rabi’ al-Arabiy) yaitu musim yang menjadi titik awal pertumbuhan demokrasi di negara-negara Arab (Burdah, 2014: 21).

Maka dari itu, peristiwa politik inilah yang menjadi awal untuk mengakhiri sistem politik di negara-negara Arab yang tidak transparan dan juga tidak membatasi kekuasaan pemimpin (presiden). Peristiwa ini pula yang menjadi awal untuk membangun sistem serta tatanan kehidupan yang lebih transparan, kekuasaan pemimpim dibatasi dengan memberikan ruang kebebasan (hak) kepada masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam dunia politik, baik itu berpartisipasi untuk memilih dan dipilih maupun berpartisipasi dalam bentuk mengontrol roda pemerintahan. Tujuannya adalah agar dapat mengedepankan kemaslahatan rakyat banyak; memperbaiki taraf kehidupan rakyat, menghilangkan kesenjangan antara elite dengan rakyat, mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, menjamin kesetaraan hak-hak politik untuk semua warga negaranya.

Itulah demokrasi yang didambakan oleh masyarakat Arab baik sebelum maupun sesudah bergejolaknya Tha Arab Spring 2011 lalu. Oleh karena itu, pasca bergulirnya The Arab Spring, demokrasi pun menjadi pembicaraan yang menarik dan hangat untuk membaca masa depan politik kawasan tersebut. Demokrasi mulai berani disuarakan secara luas oleh masyarakat dunia Arab. Namun demikian masyarakat dunia Arab sebenarnya telah menuntut kehidupan yang demokratis sejak tahun 1990- an (Barakat, 2012: 373). Tetapi karena masyarakat tidak mempunyai kekuatan politik untuk melawan rezim yang diktator sehingga tuntutan mereka tidak tersalurkan hingga terjadinya The Arab Spring.

Inisiatif-inisiatif untuk membangun sistem politik yang demokratis juga telah dilaksanakan. Sejak tahun 1990-an, negara-negara Arab pada umumnya telah Inisiatif-inisiatif untuk membangun sistem politik yang demokratis juga telah dilaksanakan. Sejak tahun 1990-an, negara-negara Arab pada umumnya telah

Hal itu dapat dikatakan bahwa sejak awal dekade 1990-an, telah dilakukan upaya untuk membangun sistem pemerintahan yang terbuka (transparan), akuntabel, dan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa harapan dan inisiatif untuk membangun kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab tidak berjalan lancar serta tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Upaya tersebut berjalan lambat bahkan dapat dikatakan gagal dengan tetap berkuasanya pemimpin-pemimpin otoriter.

Kurang lebih dua dekade kemudian (sejak tahun 1990-an), upaya demokratisasi yang lambat atau gagal tersebut mendapatkan saluran untuk disuarakan secara masif melalui pengorbanan pemuda 26 tahun yang bernama Mohammed Bouazizi di Tunisia. Ia membakar diri sebagai bentuk perlawanan (secara tidak langsung) terhadap rezim Zein al-Abidin Ben Ali, di Tunisia, yang tidak berpihak terhadap kaum lemah (Jamshidi, 2014: 8).

Ben Ali sendiri berkuasa sejak 7 November 1987 melalui kudeta secara damai tidak lama setelah diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Habib Bourguiba. Rakyat Tunisia pun bangkit melawan pemerintahan Ben Ali yang memimpin Tunisia dengan mengekang kebebasan pers, dunia maya (internet) disensor, telepon, dan komunikasi lewat email disensor, dan oposisi di parlemen dibuatnya tidak berkutik (diam)

(Angrist, 2011:76). Menghadapi gerakan massa tersebut, Ben Ali pun melarikan diri ke Saudi Arabia.

Berakhirnya era kekuasaan Ben Ali ini tersebar dan menjadi berita yang hangat di seluruh dunia Arab, bahkan dunia. Perlawanan rakyat Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim diktator Ben Ali menjadi inspirasi bagi masyarakat negara- negara Arab lainnya untuk membangun kekuatan gerakan massa melawan rezim yang diktator. Dari sanalah gejolak revolusi, The Arab Spring, di Timur Tengah bermula. Pemimpin pertama, setelah Ben Ali, yang terkena dampak dari gejolak tersebut adalah Hosni Mubarak yang mundur pada hari Jum‟at, 11 Februari 2011 dari kursi

kepresidenan yang didudukinya selama kurang lebih 30 tahun, 6 Oktober 1981-11 Februari 2011 (Jamshidi, 2014: 9).

Dari Mesir, kemudian merambat ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafi yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. Beberapa negara Arab lainnya, seperti Jordania, Suriah, Bahrain, dan Yaman terkena dampak revolusi yang berawal dari Tunisia tersebut (Sahide, 2012: 42). Dampak itu berupa munculnya kekuatan massa yang melakukan demonstrasi menuntut rezim yang berkuasa mundur dari kursi kekuasaannya.

Dari beberapa negara yang terkena dampak gejolak yang berawal di Tunisia tersebut, hanya Suriah yang berlangsung paling lama, sampai saat ini (2016). Dalam kasus Suriah, kelompok oposisi, Dewan Nasional Suriah/Syrian National Council (SNC), yang mendapatkan dukungan dari Barat, dengan dalih perjuangan Dari beberapa negara yang terkena dampak gejolak yang berawal di Tunisia tersebut, hanya Suriah yang berlangsung paling lama, sampai saat ini (2016). Dalam kasus Suriah, kelompok oposisi, Dewan Nasional Suriah/Syrian National Council (SNC), yang mendapatkan dukungan dari Barat, dengan dalih perjuangan

Negosiasi untuk perdamaian di Suriah tidak pernah berhasil menemukan jalan keluar karena negosiasi dari pihak rezim al-Assad tidak ingin membahas posisi kepresidenan al-Assad. Adapun pihak oposisi menetapkan harga mati bahwa negosiasi bertujuan untuk menggulingkan rezim al-Assad. Kofi Annan, diplomat senior yang juga mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pernah diberi mandat sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah, namun Kofi Annan juga gagal menyelesaikan konflik politik di Suriah dan mengundurkan diri sebagai utusan khusus PBB untuk perdamaian di Timur Tengah.

Lachdar Brahimi, pengganti Annan, juga gagal menciptakan perdamaian dan menemukan jalan keluar dari prahara yang berlangsung. Karena negosiasi selalu menemui jalan buntu, maka pertempuran antara rezim dan kelompok oposisi pun terus berlangsung sehingga korban, terutama dari rakyat sipil, terus berjatuhan. Situasi politik dalam negeri Suriah semakin rumit dengan munculnya gerakan politik baru yang bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS).

Sementara itu, dua negara lainnya (Tunisia dan Mesir) telah berjalan ke arah transisi demokrasi. Tunisia, misalnya, telah melakukan pemilihan umum yang mengantarkan Partai Politik Ennahda ke puncak kekuasaan dan mengangkat Moncef Marzouki sebagai Presiden Tunisia. Marzouki adalah presiden pertama Tunisia yang dipilih secara demokratis. Dua pemimpin sebelumnya mengambil alih kekuasaan Sementara itu, dua negara lainnya (Tunisia dan Mesir) telah berjalan ke arah transisi demokrasi. Tunisia, misalnya, telah melakukan pemilihan umum yang mengantarkan Partai Politik Ennahda ke puncak kekuasaan dan mengangkat Moncef Marzouki sebagai Presiden Tunisia. Marzouki adalah presiden pertama Tunisia yang dipilih secara demokratis. Dua pemimpin sebelumnya mengambil alih kekuasaan

Mesir juga telah melaksanakan pemilihan presiden setelah setahun lebih The Arab Spring berlangsung yang mengantarkan Muhammad Mursi, dari Ikhwanul Muslimin, sebagai pemimpin negara tersebut setelah kejatuhan penguasa otoriter, Hosni Mubarak. Mursi diambil sumpahnya sebagai Presiden Mesir pada tanggal 30 Juni 2012 dan hanya setahun memimpin karena tokoh Ikhwan tersebut dilengserkan dari kursi kepresidenan pada awal Juli 2013 melalui demonstrasi massa yang didukung oleh militer. Pada bulan Juni 2014, Mesir kembali melaksanakan pemilihan presiden yang dimenangi oleh Abdel Fattah el-Sisi dengan perolehan suara mencapai 82% (Aljazeera, 22/06/2014).

Hal ini dapat dikatakan bahwa peristiwa politik The Arab Spring sejak awal 2011 lalu, dengan terjadinya serangkaian gerakan yang menggugat kemapanan politik berbagai penguasa Timur Tengah, adalah momentum yang menjadi pemantik lahirnya kembali harapan untuk memantapkan jalan menuju kehidupan yang demokratis di negara-negara Arab. The Arab Spring menjadi titik awal lahirnya perubahan besar di Timur Tengah, yaitu menjadi awal terbukanya proses demokratisasi yang ditandai dengan kejatuhan para penguasa otoriter, meskipun demokratisasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas, juga masih menuai banyak perdebatan-perdebatan (pemikiran) di kalangan ilmuwan.

Perdebatan Demokrasi di Dunia Arab

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa The Arab Spring menjadi awal kebangkitan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan lebih demokratis di kawasan Timur Tengah, terutama dunia Arab, setelah sekian lama dipimpin dengan sistem otoriter yang mengekang kebebasan masyarakat. Di samping itu, jauh sebelum terjadinya peristiwa tersebut, demokrasi telah lama menjadi wacana akademik di dunia Arab, lebih luas dunia Islam. Berangkat dari kajian akademik tersebut, terdapat dua teori atau pandangan yang berseberangan terkait demokrasi. Ada ilmuwan politik yang berpandangan pesimis, melihat masa depan demokrasi suram, dan ada juga yang berpandangan otpimis, melihat adanya harapan tumbuhnya sistem yang demokratis.

Pandangan yang pesimis tersebut datang dari Samuel P. Huntington, jauh sebelum The Arab Spring begejolak. Menurut Huntington, prospek demokrasi di republik-republik Islam tampak suram (Huntington, 2006: 340). Pandangan yang pesimis ini melihat bahwa dunia Arab (Islam secara lebih luas) pada dasaranya tidak demokratis, tidak mampu beradaptasi dengan tantangan global dalam proses demokratisasi (Hassouna, 2001: 49).

Ilmuwan politik lainnya yang pesimis adalah Eric Chaney. Chaney merespons pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul Democratic Change in the Arab World, Past and Present . Dari tulisannya ini, Chaney membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi. Ada tiga keraguan Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara Arab pasca-the Arab

Spring , yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negara-negara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012).

Pandangan pesimis lainnya datang dari Alfred Stepan. Stepan memberikan catatan kritis terhadap demokrasi di Arab secara umum dan Mesir secara khusus sebagai an exceptionalism. Intinya, demokrasi tidak dapat tumbuh subur di dunia Arab, bukan hanya semata-mata karena mereka mengharamkan demokrasi, tetapi yang jauh lebih mengkhawatirkan yaitu praktik pemilu yang tidak jujur dan bersih, serta suksesi kepemimpinan yang tidak berjalan secara demokratis. Di samping itu,

Freedom House 1 juga memberikan catatan kritis demokrasi di dunia Arab. Menurut lembaga ini, negara-negara Arab telah mengabaikan dua elemen penting dalam

demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil (Misrawi, 2013: 335). Sementara itu, pandangan yang optimis akan tumbuhnya demokratisasi di negara-negara Arab datang dari Julie Chernov Hwang, John L. Esposito, Tariq Ramadan, dan Hussein A. Hassouna. Hwang mempunyai tesis yang cukup menarik yang membantah tesis beberapa pakar yang mengatakan bahwa Islam tidak cocok dengan demokrasi. Menurutnya, asumsi tersebut keliru. Hasil-hasil survei akan nilai- nilai dunia 1995-1996 dan 2000-2002 menunjukkan bahwa antara 92-97 persen Muslim yang tinggal di Albania, Mesir, Bangladesh, Azerbaijan, Indonesia, Maroko, dan Turki menyokong institusi-institusi demokratik. Namun demikian, Hwang

1 Freedom House adalah organisasi nirlaba yang berpusat di Washington dengan kantor cabang di berbagai negara.

mengutip argumen Jack Snyder bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan konflik (Hwang, 2011: 5-6).

John L. Esposito, Profesor Agama dan Hubungan Internasional juga sebagai Directur Perintis Center For Muslim-Christian Understanding di Universitas Georgetown, memberikan pula pendapatnya mengenai berkembangnya demokrasi di negara-negara Arab, dunia Islam secara lebih luas. Menurut Esposito, pada dasawarsa-dasawarsa belakangan banyak negara Muslim menerima gagasan demokrasi, meskipun berbeda pendapat mengenai makna persisnya. Banyak yang berupaya menjelaskan bentuk demokrasi atau partisipasi politik rakyat dalam Islam. Mereka berupaya memberikan alasan dan legitimasi islami yang berakar pada tradisi (Esposito, 1996: 217).

Demokrasi pun, menurut Esposito, menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik politik Islam modern. Demokrasi telah diterima di banyak negara Muslim sebagai tes lakmus untuk menjamin keterbukaan pemerintah dan relevansi kelompok Islam. Ini merupakan simbol legitimasi, yang mengabsahkan dan membatalkan secara tepat, karena demokrasi dipandang sebagai kebaikan universal (Esposito, 1996: 218). Maka dari itu, demokrasi menjadi tuntutan rakyat Arab setelah bergulirnya The Arab Spring karena demokrasi telah menjadi bagian integral dalam pemikiran dan praktik politik Islam modern.

Robert W. Hefner, antropolog dari Barat, juga berpandangan bahwa demokrasi dapat berkembang di negara-negara yang mayoritas Muslim. Hefner sendiri mempunyai keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat. Hefner melihat bahwa cita-cita tentang kewarganegaraan yang setara dan inklusif itu bukanlah sebuah ciptaan “Barat”, melainkan ciptaan masyarakat Muslim itu sendiri (Hefner, 2007: 89). Lebih lanjut Hefner menambahkan bahwa kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut

Hefner, beberapa pemikir Muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis (Averroes Community).

Tariq Ramadan, salah satu dari ilmuwan sosial yang optimis, juga melihat adanya masa depan demokrasi tumbuh di negara-negara Arab. Ramadan menuliskan pendapatnya:

The “civil state,” democracy, and pluralism can only become concrete realities in the Middle East when peoples and governments

focus on the ethics of good governance. The fight against corruption, the demand for transparency, limiting the powers of military establishments and stimulating the emergence of an active, dynamic civil society are the preconditions of success (Ramadan: 143).

Ilmuwan lainnya adalah Hussein A. Hassouna. Pada tahun 2001, ia menulis di World Policy Journal , Vol. 18, No. 3 (Fall, 2001), pp. 49-52 , yang mana dari Ilmuwan lainnya adalah Hussein A. Hassouna. Pada tahun 2001, ia menulis di World Policy Journal , Vol. 18, No. 3 (Fall, 2001), pp. 49-52 , yang mana dari

Hassouna juga menambahkan bahwa gelombang demokratisasi global membantu proses keterbukaan politik dunia Arab. Oleh karena itu, negara-negara Arab perlu untuk mengatasi berbagai macam tantangan dan rintangan yang ada untuk berhasil dalam membangun sistem yang demokratis. Tantangan utama itu di antaranya adalah warisan kolonial, konflik Arab-Israel, faktor sosial ekonomi, dan fundamentalisme (Hassouna, 2001: 50-51).

Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, penulis berada pada pandangan yang optimis, mempunyai harapan demokratisasi berkembang di dunia Islam, dan dunia Arab secara lebih khusus. Optimisme terhadap tumbuhnya demokratisasi di negara-negara Arab dengan data yang dipaparkan oleh Julie Chernov Hwang yang menyatakan 92-97 persen negara-negara Islam (termasuk negara-negara Arab)

menyokong institusi-institusi politik yang demokratik. Di samping, beberapa pandangan yang pesimis akan masa depan demokrasi di negara-negara Arab karena melihat suksesi kepemimpinan yang tidak bersih, jujur, serta mengabaikan elemen- elemen dasar dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Jika pandangan pesimisme berdasarkan pada argumentasi tersebut, maka demokrasi sebenarnya dapat tumbuh apabila pelembagaan proses demokrasi untuk menjamin menyokong institusi-institusi politik yang demokratik. Di samping, beberapa pandangan yang pesimis akan masa depan demokrasi di negara-negara Arab karena melihat suksesi kepemimpinan yang tidak bersih, jujur, serta mengabaikan elemen- elemen dasar dalam demokrasi, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Jika pandangan pesimisme berdasarkan pada argumentasi tersebut, maka demokrasi sebenarnya dapat tumbuh apabila pelembagaan proses demokrasi untuk menjamin

Berangkat dari pandangan yang optimis tersebutlah, penulis melihat bahwa gejolak The Arab Spring, sejak awal 2011 lalu, adalah momentum yang membuka ruang terbangunnya pranata-pranata politik yang berjalan ke arah demokrasi; sistem politik yang transparan, akuntabel, dan terbukanya partisipasi politik secara luas. Ketika The Arab Spring meluas di Timur Tengah, bahkan menular sampai ke Mesir, ada suatu asumsi bahwa apa yang dialami oleh negara-negara di sana adalah awal bagi transisi menuju negara yang pemerintahannya dikelola dengan cara-cara yang demokratis (Kuncahyono, 2013: xix). Namun demikian, penulis sepakat dengan Hwang, yang mengutip argumen Jack Snyder, bahwa dibutuhkan institusi-institusi politik demokratik yang andal sebagai pendahulu transisi demokratik untuk mencegah para elite memanfaatkan nasionalisme ekslusioner untuk menyebarkan instabilitas dan konflik (Hwang: 6).

Pada aspek pembentukan (pelembagaan) institusi-institusi politik demokratik itulah; seperti pembagian kekuasaan, kekuasaan yang dibatasi dan dikontrol, jaminan terhadap hak-hak politik setiap warga negara, demokratisasi itu menghadapi tantangan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larbi Sadiki, dari Australian National University , bahwa dalam proses demokratisasi tantangannya Pada aspek pembentukan (pelembagaan) institusi-institusi politik demokratik itulah; seperti pembagian kekuasaan, kekuasaan yang dibatasi dan dikontrol, jaminan terhadap hak-hak politik setiap warga negara, demokratisasi itu menghadapi tantangan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Larbi Sadiki, dari Australian National University , bahwa dalam proses demokratisasi tantangannya

Bagi masyarakat Arab, adanya warisan kolonial, konflik Arab-Israel, dan kondisi sosial-ekonomi, fundamentalisme menghambat terbangunnya institusi- institusi politik yang demokratik. Warisan kolonial sudah lama membentuk negara- negara Arab dengan sistem kerajaan dan kediktatoran (Esposito, 1996: 214). Budaya dari warisan kolonial inilah yang menjadi tantangan, dari dalam, bagi masyarakat Arab untuk membangun pranata politik yang demokratis. Politik dengan sistem pembagian kekuasaan tidak dibangun oleh rezim yang berkuasa karena dapat mengancam keberlangsungan kekuasaannya . Masyarakat luas juga tidak diberi

kesempatan dan ruang yang sama serta bebas dalam partisipasi politik. Adapaun tantangan yang datangnya dari luar adalah keterlibatan pihak-pihak asing dengan berbagai macam motif; ekonomi dan politik (perebutan pengaruh). Negara-negara asing yang ikut bermain serta ikut campur dalam gejolak The Arab Spring tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China (Tiongkok). Keberadaan mereka tentu dengan alasan-alasan yang dapat memberikan kesempatan dan ruang yang sama serta bebas dalam partisipasi politik. Adapaun tantangan yang datangnya dari luar adalah keterlibatan pihak-pihak asing dengan berbagai macam motif; ekonomi dan politik (perebutan pengaruh). Negara-negara asing yang ikut bermain serta ikut campur dalam gejolak The Arab Spring tersebut di antaranya adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan China (Tiongkok). Keberadaan mereka tentu dengan alasan-alasan yang dapat memberikan

Uni Eropa, misalnya, lebih banyak ikut terlibat dalam kasus Tunisia, adapun AS banyak bermain untuk memertahankan pengaruhnya di Mesir. AS aktif membangun komunikasi dengan negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Inggris, dalam merespons gejolak tersebut. Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS saat itu, juga langsung mengunjungi kawasan tersebut, terutama Mesir. AS juga mengakui mengontak dan menawarkan bantuan kepada berbagai kelompok oposisi di Mesir setelah berakhirnya era kekuasaan Mubarak (Kompas, 4/03/2011). Pada sisi yang lain, AS aktif membangun kekuatan politik untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad di Suriah. Sementara, Rusia dan China (Tiongkok), dibantu oleh Iran, aktif membela dan memberikan dukungan politik kepada Assad.

Dari sini terlihat bahwa negara-negara Arab, setelah bergulirnya Musim Semi, menjadi medan perebutan pengaruh negara-negara asing di mana hal itulah yang dapat mengganggu (tantangan) terbangunnya sistem pemerintahan yang demokratis. Ada upaya agar pemimpin yang tampil setelah terjadinya peristiwa politik 2011 lalu adalah pemimpin yang dapat menjaga kepentingan masing-masing pihak (asing).

Konflik Arab-Israel juga turut menghadirkan pihak-pihak asing dalam kancah politik dunia Arab, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) sebagai pemain utamanya. Kehadiran pihak asing, terutama AS, turut memengaruhi proses pengangkatan tokoh tertentu untuk menjadi pemimpin. Di samping itu, kehadiran asing kerap kali

berusaha menjatuhkan pemimpin tertentu. Dampak dari kehadiran asing tersebut berusaha menjatuhkan pemimpin tertentu. Dampak dari kehadiran asing tersebut

Krisis legitimasi politik itulah yang kini dihadapi Mesir dan Suriah, juga negara-negara lainnya, baik sebelum maupun setelah era The Arab Spring berlangsung. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum memasuki era The Arab Spring , ketika negara tersebut dipimpin oleh pemimpin yang tidak memiliki legitimasi politik yang kuat. Tunisia sejak merdeka hanya memiliki dua presiden dan

semuanya melalui jalur kudeta, kekuasaan kedua pemimpin tersebut juga tidak dibatasi dan dikontrol. Mesir juga demikian, Hosni Mubarak menjadi presiden bukan melalui proses pemilihan, baik langsung maupun tidak langsung. Mubarak menjadi presiden karena menggantikan Anwar Sadat yang tertembak mati dalam masa jabatannya. Suriah mempunyai kasus yang sama, Dinasti Assad menguasai negara tersebut sejak tahun 1970. Melihat ketiga negara tersebut terlihat bahwa tidak ada satu pun pemimpin yang meraih kekuasaan dengan cara-cara yang demokratis (pemilihan) sampai akhirnya musim semi Arab itu bergejolak.

Tunisia, awal kebangkitan The Arab Spring, juga tidak terlepas dari gejala krisis legitimasi tersebut. Begitupun juga dengan gejolak politik yang terjadi di

Bahrain, yang mayoritas Syi‟ah tetapi dipimpin oleh kelompok Sunni. Legitimasi politik yang rendah terjadi karena proses politik yang tidak melibatkan rakyat banyak Bahrain, yang mayoritas Syi‟ah tetapi dipimpin oleh kelompok Sunni. Legitimasi politik yang rendah terjadi karena proses politik yang tidak melibatkan rakyat banyak

Legitimasi politik yang rendah inilah yang menjadi salah satu celah bagi pihak asing untuk hadir memainkan peran dan semakin memperkeruh suasana konflik. Konflik-konflik yang berlangsung di kawasan Timur Tengah hari ini tidak luput dari keberadaan pihak asing. Kisruh politik yang sampai hari ini terus bergejolak di Suriah karena ada pertarungan perebutan pengaruh antara Amerika versus Rusia, China, beserta Iran. Perlawanan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir yang baru saja dicap sebagai teroris karena ada intervensi asing yang terkesan mendukung militer yang mengambil-alih kekuasaan secara tidak sah dari tangan Mursi, tokoh yang diusung Ikhwan.

Inilah yang menghambat demokratisasi untuk berkembang di negara-negara Arab. Pada sisi yang lain, perilaku rezim politik di negara-negara Arab juga tidak membuka ruang terbuka lebarnya proses transisi demokrasi karena terancam kehilangan kekuasaannya. Hal ini juga dituliskan oleh Marina Ottaway dan Thomas

Carothers bahwa masyarakat di negara-negara Timur Tengah, khususnya negara- negara Arab, menghendaki kebebasan politik dan pemerintah memahami hal tersebut akan tetapi pemerintah terlihat menolak demokrasi. Rezim-rezim di negara-negara Arab hanya mengakui hak-hak wanita dan mengadakan pemilihan untuk membendung kritik-kritik yang ditujukan padanya, baik dari dalam maupun dari luar negeri (Ottaway dan Carothers, 2004: 22).

Tantangan demokratisasi (masyarakatnya yang tidak mandiri, adanya intervensi asing, dan perilaku rezim) inilah yang mewarnai gejolak politik di negara- negara Arab, terutama Tunisia, Mesir, dan Suriah pada era The Arab Spring. Sampai hari ini, Tunisia dapat dikatakan berhasil mengonsolidasikan demokrasi. Pada akhir tahun 2011 negara ini sukses melakukan pemilihan presiden yang mengantarkan Ennahda ke puncak kekuasaan. Meskipun perjalanan politik Tunisia setelah itu kadang diwarnai dengan gerakan-gerakan yang sedikit mengganggu, misalnya adanya ribuan orang turun ke jalan, pada bulan September 2013, di Tunisia untuk melancarkan protes pada partai berbasis Islam, Ennahda. Para pendemo mendesak agar partai Ennahda mundur dari pemerintahan untuk dapat diselenggarakanya pemilihan umum (pemilu) secepatnya. Pada akhir Januari 2014 lalu, Parlemen, yang beranggotakan 216 orang, Tunisia resmi mengesahkan konstitusi baru di negaranya (Arjomand, 2014: 188). Perkembangan politik di Tunisia setelah kepergian Ben Ali cukup memberikan harapan terbangunnya institusi-institusi politik yang demokratik, meskipun tidak terlepas dari kerikil-kerikil yang menghadang di tengah jalan.

Sementara itu, perkembangan politik di Mesir berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Tunisia. Mesir memang sukses mengadakan pemilihan presiden satu tahun pascakepergian Mubarak, dengan dilantiknya Muhammad Mursi, tokoh dari Ikhwanul Muslimin (IM), pada tanggal 30 Juni 2012, dengan membacakan sumpah jabatannya di hadapan para hakim agung. Namun, kurang lebih satu tahun menjabat, Muhammad Mursi harus rela kekuasaannya dirampas kembali oleh kelompok militer, Rabu, 4 Juli 2013.

Sulit dimungkiri bahwa militer berdiri di belakang ribuan massa yang turun ke jalan mencabut legitimasi politik presiden yang diusung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin tersebut. The Arab Spring (Musim Semi Arab), yang dielu-elukan oleh rakyat Mesir ketika berhasil menggulingkan penguasa tangan besi saat itu, Hosni Mubarak, sepertinya hanya euforia belaka. Kehidupan yang bebas, yang adil, dan layak secara ekonomi yang diimpikan oleh rakyat Mesir dalam kehidupan bernegara yang demokratis sepertinya masih jauh panggang dari api. Sampai saat ini, kekerasan dan kekisruhan politik masih terus mewarnai kancah politik Mesir. Militer yang kembali merebut kekuasaan terus menangkap dan menghabisi sayap gerakan Ikhwanul Muslimin. Sebaliknya, kelompok Ikhwan, pendukung Mursi, tidak menyerah begitu saja. Mereka terus melakukan perlawanan, meledakkan bom dan lain sebagainya, karena menganggap bahwa rezim yang berkuasa saat ini tidak

mempunyai legitimasi politik. Hal itu karena Abdel Fatah el-Sisi merebut kekuasaan dari tangan Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis.

Suriah, yang dipimpin dengan sistem politik “republik dinasti” sejak tahun 1970, juga punya cerita perkembangan politik yang berbeda. Sampai pada hari ini, Oktober 2015, gejolak di Suriah belum berujung serta beberapa kali mendapatkan ancaman serangan militer dari Amerika Serikat (AS). Upaya perdamaian antara rezim Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi selalu mengalami jalan buntu. Dalam kasus Suriah, konflik ini bukan hanya pertempuran antara rezim Bashar al-Assad dengan pihak oposisi, tetapi pertempuran antara AS melawan Rusia, China (Tiongkok), dan Iran. Oleh karena itu, jika pihak oposisi gagal menggulingkan Assad berarti juga adalah kegagalan bagi Amerika melawan Rusia, China, dan Iran.

Tidak heran, dalam pertemuan pemimpin G-20, awal September 2013, ketegangan itu terjadai antara Obama, Presiden AS, dengan Vladimir Putin, Presiden Rusia. Sejarah mencatat bahwa keruntuhan Uni Soviet (Rusia) pada akhir dari Perang Dingin karena dikalahkan oleh Amerika Serikat. Peristiwa politik penting dari dunia internasional inilah yang dibahasakan oleh Francis Fukuyama sebagai The End of History and The Last Man . Artinya bahwa keruntuhan Uni Soviet adalah akhir dari sejarah konflik ideologi besar dunia (Kapitalisme dan Komunisme). Fukuyama berpandangan bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menyaingi kapitalisme (Fukuyama, 2001).

Oleh karena itu, dalam kasus Suriah yang tidak terlepas dari campur tangan asing dapat dikatakan bahwa kekalahan oposisi adalah kekalahan bagi AS dan itu akan menjadi titik awal dari pembuktian alur sejarah bahwa sejarah dunia yang dikatakan oleh Fukuyama belum berakhir. Rencana serangan militer oleh Obama Oleh karena itu, dalam kasus Suriah yang tidak terlepas dari campur tangan asing dapat dikatakan bahwa kekalahan oposisi adalah kekalahan bagi AS dan itu akan menjadi titik awal dari pembuktian alur sejarah bahwa sejarah dunia yang dikatakan oleh Fukuyama belum berakhir. Rencana serangan militer oleh Obama

runyam setelah munculnya gerakan politik baru, yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). ISIS merupakan negara baru yang dideklarasikan oleh Abu Bakar al- Baghdady pada tanggal 9 April 2013, menyusul terjadinya perang saudara di Irak dan

Suriah. 2 Dari pemaparan di atas terlihat bahwa dinamika politik di negara-negara Arab,

yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tidak terlepas dari pengaruh atau keterlibatan asing. Pihak asing hadir untuk mendukung atau untuk menggulingkan rezim yang berkuasa. Naomi Klein, seorang penulis dan pembuat film, dalam bukunya The Shock Doctrine, memperkuat alasan keterlibatan asing dalam turbulensi politik di negara-negara Arab bahwa salah satu cara bagi negara- negara lain (super power) untuk masuk dan mengintervensi negara lainnya adalah melalui dengan apa yang dia istilahkan “shock doctrine” (Klein, 2007). Oleh karena

itu, gejolak The Arab Spring pun dijadikan sebagai momentum oleh AS untuk menancapkan doktrin politiknya terhadap negara-negara yang selama ini belum dapat ia kontrol sepenuhnya.

Kehadiran Barat (Amerika) tetaplah pada jualan lamanya, proyek demokrasi yang diyakini sebagai sistem yang berupaya mewujudkan kebaikan bersama (common

2 ISIS adalah organisasi teroris, namun ia bukan hanya organisasi teroris. Ia adalah juga semacam mafia yang mahir dalam bermain di pasar gelap minyak dan perdagangan senjata transnasional. ISIS

yang pada mulanya diremehkan, tetapi lalu menjadi sensasional sekaligus brutal dan licik. Kini, ISIS berhasil menghancurkan perbatsan negara-negara kontemporer dan memproklamasikan diri sebagai pembangkit kekaisaran Islam (Weiss dan Hassan, 2015: xxi-xxii).

good ). Walaupun Amerika juga seringkali menghambat pertumbuhan demokrasi jika hal itu dapat mengganggu kepentingan nasionalnya. Dari gejolak ini terlihat pihak- pihak asing menetapkan standar ganda dari keterlibatan mereka dalam gejolak The Arab Spring . Hal itu dapat dilihat dalam kasus Mesir, sejak awal tergulingnya Mubarak, Barat (Amerika) sebenarnya khawatir bahwa krisis (the Arab Spring) yang akan membawa ke jalan demokrasi yang begitu cepat akan memberi ruang bagi Ikhwanul Muslimin untuk muncul sebagai kekuatan politik utama (Goldberg, 2011: 111).

Sebaliknya, Amerika dan sekutunya begitu kuat memberi tekanan politik, dengan memberikan bantuan persenjataan terhadap kelompok oposisi dan juga mengisolasi Suriah dalam kancah politik internasional, terhadap Bashar al-Assad yang dianggapnya memerintah dengan tangan besi (tidak demokratis) di Suriah, negara dengan rezim partai tunggal, karena secara historis Suriah di bawah al-Assad berada dalam kubu politik yang berlawanan dengan kubu yang dibangun Amerika dan aliansinya. Oleh karena itu, keterlibatan AS dalam kasus Suriah dengan alasan Humanitarian Intervention , intervensi dengan alasan kemanusiaan (Thontowi, 2006: 259).

Dalam kasus Tunisia, dukungan Barat memang tidak ada ketika tekanan dari masyarakat datang dan dialamatkan kepada Ben Ali karena Tunisia bukan kepentingan utama (Tunisia is a peripheral interest) bagi Washington dan sekutunya (Angrist, 2011: 80). Barat pun tidak terlalu banyak bermain untuk mendukung atau

„menghambat‟ demokratisasi. Begitulah potret demokrasitisasi di negara-negara Arab era the Arab Spring yang tidak dapat terlepas dari campur tangan asing dengan motif dan bentuk yang berbeda.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa masyarakat dunia Arab sebenarnya sudah lama mempunyai aspirasi kehidupan yang demokratis namun tersengap oleh kontrol negara yang begitu kuat dan dominan. Maka, gejolak The Arab Springlah yang membangkitkan masyarakat dunia Arab untuk berani melawan rezim otoritarian serta menuntut kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem yang demokratis. Dengan demokrasilah, rakyat mempunyai daulat atas negara yang mereka bentuk, dan semua kekuasaan negara berasal dari kekuasaan rakyat. Negara mendapat kepercayaan dari rakyat menjalankan kekuasaan negara, dengan luas kekuasaan sebatas fungsinya yang juga terbatas. Yang mana fungsi negara adalah menerapkan martabat manusia yang telah menjadi milik manusia sejak dari keadaan alamiah, yang diterima manusia langsung dari pencipta (Simanjuntak, 2014: 107).

Itulah yang menjadi alasan mengapa demokrasi menjadi tuntutan masyarakat dunia Arab, terutama setelah bergejolaknya The Arab Spring. Demokrasi, sebagaimana telah disinggung di atas, dapat menjadi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Namun demikian, demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat Arab bukanlah tanpa tantangan. Berbagai tantangan hadir merintangi proses demokratisasi tersebut.

Kajian penelitian ini hadir untuk menjawab secara akademik apa yang menjadi tantangan demokratisasi tersebut di mana dari pemaparan di atas terlihat bahwa ada aspirasi untuk kehidupan demokratis di masyarakat dunia Arab namun banyak tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pranata-pranata politik yang demokratis (transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi politik). Kajian ini penting karena apa yang penulis teliti belum diteliti oleh ilmuwan yang mengkaji politik dunia Arab, terutama dalam merespons gejolak The Arab Spring. Selain dari itu, teori yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan terkait dengan demokratisasi dalam studi kawasan Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab.

1.2. Perumusan Masalah

Berangkat dari uraian Latar Belakang Masalah di atas, maka peneliti mengangkat beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa faktor yang menyebabkan gerakan people power berhasil menggulingkan beberapa rezim negara-negara Arab dalam gejolak The Arab Spring pada awal tahun 2011?

2. Mengapa demokratisasi menghadapi tantangan di tiga negara Arab era bergulirnya The Arab Spring?

3. Mengapa pihak asing ikut campur dalam proses pemilihan pemimpin nasional di tiga negara Arab tersebut era bergulirnya The Arab Spring?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Kawasan Timur Tengah sebagai kawasan pertemuan tiga benua; Eropa, Asia, dan Afrika menjadikannya sebagai kawasan yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi, sehingga kawasan tersebut ditakdirkan menjadi lahan rebutan bagi negara-negara lain (super power) untuk menancapkan pengaruhnya melalui sistem pemerintahan yang terbentuk. Negara-negara tertentu punya kepentingan dengan sistem pemerintahan yang otoriter efektif untuk menancapkan pengaruh politiknya di kawasan tersebut dan negara-negara tertentu lainnya punya kepentingan (mendapatkan keuntungan) dengan sistem pemerintahan demokratis yang efektif.

Turbulensi politik di Timur Tengah, terutama di negara-negara Arab, sejak tahun 2011 lalu menjadikan kawasan ini dalam tarikan dua kutub besar. Masa depan politik negara-negara Arab diperhadapkan pada dua pilihan sistem politik; The Arab Spring adalah awal dari proses menuju sistem pemerintahan yang demokratis, sebagaimana yang sudah lama menjadi tuntutan masyarakatnya, atau tetap „mempertahankan‟ sistem pemerintahan yang sudah lama yaitu sistem pemerintahan

yang otoriter. Oleh karena itu, penelitian ini ditulis dengan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut:

Pertama, untuk menemukan teori yang menjadi penyebab The Arab Spring yang mulai bergejolak awal 2011 lalu, termasuk latar belakang terjadinya gejolak tersebut, faktor-faktor yang mendukung, dan juga dampaknya terhadap politik di negara-negara Arab.

Kedua, untuk mengetahui dan memetakan tantangan demokratisasi di negara- negara Arab pasca the Arab Spring. Negara-negara Arab yang penulis kaji di sini adalah Tunisia, Mesir, dan Suriah. Adapun alasan pemilihan ketiga negara tersebut adalah bahwa ketiganya dapat merepresentasikan perbedaan dinamika dan fase pergolakan dan tantangan politik (demokratisasi) di negara-negara Arab. Tunisia merepresentasikan sebagai negara yang cukup berhasil dalam transisi demokrasinya. Sementara Mesir merepresentasikan sebagai negara yang berhasil menggulingkan rezim otoriter, akan tetapi demokratisasinya „dibajak‟ di tengah jalan. Adapun Suriah merepresentasikan sebagai negara yang mana demokrasinya belum berhasil menggulingkan rezim yang otoriter.

Pada bagian sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa salah satu yang menghambat demokratisasi adalah legitimasi politik yang rendah (Hudson), maka dalam kajian ini penulis akan melakukan pengkajian yang mendalam untuk menemukan pola yang dimainkan oleh pihak asing, juga rezim yang berkuasa, dan perilaku masyarakat sabagai faktor yang menghambat tumbuhnya demokratisasi dengan legitimasi politik yang kuat di negara-negara Arab.

Ketiga, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji secara lebih mendalam peran pihak-pihak asing, dalam hal ini Amerika Serikat, Rusia bersama China (Tiongkok), dan juga Uni Eropa, dalam proses demokratisasi di negara-negara Arab pada masa the Arab Spring . Dalam kajian ini, penulis mendalami mengapa Amerika mengambil peran dominan serta bagaimana Amerika berperan menghambat proses demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan Suriah).

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menambah khasanah ilmu pengetahuan, baik itu kalangan akademisi maupun masyarakat secara luas, dalam dunia politik internasional, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan politik mutakhir di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi pada negara-negara Arab.

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan atau referensi bagi para akademisi maupun peneliti yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan dinamika politik dan demokratisasi di negara-negara Arab ke depannya.

1.4. Tinjauan Pustaka

The Arab Spring yang sudah berlangsung lebih dari empat tahun menjadi perhatian serius dunia internasional, baik itu para pengambil kebijakan maupun pemerhati politik kawasan tersebut. Para ilmuwan politik Timur Tengah turut mengambil perannya sebagai seorang ilmuwan dengan melakukan penelitian- penelitian dalam membaca turbulensi politik di Abad 21 tersebut. Dalam kajian keilmuan, sudah banyak buku maupun hasil penelitian yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidang tersebut.

Salah satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan Barat terkait prahara Timur Tengah kontemporer adalah buku dengan judul The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What Comes Next. Buku yang tebalnya 497 halaman ini banyak memotret perkembangan mutakhir di negara-negara yang terjangkit The Arab Spring , seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Namun demikian, buku ini tidak hanya fokus dengan pembahasan negara-negara Arab kontemporer, beberapa tulisan Salah satu buku yang ditulis oleh para ilmuwan Barat terkait prahara Timur Tengah kontemporer adalah buku dengan judul The New Arab Revolt. What Happened, What It Means, and What Comes Next. Buku yang tebalnya 497 halaman ini banyak memotret perkembangan mutakhir di negara-negara yang terjangkit The Arab Spring , seperti Tunisia, Libya dan Mesir. Namun demikian, buku ini tidak hanya fokus dengan pembahasan negara-negara Arab kontemporer, beberapa tulisan

pembahasan. Buku ini memberikan gambaran mengenai negara-negara Arab dari berbagai perspektif dan fokus kajian. Hal itu karena buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa penulis ternama yang konsen dengan Timur Tengah. Salah satu dari penulis buku, ini yang banyak menulis buku tentang Timur Tengah, misalnya, adalah Bernard Lewis. Tantangan dalam upaya demokratisasi di negara-negara Arab (Tunisia, Mesir, dan lainnya) tidak dibahas secara mendalam dari buku ini.

Halim Barakat adalah salah satu dari ilmuwan politik dari Lebanon yang merespons gejolak The Arab Spring dengan menuliskan sebuah buku serius yang berjudul Dunia Arab, Masyarakat, Budaya, dan Negara. Dunia Arab, yang dituliskan oleh Barakat, mengutip pengamatan Samir Amin, dipetakannya dalam tiga zona yang sangat berbeda, baik itu pranata politik, ekonomi, dan sosialnya. Ketiga zona tersebut adalah Arab Timur, negara-negara di lembah sungai Nil, dan Arab Barat. Masyarakat Mesir adalah masyarakat yang berbasis pada pertanian, masyarakat di kawasan timur dan barat dunia Arab merupakan masyarakat urban dan pedagang (Barakat, 2012: 103).

Buku yang ditulis oleh Barakat tersebut memang tidak fokus membahas, menganalisis, atau mengeksplorasi gejolak di Dunia Arab pada abad XXI M ini, tetapi apa yang dituliskan oleh Barakat di dalam bukunya sangat membantu penulis dalam membaca dinamika yang sedang bergolak saat ini di kawasan kaya minyak Buku yang ditulis oleh Barakat tersebut memang tidak fokus membahas, menganalisis, atau mengeksplorasi gejolak di Dunia Arab pada abad XXI M ini, tetapi apa yang dituliskan oleh Barakat di dalam bukunya sangat membantu penulis dalam membaca dinamika yang sedang bergolak saat ini di kawasan kaya minyak

Pertanyaan-pertanyaan akademik yang sering muncul pasca-The Arab Spring adalah akankah sistem yang demokratis mulai bersemi di dunia Arab, Timur Tengah secara lebih luas? Dalam bukunya, Halim Barakat tidak sampai pada kajian ini. Pembacaan kontemporer akan dinamika demokratisasi di dunia Arab pasca-The Arab Spring tida k „dijamahnya‟, sehingga pembaca seolah merasa digantung oleh Barakat akan keingintahuannya menoropong masa depan politik negara-negara dunia Arab. Pada bagian terkhir, kesimpulan (bab xii), Barakat hanya mengatakan bahwa keseimbangan dan kesetaraan harus diwujudkan. Baginya, inilah tantangan yang menanti kaum progresif sekuler Arab (Barakat: 381).

Terlepas dari itu semua, buku Halim Barakat yang tebalnya 447 halaman ini sangat membantu penulis dalam membaca atau mengikuti dinamika politik dan demokratisasi di negara-negara Arab, dan Timur Tangah secara luas. Barakat mencoba membalikkan gagasan dari para ilmuwan Barat terkemuka yang menyebutkan bahwa agama adalah kunci untuk memahami masyarakat Arab. Sebaliknya, bagi Barakat, masyarakat adalah kunci untuk memahami agama. Dan memahami keduanya (agama dan masyarakat) penting untuk membaca politik dari negara- negara Arab, termasuk ke depannya di mana kesukuan („ashabiyya) merupakan basis imperium dan negara pada masa kekuasaan orang-orang Arab.

Tariq Ramadan, salah satu ilmuwan yang banyak menulis tentang dunia Islam merespons dengan menuliskan buku yang berjudul Islam and the Arab Awakening. Buku yang ditulis oleh Ramadan ini memang cukup untuk mengantarkan kita dalam membaca perkembangan mutakhir dunia Arab setelah masa yang dia sebut “uprising”. Ramadan juga sedikit mengulas tekait demokrasi, namun ia belum banyak

memberikan perhatian yang lebih fokus terkait dengan tantangan demokratisasi di negara-negara Arab pasca- “uprising”.

Eric Chaney, ilmuwan politik dunia Islam dari Harvard University, merespons pergolakan dari The Arab Spring dengan menuliskan paper ilmiah yang berjudul Democratic Change in the Arab World, Past and Present . Dari tulisannya ini, Chaney membangun tesis bahwa dunia Arab, secara historis, mengalami defisit demokrasi. Setidaknya ada tiga keraguan dari Chaney yang dapat mengganggu atau menjadi hambatan secara sistematis dari keberlangsungan demokratisasi di negara-negara Arab pasca the Arab Spring, yaitu teologi Muslim, konflik Arab-Israel, dan budaya Arab. Chaney mengatakan bahwa defisit demokrasi di negara-negara Islam (negara- negara Arab) mempunyai akar historis yang cukup mendalam (Chaney, 2012).

Berangkat dari tiga teori defisit demokrasi itulah sehingga Chaney mempunyai tesis yang kurang lebih sama dengan Huntington atau bahkan memperkuat tesis Huntington bahwa demokrasi akan nampak suram di republik- republik Islam (termasuk negara-negara Arab). Huntington menuliskan, yang dikutip oleh Charles K. Rowley dan Nathanael Smith;

“Western ideas of individualism, lib- eralism, constitutionalism, human rights, equality, liberty, the rule of law, democracy, free markets, the separation of church and state, often have little resonance in Islamic, Confucian, Japanese, Hindu, Buddhist or Orthodox cultures ” (Rowley dan Smith, 2009: 274).

Chaney dalam paper ilmiahnya tersebut tidak detail membaca perkembangan dan dinamika politik di negara-negara Timur Tengah, khususnya ketiga negara yang peneliti akan kaji, yaitu Tunisia, Mesir, dan Suriah. Peneropongan politik ke depan di negara-negara Arab yang dilakukan oleh Chaney hanya berangkat dari tiga teori yang ia istilahkan sebagai sumber dari defisit demokrasi.