Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1. Kesimpulan
Eksploitasi, diskriminasi, stigmatisasi, indoktrinasi dan kriminalisasi yang dihadapi dan dialami oleh buruh migran Indonesia saat ini tak lepas dari sejarah panjang produksi/reproduksi kebijakan migrasi tenaga kerja yang dibuat (tepatnya disediakan) oleh negara kepada institusi bisnis yang menikmati keuntungan dari pengerahan dan perekrutan buruh migran Indonesia.
Dari penelusuran sejarah yang dilakukan Migrant CARE, ditemukan upaya intensif negara dalam melakukan upaya pengerahan tenaga kerja sejak masa kolonial hingga sekarang ini. Sejak pertengahan abad XIX hingga awal abad XX ditemukan keterkaitan antara upaya-upaya intensif pemerintah kolonial mengakumulasi pendapatan dengan politik pintu terbuka (liberalisasi ekonomi perkebunan) setelah keuangan pemerintah kolonial terkuras untuk membiayai operasi militer menghadapi perlawanan-perlawanan anti kolonial di Jawa dan Aceh. Dan hal ini didukung oleh aturan-aturan ketenagakerjaan yang menjadi penopang keberlangsungan industri perkebunan, terutama di kawasan Sumatera Timur hingga kemudian berkembang meluas hingga ke koloni seberang benua, Suriname.
Dua kebijakan pokok yang dibuat pada masa Kolonial adalah Staatsbald No. 650 Tahun 1936 yang kemudian diperbarui lagi dengan Staatsblad No. 388 Tahun 1938 mengenai pengerahan tenaga kerja untuk keperluan perdagangan, pertanian/perkebunan
Kesimpulan dan Rekomendasi | 117
Ternyata aturan tersebut dipersiapkan khusus untuk mengirimkan “duta budaya” ke pameran semesta (l’Exposition Universelle) atau yang terkenal dengan L’Exposition Coloniale Internationale (Pameran Tanah Jajahan) di Paris tahun 1899 dalam rangka peringatan 100 tahun Revolusi Perancis.
Pada masa kemerdekaan hingga Soekarno dilengserkan, tidak ditemukan adanya kebijakan yang sistematik mengenai pengerahan/ penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Kebijakan tentang mobilitas penduduk lebih tercermin dalam program transmigrasi. Namun pada rezim Soekarno ditemukan adanya komitmen politik untuk kemajuan buruh dengan ditunjuknya S.K. Trimurti (Aktiis Buruh) sebagai menteri perburuhan yang memberikan kontribusi besar pada lahirnya berbagai kebijakan legislasi perburuhan yang protektif, antara lain UU No. 33/1947 tentang Kecelakaan, UU No. 12/1948 tentang Perlindungan Kerja dan UU No. 23/1948 tentang Pengawasan Perburuhan. Selain itu sebagai komitmen dari keanggotaan pemerintah Indonesia dalam ILO sejak tanggal 12 Mei 1950, berbagai Konvensi ILO diratiikasi, antara lain Konvensi ILO No. 29/1930 tentang Penghapusan kerja Paksa dan Konvensi No.45/1935 tentang Pelarangan Kerja Perempuan di bawah tanah.
Pada masa Orde Baru yang dihadapkan pada kemerosotan ekonomi pasca krisis 1965-1967 membutuhkan pemulihan secara serius yang salah satunya bertumpu pada utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan. Sebagai prasyaratnya adalah menyiapkan tenaga kerja yang massif dan a-politis sebagai modal utama pembangunan sebagai hal yang tak terpisahkan dari proses konsolidasi internal Orde Baru. Tenaga kerja dan sumber daya alam menjadi modal awal yang disorongkan oleh rejim Orde Baru menyambut sokongan eksternal dalam bentuk investasi yang
118 | Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran 118 | Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran
Dalam dua dekade (1980an dan 1990an) terjadi booming bisnis penempatan buruh migran ke Saudi Arabia. Migrasi tenaga kerja menjadi sektor bisnis yang memunculkan perusahaan penempatan buruh migran. Fenomena ini menggeser kebijakan penempatan buruh migran yang sebelumnya bersifat adhoc (pasif) menjadi kebijakan regulatif (pengaturan).
Bermula dari Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor PER 149/MEN/1983 tentang tata cara pelaksanaan pengerahan tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi, industrialisasi penempatan buruh migran ke luar negeri terjadi dan berlangsung secara massif. Keputusan Menteri ini menjadi penanda awal dimulainya regulasi yang memberikan kewenangan besar bagi perusahaan pengerah dan akhirnya benar-benar dimanfaatkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari penempatan buruh migran. Hingga tahun 1983, tidak kurang dari dari 74 perusahaan pengerah terlibat dalam bisnis ini. Hingga tahun tahun 1986, PJTKI mencapai 228, dan mengalami lonjakan pada tahun 2001 sejumlah 422 dan tahun 2012 tercatat 570 perusahaan pengerah yang memiliki izin untuk melakukan bisnis penempatan
Kesimpulan dan Rekomendasi | 119 Kesimpulan dan Rekomendasi | 119
Kajian ini juga memperlihatkan bahwa kebijakan tentang penempatan buruh migran Indonesia diekslusi dari rumpun hukum perburuhan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak buruh dan menempatkan buruh sebagai subyek yang aktif. Tak ada satupun standar-standar pokok perburuhan menurut International Labour Organization menjadi kandungan dari UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-undang ini lebih mengedepankan buruh migran Indonesia sebagai obyek (dan bukan subyek) dan tak lebih dari mesin pencetak uang, baik bagi negara maupun korporasi pengerahan tenaga kerja.
4.2. Rekomendasi
Ratiikasi International Convention on The Protection on The All Rights of Migrant Workers and Their Families sesungguhnya bukan merupakan klimaks dan proses akhir dalam perlindungan buruh migran oleh Negara. Sebaliknya, hal ini merupakan awal jalan baru untuk menata kembali kebijakan mengenai buruh migran yang berbasis HAM melalui harmonisasi kebijakan nasional sesuai dengan prinsip-prinsip konvensi buruh migran.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 43 tahun sudah, yakni sejak 1970 hingga 2013, buruh migran Indonesia berada dalam
120 | Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran 120 | Selusur Kebijakan (Minus) Perlindungan Buruh Migran
Kesimpulan dan Rekomendasi | 121