Gairah Bahasa Daerah

Gairah Bahasa Daerah

Sebagaimana media massa pada umumnya, media pesantren juga dapat menjalankan peran sebagai pilar penyangga bagi kelestarian bahasa lokal. Baik itu bahasa nasional (Indonesia) maupun bahasa daerah di mana pesantren tersebut berada. Dalam konteks bahasa Madura, bersama media komunal yang lain media pesantren dapat membuka ruang dan alternatif agar bahasa Madura mendapatkan tempat dan porsi yang laik dan proporsional.

Dilihat dari populasi penggunanya, bahasa Madura termasuk memiliki komunitas yang terbilang besar, yakni sekitar 13 juta orang. Mereka terdiri dari penduduk Madura asli yang berdomisili di pulau Madura serta gugusan kepulauan yang mengelilinginya,

MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura

Sebagaimana fenomena yang menimpa ratusan bahasa daerah (lebih tepatnya, bahasa ibu) di Indonesia, kecenderungan kian menyusutnya animo penggunaan bahasa Madura tampak kian benderang. Di tengah gejala pergeseran bahasa (language shift) di hampir semua wilayah dan ranah kehidupan masyarakat, kenyataan semacam ini menjadi sangat sukar dielakkan. Kondisi mutakhir komunikasi antarinsan saat ini tak lebih semakin mempertegas kekhawatiran para pakar bahasa tentang ancaman bahaya diglosia, yaitu keadaan yang dengan sangat cepat mendorong suatu kelompok masyarakat melakukan pemilihan ragam bahasa yang berbeda untuk pelbagai konteks dan tujuan (Fasold:1987). Orang kini lebih memilih menepikan bahasa daerah (asalnya) sembari bangga memamerkan kegemarannnya memakai bahasa komunitas lain (the others).

Menerapkan komunikasi dua bahasa (dwibahasa) atau pelbagai (multibahasa) kemudian menjadi pilihan pragmatis yang instan di tengah lingkungan sosial yang mulai nirnilai. Daya tular yang lahir dari kuatnya budaya lisan turut mendukung tergerusnya bahasa ibu dari jangkauan para penggunanya. Sungguh mengherankan bila masyarakat menganggap bahasa daerah merupakan ancaman bagi nasionalisme dengan alasan minimalisasi bahasa nasional. Sebaliknya, justru pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dan bahasa nasional dapat dilaksanakan dalam satu paket bersama yang sinergis dan saling dukung. Hal yang patut direnungkan adalah akibat dari punahnya bahasa daerah berupa dampak kultural yang merisaukan, seperti kecemasan dan tingkah laku anti-sosial serta hilangnya

MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura

Problema yang penting untuk diurai adalah apa faktor dan latar terpenting dari kondisi buram di atas? Data sosiologis menyebutkan bahwa sudah sekitar 10 bahasa daerah di nusantara ini yang telah punah. Sedangkan ratusan lainnya kini terancam dan sedang menanti giliran. Bahasa Madura berdasarkan sebuah riset bahkan diprediksikan akan tamat sekitar 9 tahun lagi, tepatnya tahun 2024 mendatang. Sementara hasil penelitian Pusat Bahasa Depdiknas menunjukkan pada 2005 terdapat 731 bahasa di nusantara dan menyusut pada 2007 menjadi 726 bahasa. Malah kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian besar penuturnya adalah generasi tua (Kompas, 14/11/2007).

Iqbal N Azhar, salah seorang pengamat kebahasaan dari Universitas Trunojoyo (2009) pernah memaparkan peranan vital bahasa Madura. Pertama, bahasa ini (sebagaimana bahasa daerah lainnya) merupakan komponen penyumbang kosakata terhadap bahasa nasional. Kedua, eksistensinya sebagai pelindung bahasa Indonesia dari serangan bahasa asing. Dari peranan kembar tersebut, setidaknya dapat ditelisik akar persoalan di balik kemalasan massal yang tengah melanda masyarakat penutur bahasa Madura.

Salah satu faktor dari hal ini adalah rasa enggan dalam menulis serta membaca tulisan berbahasa Madura. Kondisi pasif ini lalu diperparah dengan minimnya kemampuan membaca dalam bahasa Madura, terutama dari kalangan remaja dan anak- anak yang merupakan usia produktif penular bahasa. Jarangnya literatur berbahasa Madura, baik yang ilmiah-akademis seperti

MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura

pada budaya malas berbahasa Madura. Spirit literer dalam bahasa Madura di tataran khalayak pelan namun pasti mulai meredup. Apalagi terlampir asumsi bahwa bahasa daerah, termasuk Madura, sangat lambat beradaptasi dengan laju perkembangan zaman dan cenderung kesulitan menerjemahkan istilah-istilah ilmiah yang dikenal rumit.

Serbuan teknologi serta budaya instan terlebih di kalangan anak muda lambat laun ikut mendorong bahasa madura ke ambang kepunahan. Taruhlah secara praktis, misalnya, masya- rakat saat ini sudah semakin jarang memberi nama anak mereka dengan kata/ungkapan berbahasa Madura. Tidak ada lagi nama-nama gigantik seperti Rimbi Ari Raja (lahir di hari raya), Bajra Odhyna (beruntung hidupnya) atau Tera Athena (hatinya bercahaya). Demi falsafah hidup “trendy” orang kemudian sibuk memberi nama anaknya dengan bahasa asing yang “keren” kendati tak jelas maknanya. Teknologi telekomunikasi juga kian tak ramah bagi bahasa Madura. Orang saling kirim sms pun kini lebih mengandalkan bahasa lain yang dianggapnya lebih simpel dan efektif.

Bila bahasa Madura dituding jauh dari ilmiah, rasanya terlampau dilebih-lebihkan. Di banyak pesantren, sampai hari ini, bahasa Madura tetap digunakan sebagai media transformasi yang utama dalam menerjemahkan makna-makna kitab berbahasa Arab. Dalam konteks komunikasi verbal, bahasa Madura juga masih awet terawat di tengah masyarakat. Ia masih terdepan sebagai media tutur terutama di tingkatan akar rumput yang kebanyakan menggunakan pola bahasa enja’-iya. Pada level di

MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura MEDIA LOKAL: Kontestasi, Trend, Dinamika, dan Suara Media Arus Bawah Madura

Apabila dirunut lebih rinci, masalah utama yang dihadapi bahasa Madura kini sebenarnya adalah kelambanan dalam menghalau desakan modernisasi yang merambah ke berbagai pelosok. Menurut M. Mushthafa (2008) salah satu faktor kunci- nya adalah kendala dokumentasi dan sosialisasi, disamping problema fungsi dan kelembagaan. Sosialisasi bahasa Madura kerap tersendat akibat kurangnya media komunikasi berbahasa Madura di tengah khalayak.

Media pesantren pada aras ini dapat membantu memberikan celah solutif supaya bahasa Madura berkembang tidak timpang. Budaya lisan yang masih cukup eksis dapat diimbangi dengan tradisi dan spirit literasi berbahasa Madura yang spartan dan penuh kesadaran. Media pesantren layak dijadikan wahana sosialisasi serta dokumentasi bahasa Madura dalam pelbagai bentuk dan fungsinya. Sehingga bahasa daerah tetaplah diminati sebagai transmisi keilmuan yang ideal.

Di sejumlah pesantren tradisional dan semi modern di Madura dan sebagian daerah di Jawa Timur, bahasa Madura masih mendapat tempat terhormat sebagai bahasa komunikasi dalam pengkajian kitab-kitab kuning (turats). Sebagian yang lain,

seperti pondok pesantren As-Salafiyah As-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo memadukan bahasa Madura dengan bahasa Indonesia.

Sebuah komposisi perpaduan yang sinergis. Langkah ini selaras dengan motto terkini Kementerian Pendidikan dan Budaya yakni “Utamakan bahasa Indonesia, pelihara bahasa daerah dan kuasai bahasa asing”. Media pesantren dengan memberi ruang bagi pelestarian bahasa daerah bermakna turut berperan dalam