Pemberdayaan Petani Untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Dan Kemandirian Petani Beragribisnis

(1)

PEMBERDAYAAN PETANI UNTUK PEMENUHAN

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN

KEMANDIRIAN PETANI BERAGRIBISNIS

(Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

M A R L I A T I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Pemberdayaan Peta-ni untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Keman-dirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)” adalah ide atau hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada per-guruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2008

MARLIATI NRP: P05600009


(3)

ABSTRACT

MARLIATI. The Empowerment of Farmers to The Fulfillment the Need of Farmers for Development Capacity and Farmer’s Self Reliance in Agribusiness (A Case in District of Kampar, Riau Province). Under Supervision of: SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, PRABOWO TJITROPRANOTO, ASEP SAEFUDDIN

Government through the institution of agriculture extension has

implemented the farmer empowerment activities. But in the reality, the empowerment are not fulfill yet the need of capacity development and farmer’s self reliance in agribusiness.

The research objectives are to analyze: (1) The level of agriculture extension worker’s performance to empower farmer in agribusiness and influenced important factors; (2) The level of need fulfillment for farmer capacity development and influenced important factors; (3) The level of farmer’s self reliance in agribusiness and influenced important factors and (4) The formulation of agriculture extension strategy to fulfill capacity development need and farmer’s self reliance in agribusiness.

Through sampling technique “multistage cluster sampling”, found total sample 300 farmers. This research was conducted from April 2007 up to December 2007. Used data in the research consist of Primary and secondary data. Primary data has been found by the usage of structured questionnaire, in-depth interview, focused group discussion and participatory observation. Secondary data has been found through documentation and literature studies. Data analysis included with the correlation test, regression test and path analysis.

The research conclusion are: (1) The performance’s level of agriculture extension worker to empower farmer in agribusiness, fulfillment level of farmer’s capacity development need in agribusiness and level of farmer self reliance in agribusiness are “low” category and (2) The synergy of influenced significant factors to the performance of agriculture extension worker in empowering farmer; fulfillment of farmer’s capacity development need and farmer’s self reliance in agribusiness are effective asset to empower farmer for need fulfillment and their self reliance in agribusiness.

Key word: performance of agriculture extension worker; empowerment; fulfillment of capacity development need; farmer’s self-


(4)

RINGKASAN

MARLIATI. 2008. Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Dibimbing oleh: Sumardjo, Pang S. Asngari Prabowo Tjitropranoto dan Asep Saefuddin.

Pemerintah melalui kelembagaan penyuluhan pertanian telah melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap petani. Namun dalam kenyataannya, pember-dayaan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan pe-ngembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, dan (4) Merumuskan strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan keamandirian petani beragribisnis.

Melalui tehnik pengambilan multistage cluster sampling, diperoleh 300 orang sampel petani. Penelitian dilakukan bulan April 2007 sampai dengan Desember 2007. Data penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur, wawancara mendalam, Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) dan pengamatan partisipasi (participant observation). Data sekunder diperoleh melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Analisis data menggunakan uji korelasi, uji regresi dan analisis jalur.

Kesimpulan penelitian adalah: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh: (a) faktor karakteristik sistem sosial, dicirikan oleh: kurang mendukungnya nilai-nilai sosial budaya; kurangnya fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis dan kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis, (b) rendanya tingkat kompetensi penyuluh pertanian, meliputi: kompetensi komunikasi; kompetensi membelajarkan petani dan kompetensi interaksi sosial, dan (c) rendahnya tingkat pendidikan non formal petani; (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani disebabkan oleh: (a) rendahnya tingkat kinerja penyuluh pertanian, (b) faktor karakteristik petani yaitu rendahya tingkat


(5)

pendidikan formal dan pendidikan non formal petani, dan (c) faktor karakteristik sistem sosial yaitu: kurang mendukungnya nilai-nilai sosial budaya; kurangnya fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis dan kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis; (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis kategori “rendah.” Rendahnya tingkat kemandirian petani beragribisnis disebabkan oleh: (a) rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis, yaitu meliputi rendahnya pemenuhan kebutuhan pengembangan: kapasitas produktivitas, kapasitas pemasaran, kapasitas keamanan usaha/ agribisnis, kapasitas berkelompok, kapasitas berjaringan, dan kapasitas peningkatan prestasi/kemajuan usaha, yang semuanya “rendah”; (b) faktor karakteristik sistem sosial khususnya kurangnya dukungan kelembagaan agribisnis, dan (c) faktor karakteristik petani yaitu rendanya tingkat pendidikan formal dan pendidikan non formal; (4) Perpaduan dari faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian mem-berdayakan petani; pemenuhan kebutuhan pengembangan petani dan kemandirian petani beragribisnis merupakan model efektif pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan dan kemandirian petani beragribisnis. Dengan kata lain, kinerja pemberdayaan oleh penyuluh pertanian yang betujuan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan didukung oleh karakteristik petani yaitu tingkat pendidikan formal dan non formal petani; dukungan karakteristik sistem sosial dan kompetensi penyuluh pertanian yang tinggi berpengaruh atau dapat meningkatkan kemandirian petani beragribisnis; dan (5) Petani dengan komoditi unggulan yang berbeda (tanaman pangan, kelapa sa-wit, karet, perikanan dan tenak), pendekatan atau strategi penyuluhannya juga harus berbeda, karena factor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pemberdayaan oleh penyuluh; tingkat pemenuhan kebutuhan petani dan kemandirian petani beragribisnis berbeda.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PEMBERDAYAAN PETANI UNTUK PEMENUHAN

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN

KEMANDIRIAN PETANI BERAGRIBISNIS

(Kasus Di Kabupaten Kampar Provinsi Riau)

M A R L I A T I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Dr.Ir.SITI AMANAH, MSc.

(Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. FAWZIA SULAIMAN, MSc.

(Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Departemem Pertanian)

2. Prof. (Riset) Dr. DJOKO SUSANTO, SKM

(Guru Besar pada Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Institut Pertanian


(9)

Judul Disertasi : Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau).

Nama : Marliati Nomor Induk : P 05600009

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. SUMARDJO, M.S. Prof. Dr. PANG S.ASNGARI Ketua Anggota

Dr. PRABOWO TJITROPRANOTO, M.Sc. Dr. Ir. ASEP SAEFUDDIN, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Penyuluhan Pembangunan IPB

Dr.Ir.SITI AMANAH, MSc. Prof..Dr.Ir.KHAIRIL A.NOTODIPUTRO, MS


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam, atas rahmat dan karunia-Nya, tulisan ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan disertasi yang berjudul: “Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (Kasus di Kabupaten Kampar Propinsi Riau)” dan merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS. (selaku ketua komisi pembimbing disertasi), Bapak Prof. Dr.H. Pang S.Asngari, Bapak Dr.H.Prabowo Tjitropranoto dan Bapak Dr. Ir. H. Asep Saefuddin, MSc. selaku anggota komisi pembimbing. Keempat beliau telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga tulisan ini dapa diselesaikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak

Prof. Dr. Ir. Hasan Basri Jumin, MS, MSc., selaku Rektor Universitas Islam Riau dan Bapak Ir. Asrol, M Ec., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Secara khusus, ucapan terimakasih disampaikan kepada kedua orang tua tercinta, mas Harsono, anak-anak tersayang, kakak dan adik-adi

t

k penulis yang telah memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada siapa saja yang telah membantu selesainya disertasi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.

Akhirnya, semoga segala sesuatu yang dituangkan dalam tulisan ini ber-manfaat bagi penulis dan orang-orang yang membutuhkannya. Kritik dan saran pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan ini.

Bogor, Juni 2008 Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bangkinang (Riau) pada tanggal 27 Agustus 1965 sebagai anak ketiga dari sembilan bersaudara pasangan Bapak H. Ahmad dan Ibu Hj. Mariah. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Lanjutan Atas diselesaikan di kota Bangkinang. Sarjana Pertanian lulus pada bulan Februari tahun 1989 dari Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Program Pascasarjana S2 diselesaikan pada tahun 1996 dari Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB. Studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB ditempuh mulai semester Genap tahun ajaran 2003/2004 dengan bantuan beasiswa dari Pemda Riau.

Sejak tahun 1990 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar PNS yang diperkerjakan sebagai dosen tetap di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau Pekanbaru. Disamping sebagai dosen tetap, penulis juga aktif sebagai dosen Luar Biasa di perguruan tinggi swasta. Pada tahun ajaran 1996/1997 penulis aktif sebagai Dosen Luar Biasa Fakultas Pertanian UNIDA Ciawi Bogor; pada tahun yang sama penulis juga aktif sebagai Dosen Luar Biasa Program Diploma IPB dan pada tahun yang sama juga sebagai asisten peneliti di Pusat Studi Wanita –LP IPB.

Tulisan ilmiah yang pernah dipublikasikan antara lain: ”Peranan Wanita dalam Sistem Usahatani di Kecamatan Rajasinga Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR); ”Peranan Wanita dalam Usaha Peternakan di Kabupaten Kampar Provinsi Riau (Jurnal Dinamika Pertanian UIR); “Dinamika Kelompok Tani di Kabupaten Kampar Provinsi Riau” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR); ”Kepemimpinan Kontak Tani dan Efektivitas Kelompok Tani dalam Program Intensifikasi Ayam Buras di Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat” (Jurnal Dinamika Pertanian UIR).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT……….. ii

RINGKASAN……… iii

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xxi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 4

Tujuan Penelitian ... 6

Kegunaan Penelitian... 6

Definisi Istilah... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Karakteristik Petani ... 11

Karakteristik Petani yang Mempengaruhi Kemampuan Mengubah Perilaku... 13

Karakteristik Sistem Sosial... 15

Pengertian Sistem Sosial ... 15

Perubahan dalam Sistem Sosial... 17

Masyarakat Petani sebagai suatu Sistem Sosial ... 19

Pengaruh Kepemimpinan dalam Sistem Sosial... 20

Konsep-konsep Pemberdayaan ... 21

Pengertian Pemberdayaan... 21

Syarat Pemberdayaan... 24

Visi Pemberdayaan Masyarakat... 24

Misi Utama Pemberdayaan ... 25

Pemberdayaan Model Pentagonal... 28

Peran Petugas Pemberdayaan Masyarakat... 30

Karakteristik dan Strategi Intervensi Masyarakat... 35

Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani 36


(13)

Teori Kebutuhan... 40

Pengertian Kebutuhan ... 40

Hierarki Kebutuhan Maslow ... 41

Teori Kebutuhan David Mc Clelland ... 42

Teori Kebutuhan Argyris... 43

Tehnik Pengidentifikasian Kebutuhan ... 44

Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis... 44

Konsep-konsep Kemandirian ... 45

Konsep Kepribadian Sehat/Matang Menurut Allport ... 45

Pribadi yang Berfungsi Sepenuhnya (Fully Function Person) Model Carl Rogers... 46

Konsep Kemandirian Lainnya ... 49

Dimensi atau Elemen Kemandirian ... 52

Kemandirian Petani... 55

Beberapa Hasil Penelitian Tentang Kemandirian Petani dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ... 57

Sistem Agribisnis ... 58

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 60

Kerangka Berpikir... 60

Hipotesis Penelitian... 74

METODE PENELITIAN... 75

Populasi dan Sampel ... 75

Populasi ... 75

Sampel... 75

Rancangan Penelitian ... 76

Data dan Instrumentasi... 77

Data... 77

Instrumentasi... 78

Kesahihan (Validitas) Instrumen ... 78

Keterandalan (Reliabilitas) Instrumen ... 80

Pengukuran Peubah... 82


(14)

Analisis Data... 94

HASIL DAN PEMBAHASAN... 97

Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 97

Pertanian Tanaman Pangan... 98

Perkebunan... 99

Peternakan... 99

Perikanan... 100

Profil Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 100

Kelembagaan Penyuluh ... 100

Sumberdaya Penyuluh ... 101

Kelembagaan Petani... 103

Karakteristik Petani... 105

Profil dan Permasalahan Petani Beragribisnis... 108

Karakteristik Sistem Sosial ... 111

Kompetensi Penyuluh Pertanian ... 120

Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani .... 126

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani... 129

Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis ... 141

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan kapasitas Petani Beragribisnis... 147

Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis ... 162

Kaitan Kemandirian Petani dengan Produktivitas Usahatani ... 166

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis ... 167

Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis 187

Implementasi Hasil Penelitian dalam Konteks Sistem Penyuluhan Pertanian... 203

KESIMPULAN DAN SARAN... 204

Kesimpulan ... 205

Saran ... 206

DAFTAR PUSTAKA ... 209


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Teks

1 Perubahan Strategi Pembangunan Ditinjau

dari Empat Variabel ... 61

2 Pemikiran tentang Karakteristik Petani ... 65

3 Pemikiran tentang Karakteristik Sistem Sosial ... 66

4 Pemikiran tentang Kompetensi Penyuluh Pertanian ... 67

5 Pemikiran tentang Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani ………... 69

6 Pemikiran tentang Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis... 70

7 Paradigma Petani yang Mandiri………. 72

8 Daftar Kerangka Penarikan Sampel Penelitian…..……... 76

9 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Setiap Dimensi Peubah Penelitian………. 80

10 Sub Peubah dan Parameter Karakteristik Sumberdaya Petani (X1)……….…… 82

11 Sub Peubah dan Parameter Karakteristik Sistem Sosial (X2)………..……… 83

12 Sub Peubah dan Parameter Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3)……….. 85

13 Sub Peubah dan Parameter Kinerja Penyuluhan Pertanian Memberdayakan Petani (X4)………... 86

14 Sub Peubah dan Parameter Pengukuran Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Y1)... 88

15 Sub Peubah dan Parameter Tingkat Kemandirian Petani (Y2)……. 90

16 Daftar Balai Informasi Penyuluhan, Jumlah Desa Binaan dan Jumlah Penyuluh Pertanian di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau ... 102

17 Jumlah Kelompok Tani Menurut Kelas Kemampuan Kelompok Tani di Kabupaten Kampar,Propinsi Riau ... 104

18 Karakteristk Petani (X1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 105

19 Permasalahan Petani Beragribisnis pada Setiap Komoditi unggulan yang Berbeda di Kabupaten Kampar, Riau ... 109


(16)

20 Karakteristk Sistem Sosial (X2) di Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau (Skor Rataan)... 112 21 Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) di Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau (Skor Rataan) ... 122 22 Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani (X4)

di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ... 126 23 Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani,

Karakteristik Sistem Sosial dan Kompetensi Penyuluh

Pertanian dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan

Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 130 24 Koefisien Regresi yang Distandarkan (Standarized

Regresi Coeficient) Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Memberdayakan

Petani di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 132 25 Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas

Petani Beragribisnis (Y1) di Kabupaten Kampar, Provinsi

Riau (Skor Rataan) ... 144 26 Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani,

Karakteristik Sistem Sosial, Kompetensi Penyuluh Pertanian, Kinerja Penyuluh Pertanian dengan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis

di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 149 27 Koefisien Jalur Faktor-faktor yang Berpengaruh

Langsung dan Tidak Langsung terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis

(Y1) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 151

28 Koefisien Jalur Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dan Faktor-faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis

di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 160 29 Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2) di Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan) ... 191 30 Koefisien Korelasi Aspek-aspek Karakteristik Petani,

Karakteristik Sistem Sosial, Kompetensi Penyuluh

Pertanian dan Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani dengan Kemandirian Petani Beragribisnis

di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 168 31 Koefisien Jalur Faktor-faktor yang Berpengaruh Langsung

dan Tidak Langsung terhadap Kemandirian Petani Beragribisnis


(17)

32 Koefisien Jaluri Aspek-aspek Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani yang Berpengaruh terhadap

Kemandirian Petani Beragribisnis (Petani Keseluruhan) ... 204 33 Rumusan Kinerja Penyuluh Pertanian untuk Pemenuhan

Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani

Beragribisnis ... 201

Lampiran

1 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi sawah dan Padi ladang Menurut BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau... 217 2 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Palawija Menurut

BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar,Propinsi Riau ... 218 3 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran Menurut

BIP/Kecamatan di Kabupaten Kampar,Provinsi Riau ... 219 4 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman

Perkebunan Rakyat Menurut BIP/Kecamatan

di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau... 220 5 Jumlah Ternak Besar (Ekor) Menurut jenis dan

Kecamatan di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau... 221 6 Jumlah Ternak Unggas (Ekor) Menurut jenis dan Kecamatan di

Kabupaten Kampar, Propinsi Riau ... 222 7 Produksi Perikanan (Ton) Menurut Kecamatan

dan Sektor Perairan di Kabupaten Kampar,

Propinsi Riau ... 223


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman Teks

1 Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal

(Tjitropranoto, 2005)……….. 12 2 Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial

Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)..………. 20 3 Sistem Agribisnis dan Lembaga Penunjangnya

(Said dan Intan , 2001) ... 58 4 Alur Berpikir Penelitian

5 Kerangka Berpikir Penelitian

6 Pengaruh antar Variabel dalam Diagram Jalur... 95 7 Pengaruh antar Variabel secara Konseptual pada Penelitian

Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (Kasus di

Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)... 96 8 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja

Penyuluh Pertanian Memberdayakan Petani Beragribisnis

Pada Petani Keseluruhan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau … 136

9 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau... 158 10 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani

untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di

Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 176 11 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani

untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas dan Kemandirian Petani Tanaman Pangan Beragribisnis di Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau... ... 177 12 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani

untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Kelapa Sawit Beragribisnis di Kabupaten Kampar,


(19)

Provinsi Riau... ... 178 13 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani

untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Kelapa Karet Beragribisnis di Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau... ... 180 14 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani

untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Ikan Beragribisnis di Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau... ... 181 15 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh

Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Ternak Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi

Riau... 182 16 Aspek-aspek Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas

Petani yang Berpengaruh Terhadap Kemandirian Petani

Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau... 186 17 Strategi Penyuluhan Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan


(20)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Setelah beberapa dekade pembangunan pertanian di Indonesia, ternyata pembangunan itu belum mampu meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan petani. Hal yang menjadi penyebabnya adalah: (1) Pembangunan itu hanya mengutamakan pertumbuhan, mengejar target dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subjek. Dalam praktek sering dijumpai martabat manusia me-rosot hingga sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan ekonomi dan (2) Tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Golongan yang diuntungkan adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan atau mereka yang secara sosial ekonomi mampu meraih kesempatan yang ada (Ismawan, 2003).

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Padmowihardjo (2005), bahwa pembangunan yang selama ini dilaksanakan belum banyak mengubah nasib petani. Mengapa? Salah satu penyebab utamanya adalah karena petani kurang diberdayakan. Orang miskin akan tetap miskin selama dia tidak berdaya untuk mendayagunakan kapasitas produktif dirinya. Dengan pemberdayaan akan terjadi pendayagunaan semua potensi yang dimiliki seseorang untuk dapat memperbaiki nasibnya. Pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki nasib suatu masya-rakat tidak akan berhasil dengan baik, apabila tidak dilakukan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga mereka mampu menempatkan dirinya sebagai subjek pembangunan, bukan sebagai objek pembangunan.

Menurut Amartya Sen (Padmowihardjo, 2005), penerima hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people’s capability) dan pembangunan adalah pembebasan

(development is a freedom). Demikian pula Chakra Varty (Padmowihardjo, 2005)

menyatakan bahwa pembangunan adalah perluasan kreativitas rakyat (expansion

of people’s creativity). Oleh karena itu, pemikir India, Rajni Kotari

(Padmowihardjo, 2005) menyatakan perlunya melaksanakan strategi pem-bangunan partisipatif. Dengan melaksanakan strategi pempem-bangunan partisipatif maka individu akan ditempatkan sebagai pusat intervensi, sehingga manusia akan menjadi fokus utama dalam pambangunan, atau manusia akan menjadi modal sosialnya (social capital) atau human capital. Oleh karena itu, dalam


(21)

pembangunan diperlukan adanya empowerment atau pemberdayaan guna meningkatkan kesadaran akan harga dirinya, harkatnya, martabatnya, keman-dirian, tahan uji, pintar, jujur, berkemampuan kreatif, produktif dan emansipatif. Bukan sebaliknya, yaitu dilakukan disempowerment atau pelumpuhan masyarakat seperti yang sering kita lihat selama ini.

Disisi lain, menurut Sumardjo (1999), keterbukaan ekonomi sebagai aki-bat globalisasi ekonomi dunia menciptakan kondisi (tantangan) yang lebih menuntut perilaku modern sumberdaya manusia, efisiensi usaha dan daya saing dari setiap komoditas yang dihasilkan, termasuk komoditas pertanian. Munculnya kekuatan ekonomi baru ini, selain tantangan juga merupakan peluang potensi pasar produk pertanian Indonesia. Hal tersebut, merupakan peluang karena secara geografis Indonesia berada pada posisi strategis dibandingkan negara-negara pemasok lainnya.

Kondisi petani sampai saat ini masih merupakan tantangan karena mereka dalam melakukan agribisnis (bisnis pertanian), petani tidak saja dituntut berorientasi pada produk yang dibutuhkan pasar, tetapi juga harus mampu menciptakan pasar, efisien dan memiliki daya saing. Petani tidak lagi hanya mengandalkan proteksi dan subsidi dari pemerintah, mereka dituntut untuk memi-liki aspirasi, kreatif, mampu mengambil keputusan yang menguntungkan, inovatif dan tangguh dalam melakukan agribisnisnya.

Menurut Soewardi (1987), petani selama ini memiliki pilihan terbatas pada paket program pemerintah dan lebih berorientasi pada sikap menunggu petunjuk. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan kekuatan diri sendiri dan lebih menunjukkan ketergantungan pada kekuatan dari luar. Menurut Slamet (1995), ketergantungan tersebut tidak hanya dalam hal mendapatkan informasi, tetapi juga dalam membuat keputusan-keputusan.

Selain itu, masih banyak petani kita dalam kondisi marjinal. Menurut Tjitropranoto (2005) dan Elyas dkk. (2003), istilah marjinal saat ini menjadi sesuatu yang cukup populer dan pada umumnya dikaitkan dengan kondisi masya-rakat yang miskin, tidak berpendidikan, tidak terampil, lemah dari segala aspek kehidupan sehingga membuat posisi mereka menjadi sangat rentan terhadap peru-bahan sosial yang terjadi. Hal ini telah menyebabkan mereka berada pada ke-dudukan paling pinggir dalam pranata sosial dan terabaikan.


(22)

Menurut Elyas dkk. (2003), upaya negara dalam mengentaskan petani marginal dari dulu telah dilakukan dalam program-program pengentasan kemiskinan (proverty allevation). Banyak konsep yang telah diaplikasikan, namun sejauh ini jumlah mereka terus bertambah. Hal ini tak terlepas dari dampak krisis ekonomi nasional yang bergulir sejak tahun 1997. Berbagai program digulirkan untuk mengurangi jumlah petani marjinal, namun sulit bila dikatakan berhasil, karena program yang diluncurkan lebih didasarkan pada usaha pengangkatan kesejahteraan secara instan, yaitu memberikan program-program usaha dalam bentuk-bentuk program reaktif, sesaat dan tidak ada pendampingan yang berkelanjutan.

Kabupaten Kampar merupakan salah satu kabupaten memiliki potensi pengembangan agribisnis di provinsi Riau. Beberapa komoditi perkebunan dan perikanan merupakan komoditi ekspor atau bahan baku ekspor. Komoditi ekspor perkebunan misalnya: kelapa sawit, karet dan gambir. Komoditi perikanan yang diekspor ke negara tetangga adalah komoditi ikan salai (ikan air tawar segar yang diolah melalui pengasapan). Komoditi tanaman pangan dan peternakan juga memiliki peluang tinggi untuk menjadi komoditi ekspor, karena negara tetangga Singapure (yang letak geografisnya sangat dekat dengan provinsi Riau) adalah negara yang bahan pangannya hampir semuanya diimpor dari negara luar. Kondisi ini merupakan peluang dan sekaligus juga tantangan karena menuntut petani di kabupaten Kampar berperilaku maju dalam beragribisnis.

Berdasarkan survei pendahuluan, ada dua kondisi petani di kabupaten Kampar yaitu, petani yang sadar akan kebutuhan pengembangan kapasitas (real

needs) dan petani yang belum sadar. Tugas penyuluh pertanian disesuaikan

dengan kondisi ini. Petani yang sudah sadar akan kebutuhan riilnya dalam beragribisnis, penyuluh berperan memfasilitasi memampukan petani memenuhi kebutuhan tersebut. Petani yang belum sadar akan kebutuhan riilnya, penyuluh berperan menyadarkan akan kebutuhan riilnya dan memfasilitasi untuk pemenuhannya. Berdasarkan hal ini, realisasi pemberdayaan petani di lapangan yang bertujuan untuk memampukan petani memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis, menjadi faktor penting untuk dikaji dan ditindaklanjuti.


(23)

Masalah Penelitian

Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis adalah “karakteristik petani” (faktor internal); “karakteristik sistem sosial” dan “karakteristik penyuluh” (faktor eksternal).

Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era globalisasi adalah kenyataan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia petani, baik karakteristik pribadi maupun karakteristik sosial ekonomi. Usaha pertanian di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani yang sebagian besar tingkat pendidikannya sangat rendah (87 persen dari 35 juta tenaga kerja pertanian berpendidikan SD ke bawah), berlahan sempit, bermodal kecil dan petani memiliki produktivitas yang rendah. Kondisi ini memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap persaingan di pasar global, karena pada umumnya mereka belum mampu menerapkan teknologi maju yang spesifik lokal, yang selanjutnya berakibat rendahnya efisiensi usaha dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan (Deptan, 2003).

Menurut Slamet (2003), sebagian besar rakyat Indonesia (di atas 60 persen) adalah petani yang umumnya tinggal di pedesaan, dengan fasilitas sosial yang serba kurang dibandingkan dengan kehidupan di perkotaan. Keadaan sosial ekonomi mereka umumnya rendah, dan tingkat pendidikan mereka umumnya juga rendah. Kehidupan mereka umumnya sangat sederhana, lebih terbelakang dibandingkan dengan rekan-rekannya yang ada di perkotaan. Mereka sering mendapat sebutan sebagai warga yang masih mengalami keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Keadaan semacam itu sebenarnya adalah akibat dari perkembangan dan pembangunan semata, bukan ditakdirkan bahwa kaum tani memang harus demikian.

Salah satu permasalahan utama pembangunan pertanian di provinsi Riau adalah lahan pertanian yang umumnya terdiri dari lahan dan sekaligus petani marginal. Menurut Elyas dkk (2001), sebagian besar jenis tanah di provinsi Riau adalah podsolik merah kuning yang tidak subur untuk usaha pertanian. Di lain pihak sebagian besar masyarakat miskin di Riau berada di pedesaan, berlatar belakang penghidupan usahatani tradisional atau konvensional.


(24)

Menurut Tjitropranoto (2005), lahan marginal bukanlah lahan yang tidak berpotensi untuk menghasilkan produk pertanian unggulan, asalkan diterapkan teknologi pertanian yang tepat. Persoalan yang belum terpecahkan adalah bagai-mana meningkatkan pendapatan petani di lahan marginal, yang merupakan sebagian besar dari jumlah seluruh petani? Permasalahan petani di lahan marginal menurut Tjitropranoto (2005) antara lain adalah kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang rendah, yang ditandai oleh pendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, kemauan rendah dan kepercayaan diri rendah. Menurut Tjitropranoto (2005), peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan dengan teknologi pertanian spesifik lokasi, disertai tersedianya teknologi pengolahan hasil pertanian dan pemasaran yang baik. Walaupun semua itu tersedia, produktivitas petani marginal masih tergantung dari karakteristik individu, kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya alam pertanian (termasuk pemanfaatan modal dan pemasaran untuk usaha pertaniannya).

Produktivitas petani yang berkelanjutan dapat diwujudkan apabila petani memiliki kemandirian. Kemandirian petani terwujud jika petani mampu meng-optimalkan kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya pertanian. Pengembangan kapasitas tersebut diupayakan melalui kinerja penyuluh pertanian memberdayakan petani berdasarkan kebutuhan petani dan didukung oleh sistem sosial (motivasi ekstrinsik) dan karakteristik petani (motivasi intrinsik).

Kemandirian petani adalah suatu kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui proses pemberdayaan (empowerment). Pihak pemerintah (Departemen Pertanian melalui kelembagaan penyuluhan pertaniannya) dari tahun ke tahun juga telah melakukan kegiatan pemberdayaan petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Namun sejak otonomi daerah, kebijakan penyelenggaraan penyuluhan berbeda-beda antar daerah. Sesuatu yang menarik untuk diteliti adalah: Dalam kenyataanya, apakah upaya pemberdayaan yang telah dilakukan melalui kegiatan penyuluhan pertanian telah memampukan petani memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian beragribisnis? Permasalahan spesifik penelitian ini adalah:


(25)

(1) Sejauhmana tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh penting terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian tersebut?

(2) Sejauhmana tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh pen-ting terhadap pen-tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut?

(3) Sejauhmana tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor manakah yang berpengaruh penting terhadap tingkat kemandirian petani tersebut?

(4) Bagaimana strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan berbagai tantangan, tuntutan dan berbagai permasalahan yang berkembang, maka secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

(1) Menganalisis tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberda- yakan petani dan faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian tersebut.

(2)

Menganalisis tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut.

(3)

Menganalisis tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-

faktor yang berpengaruh penting terhadap tingkat kemandirian petani tersebut.

(4) Merumuskan strategi penyuluhan pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini secara umum diharapkan bermanfaat bagi: (1) Pengem-bangan ilmu pengetahuan (dalam hal teoritis) dan (2) Pemecahan permasalahan (dalam hal praktis). Dalam hal teoritis diharapkan penelitian ini memberi sumbangan bagi pengembangan konsep pemberdayaan yaitu pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis melalui perbaikan kinerja penyuluh pertanian. Dalam hal pemecahan masalah, diharapkan


(26)

hasil penelitian berguna bagi para praktisi (pemerintah atau pihak swasta), yaitu bahan pertimbangan atau masukan dalam mengatasi permasalahan tidak optimalnya kinerja penyuluh pertanian, tidak terpenuhinya kebutuhan pengembangan kapasitas dan ketidakmandirian petani beragribisnis, sehingga dapat diupayakan kinerja penyuluh pertanian yang memenuhi kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani petani beragribisnis.

Secara khusus, hasil-hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk diketahui atau dipahaminya: (1) Tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan faktor-faktor yang berpengaruh, (2) Tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh, dan (3) Tingkat kemandirian petani beragribisnis dan faktor-faktor yang berpengaruh. Atas dasar pemahaman ketiga hal ini, dapat disusun strategi pemberdayaan petani melalui penyuluhan pertanian oleh berbagai pihak secara tepat dan produktif bagi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis, serta diharapkan outcomenya meningkatkan pendapatan petani dan ketangguhan petani beragribisnis.

Definisi Istilah

Beberapa istilah yang digunakan dalam tulisan ini, didefinisikan sebagai berikut:

(1) Karakteristik Petani adalah ciri-ciri yang melekat pada diri petani sebagai individu manusia. Karakteristik petani yang akan diteliti pada penelitian ini meliputi: (a) Umur, (b) Pendidikan Formal, (c) Pendidikan Non Formal,

(d) Pendidikan Informal, dan (e) Pengalaman Petani Beragribisnis. (2) Karakteristik Sistem Sosial adalah faktor-faktor yang turut

meng-hambat/mendukung perubahan sistem sosial sebagai akibat intervensi atau program pemberdayaan. Faktor-faktor tersebut adalah: (a) Nilai-nilai Sosial Budaya, (b) Sistem Kelembagaan, (c) Akses terhadap Tenaga Ahli, Kelem-bagaan Penyuluhan dan Penelitian, (d) Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah, (e) Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Swasta, dan

(f) Kepemimpinan Lokal.

(3) Kompetensi Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan petani adalah kemampuan yang dimiliki penyuluh pertanian untuk dapat melakukan tugas-tugas penyuluhan yang diamanahkan (diembankan) kepadanya. Amanah dalam arti kesadaran penyuluh pertanian untuk mampu


(27)

gungjawabkan pekerjaannya tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada Tuhan. Kompetensi penyuluh pertanian minimal yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh pertanian kaitannya dengan pemberdayaan petani adalah kompetensi: (a) Managerial, (b) Komunikasi, (c) Pembelajaran Petani, dan (d) Interaksi Sosial. Tingkat kompetensi penyuluh pertanian ini diukur berdasarkan persepsi petani.

(4) Pemberdayaan Petani adalah upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan atau membangun daya (kapasitas) petani secara internal (kapasitas diri) dan eksternal (kemampuan memanfaatkan/mengakses sumberdaya pertanian), sehingga petani mampu memberdayakan dirinya sendiri (menyadari sendiri dan berbuat yang terbaik untuk dirinya dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi), sehingga mereka mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam beragribisnis dan membentuk kehidupan yang lebih baik.

(5) Penyuluh Pertanian dalam penelitian ini adalah petugas yang diberikan kewenangan (amanah) dalam lingkup kewenangan pemerintahan daerah untuk melakukan tugas memberdayakan petani di lapangan. Penyuluh pertanian ini adalah ujung tombak dari keberhasilan pemberdayaan petani. (6) Kinerja Penyuluh Pertanian dalam memberdayakan petani adalah

perilaku yang diperagakan secara aktual oleh penyuluh pertanian sebagai kewajibannya melaksanakan kegiatan memberdayakan (mengembangkan kapasitas petani) untuk mewujudkan kemandirian petani beragribisnis. Kinerja dapat dilihat dari kepuasan (persepsi) petani terhadap perilaku aktual yang diperagakan penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Aspek-aspek kinerja pemberdayaan yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah: (a) Pengembangan Perilaku Inovatif Petani, (b) Penguatan Tingkat

Partisipasi Petani, (c) Penguatan Kelembagaan Petani, (d) Penguatan Akses Petani terhadap Berbagai Sumberdaya, (e) Penguatan Kemampuan Petani Berjaringan, dan (f) Kaderisasi.

(7) Persepsi Petani adalah proses aktif petani dalam memperhatikan, mengor-ganisasikan, menafsirkan dan menilai secara selektif berdasarkan pengala-man sebelumnya atau kombinasi baru dan konsep yang sudah ada.

(8) Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis adalah terpenuhinya kebutuhan petani untuk mengembangkan kapasitasnya (kebutuhan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif) agar petani memiliki kemandirian menjalankan agribisnis (usahatani yang berorientasi bisnis), sesuai dengan kondisi ideal yang diharapkan (better


(28)

farming; better bussiness; friendly environment dan better living). Peme-nuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani tersebut meliputi memenuhan pengembangan kapasitas (pengetahuan, keterampilan, motivasi dan komitmen) dalam hal: (a) Produktivitas, (b) Pemasaran, (c) Keamanan Usaha/agribisnis, (d) Berkelompok, (e) Berjaringan, dan (f) Peningkatan Prestasi/Kemajuan usaha.

(9) Kapasitas Petani adalah daya (kemapuan) yang dimiliki diri petani (meliputi pengetahuan, sikap, kerampilan dan sikap positif) untuk menjalankan agribisnis ideal yang diharapkan (better farming; better bussiness; friendly

environment dan better living). Sikap positif dalam penelitian ini dibatasi

pada motivasi dan komitmen petani beragribisnis. Motivasi adalah semangat petani untuk selalu meraih prestasi. Komitmen adalah keterikatan jiwa petani terhadap kemajuan agribisnisnya.

(10) Kemandirian Petani Beragribisnis adalah perwujudan kemampuan (perilaku aktual yang ditampilkan) petani dalam beragribisnis untuk berbuat yang terbaik bagi diri (mengatur diri sendiri), keluarga dan masyarakat dengan memanfaatkan secara optimal potensi (kapasitas) dirinya dan sumberdaya, sesuai kesadaran diri, dan diyakini manfaatnya dalam rangka kesejahteraan hidupnya, tanpa ketergantungan dengan orang lain dan semata-mata hanya ketergantungan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemandirian petani dalam beragribisnis dicirikan oleh enam elemen pokok, yaitu:

(a) Kemandirian Intelektualitas Beragribisnis

Kemandirian intelektualitas beragribisnis yaitu kemampuan yang diwujudkan/ditampilkan petani untuk mengkritisi berbagai persoalan yang berkaitan dengan agribisnisnya (penyediaan dan penggunaan sarana produksi, proses produksi, pemasaran dan pengolahan hasil pertanian yang lebih baik) secara cerdas dan logistanpa dibayangi rasa takut atau tekanan pihak lain.Kemandirian intelektual juga bermakna pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh petani yang

memungkinkan mereka menanggulangi bentuk bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul diluar kontrol terhadap pengetahuan itu. (b) Kemandirian Sikap Mental Beragribisnis

Kemandirian sikap mental beragribisnis yaitu kemampuan yang diwujudkan/ditampilkan petani yang merupakan sintesa dari kemampuan mengotrol emosi (tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain), kesadaran diri, inisiatif, motivasi, harga


(29)

diri, komitmen dan kepercayaan diri untuk bertindak dan berbuat yang terbaik bagi dirinya dan orang lain dalam menjalankan agribisnisnya.

(c) Kemandirian Manajemen Agribisnis

Kemandirian manajemen yaitu kemampuan otonom untuk mengelola diri, menjalani serta mengelola kegiatan agribisnis (merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi) agar terwujud efisiensi dan efektivitas kerja, sehingga ada perubahan ke arah yang lebih baik dalam situasi kehidupan agribisnis petani.

(d) Kemandirian Sosial

Kemandirian sosial yaitu kemampuan yang ditampilkan/diwujud-kan petani petani untuk mengadaditampilkan/diwujud-kan interaksi, bekerjasama dalam kelompok dan menjalin jaringan kerja atau bermitra dengan

lembaga/pihak lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.

(e) Kemandirian Material

Kemandirian material yaitu kemampuan produktif petani guna meme- nuhi kebutuhan materi dasar dan cadangan serta termasuk mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis (kemampuan menabung dan berinvestasi).

(f) Kemandirian Pengembangan Diri

Kemandirian pembinaan diri, yaitu kemampuan yang ditampilkan petani untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pem- belajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menung- gu sampai adanya pembina atau penyuluh dari luar sebagai guru mereka dan memegang prinsip belajar seumur hidup.


(30)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani

Tingkat kemandirian petani dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya petani. Menurut Slamet (2003), meskipun para petani yang hidup di pedesaan dan pelo-sok-pelosok yang jauh dari pusat-pusat peradaban modern dan sering disebut-se-but sebagai terbelakang, bodoh dan miskin, tetapi mereka adalah manusia seperti kita semua yaitu memiliki potensi dan kemampuan, disamping juga memiliki kebutuhan dan keinginan. Keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan bukanlah sesuatu yang akan melekat secara abadi pada para petani dan yang jelas itu semua bukanlah kemauan dan keinginan mereka. Para petani itu memiliki potensi dan kemampuan. Sekarang kemampuan mereka mungkin masih rendah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk meningkatkannya. Mereka pun memiliki berbagai kebutuhan dan keinginan yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk berkembang.

Selanjutnya menurut Slamet (2003), kondisi masyarakat petani masa kini adalah sebagai berikut:

(1) Percampuran antara yang modern, maju, kaya dan yang tradisional, terting-gal dan miskin.

(2) Mayoritas berpendidikan rendah.

(3) Mayoritas masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. (4) Lembaga-lembaga masyarakat belum banyak yang secara nyata

member-dayakan masyarakat.

(5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan umumnya masih ren-dah.

(6) Masyarakat madani masih merupakan cita-cita, disebabkan oleh banyaknya kendala yang dihadapi, dan kondisi yang belum kondusif.

(7) Mayoritas masih hidup dalam “kegelapan,” kurang informasi dan umumnya tidak memiliki alternatif yang lebih menguntungkan.

Menurut Tjitropranoto (2005), kondisi petani di lahan marjinal dan penga-ruhnya terhadap kapasitas diri dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya, produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan, digambarkan secara skematis pada Gambar 1.


(31)

:

Kapasitas Diri Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya PRODUKTIVITAS

PENDAPATAN

Pendidikan Rendah

Motivasi Rendah

Apatis Kemauan Rendah

Percaya Diri Rendah Petani Kecil

Di Lahan Marginal Pemanfaatan

SDA

Akses Kredit

Adopsi Teknologi

Akses Pasar KESEJAHTERAAN

Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal (Tjitropranoto, 2005)


(32)

Gambar tersebut menjelaskan bahwa ciri-ciri petani di lahan marjinal antara lain: berpendidikan rendah, motivasi rendah, apatis, berkemauan rendah dan rasa percaya dirinya rendah. Hal ini mencerminkan rendahnya kapasitas diri petani dan pemanfaatan kapasitas sumberdaya yang masih rendah, yaitu kurangnya akses petani terhadap pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap kredit, adopsi teknologi dan akses pasar. Keadaan ini akan menyebabkan rendahnya produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan pemikiran ini, peningkatan kesejahteraan petani dapat ditingkatkan melalui peningkatan kapasitas diri petani dan penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya. Pengembangan kapasitas petani dapat dilakukan melalui upaya pemberdayaan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan pengembangan kapasitas yang mereka butuhkan. Dalam hal ini penyuluh pertanian berperan mem-fasilitasi pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani, selanjutnya petanilah yang mampu mengembangkan kapasitas dirinya.

Karakteristik Petani yang Mempengaruhi Kemampuan Mengubah Perilaku

Kualitas sumberdaya pribadi (individual/personal characteristic) adalah ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang sebagai individu manusia. Rogers dan Shoemaker (1981) mengungkapkan bahwa sumberdaya pribadi mencakup: (1) Ci-ri kepCi-ribadian (personality), dan (2) Ciri komunikasi. Ciri kepribadian mencakup: empati, dogmatisme, kemampuan abstraksi, rasionalitas, intelejensia, sikap terha-dap perubahan, sikap mengambil resiko, sikap terhaterha-dap ilmu pengetahuan atau pendidikan, fatalisme, motivasi meningkatkan taraf hidup dan aspirasi terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ciri-ciri komunikasi antara lain: partisipasi sosial, komunikasi interpersonal dengan sistem luar, kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaharu, keterdadahan terhadap media massa, keinovatifan (keaktifan mencari inovasi), kepemimpinan (leadership) dan penerimaan terhadap norma modern.

Rogers (1969) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengubah perilaku adalah: (a) Kemampuan mem-baca dan menulis, (b) Sifat kosmopolit, (c) Tingkat pendidikan, (d) Status sosial Ekonomi dan (e) Umur. Lionberger (1960) menyatakan bahwa karakteristik


(33)

individu atau personal faktor yang perlu diperhatikan adalah: umur, tingkat pendi-dikan dan karakter psikologis. Karakteristik psikologis antara lain adalah ra-sionalitas, fleksibilitas mental, dogmatisme, orientasi terhadap usahatani dan ke-cenderungan mencari informasi. Mc Leod dan O’Kiefe Jr (1972) menyatakan bahwa variabel demografik yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan perilaku individu adalah: jenis kelamin, umur dan status sosial.

Rogers (1969) dan Salkind (1985) mengemukakan bahwa dalam proses pemberdayaan masyarakat tidak bisa terlepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal individu masyarakat antara lain: Umur, pendidikan, jenis kelamin, jumlah tanggungan, status sosial ekonomi dan pengalaman masa lalu. Faktor

eksternal yang esensial antara lain: Peran penyuluh (fasilitator, motivator,

kata-lisator, pendidik, pelatih); lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi) dan ketersediaan dana/modal usaha.

Salkind (1985) mengemukakan bahwa pengembangan sumberdaya ma-nusia adalah merupakan upaya untuk mengubah/meningkatkan pengetahuan, si-kap dan keterampilan. Dalam hal ini, haruslah melalui proses dan merupakan suatu usaha peningkatan taraf hidup manusia agar mendapatkan suatu pengakuan

(recognition) individu dalam kehidupan masyarakat. Lembaga pengembangan

swadaya masyarakat, penyuluh dan lembaga keswadayaan bagi individu sebagai wadah dengan bentuk kelompok berperan penting dalam proses pemberdayaan anggota masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian indi-vidu/masyarakat. Dengan demikian kehidupan berkelompok berperan mem-pengaruhi kemampuan individu mengubah perilaku.

Hal senada dikemukakan oleh Gerungan (1983), faktor eksternal yang dapat mengubah sikap dan perilaku seseorang antara lain adalah: (a) Kekuatan

(force), (b) Perubahan norma kelompok, (c) Perubahan “membership group,” (d)

Perubahan “reference group,” dan (e) Pembentukan kelompok baru.

Menurut Padmowihardjo (1994), kemampuan umum untuk belajar akan bagi seseorang berkembang secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat kedewasaan. Seseorang pada usia 15 – 25 tahun akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi belajar, jika diberi bimbingan dalam


(34)

pembelajaran yang baik. Kemampuan ini akan berkembang dan tumbuh maksimal pada usia 45 tahun. Kemampuan belajar akan nyata berkurang setelah usia 55 sampai 60 tahun.

Menurut Winkel (1990), pendidikan merupakan proses pembentukan wa-tak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara berting-kah laku. Dengan demikian, tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi kemampuan mengubah perilaku.

Karakteristik Sistem Sosial Pengertian Sistem Sosial

Faktor lain yang mempengaruhi kualitas pemberdayaan, tingkat peme-nuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani dalam beragribisnis adalah faktor sistem sosial. Agen pemberdaya (termasuk penyuluh dan pendamping) dan petani, hidup dan beraktivitas dalam suatu sistem sosial tertentu, secara otomatis akan mempengaruhi kualitas pemberdayaan dan akhirnya mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas dan kemandirian petani beragribisnis.

Foster (1973) menyatakan bahwa kegiatan manusia dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh sistem sosial, budaya dan psikologi kelompok atau masyarakat tempat orang tersebut berada. Sistem sosial mengatur bagaimana hubungan di antara anggota-anggotanya, bagaimana status dan peranan masing-masing ang-gota, serta hak dan kewajibannya. Sistem budaya mengatur perilaku anggota-angota kelompok, dimana perilaku tersebut harus mengikuti norma-norma yang berlaku. Sistem psikologi berhubungan dengan bagaimana individu mereaksi atau merespon stimulus dari luar dirinya dalam situasi kelompok tertentu. Sistem psikologi ini meliputi: pengetahuan, persepsi, aspirasi, sikap, motivasi, harapan-harapan dan aspek-aspek pengalaman hidup seseorang.

Sistem sosial dan budaya sering digunakan secara bergantian, karena kedua konsep tersebut saling dekat dan saling pengaruh mempengaruhi. Sistem sosial menekankan cara kelompok terbentuk dan terorganisasi, macam bentuk hubungan antar mereka dalam hidup bersama, status dan stratifikasi sosial dan


(35)

bentuk-bentuk pranata sosial lainnya. Sistem budaya lebih menekankan pada atu-ran atau norma-norma yang memberi arah perilaku anggotanya. Oleh Foster diakui bahwa pembatasan tersebut masih kurang jelas dan kabur, sehingga para ahli lebih mudah memandang konsep tersebut dalam pengertian yang saling men-cakup, yaitu konsep sosial-budaya (socio-cultural).

Sistem sosial adalah suatu set (satuan) kehidupan sosial yang tersusun dari unsur-unsur yang satu sama lainnya saling berhubungan dan pengaruh mem-pengaruhi (Sanders, 1958; Berlo, 1961; Havelock & Huberman, 1977). Sistem berkembang dalam suatu situasi tertentu sambil terus mencari bentuknya yang lebih sempurna.

Loomis (1964) menyebutkan adanya sembilan unsur dalam sistem sosial, yaitu: (1) Tujuan dari sistem sosial; (2) Kepercayaan atau belief; yaitu keperca-yaan yang menyangkut aspek kognitif atau aspek intetellectual ability; (3) Sentimen, yaitu perasaan tertentu diantara para anggota yang dapat mempengaruhi pola interaksinya, sehingga sentimen ini lebih menyangkut aspek afektif atau emosi; (4) Norma, yaitu standar perilaku atau perilaku-perilaku yang telah dapat diterima oleh orang-orang dalam sistem sosial itu, dimana norma itu ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis; (5) Sanksi, yaitu sitem pemberian penghargaan atau hukuman yang berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan seseorang, dimana sanksi ini selalu ada hubungan dengan norma; (6) Kedudukan dan peranan, yaitu kedudukan dan peranan yang jelas dari anggota dalam sistem sosial; (7) Kekuasaan/pengaruh, yaitu adanya struktur kekuasaan yang jelas, sehingga ada struktur kewenangan yang jelas pula; (8) Stratifikasi sosial, yaitu lapisan-lapisan sosial yang ada dalam masyarakat dan (9) Fasilitas, yaitu segala macam alat dan wahana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, baik perangkat keras (hard ware) dan perangkat lunak berupa peraturan/perundang-undangan, dan lain-lain (soft ware).

Selain sembilan unsur tersebut, Betrand (1974) menambahkan satu unsur lagi yaitu “stres and strain.” Stress dan strain yaitu, tegangan yang timbul di dalam sistem sosial yang berguna untuk menimbulkan penguatan atau persatuan diantara anggota sistem.


(36)

Perubahan dalam Sistem Sosial

Perubahan dalam sistem sosial dapat menuju ke arah yang positif dan negatif. Berbagai tipe perubahan sistem menurut Havelock dan Huberman (1977) adalah sebagi berikut:

(1) Perubahan terjadi sebagai akibat datangnya masukan baru, berupa informasi, ide atau teknologi baru.

(2) Perubahan yang disebabkan karena kegagalan sistem dalam mencapai ke-seimbangan.

(3) Perubahan dalam rangka proses mencari bentuk baru sebagai sistem secara keseluruhan.

(4) Perubahan karena sistem lama telah lapuk, sebagai akibat erosi kebudayaan. (5) Perubahan yang terjadi karena pengaruh penggunaan barang-barang impor. (6) Perubahan yang terjadi karena fusi dengan sistem sosial lain.

(7) Perubahan yang terjadi karena adanya ide baru yang bertujuan menyem-purnakan sistem, atau dalam rangka menciptakan sistem baru yang lebih sempurna.

Dalam perubahan sistem sosial, dapat terjadi hambatan-hambatan yang memperlambat terjadi perubahan. Bennis, et al (1969) menyebutkan dua faktor penghambat terhadap perubahan dalam sistem sosial, pertama adalah hambatan pribadi dan kedua adalah hambatan dalam sistem sosial itu sendiri. Hambat-an pribadi meliputi:

(1) Homeostatis, yaitu sifat pribadi yang ingin tetap seperti pada keadaan semula. (2) Kebiasaan atau adat yang tidak menginginkan perubahan.

(3) Persepsi anggota sistem sosial yang masih rendah. (4) Sifat ketergantungan pada seseorang.

(5) Sifat super ego, yaitu dirinya merasa sudah menguasai dan merasa tahu, sehingga tidak bersedia menerima pengetahuan yang datang dari luar.

(6) Sifat regresi, yaitu tidak mau memandang ke depan, justeru mengagung-agungkan masa lampau.

Hambatan-hambatan dalam sistem sosial, meliputi:

(1) Tidak mau menerima ide perubahan karena keterikatannya pada norma sosial. (2) Sifat yang melekat pada sistem budaya yang berlaku (systemic cultural

cohe-rence).

(3) Orang-orang dalam sistem sosial yang vested interest.


(37)

(4) Menganggap tabu bila meninggalkan adat/tradisi.

(5) Sifat sistem sosial yang tertutup, yang tidak mau menerima masukan baru dari luar.

Menurut Havelock dan Huberman (1977), ada tujuh faktor penghambat perubahan dalam sistem sosial, yaitu:

(1) Hambatan geografis. Hambatan ini misalnya terjadi pada daerah terpencil, dengan sarana transportasi yang sulit, sehingga penyampaian informasi terganggu. Demikian pula terjadi kelambatan dalam penyampaian bahan-bahan yang diperlukan bagi inovasi.

(2) Hambatan historis. Misalnya, sistem pendidikan kolonial yang tidak tepat dalam menyediakan tenaga kerja yang terampil. Sistem kelembagaan kema-syarakatan yang didominasi kelompok elit yang telah berlangsung lama. (3) Hambatan ekonomis. Hambatan ini berupa kurang dimilikinya dana dan

modal yang diperlukan bagi inovasi atau ide baru untuk perubahan.

(4) Hambatan dalam prosedur. Hambatan ini berupa tiadanya koordinasi yang mapan antar pemegang peranan atau lembaga maupun aparat yang akan melaksanakan perubahan. Sebagai akibatnya, bahan-bahan atau pekerjaan bagi pembangunan tidak selesai pada waktunya.

(5) Hambatan personal. Hambatan ini tidak tersedianya tenaga-tenaga ahli dan terampil serta memiliki dedikasi tinggi yang diperlukan dalam pemba-ngunan.

(6) Hambatan sosio-kultural. Misalnya, terdapat pertentangan ideologi, per-tentangan kelas-kelas dalam masyarakat, perasaan menyerah pada nasib, serta sifat-sifat tradisi masyarakat yang ingin mempertahankan kebiasaannya.

(7) Hambatan politik. Misalnya, kurang terjalinnya komunikasi yang baik antara pemimpin-pemimpin politik, antara pemimpin politik dengan peguasa nega-ra, cara pengambilan keputusan yang terlalu terpusat, kurang kesempatan berpartisipasi, padahal masyarakat menghendaki diikut sertakan dalam proses pengambilan keputusan. Juga hambatan-hambatan karena kurangnya dukungan penguasa formal dalam gerakan masyarakat setempat.


(38)

Masyarakat Petani sebagai Suatu Sistem Sosial

Petani berta keluarganya umunya tinggal di pedesaan atau di pinggiran kota. Petani dan lingkungan tempat tinggalnya adalah suatu sistem sosial. Sistem sosial tersusun dari sejumlah unsur yang mengatur tata kehidupan sistem yang bersangkutan. Masyarakat desa, merupakan kehidupan bersama dan mendiami suatu wilayah tertentu, juga memiliki sejumlah unsur sistem sosial. Unsur-unsur itulah yang mengatur pola hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain, yang membangun struktur, yang mengatur pembagian tugas, yang membagi peranan, yang menentukan sanksi sosial dan sebagainya.

Menurut Sanders (1958), masyarakat desa (yang di dalamnya ada petani) dapat dipandang sebagai tempat pemukiman bersama (community as settlement). Sebagai pemukiman bersama, masyarakat terdiri dari sejumlah penduduk, terdiri dari berbagai macam bentuk pekerjaan dan layanan sosial, memiliki jaringan komunikasi tertentu, memiliki tradisi dan sistem nilai tersendiri, memiliki lapisan atau struktur, memiliki kelompok-kelompok sosial sebagai wadah mengekspresikan kehendaknya, merupakan wadah untuk mengadakan interaksi satu sama lain, memiliki sistem dan mekanisme kontrol yang akan mengatur perilaku anggotanya dan masyarakat terserbut selalu terjadi perubahan sosial.

Sanders (1958) juga mengemukakan bahwa masyarakat (termasuk petani) dalam kegiatannya, disamping dilandasi oleh ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat ditandai oleh adanya usaha untuk kaderisasi, proses sosialisasi, alokasi dari sesuatu yang dianggap berharga (prestige), mobilitas sosial, integrasi dari perilaku melalui proses penyesuaian (pembudayaan) dan adanya kepemimpinan yang akan mengatur dan mengorganisasi semua kegiatan.

Menurut Sanders (1958), masyarakat sebagai suatu sistem sosial terdiri dari sub-sub sistem. Sub-sub sistem masyarakat pedesaan terdiri dari sub sistem : (1) Kehidupan keluarga, (2) Pemerintahan, (3) Ekonomi, (4) Agama dan (5) Pendidikan. Sub-subsistem tersebut dalam keseluruhan sistem saling


(39)

bungan dan saling pengaruh mempengaruhi. Hubungan saling pengaruh antar sub sistem tersebut digambarkan Sander seperti terlihat pada Gambar 2.

Pengaruh Kepemimpinan dalam Sistem Sosial

Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi oleh pimpinan agar anggota mau mengikuti pengarahannya (Slamet, 2004). Pengaruh kepemimpinan merupakan tingkat kekuatan yang melekat pada diri seorang pemimpin. Orang yang memiliki kepemimpinan yang kuat, akan memiliki pengaruh yang lebih besar pula. Hammer dan Organ (1978), menyebutkan bahwa pengaruh kepe-mimpinan bersumber kepada: (1) Otoritas, (2) Keahlian/kecakapan (expertise) dan (3) Sifat kesetiakawanan (friendship).

Ekonomi Agama

Pemerintahan

Keluarga Pendidikan

Kelas

Keterangan Gambar:

Menurut Gambar tersebut, sebelah kanan terdapat “Kelas” dengan 5 anak panah dua ujung. Artinya, bahwa kelas-kelas atau lapisan dalam masyarakat melintasi kelima komponen yang lain. Dalam gambar lintasan tersebut tidak diperlihatkan secara jelas, untuk menghindari keruwetan gambar.

Gambar 2. Saling Hubungan antar Sub Sistem dari Sistem Sosial Masyarakat Pedesaan (Sanders, 1958)

Dalam hubungannya dengan usaha penyebaran inovasi dan peranan pe-mimpin dalam pembangunan pertanian dalam suatu sistem sosial, Havelock


(40)

(1971) dan Rogers & Shoemaker (1971) mengemukakan sejumlah peranan pe-mimpin masyarakat, yaitu:

(1) Merangsang dan mengajak para pengikutnya untuk mencari, menyebar dan mengadopsi inovasi.

(2) Mengarahkan pengikutnya untuk melakukan kontak dengan unit sistem sosial yang lain yang lebih maju.

(3) Mengatur suasana dan iklim dalam sistem, sehingga terjadi hubungan yang harmonis antar anggota.

(4) Membangun dan membagi peranan di dalam sistem, sehingga setiap anggota mengetahui dan menyadari tugasnya masing-masing.

(5) Mempengaruhi dan mengajak pengikutnya untuk menghargai dan meman-faatkan setiap ide baru yang datang dari luar.

(6) Menciptakan suatu struktur di dalam sistem sosial yang memungkinkan ada-nya hubungan yang saling memotivasi, sehingga terjadi hubungan saling pengaruh mempengaruhi yang bermanfaat dan saling menguntungkan (social learning interaction).

Konsep-konsep Pemberdayaan Pengertian Pemberdayaan

Menurut Hikmat (2001), pada awal gerakannya konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masya-rakat. Proses pemberdayaan hakekatnya dapat dipandang sebagai depowerment

dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme). Doktrin dari konsep ini sama dengan aliran fenomologi, ekstensialisme dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada proses dehumanisasi eksistensi manusia.

Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan. Pranarka, 1996), pema-haman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkem-bangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Perlu upaya mengakul-turasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Selanjutnya, dijelaskan pula oleh Pranarka dan Moeljarto,


(41)

empowerment hanya akan mempunyai arti kalau proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari kebudayaan, yaitu aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan bukan sebaliknya menjadi hal yang destruktif bagi proses aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia. Dalam menghadapi era globalisasi dan demokratisasi, sumberdaya manusia perlu dipersiapkan agar mampu menghadapi tantangan masa depan.

Apa pengertian pemberdayaan? Pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata empower (memberdayakan). Menurut Merriam Webster dan Oxford

English Dictionery (Prijono dan Pranarka, 1996), kata “empower” mengandung

dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to dan pengertian kedua berarti to give ability to or enable. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

Menurut Pranarka dan Moeljarto (Prijono dan Pranarka, 1996), berda-sarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecen-derungan: (1) Proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberi-kan atau mengalihmemberi-kan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Menurut Oakley & Marsden (1984), proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecen-derungan atau proses yang pertama tadi dapat disebut sebagai kecenKecen-derungan primer dari makna pemberdayaan, dan (2) Kecenderungan sekunder mene-kankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan primer harus didahului kecenderungan sekunder. Kecenderungan yang kedua ini dalam proses pengembangan idenya banyak dipengaruhi oleh karya Paulo Freire.

Menurut Padmowihardjo (2005), makna sebenarnya dari pemberdayaan adalah “to give official authority or legal power, capacity, to make one able to do

something.” Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu

pro-ses kapasitasi atau pengembangan kapasitas sumberdaya manusia. Dengan kapa-sitasi seseorang akan memiliki kekuatan (daya) atau kewenangan yang diakui


(42)

secara official atau legal sehingga orang tersebut tidak termarginalisasi, melainkan sadar akan harga dirinya, harkatnya dan martabatnya.

Robinson (1994) memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemu-kakan bahwa:

"Empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action; to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specifically the power to act and grow, to become, in Paolo Freire’s terms, “more fully human.”

Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan, pada intinya ditujukan untuk:

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power and by

transferring power from the environment to clients”.(membantu klien

memperoleh daya)

Shardlow (1998) mengemukakan bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan meng-usahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka (such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own

lives and having the power to shape their own future).

Menurut Ife (1995) tentang pemberdayaan mengemukakan bahwa:

“Empowerment means providing people with the resource, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine their own future and participate in and affect the life of their community.”

Ife (1995), menambahkan bahwa “empowerment aims to increase the

power of the disadvantaged.” Chambers (1987) menambahkan, bahwa konsep

pemberdayaan masyarakat memiliki tiga sifat utama, yaitu: berpusat pada manu-sia, partisipatoris dan berkelanjutan.

Menurut Slamet (2003), pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sua-tu usaha membuat masyarakat mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.


(43)

Syarat Pemberdayaan

Sajogyo (1999) mengemukakan bahwa untuk merangsang lahirnya gerak-an masyarakat ygerak-ang bermula pada komunitas lokal, ada sejumlah syarat ygerak-ang harus dipenuhi. Tiga syarat tersebut adalah:

(1) Restrukturisasi kelembagaan dasar komunitas. Tatanan dasar yang mengatur kehidupan komunitas desa perlu direorientasi (UU Politik dan Pemerintahan) dari pola yang feodalistik dan kolonial (pemerintahan yang kuat dan pater-nalistik) ke pola yang lebih partisipatif (masyarakat yang proaktif).

(2) Meninjau kembali segala kebijakan yang memperlemah kreatifitas masya-rakat dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih memihak pada upaya peningkatan kreatifitas masyarakat untuk memperbaiki nasib sendiri.

(3) Pendekatan top-down harus segera diganti dengan pendekatan bottom-up,

yang tercermin dari mekanisme pengambilan keputusan dan penye-lenggaraan program. Istilah program pengembangan masyarakat desa seha-rusnya tidak lagi berkonotasi program masuk masyarakat, melainkan pro-gram dari masyarakat.

Visi Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Sajogyo (1999), pembangunan haruslah memiliki visi mem-berdayakan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Sebab se-panjang jaman, keswadayaan merupakan sumberdaya kehidupan yang abadi dengan manusia yang menjadi intinya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengem-bangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya di tengah masyarakat lain. Pemberdayaan hanya bisa tercapai melalui sikap intristik “memanusiakan manusia“ melalui penggalian dan penghargaan pada nilai-nilai luhur kema-nusiaan dan melalui pengembangan prakarsa dan partisipasi masyarakat menolong diri sendiri untuk “berdiri di atas kaki sendiri.” Pemberdayaan merupakan proses belajar yang produktif dan reproduktif. Produktif dalam pengertian mampu mendayagunakan potensi diri dan lingkungan dan kerjasama untuk memperoleh kemanfaatan materil dan immateril bagi masyarakat pada suatu jangka waktu tertentu. Reproduktif, dalam pengertian mampu mewariskan nilai-nilai kearifan.


(1)

pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Faktor-faktor ini seharusnya juga ditingkatkan untuk lebih meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis.

Faktor -faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis

Pada petani keseluruhan, hasil analisis koefisien jalur besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung peubah bebas terhadap peubah terikat pada model pemberdayaan petani untuk pemenuhan kebutuhan petani beragribisnis disajikan pada Tabel 27 dan Gambar 9. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ternyata faktor pendidikan non formal; nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi agribisnis oleh pemerintah dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani dan sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Artinya, akses petani terhadap pendidikan non formal, dukungan sistem sosial yaitu nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi agribisnis oleh lembaga pemerintah dan fasilitasi agrbisnis oleh lembaga swasta, akan lebih berperan dalam pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis apabila didukung oleh kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani. Dengan kata lain, kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani apabila didukung oleh peningkatan akses petani terhadap pendidikan non formal; nilai-nilai sosial budaya, fasilitasi agribisnis oleh pemerintah, dan fasilitasi agribisnis oleh lembaga swasta akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Hal ini memberikan implikasi bahwa untuk pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis harus didukung oleh kinerja prima penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani; akses petani terhadap pendidikan non formal yang tinggi (petani akses untuk meraih pengetahuan, keterampilan dan sikap positif), dan koordinasi yang baik antara kelembagaan penyuluhan dengan dinas terkait dan pihak swasta dalam memfasilitasi agribisnis; serta memperhatikan dan memanfaatkan nilai-nilai sosial budaya setempat. Memperhatikan atau memanfaatkan nilai-nilai budaya ini misalnya, budaya gotong royong dalam batobo, bisa dimanfaatkan untuk kegiatan agribisnis yang lain.


(2)

0,07*

0,09* 0,08*

0,21**

0,10*

0,11** 0,08**

0,15** 0,27**

0,30* Kompetensi Penyuluh

Membelajarkan Petani X33

Kompetensi Penyuluh Berkomunikasi X32

0,19** Kompetensi Interaksi Sosial

Penyuluh X34

Nilai-nilai Sosial

0,21**

R2 =0,82 R2 =0,75

Gambar 9. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pemberdayaan Petani untuk Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani

Beragribisnis (pada Petani Keseluruhan) di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

KINERJA PENYULUH PERTANIAN MEMBERDA-YAKAN PETANI X4

PEMENUHAN KEBUTUHAN PENGEMBAN GAN KAPA-SITAS PETANI BERAGRIBIS-NIS Y1

Fasilitasi Agribisnis oleh Lembaga Pemerintah X24

0,07* Pendidikan InFormal X13

FasilitasiAgribisnis oleh Lembaga swasta. X25

Keterangan:

** = Analisis Jalur signifikan pada taraf 5 persen * = Analisis Jalur signifikan pada taraf 10 persen

Pendidikan Formal Petani X12

Pendidikan Non Formal Petani X12

0,14**

Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dalam Memberdayakan Petani yang Berpengaruh Langsung terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis

Uji regresi berganda aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian yang berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis pada petani keseluruhan dan pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda (petani tanaman pangan; kelapa sawit; karet; ikan dan ternak) disajikan pada Tabel 28. Hasil uji analisis regresi berganda ini adalah untuk


(3)

menguji Hipotesis 3 yaitu: "Aspek-aspek kinerja penyuluh petanian member-dayakan petani yaitu: pengembangan perilaku inovatif petani; penguatan tingkat partisipasi dan kemampuan managerial petani; penguatan kelembagaan petani; penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya; penguatan kemampuan petani berjaringan dan kaderisasi berpengaruh secara signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis." Ternyata Hipotesis 3 tersebut tidak terbukti (ditolak) pada petani keseluruhan, tetapi diterima untuk faktor-faktor tertentu (aspek-aspek yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis). Faktor-faktor yang diterima pada Hipotesis 3 tersebut untuk petani keseluruhan adalah: (1) Pengembangan perilaku inovatif petani, (2) Penguatan tingkat partisipasi petani; (3) Penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 28), ternyata untuk seluruh petani (petani tanaman pangan, petani kelapa sawit, petani karet, petani ikan dan petani ternak), aspek-aspek kinerja penyuluh petanian yang utama mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis adalah: (1) Pengembangan perilaku inovatif petani, dan (2) Penguatan tingkat partisipasi petani. Selain faktor tersebut, faktor spesifik untuk petani tanaman pangan, karet dan ikan, adalah faktor: penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya. Pada petani kelapa sawit dan ternak faktor spesifik yang berpengaruh adalah: penguatan kemampuan petani berjaringan.

Hasil penelitian ini memberikan implikasi bahwa aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian yang berpengaruh terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis untuk petani keseluruhan dan secara spesifik pada petani dengan komoditi unggulan yang berbeda, dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara sebagai berikut:

(1) Pada petani keseluruhan: meningkatkan aspek kinerja penyuluh pertanian pengembangan perilaku inovatif petani, dan penguatan tingkat partisipasi petani.

(2) Petani tanaman pangan, karet dan ikan: meningkatkan aspek kinerja penguatan akses petani terhadap berbagai sumberdaya

(3) Petani kelapa sawit dan petani ternak: dengan meningkatkan kemampuan petani berjaringan


(4)

Tabel 28. Koefisien Jalur Aspek-aspek Kinerja Penyuluh Pertanian dan Faktor-faktor lain yang Berpengaruh Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani Beragribisnis di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

Pemenuhan Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Petani (Y1) Nama Peubah

Petani Keselu- ruhan (n = 60)

Petani Pangan

(n = 60)

Petani Sawit (n =60)

Petani Karet (n = 60)

Petani Ikan (n = 60)

Petani Ternak (n = 60) Kinerja Penyuluh Pertanian (X4)

X41 Pengembangan

Perilaku Inovatif

Petani 0,11** 0,14** 0,10** 0,11** 0,12** 0,10**

X42 Penguatan

Tingkat Partisipasi Petani

0,09* 0,11** 0,08* 0,09* 0,08* 0,09*

X44 Penguatan Ak-

ses Petani Ter- hadap Berbagai Sumberdaya

0,07* 0,12** - 0, 11** 0,10** -

X44 Penguatan

Kemampuan Petani Berjaringan

- - 0,10** - - 0,11**

Karakteristik petani (X1) X12 Pendidikan

Formal Petani 0,10** - 0,17** - 0,17** 0,14**

X13 Pendidikan

Non Formal Petani

0,18** 0,19** 0,18** 0,14** 0,19** 0,18**

X14 Pendidikan

Informal Petani

0,11** 0,18** - 0,28** 0,10* -

Karakteristik Sistem Sosial (X2) X21 Nilai-nilai

Sosial Budaya 0,09* 0,10** 0,09* 0,14** 0,12** -

X24 Fasilitasi

Agribisnis oleh Pemerintah

0,10** 0,12** 0,08* 0,11** 0,12** 0,10**

X25 Fasilitasi

Agribisnis oleh Swasta

0, 09* - 0,20** - - 0,25**

R2 0,82 0,82 0,83 0,87 0,82 0,83

Keterangan:

** = signifikan pada taraf 5 persen * = signifikan pada taraf 10 persen


(5)

Kinerja penyuluh pertanian dalam meningkatkan tingkat partisipasi berpengaruh lemah terhadap pemenuhan kebutuhan pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Hal ini disebabkan karena upaya peningkatan tingkat partisipasi petani yang dilakukan penyuluh masih bersifat top down. Melibatkan petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian lebih banyak mengikuti petunjuk yang sudah ada ketentuan dari pemerintah untuk kepentingan ”terlaksanyanya” program dari pada untuk kepentingan atau kebutuhan petani. Program dan rencana kerja penyuluhan pertanian disusun penyuluh kurang melibatkan petani. Akibatnya, petani berpartisipasi lebih banyak karena ikut-ikutan atau bersifat sesaat dan insidentil, selama ada kegiatan dari pemerintah. Petani berpartisipasi tidak dibangun berdasarkan kemauan yang lahir dari petani, sehingga partisipasi itu bersifat semu. Partisipasi yang ikut-ikutan seperti ini lebih banyak hanya menghabiskan waktu petani, sehingga tidak berhasil memenuhi pengembangan kapasitas petani beragribisnis. Berikut ini disajikan hasil wawancara mendalam dengan seorang petani tanaman pangan.

Penyuluh pertanian dalam membuat membuat perencanaan kegiatan penyuluhan tidak musyawarah dengan kami petani. Tiba-tiba sudah ada aja perencanaan dari penyuluh tersebut. Misalnya, kegiatan demplot. Penyuluh tersebut yang

menentukan jenis tanaman, tempat demplot dilakukan. Sepertinya, penyuluh lebih mementingkan asal terlaksanya suatu kegiatan dari pada manfaatnya untuk petani.

Kineja penyuluh penguatan akses petani ke berbagai sumbrdaya adalah upaya-upaya yang dilakukan penyuluh dan kelembagaan penyuluh memfasilitasi petani agar mereka mampu akses terhadap berbagai sumberdaya, misalnya kebutuhan petani akan informasi teknologi yang menguntungkan (secara teknis, secara ekonomi dan sosial). Pada petani kelapa sawit dan ternak, kinerja penyuluh memperkuat kemampuan berjaringan petani adalah memfasilitasi agar petani mampu melakukan kerjasama horizontal, maupu vertikal. Misalnya meningkatkan kemampuan berjaringan petani dengan lembaga pemasaran, lembaga pengolah hasil pertanian, lembaga penelitian, dsb.


(6)

Aspek-aspek lain dari kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani, yaitu: penguatan kelembagaan petani; penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya; penguatan kemampuan berjaringan dan kaderisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan peningkatan kapasitas petani beragribisnis. Penyuluh belum melakukan kinerja dari aspek-aspek tersebut secara baik, terbukti aspek-aspek kinerja tersebut kategori “rendah”. Aspek-aspek tersebut seharusnya ditingkatkan juga oleh penyuluh pertanian.

Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis

Tingkat kemandirian petani beragribisnis disajikan pada Tabel 44. Pada Tabel ini, terlihat bahwa tingkat kemandirian petani secara keseluruhan (petani tanaman pangan, kelapa sawit, karet, ikan dan ternak) berada pada kategori “rendah.”

Tabel 29. Tingkat Kemandirian Petani Beragribisnis (Y2) di Kabupaten

Kampar, Provinsi Riau (Skor Rataan)

Variabel

Petani Keselu-ruhan (n =300)

Petani Tanaman Pangan (n = 60)

Petani Kelapa Sawit (n = 60)

Petani Karet (n = 60)

Petani Ikan (n =60)

Petani Ternak (n =60) Y2 Tingkat

Kemandirian Beragribisnis

64 64 64 62 66 64 Y21 Intelektualitas

Beragribisnis 65 65 64 63 66 65

Y22 Sikap Mental

Beragribisnis 65 65 65 63 67 66

Y23 Manajemen

Agribisnis 63 63 63 62 65 64

Y24 Sosial 64 64 63 62 65 64

Y25 Materil 64 64 67 62 65 64

Y26 Pengembangan

Diri 64 63 63 62 65 64

Keterangan: Kategori penilaian: 0 - ≤49 = sangat rendah; 50 - 69 = rendah; ≤ 70 – 85 = tinggi dan 85 – ≤ ≤100 = sangat tinggi