Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran: pengembangan model penyediaan informasi pertanian dalam pemberdayaan petani, kasus di provinsi Jawa Barat

(1)

Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian

dalam

Pemberdayaan

Petani,

Kasus di Provinsi Jawa Barat

MARIATI TAMBA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pembangunan Pertanian

Jangka Panjang

Pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, ternyata telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa tidak seorangpun dapat memungkiri sektor pertanian berperan sebagai fundamen yang tangguh dalam sistem perekonomian nasional. Paradigma pembangunan sektor pertanian yang hingga tahun 2000 cenderung berorientasi pada pertumbuhan produksi, mengalami perubahan ke paradigma “terwujudnya sistem pertanian berkelanjuan yang berdaya saing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”. Paradigma ini merupakan visi pembangunan pertanian jangka panjang (2005-2025) dengan landasan utama adalah “Revitalisasi Pertanian”.

Pencanangan revitalisasi pertanian oleh pemerintah yang menempatkan kembali (reposisi) arti penting sektor pertanian sebagai salah satu sektor strategis dalam tata perekonomian dan pembangunan nasional, merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan dalam menata kembali strategi dan kebijakan pembangunan pertanian nasional. Tantangan pembangunan pertanian nasional adalah, kenyataan bahwa sektor pertanian didominasi oleh: usaha kecil, berlahan sempit, bermodal rendah, produkstivitas rendah, dan daya saing produk yang lemah serta kualitas sumber daya manusia pertanian yang rendah.

Pembangunan pertanian ke depan harus dapat mengeliminasi tantangan-tantangan tersebut. Dari banyak pemikiran yang berkembang, pada prinsipnya pembangunan pertanian perlu mengubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitas dengan mengembangkan cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter, yaitu: unggul, lebih baik, lebih bercitra, dan dengan input yang sedikit (Pakpahan dkk, 2005). Hanya dengan strategi inilah pertanian Indonesia mampu bersaing dalam pasar global.

Revitalisasi pertanian menggunakan tiga jalur pembangunan yang berasaskan kepada: (1) mendorong laju investasi, (2) terciptanya lapangan kerja


(3)

bagi jutaan penganggur, dan (3) mengentaskan kemiskinan. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian mengandung arti, sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (Anonim, 2005).

Program dalam revitalisasi pertanian, bukan dimaksudkan membangun pertanian dengan cara-cara yang sentralistik, bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi merupakan upaya menggalang komitmen dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Melalui pendekatan ini, diharapkan akan dicapai perubahan paradigma pola pikir masyarakat yang sebelumnya melihat pertanian sekedar bercocok tanam menjadi pertanian yang memiliki multifungsi. Sesuai dengan semangat revitalisasi, kebijakan yang digulirkan meliputi: (1) pendayagunaan sumber daya lahan pertanian, (2) revitalisasi penyuluhan pertanian, (3) pembiayaan pertanian, (4) pengembangan ekspor produk pertanian, (5) peningkatan ketahanan pangan, (6) akselerasi inovasi dan penerapan teknologi pertanian, dan (7) pengembangan produk baru pertanian.

Dalam revitalisasi pertanian, kebijakan dan strategi disusun secara integratif, baik kebijakan di dalam pertanian maupun kebijakan untuk pertanian di sektor/bidang lain, yaitu dengan memadukan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan kegiatan operasional jangka pendek, serta memadukan kebijakan yang mempengaruhi pasar (harga, perdagangan) dan kebijakan yang melakukan peningkatan kondisi struktural (infrastruktur, teknologi), serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan aspek kelembagaan. Terkait dengan revitalisasi pertanian, ada tiga program utama pembangu-nan pertanian 2005-2009, yaitu: (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program pengembangan agribisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Menyimak program


(4)

pembangunan pertanian 2005-2009 yang dilandasi dengan semangat revitalisasi pertanian, seakan-akan “melakukan semangat baru” dalam kehidupan petani.

Program revitalisasi pertanian ini sangat relevan, mengingat sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam kondisi yang masih sangat memprihatinkan. Kondisi mereka selama ini sering terjepit antara dua sisi yaitu: (1) lemahnya kondisi internal dari petani itu sendiri dan (2) lemahnya perhatian dan tanggung jawab pemerintah serta lembaga lain pendukung pembangunan pertanian. Dalam kondisi seperti inilah, petani bersifat pasrah dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Jadi penyebab kemelaratan petani sebenarnya bukan semata-mata karena petani tidak mau berubah, tapi kondisi yang tidak kondusiflah yang membuat mereka sulit untuk berubah.

Dalam menggerakkan sumber daya lokal untuk mempertinggi pencapaian kesejahteraan petani, dapat dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia petani, antara lain kegiatan penyuluhan yang dapat memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi petani dan membantu dalam memecahkan masalah usahataninya serta pembentukan kelompok-kelompok swadaya. Kebijakan pembangunan pertanian, diharapkan harus mampu mengatasi kelemahan ataupun hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan usahataninya agar dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Para petani sayuran dalam pembangunan pertanian selama ini, sedikit terabaikan padahal kontribusi mereka sangat besar dalam memenuhi kebutuhan produk pertanian dalam negeri. Oleh sebab itu, pemberda-yaan untuk mengoptimalkan sumber daya mereka dapat diupayakan agar dapat hidup sejahtera dan bermartabat.

Pembangunan pertanian subsektor hortikultura (termasuk sayuran) ke depan, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih mendasar, bersifat desentralistik, menyeluruh, dan terintegrasi dengan menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai orientasi utama dan tujuan akhir. Selain itu, pemberdayaan petani sayuran juga memerlukan suatu strategi dan model yang adaptif dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk membantu petani mengembangkan usahatani sayurannya dalam rangka mengimplementasikan suatu kebijakan pembangunan pertanian. Kebijakan tersebut sudah sejalan dengan konsep pembangunan menurut


(5)

Mosher (1983), yang mengemukakan tiga struktur yang harus dilihat dalam membangun pertanian progresif yaitu: (1) menyangkut masalah usahatani itu sendiri yang terkait dengan semua komponen produksi pertanian, (2) menyangkut masalah kegiatan yang mendukung pertanian yang terkait dengan aktivitas industri dan komersialisasi yang mendukung pembangunan pertanian, (3) menyangkut masalah “aturan main” yang harus dilaksanakan, termasuk masalah nilai-nilai sosial dan politik serta kebijakan di bidang pertanian, sehingga tercipta suatu iklim yang kondusif bagi pembangunan pertanian. Ketiga struktur tersebut harus saling mendukung untuk terjadinya pembangunan pertanian progresif. Selanjutnya, Mosher mengemukakan bahwa untuk membangun pertanian yang progresif, membutuhkan perubahan perilaku dalam bidang pertanian pada seluruh struktur ini (petani, pelaku usaha atau swasta, dan pemerintah). Jadi, perubahan perilaku mencakup, baik faktor internal (petani itu sendiri) maupun faktor eksternal (di luar petani).

Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mendukung revitalisasi pertanian adalah, revitalisasi penyuluhan pertanian sebagai upaya pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar petani tahu, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya untuk bekerja sama, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Program revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan mampu menjawab secara tepat permasalahan yang dihadapi sistem penyuluhan selama ini.

Kebijakan Penyuluhan Pertanian dalam UU NO. 16 Tahun 2006

Penyuluhan pertanian di Indonesia dimulai tahun 1905, dalam perjalanan waktu, kegiatan penyuluhan mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan yang diberlakukan dan komitmen pemerintah. Sebelum penerapan otonomi daerah, kegiatan penyuluhan pertanian telah didesentralisasi dan menjadi kewenangan pemerintah daerah, namun beberapa hal yang strategis masih dibantu secara khusus oleh pemerintah pusat, antara lain: pengangkatan penyuluh, dana operasional penyuluhan, pengembangan metodologi penyuluhan dan teknologi terkini, dan beberapa sarana strategis lainya. Kondisi ini tidak berlanjut dan tidak


(6)

diperkuat dengan diberlakukannya otonomi daerah, sehingga timbul permasalahan karena perhatian pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berbeda antar daerah dengan kecenderungan berkurang dibanding sebelumnya ketika ditangani langsung oleh pemerintah pusat (sentralisasi).

Dalam era otonomi daerah, para penyelenggara penyuluhan pertanian melakukan kegiatan penyuluhan dengan persepsi, pendekatan dan sistem yang berbeda-beda, tidak terintegrasi karena tidak berdasarkan pada filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan. Hal demikian menjadikan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak efisien dan efektif, sehingga tidak mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Akhirnya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak dapat memberikan dukungan terhadap tercapainya pembangunan pertanian, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.

Berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan pembangunan pertanian berkelanjuan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut, sistem penyuluhan perlu direvitalisasi sejalan dengan telah dicanangkannya revitalisasi pertanian oleh Presiden RI pada tahun 2005. Revitalisasi pertanian tidak akan berjalan lancar apabila tidak didukung dengan sistem penyuluhan pertanian. Semangat revitalisasi penyuluhan pertanian ini sudah diakomodasikan oleh pemerintah dengan ditetapkannya UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 15 November 2006 (selanjutnya disebut UU No.16), sebagai dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, mengingat selama ini pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan topik penelitian ini, ada beberapa hal dalam pasal-pasal UU No.16 ini yang dianggap penulis dapat mendukung hasil penelitian ini, yaitu: (1) Sistem penyuluhan, merupakan seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,


(7)

(2) Penyuluhan pertanian, merupakan proses pembelajaran bagi petani agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, (3) Tujuan pengaturan sistem penyuluhan, meliputi pengembangan sumber daya

manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu memberdayakan petani dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan, serta fasilitasi,

(4) Fungsi sistem penyuluhan, antara lain: (a) mengupayakan kemudahan akses petani ke sumber informasi pasar, teknologi permodalan, dan sumber daya lainnya, (b) membantu menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola usahataninya,

(5) Kelembagaan penyuluhan pemerintah, yang menangani penyelenggaraan penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa/ kelurahan,

(6) Kelembagaan penyuluhan non pemerintah (Komisi Penyuluhan), untuk membantu Menteri Pertanian dalam menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten,

(7) Balai Penyuluhan (pada tingkat kecamatan), mempunyai tugas antara lain: menyebarkan informasi pasar, teknologi, sarana produksi, permodalan, dan sumber daya lainnya,

(8) Program penyuluhan desa/kelurahan, mempunyai tugas antara lain: (a) menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya, (b) memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan, dan pelatihan bagi petani,

(9) Kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau swadaya, mempunyai tugas antara lain: (a) membentuk forum, jaringan, dan kelembagaan petani, (b) menyampaikan informasidan teknologi usaha kepada petani,

(10) Kelembagaan petani (beranggotakan petani), baik formal maupun non formal dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi, (11) Penyuluhan dilakukan oleh tenaga penyuluh, terdiri atas: penyuluh PNS,


(8)

(12) Pemerintah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS, melalui pendidikan dan pelatihan serta memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya,

(13) Materi penyuluhan: (a) dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan petani dan (b) berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan,

(14) Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai.

Penetapan UU No.16 sebagai “payung hukum” bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, sudah tepat seiring dengan dinamika perubahan global yang menuntut keterbukaan dan kebebasan mendapatkan informasi serta perubahan sistem pemerintahan yang semula terpusat menjadi terdesentralisasi. Dengan demikian, sistem penyuluhan pertanian ke depan diharapkan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan akan perubahan-perubahan pada masa yang akan datang. Keberadaan UU No.16, dapat kita pahami sebagai niat baik dan keberpihakan pemerintah terhadap upaya percepatan pemberdayaan petani.

Penyuluhan pertanian ke depan adalah, bagian integral dari pemberdayaan dan pemartabatan petani, artinya pendekatan yang dilakukan tetap berpijak pada “pendekatan kemanusiaan”. Petani harus dipandang sebagai subyek, mereka mutlak dijadikan mitra dialog dalam merumuskan materi penyuluhan dalam sebuah programa penyuluhan, termasuk menyediakan informasi pertanian yang dibutuhkan dan memberikan kemudahan untuk memperoleh informasi (akses ke sumber informasi). Dengan adanya UU ini, diharapkan dapat merevitalisasi penyelenggaraan penyuluhan secara nasional yang dulu dianggap berhasil dalam khasanah pembangunan pertanian nasional melalui pencapaian swasembada beras pada tahun 1984.

Eksistensi Petani dalam Pembangunan Pertanian

Menurut Mosher (1966), petani adalah orang yang mengubah tanam-tanaman dan hewan serta sifat-sifat tubuh tanah supaya lebih berguna baginya dan


(9)

manusia lainnya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa petani sebagai orang yang menjalankan usahatani, di samping sebagai juru tani sekaligus juga pengelola (manajer) nya. Menurut Soejitno (1968), batasan pengertian tentang petani adalah, sebagai penduduk atau orang-orang yang untuk sementara atau secara tetap memiliki dan atau menguasai sebidang ”tanah pertanian” dan mengerjakannya sendiri, baik dengan tenaganya sendiri (beserta keluarganya) maupun dengan menggunakan tenaga orang lain atau orang upahan. Termasuk dalam pengertian ”menguasai” di sini, adalah: menyewa, menggarap (penyakap), memaro (bagi hasil), sedangkan buruh tani tak bertanah tidak masuk dalam kategori petani. Dengan demikian, pada dasarnya petani mempunyai eksistensi ganda di dalam kehidupannya sehari-hari, baik petani sebagai manusia, sebagai juru tani maupun selaku manajer dari usahataninya. Sehubungan dengan itu, setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang menjadikan petani sebagai sasaran utamanya harus selalu memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki petani sebagai ciri-ciri pokok yang akan mempengaruhi keberhasilan usaha dan perubahan perilaku yang ingin dicapai melalui kegiatan penyuluhan pertanian tersebut.

Petani sebagai Manusia

Setiap orang termasuk juga petani selalu memiliki rasa, karsa, dan cipta yang memungkinkannya untuk memiliki rasa harga diri yang mendorong untuk berpikir, berkeinginan atau bercita-cita, dan yang menuntutnya untuk selalu berusaha bekerja serta berkreasi, baik guna mempertahankan dan menjamin kelangsungan kehidupannya maupun untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan lahir batin yang dimiliki lebih memuaskan. Berkaitan dengan sifat-sifat ini, dapat dikemukakan beberapa ciri-ciri petani, sebagai berikut:

(1) Petani mempunyai harga diri

Petani sebagai manusia biasa, selalu merasa punya harga diri yang dapat membuatnya merasa bangga atau pantas dihargai oleh lingkungannya sendiri dan oleh orang lain di luar lingkungannya itu.

(2) Petani mempunyai cita-cita

Petani sebagai manusia, juga mempunyai cita-cita untuk dapat hidup lebih baik, mempunyai pendidikan (beserta keluarganya) yang cukup, hidup yang lebih sejahtera, dan lain-lain yang dapat menaikkan harga diri dan


(10)

martabatnya di mata orang lain. Oleh sebab itu, jika timbul masalah atau hambatan dalam penyuluhan sebaiknya jangan menyalahkan petani tetapi hendaklah dicari sebab-sebab keengganan petani tersebut. Pernyataan yang sangat menarik pernah disampaikan oleh Soeharsono (1971), sebagai berikut: “petani itu bukannya tidak mau maju, tetapi mereka memang tidak mau maju menurut cara-cara yang tidak disetujuinya”.

Petani sebagai Juru Tani

Sebagai juru tani, petani pada umumnya melaksanakan kegiatannya berdasarkan pengalaman praktek yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para nenek moyang mereka sebagai suatu ”kebiasaan”. Hidup berdasarkan atas kebiasaan, sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh petani saja tetapi juga oleh golongan masyarakat yang lain, sebab sampai batas-batas tertentu kebiasaan itu sangat berharga karena merupakan sesuatu yang sangat ditaati dan dilaksanakan. Di dalam masyarakat petani, dapat dikemukakan adanya beberapa kebiasaan yang sangat penting artinya bagi pembangunan pertanian yaitu:

(1) Kebiasaan memperhatikan iklim, fluktuasi harga, dan lain-lain yang berkaitan dengan usahataninya. Kebiasaan tersebut adalah, pencerminan dari kejelian hasil pengamatan petani tentang berbagai pengaruh alam di dalam usahataninya yang telah teruji oleh waktu dan rasional. Di samping itu, ketaatan petani dalam mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat, juga merupakan manifestasi dari sikap berhati-hati dan penuh perhitungan untuk tidak terlalu cepat mudah mengikuti informasi teknologi baru yang belum dapat dipastikan memberikan manfaat yang lebih baik,

(2) Kebiasaan bertanya “mengapa”, baik terhadap segala sesuatu yang telah dikerjakan atau dihadapinya sehari-sehari maupun sesuatu yang masih ‘baru”, petani selalu ingin tahu dan bertanya “mengapa”,

(3) Kebiasaan petani melakukan perhitungan-perhitungan kuantitaif. Petani umumnya tidak cukup puas dengan pernyataan kualitatif seperti: subur, baik, luas, tetapi lebih cenderung menilai atau mengukur dengan kuantitatif, dan

(4) Kebiasaan petani untuk selalu mencari alternatif baru yang dianggap atau diharapkan dapat memperbaiki atau menaikkan produksi atau pendapatan


(11)

usahataninya. Kebiasaan seperti itu, terutama terdorong oleh punya rasa harga diri yang tinggi, sehingga petani akan merasakan bangga bila dapat memperoleh kenaikan produksi dan atau pendapatannya dibanding petani tetangganya, teta pi sebaliknya dia akan malu dan iri jika ternyata tanamannya tumbuh lebih kerdil dibanding tetangganya.

Sebaliknya, petani sebagai juru tani juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima bahkan cenderung untuk menolak atau menghambat kelancaran pembangunan seperti:

(1) Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan atau bukan dari kalangan petani seperti mereka. Kebiasaan seperti ini, sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka.

(2) Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau ”dosa” terhadap norma-norma tradisional yang harus dipertahankan atau dihormati serta dijunjung tinggi.

Petani sebagai Manajer Usahatani

Tingginya rasa harga diri di kalangan petani, mereka tidak mau ”digurui” oleh siapapun apalagi dari kalangan yang belum dikenalnya. Sebagai pengelola (manajer), mereka merasa punya tanggung jawab penuh dan ingin dianggap mampu menghadapi tantangannya sendiri. Keterampilan sebagai pengelola, tercakup di dalamnya terutama pengambilan keputusan atau penetapan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada.

Keputusan yang diambil petani sebagai pengelola, antara lain mencakup: menentukan pilihan dari antara berbagai jenis komoditas yang akan ditanam dan pengaturan waktu kerja di antara berbagai tugas, terutama pada saat-saat berbagai pekerjaan itu dilakukan serentak. Sejalan dengan majunya pertanian, para petani harus mengembangkan kemampuannya dalam hal penggunaan sarana produksi,


(12)

penggunaan tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Petani harus menentukan apakah perlu menambah tenaga kerja untuk pekerjaan di lahan usahataninya, berapa banyak hasil produksinya yang digunakan untuk kebutuhan hidup keluarganya dan usahataninya serta kapan dan kepada siapa harus menjual produknya.

Oleh sebab itu, pentingnya petani meningkatkan kemampuannya sebagai pengelola, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya, berusaha membuat usahataninya lebih produktif dengan memperoleh keuntungan yang semakin meningkat.

Konsep Kebutuhan dan Kesadaran akan Kebutuhan

Perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan adalah, apabila kebutuhan tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara fisiologis dengan psikologisnya, sedangkan keinginan, apabila tidak dipenuhi tidak akan menimbulkan ketidakseimbangan pada fisiologis dan psikologisnya (Slamet, 2000). Menurut Goodin (1990), kebutuhan tidaklah selalu bersifat absolut. Kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: prioritas dan kerelatifan. Dalam kaitan dengan prioritas, bila terjadi konflik, pihak yang memiliki otoritas sedapat mungkin berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat, bukannya keinginan masyarakat. Di sini agen pembaruan atau penyuluh harus membantu masyarakat untuk mengenali secara lebih tepat, manakah yang sebenarnya lebih penting untuk komunitas tersebut. Hal ini, sebaiknya dilakukan dengan cara diskusi sehingga terjadi proses pengambilan keputusan oleh masyarakat berdasarkan perkembangan pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri, sehingga bukan karena paksaan atau instruksi dari agen pembaruan.

Komponen berikutnya adalah, kerelatifan dari kebutuhan itu sendiri. Goodin melihat kebutuhan seringkali lebih bersifat relatif daripada absolut (pasti). Contohnya, kebutuhan yang bersifat absolut, melihat bahwa kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan) merupakan kebutuhan yang absolut. Kebutuhan yang bersifat relatif sangat tergantung dengan unsur waktu, tempat, dan lingkungan sosial. Misalnya, kebutuhan akan pakaian pada tempat yang berbeda akan berbeda pula kebutuhannya.


(13)

Dari contoh di atas, terlihat bahwa kebutuhan yang tadinya kelihatan seperti sesuatu yang absolut bila diperdalam lagi akan dapat terlihat komponen kerelatifannya. Dalam kaitan dengan hal ini, agen pembaruan/penyuluh dituntut untuk selalu memperbarui atau mengkaji ulang kebutuhan dari komunitas binaan mereka, karena dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan sosial (kondisi sosial ekonomi) maka kebutuhan suatu kelompok masyarakat dapat saja terjadi perubahan.

Stufflebean (1985) dan Kaufman (1979) mengemukakan beberapa pandangan terhadap kebutuhan, antara lain: (1) pandangan kesenjangan, kebutuhan merupakan kesenjangan atau jarak antara pengukuran atau persepsi terhadap performan yang diharapkan dengan performan yang teramati atau yang aktual, (2) pandangan demokratik, kebutuhan merupakan suatu perubahan atau arah yang diinginkan oleh sebagian besar dari beberapa kelompok acuan, (3) pandangan analitis, kebutuhan adalah arah “ke mana” perbaikan-perbaikan dapat diperkirakan terjadi dengan memperhatikan keadaan yang sedang terjadi, dan (4) pandangan diagnostik, kebutuhan adalah sesuatu yang tidak ada atau kekurangan menyebabkan menderita atau yang kalau ada membuat kemanfaatan. Oleh sebab itu, seorang agen pembaruan/penyuluh dalam memberikan informasi kepada petani, dia harus tau dan menganalisis terlebih dahulu level hirarki dari kebutuhan petani tersebut agar informasi yang diberikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan petani sehingga mendapat respon positif dari petani yang bersangkutan.

Miller dalam Doyal dan Ian (1991) mengemukakan bahwa kesadaran individu merupakan akibat dari interaksi dengan yang lain, berupa bentuk belajar mengajar yang lebih kondusif dan hubungannya dengan para ahli atau pakar. Dewey dalam Maslow (1984) mengungkapkan bahwa untuk menjadi sadar akan kebutuhannya merupakan suatu prestasi psikologis yang sulit, karena hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, termasuk motivasi dari individu yang bersangkutan. Kebutuhan ditentukan oleh laporan dari orang yang mengalami kebutuhan itu dan disadari atau tidak disadari, bahwa semua perilaku manusia ditujukan pada pemuasan kebutuhannya.

Menurut Rogers (1983), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang melangkah pada tahap sadar akan adanya suatu inovasi, yaitu: (1)


(14)

pengalaman sebelumnya, (2) kebutuhan yang dirasakan, (3) keinovatifan, dan (4) nilai-nilai dari sistem sosial. Lionberger (1960) mengemukakan bahwa ada dua peubah penting yang mempengaruhi kesadaran seseorang terhadap kebutuhannya, yaitu karakteristik pribadi dan kemampuan mengakses informasi dari sumber informasi yang memberinya informasi yang dibutuhkannya.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, adanya tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi, Bradford (1961) mengemukakan bahwa orang akan bisa kreatif dan produktif jika individu tersebut dilatih kesadarannya. Pendapat ini menunjukkan, bahwa ada hubungan antara tingkat kesadaran individu terhadap pentingnya informasi (kesadaran terhadap kebutuhan) dengan tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi. Selain itu, agar seseorang cepat menyadari kebutuhannya, perlu diciptakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat mengungkapkan kebutuhan serta dapat mendorong (memotivasi) dan memungkinnya mencapai kebutuhan tersebut.

Menurut Maslow (1970), motivasi merupakan daya gerak yang mendorong seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan. Suatu motivasi timbul berdasarkan kebutuhan hidup, kebutuhan merupakan unsur yang paling kuat untuk membentuk motivasi. Unsur motivasi sangat penting baik bagi kehidupan individu maupun kelompok, karena dengan motivasi inilah akan timbul kekuatan potensial manusia untuk berprestasi.

Perilaku atau kebiasaan yang menjadikan manusia sadar akan kebutuhannya tidak selamanya merupakan pembawaan, tetapi mungkin juga merupakan sesuatu yang dipelajari atau diungkapkan. Kebutuhan-kebutuhan untuk mengetahui dan memahami agaknya hanya terlihat pada individu-individu yang cerdas, tetapi tidak terdapat atau kurang terlihat pada orang-orang yang berjiwa lemah. Kebutuhan-kebutuhan itu, biasanya merupakan suatu sarana bagi suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Maslow (1984) mengemukakan lima hirarki kebutuhan pokok manusia yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan memiliki dan kebutuhan sosial, (4) kebutuhan akan penghargaan, dan (5) kebutuhan akan perwujudan diri. Hirarki kebutuhan ini terjadi apabila kebutuhan yang satu telah terpenuhi maka muncul


(15)

kebutuhan yang lainnya dan sifatnya relatif, artinya tidak harus suatu kebutuhan dipenuhi 100% sebelum muncul kebutuhan lainnya.

Identifikasi terhadap perilaku individu yang sadar dan yang tidak sadar akan kebutuhannya masih sulit dibedakan, namun pada umumnya orang lebih banyak yang tidak sadar daripada yang sadar akan kebutuhannya, padahal kebutuhan yang belum disadari sama pentingnya bagi individu dengan kebutuhan yang disadari. Setiap orang yang belajar mengenal kekurangan dirinya dan mengetahui pokok-pokok kebutuhannya, maka secara garis besar orang tersebut akan mengetahui gejala yang menunjukkan kurangnya wawasan terhadap pokok-pokok kebutuhan ini dan dengan sadar dia akan dapat mencoba mengejar kekurangan-kekurangan ini, karena berusaha dengan sadar akan lebih baik dan efektif daripada menutupi kekurangannya tanpa sadar. Rogers dalam Krech, Richard dan Egerton (1962) menyatakan bahwa kesadaran seseorang terhadap suatu kebutuhan akan menentukan keberhasilannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai upaya yang dapat menyadarkan individu terhadap kebutuhan “real” nya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, penelitian ini melihat ada lima faktor penting yang menentukan adanya tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, yaitu: (1) status sosial ekonomi petani, (2) kesadaran petani akan pentingnya informasi, (3) kemampuan petani mengakses informasi, (4) motivasi terhadap usahatani, dan (5) keinovatifan.

Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Secara konseptual, pemberdayaan pada intinya membahas cara individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Menurut Pranarka dan Vidyandika (1996), munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara.

Proses pemberdayaan pada hakekatnya, dapat dipandang sebagai

depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini digantikan oleh sistem baru yang


(16)

berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme) serta menolak segala bentuk power yang bermuara pada proses dehumanisasi eksistensi manusia.

Parson dalam Hikmat (2001) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan. Dengan pengertian ini, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan.

Kartasasmita (1996) dan Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa inti memberdayakan adalah, memampukan dan memandirikan masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Sumodiningrat (1999) mengartikan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Kartasasmita (1996) berpendapat, pendekatannya harus dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa setiap manusia atau masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.

Penciptaan iklim yang kondusif tersebut, selanjutnya harus diikuti dengan upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat dengan menyusun langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, menyangkut penyediaan berbagai masukan dan membuka akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Langkah selanjutnya, memberi perlindungan melalui pemikiran kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan.

Dalam kaitan proses pemberdayaan, Pranarka dan Vidhyandika (1996) mengemukakan bahwa terdapat dua kecenderungan yang saling terkait: primer dan sekunder. Kecenderungan primer, menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder, menekankan pada proses menstimulasi atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui


(17)

proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan primer harus didahului kecenderungan sekunder.

Pemberdayaan adalah, model pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chambers (1993), paradigma baru pembangunan tersebut lebih bersifat people-centered, participatory, empowering dan

sustainable. Dalam tingkat konsepsional, daya diartikan sebagai kekuatan dari dalam yang dapat diperkuat oleh unsur-unsur penguatan dari luar. Oleh sebab itu, pemberdayaan dapat ditujukan pada dua sasaran, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta (2) memperkuat posisi lapisan penduduk lokal dalam struktur kekuasaan.

Pemberdayaan dan partisipasi, merupakan dua konsep yang sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya. Pemberdayaan, pada hakekatnya merupakan tahap awal untuk terjadinya partisipasi dalam diri individu, kelompok, komunitas, ataupun masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian. Menurut Mc.Ardle dalam Hikmat (2001), hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, partisipasi mensyaratkan proses pemberdayaan terlebih dahulu. Menurut Mikkelsen (1999), sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan “pemberdayaan”, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.

Dari beberapa pendapat ahli ini, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan merupakan proses memanusiakan manusia, sebagai makhluk yang memiliki hak untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri dan masa depannya. Banyak program penyuluhan kurang memberdayakan dan memandirikan masyarakat sasaran karena menyimpang dari falsafah penyuluhan itu sendiri. Program penyuluhan sering dimanfaatkan untuk kepentingan politis dan ekonomi yang berkuasa, sehingga kurang dirasakan manfaatnya dari sisi sasaran penyuluhan (Sumardjo, 2000).

Program yang menggunakan nama atau pendekatan penyuluhan masih belum difahami secara meluas, baik oleh pelaksana maupun oleh pihak sasaran. Banyak ditemukan program penyuluhan yang belum dirancang atau direncanakan secara profesional, bahkan sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa


(18)

kegiatan penyuluhan boleh ada atau boleh tidak ada dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pekerjaan penyuluh, juga belum dapat apresiasi yang semestinya dan belum difasilitasi secara memadai (Hubeis, 1994).

Selanjutnya, Slamet (2000) menyatakan bahwa tantangan penyuluhan masa kini, antara lain adalah: (1) menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas menuju masyarakat madani, (2) menyiapkan sumber daya manusia yang mampu melaksanakan dan memanfaatkan otonomi daerah, dan (3) memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat madani, pada dasarnya adalah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) berdaulat, komunikatif, antisipatif dan adaptif terhadap perubahan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik (SDA), (2) berkeswadayaan tinggi, (3) menerima adanya keragaman, (4) selalu berusaha mengembangkan diri, (5) tahu prioritas apa yang dibutuhkan bagi kehidu pannya dan bagaimana mendapatkannya, dan (6) berani mengambil keputusan dan merasa bertanggung jawab atas setiap perilakunya tersebut.

Menurut Sumardjo (2000), bila hendak memberdayakan masyarakat melalui penyuluhan perlu dipahami beberapa hal berikut:

(1) Apa itu penyuluhan: falsafah, prinsip-prinsip, tujuan dan metode yang tepat untuk dipilih dalam suatu program maupun kegiatan penyuluhan ?

(2) Apa hubungan pemberdayaan masyarakat, masyarakat madani dengan tujuan penyuluhan ?

(3) Bagaimana peran penyuluhan dalam pemberdayaan masyarakat ?

Pentingnya Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat

Konsep modal sosial dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Modal sosial adalah, pengertian abstrak namun rasional karena landasan utamanya adalah akal budi masusia dan system thinking (Senge, 1999). Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan ‘transaksi’ sosial sehingga terwujud struktur sosial.


(19)

paling kuat (kental) yang dicirikan oleh struktur sosial masyarakat dari loose structure sampai ke solid structure (Coleman, 1999). Aspek kebersamaan antar individu di dalam masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan, merupakan salah satu indikator dari encer/kentalnya kadar modal sosial.

Menurut World Bank (1998), modal sosial tidaklah sederhana hanya sebagai jumlah dari seluruh institusi yang ada, namun modal sosial juga semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Dalam modal sosial dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared value) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekpresikan dalam hubungan-hubungan personal, kepercayaan, dan common sense tentang tanggung jawab bersama sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka.

Modal sosial memiliki konstruksi penting dalam pembangunan, khususnya agar tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pada konsep awal pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan baru terbatas pada modal alamiah, modal fisik, dan modal manusia. Kemudian disadari, ketiga kapital tersebut baru menjelaskan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi. Satu mata rantai yang hilang adalah, modal sosial (Grootaert, 1997). Jadi, modal sosial tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (ataupun organisasi) untuk membentuk asosiasi atau jaringan baru. Modal sosial hadir karena adanya kontrak sosial, yaitu persetujuan antara sesama warga atau kelompok tentang asas-asas tertentu, berkenan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat. Kontrak tersebut mengikat secara legal dan dipegang teguh sebagai komitmen moral.

Kelembagaan petani atau kelembagaan ekonomi masyarakat yang telah ada di lokasi usaha petani, merupakan modal bagi pengembangan kelembagaan agribisnis hortikultura. Pemberdayaan kelompok tani adalah, upaya-upaya yang dilakukan kepada kelompok tani untuk meningkatkan kemampuannya dalam penguasaan dan pemanfaatan potensi/sumber daya yang ada secara baik dan bijaksana. Kelompok tani, merupakan kelompok swadaya masyarakat yang terbentuk dan berkembang berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk anggota yang dibangun atas dasar kekuatan, kebutuhan, dan tujuan bersama. Oleh sebab itu,


(20)

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan termasuk dalam perlu melibatkan dan memberdayakan organisasi masyarakat yang telah ada.

Pemberdayaan kelembagaan masyarakat yang telah berkembang sesuai dengan sosial budaya setempat (Communal Resources Management) diprioritaskan, karena hal ini merupakan modal sosial dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Selain itu, mereka sudah terbiasa dengan kondisi setempat yang mempunyai norma dan kebiasaan lokal dalam pengelolaan lingkungan, di samping telah mempunyai kearifan lingkungan untuk mengelola sumber daya alam setempat. Jadi, kalau dilihat dari aspek keberlanjutan, sebenarnya tidak dapat lepas dari perilaku manusianya. Oleh sebab itu, Firebaugh (1990) mengemukakan bahwa selama aspek manusia diabaikan, maka sulit pembangunan pertanian berkelanjutan akan dapat diwujudkan.

Robert Putnam (1993) mengemukakan tiga elemen utama dalam modal sosial, yaitu: rasa saling percaya (trust), norma yang disepakati dan ditaati (social norms), serta jaringan hubungan sosial (social network). Pengertian trust yaitu, interaksi-interaksi yang didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana diharapkan dan akan saling mendukung. Jadi, ada perasaan aman ketika berinteraksi dengan orang lain. Social norms, menyediakan kontrak sosial yang efektif, tidak tertulis namun menjadi panduan untuk menentukan apa pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Selain itu, modal sosial juga melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Ada dua pendekatan untuk mengukur modal sosial, yaitu: (1) pendekatan sensus dengan menghitung jumlah grup atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat, dan (2) pendekatan survai, dengan mengukur derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat.

Satu konsep yang dekat dengan modal sosial yang sejak dulu menjadi salah satu perhatian ilmuwan khususnya untuk masyarakat pertanian adalah, konsep “hubungan patron-klien” (Scott, 1993), yaitu hubungan dua pihak antara dua orang secara individual yang bersifat asimetris. Pihak patron (tuan atau majikan) menyediakan perlindungan dan jaminan sosial, sedangkan klien


(21)

memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dibutuhkan modal sosial agar mudah mendapatkan informasi melalui kerjasama dan interaksi dalam kelompok serta membentuk jaringan kerja. Francis Fukuyama mengemukakan bahwa modal sosial adalah, kemampuan orang bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam kelompok dan organisasi.

Penyuluhan Pembangunan dalam Perspektif Pemberdayaan Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan

Pengertian paradigma menurut Kuhn (2000), adalah konstelasi teori, suatu nilai dan tema pemikiran yang dikembangkan atau tempat kita berpijak dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial. Perbedaan paradigma lama dengan paradigma baru penyuluhan, seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pergeseran Paradigma Penyuluhan

Faktor Paradigma Lama Paradigma Baru

1. Model a. Transfer teknologi.Ukuran keberhasilan adalah produksi meningkat. Manusia dipandang sebagai obyek penyuluhan. b. Keberhasilan sangat tergantung

kepada peneliti dan penyuluh. c. Ketergantungan pada satu orang penyuluh.

d. Arus komunikasi bersifat linier. Penyuluh lebih berperan daripada klien dan komunikasi bersifat satu arah (top down).

a. Berdasarkan pada falsafah pendidikan yang berorientasi pada unsur klien. Ukuran keberhasilan adalah, manusia yang tahu dan mampu/berdaya. b. Model pemberdayaan dengan

penyediaan informasi. c. Mengembangkan sinergisme

antar lembaga terkait. d. Partisipasi klien lebih besar

daripada penyuluh. Komunikasi dengan banyak arah bersifat bottom up. 2. Klien Klien sebagai penerima informasi

kurang dilibatkan dalam keseluruhan kegiatan.

Klien sebagai mitra. Petani sebagai sumber/saluran informasi. 3.Penyuluh Memiliki ciri-ciri pengajar,

melaku-kan kegiatan mengajar dan sebagai sumber informasi serta dianggap sebagai ahli.

Berperan sebagai sumber /saluran informasi, fasilitator, mediator, dan pemandu yang bersifat demokratis dan egaliter.

4. Proses - Proses pemberian ilmu, penyuluh menyiapkan materi penyuluhan. - Hirarkhi penyuluhan dari pusat pusat sampai daerah.

- Proses penemuan ilmu, klien berinteraksi dengan lingkungan

alam, sosial dan akses ke sumber informasi.

- Mengembangkan kemitraan. Sumber: Diolah dari berbagai sumber


(22)

Kekuatan suatu paradigma (Karsidi, 2000) terletak pada kemampuan membentuk hal-hal yang dilihat, cara melihat sesuatu yang dianggap masalah, macam masalah yang kita rasa bermanfaat untuk dipecahkan, serta macam metode yang digunakan dalam meneliti dan berbuat. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan para pendukung paradigma yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan dan bukan karena paradigma mereka lebih baik dari yang dikalahkan.

Prinsip-Prinsip Penyuluhan

Pengertian penyuluhan bukan sekedar transfer teknologi dan bukan pula program charity yang bersifat darurat. Akan tetapi, menurut Slamet (2001), penyuluhan adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk: (1) memberdayakan sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, dan (3) membangun masyarakat madani. Penyuluhan tidak bersifat ad-hock, melainkan suatu sistem yang berfungsi secara berkelanjutan. Pada dasarnya penyuluhan adalah, program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.

Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat adalah, pendidikan nonformal atau penyuluhan yang berperan memberdayakan sasaran dengan cara sebagai berikut:

(1) Mengembangkan kemampuan masyarakat menjadi semakin kritis dalam mengantisipasi, melihat, dan memahami permasalahan kehidupan,

(2) Secara demokratis, mengembangkan proses adopsi inovasi yang lebih menguntungkan masyarakat sasaran penyuluhan,

(3) Mendampingi sasaran penyuluhan dalam proses pemecahan masalah (saling belajar dan saling berbagi pengalaman),

(4) Menjadi mediator antara pembuat kebijakan dengan kelayan (sasaran), penyuluh sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai pelaku (subjek),

(5) Mengembangkan kesadaran masyarakat atas peluang-peluang yang ada, untuk merencanakan pembangunan, melaksanakan, mengevaluasi, dan menikmati hasilnya secara optimal,


(23)

(6) Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk menentukan program pembangunan, berasal lokal serta berorientasi global, dan

(7) Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menguasai dan beradaptasi terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial (Slamet, 2000).

Menurut Slamet dan Asngari (1969), falsafah dasar penyuluhan yaitu: (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Pendidikan, merupakan upaya agar potensi manusia keluar yang intinya adalah interaksi dan bukan transfer ilmu. Falsafah penyuluhan juga bermakna menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya (to help people to help themselves through educational means to improve their level of living). Jadi, tujuan penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku secara sukarela (atas dasar kesadaran diri dan pemahaman yang tepat) bahwa perubahan perilaku tersebut berguna bagi kepentingannya yakni peningkatan kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi, antara lain (Sumardjo, 2000):

(1) Pengetahuan/pemahaman , baik jenis, kedalaman maupun ketepatannya,

(2) Keterampilan dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan diri, keluarga, dan masyarakatnya,

(3) Kecakapan dalam berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang menyangkut kehidupannya sehari-hari, dan

(4) Sikap kecenderungan untuk: (a) tidak berprasangka terhadap hal-hal yang belum dikenal, (b) berani mencari dan mencoba sesuatu yang baru untuk memperbaiki kebiasaan hidup yang sudah tidak produktif lagi, (c) mau bekerjasama serta setara dalam menyelesaikan masalah bersama, (d) memupuk sikap swadana dan swadaya.

Menurut Dahama atau Bhatnagar (1980), ada dua belas prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas (Dahama atau Bhatnagar, 1980), yaitu :

(1) Penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat,


(24)

(2) Penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga/kerabatnya,

(3) Penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya yang memerlukan keragaman pendekatan,

(4) Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya,

(5) Penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (6) Penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran

untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah, dan metode apa yang digunakan dalam penyuluhan,

(7) Prinsip belajar sambil bekerja,

(8) Penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh,

(9) Penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) spesifik sasaran,

(10) Penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan,

(11) Penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial, dan

(12) Penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan kepuasan sasarannya.

Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan dapat dilihat dari dua arah, yaitu dari arah pemerintah (penyuluh) dan dari arah rakyat atau sasaran penyuluhan (Slamet dan Asngari, 1969). Ditinjau dari arah penyuluh, penyuluh harus mengetahui kepentingan sasaran penyuluhan dan dilihat dari arah sasaran penyuluhan, mereka merasakan adanya sesuatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Tugas penyuluh adalah, menemukan cara yang dapat memadukan kedua tujuan tersebut sehingga tercapailah perbaikan tingkat kesejahteraan sasaran penyuluhan.

Agar tujuan umum dari tujuan kerja mendapat sambutan positif dari sasaran penyuluhan, maka tujuan tersebut haruslah dinyatakan dari arah sasaran penyuluhan (Slamet dan Asngari, 1969) yakni: (1) dinamis, menimbulkan


(25)

kegiatan dan mendorong orang untuk berusaha, (2) dibutuhkan masyarakat, dirasakan sebagai kebutuhan sasaran penyuluhan, (3) meliputi mayoritas masyarakat sasaran penyuluhan, (4) bersifat mengembangkan/ perbaikan, dan (5) dapat dinilai/diukur dan fakta-faktanya dapat dikumpulkan.

Dalam menyusun tujuan program penyuluhan perlu memperhatikan unsur-unsur tujuan pendidikan berikut (Slamet, 1978): (1) orang yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) perubahan perilaku apa yang diinginkan, (3) masalah yang diinginkan dengan perubahan perilaku tersebut, dan (4) situasi lingkungan yang tidak mutlak. Tujuan-tujuan tersebut, dirumuskan sedemikian rupa sehingga jelas dan dapat diukur serta dievaluasi keberhasilannya, sehingga dapat menjadi arah atau tolok ukur dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan penyuluhan.

Selanjutnya, penyelenggaraan penyuluhan perlu diarahkan untuk:

(1) Mengkondisikan berkembangnya kelembagaan tani ke arah terciptanya sistem pengguna aktif informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang muncul sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis. Meningkatkan kemampuan kemandirian dalam mengambil keputusan, dengan mengambil kemanfaatan seoptimal mungkin keberadaan lembaga Balai Penyuluhan Pertanian (BPP),

(2) BPP diperkuat dan diarahkan menjadi pusat pengelolaan penyuluhan pertanian di perdesaan, yang mampu melayani seluruh kepentingan pendidikan non formal bagi petani (yang menjadi pengguna aktif) beserta keluarganya serta masyarakat perdesaan pada umumnya,

(3) Membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian yang mampu mendukung kelembagaan petani serta menciptakan iklim kepemimpinan demokratis dalam mengembangkan agribisnis.

(4) Mengembangkan kemampuan sumber daya penyuluh sesuai dengan perubahan orientasi penyuluhan pertanian, terutama yang menyangkut kemampuan bekerjasama dengan petani dan peneliti dalam merancang pengembangan wilayah kerja. Pernyuluh berpangkal kerja di BPP, mengkondisikan suasana pengambilan keputusan pengembangan usaha petani secara partisipatif atas dasar efisiensi usaha dan informasi pasar, dan


(26)

(5) Mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian. Di samping itu, berfungsi sebagai penyalur informasi pertanian yang dibutuhkan sasaran penyuluhan seperti: informasi pasar, harga, kualitas, standar, teknologi, ilmu pengetahuan, kredit, perbankan, dan lain-lain informasi kesempatan berusaha. Jaringan ini tidak saja menyangkut para petugas pemerintah yang berkaitan dengan penyuluhan pertanian, namun juga melibatkan sektor ekonomi swasta, BMUN serta lembaga sosial dan ekonomi perdesaan lainnya.

Pemilihan Materi dan Metode Penyuluhan Materi Penyuluhan

Menurut Totok Mardikanto (1991), materi penyuluhan merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Pesan yang disampaikan dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk pesan yang bersifat: informatif, persuasif dan entertainment yang mampu mengubah atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan ke arah terjadinya pembaruan dalam segala aspek kehidupan masyarakat sasaran. Havelock (1971) membedakan pesan informatif ini dalam empat macam tipe pesan, yaitu: pengetahuan dasar, hasil riset-terapan dan pengembangan, pengetahuan praktis, dan pesan dari penggunanya. Keempat tipe pesan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

ditransfor- ditransfor- masikan f masikan

Output dari Penelitian

Gambar 1 Ragam Pesan Informatif Pesan:

1. Ilmu-ilmu dasar Hasil dari kegiatan penelitian dasar

Pesan:

2. Riset-terapan & pengembangan Hasil dari penelitian dan pengembangan

4. Pesan: Pengguna hasil dari masyarakat luas, konsumen pembeli, dll Output dari Pengguna Pesan:

3. Pengetahuan praktis Hasil pengala- Man dari prak- tek


(27)

Metode Penyuluhan

Menurut Totok Mardikanto (1991), penyuluhan pada dasarnya merupakan proses komunikasi dan proses perubahan perilaku melalui pendidikan nonformal dan pendidikan orang dewasa, seperti pemilihan metoda penyuluhan dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

(1) Metoda penyuluhan dalam proses komunikasi

Untuk memilih metoda berkomunikasi yang efektif, dapat juga diterapkan dalam pemilihan metoda penyuluhan, yaitu yang didasarkan pada: media yang digunakan (lisan, cetak, terproyeksi), sifat hubungan antara penyuluh dengan sasarannya (langsung, tidak langsung), dan pendekatan psiko-sosial (perorangan, kelompok, massal) yang dikaitkan dengan tahapan adopsinya, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tahapan Adopsi Inovasi

Tahapan adopsi Sadar Minat Menilai Mencoba Menerapkan

Perubahan perilaku yang diharapkan

- - pengetahuan - - - - - pengetahuan - - - -pengetahuan dan

dan sikap keterampilan

Media yang digunakan

terproyeksi - - -

- - - media cetak - - - lisan Hubungan penyuluh

dengan sasarannya

tak langsung - -

- - - langsung Pendekatan

psiko-sosial

massal - - - - - - - - kelompok

- - - perseorangan Sumber: Totok Mardikanto (1991)

(2) Metoda penyuluhan dalam pendidikan non formal

Penyelenggaraan pendidikan nonformal dapat diselenggarakan ”kapan saja” dan ”di mana saja”, dan selalu diprogram sesuai dengan keadaan dan ”kebutuhan sasaran”. Dengan demikian, metoda penyuluhan yang akan dipilih harus selalu disesuaikan dengan karakteristik sasarannya, sumber daya yang tersedia atau yang dapat dimanfaatkan, dan keadaan lingkungan (termasuk tempat dan waktu) diselenggarakan kegiatan penyuluhan tersebut.

(3) Metoda penyuluhan dalam pendidikan orang dewasa

Proses pendidikan harus dibebaskan dari upaya-upaya menciptakan ketergantungan. Artinya, melalui pendidikan, sasaran didik harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan pengalaman dan


(28)

mengembangkan daya nalarnya, sehingga di dalam proses pendidikan tersebut kedudukan pendidik dan yang dididik sama derajatnya.

Hubungan antara tahap-tahap dalam proses komunikasi dan metode penyuluhan pertanian (Wiriatmaja, 1986), digambarkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hubungan antara Tahap-tahap dalam Komunikasi dengan Tahap Adopsi dan Metode Penyuluhan

Metode Penyuluhan Tahap Komunikasi Tahap Adopsi

Cara Perorangan Menggerakkan usaha Adopsi/penerapan

Cara Kelompok - Meyakinkan

- Membangkitkan keinginan

- Mencoba - Menilai

Cara Massal - Menggugah hati

- Menarik perhatian

- Menumbuhkan minat - Menimbulkan kesadaran Sumber: Totok Mardikanto (1991)

Indikasi, dapat dilihat pada diri seseorang dalam setiap tahapan proses adopsi, sebagai berikut:

(1) Pada tahap kesadaran, seseorang sudah mulai mengetahui sesuatu yang baru karena hasil dari berkomunikasi dengan orang lain atau penyuluh. Pada sikap ini, petani memerlukan informasi untuk timbulnya perhatian atau kesadaran. Metode panyuluhan yang sebaiknya digunakan adalah, pendekatan massal. Misalnya, penyampaian pesan melalui media massa, radio, televisi, surat kabar, majalah atau poster.

(2) Pada tahap tumbuh minat, seseorang mulai ingin mengetahui lebih banyak tentang hal yang baru itu, dengan mencari keterangan yang lebih terinci. Pada tahap ini, petani perlu informasi yang lebih rinci. Dengan demkian, dapat tumbuh dan bekembangnya usaha ini lebih banyak terletak pada hubungan perorangan. Metode pendekatan kelompok seperti: kursus tani, widyawisata dan pertemuan lainnya merupakan media pengalaman belajar yang tepat bagi petani/sasaran penyuluhan.

(3) Pada tahap menilai, seseorang mulai menilai keterangan yang telah diperolehnya dan menghubungkannya dengan keadaan dirinya sendiri, misalnya kesanggupan dan resiko yang terjadi. Jadi keadaan teknis dan sosiologis menjadi pertimbangan utama. Pada tahap ini, diperlukan


(29)

ketersediaan informasi di lingkungan sasaran penyuluhan yang dapat menjadi bahan pertimbangan agar seseorang mau mencoba.

(4) Pada tahap mencoba, seseorang mulai menerapkan dalam luasan yang kecil. Ada kalanya dia tidak melakukannya sendiri, tetapi meihat orang lain yang mencoba. Kalau sudah ya, barulah diterapkan secara lebih luas. Bila gagal percobaan ini, biasanya seseorang akan menghentikan usaha selanjutnya dan timbul rasa tak percaya akan hal yang baru itu. Keberadaan data atau informasi teknis di lingkungan sasaran penyuluhan yang dapat meyakinkannya, sangat diperlukan. Metode pendekatan kelompok dinilai tepat diterapkan di sini yaitu, yang memungkinkan sasaran mencoba atau demonstrasi di lahannya sendiri.

(5) Pada tahap adopsi atau penerapan, seseorang sudah yakin akan hal yang baru itu dan mulai menerapkan dalam skala usaha yang lebih luas. Pada tahap ini, metode perorangan dinilai efektif, berupa bimbingan penyuluh, kunjungan rumah atau kunjungan kantor dan konsultasi perorangan melalui surat. Akan menjadi efisien metode tersebut bila dilakukan pada sasaran penyuluhan yang potensial menjadi penyebar inovasi, yaitu sasaran penyuluhan yang punya pengaruh di lingkungan sosialnya.

Penyuluh yang ahli, mampu memilih metode secara tepat sesuai dengan situasi, mencakup kemampuan sasaran penyuluhan dan petugas penyuluh, materi penyuluhan, situasi belajar (sosial dan fisik), serta sarana/fasilitas yang tersedia, dengan tujuanperubahan perilaku yang diinginkan.

Penyuluhan sebagai Proses Perubahan Perilaku

Tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan adalah, terjadinya perubahan perilaku sasarannya. Hal ini merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia (Slamet, 1979). Dengan demikian, penyuluhan pertanian menurut Totok Mardikanto (1991), dapat diartikan sebagai: proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) di kalangan petani agar mereka tahu, mau, dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan, dan perbaikan


(30)

kesejahteraan keluarga yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dalam hubungan ini, perlu dipahami bahwa:

(1) Tahu, berarti benar-benar memahami dengan pikirannya tentang segala ilmu/ teknologi yang dilakukan dan informasi yang diterimanya.

(2) Mau, dengan sukarela dan atas kemauan sendiri untuk mencari, menerima, memahami, menghayati, dan menerapkan segala informasi yang diperlukan untuk peningkatan produksi, pendapatan atau keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarganya.

(3) Mampu, baik dalam pengertian trampil untuk melakukan semua kegiatan maupun dapat mengupayakan sendiri sumber daya yang diperlukan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan, dan perbaikan kesejahteraan keluarganya.

Dengan demikian, melalui penyuluhan pertanian ingin dicapai suatu masyarakat (petani) yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi (yang berkaitan dengan usahatani), memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya perbaikan kesejahteraan keluarganya.

Peran dan Kualifikasi Penyuluh

Seorang penyuluh haruslah memiliki kualifikasi tertentu, menyangkut: kepribadian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan menyuluh yang profesional. Dalam perkembangannya, peran penyuluh tidak hanya terbatas pada fungsi menyampaikan inovasi, tetapi harus mampu menjadi penghubung antara pemerintah/lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat sasaran, baik dalam hal menyampaikan inovasi/kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sasaran maupun untuk menyampaikan umpan balik masyarakat kepada pemerintah/ lembaga penyuluhan yang bersangkutan. Sehubungan dengan peran yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap penyuluh, oleh Lippit (1958) dikembangkan menjadi beberapa peran yaitu:


(31)

Dalam peran ini, setiap penyuluh harus melakukan diagnosa masalah atau kebutuhan-kebutuhan yang benar-benar diperlukan masyarakat sasaran.

(2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Dalam peran ini, setiap penyuluh bersama-sama masyarakat menentukan prioritas kegiatan, memobilisasi sumber daya (mengumpulkan dana, menyelenggarakan pelatihan, membentuk, dan mengembangkan kelembagaan) dan memimpin (mengambil inisiatif, mengarahkan, dan membimbing) perubahan yang direncanakan.

(3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran. Dalam peran ini, penyuluh bersama-sama tokoh masyarakat memantapkan upaya-upaya perubahan dan merancang tahapan-tahapan perubahan yang perlu dilaksanakan untuk jangka panjang.

Sehubungan dengan peran yang harus dilakukan oleh setiap penyuluh, Berlo (1960) mengemukakan empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh yaitu:

(1) Kemampuan berkomunikasi, mencakup tidak hanya terbatas pada saluran komunikasi yang efektif, memilih dan menerapkan metoda penyuluhan yang efektif dan efisien, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya.

(2) Sikap penyuluh yang menghayati dan bangga terhadap profesi, serta merasakan bahwa kehadirannya untuk melaksanakan tugas penyuluhan, memang sangat dibutuhkan masyarakat sasarannya demi berlangsungnya perubahan-perubahan usahatani dan kehidupan masyarakat sasarannya.

(3) Kemampuan pengetahuan penyuluh tentang latar belakang dan keadaan masyarakat sasarannya, baik yang menyangkut perilaku, nilai-nilai sosial budaya, keadaan alam maupun kebutuhan-kebutuhan nyata yang diperlukan masyarakat sasarannya.

Kedudukan Penyuluh dalam Proses Pembelajaran Petani

Dalam proses pembelajaran, petani memerlukan penyuluh yang handal dan berkemampuan, serta memiliki kredibilitas, baik dalam materi penyuluhan


(32)

maupun metode penyuluhan. Penyuluhan pertanian, adalah pendidikan bagi orang dewasa sehingga untuk keberhasilannya penyuluh perlu memahami dan menerapkan prinsip belajar orang dewasa (Harrington, 1981; Sudijanto, 1995).

Seorang penyuluh dalam proses pembelajaran mengembangkan suasana belajar yang kondusif bagi petani, harus merasa terikat pada pandangan bahwa sasaran didiknya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan nyatanya. Kehidupan nyata sasaran didiknya tersebut adalah, orang yang punya tanggung jawab terhadap kehidupan keluarganya, orang yang harus mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya, orang yang harus mampu menyaring mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya, orang yang harus menjawab tantangan yang dihadapi dalam kehidupannya, orang yang perlu memperbaiki kualitas usahanya dan kualitas kehidupannya, orang yang selalu terikat pada norma kehidupan kelompok dan masyarakatnya, dan orang yang perlu mandiri untuk dapat menemukan serta memecahkan masalah yang dihadapinya. Mengingat kondisi yang demikian ini, penyuluh dituntut untuk memiliki kualifikasi yang profesional. Profesional dalam arti, ahli dalam bidang penguasaan materi yang “semestinya” disuluhkan dan ahli dalam bidang metode menyuluhkannya.

Dalam kaitannya dengan penyuluhan dan pembangunan pertanian berkelanjutan, perlu suatu usaha membina terjadinya hubungan antara penyuluh dengan petani sehingga terjadi komunikasi yang baik. Seorang penyuluh pertanian perlu memperhatikan sikap mental petani (Asngari, 1996). Ada empat faktor sikap men tal petani yang mendasari usaha pembinaan hubungan tersebut, yakni:

(1) Value expressive attitude: orang kolot (laggard) memiliki sikap mental menonjolkan diri.

(2) Ego defensive attitude: sikap mental curiga dan berprasangka yang tinggi (3) Knowledge attitude: orang modern mempunyai faktor sikap mental seorang

“tengkulak”, pengalaman atau pengetahuan baru bagi perbaikan dan kesejahteraan dirinya.

(4) Utilitarian attitude: sikap mental seseorang sebagai makhluk sosial yang selalu akan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

Penyuluh berguru tentang nilai-nilai (kemampuan dan lain-lain) yang dibanggakan oleh klien (value expressive attitude) sehingga akan mengurangi


(33)

prasangka/curiga atau sikap melawan diri petani. Adanya faktor utilitarian attitude, klien akan tertarik berguru pada penyuluh dan klien juga akan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya yang memang selalu mendambakan perbaikan kesejahteraan hidupnya. Pengenalan dan pemahaman ciri-ciri individu petani demikian, akan sangat menentukan keberhasilan seorang penyuluh dalam melaksanakan tugasnya (Asngari, 1996). Itulah sebabnya, seorang penyuluh tidak hanya mengembangkan diri untuk soal-soal teknis tetapi juga soal-soal yang menyangkut sosial-psikologis dan ekonomis.

Penyuluhan sebagai Proses Komunikasi Pembangunan

Proses Komunikasi

Pengertian komunikasi secara umum, sering diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima (Berlo,1960). Dalam praktek, proses komunikasi tidak hanya terhenti setelah pesan disampaikan atau diterima oleh penerimanya. Tetapi setelah menerima pesan, penerima memberikan tanggapannya kepada sumber/pengirim pesan untuk kemudian proses komunikasi tersebut terus berlangsung, dimana pengirim dan penerima pesan menjadi penerima. Menurut Harold D.Laswell (1969), proses komunikasi adalah proses pembentukan nilai-nilai baru sehingga komunikasi pembangunan pada hakekatnya merupakan penyebaran dari “nilai-nilai sosial” dan “nilai-nilai kesejahteraan” baru, baik menyangkut aspek-aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan) maupun afektif (mental, sikap). Proses komunikasi oleh Schramm diartikan sebagai proses penggunaan pesan oleh dua orang atau lebih, di mana semua pihak saling berganti peran sebagai pengirim dan penerima pesan, sampai ada saling pemahaman atas pesan yang disampaikan oleh semua pihak (Totok Mardikanto, 1991), seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 menunjukkan bahwa pesan yang informatif dapat mempengaru-hi pengetahuan seseorang semempengaru-hingga timbul perubahan perilaku. Selain itu, pesan yang informatif dapat mempengaruhi keterampilan seseorang asalkan melewati suatu latihan tertentu sehingga akan diikuti oleh perubahan perilaku. Pesan yang berupa persuasif dan entertainment akan mempengaruhi sikap seseorang, berarti terjadi perubahan perilaku.


(34)

Gambar 2 Proses Komunikasi dalam Penyuluhan

Penyuluhan sebagai suatu proses komunikasi, dapat diartikan sebagai proses ”komunikasi pembangunan”. Komunikasi pembangunan menurut Susanto (1977), diartikan sebagai proses mengajak masyarakat untuk berani meninggalkan sesuatu yang lama (yang telah dikenal sebagai kebaikan dan keburukannya oleh mereka) dan menggantikannya dengan menerapkan sesuatu yang baru. Komunikasi pembangunan merupakan suatu kegiatan komunikasi yang menginginkan perubahan perilaku manusia, karena komunikasi pembangunan meminta keputusan dari anggota-anggota masyarakat yang sebenarnya belum mempunyai landasan dasar tentang apa yang harus diputuskannya.

Di samping itu, komunikasi pembangunan perlu ditunjang dengan: (1) pengetahuan komunikator (penyuluh) tentang keadaan setempat seperti: sejarah, adat-istiadat, pantangan-pantangan, dan lain-lain dan (2) kepercayaan masyarakat terhadap komunikator (penyuluh)nya, baik kepercayaan mengenai manfaat yang dapat diharapkan dari pesan yang disampaikan di masa-masa mendatang maupun kepercayaan terhadap kemampuan komunikatornya sendiri.

Di dalam kegiatan penyuluhan pertanian, proses komunikasi tidak terhenti jika penyuluh telah menyampaikan inovasi atau jika sasaran telah menerima pesan tentang inovasi yang disampaikan penyuluhnya, tetapi seharusnya komunikasi baru berhenti jika sasaran telah memberikan tanggapan yaitu, berupa penerimaan

Kognitif

Psikomotorik Informatif

Latihan

Inovasi (Pesan)

Persuasif dan Entertainment

Afektif

Adopsi Inovasi (Perubahan Perilaku)


(35)

dan penerapan inovasi tersebut di dalam praktek berusahatani, yang ditunjukkan dalam perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya.

Menurut Totok Mardikanto (1991), di dalam setiap proses komunikasi, sedikitnya akan terkandung salah satu dari tiga macam tujuan komunikasi yaitu: (1) informatif (memberikan informasi), (2) persuasive (membujuk), dan (3) entertainment (memberikan hiburan), meskipun dengan kadar yang tidak selalu sama, karena tujuan utama penyuluhan adalah mendidik. Dengan adanya komunikasi antara agen pembaruan/penyuluh dengan SDM-klien itu, terjalinlah koordinasi, intergrasi, dan sinkronisasi terjadinya kegiatan bersama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama dan tujuan pribadi, yakni keberhasilan belajar dan keberhasilan mengajar yang dapat dirasakan bersama.

Lebih lanjut, Asngari mengemukakan peranan komunikasi adalah: (1) menyajikan/memberikan informasi dan data (saling berbagi informasi dan data) yang tepat dan cepat, (2) memperluas wawasan/pandangan, (3) pematri kebersamaan, (4) pemacu saling asah-asih-asuh, (5) menumbuhkan kuatnya rasa satu karsa (memperkuat rasa persatuan dan kesatuan), (6) pelaksanaan tugas terasa lebih mudah, (7) merupakan sarana penggerak dinamika pembaruan dan rasa optimisme, (8) berperan dalam proses pengajaran/mengembangkan inspirasi, (9) mengembangkan potensi/pembaruan, (10) mempercepat proses pengambilan keputusan (untuk perubahan dan kemajuan), dan (11) menunjang efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas.

Dalam menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya penyuluh kepada petani), informasi tersebut haruslah informasi yang bermakna bagi orang bersangkutan dan dibutuhkan klien. Jadi bukan informasi yang diketahui yang disampaikan. Makna ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan klien.Untuk dapat mengetahui dan memahami informasi yang benar-benar dibutuhkan, bahkan prioritas informasi yang dibutuhkan perlu dipahami, maka komunikator perlu bertindak sebagai pengamat dan pendengar yang baik. Dengan demikian, memungkinkan komunikasi dapat berlangsung dengan efektif (Asngari, 2001) dan menurut Williams (1984), hal ini merupakan landasan terjadinya kebersamaan antar kedua belah pihak itu. Adanya


(36)

kebersamaan, menentukan efektifnya komunikasi demikian sebaliknya, komunikasi yang efektif dapat meningkatkan kebersamaan kedua belah pihak itu.

Peranan Informasi dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pengertian pengembangan manusia, adalah memajukan tingkat pengetahuan, keterampilan dan kemampuan serta memperbaiki perilaku manusia secara terorganisasi, baik untuk dirinya maupun untuk keperluan profesional (Gilley, 1993). Selanjutnya, Gilley (1993) menyatakan bahwa ada tiga kategori utama pengembangan sumber daya manusia, yaitu: (1) penggunaan sumber daya manusia, (2) perencanaan dan peramalan sumber daya manusia, dan (3) pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia menyangkut penyiapan aktivitas belajar pelatihan dan pengembangan tugas di masa depan, yang menyangkut tiga hal, yaitu: pelatihan, pengembangan, dan pendidikan. Dengan demkian, pengembangan sumber daya manusia mencakup pengembangan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan manusia. Peranan diseminasi informasi sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia karena terkait dengan pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan, baik antar sesama petani maupun dengan pusat “informasi tepat guna”. Dalam hal ini, peranan penyuluh adalah “membahasakan” suatu inovasi ke dalam informasi yang dapat dicerna (dimengerti) oleh petani dan “membahasakan” kebutuhan pengembangan teknologi dari petani kepada peneliti.

Peran BPP sebagai pusat informasi, merupakan tempat semua pihak yang terkait dengan pembangunan pertanian bertemu di sini, untuk saling bertukar informasi. BPP yang mampu mengembangkan metodologi, teknologi, dan inovasi masih diperlukan kini dan di masa mendatang. Di samping itu, BPP dapat dikembangkan sebagai media komunikasi yang efektif di tingkat petani, atau pusat informasi yang dikelola bersama-sama dengan petani untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi petani. Dalam media (BPP) ini, diharapkan jarak psikologis, baik antar petani maupun antar petani dengan aparat/penyuluh/peneliti dapat diperpendek apabila didukung dengan informasi yang tepat. Melalui BPP, perumusan program penyuluhan dapat dilakukan bersama-sama penyuluh, peneliti, dan petani. Dengan demikian, kegiatan penyuluhan yang berorientasi


(37)

pada pengembangan sumber daya manusia pada tingkat kelompok tani dapat terwujud. Dalam hal ini, kualitas perilaku penyuluh diperlukan untuk mampu memberikan informasi yang relevan, akurat, lengkap, tajam, tepat waktu, dan terwakili kepada petani sehingga petani dapat mengambil keputusan secara tepat dalam mengelola usahataninya.

Model Komunikasi dalam Penyediaan Informasi Pertanian

Pergeseran paradigma komunikasi dalam pembangunan, dalam prakteknya komponen utama komunikasi “linier” tetap menjadi perhatian penting dalam model komunikasi karena komponen utama yang terdiri dari: (1) pesan, (2) sumber atau komunikator, (3) saluran, (4) penerima, dan (5) efek, sama-sama masih menjadi model dasar Model Konvergen.

Model komunikasi pembangunan yang diajukan di sini, tidak lain adalah model “interaktif” yang sebenarnya lebih dekat dengan model komunikasi konvergen (Kincaid, 1979; Rogers dan Kincaid, 1981). Kedudukan komunikan dan komunikator sama-sama pentingnya, kedua pihak saling menghargai aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses komunikasi tersebut, sehingga dengan pola seperti ini akan menghasilkan komitmen bersama dan sama tingginya.

Model komunikasi konvergen atau interaktif, dinilai layak untuk dikembangkan dalam komunikasi pembangunan pertanian karena menghasilkan keseimbangan dalam perspektif teori pertukaran melalui jalur kelembangaan yang telah mapan, didukung dengan bentuk komunikasi yang konvergen (interaktif), baik vertikal maupun horizontal dalam sistem sosial pertanian. Bentuk komunikasi interaktif ini, sejalan dan memperhatikan prinsip-prinsip yang berlaku dalam bentuk komunikasi tipe Konvergen (Kincaid, 1979). Konsep utama bentuk komunikasi konvergen mencakup: (1) informasi, (2) adanya ketidakpastian, (3) konvergensi kepentingan, (4) saling pengertian, (5) persamaan tujuan, (6) tindakan bersama, dan (7) jaringan hubungan atau relasi sosial.

Model komunikasi konvergen atau interaktif ini, bersifat dua arah yaitu partisipatif, baik vertikal maupun horizontal. Artinya, keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat “bawah” tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan


(38)

pembangunan dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Chambers, 1993).

Pendekatan penyuluhan dengan komunikasi yang lebih bersifat konvergen (Kincaid, 1979) bertumpu pada terjadinya komunikasi timbal balik atau relasional yang dinilai lebih tepat diterapkan dalam era pembangunan dan era globalisasi ini, karena pendekatan tersebut lebih meningkatkan terjalinnya integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan petani. Selain itu pendekatan tersebut lebih menempatkan martabat petani secara lebih layak, keberadaan petani dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang tinggi.

Sistem Informasi Petanian

Sistem informasi seharusnya berperan dalam pembangunan pertanian, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi program termasuk dalam pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat petani yang berciri partisipatif. Artinya, “peningkatan kualitas sumber daya manusia” petani menjadi prasyarat bagi pembangunan pertanian sehingga dapat bangkit kesadaran kritisnya (akan kebutuhannya) yang dapat menimbulkan motivasi untuk berkarya dan berprestasi di bidang usahataninya dengan etos kerja dan metode yang tepat.

Sistem Informasi Petanian dapat mengacu pada AKIS (Agricultural Knowledge and Information System) atau Sistem Pengetahuan dan Informasi Pertanian. Sistem ini dapat diartikan: “orang-orang, jaringan-jaringan kerja, dan lembaga-lembaga beserta penyatuan dan hubungan di antara mereka yang mengikutsertakan/mengatur pembangkitan, transformasi, transmisi, penyimpanan, pemanggilan, integrasi, difusi serta pemanfaatan pengetahuan dan informasi, dan yang secara potensial bekerja sama secara sinergis untuk meningkatkan keserasian antara pengetahuan dan lingkungan serta teknologi yng digunakan dalam pertanian” (Totok Mardikanto, 1991).

Selanjutnya, Totok Mardikanto (1991) mengemukakan bahwa gagasan yang melandasi AKIS adalah, bahwa petani menggunakan sumber-sumber informasi yang berbeda untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan untuk mengelola usahatani mereka. Pengetahuan dan informasi baru


(39)

ini, dikembangkan tidak hanya oleh lembaga penelitian tetapi juga oleh banyak pelaku yang berbeda.

Dengan demikian, akan sangat bermanfaat untuk menganalisis bagaimana sumber-sumber informasi ini saling melengkapi dan mendukung satu sama lain, Sumber yang manakah yang dituju oleh petani untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, serta dari manakah sumber tersebut memperoleh pengetahuan dan informasi itu ? Contohnya, bagaimana lembaga penelitian pertanian bekerja sama dengan lembaga penyuluhan. Sistem Pengetahuan dan Informasi Pertanian (AKIS) ini, juga menganalisis arus informasi dari petani ke petani lain, ke peneliti, ke penyuluh, ke pedagang, ke organisasi petani dan swasta, ke pengusaha, ke media massa, dan ke pembuat kebijakan/agen pemerintah.

Berbagai sumber informasi dimanfaatkan oleh petani untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan, meliputi: petani-petani lain, penyuluh, pedagang, agen pemerintah, organisasi petani dan swasta, media massa, dan peneliti. Adapun jenis-jenis informasi yang dibutuhkan petani (Totok Mardikanto, 1991), antara lain adalah: (1) informasi tentang hasil penelitian berbagai disiplin pengelolaan usahatani dan teknologi produksi, (2) informasi mengenai pengalaman petani, (3) informasi pasaran input dan output sesuai perkembangan terakhir, dan (4) informasi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Untuk menganalisis Sistem Pengetahuan dan Informasi Pertanian (AKIS), dapat digunakan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) terhadap AKIS. Analisis AKIS dapat menjadi tanggung jawab lembaga penyuluhan dan harus di manfaatkan untuk meningkatkan koordinasi antar para pelaku di dalamnya, misalnya dengan cara mendiskusikan bagaimana tiap organisasi dapat berperan semaksimal mungkin untuk membuat sistem ini lebih efektif. Keberhasilan sistem informasi dapat terwujud apabila dibentuk jaringan kerja di antara pelaku-pelaku informasi yang bersangkutan dan yang menjadi koordinatornya adalah lembaga penyuluhan.


(40)

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Alur Pikir Proses Penelitian

Kerangka berpikir dan proses penelitian ini, dimulai dengan tinjauan terhadap kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan termasuk pembangunan hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan tanaman hias). Mengacu kepada pengalaman dan menyikapi krisis ekonomi pada akhir abad 20, pemerintah telah menempatkan kembali sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Subsektor hortikultura sebagai bagian dari sektor pertanian telah menjadi salah satu prioritas, mengingat hortikultura mempunyai potensi, peluang, dan prospek untuk dikembangkan dan dikelola melalui pendekatan pengembangan dan pembinaan usaha agribisnis secara intensif kepada masyarakat tani, sehingga mampu mengelola usahanya dengan nuansa bisnis yang profesional.

Komoditas hortikultura, merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, akan mendorong peningkatan kemampuan daya beli dan preferensi permintaan masyarakat terhadap komoditas hortikultura dalam rangka diversifikasi konsumsi dan peningkatan gizi. Dengan demikian, komoditas hortikultura merupakan satu potensi besar yang dapat dikembangkan sebagai basis perekonomian nasional dan dapat memberikan keuntungan dan nilai tambah yang tinggi bagi petani dan pelaku usaha lainnya. Langkah strategis yang dipandang tepat adalah, memperbaiki manajemen usaha pada tingkat petani dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani dan dapat diakses dengan relatif lebih mudah sehingga petani lebih berdaya dan dinamis serta progresif secara berkelanjutan.

Pembangunan agribisnis hortikultura dan pemberdayaan petani perlu dilakukan melalui pendekatan sistem dengan meningkatkan partisipasi semua

stakeholders (pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat tani sebagai pelaku usaha, dan pihak swasta sebagai pengelola usaha). Dalam hal ini, diperlukan upaya pengintegrasian karakter sosial dan budaya masyarakat, kondisi


(1)

Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian

dalam

Pemberdayaan

Petani,

Kasus di Provinsi Jawa Barat

MARIATI TAMBA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

KEBUTUHAN INFORMASI PERTANIAN DAN

AKSESNYA BAGI PETANI SAYURAN:

Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian

dalam

Pemberdayaan

Petani,

Kasus di Provinsi Jawa Barat

MARIATI TAMBA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

Mariati Tamba


(4)

ABSTRAK

MARIATI TAMBA. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Di bawah bimbingan oleh MA’MUN SARMA, H.R.MARGONO SLAMET dan BASITA GINTING SUGIHEN.

Pembangunan agribisnis hortikultura merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi nasional dari sektor pertanian. Dengan diberlakukannya pasar bebas, sebagian pasar domestik telah diisi oleh produk hortikultura impor, mengakibatkan timbulnya persaingan agribisnis yang semakin ketat. Di samping itu, adanya tuntutan kebutuhan keluarga petani yang semakin meningkat menyebabkan dihadapkannya pada tuntutan kebutuhan akan informasi tentang usahatani modern untuk meningkatkan kemampuan (manajemen usaha) petani dalam mengembangkan usahatani dan menghasilkan produk yang berdaya saing dengan ciri-ciri petani berperilaku efisien. Kebutuhan informasi sama pentingnya dengan faktor produksi utama seperti: “tanah, tenaga kerja, dan modal”.

Pemberdayaan selama ini, umumnya belum secara nyata memberdayakan petani. Faktanya adalah, petani masih belum mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Salah satu strategi pemberdayaan adalah, bagaimana membuat petani mampu memperbaiki kehidupannya sendiri dalam arti: tahu, termotivasi, dan mampu mengembangkan usahataninya dengan mencari dan memanfaatkan informasi pertanian yang tersedia. Pemerintah berkewajiban memberi pelayanan informasi pertanian bagi petani sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

Penelitian ini, bertujuan untuk menganalisis: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan informasi pertanian, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran, dan (3) merumuskan konsep model penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten (Bogor, Cianjur, dan Bandung), Provinsi Jawa Barat pada Juli 2006-Februari 2007 dengan teknik survai, wawancara, dan indepth interview. Teknik pengambilan sampel adalah, Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling) dengan jumlah responden 240 kepala keluarga. Analisis statistik yang digunakan adalah: Cronbach Alpha, uji t, korelasi Rank Spearman, dan Structural Equation Modeling. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani sayuran, dipengaruhi oleh: karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian; kemudahan mendapatkan informasi, dan penyediaan informasi pertanian. Model penyediaan informasi pertanian dirumuskan dengan beberapa upaya, antara lain: membangun komitmen antar lembaga terkait untuk berkerjasama dan berkoordinasi dalam penyediaan informasi pertanian dan merancang mekanisme aliran informasi bagi petani sayuran.

Kata Kunci: Informasi pertanian tersedia, kebutuhan informasi pertanian, dan akses informasi pertanian, petani berdaya.


(5)

ABSTRACT

MARIATI TAMBA. The Need of Agricultural Information and Its Accessibility for Vegetables’ Farmers: Developing Agricultural Information Provision Model in Order to Empowerment Farmers, Case in West Java Province. Under Supervision of MA’MUN SARMA, H.R. MARGONO SLAMET and BASITA GINTING SUGIHEN.

The agribusiness development of horticulture products is one of national economical growth sources of agricultural sector. Free market made part of domestically market filled by import products of horticulture, which cause more rigid competitiveness. In addition, the increase of farmer’s family member demands was faced to the need of demand of information of modern farming to increase the management capability in yielding competitive products from the efficient farmers. The information needs plays the similar role with as the prime factors such as “land, labor and capital”.

Yet, the empowerment hasn’t significantly empowered the farmers. The fact indicated that farmers show inadequate information that they need. One of empowerment strategy is how to make independent farmer to maintain their lives incluiding: ability to know, ability to motivate, and ability to develop their farm by searching and employing the available agricultural information. The government task is to provide agricultural information services for farmers as stated in law No.16 year 2006 about Agricultural, Fishery and Forestry Extension System.

This research were aimed to analyze: (1) factors influenced the provision of agricultural information, (2) factors influenced the empowerment of vegetables’ farmers, and (3) formulation of the concept of the provision of agricultural information model for vegetables’ farmers. The research was conducted in three districts (Bogor, Cianjur, and Bandung), West Java Province since July 2006 to February 2007 by using survey technique, interview, and indepth interview. The sampling technique was Simple Cluster Sampling with 240 respondents of head families. Statistical analysis were using Cronbach Alpha, t-test, Rank Spearman correlation, and Structural Equation Modeling. The analysis shows that farmers’ empowerment level influenced significantly by personal charateristics, need of demand and obtaining agricultural information, environment conduciveness, quality of agricultural information sources, accessibility of agricultural information, and the provision of agricultural information. Agricultural information model was formulated with: developing commitment cooperation between the stakeholders and coordination in the provision of agricultural information and design mechanism of information flows for vegetables’ farmers.

Keywords: The provision of agricultural information, the need of agricultural information and accessibility to agricultural information, farmer’s empower.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya