Akses Dan Dampak Kredit Mikro Terhadap Produksi Dan Pendapatan Usahatani Padi Organik Di Kabupaten Bogor

AKSES DAN DAMPAK KREDIT MIKRO TERHADAP
PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI
PADI ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

DEWI ROHMA WATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Akses dan Dampak
Kredit Mikro terhadap Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi organik di
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Dewi Rohma Wati
NIM H453120151

RINGKASAN
DEWI ROHMA WATI. Akses dan Dampak Kredit Mikro terhadap Produksi dan
Pendapatan Usahatani Padi organik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.
Salah satu permasalahan utama pada petani padi organik di Kabupaten
Bogor adalah keterbatasan akses pada kredit karena terkendala kepemilikan
agunan. Para petani hanya dapat mengakses lembaga semi formal seperti koperasi
dan gapoktan karena kemudahan proses administrasi dan sistem pembayaran.
Skala usahatani dapat menentukan besarnya modal yang harus disediakan. Sistem
pertanian organik menjadi pilihan petani padi di Kabupaten Bogor karena ingin
mengembalikan kondisi lahan yang semakin kritis dan luasannya yang terus
berkurang. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis aksesibilitas kredit
mikro pada petani padi organik di Kabupaten Bogor; (2) menganalisis dampak
kredit mikro terhadap produksi padi organik di Kabupaten Bogor; dan (3)
menganalisis dampak kredit mikro terhadap pendapatan usahatani padi organik di

Kabupaten Bogor.
Data cross-section dari 3 desa pada 3 kecamatan di Kabupaten Bogor telah
dikumpulkan secara langsung dari 68 sampel yang diwawancarai menggunakan
kuisioner. Mereka adalah petani padi organik yang mengakses dan tidak
mengakses kredit mikro sebagai responden kontrol. Ketiga tujuan dianalisis
menggunakan model Seleksi Heckman yang terdiri dari dua persamaan untuk
melihat aksesibilitas kredit melalui persamaan pertanian dan persamaan kedua
untuk melihat dampak kredit mikro terhadap produksi dan pendapatan usahatani
padi organik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aksesibilitas petani padi organik pada
kredit mikro ditentukan secara negatif oleh usia petani, jumlah anggota keluarga,
dan pengalaman usahatani, dan dipengaruhi secara positif oleh lamanya
keanggotaan dalam kelompok tani dan luas lahan garapan. Lembaga kredit yang
diakses adalah koperasi dan gapoktan yang memiliki mekanisme lebih mudah dan
cepat sehingga dapat diakses oleh petani. Nilai kredit yang diakses antara 300
ribu sampai maksimum 2 juta rupiah. Kredit ini digunakan petani untuk
membiayai usahatani yaitu membayar upah tenaga kerja dan membeli input
disamping juga menggunakan modal sendiri.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kredit mikro memiliki dampak
positif terhadap produksi padi organik begitu juga dengan jumlah penggunaan

benih dan penggunaan tenaga kerja. Sejalan dengan itu, kredit mikro berdampak
positif terhadap pendapatan usahatani padi organik bersama-sama dengan variabel
harga gabah kering panen dan produktifitas padi organik. Walau demikian, jumlah
kredit yang relatif rendah sehingga dampak yang ditimbulkan kecil. Berdasarkan
hasil tersebut, maka perlu adanya peningkatan kemampuan dari lembaga kredit
mikto dalam hal ini lembaga semi-formal agar dapat menyalurkan kredit lebih
banyak lagi sehingga petani dapat meningkatkan produksi padi organik dan
pendapatan usahataninya.
.
Kata kunci : akses, dampak, kredit mikro, produksi padi organik, pendapatan
usahatani

SUMMARY
DEWI ROHMA WATI. Access and Impact of Microcredit to Production and
Income of Organic Paddy Farmers in Bogor Region. Supervised by NUNUNG
NURYARTONO and LUKYTAWATI ANGGRAENI.
The ultimate problem of organic paddy farm is limited access to formal
credit due to collateral requirement. Farmers only have access to semi-formal
institution like cooperatives and group of farmers (Gapoktan.red) because of
simplicity of administration procedure and payment system. Farm scale could be

determinants of capital that have to prepared. Organic paddy become way of farm
because they want to recover the land that become resistant with high dose of
chemical fertilizers. The objectives of study were to : (1) analyze the accessibility
of microcredit of organic paddy farmers in Bogor; (2) analyze the impact of
microcredit to production of organic paddy; and (3) analyze the impact of
microcredit to income of organic paddy farm.
Cross section data from 3 village of 3 district in Bogor were collected
directly from 68 samples interviewed with questioneres. They were organic paddy
farmers with and without access to microcredit. Heckman Selection Model used to
reach all of the objectives. Those are two equations for each measurement of the
impact and the first equation used to answer the first objective of this study.
The result of this study showed that age, number of family member, and
farm experience have negative influence to farmer’s access to microcredit. Period
of farmer group member and wide of land have positive influence to farmer’s
access to microcredit. The financial institution that can be accessed by farmers
only semi-formal institution like cooperative and group of farmers. The amount
of microcredit that can be borrowed about 300,000 until 2,000,000 IDR. The
payment system is after harvest time. Most of farmers use credit to buy fertilizers
and pay labor wage.
The result of analysis showed that microcredit give positive impact to

production and also the amount of seed and labor. Hence, impact of microcredit to
farm income is simultaneous determined by price of paddy and productivity.
Higher farm scale will increase the need of microcredit to increase production and
then increase farm income. Based on the result, the capability of microcredit
institution should be improved to increase credit distribution to enhance
production and income.
Keywords: access, impact, microcredit, production of organic paddy, farm income

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKSES DAN DAMPAK KREDIT MIKRO TERHADAP
PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI

PADI ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

DEWI ROHMA WATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Ratna Winandi, MS

Penguji Program Studi


: Dr Meti Ekayani, SHut MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah kredit mikro, dengan
judul Akses dan Dampak Kredit Mikro terhadap Produksi dan Pendapatan
Usahatani Padi organik di Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Nuryartono MS
dan Ibu Dr Lukytawati Anggraeni SP MSi selaku komisi pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan selama proses penyusunan tesis. Di
samping itu, ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak H. Zakaria
dari Desa Ciburuy, Bapak Iwan dari Desa Cibalung, dan Bapak Gumyadi dari
Desa Muara Jaya yang telah membantu penulis selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayang yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan wawasan serta
pengetahuan baru bagi generasi selanjutnya.

Bogor, Maret 2015


Dewi Rohma Wati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Kredit Mikro Sektor Pertanian
Akses Kredit Mikro di Sektor Pertanian
Dampak Kredit Mikro di Sektor Pertanian
Usahatani Padi Organik
Pendapatan Usahatani Padi Organik

Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

1
1
3
5
5
6
6
9
11
13
15
16
17

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Analisis Data
Akses Kredit Mikro Petani Padi Organik
Dampak Kredit Mikro terhadap Produksi Padi Organik
Dampak Kredit terhadap Pendapatan Usahatani Padi Organik
Definisi Operasional

17
17
18
18
19
20
21
22
23

4


GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Petanian Padi Organik di Kabupaten Bogor
Karakteristik Sosial Ekonomi Responden
Input dan Output Usahatani Padi organik

24
24
25
26
32

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyaluran Kredit Mikro Untuk Petani Padi Organik
Realisasi Penggunaan Kredit terhadap Total Biaya Usahatani
Statistik Deskriptif Variabel-variabel dalam Model
Analisis Akses Kredit Mikro
Dampak Kredit Mikro terhadap Produksi Padi organik
Dampak Kredit Mikro terhadap Pendapatan Usahatani
Padi Organik

35
35
39
40
42
44
47

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

50
50
50

2

6

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

58
65

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Distribusi kredit dari Bank Umum dan BPR tahun 2012-2013
Produksi dan Permintaan Beras Organik Indonesia tahun 2005-2009
Perkembangan posisi kredit bank umum di Indonesia dan
Kabupaten Bogor tahun 2010-2012
Demografi Kecamatan contoh di Kabupaten Bogor tahun 2012
Jenis kelamin petani responden
Usia petani responden
Lamanya pendidikan petani responden
Jumlah tanggungan keluarga responden
Status Usahatani
Pengalaman usahatani
Status usahatani
Luas lahan garapan padi organik
Jenis Lembaga Kredit yang Diakses Petani Responden
Jumlah kredit yang disalurkan ke petani
Input dan output usahatani padi organik/hektar/1 musim tanam
Sumber modal usahatani responden berdasarkan luas lahan garapan
Rata-rata persentase penggunaan kredit terhadap total biaya usahatani
berdasarkan luas lahan garapan
Statistik dekriptif variabel-variabel dalam model
Aksesibilitas kredit mikro pada petani padi organik
Dampak kredit mikro terhadap produksi padi organik
Biaya dan pendapatan usahatani padi organik per hektar di Kabupaten
Bogor pada musim tanam pertama tahun 2014
Dampak kredit mikro terhadap pendapatan usahatani padi organik

1
3
4
24
26
27
28
28
29
30
30
31
32
32
33
38
39
41
43
45
47
49

DAFTAR GAMBAR
1. Keragaman Lembaga Pembiayaan Mikro
2. Triangle of Microfinance
3. Hubungan input modal dengan Marginal Return
4. Kerangka Pemikiran
5. Peta Kabupaten Bogor dan Penetapan Lokasi Penelitian
6. Bagan penentuan sampel
7. Mekanisme penyaluran kredit mikro dari koperasi
8. Mekanisme penyaluran kredit mikro dari gapoktan

8
10
12
17
18
19
36
37

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Administratif Kabupaten Bogor
2 Nama variabel dalam analisis data menggunakan STATA 13.0
3 Hasil statistik deskriptif variabel berdasarkan akses kredit
menggunakan program STATA 13.0
4 Hasil pengolahan model seleksi Heckman tahap 2 untuk akses dan
dampak kredit mikro terhadap produksi padi organik menggunakan
program STATA 13.0
5 Hasil pengolahan model seleksi Heckman tahap 2 untuk akses dan
dampak kredit mikro terhadap Pendapatan usahatani padi organik
menggunakan program STATA 13.0

58
59
60

61

63

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian adalah sektor strategis yang sangat terkait dengan kehidupan
manusia, terutama untuk penyediaan pangan (Mariyah 2008). Namun yang terjadi
di Indonesia, petani penghasil pangan sebagian besar adalah petani miskin dengan
jumlah 63.25 persen dari total penduduk miskin di Indonesia dan tinggal di
perdesaan (Suhari 2013). Kemiskinan terjadi sebagai akibat dari rendahnya
pendapatan (Navajas et al. 2000; Nugroho dan O’hara, 2008; dan Angioloni et al.
2012). Pendapatan petani rendah dikarenakan rendahnya produktifitas sebagai
akibat dari rendahnya tingkat adopsi teknologi (Nuryartono et al. 2005) sebab
sulit mengakses pembiayaan (Pasaribu et al. 2007; Rosengard dan Prasentyantoko
2011; Sinaga 2011; Arief dan Rosmiati 2013). Kesulitan dalam mengakses
pembiayaan karena terkendala kepemilikan aset, terutama lahan sebagai collateral
(Pattern dan Rosengard 1991; Johnston dan Murdoch 2008; Anggraeni 2009;
Ayyagari et al. 2010).
Tabel 1

Distribusi kredit antar sektor dari Bank Umum dan BPR tahun 20122013
Sektor

Pertanian, perikanan, perburuan, dan kehutanan
Perikanan
Pertambangan dan penggalian
Industri pengolahan
Listrik, gas, dan air
Konstruksi
Perdagangan besar dan eceran
Penyediaan akomodasi
Transportasi pergudangan
Perantara keuangan
Real estate, usaha persewaan, dan jasa perusahaan
Administrasi pemerintahan
Jasa Pendidikan
Jasa kesehatan dan kegiatan sosial
Jasa kemasyarakatan
Jasa perorangan
Badan internasional
Kegiatan yang belum jelas batasannya
SB Dep rata-rata

Bank Umum
BPR
Suku
Suku
Pangsa
Pangsa
Bunga
Bunga
(%)
(%)
(%)
(%)
7.40
11.6
17.60
33.58
0.27
13.31
0.52
30.69
4.85
12.07
0.47
28.24
23.80
10.73
3.13
28.22
3.26
9.00
0.15
28.56
5.22
11.86
5.66
29.56
27.75
12.99
64.30
29.47
2.49
12.28
1.58
29.32
6.78
10.82
4.83
27.36
6.47
10.13
0.34
22.26
8.32
12.36
2.14
23.20
0.27
11.95
0.39
26.06
0.23
13.44
0.59
28.81
0.42
12.33
0.44
29.37
2.30
13.20
9.84
27.69
0.06
14.83
2.77
29.75
0.01
9.70
12.78
29.38
0.10
10.83
13.85
24.59
6.99
9.03

Sumber : BSBI 2013

Penyaluran kredit dari bank umum untuk sektor pertanian di Indonesia
masih tersegmentasi pada usahatani besar dan menengah. Pada bank umum,
sektor pertanian hanya memperoleh sebesar 7.4 persen dari total kredit yang
disalurkan sedangkan pada Bank Pembiayaan Rakyat (BPR) sebesar 17.6 persen

2
(BSBI 2013). Sangat berbeda dengan sektor perdagangan yang memiliki pangsa
terbesar kredit bank umum dan BPR yaitu 27.75 persen dan 64.30 persen (Tabel
1). Alasan utama bagi perbankan formal untuk tidak memberikan kredit kepada
petani adalah karena faktor ketidakpastian dan rentang waktu (time lag) dalam
proses produksi (Anggraeni 2009) yang tidak memungkinkan petani membayar
kredit dengan mekanisme biasa. Selain itu adanya track record buruk pada saat
banyak digulirkan kredit program pemerintah yang akhirnya diputihkan tanpa
meminta pertanggungjawaban petani (Hanafie 2010).
Berdasarkan kondisi tersebut, petani terjebak dalam mekanisme pelepas
uang (lembaga informal) yang memberikan kemudahan pada petani agar bisa
memperoleh kredit usaha dengan cepat, khususnya di perdesaan (de Aghion dan
Murdoch 2005). Tapi institusi informal (pelepas uang) ini secara tersirat
merugikan petani karena penerapan bunga yang tinggi yakni 60-80 persen sebab
penerapan mekanisme pengembalian harian dan mingguan (Supriatna 2004).
Walau demikian, petani tetap membutuhkan penyaluran kredit yang mudah,
cepat, dan jumlah yang sangat rendah yakni antara 500 ribu sampai maksimal 10
juta rupiah saja (Supriatna 2004; Adam 2012). Lembaga yang memberikan
kemudahan tapi ada aturan-aturan tertentu dapat berupa lembaga semiformal yang
memiliki sumber dana baik dari pemerintah maupun non-pemerintah untuk
dikelola agar petani terfasilitasi dalam memperoleh kredit mikro. Solusi yang
diberikan oleh pemerintah berupa program-program kredit yang dijalankan oleh
lembaga semi-formal yang memfasilitasi petani agar bisa memperoleh pinjaman
modal.
Diawali dengan Bimas di awal orde baru yang berhasil mewujudkan
swasembada beras pada tahun 1984, lalu ada pula program Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi (KKPE) serta penyaluran dana Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan atau disingkat PUAP (Ashari 2009). Sejak dicanangkannya
PNPM Mandiri oleh Presiden RI pada tahun 2007, Kementerian Pertanian turut
andil menyalurkan pembiayaan dengan skala mikro berbasis kelompok yang
dikelola oleh gabungan kelompok tani sehingga petani dapat mengajukan kedit
tanpa collateral dan dengan tingkat bunga yang rendah atau menerapkan sistem
bagi hasil. Kredit program tersebut adalah Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP) yang dimulai pada tahun 2008 dan hingga tahun 2013 telah
tersalur sebanyak 4.7 triliun rupiah. Kredit program ini telah memberikan dampak
positif pada petani yakni meningkatnya pendapatan (Anita 2011; Wijayanti 2011)
tapi ada juga yang tidak berhasil baik dalam pengelolaan maupun penyalurannya.
Namun demikian, petani tidak hanya dihadapi pada persoalan akses kredit.
Kualitas komoditi pertanian, khususnya pangan menjadi sorotan dunia terkait
keamanan dan keberlanjutannya. Slogan back to nature menjadi tren baru di
masyarakat dan diwujudkan melalui perdagangan global yang mensyaratkan
keamanan, bernutrisi tinggi, dan ramah lingkungan (Gultom 2014). Hal ini
dikarenakan semakin menurunnya tingkat kesuburan lahan pertanian dan
ketergantungan terhadap penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia tanpa
diimbangi dengan recovery lahan menggunakan bahan-bahan organik
(Kusmulyono et al. 2007). Namun petani juga dituntut untuk memproduksi lebih
banyak pangan dan cepat demi mengejar kebutuhan pangan yang terus meningkat
seiring meningkatnya jumlah penduduk (Rahayu 2011).

3
Pembangunan sektor pertanian diarahkan pada pembangunan berkelanjutan
dimana petani harus mengubah pola pikir tentang pentingnya menjaga kesuburan
lahan pertaniannya. Hal tersebut didukung dengan maraknya kampanye mengenai
green agriculture for sustainable development untuk mengurangi penggunaan
bahan-bahan kimia dalam proses produksi pertanian. Input-input tersebut selain
dapat merusak tanah, dalam jangka panjang dapat meningkatkan pertumbuhan
penyakit di dalam tubuh manusia. Selain itu juga pemerintah telah mencanangkan
pertanian organik dengan jargon Go Organic 2010 (Ditjen BPPHP Kementan
2010).
Tabel 2 Produksi dan permintaan beras organik di Indonesia tahun 2005-2009
Tahun
Produksi (Kuintal)
Permintaan (Kuintal)
2005
550 300
550 300
2006
557 179
660 360
2007
563 865
792 432
2008
570 519
950 918
2009
577 080
1 141 102
Sumber : Basmah (2013)

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa tren konsumsi beras organik dari
tahun 2005 hingga 2009 terus meningkat, sedangkan produksi tidak mengalami
peningkatan yang signifikan. Pemenuhan terhadap permintaan beras organik
dilakukan dengan mengimpor dari luar negeri seperti Malaysia sekitar 100 ton per
bulan (Gultom 2014). Hal ini karena jumlah petani padi yang mulai mengubah
sistem tanam padi dari konvensional ke sistem pertanian organik masih relatif
sedikit jika dibandingkan dengan jumlah petani konvensional. Berdasarkan data
dari Aliansi Organik Indonesia (AOI) jumlah petani organik telah mencapai 50
ribu orang petani pada tahun 2011 dengan total luas lahan pertanian organik
meningkat setiap tahunnya sebesar 10 persen. Pada tahun 2009 lahan pertanian
organik mencapai 217 156.,58 hektar dan meningkat menjadi 238 872.24 hektar di
tahun 2010. Hampir setiap daerah penghasil padi telah menerapkan sistem
pertanian organik (Deptan 2007), hanya saja jumlahnya relatif sedikit sehingga
belum bisa memenuhi semua permintaan beras organik secara nasional. Untuk itu
pemerintah terus berupaya agar petani menerapkan sistem pertanian ramah
lingkungan dalam rangka pemanfaatan local specific (Situmeang 2012).
.
Perumusan Masalah
Petani padi organik masih dalam skala usaha yang kecil dan mikro sehingga
memerlukan tambahan input seperti modal usaha, informasi pasar, pengetahuan
manajemen dan teknologi, serta insentif usaha (Kusmuljono et al. 2007). Petani
membutuhkan tambahan modal untuk meningkatkan produktifitas. Hal ini karena
usahatani padi organik di Indonesia belum efisien secara teknis yang disebabkan
oleh penggunaan input yang belum optimal (Notarianto 2011). Optimalisasi
penggunaan faktor produksi harus didukung oleh permodalan yang kuat sehingga
dapat meningkatkan skala usahataninya (Supriatna 2004; Asih 2008; Azriani
2008; Ashari 2009; Anita 2011). Begitu pula dengan pertanian padi organik yang

4
membutuhkan biaya lebih besar dibandingkan dengan padi konvensional (Basmah
2013) terutama untuk biaya benih dan pupuk organik, sehingga membutuhkan
tambahan modal usahatani (Rubinos et al. 2007; Hartono et al. 2012). Untuk itu
dalam rangka meningkatkan produktifitas dibutuhkan kredit (Nuswantara 2012).
Kabupaten Bogor, secara regional berada di Provinsi Jawa Barat, masih
menjadikan pertanian sebagai sektor unggulan walaupun pangsa terhadap PDRB
hanya 12.6 persen (BPS Provinsi Jawa Barat 2013). Subsektor tanaman pangan
yakni padi merupakan komoditas yang banyak diusahakan namun petani padi di
Kabupaten Bogor masih tergolong miskin (BPS Kabupaten Bogor 2013). Hal ini
dikarenakan sulitnya memperoleh bantuan modal untuk meningkatkan usahatani.
Akses petani terhadap lembaga keuangan formal masih rendah. Petani
menghadapi kendala teknis terkait collateral dan proses administrasi yang rumit
dan memakan biaya, sehingga petani mencari alternatif sumber pembiayaan pada
lembaga keuangan non-formal (Nizar 2004; Paloma 2013; Azriani 2014). Di
Kabupaten Bogor distribusi kredit dari lembaga formal untuk petani masih sangat
kecil, yakni hanya 6.2 persen saja dari total kredit yang disalurkan (Tabel 3).
Menurut jenis usaha, yaitu kecil dan mikro, sektor pertanian di Kabupaten Bogor
sebagian besar berada pada jenis ini. Pada tahun 2012, usaha kecil dan mikro
masing-masing hanya memperoleh kredit 27.84 persen dan 14.05 persen dari total
kredit yang disalurkan. Nilai ini masih sangat potensial untuk ditingkatkan
terutama bagi sektor pertanian.
Tabel 3 Perkembangan Posisi Kredit Bank Umum di Indonesia dan Kabupaten
Bogor Tahun 2010 – 2012
Posisi Kredit Menurut
Lap. Usaha

2010
(Miliar Rp)

2011
(Miliar Rp)

2012
(Miliar Rp)

Total Kredit Secara Umum

17 095 153

21 675 652

26 679 991

Pangsa
Sektor di
Indonesia
th 2012
(%)
-

121 387

188 201

281 499

8.23

6.20

44 841
1 176 075
9 409
950 035
1 205 337
59 311

19 327
940 572
13 782
321 542
1 420 776
65 128

22 340
1 186 403
7 889
439 738
1 796 947
72 828

0.89
9.82
0.28
6.71
55.95
3.95

0.49
26.11
0.17
9.68
39.55
1.60

211 139

220 667

246 306

7.6

5.42

211 139

526 452

489 467

6.58

10.77

Pertanian, peternakan, kehutanan,
dan perikanan
Pertambangan dan penggalian

Industri Pengolahan
Listrik, gas, dan air bersih
Konstruksi
Perdagangan, hotel, dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan, real estate, dan jasa
perusahaan
Jasa-jasa

Pangsa
Sektor di
Kab.
Bogor th
2012 (%)
-

Sumber : Bank Indonesia, 2013

Bogor menjadi salah satu dari 20 kabupaten yang dijadikan sentra
penanaman produk organik yang menjadi program pemerintah sejak tahun 2000
(Saragih 2010). Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Bogor dan Situmeang (2012), setidaknya terdapat 9-11 kecamatan
yang berpotensi menjadi sentra produksi padi organik khususnya padi. Padi
organik dikembangkan untuk menanggapi isu global pembangunan berkelanjutan.
Dengan potensi lahan sawah mencapai 90 ribu hektar pada tahun 2013 (Tabel 4)
yang bisa menghasilkan lebih dari 550 ribu ton padi, masih terkendala modal yang
belum menjangkau petani organik pemula karena pertimbangan risiko yang besar.

5
Petani tanaman pangan di Kabupaten Bogor berjumlah 63 174 petani, tetapi tidak
lebih dari 30 persen petani yang menerapkan sistem organik termasuk di
dalamnya padi organik dengan total luas lahan 302 Ha. Di sisi lain, petani tidak
mampu mengakomodasi perubahan sistem pertanian konvensional ke pertanian
organik karena terkendala modal. Hal ini karena biaya produksi padi organik lebih
tinggi dibandingkan dengan padi non-organik (Rubinos et al. 2007). Penggunaan
pupuk organik jauh lebih banyak daripada pupuk kimia dan pestisida kimia,
itupun belum efisien secara teknis (Situmeang 2012). Selain itu, di awal masa
peralihan, produktifitas menurun drastis bahkan sampai 50 persen, sehingga petani
membutuhkan insentif untuk tetap bertahan melakukan usahatani padi organik.
Pemerintah Kabupatan Bogor sangat mendukung adanya pengembagan padi
organik ini dan berupaya untuk meningkatkan produksi beras organik. untuk itu
diperlukan modal agar dapat menyerap teknologi yang dibutuhkan dalam
pengembangan usahatani padi organik ini. Permasalahannya adalah lembagalembaga keuangan belum semuanya ikut memperhatikan fenomena perubahan
sistem usahatani petani padi di Bogor dengan membuka akses terhadap kredit.
Petani padi organik di Kabupaten Bogor belum mendapatkan kredit dari lembaga
keuangan formal karena rata-rata skala usahatani yang sangat kecil, yakni tidak
lebih dari 0.5 Ha (Situmeang 2012). Sehingga dibutuhkan tambahan modal berupa
kredit lunak tanpa agunan (collateral) agar dapat meningkatkan produksi padi.
Pertanyaan yang muncul kemudian terkait dengan kondisi tersebut dan menjadi
pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana aksesibilitas petani padi organik Kabupaten Bogor pada kredit
mikro ?
2.
Bagaimana dampak kredit mikro terhadap produksi padi organik di
Kabupaten Bogor ?
3.
Bagaimana dampak kredit mikro terhadap pendapatan usahatani padi
organik di Kabupaten Bogor ?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk :
1.
Menganalisis aksesibilitas petani padi organik pada kredit mikro di
Kabupaten Bogor.
2.
Menganalisis dampak kredit mikro terhadap produksi padi organik di
Kabupaten Bogor.
3.
Menganalisis dampak kredit mikro terhadap pendapatan usahatani padi
organik di Kabupaten Bogor.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada usahatani padi sawah yang telah menerapkan
sistem pertanian organik namun belum dikategorikan sebagai padi organik murni
karena masih menggunakan sedikit pupuk kimia untuk membantu pertumbuhan
tanaman padi. Kriteria umum dan khusus telah ditentukan untuk menentukan

6
lokasi yang sesuai dan dapat mewakili kondisi usahatani padi organik di
Kabupaten Bogor. Adapun kriteria yang diambil sebagai berikut :
1. Usahatani padi organik dalam penelitian ini adalah padi sawah yang
menggunakan pupuk organik berupa pupuk kompos maupun pupuk
kandang dan sedikit menggunakan pupuk kimia (25 persen dari dosis yang
dianjurkan pemerintah) dan petani tidak menggunakan pembasmi hama
dan obat-obatan kimia. Sistem pertanian ini dinamakan padi organik
rasional atau lebih umum dikenal di Kabupaten Bogor dengan padi sehat.
2. Petani padi organik yang menjadi objek penelitian adalah petani yang telah
melakukan usahatani dengan sistem organik lebih dari 5 kali musim tanam
karena diasumsikan kondisi lahan telah bebas dari residu kimia dari
pestisida kimia.
3. Petani responden tergabung dengan kelompok tani dan memperoleh kredit
karena eksistensinya sebagai anggota kelompok tani, sedangkan petani
yang tidak mendapatkan kredit dipilih secara acak untuk membandingkan
dampak dari penggunaan kredit tersebut.
4. Lembaga keuangan hanya sebatas lembaga semi-formal (koperasi dan
gapoktan) karena belum ada lembaga formal yang memberi kredit secara
langsung ke petani padi organik.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kredit Mikro Sektor Pertanian
Menurut Undang-undang No 10 tahun 1998, pembiayaan adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut Antonio (2001), pembiayaan
adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihakpihak yang mengalami defisit unit (kekurangan dana). Bentuk pembiayaan yang
umum dikenal di Indonesia adalah kredit. Menurut Ellis (1992) kredit adalah
sejumlah uang yang dipinjamkan dari satu pihak (pemberi pinjaman) ke pihak lain
(peminjam) dengan unsur yang pentingnya yaitu uang dan tingkat bunga. Menurut
Firdaus (2004) kredit adalah pertukaran sesuatu yang berharga dengan suatu
barang lainnya baik itu berupa uang, barang ataupun jasa dengan keyakinan
bahwa uang atau barang tersebut mampu dibayar kembali dengan harga yang
sama pada waktu yang ditentukan bersama.
Berdasarkan tujuan penggunaannya, kredit dibagi ke dalam dua jenis, yaitu
kredit konsumtif dan kredit produktif. Kredit produktif menurut Firdaus (2004)
adalah kredit yang digunakan untuk kegiatan produktif dalam artian untuk
meningkatkan kegunaan (utility) bisa dalam bentuk investasi atau modal kerja.
Kredit konsumtif digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi. Dalam
penelitian ini, kredit yang digunakan adalah kredit produktif untuk membiayai
usahatani.

7
Untuk memfasilitasi usahatani berskala kecil dan mikro, dibuatkan sebuah
skema kredit mikro. Kredit mikro dikembangkan untuk melayani masyarakat
miskin agar bisa membiayai kegiatan produktif yang dikerjakan sendiri sehingga
bisa meningkatkan pendapatan. Konsep kredit mikro itu sendiri merupakan
inovasi dari Grameen Bank di Bangladesh, yaitu berupa pinjaman dalam jumlah
minimal tanpa collateral (Nuswantara 2012). Definisi yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia, kredit mikro adalah kredit yang diberikan kepada pelaku usaha
produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan
paling banyak Rp 100 juta per tahun. Lebih spesifik lagi, Bank Rakyat Indonesia
(BRI) mendefinisikan kredit mikro sebagai pelayanan kredit di bawah 50 juta
rupiah. Namun mekanisme yang diberlakukan tidak jauh berbeda dengan kredit
untuk usaha non-pertanian, sehingga tetap sulit diakses oleh petani yang rata-rata
hanya mengusahakan lahan di bawah 0.5 hektar. Untuk itu definisi kredit mikro
yang sesuai dengan penelitian ini adalah definisi yang disepakati dalam
Microcredit Summit tahun 1997 yang menjelaskan bahwa kredit mikro adalah
program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai
kegiatan produktif yang dikerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan.
Kredit mikro dapat bertahan dan berkembang karena memiliki tiga
karakteristik, yaitu : (1) ditujukan bagi rakyat miskin dalam rangka meningkatkan
aktifitas usaha mikro; (2) fokus pada kelompok perempuan yang merupakan
pengelola keuangan dalam keluarga; dan (3) menyalurkan pada kelompok dan
melakukan pertemuan rutin sehingga terbangun modal sosial di antara anggota
kelompok (Anderson et al. 2002).
Tidak semua lembaga keuangan bersedia memberikan kredit kepada petani,
terutama karena petani tidak memiliki aset yang bisa dijadikan sebagai collateral.
Ellis (1992) membagi institusi keuangan yang memberikan kredit mikro untuk
sektor pertanian menjadi 5 jenis, yaitu : bank pertanian umum, agen pembangunan
multi-guna, pemegang hak pertanian dan proyek, bank komersial, dan koperasi
kelompok tani. Berdasarkan legalitas hukum di Indonesia, institusi penyalur
kredit mikro terbagi menjadi tiga macam, yaitu: institusi formal, semi-formal, dan
informal (de Aghion dan Murdoch 2005; Anggraeni 2009; Hartono 2013).
Masing-masing institusi memiliki mekanisme tersendiri untuk menjaring nasabah
(petani) sebanyak-banyaknya. Adapun lembaga formal terdiri dari bank umum
dan bank pembiayaan rakyat, lembaga semi-formal terdiri dari koperasi, bank
desa, dan LKM, sedangkan lembaga informal terdiri dari arisan kelompok,
pelepas uang, dan sebagainya yang tidak memiliki aturan dan badan hukum resmi.
Lembaga keuangan mikro (Microfinance Institutions atau MFIs) adalah
institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang
berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok miskin. Lembaga keuangan
mikro (LKM) ini bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana
penduduk miskin atas ketersediaan dana. Bintoro (2003) membagi LKM menjadi
tiga jenis, yaitu :
1. LKM formal bank : BPR, BRI, BKD
2. LKM formal non bank : Koperasi, LDKP, Pegadaian, dan BKK
3. LKM informal non bank : BMT, kelompok arisan, simpan pinjam, pelepas
uang, dll.
Lembaga informal tidak direkomendasikan oleh pemerintah karena
dianggap lebih membebani petani dengan penerapan bunga yang tinggi walaupun

8
dalam prakteknya petani lebih mudah mengakses pada pelepas uang. Norton et al.
(2010) mengatakan bahwa lembaga informal dinilai mengeksploitasi petani
karena penerapan bunga yang tinggi. Tingkat bunga yang tinggi diterapkan karena
beberapa faktor, yaitu : sebagai biaya administrasi, biaya kesempatan karena
meminjamkan uang, risiko gagal dalam pengembalian, dan keuntungan yang
bersifat monopoli. Hal ini dihindari sekali oleh pemerintah, sehingga dibuatkanlah
kredit program yang dapat menjembatani petani dalam memperoleh pembiayaan
dalam skala mikro dan kecil.
Instrumen yang ditawarkan oleh pemerintah terkait kebijakan kredit yang
disalurkan ke petani, yaitu : tingkat bunga harus rendah, target kredit sudah
ditetapkan, adanya kebijakan portofolio pinjaman yang mudah, dan bantuan
modal berupa input. Untuk itu pemerintah membuat berbagai kredit program yang
mudah diakses, cepat, dan tidak membutuhkan collateral. Tujuan kredit program
ada dua, yaitu untuk meningkatkan produksi melalui introduksi teknologi dalam
rangka swasembada pangan, meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi
kemiskinan, serta dapat mengatasi hambatan teknologi dan berdampak pada upaya
pembentukan modal dan pendapatan (Nizar 2004).
Norton et al. (2010) juga menjelaskan bahwa pemerintah sudah seharusnya
memberi dukungan terhadap persoalan modal yang dihadapi petani karena tidak
sulit mengakses dari lembaga formal sedangkan lembaga informal memberikan
beban yang lebih besar kepada petani. Sehingga peran pemerintah terhadap
pemecahan masalah ini harus ditingkatkan karena terkait dengan biaya untuk
mengadopsi teknologi, peningkatan kapasitas dan kemampuan petani dalam
menggunakan input-input modern, dan dapat menurunkan kesenjangan ekonomi
di daerah perdesaan.
D. Program Kredit Mikro :
1. Program dari LSM & lokal
2. Program dari pemerintah

A. MFI formal :
1. Bank perdesaan
2. Bank pertanian/
pembangunan
3. Unit pembiayaan mikro
bank swasta

Lembaga
Pembiayaan
Mikro

C. MFI informal :
1. Pelepas uang
2. Saudara, tetangga,
3. Tuan tanah
4. Arisan

B. MFI Semi-formal :
1. MFI milik LSM
2. Kredit koperasi/
Perkumpulan kredit
3. Bank Desa

Sumber : Nugroho dan O’hara 2008
Gambar 1 Keragaman Lembaga Pembiayaan Mikro
Adanya kredit program, koperasi, bank desa, bank umum, pelepas uang, dan
kelompok arisan, menunjukkan keberagaman institusi keuangan yang ada di
Indonesia. Nugroho dan O’hara (2008) menyusun sebuah kerangka yang

9
menunjukkan keberagaman institusi pembiayaan mikro yang berkembang di
Indonesia. Pada Gambar 1 terlihat bahwa di Indonesia terdapat 4 jenis institusi
pembiayaan mikro yang dimanfaatkan oleh masyarakat golongan menengah ke
bawah. Masing-masing dari institusi tersebut memiliki jangkauan dan dampak
yang beragam sesuai dengan treatment yang diberikan. Dalam penelitian ini, yang
akan disorot secara mendalam adalah jenis kredit mikro dari lembaga semi-formal
yang mana diberikan melalui koperasi dan gapoktan.
Penelitian terkait kredit mikro di Indonesia salah satunya dilakukan oleh
Nuswantara (2012) disarankan dalam penelitian tersebut agar pemberian skim
kredit mikro untuk usaha kecil dan mikro semakin diberi kelonggaran dari sisi
agunan (collateral) dan diperluas lagi jangkauannya sampai ke perdesaan.
Rekomendasi kebijakan lainnya adalah agar supaya usaha-usaha kecil dan mikro
(termasuk sektor pertanian) dapat juga mengakses kredit mikro di perbankan
dengan mekanisme yang lebih mudah. Sedangkan bagi institusi bukan bank, agar
dapat dipertahankan tetapi harus didukung dengan penguatan modal dan
kelembagaan untuk dikembangkan menjadi institusi keuangan semi-formal.

Akses Kredit Mikro di Sektor Pertanian
Akses dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan petani untuk
meminjam pada sumber pembiayaan (Azriani 2014). Menurut Diagne dan Zeller
(2001) bahwa petani dikatakan akses kepada suatu sumber kredit jika mampu
meminjam (memiliki credit worthy), sedangkan dikatakan berpartisipasi jika
petani meminjam dari sumber kredit tertentu. Jika petani tidak dapat meminjam
karena berbagai kendala (credit constraints), maka petani tersebut tidak memiliki
akses kepada sumber kredit. Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan petani
bisa mengakses kredit antara lain terkait dengan karakter individu dan jenis usaha
yang dilakukan. Akses pada kredit juga menggambarkan kinerja sebuah pasar
kredit dimana dalam penelitian ini, petani padi organik menjadi sasaran dari
sumber-sumber kredit. Dalam penelitian-penelitian terdahulu, analisis mengenai
akses biasa disandingkan dengan partisipasi. Kedua istilah ini memiliki arti
berbeda dalam dunia perkreditan.
Kredit mikro di sektor pertanian disalurkan melalui institusi keuangan yang
menerapkan mekanisme penyaluran berbeda dari perbankan pada umumnya.
Menurut Zeller dan Meyer (2002) kinerja sebuah institusi penyalur kredit mikro
diklasifikasikan menjadi tiga kategori (Gambar 2), yaitu keterjangkauan
(outreach), dampak (impact), dan keberlanjutan (sustainability) yang disebut
sebagai segitiga pembiayaan mikro (the triangle of microfinance). Lembaga
keuangan mikro dalam memperluas jangkauan (outreach) terhadap petani
ditentukan oleh kemampuan lembaga tersebut dalam menjaga keberlanjutan
keuangan. Sehingga lembaga keuangan tersebut mempunyai efek pengganda yang
positif terhadap perkembangan perekonomian mulai dari lingkungan lembaga
keuangan tersebut hingga lingkungan nasional.
Navajas et al. (2000) dalam penelitiannya menyusun sebuah kerangka
teoritis yang memuat aspek-aspek penting dalam melihat keterjangkauan
(outreach) suatu lembaga keuangan khususnya jika diarahkan untuk pengentasan
kemiskinan. Negara Bolivia dipilih untuk melihat outreach lembaga keuangan

10
pada masyarakat miskin. Terdapat enam aspek yang dilihat, yaitu : depth
(jangkauan sampai pada masyarakat paling miskin), worth of users (keinginan
peminjam untuk mengembalikan kredit), cost to users (bunga dan biaya
transaksi), breadth (jumlah peminjam), length (panjangnya waktu kredit), dan
scope (tipe kredit yang ditawarkan LKM). Hasil analisis menunjukkan bahwa 6
aspek tersebut harus ada untuk mengukur dan meningkatkan keterjangkauan
sebuah lembaga keuangan mikro. Baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Khususnya jika ingin lebih lanjut mengentaskan kemiskinan di sebuah negara.

Impact

Institutional
Innovations

Financial
Sustainabilit
y

Outreach to
the poor

Sumber : Zeller dan Meyer, 2002
Gambar 2 Triangle of Microfinance
Terlepas dari itu, petani harus memiliki kelayakan (worthiness) untuk bisa
mengakses kredit supaya dapat meningkatkan modal usahatani padi organik.
Secara umum, creditworthty bagi petani merupakan alasan dan kriteria yang harus
dimiliki untuk mengakses kredit baik dari lembaga formal, semi-formal, maupun
informal. Menurut Quoc (2012) keberhasilan kredit yang ditujukan untuk
mengurangi kemiskinan tergantung bisa atau tidaknya diakses oleh petani karena
akan membutuhkannya jika mengalami defisit anggaran untuk produksi padi
organik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Takyi (2011), nasabah
harus memiliki lebih dari 1 sumber penghasilan, lahan sendiri, dan aset pribadi
lainnya (bukan lahan) sehingga layak memperoleh kredit mikro. Sebanyak 75
persen responden memperoleh kredit karena memiliki sumber penghasilan lain
yang dapat dijadikan jaminan jika usaha yang sedang dijalani mengalami
kegagalan.
Supriatna (2004) menemukan bahwa di Nusa Tenggara Barat, 80 persen
petani yang menggunakan modal sendiri juga melakukan pinjaman kredit dan
hanya 20 persen yang menggunakan modal sendiri. Namun demikian, akses petani
terhadap lembaga keuangan formal masih kurang, dikarenakan petani tidak
memiliki sertifikat tanah sebagai collateral, dan juga tidak memenuhi syarat cara
pembayaran bulanan. Hal ini tidak sesuai dengan karakteristik usaha tani yang
penerimaannya diperoleh pada saat berakhirnya musim tanam.
Penelitian lain dilakukan oleh Sinaga (2011) yang menggunakan pendekatan
analisis efisiensi teknis usaha tani tanaman tomat dan kentang. Dari hasil

11
penelitian tersebut ditemukan bahwa perbedaan akses kredit tidak memberikan
perbedaan efisiensi teknis usaha tani tomat dan kentang. Petani tomat belum
efisien begitu juga dengan kentang (efisiensi masing-masing 70.4 persen dan 49
persen). Selain itu perbedaan akses kredit memberikan pengaruh berbeda bagi
pendapatan usaha tani dan penerimaan atas biaya serta pada distribusi pendapatan
yang tidak hanya memberikan keuntungan bagi petani saja. Penelitian ini juga
menyarankan karakteristik kredit yang tepat bagi petani sayuran yakni kredit yang
persyaratannya mudah, tepat waktu, tingkat suku bunga rendah, jumlahnya sesuai
dengan kebutuhan petani dan pengembalian modalnya dibayar pada saat panen.
Akses kredit dari lembaga keuangan informal dapat diperbaharui menjadi lembaga
keuangan yang disesuaikan dengan petani dan juga saling menguntungkan antara
kedua belah pihak.
Berbeda dengan temuan dari Reyes et al. (2012) bahwa pendidikan petani
adalah faktor penentu dalam peningkatan produktifitas karena antara keputusan
usahatani dan konsumsi rumah tangga terjadi pemisahan yang jelas. Walaupun
petani merasa memiliki kendala dalam memperoleh kredit, tapi produktifitas tidak
terpengaruh oleh hal tersebut. Berbekal pendidikan yang ada, petani dapat
memanfaatkan input dan peralatan yang dimiliki untuk berproduksi semaksimal
mungkin.

Dampak Kredit Mikro di Sektor Pertanian
Adanya perlakuan terhadap suatu kondisi diharapkan memberi dampak baik
positif maupun negatif. Begitupun dengan pemberian kredit kepada petani yang
dimaksudkan dapat meningkatkan produksi pertanian. Terutama dalam penelitian
ini adalah usahatani padi organik dimana membutuhkan perlakuan khusus dalam
penyaluran kredit mikro karena tidak mudah menjalani pertanian organik di awal
perubahan sistem. Produksi pasti menurun drastis dan berangsur naik kembali
setelah beberapa kali musim tanam (beberapa tahun). Untuk itu adanya kredit
mikro khusus tanpa pengembalian lebih cocok diterapkan ke petani. Hanya saja
belum ada lembaga keuangan yang bersedia melakukan hal tersebut. Kecuali
pemerintah yang turun langsung.
Dampak kredit mikro tersebut dapat diukur atau dinilai melalui beberapa
cara dan sudut pandang. Lebih jauh dampak yang dilihat akan lebih banyak
komponen yang harus dimasukkan dalam analisis. Metode yang digunakan untuk
menilai dampak kredit secara umum dikelompokkan ke dalam dua paradigma
yang berbeda, yaitu metode ilmiah dan tradisi humaniora (Hulme 2000). Metode
ilmiah dilakukan melalui eksperimen dimana akan dipastikan bahwa hasil dapat
langsung dihubungkan dengan input. Para peneliti menggunakan metode
kelompok kontrol, yang membandingkan antara kelompok penerima kredit dan
kelompok identik yang tidak menerima kredit. Metode ini memungkinkan untuk
mengestimasi dampak program dan kesimpulan yang lebih kuat dari kausalitas.
Hanya saja sulit diidentifikasi dari sisi pengelolaan manajemen usahatani secara
detail per petani sehingga tetap akan ada error dalam hasil yang diperoleh.
Metode tradisi humaniora menggunakan data kualitatif yang mengandalkan
ketajaman analisis. Namun metode ini dianggap subjektif dan tidak akurat.
Sedangkan metode ilmiah memiliki kekurangan yaitu bias seleksi.

12
De Aghion dan Murdoch (2005) menjelaskan bahwa sebuah usaha
(usahatani) dengan modal yang relatif kecil akan menghasilkan pengembalian
investasi lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani berskala besar. Prinsip dasar
yang digunakan adalah diminishing marginal return to capital atau penurunan
tambahan hasil (output) terhadap modal (Gambar 3). Prinsip tersebut diturunkan
dari fungsi produksi konkaf dimana diasumsikan produk yang dihasilkan akan
lebih banyak seiring peningkatan modal. Tetapi tambahan output yang dihasilkan
semakin menurun dibandingkan penambahan modalnya. Dampak kredit terhadap
produksi pertanian terutama dilihat dari jumlah output yang dihasilkan.
Pemanfaatan kredit direfleksikan pada penggunaan input yang lebih baik dan
modern sehingga dapat meningkatkan pendapatan usaha dan juga pendapatan.
Output

Usahatani
skala besar

Usahatani skala
kecil/ mikro

Capital

Sumber : Aghion dan Murdoch, 2005
Gambar 3 Hubungan input modal dengan Marginal Return
Azriani (2014) menjelaskan bahwa bias seleksi yang timbul dalam menilai
dampak kredit adalah seleksi diri dari kredit itu sendiri. Hal ini dapat terjadi jika
anggota kelompok penerima kredit memiliki atribut yang tidak teramati sehingga
hasil dari perlakuan penyaluran kredit menjadi sulit atau tidak bisa digeneralisasi
ke populasi yang lebih luas dari calon penerima kredit. Sumber kedua dari bias
seleksi adalah penempatan program non-acak. Pada akhirnya metode yang paling
umum digunakan untuk mengatasi bias seleksi dengan menggunakan kelompok
kontrol, yaitu populasi dengan karakteristik identik tapi tidak memperoleh atau
bukan penerima kredit.
Menurut Hulme 2000, terdapat 3 model ekonometrika yang bisa digunakan
untuk menyelesaikan masalah bias seleksi yang menggunakan kelompok kontrol.
Metode pertama mengasumsikan distribusi kesalahan dianggap normal dari
variabel hasil pada kelompok bukan penerima kredit. Kemudian ditentukan
dengan mengukur penyimpangan dari normalitas hasil dalam kelompok penerima
kredit. Metode kedua dengan menggunakan instrumen variabel. Metode ketiga
menggunakan data panel, namun lebih sulit dilakukan dan mahal. Metode lain
yang digunakan adalah penggunaan prosedur dua langkah Heckman (Heckman
Selection Model) untuk mengendalikan bias seleksi.
Ibrahim dan Bauer (2013) melakukan penelitian tentang dampak dari akses
kredit mikro terhadap pendapatan petani menggunakan model seleksi Heckman.

13
Dari hasil analisis ditemukan bahwa kredit mikro berdampak signifikan terhadap
perolehan keuntungan petani. Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan petani
yang memperoleh kredit mikro lebih tinggi begitu juga dengan keuntungan yang
diperoleh. Kesimpulan peneliti adalah bahwa besarnya kredit menentukan
meningkatnya keuntungan petani, sehingga perlu ditingkatkan jumlah kredit yang
disalurkan agar keuntungan juga dapat ditingkatkan.
Penelitian Angioloni et al. (2012) tentang dampak kredit mikro di Kyrgistan
yang diutamakan untuk mengurangi kemiskinan dan menggerakkan
perekonomian. Dengan menggunakan Multivariate Binary Response Probit Model
dan sebanyak 5012 responden diperoleh bahwa semakin tinggi nilai kredit, secara
positif mempengaruhi rumah tangga untuk membeli rumah baru atau tanah dan
juga memulai bisnis baru, tetapi negatif untuk belanja pangan. Adanya kredit,
tidak hanya pola konsumsi yang berubah, tapi pola produksi untuk usaha keluarga
juga berubah. Modal yang diperoleh dari kredit, dimanfaatkan juga untuk
membangun usaha lain agar kekayaan keluarga dapat ditingkatkan karena terjadi
perputaran modal. Pergerakan perekonomian negara menjadi lebih tinggi terbukti
dengan meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat.
Penelitian Septya 2013 tentang peranan PUAP dalam perilaku ekonomi dan
ketahanan rumah tangga petani di Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa program PUAP tidak hanya berperan dalam peningkatan
produksi padi yang mendukung ketersediaan pangan, melainkan juga berperan
dalam peningkatan pengeluaran non-pangan. Di negara berkembang, kredit mikro
memberikan dampak beragam bagi masyarakat miskin. Crepon et al.. (2011)
menemukan bahwa kredit mikro di Maroko berdampak pada beberapa aspek
kehidupan masyarakat, yaitu : meningkatnya permintaan terhadap pembiayaan
mikro, peningkatan skala usaha yang sedang berjalan, peningkatan pendapatan
keluarga, dan berkurangnya jumlah penduduk miskin karena tingkat konsumsi
yang meningkat.

Usahatani Padi Organik
Sistem usahatani organik diawali dengan adanya isu mengenai pertanian
berkelanjutan yang bertujuan untuk mengintegrasikan secara komprehensif aspek
lingkungan dan sosial ekonomi dengan kriteria yang harus dipenuhi yaitu :
keuntungan ekonomi, keuntungan sosial keluarga petani, dan konservasi
lingkungan (LPS DDR 2012). Pertanian berkelanjutan identik dengan pertanian
organik. Menurut Sihotang (2009), pertanian berkelanjutan dapat memberi
keuntungan secara ekonomi karena dapat menghasilkan produk yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan petani mudah mengadaptasi perubahan kondisi
usahatani (adopsi teknologi).
Pertanian organik merupakan salah satu cara untuk mendukung pelestarian
lingkungan. Secara sederhana, pertanian organik diartikan sebagai pertanian yang
tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Menurut Deptan (2007) pertanian organik
diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang
mengoptimalkan kesehatan dan produktifitas agro-ekosistem secara alami
sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan
berkelanjutan. Namun petani yang akan menuju ke sistem pertanian organik

14
murni, tentunya harus melewati tahap pengurangan residu pestisida dan pupuk
kimia dalam tanah garapan mereka. Sutanto (2002) menerangkan bahwa sistem
usahatani yang demikian dinamakan LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture).
Tidak sama penerapan LEISA di suatu daerah dengan daerah lainnya
karena tidak ada prosedur baku mengenai mekanisme penerapannya bahkan
(Juniarwoko 2014). Terutama mengenai besarnya porsi input yang digunakan,
teknik budidaya, dan pengelolaan hama dan penyakit tanaman. Suhartini dan
Cahyono (2009) menjelaskan bahwa LEISA merupakan prinsip pertanian yang
berkelanjutan dengan meminimalkan penggunaan input eksternal (berupa input
kimia), namun memaksimalkan penggunaan input internal atau sumberdaya lokal
yang ramah lingkungan. Istilah lain yang menggambarkan pertanian organik yang
diterapkan oleh petani adalah Pertanian Organik Rasional (POR) dimana
digunakan bahan-bahan organik untuk membenahi tanah dan menggunakan
sedikit menggunakan pupuk kimia, tapi tidak menggunakan pembasmi h