Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat
PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN
PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR
PROVINSI JAWA BARAT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendapatan Usahatani
Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Astri Sabrina Qhoirunisa
NIM H34090065
ABSTRAK
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi
Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA
NURMALINA.
Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras.
Kondisi kebutuhan yang tinggi terhadap beras menjadi dasar penting bagi pertanian
padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional
melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Peningkatan
produktivitas melalui intensifikasi pertanian salah satunya diwujudkan melalui
penanaman padi hibrida. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan keragaan
usahatani, menganalisis pendapatan usahatani serta imbangan penerimaan dan biaya
(R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor.
Pendapatan atas biaya tunai per hektar per musim pada usahatani padi hibrida yaitu
sebesar Rp8 265 583.88 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Rp8 875
299.84. Pendapatan atas biaya total per hektar per musim pada usahatani padi inbrida
yaitu sebesar Rp2 660 588.06 sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas
biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian
sebesar Rp235 003.43. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida
yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar 2.40. Nilai R/C
rasio atas biaya total pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 0.99, sementara pada
usahatani padi inbrida yaitu senilai 1.21.
Kata kunci: intensifikasi pertanian, padi hibrida, padi inbrida, pendapatan usahatani,
R/C rasio
ABSTRACT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Farm Income of Hybrid Rice and Inbred Rice in
Bogor Regency, West Java Province. Supervised by RITA NURMALINA.
Commodity which became a staple food of Indonesian people is rice.
Conditions of high demand for rice became an important base for rice farming in
Indonesia to increase national rice production and productivity through extension and
intensification agricultural programs. Increased productivity through intensification of
agriculture one of which is realized through the hybrid rice. The purpose of this study
are to describe the variability of rice farming, analyze farm income and the ratio
between revenue and cost of hybrid and inbred rice farming in Bogor regency.
Income based on cash costs per hectare per season on hybrid rice farming is Rp8 265
583.88 while the inbred rice farming is Rp8 875 299.84. Income based on total costs
per hectare per season in inbred rice farming is Rp2 660 588.06 while the hybrid rice
farming income based on total cost is negative which means hybrid rice farmers
suffered a loss of Rp235 003.43. Value of R/C ratio based on cash cost on hybrid rice
farming that is equal to 2.15, while the inbred rice farming is 2.40. Value of R/C ratio
based on total cost of the hybrid rice farming that is equal to 0.99, while the inbred
rice farming is 1.21.
Key words: agricultural intensification, hybrid rice, inbred rice, farm income analysis,
R/C ratio
PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN
PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR
PROVINSI JAWA BARAT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten
Bogor Provinsi Jawa Barat
Nama
: Astri Sabrina Qhoirunisa
NIM
: H34090065
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 ini
ialah Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku
dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP,
MM selaku dosen penguji utama dan Anita Primaswari Widhiani, SP, MSi selaku
dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Melissa Amandasari, SE yang telah bersedia menjadi
pembahas pada seminar hasil penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak H. Nana beserta staf dari Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Bapak Jasiman
dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian Perikanan (UPTD-P3)
Wilayah Cibungbulang, Bapak Agah dari Gabungan Kelompok Tani Asmara Jaya
Desa Ciasmara, Bapak H. Soleh dari Kelompok Tani Sadar Tani Desa Ciasmara,
dan Ibu Lilis dari Kantor Desa Ciasmara yang telah membantu selama
pengumpulan data. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir
Lusi Fausia, M.Ec selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan adik, serta seluruh
keluarga dan para sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis
sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan dari rekanrekan Agribisnis 46.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Astri Sabrina Qhoirunisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditas
Padi Varietas Unggul
Tinjauan Penelitian Terdahulu
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Geografis
Sosial Ekonomi Masyarakat
Karakteristik Petani Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
ix
1
1
7
9
9
10
10
10
11
14
17
17
21
25
25
25
25
26
27
28
28
29
30
34
34
44
56
56
58
58
73
DAFTAR TABEL
1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut
kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun 2012
2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor
beras di Indonesia tahun 2009-2012
3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012
4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi
Jawa Barat tahun 2008 sampai 2010
5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor
tahun 2006-2011
6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi
tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011
7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di
Kecamatan Pamijahan tahun 2010
8 Komposisi mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2012
9 Karakteristik petani responden di Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2013
10 Perbandingan penggunaan input, produktivitas, dan harga pada
usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor per musim tanam Oktober 2012
11 Rata-rata penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa
Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per
musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
12 Rata-rata biaya penggunaan pupuk padi hibrida dan padi inbrida di
Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar
per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
13 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan
padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai
musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
14 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C rasio usahatani padi
hibrida dan padi inbrida per hektar per musim di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
1
2
4
5
6
6
7
29
31
35
45
47
50
54
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran operasional penelitian
2 Rata-rata penggunaan benih padi hibrida dan padi inbrida di Desa
Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per
musim tanam Oktober 2012
3 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi hibrida dan padi
inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
per hektar per musim tanam Oktober 2012
24
37
37
4
5
Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi hibrida dan padi
inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
per hektar per musim tanam Oktober 2012
Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi hibrida dan
padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten
Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012
38
39
DAFTAR LAMPIRAN
1
Varietas padi hibrida yang telah dilepas di Indonesia hingga tahun
2009
2 Deskripsi padi varietas DG 1 SHS
3 Deskripsi padi varietas Ciherang
4 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi
hibrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim
panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
5 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi
inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim
panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
6 Rata-rata pengeluaran usahatani padi hibrida di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam
Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
7 Rata-rata pengeluaran usahatani padi inbrida di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam
Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
8 Peta Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
9 Dokumentasi penelitian
61
62
63
64
66
68
69
70
71
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia meliputi beberapa subsektor, yaitu subsektor
tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor
peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan. Subsektor tanaman
pangan merupakan sub-sektor pertanian yang penting bagi negara Indonesia
karena sub-sektor ini menjadi penyedia utama bahan pangan bagi penduduk.
Menurut Suryani dan Rachman (2008), pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus
dipenuhi secara bersama oleh negara dan masyarakatnya. Komitmen Indonesia
tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, dimana
pada Pasal 45 disebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan
tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 mendefinisikan bahwa pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi
manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan
makanan dan minuman. Sementara itu, pangan pokok adalah pangan sumber
karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai
makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau
penutup.
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan
menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun
2012a
Kelompok barang konsumsi
Persentase (%/kap/tahun)
Makanan:
- Padi-padian
17.89
- Umbi-umbian
0.86
- Ikan
8.22
- Daging
4.03
- Telur dan susu
5.87
- Sayur-sayuran
7.40
- Kacang-kacangan
2.60
- Buah-buahan
4.78
- Lain-lain
48.34
Jumlah makanan
100.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya proporsi konsumsi masyarakat Indonesia
yang tinggi terhadap beras pada pengeluaran rata-rata setiap bulannya. Jika dilihat
2
dari Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 pengeluaran penduduk
Indonesia untuk konsumsi beras (padi-padian) mencapai 17.89 persen dari total
pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
penduduk indonesia masih menjadikan beras sebagai komoditas utama dalam
konsumsi pangan pokoknya, sesuai dengan pendapat Budijanto dan Sitanggang
(2011) yang menyatakan bahwa beras memiliki posisi strategis yang berperan
sebagai makanan pokok (staple food) bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) dan Perum BULOG
(2011) pada Tabel 2, produksi padi tahun 2010 sebesar 66.47 juta ton Gabah
Kering Giling (GKG), terjadi kenaikan sebanyak 2.07 juta ton dibandingkan
produksi tahun 2009. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen
padi di Indonesia seluas 369.87 ribu hektar dan juga peningkatan produktivitas
sebesar 0.16 kuintal per hektar. Produksi padi tahun 2011 sebesar 65.76 juta ton
GKG, terjadi penurunan sebesar 712.49 ribu ton dibandingkan produksi tahun
2010. Penurunan produksi diperkirakan karena penurunan luas panen padi di
Indonesia seluas 49.81 ribu hektar dan juga penurunan produktivitas sebesar 0.35
kuintal per hektar, yang disebabkan oleh iklim ekstrim di tahun 2011 dimana
terjadi gagal panen akibat kekeringan dan berkembangnya hama penyakit padi,
sehingga menurunkan produktivitas padi nasional. Produksi padi tahun 2012
sebesar 69.05 juta ton GKG, terjadi kenaikan sebesar 3.29 juta ton dibandingkan
produksi tahun 2011. Kenaikan produksi disebabkan adanya peningkatan luas
seluas 239.80 ribu hektar dan disertai peningkatan produktivitas sebesar 1.56
kuintal per hektar.
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di
Indonesia tahun 2009-2012ab
Luas panen
Produktivitas
Produksi
Volume impor
Tahun
(ha)
(ku/ha)
(ton)
beras (ton)
2009
12 883 576
49.99
64 398 890
0
2010
13 253 450
50.15
66 469 394
427 350
2011
13 203 643
49.80
65 756 904
2 208 414
2012
13 443 443
51.36
69 045 141
1 272 960
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 dan Perum BULOG 2011 (diolah).; bBentuk padi berupa
Gabah Kering Giling (GKG).
Komoditas beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia perlu dijaga
ketersediaannya di dalam negeri. Selama ini pemerintah mengambil kebijakan
impor beras dari berbagai negara, khususnya dari wilayah Asia, seperti Vietnam
dan Thailand untuk menjaga kestabilan persediaan dalam negeri dan mencukupi
kebutuhan pangan pokok masyarakat. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa
pemerintah tidak melakukan impor beras pada tahun 2009 karena persediaan beras
dalam negeri dapat tercukupi, namun pada tahun 2010 impor dilakukan sebanyak
427 350 ton dan meningkat hingga 2.21 juta ton pada tahun 2011 akibat adanya
penurunan jumlah produksi padi dalam negeri, sehingga impor dilakukan agar
kebutuhan masyarakat tetap dapat tercukupi. Pada tahun 2012 volume impor beras
3
mengalami penurunan menjadi 1.27 juta ton diperkirakan karena produksi padi
dalam negeri yang mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011.
Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan
penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah
penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1.49 persen pada tahun 2010 1 , apabila diproyeksikan pada tahun 2015
penduduk Indonesia akan berada pada angka 247 juta jiwa, dan mencapai 261 juta
jiwa pada tahun 20202. Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg
(BPS 2012), maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2015
diproyeksikan mencapai 34.33 juta ton dan sebesar 36.28 juta ton pada tahun 2020.
Permintaan beras yang semakin meningkat tidak hanya disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat,
dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan
beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Sementara
itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat
dikatakan stagnan (Nurmalina 2008).
Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi
pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi
nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui
program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian
merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memanfaatkan lahan
yang tersedia dengan sebaik-baiknya menggunakan teknologi tepat guna.
Sedangkan ekstensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil
pertanian dengan memperluas lahan pertanian. Selama ini di Indonesia lebih
banyak dilakukan intensifikasi pertanian terutama di Pulau Jawa dibandingkan
dengan ekstensifikasi pertanian, karena memanfaatkan kondisi tingkat kesuburan
lahan yang lebih baik dan mengurangi dampak kerusakan ekosistem serta
berkurangnya habitat alami hewan di alam yang dapat ditimbulkan dari
ekstensifikasi pertanian.
Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu
melalui Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian pada tahun 2007
mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program
nasional ini didukung oleh berbagai kebijakan subsidi dan bantuan penyediaan
pupuk, benih, dan penerapan berbagai inovasi teknologi melalui kegiatan
penyuluhan dan koordinasi pihak terkait, baik di pusat maupun daerah. Strategi
peningkatan produksi padi dalam P2BN meliputi: 1) peningkatan produktivitas, 2)
perluasan areal tanam, 3) pengamanan produksi, dan 4) pemberdayaan
kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usahatani. Operasionalisasi
dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), penanaman padi hibrida, dan perbaikan
intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk
termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida.
Belajar dari pengalaman implementasi PTT pada tahun 2007 dan Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) pada tahun 1990-an, maka sejak tahun
1
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia
dari: www.bps.go.id
2
_____. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2020 [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia dari:
www.datastatistik-indonesia.com
4
2008 percepatan adopsi PTT oleh petani di daerah-daerah sentra produksi
ditempuh melalui sekolah lapang (SL) yang biasa disebut SL-PTT (Deptan 2009).
Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini
dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau
Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak
terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Hal ini
sesuai dengan pendapat Setyorini et al. (2003) yang menyatakan bahwa hampir 42
persen lahan sawah berada di Pulau Jawa, 27 persen di Sumatera, sedangkan 13,
11, dan 7 persen masing-masing berada di Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah
Bali-Nusa Tenggara. Terkonsentrasinya lahan sawah di Pulau Jawa berkaitan
dengan jenis tanah yang berasal dari bahan induk endapan volkan, dimana secara
alami lebih subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk
endapan tersier. Tingkat kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan
ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju mengakibatkan
kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Pulau Jawa dengan di
luar Pulau Jawa3.
Berdasarkan data yang tercatat di Perum BULOG (2011) dan Badan Pusat
Statistik (2012), angka produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) di
Pulau Jawa dalam kurun waktu 2008 hingga 2012 mengalami tren peningkatan.
Penurunan produksi di Pulau Jawa hanya terjadi pada tahun 2011 namun kembali
mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan angka produksi tertinggi selama
lima tahun terakhir.
Tabel 3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012a
Daerah
Sumatera
Jawa
- DKI Jakarta
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- DI Yogyakarta
- Jawa Timur
- Banten
Bali & Nusa
Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Luar Jawa
Indonesia
a
2008
13 597 423
32 344 070
8 352
10 108 142
9 136 405
798 232
10 474 773
1 818 166
3 169 037
2009
14 696 457
34 880 131
11 013
11 322 681
9 600 415
837 930
11 259 085
1 849 007
3 356 898
2010
15 200 136
36 374 771
11 164
11 737 070
10 110 630
823 887
11 643 773
2 048 047
3 199 153
2011
15 686 847
34 404 557
9 516
11 633 891
9 391 959
842 934
10 576 543
1 949 714
3 516 824
2012
16 004 837
36 526 663
11 044
11 271 861
10 232 934
946 224
12 198 707
1 865 893
3 678 350
4 393 490
6 575 317
252 661
27 978 928
60 322 998
4 392 112
6 801 668
271 624
29 518 759
64 398 890
4 425 272
6 994 688
275 374
30 094 623
66 469 394
4 574 149
7 280 888
293 639
31 352 347
65 756 904
4 695 268
7 821 789
318 234
32 518 478
69 045 141
Sumber: Perum BULOG 2011 dan Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa apabila angka produksi padi di Pulau Jawa
dibandingkan dengan produksi padi di luar Pulau Jawa, angka produksi tersebut
masih lebih besar bila dibandingkan dengan total keseluruhan produksi padi dari
3
Setyorini et al. 2003.Teknologi Pegelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi [Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia
dari: http://balittanah.litbang.deptan.go.id
5
seluruh pulau di Indonesia selain Jawa. Hal tersebut membuktikan keberadaan
Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi di Indonesia.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi
dalam produksi padi di Pulau Jawa. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Jawa Barat tahun 2009, sentra produksi padi sawah di Jawa Barat
meliputi Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung,
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan
Indramayu 4 . Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa
Barat yaitu Kabupaten Bogor.
Tabel 4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa
Barat tahun 2008 sampai 2010a
Luas areal potensial (Ha)
Lokasi
Jawa Barat
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Ciamis
Purwakarta
Jumlah
a
2008
2009
2010
85 208
127 815
124 692
81 378
110 514
105 467
37 139
672 213
85 706
130 921
133 015
67 525
115 911
109 814
37 549
680 441
89 694
136 600
145 214
79 339
127 116
124 373
39 003
741 339
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011),
sesuai yang tercantum dalam Tabel 4, Kabupaten Bogor merupakan salah satu
sentra padi yang memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa
Barat. Luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010
menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor
berpotensi untuk dikembangkan.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa luas panen, produktivitas, dan produksi
padi di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi namun trennya meningkat hingga
tahun 2011. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2007 dan 2009, yang
diperkirakan akibat dari penurunan luas panen. Pada tahun 2011 produktivitas
mencapai puncaknya yaitu di angka 62.31 kuintal per hektar. Hal ini
mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi menjadi sentra
produksi padi di Provinsi Jawa Barat.
4
[Diperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Sentra Produksi Padi Sawah di Jawa Barat
[Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia dari: www.diperta.jabarprov.go.id .
6
Tabel 5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun
2006-2011a
Luas panen
Produktivitas
Tahun
Produksi (ton)
(ha)
(ku/ha)
2006
79 636
52.66
419 339
2007
77 357
53.11
410 810
2008
86 888
56.25
488 745
2009
83 784
58.15
487 197
2010
84 891
60.47
513 292
2011
83 399
62.31
519 675
a
Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2012 (diolah).
Menurut data dari BPS Kabupaten Bogor tahun 2012 dalam Tabel 6, dari
sebanyak 40 jumlah kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan
merupakan kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas tertinggi.
Padi merupakan komoditas utama dari sektor pertanian di Kecamatan Pamijahan.
Tabel 6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi
tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011a
Luas Panen
Produktivitas
Kecamatan
Produksi (ton)
(ha)
(ton/ha)
Pamijahan
8 429
53 906
6.40
Sukamakmur
5 328
33 560
6.30
Jonggol
5 113
31 982
6.26
Tanjung Sari
5 078
31 565
6.22
Cariu
4 538
28 403
6.26
a
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2012).
Apabila dibandingkan, produktivitas padi di Kecamatan Pamijahan pada
tahun 2011 berada di atas angka produktivitas padi Kabupaten Bogor pada tahun
yang sama, yaitu sebesar 6.40 ton per hektar setara dengan 64 kuintal per hektar
dimana produktivitas Kabupaten Bogor hanya sebesar 62.31 kuintal per hektar.
Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Pamijahan memberikan kontribusi yang
besar terhadap produktivitas padi Kabupaten Bogor.
Penelitian padi hibrida di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 1983 dengan
tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Sejak tahun 1998,
penelitian lebih diintensifkan dengan melakukan pembentukan tetua padi hibrida
yang berasal dari plasma nutfah sendiri dengan target mendapatkan padi hibrida
yang adaptif di lingkungan Indonesia dan berpotensi hasil 15 sampai 20 persen
lebih tinggi dibandingkan varietas padi inbrida terbaik (Satoto dan Suprihatno
2008). Hingga tahun 2009, terdapat 37 varietas padi hibrida yang telah dilepas
sejak tahun 2001, terdiri dari enam padi hibrida publik yang dilepas oleh Balai
Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(BB Padi) serta 31 padi hibrida swasta seperti yang terdapat pada Lampiran 1.
7
Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang
sesuai, mampu menghasilkan gabah 1.0 sampai 1.5 ton per hektar lebih tinggi
dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Menurut Satoto dan
Suprihatno (2008), pada demonstrasi penerapan teknologi PTT di 28 kabupaten,
varietas padi hibrida Rokan dan Maro memberikan hasil rata-rata 9.05 dan 8.87
ton per hektar, sedangkan varietas inbrida kurang dari 8.0 ton per hektar. Hal
tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan
penanganan budidaya yang baik.
Peningkatan produksi dan produktivitas padi nasional yang dilakukan secara
berkelanjutan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan akan beras bagi masyarakat
dalam negeri dan meminimalisir impor beras pada masa yang akan datang.
Peningkatan produksi padi nasional juga akan memberi dampak positif bagi petani
padi Indonesia yaitu meningkatkan pendapatan usahatani yang mengindikasikan
peningkatan kesejahteraan petani di daerah-daerah sentra produksi padi.
Perumusan Masalah
Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor
(2011) pada Tabel 7, dari sebanyak 15 desa yang terdapat di Kecamatan
Pamijahan, Desa Ciasmara merupakan desa dengan luas panen, produktivitas, dan
produksi padi tertinggi, masing-masing sebesar 950 hektar, 6.2 ton per hektar, dan
5 890 ton. Sebagai sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan, dimana
Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Bogor, maka
dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara adalah sentra produksi padi Kabupaten
Bogor.
Tabel 7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di Kecamatan
Pamijahan tahun 2010a
No.
Desa
1.
Cibunian
2.
Purwabakti
3.
Ciasmara
4.
Ciasihan
5.
Gunung Sari
6.
Gunung Bunder 2
7.
Gunung Bunder 1
8.
Cibening
9.
Gunung Picung
10.
Cibitung Kulon
11.
Cibitung Wetan
12.
Pamijahan
13.
Pasarean
14.
Gunung Menyan
15.
Cimayang
Jumlah
a
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2011).
Luas panen
(Ha)
700
625
950
800
650
500
600
550
650
500
575
650
500
325
375
8 950
Produktivitas
(Ton/ha)
5.0
5.0
6.2
6.0
5.7
5.5
5.5
5.0
6.0
5.2
5.2
5.5
5.5
5.0
5.3
5.4
Produksi
(Ton)
3 500
3 125
5 890
4 800
3 705
2 750
3 300
2 750
3 900
2 600
2 990
3 575
2 750
1 625
1 987
49 247
8
Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi Kabupaten Bogor dimana
kegiatan bertani dianggap sebagai aktifitas turun temurun yang dijaga
keberlangsungannya dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan kegiatan
bertani padi menjadi tradisi yang berlangsung hingga saat ini. Kebiasaan bertani
ini perlu didukung oleh adanya penerapan sistem usahatani yang baik, dengan
tujuan agar produksi yang tinggi dapat berlangsung secara kontinyu. Di Desa
Ciasmara terdapat satu Gabungan Kelompok Tani bernama Gapoktan Asmara
Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang
digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang.
Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang
tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun 2008. Pada bulan Oktober
2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida.
Pelaksanaan program SL-PTT dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang
diperoleh secara gratis tersebut secara tertulis melibatkan sebanyak 25 petani yang
sebagian besar merupakan anggota kelompok tani Sadar Tani. Namun selama
penelitian berlangsung, seluruh populasi petani padi hibrida yang terdapat di Desa
Ciasmara hanya berjumlah 17 orang.
Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk
penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem.
Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu
memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Benih
padi hibrida yang ditanam petani sebagian besar masih diimpor dari Cina atau
India, yang memiliki kondisi agroekosistem berbeda. Adopsi benih padi hibrida di
Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat
beragam dan tidak mantap. Menurut Ruskandar (2010), di tingkat penelitian, hasil
padi hibrida berkisar antara 8-10 ton per hektar atau 10 sampai 30 persen lebih
tinggi dibanding padi inbrida yang saat ini mendominasi areal pertanaman padi
nasional, seperti Ciherang, IR64, dan Way Apo Buru. Di lokasi tertentu dengan
dukungan teknologi budidaya yang tepat, hasil padi hibrida pada tingkat petani
bisa mencapai 9 ton per hektar. Akan tetapi di banyak lokasi, hasil padi hibrida
belum meyakinkan dan masih rendah disebabkan oleh serangan hama penyakit
dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Pada umumnya varietas padi
hibrida belum ada yang tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti Wereng
Coklat, Hawar Daun Bakteri, dan virus tungro.
Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi
hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani.
Berdasarkan hasil penelitian Ruskandar (2010), dengan harga benih yang berkisar
antara Rp40 000 hingga Rp50 000 per kilogram, hampir seluruh petani responden
di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyatakan tidak bersedia membeli dan
konsekuensinya mereka enggan melanjutkan penanaman padi hibrida pada musim
tanam berikutnya.
Begitu pula dengan benih padi hibrida yang ditanam di Desa Ciasmara.
Pemanenan yang dilakukan pada bulan Februari 2013 merupakan pemanenan
perdana dari hasil musim tanam yang dimulai sejak bulan Oktober 2012. Hasil
produksi yang diperoleh menjadi suatu tolak ukur apakah penggunaan padi
hibrida di Desa Ciasmara lebih menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan
dengan padi inbrida yang biasa ditanam oleh petani yaitu varietas Ciherang.
9
Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi
hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan
menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut
pandang petani. Dengan demikian analisis perbandingan pendapatan usahatani
antara padi hibrida dengan padi inbrida menjadi hal yang penting untuk diteliti,
apakah dengan produktivitas padi hibrida yang lebih tinggi namun harga
pembelian benih yang lebih mahal dapat menghasilkan pendapatan usahatani yang
lebih besar dibandingkan padi inbrida.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten
Bogor
2. Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
3. Bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi
hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan dari penelitian ini meliputi:
1. Mendeskripsikan keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
2. Menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
3. Menganalisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani
padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan informasi dalam hal usahatani padi hibrida dan padi inbrida, seperti
pihak petani, pemerintah, dan pembaca. Bagi petani, diharapkan hasil dari
penelitian ini akan memberikan informasi yang bermanfaat terutama dalam hal
keputusan memilih padi yang akan diproduksi, sehingga diharapkan dapat
memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi petani.
Bagi pemerintah khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bogor, diharapkan hasil penelitian ini akan dijadikan salah satu sumber informasi
dalam mengembangkan program peningkatan produksi padi hibrida yang telah
dilakukan selama ini. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan
menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sumber informasi serta pembanding
dalam melakukan penelitian selanjutnya yang relevan.
10
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi hibrida
varietas DG 1 SHS dan padi inbrida varietas Ciherang. Substansi penelitian ini
hanya pada analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan
analisis R/C rasio pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara
selama musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013.
Responden padi hibrida yang termasuk dalam penelitian ini yaitu seluruh populasi
petani yang menanam padi hibrida di Desa Ciasmara, sedangkan responden padi
inbrida yaitu petani anggota poktan di bawah gabungan kelompok tani Asmara
Jaya di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditas
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae
yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi
terdiri dari ribuan varietas yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri,
sehingga dapat dikatakan tidak ada dua varietas padi yang memiliki karakteristik
sama dan terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Indica dan golongan
Yaponica/sub-Yaponica (Siregar 1978). Golongan tanaman padi yang terdapat di
Indonesia merupakan padi golongan Indica yang pada umumnya terdapat di
negara-negara yang termasuk daerah tropis. Tanaman padi yang dipanen akan
menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) dengan kadar air antara 18 hingga 25
persen, yang setelahnya dikeringkan atau dijemur hingga kadar air berkurang
sampai pada batas maksimal 14 persen dan menjadi Gabah Kering Giling5 (GKG).
Gabah Kering Giling tersebut yang selanjutnya diproses menjadi beras.
Beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Meskipun
sebagai pangan pokok beras dapat disubstitusi oleh bahan makanan lainnya,
namun beras memiliki nilai tersendiri bagi orang Indonesia yang biasa
mengkonsumsi nasi sebagai olahan beras dan tidak dapat dengan mudah
digantikan oleh bahan makanan lain (Aak 1990). Selain itu, beras merupakan
komoditas yang memegang posisi strategis. Menurut Firdaus et al. (2008), beras
dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup masyarakat dan
penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan, dimana
sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya
beras telah memicu terjadinya kerusuhan pada periode awal reformasi akibat
kekhawatiran masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Peran dan
campur tangan pemerintah menjadi sesuatu yang penting dalam rangka menjaga
ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata, dan harga yang stabil
agar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah
5
_____. 2013. Istilah Perdagangan
http://id.wikipedia.org/wiki/Gabah.
Gabah
[Internet].[diacu
2013
Januari
28].
Tersedia
dari:
11
dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras dalam negeri (self
sufficiency) hingga saat ini ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui kebijakan
impor dan peningkatan produksi beras dalam negeri.
Padi Varietas Unggul
Padi dikatakan termasuk varietas unggul apabila memiliki salah satu sifat
keunggulan terhadap varietas sebelumnya. Keunggulan tersebut dapat tercermin
pada sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan bulir yang produksinya tinggi,
pada satu satuan luas lahan dan pada satu satuan waktu. Produksi yang tinggi ini
dapat terjadi karena perpaduan antara beberapa sifat yang ada pada tanaman.
Beberapa sifat tanaman padi varietas unggul antara lain mempunyai banyak
anakan, jumlah malai tiap anakan banyak, bulir padi pada tiap malai berjumlah
lebih dari 250 bulir, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan
penyakit termasuk virus, serta berumur pendek antara 110 hingga 140 hari setelah
penanaman (Aak 1990).
Berdasarkan hasil penelitian Samaullah (2007), penggunaan padi varietas
unggul adalah salah satu penentu keberhasilan usahatani padi. Melalui
penggunaan varietas unggul dan teknik budidaya yang sesuai dapat meningkatkan
produksi padi nasional. Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun
1984 merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benih dari varietas unggul
disertai teknik budidaya yang baik dapat meningkatkan hasil. Hingga saat ini,
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan banyak varietas unggul
yang mempunyai potensi hasil dan sifat-sifat lain yang lebih baik dari varietas
unggul sebelumnya. Dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) yang dimulai pada tahun 2007, penggunaan padi varietas unggul menjadi
komponen penting dalam operasionalisasi program untuk menggantikan dominasi
posisi IR64 yang produktivitas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit
telah mulai menurun.
Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008) 6 dan Aak (1990),
varietas unggul yang ada di Indonesia meliputi:
Padi Varietas Unggul Hibrida (VUH)
a. Pengertian Padi Hibrida
Varietas hibrida mengandung makna bahwa benih yang digunakan untuk
pertanaman produksi adalah benih generasi pertama (F1) yang berasal dari hasil
persilangan antara tetua berbeda yang dipilih melalui seleksi. Secara individu,
susunan genetik tanaman hibrida bersifat heterozigot homogen (Satoto et al. 2008).
Virmani et al. (2004) dalam Basuki (2008) memberikan penjelasan bahwa padi
hibrida komersial merupakan F1 (keturunan pertama) yang superior. Maksudnya
adalah selain berasal dari induk yang lebih baik, padi hibrida komersial juga harus
signifikan menunjukkan superioritas hasil (paling tidak 1 ton per hektar) atas
varietas unggul inbrida dengan umur sejenis serta mempunyai kualitas gabah yang
diterima konsumen.
6
[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Varietas Unggul Padi Sawah: Pengertian dan Aspek Terkait
[Internet].[diacu 2013 Januari 27]. Tersedia dari: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id.
12
Perakitan padi hibrida dilandasi oleh adanya fenomena genetika yang
disebut vigor hibrida atau heterosis. Menurut Satoto et al. (2008) heterosis
merupakan suatu kecenderungan bahwa individu atau populasi F1 akan tampil
lebih baik dibandingkan dengan salah satu tetua atau rata-rata kedua tetua
pembentuknya. Keunggulan yang dihasilkan dari heterosis pada padi terlihat pada
hasil gabah, komponen pertumbuhan (akar dan daun), dan komponen hasil
(jumlah malai per satuan luas dan jumlah gabah per malai) yang lebih tinggi
dibandingkan padi inbrida.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), perakitan padi hibrida di
Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode tiga galur, dalam arti untuk
membentuk padi hibrida diperlukan tiga galur tetua, yaitu:
1) Galur mandul jantan (GMJ atau CMS atau A)
Galur padi yang tidak dapat memproduksi tepungsari yang berfungsi
(viable), disebabkan adanya interaksi antara gen-gen sitoplasma dan gen-gen inti
disebut cytoplasmic male steril (CMS). CMS digunakan sebagai tetua betina
dalam produksi benih padi hibrida.
2) Galur pelestari atau maintainer line (B)
Galur pelestari mirip dengan galur-galur mandul jantan, hanya saja
mempunyai tepungsari yang hidup (mempunyai viabilitas) dan mempunyai biji
yang normal. Galur pelestari digunakan sebagai penyerbuk untuk melestarikan
galur CMS.
3) Galur pemulih kesuburan atau restorer line (R)
Restorer disebut juga sebagai tetua penghasil tepungsari atau tetua jantan.
Galur pemulih kesuburan digunakan sebagai penyerbuk untuk tetua CMS dalam
produksi benih hibrida.
Galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R) memiliki tepungsari
yang normal (fertil) sehingga mampu menghasilkan benihnya sendiri. GMJ
bersifat mandul jantan, sehingga hanya mampu menghasilkan benih bila diserbuki
oleh tepungsari dari tanaman lain. Apabila GMJ diserbuki oleh galur B maka akan
menghasilkan benih GMJ pula, sedangkan bila diserbuki oleh galur R, akan
menghasilkan benih F1 hibrida. Benih tersebut secara komersial dikenal dengan
nama benih hibrida.
b. Perkembangan Padi Hibrida di Indonesia
Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), padi hibrida dirakit pertama kali
di Cina pada tahun 1974 dan digunakan secara komersial sejak tahun 1976,
dengan melepas varietas padi hibrida yang diberi nama Nam You 2 dan Nam You
3. Di Indonesia, penelitian padi hibrida telah dilakukan sejak tahun 1983 yang
diawali dengan pengujian keragaan GMJ dan hibrida hasil introduksi. Selanjutnya,
sejak tahun 1998 penelitian pemuliaan padi hibrida di Indonesia lebih
diintensifkan, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi yang disertai dengan
perakitan berbagai kombinasi hibrida sendiri.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah melepas 37 varietas
padi hibrida hingga tahun 2009. Varietas-varietas padi hibrida tersebut
mempunyai tingkat heterosis 15-20 persen lebih tinggi dibanding varietas padi
inbrida. Namun tidak satupun dari ke-37 varietas tersebut yang memiliki sifat
13
tahan terhadap seluruh hama dan penyakit utama padi Indonesia. Hama dan
penyakit utama yang mendapat perhatian berkaitan dengan padi hibrida adalah
Wereng Batang Coklat (WBC), Hawar Daun Bakteri (HDB), dan virus tungro.
Pengembangan padi hibrida di suatu wilayah harus melalui tahap pemilihan
varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit utama yang berada di wilayah
tersebut, karena varietas yang tahan terhadap suatu hama penyakit tertentu pada
sisi lain dapat memiliki sifat rentan terhadap jenis hama penyakit yang lain.
Menurut Satoto et al. (2008), secara umum masalah-masalah dalam
pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini antara lain: 1) masih terbatasnya
jumlah varietas padi hibrida yang telah dilepas, 2) sistem dan teknologi
perbenihan yang belum berkembang, padahal ketersediaan dan harga benih sangat
menentukan, 3) varietas padi hibrida yang telah dilepas pada umumya masih
rentan terhadap berbagai hama penyakit utama padi di Indonesia, 4) harapan
petani yang sangat tinggi, 5) beberapa varietas padi hibrida mempunyai mutu
beras kurang baik dibandingkan dengan beras premium, 6) keragaan yang tidak
stabil yang disebabkan manajemen budidaya yang kurang cocok, 7) ketersediaan
benih murni tetua atau F1 hibrida kurang memadai, 8) hasil belum stabil dan harga
benih agak mahal, 9) kebiasaan petani untuk menggunakan benih mereka sendiri
(benih F2), dan 10) perencanaan luas pertanaman dan produksi benih kurang
matang sesuai dengan luas yang ditargetkan.
Adapun strategi dalam perakitan varietas padi hibrida di Indonesia menurut
Las et al. (2004), adalah sebagai berikut:
1) Pengevaluasian dan penyeleksian hibrida introduksi untuk menghasilkan
varietas padi hibrida introduksi
2) Pengidentifikasian galur R dari program pemuliaan padi nasional yang
sesuai bagi galur GMJ introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida
yang relatif lebih adaptif dibandingkan dengan hibrida introduksi
3) Pembuatan galur GMJ dan galur R dengan memanfaatkan plasma nutfah
nasional untuk menghasilkan padi hibrida yang lebih adaptif terhadap
kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia
4) Pembuatan varietas hibrida dengan materi pemuliaan padi tipe baru (PTB)
sehingga diharapkan potensi hasilnya 10-20 persen lebih tinggi dari Varietas
Unggul Tipe Baru (VUTB) terbaik
5) Penerapan bioteknologi untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi
pemuliaan padi hibrida.
Padi Varietas Unggul Nonhibrida/Inbrida
1)
Varietas Unggul Nasional
Padi varietas unggul nasional dihasilkan oleh Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian Bogor sampai dengan tahun 1969 dengan daya produksi sedang.
Varietas ini terdiri dari Bengawan, Si gadis, Remaja, Jelita, Dara, Syntha,
Dewi Tara, Arimbi, Batara, dan Dewi Ratih.
2)
Varietas Unggul Baru
Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik umur kisaran 100
sampai 135 hari setelah sebar (HSS), anakan banyak (> 20 tunas per
rumpun) dan bermalai agak lebat (± 150 butir gabah per malai). Varietas ini
diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1967, diantaranya berasal dari
Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) di Filipina. Varietas ini
14
3)
4)
mempunyai daya produksi yang tinggi dan responsif terhadap pemupukan
tinggi (high yielding variety).
Varietas Unggul Tipe Baru
Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik postur tanaman tegap,
berdaun lebar dan berwarna hijau tua, beranak sedikit (< 15 tunas per
rumpun), berumur 100 sampai 135 HSS, bermalai lebat (± 250 butir gabah
per malai), dan berpotensi hasil lebih dari 8 ton gabah kering giling per
hektar.
Varietas Unggul Lokal
Varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani
serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara. Varietas ini tidak
termasuk Varietas Unggul Nasional (UNGNAS), tetapi di daerah tertentu
mampu menghasilkan padi lebih tinggi atau menyamai padi UNGNAS.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kajian Empiris Mengenai Padi Hibrida
Abdurachman (2011) melakukan penelitian mengenai sikap dan kepuasan
petani terhadap benih padi hibrida di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang karakteristik responden, paling
banyak petani berada pada kelompok usia ≥ 42 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
menikah, tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar. Berdasarkan hasil
penelitian pada motivasi petani terhadap benih padi hibrida varietas Intani 2
sebagian besar petani responden tidak termotivasi untuk menanam kembali benih
padi hibrida varietas Intani 2 sebesar 50.90 persen.
Hasil analisis Cochran menunjukkan bahwa terdapat sembilan atribut yang
dianggap penting dalam memilih benih padi untuk ditanam, yaitu benih
bersertifikat, rasa nasi, tahan rebah tanaman, ketersediaan benih, pemasaran hasil
panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit, produktivitas, harga benih, dan
yang terakhir harga jual gabah (GKP). Hasil analisis multiatribut Fishbein
menunjukkan total nilai sikap yang diperoleh benih padi hibrida varietas Intani 2
dan benih padi inbrida varietas Ciherang ialah sebesar -7.59 dan 9.88. Hasil
analisis Costumers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa benih padi
hibrida varietas Intani 2 memperoleh skor sebesar 49.59 persen yang dianggap
termasuk dalam kategori biasa atau netral. Sedangkan CSI pada benih padi inbrida
varietas Ciherang ialah 75.87 persen atau termasuk kedalam kategori puas.
Firohmatillah (2011) meneliti tentang penerapan metode Quality Function
Deployment (QFD) dan analisis sensitivitas harga pada pengembangan padi
Varietas Unggul Hibrida studi kasus di Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur
Jawa Barat. Hasil penelitian menyatakan bahwa persyaratan konsumen yang
diinginkan adalah benih padi hibrida yang memiliki karakter tingkat produktivitas
tinggi, lama umur padi hibrida yaitu 90-120 hari, tahan terhadap hama wereng
coklat, penyakit hawar daun bakteri, dan penyakit blast, tahan terhadap virus
tungro, berdaya kecambah tinggi, memiliki tingkat kerontokan (kehilangan) gabah
padi hibrida saat panen dan pengangkutan pada tingkat sedang, memiliki tingkat
kerontokan gabah padi hibrida saat proses penggebotan (perontokan gabah dari
tangkainya) tergolong sedang, memiliki tingkat rendemen gabah menjadi beras
15
yang tinggi, memiliki jumlah anakan produktif yang tinggi, tahan rebah,
karakteristik batang yang besar dan kuat, warna daun hijau tua, memiliki jumlah
gabah per malai yang tinggi, ukuran benih besar, bentuk gabah ramping, tingkat
kepatahan beras rendah, beras putih berkapur, tekstur nasi pulen, dan aroma nasi
wang
PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR
PROVINSI JAWA BARAT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendapatan Usahatani
Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Astri Sabrina Qhoirunisa
NIM H34090065
ABSTRAK
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi
Inbrida di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh RITA
NURMALINA.
Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia adalah beras.
Kondisi kebutuhan yang tinggi terhadap beras menjadi dasar penting bagi pertanian
padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional
melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Peningkatan
produktivitas melalui intensifikasi pertanian salah satunya diwujudkan melalui
penanaman padi hibrida. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan keragaan
usahatani, menganalisis pendapatan usahatani serta imbangan penerimaan dan biaya
(R/C rasio) pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor.
Pendapatan atas biaya tunai per hektar per musim pada usahatani padi hibrida yaitu
sebesar Rp8 265 583.88 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar Rp8 875
299.84. Pendapatan atas biaya total per hektar per musim pada usahatani padi inbrida
yaitu sebesar Rp2 660 588.06 sedangkan pada usahatani padi hibrida pendapatan atas
biaya total bernilai negatif yang berarti petani padi hibrida mengalami kerugian
sebesar Rp235 003.43. Nilai R/C rasio atas biaya tunai pada usahatani padi hibrida
yaitu sebesar 2.15 sedangkan pada usahatani padi inbrida sebesar 2.40. Nilai R/C
rasio atas biaya total pada usahatani padi hibrida yaitu sebesar 0.99, sementara pada
usahatani padi inbrida yaitu senilai 1.21.
Kata kunci: intensifikasi pertanian, padi hibrida, padi inbrida, pendapatan usahatani,
R/C rasio
ABSTRACT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA. Farm Income of Hybrid Rice and Inbred Rice in
Bogor Regency, West Java Province. Supervised by RITA NURMALINA.
Commodity which became a staple food of Indonesian people is rice.
Conditions of high demand for rice became an important base for rice farming in
Indonesia to increase national rice production and productivity through extension and
intensification agricultural programs. Increased productivity through intensification of
agriculture one of which is realized through the hybrid rice. The purpose of this study
are to describe the variability of rice farming, analyze farm income and the ratio
between revenue and cost of hybrid and inbred rice farming in Bogor regency.
Income based on cash costs per hectare per season on hybrid rice farming is Rp8 265
583.88 while the inbred rice farming is Rp8 875 299.84. Income based on total costs
per hectare per season in inbred rice farming is Rp2 660 588.06 while the hybrid rice
farming income based on total cost is negative which means hybrid rice farmers
suffered a loss of Rp235 003.43. Value of R/C ratio based on cash cost on hybrid rice
farming that is equal to 2.15, while the inbred rice farming is 2.40. Value of R/C ratio
based on total cost of the hybrid rice farming that is equal to 0.99, while the inbred
rice farming is 1.21.
Key words: agricultural intensification, hybrid rice, inbred rice, farm income analysis,
R/C ratio
PENDAPATAN USAHATANI PADI HIBRIDA DAN
PADI INBRIDA DI KABUPATEN BOGOR
PROVINSI JAWA BARAT
ASTRI SABRINA QHOIRUNISA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten
Bogor Provinsi Jawa Barat
Nama
: Astri Sabrina Qhoirunisa
NIM
: H34090065
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 ini
ialah Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida di Kabupaten Bogor
Provinsi Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku
dosen pembimbing. Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP,
MM selaku dosen penguji utama dan Anita Primaswari Widhiani, SP, MSi selaku
dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Melissa Amandasari, SE yang telah bersedia menjadi
pembahas pada seminar hasil penelitian. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak H. Nana beserta staf dari Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bogor, Bapak Jasiman
dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Penyuluhan Pertanian Perikanan (UPTD-P3)
Wilayah Cibungbulang, Bapak Agah dari Gabungan Kelompok Tani Asmara Jaya
Desa Ciasmara, Bapak H. Soleh dari Kelompok Tani Sadar Tani Desa Ciasmara,
dan Ibu Lilis dari Kantor Desa Ciasmara yang telah membantu selama
pengumpulan data. Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir
Lusi Fausia, M.Ec selaku wali akademik selama menjalani perkuliahan. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak dan adik, serta seluruh
keluarga dan para sahabat, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terakhir penulis
sampaikan salam semangat dan terima kasih atas segala dukungan dari rekanrekan Agribisnis 46.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Astri Sabrina Qhoirunisa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditas
Padi Varietas Unggul
Tinjauan Penelitian Terdahulu
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Responden
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional Penelitian
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Geografis
Sosial Ekonomi Masyarakat
Karakteristik Petani Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida
Analisis Pendapatan Usahatani Padi Hibrida dan Padi Inbrida
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
ix
1
1
7
9
9
10
10
10
11
14
17
17
21
25
25
25
25
26
27
28
28
29
30
34
34
44
56
56
58
58
73
DAFTAR TABEL
1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan menurut
kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun 2012
2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor
beras di Indonesia tahun 2009-2012
3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012
4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi
Jawa Barat tahun 2008 sampai 2010
5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor
tahun 2006-2011
6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi
tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011
7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di
Kecamatan Pamijahan tahun 2010
8 Komposisi mata pencaharian penduduk Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2012
9 Karakteristik petani responden di Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor tahun 2013
10 Perbandingan penggunaan input, produktivitas, dan harga pada
usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor per musim tanam Oktober 2012
11 Rata-rata penerimaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa
Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per
musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
12 Rata-rata biaya penggunaan pupuk padi hibrida dan padi inbrida di
Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar
per musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
13 Rata-rata penggunaan tenaga kerja dalam usahatani padi hibrida dan
padi inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai
musim panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
14 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan R/C rasio usahatani padi
hibrida dan padi inbrida per hektar per musim di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
1
2
4
5
6
6
7
29
31
35
45
47
50
54
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran operasional penelitian
2 Rata-rata penggunaan benih padi hibrida dan padi inbrida di Desa
Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per
musim tanam Oktober 2012
3 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi hibrida dan padi
inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
per hektar per musim tanam Oktober 2012
24
37
37
4
5
Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani padi hibrida dan padi
inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
per hektar per musim tanam Oktober 2012
Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi hibrida dan
padi inbrida di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan Kabupaten
Bogor per hektar per musim tanam Oktober 2012
38
39
DAFTAR LAMPIRAN
1
Varietas padi hibrida yang telah dilepas di Indonesia hingga tahun
2009
2 Deskripsi padi varietas DG 1 SHS
3 Deskripsi padi varietas Ciherang
4 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi
hibrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim
panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
5 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C rasio usahatani padi
inbrida per hektar per musim tanam Oktober 2012 sampai musim
panen Februari 2013 di Desa Ciasmara Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor
6 Rata-rata pengeluaran usahatani padi hibrida di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam
Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
7 Rata-rata pengeluaran usahatani padi inbrida di Desa Ciasmara
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor per hektar per musim tanam
Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013
8 Peta Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor
9 Dokumentasi penelitian
61
62
63
64
66
68
69
70
71
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian di Indonesia meliputi beberapa subsektor, yaitu subsektor
tanaman pangan, subsektor hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor
peternakan, subsektor perikanan, dan subsektor kehutanan. Subsektor tanaman
pangan merupakan sub-sektor pertanian yang penting bagi negara Indonesia
karena sub-sektor ini menjadi penyedia utama bahan pangan bagi penduduk.
Menurut Suryani dan Rachman (2008), pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia sehingga pemenuhannya menjadi salah satu hak asasi yang harus
dipenuhi secara bersama oleh negara dan masyarakatnya. Komitmen Indonesia
tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, dimana
pada Pasal 45 disebutkan bahwa kewajiban untuk mewujudkan ketahanan pangan
tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 mendefinisikan bahwa pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi
manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dari atau pembuatan
makanan dan minuman. Sementara itu, pangan pokok adalah pangan sumber
karbohidrat yang sering dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai
makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau
penutup.
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita per bulan
menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia tahun
2012a
Kelompok barang konsumsi
Persentase (%/kap/tahun)
Makanan:
- Padi-padian
17.89
- Umbi-umbian
0.86
- Ikan
8.22
- Daging
4.03
- Telur dan susu
5.87
- Sayur-sayuran
7.40
- Kacang-kacangan
2.60
- Buah-buahan
4.78
- Lain-lain
48.34
Jumlah makanan
100.00
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Komoditas yang menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia yaitu beras.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya proporsi konsumsi masyarakat Indonesia
yang tinggi terhadap beras pada pengeluaran rata-rata setiap bulannya. Jika dilihat
2
dari Tabel 1, dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 pengeluaran penduduk
Indonesia untuk konsumsi beras (padi-padian) mencapai 17.89 persen dari total
pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
penduduk indonesia masih menjadikan beras sebagai komoditas utama dalam
konsumsi pangan pokoknya, sesuai dengan pendapat Budijanto dan Sitanggang
(2011) yang menyatakan bahwa beras memiliki posisi strategis yang berperan
sebagai makanan pokok (staple food) bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) dan Perum BULOG
(2011) pada Tabel 2, produksi padi tahun 2010 sebesar 66.47 juta ton Gabah
Kering Giling (GKG), terjadi kenaikan sebanyak 2.07 juta ton dibandingkan
produksi tahun 2009. Kenaikan produksi terjadi karena peningkatan luas panen
padi di Indonesia seluas 369.87 ribu hektar dan juga peningkatan produktivitas
sebesar 0.16 kuintal per hektar. Produksi padi tahun 2011 sebesar 65.76 juta ton
GKG, terjadi penurunan sebesar 712.49 ribu ton dibandingkan produksi tahun
2010. Penurunan produksi diperkirakan karena penurunan luas panen padi di
Indonesia seluas 49.81 ribu hektar dan juga penurunan produktivitas sebesar 0.35
kuintal per hektar, yang disebabkan oleh iklim ekstrim di tahun 2011 dimana
terjadi gagal panen akibat kekeringan dan berkembangnya hama penyakit padi,
sehingga menurunkan produktivitas padi nasional. Produksi padi tahun 2012
sebesar 69.05 juta ton GKG, terjadi kenaikan sebesar 3.29 juta ton dibandingkan
produksi tahun 2011. Kenaikan produksi disebabkan adanya peningkatan luas
seluas 239.80 ribu hektar dan disertai peningkatan produktivitas sebesar 1.56
kuintal per hektar.
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi serta volume impor beras di
Indonesia tahun 2009-2012ab
Luas panen
Produktivitas
Produksi
Volume impor
Tahun
(ha)
(ku/ha)
(ton)
beras (ton)
2009
12 883 576
49.99
64 398 890
0
2010
13 253 450
50.15
66 469 394
427 350
2011
13 203 643
49.80
65 756 904
2 208 414
2012
13 443 443
51.36
69 045 141
1 272 960
a
Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 dan Perum BULOG 2011 (diolah).; bBentuk padi berupa
Gabah Kering Giling (GKG).
Komoditas beras sebagai pangan pokok masyarakat Indonesia perlu dijaga
ketersediaannya di dalam negeri. Selama ini pemerintah mengambil kebijakan
impor beras dari berbagai negara, khususnya dari wilayah Asia, seperti Vietnam
dan Thailand untuk menjaga kestabilan persediaan dalam negeri dan mencukupi
kebutuhan pangan pokok masyarakat. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa
pemerintah tidak melakukan impor beras pada tahun 2009 karena persediaan beras
dalam negeri dapat tercukupi, namun pada tahun 2010 impor dilakukan sebanyak
427 350 ton dan meningkat hingga 2.21 juta ton pada tahun 2011 akibat adanya
penurunan jumlah produksi padi dalam negeri, sehingga impor dilakukan agar
kebutuhan masyarakat tetap dapat tercukupi. Pada tahun 2012 volume impor beras
3
mengalami penurunan menjadi 1.27 juta ton diperkirakan karena produksi padi
dalam negeri yang mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2011.
Kebutuhan beras dalam negeri akan terus meningkat seiring dengan
penambahan jumlah penduduk setiap tahunnya. Pada tahun 2010 jumlah
penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1.49 persen pada tahun 2010 1 , apabila diproyeksikan pada tahun 2015
penduduk Indonesia akan berada pada angka 247 juta jiwa, dan mencapai 261 juta
jiwa pada tahun 20202. Dengan konsumsi beras rata-rata per kapita sebesar 139 kg
(BPS 2012), maka jumlah total konsumsi beras Indonesia pada tahun 2015
diproyeksikan mencapai 34.33 juta ton dan sebesar 36.28 juta ton pada tahun 2020.
Permintaan beras yang semakin meningkat tidak hanya disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, tetapi juga pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat,
dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini menyebabkan kebutuhan
beras secara nasional meningkat dalam jumlah, mutu, dan keragaman. Sementara
itu, kapasitas produksi beras nasional pertumbuhannya lambat atau dapat
dikatakan stagnan (Nurmalina 2008).
Kondisi peningkatan kebutuhan akan beras menjadi dasar penting bagi
pertanian padi di Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas padi
nasional. Peningkatan produktivitas padi nasional dapat ditempuh melalui
program ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian
merupakan cara untuk meningkatkan hasil pertanian dengan memanfaatkan lahan
yang tersedia dengan sebaik-baiknya menggunakan teknologi tepat guna.
Sedangkan ekstensifikasi pertanian merupakan cara untuk meningkatkan hasil
pertanian dengan memperluas lahan pertanian. Selama ini di Indonesia lebih
banyak dilakukan intensifikasi pertanian terutama di Pulau Jawa dibandingkan
dengan ekstensifikasi pertanian, karena memanfaatkan kondisi tingkat kesuburan
lahan yang lebih baik dan mengurangi dampak kerusakan ekosistem serta
berkurangnya habitat alami hewan di alam yang dapat ditimbulkan dari
ekstensifikasi pertanian.
Salah satu upaya pemerintah dalam intensifikasi pertanian padi yaitu
melalui Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian pada tahun 2007
mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program
nasional ini didukung oleh berbagai kebijakan subsidi dan bantuan penyediaan
pupuk, benih, dan penerapan berbagai inovasi teknologi melalui kegiatan
penyuluhan dan koordinasi pihak terkait, baik di pusat maupun daerah. Strategi
peningkatan produksi padi dalam P2BN meliputi: 1) peningkatan produktivitas, 2)
perluasan areal tanam, 3) pengamanan produksi, dan 4) pemberdayaan
kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usahatani. Operasionalisasi
dari strategi peningkatan produktivitas diwujudkan melalui introduksi model
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), penanaman padi hibrida, dan perbaikan
intensifikasi padi melalui bantuan sarana produksi berupa bantuan subsidi pupuk
termasuk pupuk organik serta benih varietas unggul baru padi hibrida dan inbrida.
Belajar dari pengalaman implementasi PTT pada tahun 2007 dan Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) pada tahun 1990-an, maka sejak tahun
1
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia
dari: www.bps.go.id
2
_____. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2020 [Internet].[diacu 2013 Januari 25]. Tersedia dari:
www.datastatistik-indonesia.com
4
2008 percepatan adopsi PTT oleh petani di daerah-daerah sentra produksi
ditempuh melalui sekolah lapang (SL) yang biasa disebut SL-PTT (Deptan 2009).
Penerapan strategi peningkatan produksi padi dalam P2BN selama ini
dilakukan di sentra-sentra produksi padi nasional, terutama di Pulau Jawa. Pulau
Jawa merupakan pulau dimana sebaran areal lahan sawah padi paling banyak
terkonsentrasi dan memiliki angka produksi beras tertinggi di Indonesia. Hal ini
sesuai dengan pendapat Setyorini et al. (2003) yang menyatakan bahwa hampir 42
persen lahan sawah berada di Pulau Jawa, 27 persen di Sumatera, sedangkan 13,
11, dan 7 persen masing-masing berada di Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah
Bali-Nusa Tenggara. Terkonsentrasinya lahan sawah di Pulau Jawa berkaitan
dengan jenis tanah yang berasal dari bahan induk endapan volkan, dimana secara
alami lebih subur daripada tanah-tanah sawah yang berasal dari bahan induk
endapan tersier. Tingkat kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan
ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju mengakibatkan
kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Pulau Jawa dengan di
luar Pulau Jawa3.
Berdasarkan data yang tercatat di Perum BULOG (2011) dan Badan Pusat
Statistik (2012), angka produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) di
Pulau Jawa dalam kurun waktu 2008 hingga 2012 mengalami tren peningkatan.
Penurunan produksi di Pulau Jawa hanya terjadi pada tahun 2011 namun kembali
mengalami peningkatan pada tahun 2012 dengan angka produksi tertinggi selama
lima tahun terakhir.
Tabel 3 Produksi padi (GKG) dalam satuan ton di Indonesia tahun 2008-2012a
Daerah
Sumatera
Jawa
- DKI Jakarta
- Jawa Barat
- Jawa Tengah
- DI Yogyakarta
- Jawa Timur
- Banten
Bali & Nusa
Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Luar Jawa
Indonesia
a
2008
13 597 423
32 344 070
8 352
10 108 142
9 136 405
798 232
10 474 773
1 818 166
3 169 037
2009
14 696 457
34 880 131
11 013
11 322 681
9 600 415
837 930
11 259 085
1 849 007
3 356 898
2010
15 200 136
36 374 771
11 164
11 737 070
10 110 630
823 887
11 643 773
2 048 047
3 199 153
2011
15 686 847
34 404 557
9 516
11 633 891
9 391 959
842 934
10 576 543
1 949 714
3 516 824
2012
16 004 837
36 526 663
11 044
11 271 861
10 232 934
946 224
12 198 707
1 865 893
3 678 350
4 393 490
6 575 317
252 661
27 978 928
60 322 998
4 392 112
6 801 668
271 624
29 518 759
64 398 890
4 425 272
6 994 688
275 374
30 094 623
66 469 394
4 574 149
7 280 888
293 639
31 352 347
65 756 904
4 695 268
7 821 789
318 234
32 518 478
69 045 141
Sumber: Perum BULOG 2011 dan Badan Pusat Statistik 2012 (diolah).
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa apabila angka produksi padi di Pulau Jawa
dibandingkan dengan produksi padi di luar Pulau Jawa, angka produksi tersebut
masih lebih besar bila dibandingkan dengan total keseluruhan produksi padi dari
3
Setyorini et al. 2003.Teknologi Pegelolaan Hara Lahan Sawah Intensifikasi [Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia
dari: http://balittanah.litbang.deptan.go.id
5
seluruh pulau di Indonesia selain Jawa. Hal tersebut membuktikan keberadaan
Pulau Jawa sebagai sentra produksi padi di Indonesia.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki angka tertinggi
dalam produksi padi di Pulau Jawa. Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Jawa Barat tahun 2009, sentra produksi padi sawah di Jawa Barat
meliputi Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung,
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan
Indramayu 4 . Salah satu kabupaten yang menjadi sentra produksi padi di Jawa
Barat yaitu Kabupaten Bogor.
Tabel 4 Luas areal potensial untuk pengembangan padi hibrida di Provinsi Jawa
Barat tahun 2008 sampai 2010a
Luas areal potensial (Ha)
Lokasi
Jawa Barat
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Ciamis
Purwakarta
Jumlah
a
2008
2009
2010
85 208
127 815
124 692
81 378
110 514
105 467
37 139
672 213
85 706
130 921
133 015
67 525
115 911
109 814
37 549
680 441
89 694
136 600
145 214
79 339
127 116
124 373
39 003
741 339
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2011),
sesuai yang tercantum dalam Tabel 4, Kabupaten Bogor merupakan salah satu
sentra padi yang memiliki potensi untuk pengembangan padi hibrida di Jawa
Barat. Luas areal potensial yang terus meningkat mulai tahun 2008 hingga 2010
menunjukkan bahwa program penanaman padi hibrida di Kabupaten Bogor
berpotensi untuk dikembangkan.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa luas panen, produktivitas, dan produksi
padi di Kabupaten Bogor mengalami fluktuasi namun trennya meningkat hingga
tahun 2011. Penurunan produksi terjadi pada tahun 2007 dan 2009, yang
diperkirakan akibat dari penurunan luas panen. Pada tahun 2011 produktivitas
mencapai puncaknya yaitu di angka 62.31 kuintal per hektar. Hal ini
mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor memiliki potensi menjadi sentra
produksi padi di Provinsi Jawa Barat.
4
[Diperta Jabar] Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2009. Sentra Produksi Padi Sawah di Jawa Barat
[Internet].[diacu 2012 Oktober 8]. Tersedia dari: www.diperta.jabarprov.go.id .
6
Tabel 5 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi di Kabupaten Bogor tahun
2006-2011a
Luas panen
Produktivitas
Tahun
Produksi (ton)
(ha)
(ku/ha)
2006
79 636
52.66
419 339
2007
77 357
53.11
410 810
2008
86 888
56.25
488 745
2009
83 784
58.15
487 197
2010
84 891
60.47
513 292
2011
83 399
62.31
519 675
a
Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2012 (diolah).
Menurut data dari BPS Kabupaten Bogor tahun 2012 dalam Tabel 6, dari
sebanyak 40 jumlah kecamatan di Kabupaten Bogor, Kecamatan Pamijahan
merupakan kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas tertinggi.
Padi merupakan komoditas utama dari sektor pertanian di Kecamatan Pamijahan.
Tabel 6 Lima kecamatan dengan luas panen, produksi, dan produktivitas padi
tertinggi di Kabupaten Bogor tahun 2011a
Luas Panen
Produktivitas
Kecamatan
Produksi (ton)
(ha)
(ton/ha)
Pamijahan
8 429
53 906
6.40
Sukamakmur
5 328
33 560
6.30
Jonggol
5 113
31 982
6.26
Tanjung Sari
5 078
31 565
6.22
Cariu
4 538
28 403
6.26
a
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (2012).
Apabila dibandingkan, produktivitas padi di Kecamatan Pamijahan pada
tahun 2011 berada di atas angka produktivitas padi Kabupaten Bogor pada tahun
yang sama, yaitu sebesar 6.40 ton per hektar setara dengan 64 kuintal per hektar
dimana produktivitas Kabupaten Bogor hanya sebesar 62.31 kuintal per hektar.
Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Pamijahan memberikan kontribusi yang
besar terhadap produktivitas padi Kabupaten Bogor.
Penelitian padi hibrida di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 1983 dengan
tujuan menjajaki prospek dan kendala penggunaan padi hibrida. Sejak tahun 1998,
penelitian lebih diintensifkan dengan melakukan pembentukan tetua padi hibrida
yang berasal dari plasma nutfah sendiri dengan target mendapatkan padi hibrida
yang adaptif di lingkungan Indonesia dan berpotensi hasil 15 sampai 20 persen
lebih tinggi dibandingkan varietas padi inbrida terbaik (Satoto dan Suprihatno
2008). Hingga tahun 2009, terdapat 37 varietas padi hibrida yang telah dilepas
sejak tahun 2001, terdiri dari enam padi hibrida publik yang dilepas oleh Balai
Penelitian Tanaman Padi (BALITPA) dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(BB Padi) serta 31 padi hibrida swasta seperti yang terdapat pada Lampiran 1.
7
Padi hibrida di Indonesia pada umumnya bila ditanam di lingkungan yang
sesuai, mampu menghasilkan gabah 1.0 sampai 1.5 ton per hektar lebih tinggi
dibandingkan varietas inbrida terbaik di daerah setempat. Menurut Satoto dan
Suprihatno (2008), pada demonstrasi penerapan teknologi PTT di 28 kabupaten,
varietas padi hibrida Rokan dan Maro memberikan hasil rata-rata 9.05 dan 8.87
ton per hektar, sedangkan varietas inbrida kurang dari 8.0 ton per hektar. Hal
tersebut memberikan bukti bahwa padi hibrida memiliki potensi untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas padi nasional apabila disertai dengan
penanganan budidaya yang baik.
Peningkatan produksi dan produktivitas padi nasional yang dilakukan secara
berkelanjutan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan akan beras bagi masyarakat
dalam negeri dan meminimalisir impor beras pada masa yang akan datang.
Peningkatan produksi padi nasional juga akan memberi dampak positif bagi petani
padi Indonesia yaitu meningkatkan pendapatan usahatani yang mengindikasikan
peningkatan kesejahteraan petani di daerah-daerah sentra produksi padi.
Perumusan Masalah
Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor
(2011) pada Tabel 7, dari sebanyak 15 desa yang terdapat di Kecamatan
Pamijahan, Desa Ciasmara merupakan desa dengan luas panen, produktivitas, dan
produksi padi tertinggi, masing-masing sebesar 950 hektar, 6.2 ton per hektar, dan
5 890 ton. Sebagai sentra produksi padi di Kecamatan Pamijahan, dimana
Kecamatan Pamijahan merupakan sentra produksi padi di Kabupaten Bogor, maka
dapat disimpulkan bahwa Desa Ciasmara adalah sentra produksi padi Kabupaten
Bogor.
Tabel 7 Luas panen, produktivitas, dan produksi padi menurut desa di Kecamatan
Pamijahan tahun 2010a
No.
Desa
1.
Cibunian
2.
Purwabakti
3.
Ciasmara
4.
Ciasihan
5.
Gunung Sari
6.
Gunung Bunder 2
7.
Gunung Bunder 1
8.
Cibening
9.
Gunung Picung
10.
Cibitung Kulon
11.
Cibitung Wetan
12.
Pamijahan
13.
Pasarean
14.
Gunung Menyan
15.
Cimayang
Jumlah
a
Sumber : BPS Kabupaten Bogor (2011).
Luas panen
(Ha)
700
625
950
800
650
500
600
550
650
500
575
650
500
325
375
8 950
Produktivitas
(Ton/ha)
5.0
5.0
6.2
6.0
5.7
5.5
5.5
5.0
6.0
5.2
5.2
5.5
5.5
5.0
5.3
5.4
Produksi
(Ton)
3 500
3 125
5 890
4 800
3 705
2 750
3 300
2 750
3 900
2 600
2 990
3 575
2 750
1 625
1 987
49 247
8
Desa Ciasmara merupakan sentra produksi padi Kabupaten Bogor dimana
kegiatan bertani dianggap sebagai aktifitas turun temurun yang dijaga
keberlangsungannya dalam kehidupan bermasyarakat, menjadikan kegiatan
bertani padi menjadi tradisi yang berlangsung hingga saat ini. Kebiasaan bertani
ini perlu didukung oleh adanya penerapan sistem usahatani yang baik, dengan
tujuan agar produksi yang tinggi dapat berlangsung secara kontinyu. Di Desa
Ciasmara terdapat satu Gabungan Kelompok Tani bernama Gapoktan Asmara
Jaya, yang terdiri dari delapan kelompok tani. Selama ini benih padi yang
digunakan oleh sebagian besar petani di Desa Ciasmara yaitu varietas Ciherang.
Dalam melaksanakan usahatani, Gapoktan Asmara Jaya dan petani yang
tergabung di dalamnya memperoleh pelatihan program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) sejak tahun 2008. Pada bulan Oktober
2012, Desa Ciasmara memperoleh program adopsi benih padi hibrida.
Pelaksanaan program SL-PTT dengan bantuan benih langsung padi hibrida yang
diperoleh secara gratis tersebut secara tertulis melibatkan sebanyak 25 petani yang
sebagian besar merupakan anggota kelompok tani Sadar Tani. Namun selama
penelitian berlangsung, seluruh populasi petani padi hibrida yang terdapat di Desa
Ciasmara hanya berjumlah 17 orang.
Komposisi dari komponen dalam pelaksanaan SL-PTT termasuk
penggunaan benih padi hibrida berbeda menurut karakteristik agroekosistem.
Paket teknologi yang diujicoba di lahan penelitian suatu tempat belum tentu
memberikan hasil serupa bila diterapkan di sentra-sentra produksi padi lain. Benih
padi hibrida yang ditanam petani sebagian besar masih diimpor dari Cina atau
India, yang memiliki kondisi agroekosistem berbeda. Adopsi benih padi hibrida di
Indonesia masih memiliki kendala, diantaranya yaitu produktivitas masih sangat
beragam dan tidak mantap. Menurut Ruskandar (2010), di tingkat penelitian, hasil
padi hibrida berkisar antara 8-10 ton per hektar atau 10 sampai 30 persen lebih
tinggi dibanding padi inbrida yang saat ini mendominasi areal pertanaman padi
nasional, seperti Ciherang, IR64, dan Way Apo Buru. Di lokasi tertentu dengan
dukungan teknologi budidaya yang tepat, hasil padi hibrida pada tingkat petani
bisa mencapai 9 ton per hektar. Akan tetapi di banyak lokasi, hasil padi hibrida
belum meyakinkan dan masih rendah disebabkan oleh serangan hama penyakit
dan ketidaktepatan penerapan tekonologi budidaya. Pada umumnya varietas padi
hibrida belum ada yang tahan terhadap hama dan penyakit utama seperti Wereng
Coklat, Hawar Daun Bakteri, dan virus tungro.
Selain permasalahan kecocokan agroekosistem, perolehan benih padi
hibrida dengan harga yang mahal juga menjadi permasalahan bagi petani.
Berdasarkan hasil penelitian Ruskandar (2010), dengan harga benih yang berkisar
antara Rp40 000 hingga Rp50 000 per kilogram, hampir seluruh petani responden
di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyatakan tidak bersedia membeli dan
konsekuensinya mereka enggan melanjutkan penanaman padi hibrida pada musim
tanam berikutnya.
Begitu pula dengan benih padi hibrida yang ditanam di Desa Ciasmara.
Pemanenan yang dilakukan pada bulan Februari 2013 merupakan pemanenan
perdana dari hasil musim tanam yang dimulai sejak bulan Oktober 2012. Hasil
produksi yang diperoleh menjadi suatu tolak ukur apakah penggunaan padi
hibrida di Desa Ciasmara lebih menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan
dengan padi inbrida yang biasa ditanam oleh petani yaitu varietas Ciherang.
9
Apabila ternyata pendapatan usahatani yang dihasilkan dengan menanam padi
hibrida lebih rendah daripada padi inbrida, terdapat kemungkinan petani enggan
menanam kembali padi hibrida karena adanya berbagai pertimbangan dari sudut
pandang petani. Dengan demikian analisis perbandingan pendapatan usahatani
antara padi hibrida dengan padi inbrida menjadi hal yang penting untuk diteliti,
apakah dengan produktivitas padi hibrida yang lebih tinggi namun harga
pembelian benih yang lebih mahal dapat menghasilkan pendapatan usahatani yang
lebih besar dibandingkan padi inbrida.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
antara lain:
1. Bagaimana keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten
Bogor
2. Bagaimana pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
3. Bagaimana imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani padi
hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan dari penelitian ini meliputi:
1. Mendeskripsikan keragaan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
2. Menganalisis pendapatan usahatani padi hibrida dan padi inbrida di
Kabupaten Bogor
3. Menganalisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) pada usahatani
padi hibrida dan padi inbrida di Kabupaten Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan informasi dalam hal usahatani padi hibrida dan padi inbrida, seperti
pihak petani, pemerintah, dan pembaca. Bagi petani, diharapkan hasil dari
penelitian ini akan memberikan informasi yang bermanfaat terutama dalam hal
keputusan memilih padi yang akan diproduksi, sehingga diharapkan dapat
memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan bagi petani.
Bagi pemerintah khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Bogor, diharapkan hasil penelitian ini akan dijadikan salah satu sumber informasi
dalam mengembangkan program peningkatan produksi padi hibrida yang telah
dilakukan selama ini. Bagi pembaca, diharapkan hasil penelitian ini nantinya akan
menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sumber informasi serta pembanding
dalam melakukan penelitian selanjutnya yang relevan.
10
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi hibrida
varietas DG 1 SHS dan padi inbrida varietas Ciherang. Substansi penelitian ini
hanya pada analisis keragaan usahatani, analisis pendapatan usahatani, dan
analisis R/C rasio pada usahatani padi hibrida dan padi inbrida di Desa Ciasmara
selama musim tanam Oktober 2012 sampai musim panen Februari 2013.
Responden padi hibrida yang termasuk dalam penelitian ini yaitu seluruh populasi
petani yang menanam padi hibrida di Desa Ciasmara, sedangkan responden padi
inbrida yaitu petani anggota poktan di bawah gabungan kelompok tani Asmara
Jaya di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Komoditas
Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk golongan tumbuhan Gramineae
yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman padi
terdiri dari ribuan varietas yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri,
sehingga dapat dikatakan tidak ada dua varietas padi yang memiliki karakteristik
sama dan terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Indica dan golongan
Yaponica/sub-Yaponica (Siregar 1978). Golongan tanaman padi yang terdapat di
Indonesia merupakan padi golongan Indica yang pada umumnya terdapat di
negara-negara yang termasuk daerah tropis. Tanaman padi yang dipanen akan
menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) dengan kadar air antara 18 hingga 25
persen, yang setelahnya dikeringkan atau dijemur hingga kadar air berkurang
sampai pada batas maksimal 14 persen dan menjadi Gabah Kering Giling5 (GKG).
Gabah Kering Giling tersebut yang selanjutnya diproses menjadi beras.
Beras merupakan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia. Meskipun
sebagai pangan pokok beras dapat disubstitusi oleh bahan makanan lainnya,
namun beras memiliki nilai tersendiri bagi orang Indonesia yang biasa
mengkonsumsi nasi sebagai olahan beras dan tidak dapat dengan mudah
digantikan oleh bahan makanan lain (Aak 1990). Selain itu, beras merupakan
komoditas yang memegang posisi strategis. Menurut Firdaus et al. (2008), beras
dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup masyarakat dan
penting sebagai instrumen untuk menjaga kestabilan keamanan pangan, dimana
sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya
beras telah memicu terjadinya kerusuhan pada periode awal reformasi akibat
kekhawatiran masyarakat akan kekurangan stok pangan nasional. Peran dan
campur tangan pemerintah menjadi sesuatu yang penting dalam rangka menjaga
ketersediaan beras sepanjang tahun, distribusi yang merata, dan harga yang stabil
agar dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Peran pemerintah
5
_____. 2013. Istilah Perdagangan
http://id.wikipedia.org/wiki/Gabah.
Gabah
[Internet].[diacu
2013
Januari
28].
Tersedia
dari:
11
dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras dalam negeri (self
sufficiency) hingga saat ini ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui kebijakan
impor dan peningkatan produksi beras dalam negeri.
Padi Varietas Unggul
Padi dikatakan termasuk varietas unggul apabila memiliki salah satu sifat
keunggulan terhadap varietas sebelumnya. Keunggulan tersebut dapat tercermin
pada sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan bulir yang produksinya tinggi,
pada satu satuan luas lahan dan pada satu satuan waktu. Produksi yang tinggi ini
dapat terjadi karena perpaduan antara beberapa sifat yang ada pada tanaman.
Beberapa sifat tanaman padi varietas unggul antara lain mempunyai banyak
anakan, jumlah malai tiap anakan banyak, bulir padi pada tiap malai berjumlah
lebih dari 250 bulir, respon terhadap pemupukan, tahan terhadap hama dan
penyakit termasuk virus, serta berumur pendek antara 110 hingga 140 hari setelah
penanaman (Aak 1990).
Berdasarkan hasil penelitian Samaullah (2007), penggunaan padi varietas
unggul adalah salah satu penentu keberhasilan usahatani padi. Melalui
penggunaan varietas unggul dan teknik budidaya yang sesuai dapat meningkatkan
produksi padi nasional. Keberhasilan pencapaian swasembada beras pada tahun
1984 merupakan salah satu bukti bahwa penggunaan benih dari varietas unggul
disertai teknik budidaya yang baik dapat meningkatkan hasil. Hingga saat ini,
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan banyak varietas unggul
yang mempunyai potensi hasil dan sifat-sifat lain yang lebih baik dari varietas
unggul sebelumnya. Dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional
(P2BN) yang dimulai pada tahun 2007, penggunaan padi varietas unggul menjadi
komponen penting dalam operasionalisasi program untuk menggantikan dominasi
posisi IR64 yang produktivitas dan ketahanannya terhadap hama dan penyakit
telah mulai menurun.
Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2008) 6 dan Aak (1990),
varietas unggul yang ada di Indonesia meliputi:
Padi Varietas Unggul Hibrida (VUH)
a. Pengertian Padi Hibrida
Varietas hibrida mengandung makna bahwa benih yang digunakan untuk
pertanaman produksi adalah benih generasi pertama (F1) yang berasal dari hasil
persilangan antara tetua berbeda yang dipilih melalui seleksi. Secara individu,
susunan genetik tanaman hibrida bersifat heterozigot homogen (Satoto et al. 2008).
Virmani et al. (2004) dalam Basuki (2008) memberikan penjelasan bahwa padi
hibrida komersial merupakan F1 (keturunan pertama) yang superior. Maksudnya
adalah selain berasal dari induk yang lebih baik, padi hibrida komersial juga harus
signifikan menunjukkan superioritas hasil (paling tidak 1 ton per hektar) atas
varietas unggul inbrida dengan umur sejenis serta mempunyai kualitas gabah yang
diterima konsumen.
6
[BB Padi] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Varietas Unggul Padi Sawah: Pengertian dan Aspek Terkait
[Internet].[diacu 2013 Januari 27]. Tersedia dari: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id.
12
Perakitan padi hibrida dilandasi oleh adanya fenomena genetika yang
disebut vigor hibrida atau heterosis. Menurut Satoto et al. (2008) heterosis
merupakan suatu kecenderungan bahwa individu atau populasi F1 akan tampil
lebih baik dibandingkan dengan salah satu tetua atau rata-rata kedua tetua
pembentuknya. Keunggulan yang dihasilkan dari heterosis pada padi terlihat pada
hasil gabah, komponen pertumbuhan (akar dan daun), dan komponen hasil
(jumlah malai per satuan luas dan jumlah gabah per malai) yang lebih tinggi
dibandingkan padi inbrida.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), perakitan padi hibrida di
Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode tiga galur, dalam arti untuk
membentuk padi hibrida diperlukan tiga galur tetua, yaitu:
1) Galur mandul jantan (GMJ atau CMS atau A)
Galur padi yang tidak dapat memproduksi tepungsari yang berfungsi
(viable), disebabkan adanya interaksi antara gen-gen sitoplasma dan gen-gen inti
disebut cytoplasmic male steril (CMS). CMS digunakan sebagai tetua betina
dalam produksi benih padi hibrida.
2) Galur pelestari atau maintainer line (B)
Galur pelestari mirip dengan galur-galur mandul jantan, hanya saja
mempunyai tepungsari yang hidup (mempunyai viabilitas) dan mempunyai biji
yang normal. Galur pelestari digunakan sebagai penyerbuk untuk melestarikan
galur CMS.
3) Galur pemulih kesuburan atau restorer line (R)
Restorer disebut juga sebagai tetua penghasil tepungsari atau tetua jantan.
Galur pemulih kesuburan digunakan sebagai penyerbuk untuk tetua CMS dalam
produksi benih hibrida.
Galur pelestari (B) dan galur pemulih kesuburan (R) memiliki tepungsari
yang normal (fertil) sehingga mampu menghasilkan benihnya sendiri. GMJ
bersifat mandul jantan, sehingga hanya mampu menghasilkan benih bila diserbuki
oleh tepungsari dari tanaman lain. Apabila GMJ diserbuki oleh galur B maka akan
menghasilkan benih GMJ pula, sedangkan bila diserbuki oleh galur R, akan
menghasilkan benih F1 hibrida. Benih tersebut secara komersial dikenal dengan
nama benih hibrida.
b. Perkembangan Padi Hibrida di Indonesia
Menurut Badan Litbang Pertanian (2007), padi hibrida dirakit pertama kali
di Cina pada tahun 1974 dan digunakan secara komersial sejak tahun 1976,
dengan melepas varietas padi hibrida yang diberi nama Nam You 2 dan Nam You
3. Di Indonesia, penelitian padi hibrida telah dilakukan sejak tahun 1983 yang
diawali dengan pengujian keragaan GMJ dan hibrida hasil introduksi. Selanjutnya,
sejak tahun 1998 penelitian pemuliaan padi hibrida di Indonesia lebih
diintensifkan, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi yang disertai dengan
perakitan berbagai kombinasi hibrida sendiri.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah melepas 37 varietas
padi hibrida hingga tahun 2009. Varietas-varietas padi hibrida tersebut
mempunyai tingkat heterosis 15-20 persen lebih tinggi dibanding varietas padi
inbrida. Namun tidak satupun dari ke-37 varietas tersebut yang memiliki sifat
13
tahan terhadap seluruh hama dan penyakit utama padi Indonesia. Hama dan
penyakit utama yang mendapat perhatian berkaitan dengan padi hibrida adalah
Wereng Batang Coklat (WBC), Hawar Daun Bakteri (HDB), dan virus tungro.
Pengembangan padi hibrida di suatu wilayah harus melalui tahap pemilihan
varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit utama yang berada di wilayah
tersebut, karena varietas yang tahan terhadap suatu hama penyakit tertentu pada
sisi lain dapat memiliki sifat rentan terhadap jenis hama penyakit yang lain.
Menurut Satoto et al. (2008), secara umum masalah-masalah dalam
pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini antara lain: 1) masih terbatasnya
jumlah varietas padi hibrida yang telah dilepas, 2) sistem dan teknologi
perbenihan yang belum berkembang, padahal ketersediaan dan harga benih sangat
menentukan, 3) varietas padi hibrida yang telah dilepas pada umumya masih
rentan terhadap berbagai hama penyakit utama padi di Indonesia, 4) harapan
petani yang sangat tinggi, 5) beberapa varietas padi hibrida mempunyai mutu
beras kurang baik dibandingkan dengan beras premium, 6) keragaan yang tidak
stabil yang disebabkan manajemen budidaya yang kurang cocok, 7) ketersediaan
benih murni tetua atau F1 hibrida kurang memadai, 8) hasil belum stabil dan harga
benih agak mahal, 9) kebiasaan petani untuk menggunakan benih mereka sendiri
(benih F2), dan 10) perencanaan luas pertanaman dan produksi benih kurang
matang sesuai dengan luas yang ditargetkan.
Adapun strategi dalam perakitan varietas padi hibrida di Indonesia menurut
Las et al. (2004), adalah sebagai berikut:
1) Pengevaluasian dan penyeleksian hibrida introduksi untuk menghasilkan
varietas padi hibrida introduksi
2) Pengidentifikasian galur R dari program pemuliaan padi nasional yang
sesuai bagi galur GMJ introduksi untuk menghasilkan varietas padi hibrida
yang relatif lebih adaptif dibandingkan dengan hibrida introduksi
3) Pembuatan galur GMJ dan galur R dengan memanfaatkan plasma nutfah
nasional untuk menghasilkan padi hibrida yang lebih adaptif terhadap
kondisi lingkungan tumbuh di Indonesia
4) Pembuatan varietas hibrida dengan materi pemuliaan padi tipe baru (PTB)
sehingga diharapkan potensi hasilnya 10-20 persen lebih tinggi dari Varietas
Unggul Tipe Baru (VUTB) terbaik
5) Penerapan bioteknologi untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi
pemuliaan padi hibrida.
Padi Varietas Unggul Nonhibrida/Inbrida
1)
Varietas Unggul Nasional
Padi varietas unggul nasional dihasilkan oleh Lembaga Pusat Penelitian
Pertanian Bogor sampai dengan tahun 1969 dengan daya produksi sedang.
Varietas ini terdiri dari Bengawan, Si gadis, Remaja, Jelita, Dara, Syntha,
Dewi Tara, Arimbi, Batara, dan Dewi Ratih.
2)
Varietas Unggul Baru
Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik umur kisaran 100
sampai 135 hari setelah sebar (HSS), anakan banyak (> 20 tunas per
rumpun) dan bermalai agak lebat (± 150 butir gabah per malai). Varietas ini
diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1967, diantaranya berasal dari
Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) di Filipina. Varietas ini
14
3)
4)
mempunyai daya produksi yang tinggi dan responsif terhadap pemupukan
tinggi (high yielding variety).
Varietas Unggul Tipe Baru
Kelompok tanaman padi yang memiliki karakteristik postur tanaman tegap,
berdaun lebar dan berwarna hijau tua, beranak sedikit (< 15 tunas per
rumpun), berumur 100 sampai 135 HSS, bermalai lebat (± 250 butir gabah
per malai), dan berpotensi hasil lebih dari 8 ton gabah kering giling per
hektar.
Varietas Unggul Lokal
Varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani
serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai negara. Varietas ini tidak
termasuk Varietas Unggul Nasional (UNGNAS), tetapi di daerah tertentu
mampu menghasilkan padi lebih tinggi atau menyamai padi UNGNAS.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Kajian Empiris Mengenai Padi Hibrida
Abdurachman (2011) melakukan penelitian mengenai sikap dan kepuasan
petani terhadap benih padi hibrida di Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif tentang karakteristik responden, paling
banyak petani berada pada kelompok usia ≥ 42 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
menikah, tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah dasar. Berdasarkan hasil
penelitian pada motivasi petani terhadap benih padi hibrida varietas Intani 2
sebagian besar petani responden tidak termotivasi untuk menanam kembali benih
padi hibrida varietas Intani 2 sebesar 50.90 persen.
Hasil analisis Cochran menunjukkan bahwa terdapat sembilan atribut yang
dianggap penting dalam memilih benih padi untuk ditanam, yaitu benih
bersertifikat, rasa nasi, tahan rebah tanaman, ketersediaan benih, pemasaran hasil
panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit, produktivitas, harga benih, dan
yang terakhir harga jual gabah (GKP). Hasil analisis multiatribut Fishbein
menunjukkan total nilai sikap yang diperoleh benih padi hibrida varietas Intani 2
dan benih padi inbrida varietas Ciherang ialah sebesar -7.59 dan 9.88. Hasil
analisis Costumers Satisfaction Index (CSI) menunjukkan bahwa benih padi
hibrida varietas Intani 2 memperoleh skor sebesar 49.59 persen yang dianggap
termasuk dalam kategori biasa atau netral. Sedangkan CSI pada benih padi inbrida
varietas Ciherang ialah 75.87 persen atau termasuk kedalam kategori puas.
Firohmatillah (2011) meneliti tentang penerapan metode Quality Function
Deployment (QFD) dan analisis sensitivitas harga pada pengembangan padi
Varietas Unggul Hibrida studi kasus di Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur
Jawa Barat. Hasil penelitian menyatakan bahwa persyaratan konsumen yang
diinginkan adalah benih padi hibrida yang memiliki karakter tingkat produktivitas
tinggi, lama umur padi hibrida yaitu 90-120 hari, tahan terhadap hama wereng
coklat, penyakit hawar daun bakteri, dan penyakit blast, tahan terhadap virus
tungro, berdaya kecambah tinggi, memiliki tingkat kerontokan (kehilangan) gabah
padi hibrida saat panen dan pengangkutan pada tingkat sedang, memiliki tingkat
kerontokan gabah padi hibrida saat proses penggebotan (perontokan gabah dari
tangkainya) tergolong sedang, memiliki tingkat rendemen gabah menjadi beras
15
yang tinggi, memiliki jumlah anakan produktif yang tinggi, tahan rebah,
karakteristik batang yang besar dan kuat, warna daun hijau tua, memiliki jumlah
gabah per malai yang tinggi, ukuran benih besar, bentuk gabah ramping, tingkat
kepatahan beras rendah, beras putih berkapur, tekstur nasi pulen, dan aroma nasi
wang