Dampak bantuan langsung pupuk organik terhadap produksi dan pendapatan petani padi di Propinsi Jawa Timur
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian memiliki multifungsi yang mencakup aspek ketahanan pangan, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan menjaga kelestarian lingkungan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan berdasarkan FAO pada World Food Summit 1996 menyatakan bahwa:
“food security exist when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe, and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life (FAO, 2008)”.
Tabel 1.1. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Indonesia Tahun 2001 - 2011
Tahun Luas Panen (Ha)
Produktivitas (Ku/Ha)
Produksi (Ton GKG)
2001 11.499.997 43,88 50.460.782
2002 11.521.166 44,69 51.489.694
2003 11.488.034 45,38 52.137.604
2004 11.922.974 45,36 54.088.468
2005 11.839.060 45,74 54.151.097
2006 11.786.430 46,2 54.454.937
2007 12.147.637 47,05 57.157.435
2008 12.327.425 48,94 60.325.925
2009 12.883.576 49,99 64.398.890
2010 13.253.450 50,15 66.469.394
2011*) 13.224.379 49,44 65.385.183
Sumber: www.bps.go.id, 2012 *) Angka Ramalan III.
(2)
Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Produksi tanaman padi di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat di tiap tahunnya. Secara umum, Tabel 1.1. menggambarkan kondisi yang cukup baik, dengan pertumbuhan produksi rata-rata sekitar 2,4% per tahun (BPS, 2011).
Tabel 1.2. Tabel Impor Beras (Rice in the husk (paddy or rough)) di Indonesia Tahun 2001 - 2010
Tahun Arus
Perdagangan
Nilai Perdagangan (USD)
Berat (Kg)
2000 Impor 451.913 1.795.284
2000 Re-Impor 5.632 30.002
2001 Impor 1.463.448 7.328.041
2002 Impor 2.935.746 19.662.000
2003 Impor 683.756 3.071.201
2004 Impor 1.819.947 6.258.799
2005 Impor 586.143 1.918.302
2006 Impor 375.670 219.837
2007 Impor 3.152.998 1.629.035
2008 Impor 8.976.049 4.028.862
2009 Impor 15.565.366 5.768.265
2010 Impor 14.779.167 4.211.984
Sumber: www. data.un.org, 2012
Walaupun produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan, Indonesia tetap melakukan impor beras seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.2.. Kegiatan impor beras tersebut salah satunya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk Indonesia seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.3..
Salah satu tantangan mendasar dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional adalah pertumbuhan penduduk yang menyerupai deret ukur sehingga tidak dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi yang hanya mendekati deret hitung. Pertambahan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan bahan pangan, sementara keadaan yang sama juga akan menyebabkan semakin
(3)
sempitnya lahan pertanian yang dapat dikuasai (Daniel, 2004). Hal tersebut membuat Indonesia harus berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah yang ada.
Tabel 1.3. Tabel Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 1971 - 2010
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)
1971 119.208.229
1980 147.490.298
1990 179.378.946
1995 194.754.808
2000 206.264.595
2010 237.641.326
Sumber: www.bps.go.id, 2012
Catatan : Termasuk Penghuni Tidak Tetap (Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk Komuter)
Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian, membuat suatu program yang memberikan bantuan langsung pada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Pelaksanaan BLP dan BLBU didasari oleh kenyataan bahwa petani pangan belum menggunakan bibit unggul bersertifikat dan belum menggunakan pupuk lengkap karena keterbatasan permodalan, sehingga menyebabkan petani pangan kesulitan mengakses faktor-faktor produksi tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang BLP dan Peraturan Menteri Pertanian No.17/Permentan/OT.140/2/2008 tentang BLBU, program BLP dan BLBU mempunyai tiga tujuan pokok. Tujuan pertama, adalah meningkatkan kesadaran petani tentang penggunaan dan manfaat benih unggul dan pupuk majemuk NPK serta pupuk organik. Kedua, untuk meringankan beban petani dalam pengadaan benih unggul dan pupuk. Sedangkan, tujuan ketiga adalah untuk meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai.
(4)
Apabila ketiga tujuan tersebut tercapai, maka diharapkan kemandirian dalam membangun ketahanan pangan nasional dapat terpelihara, serta dapat meningkatkan pendapatan petani dari waktu ke waktu.
Program BLP dilaksanakan dengan memberikan dua jenis pupuk bagi petani, yaitu (1) pupuk anorganik (NPK), dan (2) pupuk organik (Pupuk Organik Granul/POG dan Pupuk Organik Cair/POC). Pemberian bantuan pupuk organik kepada petani dianggap sebagai langkah strategis dalam meningkatkan produktivitas lahan sawah yang telah mengalami degradasi kualitas akibat penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam jangka waktu yang panjang selama program Revolusi Hijau. Penggunaan pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang akan merusak struktur tanah, menciptakan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah, serta menurunkan kemampuan tanah dalam menahan air. Sebagai akibatnya, produktivitas lahan akan mengalami degradasi.
Perilaku petani tanaman pangan dalam memupuk tanamannya harus diubah agar produktivitas lahan sawahnya dapat ditingkatkan. Petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang, dengan mengurangi pupuk anorganik dan mensubstitusi pengurangan tersebut dengan meningkatkan penggunaan pupuk organik. Untuk mempercepat proses tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik).
Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang memberikan kontribusi sekitar 17% bagi produksi padi nasional (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Jawa Timur juga merupakan salah satu propinsi yang menerima alokasi BLP Organik terbanyak secara nasional. Jawa Timur memiliki potensi sebesar
(5)
64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman (eastjava.com, 2012).
Di Propinsi Jawa Timur, jumlah tenaga kerja yang terserap masih didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012). Pemberian BLP Organik bersama dengan paket teknologi produksi lainnya (BLBU dan BLP Anorganik) diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan pangan secara signifikan, terutama di Propinsi Jawa Timur
1.2. Perumusan Masalah
Kelemahan dari pupuk organik adalah tingginya harga pupuk organik daripada harga pupuk anorganik (kimia). Secara rinci penggunaan pupuk organik berbiaya lebih mahal yaitu Rp. 7.187.000,-/ha, sedangkan dengan pupuk anorganik berbiaya Rp. 5.275.000,-/ha (Hartatik, 2006). Selain itu, pupuk organik tidak dapat dijadikan sebagai pupuk tunggal. Diperlukan pengelolaan pupuk secara terpadu yaitu memadukan pemberian pupuk organik dan anorganik sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan sawah (Simanungkalit et. al., 2006).
Program BLP Organik memerlukan aspek insentif ekonomi untuk merangsang petani agar mau mengikuti paket program yang direkomendasikan. Insentif ekonomi yang dimaksud dapat berupa kuantitas hasil produksi, penurunan biaya produksi, serta peningkatan pendapatan setelah menggunakan pupuk organik. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian mengenai insentif ekonomi yang
(6)
diperoleh melalui program BLP Organik terhadap produksi padi, pendapatan usahatani, dan persepsi petani yang menggunakannya.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis produksi dan produktivitas padi dengan menggunakan pupuk organik;
2. Menganalisis dampak BLP Organik terhadap pendapatan petani padi; serta 3. Menganalisis persepsi petani terhadap BLP Organik.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari program BLP Organik sehingga dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pihak terkait mengenai kelanjutan program tersebut, serta sebagai bahan informasi untuk penelitian-penelitian serupa di kemudian hari.
(7)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Teori Produksi
Fungsi produksi merupakan keterkaitan antara faktor-faktor produksi dan capaian tingkat produksi yang dihasilkan, di mana faktor produksi sering disebut dengan istilah input dan jumlah produksi disebut dengan output (Sukirno, 2000). Menurut Nicholson (2005), hubungan antara masukan dan keluaran diformulasikan dengan fungsi produksi yang berbentuk:
Q =
ƒ
(K, L,M……) (2.1.)di mana Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode, K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, M mewakili bahan mentah yang dipergunakan, dan masih terdapat kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses produksi.
Di bidang pertanian, produksi fisik dihasilkan oleh beberapa faktor produksi sekaligus, seperti tanah, bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan teknologi (misal: traktor). Seorang produsen yang rasional akan mengombinasikan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga mencapai usahatani yang efisien (Mubyarto, 1995). Persamaan 2.1. diasumsikan memberi pemecahan teknis dari masalah bagaimana cara terbaik untuk menggabungkan masukan-masukan ini menjadi keluaran.
(8)
Produk fisik marginal (marginal physical product) merupakan keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan. Secara matematis dapat diformulakan sebagai berikut:
produk fisik marginal dari modal = MPK = =
ƒ
K (2.2.) Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Sebuah usaha tertentu dikatakan mengalami peningkatan produktivitas ketika keluaran tiap unit masukan tenaga kerja meningkat. Produktivitas rata-rata sering dipergunakan sebagai ukuran efisiensi. Definisi produk rata-rata luas lahan (APL) adalah sebagai berikut:ton/hektar
(2.3.)
Return to scale (RTS) merupakan tanggapan keluaran dari proses peningkatan semua masukan secara bersamaan. Jika fungsi produksi diketahui Q=
ƒ
(KL) dan semua masukan digandakan dengan kostanta positif yang sama, m (di mana m>1), maka dapat diklasifikasikan hasil berbanding skala dari fungsi produksi tersebut dengan kriteria: (1) apabila kenaikan yang proporsional dalam masukan meningkatkan keluaran dengan proporsi yang sama, maka fungsi produksi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang konstan; (2) apabila keluaran yang meningkat kurang dari proporsional, fungsi tersebut memperlihatkan hasil berbanding skala yang menurun; dan (3) apabila keluaran(9)
meningkat lebih dari proporsional, terdapat hasil berbanding skala yang meningkat (Nicholson, 2005).
Fungsi produksi dapat digambarkan dengan grafik (Gambar 2.1.) yang memperlihatkan peningkatan dan penurunan tambahan output yang dikenal sebagai The Law of Diminishing Return. Hukum ini menyatakan bahwa jika makin banyak jumlah suatu faktor produksi yang ditetapkan untuk sejumlah faktor yang tetap, maka akan tercapai situasi di mana setiap tambahan produk total dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dihasilkan sebelumnya.
Sumber: Nicholson (2005)
Gambar 2.1. Grafik Fungsi Produksi
Elastisitas produksi (
ε
p) merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input, yang dapat ditunjukan melalui persamaan berikut:(10)
Gambar 2.1. menghubungkan antara elastisitas produksi (εp), produk total (TP), produk rata-rata (AP), dan produk marjinal (MP) adalah sebagai berikut:
1. Tahap I: Nilai elastisitas produk lebih besar dari satu (
ε
p > 1), produk total, produk rata-rata, dan produk marjinal mengalami peningkatan yang kemudian produk marjinal menurun hingga nilainya sama dengan produk rata-rata (increasing rate). Tahap I merupakan tahap irasional karena faktor produksi yang digunakan belum optimal sehingga perlu dilakukan penambahan kuantitas input.2. Tahap II : Nilai elastisitas produk kurang atau sama dengan satu (0<
ε
p≤1), produk total mengalami peningkatan, namun produk rata-rata dan produk marjinal mengalami penurunan hingga marjinal produk sama dengan nol (diminishing rate). Tahap II merupakan tahap yang rasional karena input yang digunakan telah optimal sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi.3. Tahap III : Nilai elastisitas produk lebih kurang dari nol (
ε
p < 0), produk total dan produk rata-rata mengalami penurunan, sedangkan produk marjinal bernilai negatif (decreasing rate). Tahap III merupakan tahap irasional karena input yang digunakan telah melebihi batas optimal sehingga perlu dilakukan pengurangan input.2.1.2. Teori Subsidi
Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada badan usaha atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka
(11)
dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah (Handoko dan Patriadi, 2005). Menurut Suparmoko (2003) dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy).
Subsidi dalam bentuk uang diberikan oleh pemerintah kepada konsumen sebagai tambahan penghasilan atau kepada produsen untuk dapat menurunkan harga barang. Subsidi dalam bentuk barang merupakan subsidi yang dikaitkan dengan jenis barang tertentu, yaitu pemerintah menyediakan suatu jenis barang tertentu dengan jumlah yang tertentu pula kepada konsumen atau produsen tanpa dipungut bayaran atau pembayaran di bawah harga pasar (Handoko dan Patriadi, 2005).
Adanya subsidi akan memberikan pengaruh pada permintaan untuk konsumsi bersubsidi (subsidized consumption) atau penawaran untuk produksi bersubsidi (subsidized production) (Handoko dan Patriadi, 2005). Pengaruh subsidi terhadap produksi dapat dilihat pada Gambar 2.2.. Produksi bersubsidi menggeser kurva penawaran S ke bawah menjadi kurva penawaran S’. Hal ini mengakibatkan bertambahnya kuantitas produk yang dihasilkan (Q menjadi Q’) dan membuat perubahan harga dari P menurun menjadi P’.
Kebijakan pemberian subsidi umumnya dikaitkan pada barang dan jasa yang memiliki eksternaslitas positif dengan tujuan untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke proses produksi barang dan jasa tersebut. Secara umum, subsidi juga memberikan dampak negatif. Dampak negatif tersebut antara lain: (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak
(12)
efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar sehingga muncul kecenderungan konsumen tidak hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi; dan (2) subsidi dapat menyebabkan distorsi harga (Spencer dan Amor dalam Handoko dan Patriadi, 2005).
(Handoko dan Patriadi, 2005)
Gambar 2.2. Grafik Pengaruh Subsidi Terhadap Produksi
2.1.3. Subsidi Pupuk
Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Subsidi yang diberikan sebagian besar dialokasikan pada penyediaan pupuk dan benih dibanding subsidi harga output pertanian. Terdapat beberapa alasan bahwa subsidi input lebih mudah dibandingkan dengan subsidi harga output pertanian, yaitu: (1) sebagian besar petani menghadapi kendala biaya produksi dengan orientasi minimalisasi biaya, sehingga insentif input lebih sesuai; (2) dengan adanya insentif input akan terbuka peluang untuk mengadopsi teknologi baru guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; dan (3) pengelolaan dan penjaminan
(13)
harga pada subsidi input akan lebih mudah dicapai dibandingkan subsidi output (Kementrian Pertanian, 2006).
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (2004), kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan efektivitas sistem distribusi pupuk antara lain adalah: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di tingkat petani karena penggunaan pupuk sudah melampaui takaran anjuran; (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik lokasi, dan waktu penggunaan berdasarkan acuan analisis bagan warna daun; (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen dengan pemanfaatan pupuk organik serta sistem irigasi yang baik; (4) perbaikan standardisasi dan sertifikasi pupuk sehingga petani terhindar dari pupuk alternatif yang diragukan kualitas dan efektivitasannya; (5) peningkatan kinerja usaha tani padi dengan mengupayakan sumber pertumbuhan selain peningkatan produktivitas; serta (6) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang kondusif bagi kontinuitas dan harga di tingkat petani.
Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk secara berimbang, mengingat di satu sisi harga jual produksi pertanian yang sangat fluktuatif dan cenderung merugikan petani dan di sisi lain semakin mahalnya biaya produksi. Jika kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani dan pada akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional (Adnyana dan Kariyasa, 2000).
Untuk mengurangi permasalahan di atas, pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor
(14)
pertanian (tanaman pangan dan perkebunan rakyat) untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai kebutuhan dengan harga yang lebih murah, dengan harapan produktivitas dan pendapatan petani meningkat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).
Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 - 2011
Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Subsidi Pupuk
(trilyun rupiah) 3,2 6,3 15,2 18,3 18,4 18,8
Volume (ribu ton) 5.674,0 6.353,0 6.891,0 7.612,5 7.355,0 9.753,9 * Urea 3.962,0 4.249,0 4.558,0 4.624,9 4.279,0 5.100,0 * SP-36/Superphose 711,0 765,0 558,0 582,1 644,0 750,0 * ZA 601,0 702,0 751,0 751,3 713,0 850,0 * NPK 400,0 637,0 956,0 1.417,7 1.473,0 2.349,9 * Organik - - 68,0 236,5 246,0 704,0 Sumber: Kementrian Pertanian dalam RUU APBN, 2012
Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal didasari oleh pemenuhan prinsip enam tepat dalam penyalurannya, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu. Alokasi anggaran subsidi pupuk rata-rata mengalami peningkatan setiap tahun, hal ini ditunjukkan oleh Tabel 2.1..
Pada tahun 2008, pemerintah memperkenalkan Bantuan Langsung Pupuk (BLP) dan Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU). Program BLBU yang dimulai sejak tahun 2007 telah memberikan bantuan benih unggul untuk padi, jagung, dan kedelai kepada petani di 249 kabupaten yang tersebar di 29 propinsi. Sementara, program BLP yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159 kabupaten yang tersebar di 17 propinsi.
Untuk program BLP, dari segi cakupan luas areal dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Tahun 2008 luas areal baru 403.514 hektar, kemudian tahun 2009 diperluas menjadi 648.386 hektar, atau meningkat sebesar 60,68%.
(15)
Menurut perencanaan, tahun 2010 diperluas kembali menjadi 1.066.395 hektar atau meningkat sebesar 64,47% (PSP3 IPB, 2010).
Bagi daerah-daerah yang telah berproduktivitas relatif tinggi dimantapkan dengan fokus pengembangan yang diarahkan kepada aspek rekayasa sosial, ekonomi dan kelembagaan. Peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penggunaan benih bermutu dari varietas unggul; pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk organik; pengaturan pengairan dan tata guna air; penggunaan alat mesin pertanian; serta perbaikan budidaya (PSP3 IPB, 2010).
Benih Bermutu dari Varietas Unggul. Penggunaan benih bermutu dari varietas unggul difasilitasi melalui pembinaan produsen benih untuk dapat menghasilkan benih secara enam tepat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul adalah: (a) inventarisasi stok dan penangkaran benih; (b) pemanfaatan stok benih yang ada secara optimal; serta (c) pembinaan kepada produsen/penangkar benih agar proses produksi benih terlaksana secara berkelanjutan (PSP3 IPB, 2010).
Pemupukan Berimbang dan Pupuk Organik. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan kualitas hasil dilakukan pemupukan berimbang, sehingga perbandingan penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan secara seimbang. Rekomendasi dosis pemupukan berimbang berpedoman kepada dosis anjuran spesifik lokasi yang dinamis (PSP3 IPB, 2010).
Berkenaan dengan program Bantuan Langsung Pupuk, menurut Permentan No. 30/Permentan/OT.140/6/2008 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk tahun anggaran 2008, kegiatan BLP dijalankan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan. Hal ini didasari fakta dimana kendala yang dihadapi selama ini
(16)
adalah masih rendahnya penggunaan pupuk berimbang N, P dan K. Faktor ini telah menyebabkan produktivitas tanaman belum tercapai secara optimal. Sementara, penggunaan pupuk anorganik kurang berimbang yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, telah menyebabkan kerusakan struktur tanah. Dampak lain adalah terjadinya inefisiensi penggunaan pupuk anorganik (PSP3 IPB, 2010).
Salah satu penyebab rendahnya penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik antara lain disebabkan daya beli, tingkat kesadaran, serta keyakinan petani yang masih rendah. Kontribusi penggunaan pupuk NPK dan organik dalam meningkatkan produktivitas, produksi bahkan mutu hasil telah terbukti secara signifikan dalam peningkatan produksi komoditas tanaman pangan. Dengan demikian, ketersediaan dan penggunaan pupuk NPK dan organik merupakan suatu syarat keharusan bagi peningkatan ketahanan pangan nasional (PSP3 IPB, 2010).
Berkenaan dengan itu, pemerintah melalui BUMN termasuk PT. Pertani (Persero) memberikan Bantuan Langsung Pupuk NPK dan Pupuk Organik untuk didistribusikan kepada petani. Tujuan kegiatan ini adalah (a) memperkenalkan kepada petani penggunaan pupuk majemuk NPK dan pupuk organik; (b) meringankan beban petani dalam penyediaan dan penggunaan pupuk NPK serta pupuk organik; (c) meningkatkan penggunaan pupuk NPK dan pupuk organik; (d) meningkatkan produktivitas dan produksi tanaman pangan; serta (e) meningkatkan perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah (PSP3 IPB, 2010).
Pada hakekatnya, Program BLP dan BLBU dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat desa sampai nasional, sehingga pemanfaatan bantuan dapat terlaksana dengan efektif efisien dan tepat sasaran. Agar bantuan dapat
(17)
mendukung upaya peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan, Dinas Pertanian Propinsi dan Dinas Pertanian Kabupaten/Kota melakukan pembinaan, pendampingan dan monitoring secara optimal kepada kelompok tani penerima bantuan pupuk serta melakukan evaluasi pada akhir kegiatan. Untuk menjamin terpenuhinya kualitas dan kuantitas bantuan, maka pembinaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi dapat dilakukan oleh Pembina Teknis secara berkala dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan (PSP3 IPB, 2010).
Monitoring dan evaluasi bantuan ditujukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan penyaluran bantuan sesuai rencana alokasi di setiap kabupaten/kota; monitoring kuantitas dan kualitas yang disalurkan kepada kelompok tani; memonitor realisasi pertanaman padi yang menggunakan bantuan di setiap kabupaten/kota; memantau dan melakukan bimbingan teknis penerapan anjuran teknologi untuk budidaya lainnya; mengetahui peningkatan produktivitas dan produksi padi di setiap kabupaten/kota; serta mengetahui kemungkinan permasalahan yang dihadapi sedini mungkin, guna memberikan solusi pemecahannya sehingga tingkat keberhasilan pelaksanaan program dapat dicapai (PSP3 IPB, 2010).
2.1.4. Pupuk Organik
Pupuk adalah bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011). Berdasarkan pembuatannya, pupuk dibedakan menjadi pupuk buatan (anorganik) dan pupuk alami (organik). Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.238/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Pedoman Penggunaan Pupuk Anorganik, pupuk anorganik adalah pupuk hasil proses
(18)
rekayasa secara kimia, fisik dan atau biologis, dan merupakan hasil industri atau pabrik pembuat pupuk. Sedangkan pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang telah melalui proses rekayasa berbentuk padat atau cair dan dapat diperkaya dengan bahan mineral alami dan atau mikroba yang bermanfaat memperkaya hara, bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011).
Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.37/Permentan/SR.130/5/ 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010, dikemukakan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun secara intensif, menyebabkan kerusakan pada struktur tanah, soil sicknes (tanah sakit), soil fatigue (kelelahan tanah), dan inefisiensi penggunaan pupuk anorganik. Kondisi tersebut tidak hanya menyebabkan penurunan pertumbuhan hasil produktivitas tanaman pangan yang signifikan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab sering terjadinya tanah longsor di berbagai daerah sentra produksi padi di Indonesia. Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik berlebih dalam periode waktu yang panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan kemampuan untuk menyerap dan menyimpan air.
Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, dan sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomiset, dan cacing tanah. Pupuk hijau
(19)
merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai contoh pupuk hijau ini adalah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tanaman paku air Azolla. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, setelah dipisah dari bahan-bahan yang tidak dapat dirombak misalnya plastik, kertas, botol, dan kertas (Simanungkalit et al., 2006)
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No.2/Pert/ Hk.060/2/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan memasok bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan pada masa Revolusi Hijau telah banyak mempengaruhi keberadaan berbagai mikroba berguna dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya berbagai hara yang berguna bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu
(20)
cara untuk memberikan atau menambahkan berbagai mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah (Simanungkalit et al., 2006).
Bahan organik berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Simanungkalit et al., 2006).
Penggunaan pupuk organik saja, tidak dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan ketahanan pangan. Oleh karena itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) menggunakan kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan agar degredasi lahan dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan (Simanungkalit et al., 2006).
Menurut Simanungkalit et al. (2006), berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu kurang dari 2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya kurang dari 1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik lebih dari
(21)
2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.
Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006).
2.1.5. Usahatani
Menurut Soekartawi (1995) usahatani adalah upaya seseorang dalam mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani dengan harga jual produk yang dihasilkan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut,
TR = Y × Py (2.5.)
keterangan:
TR : penerimaan total (total revenue)
Y : produksi yang diperoleh dalam suatu usaha tani Py : harga dari produk Y
Jika komoditas tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu maka persamaan dapat dimodifikasi menjadi,
(22)
(2.6.)
Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani) dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Pengeluaran usahatani dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang tidak terkait dengan jumlah barang yang diproduksi, sehingga petani tetap harus membayar biaya tersebut berapapun jumlah komoditas yang dihasilkannya. Sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang berubah seiring dengan perubahan besarnya jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan.
Biaya tetap (fixed cost) dapat ditunjukkan oleh persamaan,
(2.7.) keterangan:
FC : biaya tetap (fixed cost) Xi : banyaknya input ke-i
Pxi : harga dari variabel Xi (input)
Sedangkan persamaan biaya total adalah,
TC = FC + VC (2.8.)
keterangan:
TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)
VC : biaya tidak tetap (variable cost)
Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,
(23)
Π = TR – TC (2.9) keterangan:
Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
2.1.6. Teori Persepsi dan Adopsi Inovasi
Menurut Soekartawi (1988), terdapat empat tahapan yang dilalui petani dalam mengadopsi suatu teknologi/inovasi. Tahapan tersebut antara lain (a) tahap kesadaran dan menaruh minat; (b) tahap evaluasi; (c) tahap mencoba; kemudian (d) tahap adopsi.
Pada tahap kesadaran, petani untuk pertama kalinya belajar tentang sesuatu yang baru. Informasi yang dimiliki tentang teknologi baru yang akan diadopsi masih bersifat umum. Beralih pada tahapan menaruh minat yaitu petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk mengadopsi inovasi. Pada tahap ini, petani mulai mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, baik dari media cetak maupun media eletronik (Soekartawi, 1988).
Tahapan evaluasi merupakan tahap mempertimbangkan lebih lanjut mengenai minat dalam mencoba suatu inovasi. Hal ini berarti bahwa petani melakukan penilaian secara sungguh-sungguh dan mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki (Soekartawi, 1988).
Setelah pembuatan keputusan pada tahap evaluasi, maka tahapan selanjutnya adalah tahap mencoba. Biasanya petani akan melakukan percobaan inovasi untuk skala kecil terlebih dahulu. Pada tahap ini, petani akan dihadapkan dengan suatu permasalahan yang nyata. Untuk itu, terkadang petani memerlukan bantuan dari pihak lain yang lebih kompeten agar percobaan suatu inovasi dapat
(24)
berhasil. Apabila percobaan ini berhasil, maka petani akan mencoba melakukan inovasi tersebut dalam skala yang lebih luas (Soekartawi, 1988).
Tahap adopsi merupakan tahapan dimana petani telah memutuskan bahwa inovasi baru yang telah dipelajari memberikan dampak yang baik untuk diterapkan di lahannya dalam skala yang lebih luas. Tahapan-tahapan yang telah dipaparkan tidak selalu dilakukan secara berurutan. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan melakukan penyesuaian dalam melakukan adopsi suatu inovasi (Soekartawi, 1988).
Menurut Soekartawi (1988), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Faktor internal yang dapat mempengaruhi adalah (a) umur; (b) pendidikan; (c) keberanian mengambil risiko; (d) motivasi berkarya; (e) sistem kepercayaan tertentu; dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi adopsi inovasi antara lain (a) dorongan masyarakat di sekelilingnya; (b) pengalaman petani lain di sekitar tempat tinggal; (c) ketersediaan sumberdaya yang dimiliki; (d) kepuasan setelah mencoba inovasi tersebut; dan lain-lain.
Menurut Mulyana (2008), dalam membentuk persepsi, pemikiran-pemikiran yang ada di pengaruhi oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi persepsi dapat berupa (a) gerakan, (b) intensitas stimuli, (c) perulangan objek yang dipersepsi, (d) kontras, (e) prinsip kedekatan atau persamaan, dan lain-lain. Sedangkan faktor internal yang dapat mempengaruhi persepsi adalah (a) gender, (b) biologis, (c) fisiologis, (d) sosio-psikologis, (e) sikap, (f) kebiasaan, (g) kemauan, dan lain-lain.
(25)
2.2. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan tahun 2010 pada tujuh propinsi di Indonesia, Program BLP dan BLBU berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas padi dari sebelumnya 5.034 kg menjadi 5.918 kg/ha, atau meningkat sebesar 17.56%
Penerapan program BLBU dan BLP menyebabkan terjadi peningkatan biaya total sebesar 21.53% pada usahatani padi. Karena peningkatan produksi yang dicapai masih cukup besar, maka keuntungan bersih usahatani tetap meningkat. Pendapatan usahatani padi meningkat dari Rp. 6.777.157,- menjadi Rp. 9.119.629,- per ha atau meningkat sebesar 34.56%. Peningkatan ini juga terjadi karena adanya faktor peningkatan harga pada padi (GKP) sebesar 8.74%.
Angelia (2011) dalam penelitian Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Status Petani (Studi Kasus di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor), menyatakan bahwa variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi.
Yuliarmi (2006) dalam penelitian Analisis Produksi dan Faktor-faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi menunjukkan bahwa faktor pendorong utama yang menyebabkan petani mengikuti program pemupukan berimbang di Kecamatan Plered, Jawa Barat, adalah mengharapkan produksi yang lebih tinggi. Dari hasil perhitungan, rata-rata produksi per hektar padi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah 6.003 ton GKP dengan nilai keuntungan sebesar Rp.
(26)
4.001.378,- per musim tanam. Sedangkan petani non peserta program pemupukan berimbang memperoleh rata-rata produksi sebesar 5.027 ton GKP, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 3.163.183 per musim tanam. Produksi yang diperoleh petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh petani non peserta program pemupukan berimbang.
Tabel 2.2. Ringkasan Penelitian Terdahulu
Peneliti Wilayah Metode Peningkatan Produksi,
Pendapatan, dan Persepsi Petani PSP3 (2010) Tujuh
Propinsi
Benefit/Cost (B/C) Ratio
Produktivitas padi meningkat, Pendapatan meningkat, Persepsi petani positif Angelia (2011) Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor Fungsi Produksi Cobb Douglas
variabel luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen dan variabel tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap produksi padi. Yuliarmi (2006) Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat Tingkat Penerapan Teknologi (TPT), Model Logit, dan Model Fungsi Produksi
Jumlah produksi padi dan
pendapatan petani peserta program pemupukan berimbang lebih tinggi daripada petani bukan peserta.
Sianipar et.al
(2009) Kabupaten Manokwari, Papua Fungsi Produksi Cobb Douglas
variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat
kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani
Tingkat penerapan teknologi rata-rata pada petani peserta program pemupukan berimbang sebesar 68,38% dan petani bukan peserta program pemupukan berimbang sebesar 60,70%. Kedua kelompok petani tersebut tergolong pada tingkat penerapan sedang (60% - 70%). Sedangkan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mengadopsi teknologi pemupukan
(27)
berimbang adalah harga gabah (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%), biaya pupuk (bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5%), serta luas lahan (bertanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10%).
Menurut Sianipar et. al. (2009) dalam penelitian Analisis Fungsi Produksi Intensifikasi Usahatani Padi di Kabupaten Manokwari menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap produksi padi pada tingkat kesalahan 1% yaitu variabel benih, tenaga kerja luar keluarga, pupuk urea, pupuk NPK, pupuk PPC dan intensifikasi usahatani.
2.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini didasari oleh pentingnya perbaikan kesuburan lahan untuk peningkatan produksi padi di Indonesia khususnya propinsi Jawa Timur.
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan
Subsidi Pupuk
Bantuan Langsung Pupuk Organik
Analisis Usahatani Produksi & Produktivitas Persepsi
Rekomendasi Kebijakan untuk Pengembangan Pertanian Organik
(28)
Peningkatan produksi padi tersebut bertujuan untuk mencapai peningkatan produksi yang berkelanjutan. Salah satu upaya dalam meningkatkan produksi padi yaitu dengan cara memberikan subsidi input berupa pupuk. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pertanian memberikan bantuan langsung kepada petani pangan berupa Bantuan Langsung Pupuk (BLP) Organik.
Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis untuk menganalisis efektifitas program BLP Organik tersebut. Metode-metode yang digunakan antara lain Metode Analisis Usahatani dengan pendekatan Before and After, Metode Analisis Produksi dan Produktivitas, serta Metode Analisis Persepsi petani penerima BLP Organik. Dengan diketahuinya dampak dari program BLP Organik, diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pertanian organik.
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian dalam menerapkan progam BLP Organik pada usahatani padi di Jawa Timur, maka:
1. terdapat peningkatan produktivitas padi karena menggunakan benih unggul dari BLBU dan pupuk berimbang dari paket BLP Organik;
2. terdapat peningkatan pendapatan petani; dan
3. petani termotivasi untuk tetap menggunakan pupuk organik meskipun tanpa subsidi.
(29)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih Unggul Terhadap Usahatani dan Perekonomian Nasional. Data didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menjadikan Propinsi Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena Jawa Timur merupakan salah satu dari lima propinsi penerima BLP terbanyak di Indonesia. Lokasi penelitian dilakukan dengan memilih dua kabupaten, dan selanjutnya untuk tiap kabupaten dipilih dua kecamatan contoh. Pemilihan lokasi mengikuti sebaran program dan hasil diskusi dengan aparat setempat. Kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. Pada Kabupaten Banyuwangi, kecamatan yang dijadikan contoh adalah Kecamatan Sempu dan Kecamatan Licin. Sedangkan Kabupaten Bondowoso, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Telogosari dan Kecamatan Wonosari. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni 2011 dengan melihat hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda (musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik, dan musim tanam setelah menggunakan BLP Organik).
(30)
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data untuk menganalisis dampak BLP Organik pada produktivitas dan pendapatan usahatani dilakukan dengan pemilihan sampel untuk petani responden. Penentuan sampel dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling), yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam Simple Random Sampling adalah semua individu dalam populasi (anggota popluasi) diberi kesempatan yang sama untuk menjadi anggota sampel. Pemilihan mengikuti sebaran program dan jenis usahatani petani dengan membandingkan before dan after. Before untuk musim tanam sebelum menggunakan BLP Organik dan after untuk musim tanam setelah mengunakan BLP Organik.
Pemilihan responden petani dilakukan secara acak sederhana rata-rata 15 orang petani per kecamatan sampel. Sebagaimana dipaparkan pada Tabel 3.1., total sampel petani padi adalah 60 orang, dimana dari setiap petani diperoleh dua informasi usahatani padi untuk perbandingan before dan after. Dengan demikian, jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.
Tabel 3.1. Sebaran dan Jumlah Sampel Usahatani Padi di Propinsi Jawa Timur
Kabupaten; Kecamatan Usahatani padi
Sebelum Sesudah
1. Banyuwangi (Sempu & Licin) 30 30 2. Bondowoso (Telogosari & Wonosari) 30 30
Total 60 60
Responden adalah petani yang menerima bantuan BLP Organik pada tahun 2010. Responden dipilih dari daftar penerima bantuan yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Usahatani yang dijadikan contoh adalah persil lahan terluas
(31)
yang dimiliki responden. Perbandingan antara usahatani sebelum menggunakan BLP Organik dengan yang menggunakan BLP Organik, dilakukan untuk persil lahan yang sama. Prosedur pengambilan contoh menggunakan cluster sampling mengikuti hirarki provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data
Sebagai penelitian yang bertujuan untuk menganalisis dampak suatu program, maka salah satu pendekatan yang logis untuk digunakan adalah dengan membandingkan antara nilai dari indikator-indikator pada periode sebelum dengan sesudah BLP organik diterapkan (pendekatan Before and After). Selain itu, untuk menganalisis produksi padi pasca penggunaan BLP Organik, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Fungsi Produksi. Dengan demikian, metode analisis yang akan digunakan dapat disajikan dalam Tabel 3.2..
Tabel 3.2. Permasalahan, Metode Analisis, dan Indikator Observasi
Permasalahan Metode Analisis Indikator Observasi
Dampak Program BLP Organik terhadap produksi dan pendapatan petani
Analisis perbandingan antara usahatani sebelum
menggunakan BLP organik dengan usahatani setelah menggunakannya (Before and After Approach)
Produksi dan
produktivitas tiap musim tanam
Total pendapatan per musim tanam B/C Ratio per musim tanam
Pengaruh pupuk organik terhadap produksi padi
Analisis Fungsi Produksi dengan menggunakan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Input produksi berpengaruh nyata terhadap produksi padi. Respon petani Analisis persepsi terhadap
pelaksanaan program BLP Organik dan prestasi kerja
Persepsi Positif Persepsi Negatif Saran-saran perbaikan
(32)
3.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah hasil kali antara produksi padi yang dihasilkan dengan harga jual padi tersebut. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
TR = Y × Py (3.1.)
keterangan:
TR : penerimaan total (Total Revenue)
Y : produksi padi (Gabah Kering Panen / GKP) Py : harga padi (Rp.)
Pengeluaran usahatani adalah biaya atau pengorbanan yang dilakukan oleh petani dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya yang dikeluarkan oleh petani digolongkan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel).
Dalam penelitian ini, yang termasuk dalam biaya tetap adalah biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), biaya retribusi, dan biaya sewa lahan. Sedangkan yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya pembelian benih, biaya upah tenaga kerja, biaya pupuk, biaya pestisida dan obat.
Biaya total adalah jumlah dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variable cost (VC). Persamaan biaya total adalah:
TC = FC + VC (3.3.)
keterangan:
TC : biaya total (total cost) FC : biaya tetap (fixed cost)
VC : biaya tidak tetap (variable cost)
Pendapatan usahatani (laba) merupakan selisih antara penerimaan dan biaya total. Pendapatan usahatani dapat ditunjukkan dengan persamaan,
(33)
Π = TR – TC (3.4.) keterangan:
Π : pendapatan usahatani (laba) TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
dengan ketentuan apabila Π bertanda positif maka usahatani mengalami keuntungan, namun apabila Π bertanda negatif maka usahatani mengalami kerugian.
3.4.2. Analisis Imbangan Biaya dan Manfaat
Untuk menganalisis efisiensi atau imbangan antara manfaat dan biaya, maka dibutuhkan analisis B/C Ratio (Benefit Cost Ratio). Menurut Soekartawi (1995), analisis B/C Ratio pada prinsipnya sama saja dengan R/C Ratio (Revenue Cost Ratio), hanya saja pada analisis B/C Ratio data yang diperhitungkan adalah besarnya manfaat (pendapatan / Π). Analisis ini tidak memiliki satuan khusus karena berupa rasio, dan dapat ditunjukkan dengan persamaan berikut:
B/C = (3.5a.)
keterangan:
B/C : Benefit Cost Ratio
TR : penerimaan total (total revenue) TC : biaya total (total cost)
Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis B/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:
1) B/C ratio > 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani layak dilakukan;
(34)
2) B/C ratio < 1, manfaat yang diperoleh usahatani lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;
3) B/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi). R/C Ratio merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu produksi. Pernyataan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
R/C = (3.5b.)
Keterangan:
R/C : Revenue Cost Ratio
TR : total penerimaan (total revenue) TC : biaya total (total cost)
Kriteria keputusan yang digunakan untuk menilai hasi usaha analisis R/C dapat dibagi menjadi tiga bagian keputusan, yakni:
1) R/C ratio > 1, usahatani mengalami keuntungan sehingga program usahatani layak dilakukan;
2) R/C ratio < 1, usahatani mengalami kerugian sehingga program usahatani tidak layak dilakukan;
3) R/C ratio = 1, usahatani mengalami impas (tidak untung maupun rugi). Dalam penelitian ini, penghitungan analisis usahatani akan dibedakan menjadi analisis usahatani atas dasar Biaya Tunai dan analisis usahatani atas dasar Biaya Total. Analisis usahatani atas dasar biaya tunai merupakan penghitungan pendapatan usahatani tanpa memperhitungkan biaya nonkomersial sedangkan analisis usahatani atas dasar total merupakan penghitungan pendapatan dengan ikut memperhitungkan biaya
(35)
nonkomersial (harga bantuan pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga). Oleh karena itu, penghitungan nilai imbangan biaya dan manfaat masing-masing akan diperoleh baik atas dasar biaya tunai maupun atas dasar biaya total.
3.4.3. Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Model fungsi produksi yang umum digunakan dalam suatu penelitian adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (fungsi eksponensial). Menurut Nicholson (1995), bentuk matematis dari fungsi Cobb-Douglas tersebut adalah:
Q =
ƒ
(K,L) = a Kb Lc eu (3.6.)di mana a, b, dan c semuanya merupakan kosntanta penduga yang diestimasi dari data empiris: Q mewakili keluaran (output) untuk suatu barang tertentu selama satu periode; K mewakili penggunaan modal selama periode tersebut, L mewakili tenaga kerja, u adalah galat (error term, disturbance term), dan e adalah bilangan eksponen (e=2,718).
Fungsi produksi tersebut di atas dapat menunjukkan hasil berbanding skala (return to scale) dengan ketentuan: (1) apabila b+c=1 maka menunjukkan hasil berbanding skala konstan; (2) apabila b+c<1 maka menunjukkan hasil berbanding skala menurun; dan (3) apabila b+c>1 maka menunjukkan hasil berbanding skala meningkat.
Bentuk alternatif dari model fungsi produksi Cobb-Douglas dapat ditunjukkan dengan bentuk:
(36)
ln(Q) = ln(a) + b ln(K) + c ln(L) + u (3.7.)
Q* = a* + bK* + cL* + u (3.8.)
di mana: Q* = ln(Q) a* = ln(a) K* = ln(K) L* = ln(L) u = galat
Persamaan hasil logaritma natural di atas dapat dibentuk menggunakan regresi linear berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa konstanta b dan konstanta c adalah tetap walaupun masukan yang terlibat telah berubah bentuk menjadi logaritma natural. Konstanta-konstanta dalam funsgi produksi Cobb-Douglas ini dapat sekaligus menunjukkan elastisitas masukan (input) terhadap keluaran (output).
Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas dilakukan dalam bentuk logaritma natural dan fungsinya diubah bentuk menjadi fungsi linear, maka terdapat persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi Cobb-Douglas, antara lain:
1) tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma natural dari nol adalah suatu bilangan yang tidak diketahui;
2) dalam fungsi produksi perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada tiap pengamatan (non neutral difference in the respective technologies);
3) peubah masukan (input variable) berada pada persaingan sempurna; 4) faktor-faktor lain yang tidak tercakup dalam model, seperti iklim
(37)
Dalam penelitian ini, fungsi produksi Cobb-Douglas yang akan dibuat adalah berupa:
Ln Y = C + β1 Ln X1 + β2 Ln X2 + β3 Ln X3 + β4 Ln X4 + β5 Ln X5 + β6
Ln X6 + β7 Ln X7 + β8 Ln X8 + β9 Ln X9 + β10 Ln X10 + u (3.9.) Keterangan:
Ln Y : Ln Gabah Kering Panen (Kg)
C : Konstanta
β1, β2, …, β11 : Konstanta Penduga Ln X1 : Ln Lahan (Ha) Ln X2 : Ln Benih (Kg)
Ln X3 : Ln Tenaga Kerja Manusia (HOK) Ln X4 : Ln Pupuk Urea (Kg)
Ln X5 : Ln Pupuk TSP (Kg) Ln X6 : Ln Pupuk KCL (Kg) Ln X7 : Ln Pupuk NPK (Kg)
Ln X8 : Ln Pupuk Organik Granul (Kg) Ln X9 : Ln Pupuk Organik Cair (Liter) Ln X10 : Ln Pestisida & Obat (Kg)
u : galat
3.5. Asumsi dalam Analisis Regresi
Fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk logaritma natural dapat dibentuk menggunakan metode regresi linear berganda. Menurut Juanda (2009), terdapat lima asumsi yang harus dipenuhi untuk memilih suatu model analisis regresi. Kelima asumsi tersebut adalah:
1. Spesifikasi model yang ditetapkan seperti persamaan:
Yi = β1 + β2X2i + β3X3i+ … + βkXki + ui (3.10.)
2. Peubah Xk merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan,
bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah Xk;
3. Komponen sisaan ui mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam
(38)
4. Tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antar sisaan ui, sehingga
Cov(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j;
5. Komponen sisaan menyebar normal.
Menurut Dalil Gaus-Markov, jika kelima asumsi di atas dipenuhi, maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) akan menghasilkan penduga tak bias linear terbaik (BLUE, Best Linear Unbiased Estimator). Penduga terbaik dalam pengertian ragamnya paling kecil (paling efisien) diantara semua penduga tak bias linear lainnya (Juanda, 2009).
3.6. Uji Kriteria Statistik
Tujuan pengujian kriteria statistik adalah untuk melihat korelasi antar variabel persamaan, yaitu dengan menggunakan uji-R2, uji-F, uji-t, dan Uji Pelanggaran Asumsi.
1. Uji-R2
Koefisien determinasi (R2) sering digunakan secara informal sebagai ukuran dari kecocokan (goodness of fit) model regresi walaupun untuk menentukan kebaikan dari kecocokan suatu model tidak hanya dilihat dari besar R2 saja. Koefisien determinasi (R2) dapat diintepretasikan sebagai “proporsi total keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh model regresi X terhadap Y”. Jika nilai R2 besar, maka persentase peluang keragaman Y yang dapat diprediksi dari nilai X2, X3 hingga Xk semakin besar (Juanda,2009).
2. Uji-F dan Uji-t
Setelah model (fungsi produksi) dibentuk, lebih baik dilakukan analisis secara keseluruhan terlebih dahulu dengan menggunakan statistik uji-F melalui
(39)
analisis ragam (analysis of variance). Uji statistik ini digunakan untuk menguji apakah keragaman yang bersumber dari model regresi (σR2) lebih besar dari
keragaman sisaan (σu2). Jika keragaman regresi lebih besar daripada keragamaan
sisaan (σR2 > σu2) maka dapat disimpukan model regresi yang telah dibuat dapat
menjelaskan keragaman Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka dilakukan pengujian hipotesis,
H0 : σR2 = σu2 (atau σR2≤σu2) atau (βi = βj = 0)
H1 : σR2 > σu2 (atau σR2 / σu2 >1) atau (minimal ada satu β≠ 0)
dengan ketentuan:
jika F-statistik > Fα(dbr,dbu), maka terima H1
jika F- statistik < Fα(dbr,dbu), maka terima H0
di mana:
dbr : banyaknya peubah bebas X = (k-1) dbu : n-k
Jika model yang telah dibuat secara signifikan dapat menjelaskan keragaman Y dengan menggunakan statistik uji-F, maka dilanjutkan dengan pengujian masing-masing koefisien model dengan menggunakan statistik uji-t. Uji-t digunakan untuk mencari faktor peubah mana (X2, X3, atau Xk) yang dapat
menjelaskan atau berpengaruh nyata terhadap Y. Untuk membuktikan hal tersebut, maka akan dilakukan dengan uji hipotesis:
H0 : βi = 0 (faktor ke-i tidak berpengaruh nyata terhadap Y)
H1 : βi≠ 0 (faktor ke-i berpengaruh nyata terhadap Y)
dengan ketentuan:
jika |t- statistik | > t(α,dbu) maka terima H1
(40)
3. Uji Pelanggaran Asumsi
Tujuan pengujian pelanggaran asumsi adalah untuk memastikan bahwa model yang telah dibuat memenuhi asumsi BLUE. Uji ekonometrika tersebut dapat dilakukan dengan uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi (Juanda,2009).
a. Uji Multikolinearitas
Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear antar peubah bebas dalam model tersebut. Multikolinearitas muncul jika dua atau lebih peubah (atau kombinasi peubah) bebas berkorelasi tinggi antara peubah satu dengan yang lainnya. Jika terjadi hal demikian, maka dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih mungkin dapat diperoleh, namun interpretasinya menjadi sulit. Hal ini dikarenakan, apabila terjadi perubahan dalam suatu peubah bebas yang berkolinearitas, maka pengamatan peubah lainnya yang berpasangan kemungkinan akan berubah juga sesuai dengan arah kolinearitasannya. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai VIF hasil uji statistika. Apabila nilai VIF pada tiap variabel yang diuji harus memiliki nilai kurang dari 10 (Gujarati, 2004).
b. Uji Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ui)
sama atau homogen. Dengan pengertian lain E(ui2)=Var(ui)=σ2, untuk setiap
pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini disebut homoskedastisitas. Namun, jika ragam sisaan tidak sama atau lain
(41)
E(ui2)=Var(ui)≠σ2, untuk setiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam
model regresi, maka dikatakan ada masalah heteroskedastisitas.
Jika semua asumsi klasik dalam model regresi linear dipenuhi kecuali masalah heteroskedastisitas, maka akibatnya dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, namun standar error-nya bias ke bawah (underestimate); sehingga penduga OLS tidak lagi efisien. Jika dugaan ragam koefiseian yang bias ini digunakan, maka statistik uji-t akan bias ke atas (overestimate) dan selang kepercayaan bagi parameter koefisien menjadi tidak benar.
Adanya gejala heteroskedastisitas dapa dilakukan dengan menggunakan Uji White dengan hipotesis H0 untuk homoskedastisitas dan H1 untuk
heteroskedastisitas. Ketentuan yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0.
Namun apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata, maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 (Gujarati, 2004).
c. Uji Autokorelasi
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa sisaan menyebar bebas atau Cov(ui,uj)=E(ui,uj)=0 untuk setiap i≠j, yang dikenal sebagai bebas
serial (serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas atau E(ui,uj)≠0 untuk
i≠j, maka dapat dikatakan terdapat masalah autokorelasi. Autokorelasi mengakibatkan parameter koefisien regresi dengan metode OLS masih tetap tidak bias, masih konsisten, namun memiliki standar error yang bias ke bawah, sehingga penduga OLS menjadi tidak efisien.
(42)
Pengujian adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan Uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM. Hipotesis yang digunakan adalah tidak ada autokorelasi untuk H0, sedangkan terdapat autokorelasi untuk H1. Ketentuan
yang digunakan adalah apabila nilai probabilitas hasil uji memiliki nilai yang lebih besar daripada taraf nyata, maka terima H0. Namun apabila nilai probabilitas
hasil uji memiliki nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata, maka kesimpulan yang diambil adalah tolak H0 (Gujarati, 2004).
(43)
BAB IV
GAMBARAN UMUM BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK DAN PROPINSI JAWA TIMUR
4.1. Alokasi Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010
Berdasarkan Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010 (Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 37/ Permentan/ SR.130 /5/ 2010), BLP organik disalurkan ke 31 propinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, Maluku Utara, Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Papua Barat dan Sulawesi Barat. Lima propinsi yang memperoleh alokasi bantuan langsung pupuk terbanyak berturut-turut adalah Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur (Tabel 4.1.).
Tabel 4.1. Lima Propinsi Penerima BLP Terbanyak Tahun 2010
No Provinsi Jumlah Alokasi Areal BLP (ha)
1. Jawa Barat 104.091
2. Sumatera Utara 95.000
3. Jawa Tengah 78.490
4. Sulawesi Selatan 75.000
5. Jawa Timur 67.290
Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010
Jumlah volume BLP untuk Pupuk NPK sebanyak 106.639,8 ton; Pupuk Organik Granul (POG) 319.919,4 ton; dan Pupuk Organik Cair (POC) 2.132.790 liter yang terinci pada Tabel 4.2.. Paket bantuan pupuk BLP per hektar terdiri atas pupuk NPK 100 kg, POG 300 kg, dan POC 2 liter.
(44)
Tabel 4.2. Alokasi Perusahaan Penyalur Bantuan Langsung Pupuk Tahun 2010
Uraian Alokasi Perusahaan
PT. Pertani PT. SHS PT. Berdikari Jumlah
NPK (ton) 59.387,9 43.253,7 3.997,9 106.639,5 POG (ton) 178.163,7 129.761,1 11.993,7 319.918,5 POC (liter) 1.187.758,0 865.074,0 79.958,0 2.132.790,0 Sumber: Pedoman Umum Bantuan Langsung Pupuk Tahun Anggaran 2010
Pemerintah menunjuk tiga perusahaan yang bertanggung jawab untuk menyalurkan BLP kepada petani. Tiga perusahaan tersebut adalah PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero) (Tabel 4.2.). Harga pupuk ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atas saran dan pertimbangan Tim Referensi Harga BLP dengan memperhatikan rekomendasi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP) pupuk NPK, POG dan POC untuk PT. Pertani (Persero), PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Berdikari (Persero).
Pada penelitian ini, data yang diperoleh merupakan data yang didapat dari penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB) terhadap BLP dan BLBU yang didistribusikan oleh PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur. Dalam proses pendistribusiannya, PT. Pertani (persero) memperhatikan jadwal tanam, sesuai dengan jadwal penyaluran BLBU yang telah ditetapkan untuk masing-masing lokasi.
4.2. Gambaran Umum Propinsi Jawa Timur
Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Propinsi ini terletak pada
(45)
111,0′ hingga 114,4′ Bujur Timur dan 7,12′ hingga 8,48′ Lintang Selatan. Batas Daerah di sebelah utara berbatasan dengan pulau Kalimantan atau tepatnya dengan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sebelah timur berbatasan dengan berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka yaitu Samudera Indonesia. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah (jatimprov.go.id, 2012).
sumber: jatimprov.go.id, 2012
Gambar 4.1. Gambar Peta Propinsi Jawa Timur
Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah propinsi Jawa Timur yang mencapai 46.428 km2 terbagi atas 9 daerah kota dan 29 daerah kabupaten. Sembilan daerah kota tersebut antara lain Kota Surabaya, Madiun, Kediri, Blitar, Malang, Batu, Pasuruan, Probolinggo, dan Mojokerto. Sedangkan 29 daerah kabupaten terebut antara lain Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi,
(46)
Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep (jatimprov.go.id, 2012).
Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson sebagian besar wilayah (52%) Jatim mempunyai iklim tipe sedang. Keadaan maksimum suhu maksimum rata - rata mencapai 33°C sedangkan suhu minimum rata - rata mencapai 22°C. Keadaan curah hujan pertahun di Jawa Timur mempunyai karakteristik 35,54% wilayah dengan curah hujan kurang dari 1.750 mm; 44,00% wilayah dengan curah hujan 1.750 – 2.000 mm; dan 20,46% wilayah yang memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm (eastjava.com, 2012).
Keadaan tanah di Propinsi Jawa Timur memiliki 64% wilayah daratan yang memungkinkan digunakan untuk kegiatan pertanian dan permukiman; 18% wilayah daratan yang memungkinkan untuk kegiatan pertanian tanaman tahunan keras; serta 18% wilayah daratan sebaiknya digunakan untuk hutan sebagai wilayah penyangga air dan keseimbangan ekosistem. Apabila dilihat dari sistem drainase, 95% dari luas total wilayah darat Propinsi Jawa Timur memiliki sistem drainase yang baik; 22,52% wilayah mengalami sistem drainase yang kurang baik (kadang-kadang tergenang); dan 1,48% wilayah memiliki sistem drainase yang tidak baik (eastjava.com, 2012).
Keadaan ekonomi regional Jawa Timur dapat dilihat pada Lampiran 1. Besar PDRB Jawa Timur tahun 2011 atas dasar berlaku adalah sebesar Rp. 884.trilyun. Dengan jumlah penduduk pertengahan tahun 2011 sebanyak 37.687.622 jiwa, maka PDRB per kapita Jawa Timur mencapai Rp. 23,46 juta,
(47)
atau naik 12,95% dibanding PDRB perkapita tahun 2010 yang sebesar Rp. 20,77 juta (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012).
Struktur perekonomian Jawa Timur sampai dengan tahun 2011 masih didominasi Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran dengan kontribusi sebesar 30,00%; diikuti sektor industri pengolahan 27,13%; dan sektor pertanian 15,39% (BPS Propinsi Jawa Timur, 2012).
Tabel 4.3. Subsektor Pertanian PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007-2011 (Juta Rupiah)
Subsektor 2007 2008 2009 2010 2011 Pertumbuhan
Bahan Makanan 47.652,20 54.208,27 59.976,74 65.192,59 71.398,02 10,7% Perkebunan 14.657,73 16.601,03 14.998,33 16.101,39 18.069,38 5,8% Peternakan 15.871,07 18.489,26 21.061,49 23.289,88 26.497,30 13,7% Kehutanan 1.207,90 1.851,00 1.976,58 2.559,19 3.059,14 27,3% Perikanan 10.052,77 11.845,61 14.220,72 15.480,92 17.004,08 14,1% Sektor Pertanian 89.441,66 102.995,18 112.233,86 122.623,97 136.027,92 11,1%
Sumber: BPS Propinsi Jawa Timur, 2012 (diolah)
Pada Sektor Pertanian, Subsektor Tanaman Bahan Makanan memiliki proporsi paling besar kemudian disusul oleh Subsektor Peternakan, Perikanan, Tanaman Perkebunan, dan Kehutanan (Tabel 4.3.). Subsektor Tanaman Bahan Makanan cenderung mengalami peningkatan produksi tiap tahun dengan peningkatan rata-rata sebesar 10,7% per tahun.
Tanaman bahan makanan yang paling banyak diproduksi adalah padi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.4.. Setelah padi, tanaman pangan yang banyak diproduksi adalah jagung dan ubi kayu. Produksi padi di Propinsi Jawa Timur cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 pertumbuhan produksi padi rata-rata sebesar 3% per tahun.
(48)
Tabel 4.4. Tabel Produksi Tanaman Pangan di Propinsi Jawa Timur Tahun 2009 – 2011 (Ton)
Komoditi 2007 2008 2009 2010 2011 Pertumbuhan
Padi 9.402.029 10.474.773 11.259.085 11.643.773 10.576.543 3,3% Jagung 4.252.182 5.053.107 5.266.720 5.587.318 5.443.705 6,6% Ubi Kayu 3.423.630 3.533.772 3.222.637 3.667.058 4.032.081 4,5% Kedelai 252.027 277.281 355.260 339.491 366.999 10,5% Kacang Tanah 196.886 202.345 216.474 207.796 211.416 1,9% Ubi Jalar 149.811 136.556 162.607 141.103 217.545 12,8% Kacang Hijau 80.241 72.126 83.629 79.878 80.329 0,5%
Sumber: bps.go.id, 2012 (diolah)
Pada Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa Propinsi Jawa Timur mengalami peningkatan luas panen padi tiap tahun. Sedangkan, produksi dan produktivitas padi di propinsi tersebut mengalami fluktuasi namun cenderung mengalami peningkatan.
Tabel 4.5. Tabel Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2000 - 2011
Tahun Luas Panen(Ha) Produktivitas(Ku/Ha) Produksi(Ton)
2007 1.736.048 54,16 9.402.029
2008 1.774.884 59,02 10.474.773
2009 1.904.830 59,11 11.259.085
2010 1.963.983 59,29 11.643.773
2011 1.945.712 54,35 10.576.543
Pertumbuhan 2,9% 0,3% 3,3%
Sumber: bps.go.id, 2012 (diolah)
Berdasarkan Tabel 4.6., jumlah tenaga kerja yang terserap masih didominasi oleh Sektor Pertanian (39,70%). Hal ini merupakan ciri dari daerah pedesaan yang masih menjadi wilayah terluas di Jawa Timur. Bahkan pada daerah pedesaan, Sektor Pertanian mampu menyerap hingga 59,0% pekerja. Sementara di daerah perkotaan Sektor Pertanian (17,39%) masih lebih rendah dibandingkan Sektor
(49)
Industri (18,59%), Sektor Perdagangan (28,69%) dan Sektor Jasa (19,05%). Dari sisi lain, pekerja laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan hampir pada semua sektor kecuali Sektor Perdagangan. Pekerja perempuan pada Sektor Perdagangan mencapai 55,29% terhadap pekerja laki-laki (BPS Propinsi Jawa Timur, 2011). Walaupun jumlah tenaga kerja yang terserap lebih didominasi oleh sektor pertanian, namun terjadi penurunan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut. Hal ini dikarenakan beberapa tenaga kerja dari sektor pertanian beralih lapangan kerja ke sektor industri pengolahan dan sektor lainnya.
Tabel 4.6. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2009 – 2011 (ribuan orang) Lapangan Pekerjaan
Utama
Per Bulan Agustus Tahun Rata-rata
Pertumbuhan
2009 2010 2011
Pertanian 8.287,92 7.939,48 7.520,07 -4,74% Industri Pengolahan 2.385,68 2.482,56 2.665,47 5,71% Perdagangan 3.933,11 3.787,78 3.908,29 -0,26% Jasa Kemasyarakatan 2.347,46 2.446,50 2.458,84 2,36% Lainnya *) 2.350,87 2.041,79 2.387,67 1,90% Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, Hasil Sakernas 2009 – 2011 (diolah)
*) Lapangan pekerjaan utama/sektor lainnya terdiri dari Sektor Pertambangan, Listrik, Gas dan Air, konstruksi, Keuangan.
(1)
(2)
Lampiran 1. PDRB Propinsi Jawa Timur Atas Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun 2006-2011 (Juta Rupiah)
Lapangan Usaha 2006 2007 2008
AHB AHK AHB AHK AHB AHK
1. Pertanian 80.746.147,55 46.486.277,60 89.441.663,00 47.942.973,38 102.995.180,34 49.437.137,68
2. Pertambangan Penggalian 9.711.418,59 5.455.159,57 11.305.430,13 6.024.793,19 13.516.509,05 6.582.743,28
3. Industri Pengolahan 13.715.738,08 72.786.972,17 153.815.077,96 76.163.917,97 177.073.710,37 79.508.936,42
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih. 8.730.422,33 4.610.041,67 10.257.967,40 5.154.634,88 11.860.995,77 5.314.747,16
5. Konstruksi 16.280.066,79 9.030.294,53 17.979.349,79 9.139.600,65 20.771.916,62 9.387.403,83
6. Perdag., Hotel, & Restoran 131.600.286,59 81.715.963,35 154.102.587,32 88.570.614,49 182.494.842,54 95.894.415,49
7. Pengangkutan & Komunikasi 26.239.588,55 15.504.939,79 29.697.961,25 16.710.214,85 33.091.943,64 17.912.648,08
8. Keuangan, Sewa & Jasa Perush. 21.305.473,16 13.611.228,97 24.729.208,30 14.763.619,88 29.117.658,12 15.952.445,08
9. Jasa-jasa 38.295.351,98 22.048.439,04 43.590.087,81 23.343.814,62 50.659.198,73 24.808.291,41
PDRB Jawa Timur 346.624.493,62 271.249.316,69 534.919.332,96 287.814.183,91 621.581.955,18 304.798.768,43
Lapangan Usaha 2009 2010 2011
AHB AHK AHB AHK AHB AHK
1. Pertanian 112.233.859,16 50.208.896,71 122.623.967,68 51.329.548,83 136.027.919,63 52.628.433,15
2. Pertambangan Penggalian 15.275.669,63 7.104.816,81 17.030.742,77 7.757.319,82 19.794.059,02 8.228.632,48
3. Industri Pengolahan 193.256.482,06 83.299.893,42 214.024.729,37 86.900.779,13 239.844.520,36 92.171.191,46
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih. 10.625.414,01 4.361.515,81 11.768.641,20 4.642.081,81 12.690.733,03 4.932.084,36
5. Konstruksi 27.552.354,80 10.307.883,76 34.993.979,71 10.992.599,76 41.295.649,14 11.994.825,72
6. Perdag., Hotel, & Restoran 195.184.787,50 95.983.867,09 229.404.871,55 106.229.112,97 265.238.859,62 116.645.214,35
7. Pengangkutan & Komunikasi 37.785.346,57 22.781.527,67 42.947.758,98 25.076.425,54 50.044.951,42 27.946.279,87
8. Keuangan, Sewa & Jasa Perush. 33.145.827,89 17.395.393,53 38.165.173,52 18.659.490,17 43.570.708,23 20.186.109,19
9. Jasa-jasa 61.787.816,10 29.417.374,11 67.605.907,67 30.693.407,48 75.636.174,35 32.251.530,62
PDRB Jawa Timur 686.847.557,72 320.861.168,91 778.565.772,45 342.280.765,51 884.143.574,80 366.984.301,20
Sumber: BPS Jawa Timur, 2012
(3)
Lampiran 2a. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai)
Sumber: Data Primer (diolah)
Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp)
1. Benih (Kg) 36,05 6.280,85 226.393,87 28,65 0,00 0,00
2. Tenaga Kerja Manusia (HOK)
Persiapan dan Pengolahan Lahan 20 17.318,78 345.453,54 21 17.401,29 357.733,43
Penanaman 30 14.005,13 421.377,52 30 14.665,91 445.828,32
Penyiangan Tanaman 28 14.534,02 400.557,13 28 14.740,18 409.302,86
Pemupukan 6 17.018,14 97.182,06 6 17.342,81 101.565,20
Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman 7 16.347,01 116.147,41 7 17.257,19 116.016,59
Panen 24 21.897,83 517.927,26 25 24.075,42 596.583,29
Pengangkutan Hasil Panen 7 19.040,20 135.774,32 8 20.450,13 161.908,53
2.034.419,24 2.188.938,22
3. Tenaga Kerja Hewan 1 120.926,82 76.800,00 1 120.926,82 76.800,00
4. Tenaga Kerja Mesin 3 172.378,64 437.304,95 3 170.999,74 464.444,29
5. Pupuk
Urea 325,09 1.417,66 460.864,62 174,99 1.746,22 305.572,54
TSP 18,25 2.018,26 36.833,33 10,42 2.160,00 22.500,00
KCL 4,08 3.397,96 13.875,00 0,69 3.725,00 2.586,81
NPK 89,37 2.188,89 195.614,68 134,16 0,00 0,00
Pupuk organik granul 59,09 2.118,84 125.201,09 383,85 0,00 0,00 Pupuk organik cair (liter) 0,09 60.000,00 5.666,67 2,84 0,00 0,00
838.055,40 330.659,35
6. Pestisida dan Obat-obatan
Pestisida cair 2,58 33.993,24 87.698,89 2,57 36.233,42 93.219,65 Pestisida padat 0,97 34.770,40 33.564,17 1,22 37.291,81 45.438,29
Obat 0,75 40.066,24 30.075,44 0,55 47.047,94 25.822,22
151.338,50 164.480,16
7. Biaya
PBB & Retribusi 45 189.516,57 45 207.036,66
Sewa/Bagi Hasil 6 421.608,33 6 402.953,75
Biaya Lain-lain 9 59.397,42 9 60.493,25
670.522,32 670.483,66
4.434.834,29 3.895.805,68
4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63
(Pendapatan / Total Biaya Tunai)
3,99
(Produksi Padi / Biaya Tunai) B/C RATIO
1,82 2,99
R/C RATIO
2,82
11.644.361,95 Total Pupuk
Total obat-obatan
Total Biaya
KESELURUHAN BIAYA TUNAI (Rp.) PRODUKSI PADI (GKP)
PENDAPATAN
(Produksi Padi - Biaya Tunai) 8.087.463,14
Total Tenaga Kerja Manusia
(4)
Lampiran 2b. Analisis Usahatani Petani Padi Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total)
Sumber: Data Primer (diolah)
Keterangan: * Harga benih sesudah BLP Organik menggunakan harga pasar pada saat bantuan diterima.
** Upah tenaga kerja dalam keluarga menggunakan upah rata-rata tenaga kerja manusia luar keluarga. *** Harga pupuk BLP Organik menggunakan harga pasar pada saat bantuan diterima.
Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp/sat) Total nilai (Rp)
1. Benih (Kg) * 36,05 6.280,85 226.393,87 28,65 6.861,33 196.555,19
2. Tenaga Kerja Manusia (HOK)
Persiapan dan Pengolahan Lahan 20 17.318,78 345.453,54 21 17.401,29 357.733,43
Penanaman 30 14.005,13 421.377,52 30 14.665,91 445.828,32
Penyiangan Tanaman 28 14.534,02 400.557,13 28 14.740,18 409.302,86
Pemupukan 6 17.018,14 97.182,06 6 17.342,81 101.565,20
Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman 7 16.347,01 116.147,41 7 17.257,19 116.016,59
Panen 24 21.897,83 517.927,26 25 24.075,42 596.583,29
Pengangkutan Hasil Panen 7 19.040,20 135.774,32 8 20.450,13 161.908,53
Total Tenaga Kerja Manusia 2.034.419,24 2.188.938,22
2a. Tenaga Kerja Dalam Keluarga ** 4 17.000,00 517.927,26 4 18.000,00 517.927,26
3. Tenaga Kerja Hewan 1 120.926,82 76.800,00 1 120.926,82 76.800,00
4. Tenaga Kerja Mesin 3 172.378,64 437.304,95 3 170.999,74 464.444,29
5. Pupuk
Urea 325,09 1.417,66 460.864,62 174,99 1.746,22 305.572,54
TSP 18,25 2.018,26 36.833,33 10,42 2.160,00 22.500,00
KCL 4,08 3.397,96 13.875,00 0,69 3.725,00 2.586,81
NPK *** 89,37 2.188,89 195.614,68 134,16 2.300,00 308.558,57
Pupuk organik granul *** 59,09 2.118,84 125.201,09 383,85 2.300,00 882.846,20
Pupuk organik cair (liter) *** 0,09 60.000,00 5.666,67 2,84 62.643,08 178.151,55
Total Pupuk 838.055,40 1.700.215,66
6. Pestisida dan Obat-obatan
Pestisida cair 2,58 33.993,24 87.698,89 2,57 36.233,42 93.219,65
Pestisida padat 0,97 34.770,40 33.564,17 1,22 37.291,81 45.438,29
Obat 0,75 40.066,24 30.075,44 0,55 47.047,94 25.822,22
Total obat-obatan 151.338,50 164.480,16
7. Biaya
PBB & Retribusi 45 189.516,57 45 207.036,66
Sewa/Bagi Hasil 6 421.608,33 6 402.953,75
Biaya Lain-lain 9 59.397,42 9 60.493,25
Total Biaya 670.522,32 670.483,66
4.952.761,55 5.979.844,45
4.916,05 2.547,23 12.522.297,43 5.410,39 2.872,28 15.540.167,63
B/C RATIO
(Pendapatan / Total Biaya Total)
2,53
1,53
2,60
1,60 (Produksi Padi / Biaya Total)
PENDAPATAN
(Produksi Padi - Biaya Total) R/C RATIO
7.569.535,88 9.560.323,18
KESELURUHAN BIAYA TOTAL (Rp.)
PRODUKSI PADI (GKP)
(5)
Lampiran 3. Fungsi Produksi Padi Setelah Menggunakan BLP Organik
Dependent Variable: Y Method: Least Squares Date: 03/23/12 Time: 08:03 Sample: 1 60
Included observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. VIF
C 6,416168 0,809492 7,926169 0
Ln Luas Lahan
0,415865 0,213211 1,950489 0,0568 6,0Ln Benih
0,143191 0,161177 0,888405 0,3787 4,8Ln Tenaga Kerja Manusia
0,266631 0,118475 2,250518 0,0289 1,8Ln Urea
0,118364 0,046784 2,52998 0,0147 1,7Ln TSP
0,05468 0,077328 0,707121 0,4828 1,1Ln KCL
0,175143 0,151599 1,155307 0,2536 1,0Ln NPK
-0,05352 0,04233 -1,264357 0,2121 1,4Ln (POG)
0,001619 0,042401 0,038187 0,9697 1,4Ln (POC)
0,282203 0,132297 2,133107 0,0379 2,5Ln Pestisida dan Obat
-0,060534 0,04994 -1,212128 0,2313 1,2R-squared 0,742776 Mean dependent var 7,560239
Adjusted R-squared 0,690281 S.D. dependent var 0,85268
S.E. of regression 0,474537 Akaike info criterion 1,511188
Sum squared resid 11,03408 Schwarz criterion 1,895151
Log likelihood -34,33563 F-statistic 14,14951
Durbin-Watson stat 2,257188 Prob(F-statistic) 0
Sumber: Data Primer (diolah)
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0,489172 Probability 0,616221
Obs*R-squared 1,223481 Probability 0,542406
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic 1,544977 Probability 0,121832
Obs*R-squared 25,39521 Probability 0,14794
0 2 4 6 8 10 12
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
Series: Residuals Sample 1 60 Observations 60 Mean 1.61E-15 Median 0.001642 Maximum 1.108880 Minimum -1.237457 Std. Dev. 0.432456 Skewness -0.262927 Kurtosis 3.735554 Jarque-Bera 2.043905 Probability 0.359892
(6)