Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara)

(1)

PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI

HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN

(STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)

TEGUH SURYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2006

Teguh Suryono


(3)

ABSTRAK

TEGUH SURYONO. Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara). Dibimbing oleh CECEP KUSMANA sebagai ketua komisi pembimbing, EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai anggota komisi pembimbing.

Adanya konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, telah menurunkan kualitas lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk; 2) Menghitung dan menganalisis

Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingness to Accept

masyarakat petambak; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingess to Accept

masyarakat petambak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk pada areal penelitian sebesar Rp. 4.184.566.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378,- per ha per tahun. Nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha, diasumsikan sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. Besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun, dan besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak di lingkungan Angke Kapuk sebesar Rp. 1.329.745.043,-.

Kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Sedangkan besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan.

Kesediaan menerima masyarakat petambak untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak dipengaruhi oleh faktor pendapatan, pendidikan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan.

Tindakan dan upaya untuk perbaikan lingkungan dan pengelolaan kawasan Hutan Angke Kapuk meliputi : 1) Penanaman kembali tanaman mangrove; 2) Pemasangan tanggul sebagai peme cah ombak; 3) Penanganan limbah sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya; dan 4) Penanganan tambak illegal yang ada di dalam kawasan hutan.

Kata kunci : nilai ekonomi total hutan mangrove, kesediaan membayar, kesediaan menerima.


(4)

ABSTRACT

TEGUH SURYONO. Environmental Economic Assesment to Conversion of Mangrove Forest into Fish Ponds and Settlements (Case Study in Angke Kapuk Forest, North Jakarta). Supervisor : CECEP KUSMANA, Co -supervisor : EKA INTAN KUMALA PUTRI.

The conversion of the mangrove forest in Angke Kapuk done by government, private sector and the community has degraded the quality of the environment of the mangrove forest. Therefore, the purpose of this research is to 1) calculate the total economic values of the forest mangrove, and analyze the social and economic aspects of the community around the Angke Kapuk; 2) calculate and analyze the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish pond owners ; 3) analyze the factors which have an effect on the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish ponds owners.

Results from the research show that the total economic value of the Angke Kapuk mangrove is Rp. 4.184.566.038,- per annum or Rp. 73.418.378,- per hectare per annum. The total economic value of the Angke Kapuk forest, which was as wide as 1154,88 hectares before it was converted by PT. Mandara Permai, was Rp. 84.789.416.385,- per annum. The amount of money willingly paid by the community of Pantai Indah Kapuk is Rp. 165.440.880,- per annum and the amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is Rp. 1.329.745.043,-.

The willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community for the improvement of the quality of the environment is affected by the people’s occupations, educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly paid by the Pantai Indah Kapuk community is affected by their ages, educations, incomes, and size of households.

The willingness to accept from the community of the fish pond owners for the improvement of the environment is affected by their educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is affected by their incomes, educations, expenditures, and size of households.

The actions and efforts done to improve the environment and to manage the Angke Kapuk forest areas include: 1) the replanting of the mangrove plants; 2) the building of embankments as wave breakers; 3) the handling of plastic and household waste; and 3) the handling of illegal fish ponds within the forest areas. Keywords : total economic value of the mangrove, the willingness to pay, the willingness to accept.


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(6)

PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI

HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN

(STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)

TEGUH SURYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul

:

Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara)

Nama Mahasiswa

:

Teguh Suryono

Nomor Induk Mahasiswa

:

P 052030171

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

ALHAMDULIL LAAHI RABBIL ‘AALAMIIN, berkat rahmat dan karunia Allah SWT maka penulis dapat menyelesaikan studi S2 dengan menyusun tesis berjudul “Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara)”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi, masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan meluangkan waktu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.ScF selaku penguji yang telah memberikan banyak

masukan yang bermanfaat bagi kelengkapan tesis.

3. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

4. Bupati Lombok Timur yang pada waktu itu dijabat oleh H. Syahdan, dan Ir. Soemantoro selaku kepala Dinas Kehutanan Lombok Timur, atas pemberian kesempatan mengikuti program S2 Pascasarjana IPB.

5. Ibu Murlan di BKSDA DKI Jakarta dan Pak Sukardi di Dinas Kehutanan DKI Jakarta, atas diskusinya selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Aparat Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Pluit, Pengurus rukun warga (RW) dan masyarakat perumahan Pantai Indah Kapuk, yang telah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini.

7. Teman-teman PSL 2002 genap, PSL 2003 ganjil – genap, IPK 2003 dan rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB lainnya, semoga tali silaturahmi yang sudah terjalan ini tetap terjaga dengan baik.

8. Kedua orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan-keponakanku yang telah mendukung proses studi saya di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2006


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 7 Januari 1976, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Santosa dan Ibu Partini.

Menamatkan Sekolah Dasar di Sampit pada tahun 1988, tahun 1991 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 88 Jakarta, dan lulus dari SMAN 16 Jakarta pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis mendapat kesempatan menuntut ilmu di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB melalui jalur USMI, pada tahun 1995 penulis memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 1999.

Sejak tahun 2000 – 2001 penulis bekerja di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Barat. Mulai tahun 2001 - sekarang, penulis bekerja di Dinas Kehutanan, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 2003 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Program S2 Pascasarjana IPB, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 3

1.3. Perumusan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Ekosistem Mangrove ... 7

2.1.1. Peranan dan Potensi Fisik Hutan Mangrove ... 10

2.1.2. Peranan dan Potensi Biologi Hutan Mangrove... 11

2.1.3. Peranan dan Potensi Ekonomi Hutan Mangrove... 11

2.1.4. Kerusakan Hutan Mangrove... 11

2.2. Kerusakan Sumberdaya Alam... 13

2.3. Nilai ekonomi Hutan Mangrove ... 15

2.4. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya ... 19

2.5. Persespsi ... 25

2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 27

III. METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.2.1. Pengumpulan Data Untuk Analisis Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 31

3.2.2. Pengumpulan Data Untuk Analisis Contingent Valuation Method (CVM)... 31

3.3. Analisis Data ... 32

3.3.1. Analisis Deskriptif ... 32


(11)

PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI

HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN

(STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)

TEGUH SURYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

PERNYATAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2006

Teguh Suryono


(13)

ABSTRAK

TEGUH SURYONO. Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara). Dibimbing oleh CECEP KUSMANA sebagai ketua komisi pembimbing, EKA INTAN KUMALA PUTRI sebagai anggota komisi pembimbing.

Adanya konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, telah menurunkan kualitas lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk; 2) Menghitung dan menganalisis

Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingness to Accept

masyarakat petambak; 3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

Willingness to Pay masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingess to Accept

masyarakat petambak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai ekonomi total hutan mangrove Angke Kapuk pada areal penelitian sebesar Rp. 4.184.566.038,- per tahun atau Rp. 73.418.378,- per ha per tahun. Nilai total ekonomi hutan Angke Kapuk seluas 1154,88 ha, diasumsikan sebelum terjadi konversi yang dilakukan PT. Mandara Permai sebesar Rp. 84.789.416.385,- per tahun. Besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk sebesar Rp. 165.440.880,- per tahun, dan besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak di lingkungan Angke Kapuk sebesar Rp. 1.329.745.043,-.

Kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Sedangkan besarnya nilai kesediaan membayar masyarakat Pantai Indah Kapuk dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan.

Kesediaan menerima masyarakat petambak untuk perbaikan lingkungan dipengaruhi oleh pendidikan, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Besarnya nilai kesediaan menerima masyarakat petambak dipengaruhi oleh faktor pendapatan, pendidikan, pengeluaran, dan jumlah tanggungan.

Tindakan dan upaya untuk perbaikan lingkungan dan pengelolaan kawasan Hutan Angke Kapuk meliputi : 1) Penanaman kembali tanaman mangrove; 2) Pemasangan tanggul sebagai peme cah ombak; 3) Penanganan limbah sampah plastik dan sampah rumah tangga lainnya; dan 4) Penanganan tambak illegal yang ada di dalam kawasan hutan.

Kata kunci : nilai ekonomi total hutan mangrove, kesediaan membayar, kesediaan menerima.


(14)

ABSTRACT

TEGUH SURYONO. Environmental Economic Assesment to Conversion of Mangrove Forest into Fish Ponds and Settlements (Case Study in Angke Kapuk Forest, North Jakarta). Supervisor : CECEP KUSMANA, Co -supervisor : EKA INTAN KUMALA PUTRI.

The conversion of the mangrove forest in Angke Kapuk done by government, private sector and the community has degraded the quality of the environment of the mangrove forest. Therefore, the purpose of this research is to 1) calculate the total economic values of the forest mangrove, and analyze the social and economic aspects of the community around the Angke Kapuk; 2) calculate and analyze the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish pond owners ; 3) analyze the factors which have an effect on the willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community and the willingness to accept from the community of the fish ponds owners.

Results from the research show that the total economic value of the Angke Kapuk mangrove is Rp. 4.184.566.038,- per annum or Rp. 73.418.378,- per hectare per annum. The total economic value of the Angke Kapuk forest, which was as wide as 1154,88 hectares before it was converted by PT. Mandara Permai, was Rp. 84.789.416.385,- per annum. The amount of money willingly paid by the community of Pantai Indah Kapuk is Rp. 165.440.880,- per annum and the amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is Rp. 1.329.745.043,-.

The willingness to pay from the Pantai Indah Kapuk community for the improvement of the quality of the environment is affected by the people’s occupations, educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly paid by the Pantai Indah Kapuk community is affected by their ages, educations, incomes, and size of households.

The willingness to accept from the community of the fish pond owners for the improvement of the environment is affected by their educations, incomes, and size of households. The amount of money willingly accepted by the community of the fish pond owners is affected by their incomes, educations, expenditures, and size of households.

The actions and efforts done to improve the environment and to manage the Angke Kapuk forest areas include: 1) the replanting of the mangrove plants; 2) the building of embankments as wave breakers; 3) the handling of plastic and household waste; and 3) the handling of illegal fish ponds within the forest areas. Keywords : total economic value of the mangrove, the willingness to pay, the willingness to accept.


(15)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(16)

PENILAIAN EKONOMI LINGKUNGAN TERHADAP KONVERSI

HUTAN MANGROVE MENJADI TAMBAK DAN PEMUKIMAN

(STUDI KASUS DI HUTAN ANGKE KAPUK JAKARTA UTARA)

TEGUH SURYONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(17)

Judul

:

Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk Jakarta Utara)

Nama Mahasiswa

:

Teguh Suryono

Nomor Induk Mahasiswa

:

P 052030171

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(18)

UCAPAN TERIMA KASIH

ALHAMDULIL LAAHI RABBIL ‘AALAMIIN, berkat rahmat dan karunia Allah SWT maka penulis dapat menyelesaikan studi S2 dengan menyusun tesis berjudul “Penilaian Ekonomi Lingkungan Terhadap Konversi Hutan Mangrove Menjadi Tambak dan Pemukiman (Studi Kasus di Hutan Angke Kapuk, Jakarta Utara)”.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan semua pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi, masing-masing selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan meluangkan waktu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.ScF selaku penguji yang telah memberikan banyak

masukan yang bermanfaat bagi kelengkapan tesis.

3. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

4. Bupati Lombok Timur yang pada waktu itu dijabat oleh H. Syahdan, dan Ir. Soemantoro selaku kepala Dinas Kehutanan Lombok Timur, atas pemberian kesempatan mengikuti program S2 Pascasarjana IPB.

5. Ibu Murlan di BKSDA DKI Jakarta dan Pak Sukardi di Dinas Kehutanan DKI Jakarta, atas diskusinya selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Aparat Kelurahan Kamal Muara, Kapuk Muara, Pluit, Pengurus rukun warga (RW) dan masyarakat perumahan Pantai Indah Kapuk, yang telah berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini.

7. Teman-teman PSL 2002 genap, PSL 2003 ganjil – genap, IPK 2003 dan rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB lainnya, semoga tali silaturahmi yang sudah terjalan ini tetap terjaga dengan baik.

8. Kedua orang tua, kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan-keponakanku yang telah mendukung proses studi saya di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2006


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 7 Januari 1976, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Santosa dan Ibu Partini.

Menamatkan Sekolah Dasar di Sampit pada tahun 1988, tahun 1991 penulis menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 88 Jakarta, dan lulus dari SMAN 16 Jakarta pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis mendapat kesempatan menuntut ilmu di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB melalui jalur USMI, pada tahun 1995 penulis memilih program studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB, dan memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada tahun 1999.

Sejak tahun 2000 – 2001 penulis bekerja di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Barat. Mulai tahun 2001 - sekarang, penulis bekerja di Dinas Kehutanan, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 2003 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Program S2 Pascasarjana IPB, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.


(20)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 3

1.3. Perumusan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Ekosistem Mangrove ... 7

2.1.1. Peranan dan Potensi Fisik Hutan Mangrove ... 10

2.1.2. Peranan dan Potensi Biologi Hutan Mangrove... 11

2.1.3. Peranan dan Potensi Ekonomi Hutan Mangrove... 11

2.1.4. Kerusakan Hutan Mangrove... 11

2.2. Kerusakan Sumberdaya Alam... 13

2.3. Nilai ekonomi Hutan Mangrove ... 15

2.4. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya ... 19

2.5. Persespsi ... 25

2.6. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 27

III. METODE PENELITIAN ... 30

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.2.1. Pengumpulan Data Untuk Analisis Estimasi Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 31

3.2.2. Pengumpulan Data Untuk Analisis Contingent Valuation Method (CVM)... 31

3.3. Analisis Data ... 32

3.3.1. Analisis Deskriptif ... 32


(21)

3.3.2.1. Analisis Kuantitatif Estimasi Nilai Ekonomi Hutan

Mangrove... 32

3.3.2.2. Analisis Kuantitatif WTP dan WTA dengan CVM ... 34

3.3.2.3. Analisis Kuantitatif Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP dan WTA... 38

3.4. Batasan Penelitian ... 39

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 40

4.1. Keadaan Umum Kawasan Hutan Angke Kapuk ... 40

4.1.1. Sejarah, Status, Luas dan Letak Kawasan... 40

4.1.2. Keadaan Fisik dan Biologi Kawasan Hutan Angke Kapuk ... 42

4.2. Keadaan Umum Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit ... 46

4.2.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian... 46

4.2.2. Penduduk, Mata Pencaharian dan Pendidikan... 47

4.3. Keadaan Umum Perumahan Pantai Indah Kapuk... 51

4.4. Keadaan Umum Lok asi Petambak... 53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55

5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat ... 55

5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk... 55

5.1.2. Karakteristik dan Persepsi Petambak Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk... 60

5.1.3. Perbandingan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk dan Petambak... 63

5.1.3.1. Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan Hutan Angke Kapuk ... 63

5.1.3.2. Persepsi Responden Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan Hutan Angke Kapuk ... 65

5.2. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 66

5.2.1. Direct Use Value (Nilai Manfaat Langsung)... 67

5.2.2. Indirect Use Value (Nilai Manfaat Tidak Langsung) ... 69

5.2.3. Manfaat Pilihan ... 72

5.2.4. Manfaat Pewarisan ... 72


(22)

5.2.6. Estimasi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk... 75 5.3. Analisis WTP Pantai Indah Kapuk... 77

5.3.1. Keragaan WTP Pantai Indah Kapuk... 77 5.3.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Membayar dan

Nilai WTP ... 81 5.3.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak Pantai Indah Kapuk... 83 5.3.4. Model Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk... 86 5.4. Analisis WTA Petambak ... 89 5.4.1. Keragaan WTA Petambak... 89 5.4.2. Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kesediaan Menerima dan

Nilai WTA... 91 5.4.3. Model Regresi Logistik Ya/Tidak Petambak... 92 5.4.4. Model Regresi Logistik Nilai WTA Petambak ... 95 5.5. Potensi dan Keterkaitan Nilai WTP Pantai Indah Kapuk dan Nilai WTA

Petambak ... 97

VI. ORIENTASI PERBAIKAN DAN KOSERVASI DI HUTAN ANGKE KAPUK 99

6.1. Masalah Lingkungan dan Kondisi Hutan Angke Kapuk ... 99 6.2. Arahan Upaya Perbaikan Lingkungan dan Pengelolaan Kawasan

Hutan Angke Kapuk ... 100

VII. KESIMPULAN... 103

10.1. Kesimpulan ... 103 10.2. Saran... 103

DAFTAR PUSTAKA... 105 LAMPIRAN ... 109


(23)

DAFTAR TABEL

Tabel teks Halaman

1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit ...48 2. Komposisi Penduduk Kel Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit...48 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...49 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan...51 5. Nilai Manfaat Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk ...67 6. Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan Mangrove Angke Kapuk...71 7. Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung Hutan

Mangrove Angke Kapuk ...71 8. Rata-rata Nilai Keberadaan Hutan Angke Kapuk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...74 9. Ringkasan Perhitungan Nilai Manfaat Total Hutan Angke Kapuk...75 10. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk Yang Bersedia/Tidak Bersedia Membayar ...78 11. Jumlah Responden Pantai Indah Kapuk Yang Tidak Bersedia

Membayar Berdasarkan Alasan ...79 12. Distribusi Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk ...79 13. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik... 82 14. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Membayar Responden Pantai Indah Kapuk ...83 15. Hasil Regresi Logistik Besarnya Nilai WTP Responden Pantai Indah Kapuk ...86 16. Jumlah Petambak Yang Bersedia/Tidak Bersedia Menerima ...90 17. Distribusi Nilai WTA Petambak ...91 18. Variabel-Variabel Dalam Analisis Regresi Logistik... 92 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan Menerima ...93 20. Hasil Regresi Logistik Besarnya Nilai WTA Petambak...95


(24)

DAFTAR GAMBAR

Gambar teks Halaman

9. Bagan Alir Kerangka Pemikiran ... 4 10. Dimensi Pembangunan Berkelanjutan ...29 11. Peta Lokasi Penelitian ... 30 12. Proporsi Hutan Angke Kapuk Yang Dikuasai Pemerintah dan

PT. Mandara Permai ...42 13. Perbandingan Luas Kelurahan Berdasarkan Persentase ... 47 14. Distribusi Jumlah Kepala Keluarga di Tiga Kelurahan ...47 7. Distribusi Penduduk Kelurahan Kapuk Muara, Kamal Muara dan Pluit

Berdasarkan Tingkat Usia ...49 8. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ...50 9. Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan...50 10. Tingkat Pendapatan Responden Pantai Indah Kapuk...55 11. Pekerjaan Responden Pantai Indah Kapuk ...56 12. Pendidikan Responden Pantai Indah Kapuk ...56 13. Usia Responden Pantai Indah Kapuk... 57 14. Jumlah Tanggungan Responden Pantai Indah Kapuk ...57 15. Tingkat Pengeluaran Responden Pantai Indah Kapuk...58 16. Persepsi Responden PIK Terhadap Kualitas Lingkungan...59 17. Persepsi Responden PIK Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan...59 18. Tingkat Pendapatan Responden Petambak ...60 19. Tingkat Pendidikan Responden Petambak ... 60 20. Tingkat Usia Responden Petambak...61 21. Jumlah Tanggungan Responden Petambak...61 22. Tingkat Pengeluaran Responden Petambak...62 23. Persepsi Petambak Terhadap Kualitas Lingkungan ...63 24. Persepsi Petambak Terhadap Perlunya Perbaikan Lingkungan...63 25. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Kualitas Lingkungan...64 26. Komposisi Persepsi Responden Terhadap Perbaikan Lingkungan ...66 27. Distribusi Nilai Manfaat Langsung dan Nilai Manfaat Tidak Langsung

Hutan Mangrove Angke Kapuk ...72 28. Distribusi Nilai Manfaat Total Hutan Mangrove Angke Kapuk...76 29. Distribusi Nilai WTP Pantai Indah Kapuk ...81


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

15. Perhitungan Nilai Manfaat Langsung ...109 16. Perhitungan Nilai Tidak Manfaat Langsung ...112 17. Perhitungan Nilai Manfaat Pilihan Dan Manfaat Pewarisan...114 18. Perhitungan Nilai Manfaat Keberadaan ...115 19. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTP Pantai Indah Kapuk...117 7. Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk...118 8. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTA Petambak ... 119 9. Hasil Regresi Logistik Nilai WTA Petambak...120


(26)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari 17.508 pulau besar dan kecil ya ng secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai puluhan kilometer. Masing-masing kawasan pantai dan hutan mangrove pada pulau-pulau tersebut memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia.

Menurut Departemen Kehutanan (1997), wilayah Indonesia terbentang dari Pulau Sumatra di bagian barat sampai Irian Jaya di bagian timur sepanjang lebih dari 5000 km. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia dengan luas daratan dan lautan sebesar 7,7 juta km2. Wilayah pesisir Indonesia terdapat ekosistem hutan mangrove yang sering juga disebut hutan bakau.

Hutan mangrove dikenal beberapa jenis antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Di Indonesia mangrove dikenal sebagai hutan pasang surut atau hutan bakau yang umumnya tumbuh pada daerah yang tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.

Kawasan hutan Angke-Kapuk merupakan salah satu areal kawasan mangrove di Pantai Utara Jawa, tepatnya di Kotamadya Jakarta Utara. Luas hutan yang dipertahankan di kawasan Angke-Kapuk adalah seluas 327,70 ha yang diperuntukkan dan berfungsi sebagai :

• Hutan Lindung : 44,76 ha

• Hutan Wisata : 99,82 ha

• Cagar Alam Muara Angke : 25,02 ha

• Hutan Dengan Tujuan Istimewa :

a. Kebun Pembibitan : 10,51 ha

b. Transmisi PLN : 23,07 ha

c. Cengkareng Drain : 28,93 ha


(27)

Luas areal yang dilepas kepada PT. Mandara Permai seluas 872,18 ha, yang kemudian dikembangkan sebagai pemukiman Pantai Indah Kapuk dengan berbagai sarana dan prasarananya yang tersedia seperti rumah sakit, lapangan golf, pusat pertokoan dan sebagainya (LPP Mangrove 2001). Keberadaan perumahan Pantai Indah Kapuk dengan segenap sarana prasarananya (rumah sakit, lapangan golf, pertokoan, dsb) secara tidak langsung telah memberikan dampak terhadap kawasan ekosistem mangrove di Angke-Kapuk, Jakarta Utara.

Konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk selain untuk perumahan, juga terjadi dalam bentuk areal petambakan. Perubahan areal hutan mangrove tersebut menyebabkan luas hutan mangrove semakin berkurang. Bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum pesisir mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu daerah dimana mangrove tumbuh kuat dan subur dengan tekanan penduduk dan tuntutan ekonomi terhadap rona pantai cukup tinggi, mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber tempat mencari nafkah. Namun karena keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove antara para pengambil kebijakan dan masyarakat umumnya, hutan mangrove dipandang sebagai areal yang boleh digunakan semaunya bahkan pohonnya ditebangi untuk kegunaan lain yang dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya baru disadari bahwa mangrove ternyata jauh lebih penting antara lain sebagai pelindung pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi tempat alami hutan mangrove.

Menurut Keraf (2002) dampak dari pembangunan yang hanya menitikberatkan pada pembangunan ekonomi adalah; pertama, terjadinya kemiskinan yang semakin mendalam di banyak negara berkembang; kedua, timbulnya berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun antara lain merupakan dampak dari pencemaran lingkungan; ketiga, adalah kehancuran sumberdaya alam dari keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat disekitarnya yang tergantung hidupnya dari keberadaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati tersebut.


(28)

1.2. Kerangka Pemikiran

Kawasan hutan mangrove Angke-Kapuk merupakan kawasan hutan mangrove yang terletak di Pantai Utara Jawa, tepatnya di Jakarta Utara. Luasan hutan mangrove Angke-Kapuk yang dipertahankan sekarang sekitar 327,70 ha dan yang dilepas kepada PT. Mandara Permai seluas 872,18 ha (LPP Mangrove 2001). Kawasan hutan mangrove di sekitar Angke-Kapuk sebagian besar telah mengalami penurunan kualitas lingkungan.

Penyebab penurunan kualitas lingkungan ini lebih disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan manusia terhadap ekosistem hutan mangrove terutama karena melihat nilai ekonominya. Beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan/penurunan kualitas lingkungan tersebut, antara lain adalah: (1) Konversi hutan mangrove untuk tambak; (2) Pemanfaatan kayu mangrove; (3) Konversi hutan mangrove untuk pemukiman; dan (4) Kegiatan pemanfaatan lainnya.

Dalam penelitian ini perhitungan nilai ekonomi hutan mangrove didekati dengan melakukan identifikasi dan kuantifikasi manfaat hutan mangrove. Nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai bukan penggunaan (non use value). Selanjutnya nilai penggunaan terbagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai tidak langsung (indirect use value dan nilai pilihan (option value). Nilai bukan penggunaan terbagi menjadi nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Berdasarkan nilai dari manfaat-manfaat tersebut diperoleh nilai total ekonomi hutan mangrove.

Adanya penurunan kualitas lingkungan hutan mangrove Angke-Kapuk, dituntut adanya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam menilai penurunan kualitas lingkungan adalah

Contingent Valuation Method (CVM) dengan pendekatan WTP dan WTA. Dalam penelitian ini, nilai ekonomi kerusakan/penurunan kualitas hutan mangrove Angke-Kapuk didekati dengan kesediaan masyarakat Pantai Indah Angke-Kapuk untuk membayar (WTP) dan WTA yang diterima masyarakat petambak. Keterwakilan dari berbagai kelompok masyarakat merupakan prinsip untuk mendapatkan data yang representatif, serta kelengkapan informasi sosial ekonomi. Kerangka pendekatan penelitian secara rinci disajikan pada Gambar 1.


(29)

Hutan mangrove Angke Kapuk

Konversi hutan mangrove Angke Kapuk

Degradasi Kualitas lingkungan

Perbaikan kualitas lingkungan Masyarakat

petambak PT. Mandara Permai

Ÿ Kemiskinan

Ÿ Peningkatan

jumlah penduduk

Areal pemukiman Pantai Indah Kapuk

Rekomendasi

Nilai ekonomi total hutan mangrove

Angke Kapuk

Existence value

Indirect use value

Option value

direct use value

Bequest value

Metode CVM Pendekatan WTP/WTA

WTA Petambak WTP Pemukiman

Analisis faktor-faktor mempengaruhi WTP/WTA

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

1.3. Perumusan Masalah

Beberapa tahun terakhir seiring dengan perubahan waktu, jumlah penduduk di suatu wilayah mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 oleh Biro Pusat Statistik, kepadatan penduduk di Indonesia mencapai 109 per km2 dan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49% per tahun. Sedangkan untuk Propinsi DKI Jakarta, kepadatan penduduk mencapai 12.635 per km2

dan laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta mencapai 0,17% per tahun1. Pada tahun 2000, menurut Pemerintah DKI Jakarta di Kotamadya Jakarta Utara kepadatan penduduknya mencapai 9.317 per km2 dengan laju pertumbuhan sebesar 0,52% per tahun2.

Peningkatan jumlah penduduk, maka ruang untuk tempat tinggal, mencari nafkah, dan lain-lain otomatis akan meningkat pula. Kebutuhan pangan, sandang dan papan akan terus bertambah, sementara lahan yang tersedia tidak akan bertambah. Dewasa ini, karena adanya keterbatasan lahan untuk pemukiman,

1

http://www.bps.go.id/sector/population/Pop_indo.htm

2


(30)

hutan mangrove yang pada dasarnya harus dilestarikan berubah fungsi untuk areal pemukiman , usaha pertambakan dan lain-lain.

Perubahan hutan mangrove menjadi areal pemukiman maupun usaha tambak, dilihat dari sisi pelakunya dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta maupun oleh masyarakat sendiri sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan persepsi mereka terhadap keberadaan kawasan hutan mangrove. Data Departemen Pertanian menunjukkan, pada tahun 1990 luas tambak mencapai 269.000 ha dan tahun 1998 sebesar 340.000 ha, yang berarti meningkat sebesar 71.000 ha atau 26,4% (Handayani 2004). Namun demikian luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak diperkirakan lebih dari itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa daerah dengan kasus konversi hutan mangrove yang sangat menonjol, seperti di kawasan Delta Mahakam, Kalimantan Timur, dimana perkembangan luas konversi hutan mangrove untuk dijadikan tambak tahun 1992 sebesar 15.000 ha, tahun 1998 sebesar 40.000 ha dan tahun 1999 sebesar 85.000 ha (Santoso 2002). Peningkatan tersebut tentunya akan mengakibatkan terjadinya konversi lahan-lahan mangrove.

Di satu sisi konversi hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat pendatang adalah untuk membuka pemukiman maupun untuk mencari nafkah yaitu dengan mengkonversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan. Di sisi lain, konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk juga dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini PT Mandara Permai, yaitu dengan mengembangkan areal pemukiman elite Pantai Indah Kapuk yang bertujuan untuk mendapatkan profit/keuntungan. Adanya konversi hutan mangrove tersebut, menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan dan keberadaan hutan mangrove. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa intrusi air laut; abrasi pantai dan banjir, berkurangnya habitat bagi berbagai fauna, serta dampak lainnya akibat kerusakan ekosistem tersebut.

Timbulnya konversi hutan mangrove di Angke-Kapuk yang dilakukan oleh pemerintah, pihak swasta dan masyarakat, telah menurunkan kualitas lingkungan hutan mangrove itu sendiri. Diperlukan adanya langkah-langkah yang positif untuk merehabilitasi hutan mangrove yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Untuk mengetahui kesediaan mereka terhadap partisipasi dalam merehabilitasi hutan mangrove yaitu dengan menilai dari WTP masyarakat pemukiman Pantai Indah Kapuk yang mereka bayarkan untuk peningkatan kualitas lingkungan, dan menilai WTA masyarakat petambak sebagai


(31)

kompensasi untuk memungkinkan adanya peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa masalah yang perlu dikaji. Masalah-masalah tersebut meliputi :

1. Bagaimana nilai ekonomi total ekosistem mangrove dan karakteristik masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk, Jakarta Utara?

2. Berapa nilai maksimum yang dibayarkan masyarakat Pantai Indah Kapuk untuk memperbaiki kualitas ekosistem mangrove di kawasan Angke Kapuk? Berapa nilai minimum yang diterima masyarakat petambak di kawasan Angke Kapuk? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat Pantai Indah Kapuk

terhadap WTP yang dibayarkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan ekosistem mangrove di kawasan Angke-Kapuk?

4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat petambak terhadap WTA yang diterima sebagai kompensasi dari penurunan kualitas lingkungan ekosistem mangrove di kawasan Angke-Kapuk?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menghitung nilai ekonomi total hutan mangrove dan menganalisis aspek sosial ekonomi dari masyarakat di sekitar kawasan Angke-Kapuk.

2. Menghitung dan menganalisis Willingness to Pay (WTP) masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan Willingness to Accept (WTA) masyarakat petambak.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP masyarakat Pantai Indah Kapuk, dan WTA masyarakat petambak.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini dapat memberikan masukan dalam pembuatan perencanaan dan pengambilan keputusan, khususnya untuk

menanggulangi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari

mengkonversi hutan mangrove.

2. Dasar pengembangan studi yang lebih mendalam dan luas, terutama kaitan antara masyarakat disekitar hutan mangrove dengan lingkungannya.

3. Sebagai kajian dan pengkayaan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2000). Hutan mangrove berkembang di zona intertidal sepanjang garis pantai tropis seperti estuari, laguna, delta, delta estuari dan lagun estuari. Hutan mangrove besar ditemukan sepanjang garis pantai yang berlumpur, terlindung, terbebas dari angin dan arus yang kuat. Hutan mangrove tumbuh subur jika banyak mendapat pesediaan sedimen dan air tawar. Air payau tidak penting namun baik untuk pertumbuhan mangrove. Hutan mangrove juga dapat tumbuh di pantai berpasir dan berbatu, terumbu karang dan pulau.

Menurut Winarti (1999), wilayah hutan mangrove merupakan wilayah

asuhan bagi berbagai macam organisme bernilai ekonomi tinggi dan organisme lainnya. Mangrove menjadi semakin penting karena fungsinya sebagai pereduksi karbon dan bahkan menjadi pelarut karbon organik. Sistem hutan mangrove paling produktif diantara sistem alam di bumi. Sumber-sumber produktifitasnya adalah daun, koloni alga pada permukaan akar, serasah hutan, komunitas lamun, fitoplankton dalam hubungannya dengan teluk dan laguna. Kombinasi dari produktivitas yang tinggi dan badan air payau yang dangkal, menyediakan habitat beranekaragam dan baik dalam mendukung kehidupan hewan yang beranekaragam dan luas dalam berbagai tingkatan daur hidup.

Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindungi. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber ma kanannya dan serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai pendukung substratnya. Air pasang memberikan makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sediment dan rawa tempat mangrove tumbuh.

Ekosistem mangrove atau hutan bakau termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari dangkal yang sangat menarik, yang terdapat pada perairan tropik dan subtropik. Penelitian mengenai hutan mangrove lebih banyak dilakukan daripada ekosistem pantai lainnya. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya karena mempunyai


(33)

vegetasi yang agak seragam, serta mempunyai tajuk yang rata, tidak mempunyai lapisan tajuk dengan bentukan yang khas, dan selalu hijau (Irwan 1992).

Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut dari pantai berlumpur di teluk dan estuaria yang didominasi oleh halofita, yakni tumbuh-tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan hewan. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai yang terlindung (Bengen 2001). Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, bagian daratan dan bagian perairan. Bagian perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Ekosistem mangrove terkenal sangat produktif, dan penuh sumberdaya, dan ekosistem ini me ndapat subsidi energi karena arus pasut banyak membantu dalam menyebarkan zat-zat hara.

Soemodihardjo et al (1993) dalam Kusmana (1997) menyatakan di Indonesia saat ini terinventarisir sekitar 157 jenis tumbuhan mangrove baik yang khas maupun tidak khas habitat mangrove. Jenis-jenis tumbuhan mangrove tersebut terdiri atas 52 jenis pohon, 21 jenis semak, 13 jenis liana, 6 jenis palma, 1 jenis pandan, 14 jenis rumput, 8 jenis herba, 3 jenis parasit, 36 jenis epifit dan 3 jenis terna. Sedangkan penyebaran jenis-jenis pohon mangrove di pulau-pulau utama di Indonesia terdiri atas 27 jenis di Jawa dan Bali, 30 jenis di Sumatra, 11 jenis di Kalimantan, 20 jenis di Sulawesi, 28 jenis di Maluku dan 21 jenis di Irian Jaya.

Berdasarkan jenis-jenis pohon yang dominan, komunitas mangrove di Indonesia dapat berupa konsosiasi atau asosiasi (tegakan campuran). Ada sekitar lima konsosiasi yang ditemukan di hutan mangrove di Indonesia, yaitu konsosiasi

Avicennia, konsosiasi Rhizophora, konsosiasi Sonneratia, konsosiasi Bruguiera

dan konsosiasi Nipa. Dalam hal asosiasi di hutan mangrove di Indonesia, asosiasi antara Bruguiera spp dengan Rhizophora spp sering ditemukan terutama di zona terdalam. Dari segi keanekaragaman jenis, zona transisi (peralihan antara hutan mangrove dengan hutan rawa) merupakan zona dengan jenis yang beragam yang terdiri atas jenis-jenis mangrove yang khas dan tidak khas habitat mangrove.


(34)

Keberadaan mangrove berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota yang bernilai ekonomis seperti kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya populasi zooplankton (mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan. Keberadaannya dapat menghubungkan antara produsen I dengan konsumen I) organisme ini sebagian besar akan tumbuh dewasa menjadi jenis ikan, udang, kepiting dan kerang. Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mentransformasi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis.

Tumbuhan merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah hutan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dsb)

Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae atau tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan-memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk jala makanan.

Hutan mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi,

sehingga memungkinkan sebagai tempat pemijahan (spawning ground),

pengasuhan (nursey ground), dan pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari beberapa ikan atau hewan air tertentu (Bengen 2001; Supriharyono 2000; Irwan 1992), sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrata lainnya, yang hidupnya menetap di kawasan hutan. Namun di antaranya hewan-hewan air tertentu seperti ikan dan udang-udangan, yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang-surut.

Di Indonesia, penelitian mengenai fauna hutan mangrove masih terbatas baik di bidang kajiannya maupun lokasinya. Sampai saat ini, beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan mengenai fauna yang berasosiasi khusus dengan hutan bakau mengambil lokasi di Pulau Jawa (Teluk Jakarta, Tanjung


(35)

Karang, Segara Anakan – Cilacap, Delta Cimanuk, Pulau Burung, Pulau Rambut), Sulawesi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), Ambon, Sumatra (Lampung, Sumatra Selatan) dan Kalimantan.

Menurut Macnae (1968) dalam Kusmana (1997),secara umum fauna hutan mangrove terdiri atas fauna terestris dan fauna laut. Fauna terestris, misalnya kera ekor panjang (Macaca spp), biawak (Varanus salvator), berbagai jenis burung, dan lain-lain. Sedangkan fauna laut didominasi oleh Mollusca dan

Crustaceae. Golongan Mollusca umumnya didominasi oleh Gastropoda,

sedangkan golongan Crustaceae didominasi oleh Brachyura Menurut

Soemodihardjo et al (1993) dalam Kusmana (1997) terdapat sekitar 118 jenis fauna laut yang terdiri atas 48 jenis Gastropoda, 9 jenis Bivalvia dan 61 jenis

Crustaceae.

2.1.1. Peranan dan Potensi Fisik Hutan Mangrove.

Dilihat dari segi fisik dan potensinya hutan mangrove mempunyai peranan antara lain :

• Merupakan penyerap gas karbondioksida (CO2) melalui proses fotosintesis

tumbuh-tumbuhan. Semakin sedikit CO2 yang terserap berarti semakin banyak

kadar gas tersebut yang ada di udara.

• Melindungi pantai yang diakibatkan penggerusan ombak

• Dapat mencegah intrusi air asin ke daratan yang dapat merusakkan areal pertanian dan persediaan air tawar di bawah permukaan tanah.

• Merupakan penyaring dan pengurai bahan-bahan organic yang datang melalui daratan dialirkan oleh permukaan air hujan dan air sungai.

• Pada pantai yang landai, merupakan tempat sungai yang bermuara yang membawa endapan lumpur dalam jumlah besar sehingga hutan mangrove mempunyai fungsi mempercepat perluasan daratan (Tambunan 1994).

Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjadi garis pantai tetap stabil dan terhindar dari abrasi. Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari dari rembesan air laut serta penghalang angin (Sugiarto dan Willy 1995; dalam Suhaeb 2000)


(36)

2.1.2. Peranan dan Potensi Biologi Hutan Mangrove

Dilihat dari segi biologis dan potensinya hutan mangrove mempunyai peranan adalah :

• Merupakan sub sistem yang memiliki tingkat produktivitas bahan pelapukan dan organik yang sangat tinggi dan merupakan sumber makanan penting bagi hewan-hewan seperti udang, kepiting, kerang dan termasuk ikan lainnya.

• Tempat berpijahnya bermacam jenis biota laut.

• Merupakan habitat alami bagi bermacam jenis binatang seperti burung, ular, kera, tikus, dan sebagainya (Tambunan 1994).

2.1.3. Peranan dan Potensi Ekonomi Hutan Mangrove

Secara ekonomis hutan mangrove mempunyai peranan dan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat anatar lain : • Sebagai sumber kayu sebagai bahan baker, bahan bangunan, alat-alat rumah

tangga dan sebagainya.

• Vegetasi dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi berbagai bahan baku industri penyamak kulit, dan pulp.

• Merupakan lahan bagi yang dapat dikelola dan dimanfaatkan menjadi tempat pertambakan, perkebunan, pertanian, industri dan rekreasi (Tambunan 1994).

Hutan mangrove dari segi ekonomis berfungsi sebagai penyediaan bahan baku industri (kayu chip, kayu arang, kayu bangunan dan lain-lain), juga secara tradisional dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kayu bakar. Pemanfaatan hutan mangrove untuk skala komersial (skala besar) adalah untuk menghasilkan kayu, chip dan arang, konversi hutan mangrove untuk kawasan pertanian, pertambakan, pemukiman, pemukiman ladang garam dan daerah transmigrasi; dan manfaat hutan mangrove untuk beberapa jenis obat-obatan (Soemodihardjo dan Soerianegara 1989).

2.1.4. Kerusakan Hutan mangrove

Menurut Kusmana (1995) yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove dapat di kategorikan kedalam 3 jenis gangguan :

1. Gangguan biologi

§ Penebangan pohon mangrove yang tidak memperhatikan azas kelestarian hutan.


(37)

§ Perubahan kawasan mangrove menjadi pemukiman, pertanian, pertambakan, dan industri.

2. Gangguan kimia

§ Adanya hujan asam.

§ Adanya pencemaran air, udara dan tanah. 3. Gangguan fisik-mekanis

§ Adanya gempa bumi.

§ Banjir yang menyebabkan air tawar melimpah.

§ Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali.

§ Timbulnya abrasi pantai/pinggir sungai.

Berbagai fenomena alam seperti amukan badai, angin topan maupun serangan isopoda memang bisa menimbulkan kerusakan yang serius terhadap hutan mangrove, namun pengaruh dari perilaku manusia cenderung lebih merusak.

Pada dasarnya ekosistem hutan mangrove rawan terhadap tekanan lingkungan yang dapat menimbulkan kerusakan parah (akut) maupun kerusakan tahunan (kronis). Tekanan tersebut dapat ditimbulkan oleh alam maupun manusia. Menurut Gomez, et al (1984) dalam Winarti (1999) tekanan alami dapat digolongkan menjadi dua golongan besar yaitu, tekanan fisik-kimiawi yang menyebabkan kerusakan parah, dan tekanan biologis yang menyebabkan kerusakan menahun. Tekanan fisik-kimiawi tersebut meliputi :

• Siklon tropis dan topan, yang menghasilkan hujan lebat disertai angin dengan kecepatan 65-120 km/jam. Kerusakannya adalah tumbangnya pohon-pohon besar dan kerusakan geografis.

• Tsunami dan gelombang badai (storm surges). Kerusakan yang ditimbulkannya adalah naiknya muka air laut sehingga merendam daerah cukup lama dan gerakan massa air yang menggerus daerah pantai yang dilandanya.

• Musim kemarau, fenomena ini banyak mempengaruhi daerah yang relatif tertutup. Karena kemarau panjang, salinitas air laut akan meningkat di perairan tertutup ini, yang akan mempengaruhi transpirasi dari daun mangrove. Akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan pohon mangrove terhenti atau meranggas.

• Suhu lingkungan yang tinggi maupun rendah akan berdampak negative terhadap tanaman mangrove. Pengaruhnya terutama pada laju evaporasi dari batang tanaman ke lingkungannya. Selain itu akan menyebabkan laju


(38)

evaporasi terhadap lingkungan sekitar, sehingga perairan menjadi bersalinitas tinggi. Suhu antara 39°C-40°C menyebabkan kematian mangrove muda yang belum berzat kayu, sehingga suhu rendah di daerah lintang tinggi akan menyebabkan pembekuan daun (frost).

Tekanan biologis perusak hutan mangrove antara lain meliputi :

• Penyakit sejenis jamur yangmerambat dari pucuk daun menuju ke akar dapat menyebabkan kematian pada mangrove.

• Serangga dan invertebrate, ditemukan jenis kumbang yang menyerang hipokotil (dari jenis Rhizophora) atau yang hidup di dasar batang pohon dewasa (jenis Avicennia) yang menyebabkan kematian. Ulat dari jenis kupu tertentu menyerang daun dan tunas daun, dan juga rayap. Jenis invertebrate yang merusak tanaman mangrove adalah kepiting (Sesarma taeniolita) yang memakan kulit kayu bibit mangrove.

• Binatang herbivora atau pemakan tumbuhan yang merusak tanaman mangrove adalah monyet, menjangan, kerbau liar dari Australian dan kambing asia (Gomez, et. al 1984 dalam Winarti 1999).

2.2. Kerusakan Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam mempunyai makna sebagai unsur-unsur lingkungan alam yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan serta meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Definisi lain dari sumberdaya alam adalah sumberdaya atau faktor produksi. Definisi kerusakan sumberdaya adalah berkurangnya atau tidak berfungsinya suatu sumberdaya alam berdasarkan fungsinya terhadap suatu keseluruhan ekosistem yang ada. Sebagai contoh dalam hal ini kerusakan sumberdaya lahan adalah berkurangnya atau tidak berfungsinya lahan sebagai media tumbuh tanaman dan sebagai media pemberi unsur hara bagi pertumbuhan tanaman (Sitorus 2004).

Masalah lingkungan yang sekarang ini sering dihadapi timbul karena perubahan lingkungan yang menyebabkan lingkungan itu tidak atau kurang sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia, akibat yang ditimbulkan yaitu terganggunya kesejahteraan manusia. Pertambahan jumlah kelahiran yang disertai peningkatan kebutuhan per orang dan meningkatnya kemampuan manusia untuk melakukan intervensi terhadap alam menyebabkan semakin besarnya perubahan yang terjadi pada lingkungan (Soemarwoto, 1992). Penggunaan sumberdaya alam oleh penduduk semakin banyak memunculkan kebutuhan untuk


(39)

meningkatkan ekstraksi dan peningkatan permintaan akan sumberdaya alam. Hal ini memberikan dampak negatif yaitu memburuknya kondisi fisik dunia sementara masyarakat sangat lamban dalam menemukan pemecahan masalah yang timbul tersebut. Beberapa alasan lambannya penyesuaian tersebut, antara lain adalah (Sitorus 2004) :

1. Masyarakat lebih mengakui adanya pemilikan pribadi dan mekanisme pasar sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan perlu dipelihara bersama masih sulit difahami.

2. Tidak diketahui secara pasti apa yangs sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat. Demikian pula tentang teknologi untuk menghasilkan apa yang diinginkan tersebut relatif belum banyak diketahui.

3. Karena adanya eksternalitas, maka biaya produksi barang dan jasa sering menjadi tidak jelas, serta adanya kelambanan mobilitas manusia.

Kerusakan sumberdaya alam yang saat ini terjadi tidaklah berdiri sendiri melainkan merupakan hal-hal yang saling terkait. Menurut Soemarwoto (1992) keterkaitan ini berupa :

1. Sebuah faktor merupakan sebab berbagai masalah. Contohnya adalah penebangan hutan, pembakaran biomassa dan konversi menjadi tataguna lahan yang lain merupakan sebab terjadinya kerusakan hidrologi, erosi tanah, kepunahan jenis, pemanasan global, dan lubang ozon.

2. Sebuah faktor mempunyai efek yang berbeda. Misalnya, gas metan membantu pembentukan ozon di troposfer dan pada satu pihak menyebabkan perusakan ozon di stratosfer tetapi di lain pihak juga melindungi ozon dari perusakan atom Cl.

3. Interaksi antara berbagai masalah dan dampak yang ditimbulkannya. Misalnya dampak pemanasan global, lubang ozon, dan hujan asam bersifat kumulatif terhadap kepunahan jenis, penurunan produksi pertanian, peternakan dan perikanan, serta kesehatan.

Indonesia sebagai negara berkembang, saat ini pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang, baik pertanian, industri, dan perdagangan tidak hanya membawa da mpak social namun juga akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Sebagai negara yang sedang tumbuh maka dampak terhadap lingkungan seringkali diabaikan dalam usaha peningkatan ekonomi. Hal ini diperburuk dengan kondisi peraturan dan penegakan hukum yang lemah.


(40)

Sehingga semakin memberikan ancaman terhadap kualitas sumberdaya alam yang baik.

Kerusakan sumberdaya alam terjadi pada suatu saat akan menjadi suatu pembatas bagi kegiatan ekonomi. Keadaan ini terjadi ketika suplai sumberdaya alam tidak dapat lagi untuk mencukupi kebutuhan manusia. Sehingga aktifitas-aktifitas manusia dalam bidang ekonomi harus juga memperhatikan daya dukung yang dapat diberikan oleh sumberdaya tersebut.

2.3. Nilai Ekonomi Hutan Mangrove.

Menurut Hanley dan Spash (1993), nilai total suatu sumberdaya terdiri atas beberapa komponen :

TV = E(CS) + OV + XV + BV + QOV

dimana:

• TV = Total Value, yaitu nilai total manfaat dari semua sumberdaya,

• E(CS) = Expected Consumer Surplus, yaitu surplus konsumen yang diharapkan (dalam hal ini yang disebut dengan nilai pengguna),

• OV = Option Value, yaitu suatu nilai dimana seorang individu yang tidak mempunyai rencana untuk menggunakan jasa lingkungan, terkadang mau membayar sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa mendatang,

• XV = Existence Value, yaitu nilai keberadaan yang merupakan nilai yang mengacu pada kesediaan masyarakat untuk membayar biaya pelestarian suatu ekosistem bagi kepentingan masyarakat itu sendiri tanpa memperhatikan nilai pakainya,

• BV = Bequest Value, yaitu nilai dimana individu bisa mau membayar bagi ketersediaan barang-barang lingkungan tertentu seperti obyek, spesies, untuk generasi yang akan datang,

• QOV = Quasi option Value, yaitu nilai pilihan untuk menghindari kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan kembali.

Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), penilaian ekonomi hutan mangrove dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu (a) identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem, dan (b) mengkuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Berikut disajikan penjelasan mengenai dua pendekatan tersebut :


(41)

a) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi ekosistem.

Pada tahap ini dilakukan identifikasi segenap manfaat dan fungsi dari ekosistem yang akan diteliti. Manfaat dan fungsi yang diidentifikasi untuk setiap ekosistem tersebut adalah :

1. Direct Use Value (Manfaat Langsung)

Manfaat Langsung adalah manfaat yang langsung dapat diperoleh dari suatu ekosistem (Barton 1994 dalam Handayani 2004), misalnya sumberdaya perikanan dalam ekosistem terbuka, kayu bakar dari ekosistem hutan mangrove, ikan dan lain sebagainya. Manfaat Langsung adalah jumlah manfaat langsung ke i sampai ke n yang dimanfaatkan secara langsung dan secara umum dapat dirumuskan :

=

=

n

i i

ML

ML

1

keterangan :

ML = Total Manfaat Langsung

MLi = Manfaat Langsung ke-i sampai ke-n

n = Jumlah Manfaat Langsung

2. Indirect Use Value (Manfaat Tidak Langsung)

Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diperoleh dari suatu ekosistem secara tidak langsung (Barton 1994 dalam Handayani 2004). Contoh manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi, manfaat hutan mangrove sebagai daerah pemijahan ikan, fungsi daerah bakau (feeding ground). Manfaat tidak langsung dirumuskan sebagai berikut :

=

=

n

i

i

MTL

MTL

1

keterangan :

MTL = Total Manfaat Tidak Langsung

MTLi = Manfaat Tidak Langsung ke-i sampai ke-n


(42)

3. Option Value (Manfaat Pilihan)

Manfaat pilihan adalah suatu nilai yang dapat dinterpretasikan sebagai manfaat sumberdaya alam yang potensial dimasa depan, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. Jika manfaat di masa depan dapat diukur sebagai suatu pemasukan yang pasti, maka nilai pilihan dapat dianggap sebagai pembayaran premi asuransi untuk menjamin pemanfaatan di masa depan terhadap sumberdaya dan fungsi ekologis dari ekosistem (Barton 1994 dalam Handayani 2004). Nilai biodiversity (keanekaragaman hayati) merupakan salah satu contoh dari manfaat pilihan. Menurut Ruitenbeek (1992) dalam Handayani (2004), nilai

biodiversity ekosistem hutan mangrove di Indonesia sebesar US$ 1500/km2/tahun atau US$ 15/ha/tahun. Manfaat Pilihan dapat dirumuskan sebagai berikut :

MP

=

MPB

i

Keterangan :

MP = Manfaat Pilihan

MPBi = Manfaat pilihan biodiversity

4. Bequest Value (Manfaat Pewarisan)

Manfaat pewarisan adalah suatu manfaat yang dapat diwariskan untuk generasi yang akan datang. Contoh dari manfaat pewarisan adalah potensi bisnis pembibitan bakau. Manfaat pewarisan dapat dirumuskan sebagai berikut :

i

MWB

MW

=

Keterangan :

MW = Manfaat Pewarisan

MWi = Manfaat Pewarisan dalam penelitian ini adalah manfaat pembibitan bakau.

5. Existence Value (Manfaat Keberadaan)

Manfaat keberadaan adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan ekosistem yang diteliti setelah manfaat langsung, tidak langsung dan manfaat pilihan dihilangkan dari analisis. Manfaat ini adalah nilai ekonomis keberadaan (fisik) dari ekosistem. Manfaat Keberadaan dapat dirumuskan sebagai berikut :


(43)

n

MKi

MK

n

i





=

=1

Keterangan :

MK = Manfaat Keberadaan

MKi = Manfaat Keberadaan dari responden ke-i

N = Total responden

Selanjutnya Nilai Ekonomi Total ekosistem hutan mangrove dapat dirumuskan sebagai berikut :

NMT = ML + MTL + MP + MW + MK,

Keterangan :

NMT = Nilai Manfaat Total

ML = Manfaat Langsung

MTL = Manfaat Tidak Langsung MP = Manfaat Pilihan

MW = Manfaat Pewarisan

MK = Manfaat Keberadaan.

b) Mengkuantifikasikan segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang.

Tahap berikutnya setelah tahap identifikasi adalah tahap mengkuantifikasikan semua manfaat dan fungsi ekosistem tersebut ke dalam nilai rupiah. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah :

1. Nilai Pasar

Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditas-komoditas yang langsung dapat diperdagangkan dari ekosistem yang akan diteliti, misalnya nilai kayu, ikan, dan lain-lain. Pendekatan ini sebagian besar digunakan untuk manfaat langsung.

2. Harga Tidak Langsung

Pendekatan ini di gunakan apabila mekanisme pasar gagal memberikan nilai pada komoditas ekositem yang akan diteliti, yaitu manfaat dan fungsi tidak langsung.


(44)

2.4. Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya

Nilai merupakan persepsi seseorang, yaitu harga yang diberikan terhadap sesuatu pada waktu dan tempat tertentu. Ukuran harga dapat ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki, menggunakan atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang diinginkan. Adapun penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (David dan Johson 1987

dalam Widada 2004).

Pada prinsipnya metode penilaian sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu berdasarkan harga pasar dan kesediaan untuk membayar (WTP) (Davis dan Johson 1987 dalam Widada 2004). Dalam kondisi pasar tidak mengalami penyimpangan, WTP akan sama dengan harga pasar. Namun pada saat mekanisme pasar tidak bekerja secara sempurna akan terjadi distorsi, maka harga pasar tidak akan dapat memberikan perkiraan yang akurat mengenai WTP. Metode yang didasarkan pada pendekatan harga pasar terdiri atas dua metode, yaitu Metode Manfaat Sosial Bersih (Net Social Benefit Method) dan Metode Harga Pasar (Market Price Method).

Para ahli ekonomi dewasa ini telah mengembangkan berbagai teknik dan metode valuasi dan perhitungan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan pada kondisi pasar yang tidak sempurna. Hufschmidt et al 1983 dalam Widada 2004, menyimpulkan bahwa metode dan teknik penilaian ekonomi dijabarkan sebagai berikut :

a. Teknik penilaian yang berdasarkan pada harga pasar atau produktivitas seperti perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan.

b. Teknik penilaian yang berdasarkan pada penggunaan harga pasar bagi input/substitusi seperti biaya penggantian, biaya produk bayangan, analisis biaya pengeluaran dan biaya pencegahan.

c. Penilaian dengan pendekatan survei yaitu dengan menanyakan besarnya WTP konsumen terhadap barang dan jasa lingkungan dengan menggunakan pasar hipotesis.

Tantangan praktis dalam pelaksanaan studi penilaian ekonomi sumberdaya alam adalah menurunkan perkiraan yang dapat dipercaya bagi sumberdaya biologis, baik dalam konteks terdapat harga pasar atau pada pasar tidak sempurna (Dixon dan Sherman 1990 dalam Widada 2004). Menurut Dixon dan Sherman


(45)

1990 dalam Widada 2004, ada beberapa teknik atau metode penilaian ekonomi yang dapat diaplikasikan untuk kawasan konservasi antara lain :

1. Teknik Berdasarkan Pasar (Market-based Techniques)

Teknik ini menggunakan harga pasar aktual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai dari barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh kawasan konservasi. Sebagai contoh, penduduk lokal tidak membayar air yang mereka ambil dari sumber air dalam kawasan konservasi. Suatu teknik yang sederhana untuk menentukan nilai dari air tersebut adalah dengan cara membandingkannya dengan harga air yang di jual di pasar lokal. Selain itu, ,penilaian juga dapat dilakukan dengan melihat pengaruh yang terjadi terhadap produksi atau kesehatan.

2. Teknik Berdasarkan Biaya (Cost-based Techniques)

Teknik ini menghitung opportunity cost dari kawasan konservasi, biaya/kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat hilangnya akses pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam kawasan konservasi dan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan barang dan jasa yang secara alami dikontribusikan oleh kawasan konservasi.

a. Biaya Oportunitas (Opportunity Cost)

Nilai ekonomi suatu kawasan dapat diketahui melalui nilai bersih sekarang (Net Present Value) dari berbagai alternatif penggunaan lahan. Sebagai contoh, dapat diperkirakan NPV dari kawasan konservasi dengan menghitung manfaat ekonomi yang dapat dikuantifikasikan dan biaya pengelolaannya. Misalnya ada pembukaan areal perkebunan menjadi salah satu alternatif penggunaan lahan.

b. Biaya Preventif (Preventive Cost)

Kawasan konservasi dapat menghindari kerugian masyarakat. Sebagai contoh, kawasan konservasi mempunyai fungsi sebagai pengendalian banjir. Jika dilakukan penebangan hutan, maka masyarakat dan pemerintah harus mengeluarkan biaya penanggulangan banjir. Biaya tersebut merefleksikan nilai ekonomi hutan tersebut.


(46)

c. Biaya Penggantian (Replacemet Cost)

Kawasan konservasi berfungsi mempertahankan kualitas lahan dan siklus nutrisi. Seandainya terjadi deforestasi, maka hal ini akan meningkatkan erosi tanah dan hilangnya nutrisi. Nutrisi tersebut dapat diganti oleh pupuk. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk merefleksikan nilai ekonomi dari kawasan konservasi.

3. Teknik Biaya Perjalanan (Travel Cost)

Teknik ini menentukan nilai rekreasi dari kawasan konservasi dengan melihat kesediaan membayar (willingness to pay) para pengunjung. Teknik ini menunjukkan bahwa nilai kawasan konservasi bukan hanya dari tiket masuk saja, tapi juga mempertimbangkan biaya transportasi yang dikeluarkan pengunjung menuju lokasi kawasan konservasi dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama kunjungan. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung selama melakukan perjalanan menuju suatu kawasan konservasi menunjukkan kesediaan membayar pengunjung untuk berekreasi di kawasan tersebut.

4. Teknik Contingent Valuation

Metode valuasi adalah cara perhitungan secara langsung dalam hal ini langsung menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) kepada masyarakat dengan titik berat preferensi individu menilai barang publik yang penekanannya pada standar nilai uang ( Hanley dan Spash 1993). Metode ini memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya. Dengan demikian nilai ekonomi suatu benda publik dapat diukur melalui WTP. Penawaran WTP dapat diregresikan sebagai hubungan antara tingkat pendapatan (Y), tingkat pendidikan (E), tingkat pengetahuan (K), tingkat usia (A) dan jenis kelamin (G) dengan jumlah dari kualitas lingkungan yang dilakukan penawaran (Q). Jika hal ini beragam pada setiap responden maka :

WTPi = f(Yi,Ei,Ki,Ai,Gi,Qi)

Menurut Pearce (1993), CVM menggunakan pendekatan kepada masyarakat secara langsung. CVM pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besarnya maksimum Willingness to Pay (WTP) untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya Willingness to Accept (WTA)


(47)

sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan, dalam penelitian ini digunakan pendekatan WTP.

Turner et al. (1994) mengasumsikan bahwa secara rasional preferensi positif terhadap sesuatu akan muncul dalam bentuk keinginan membayar (willingness to pay) sesuatu tersebut. Selanjutnya keinginan untuk membayar dari masing-masing individu tersebut akan berbeda satu sama lain maka kita dapat menjumlahkan keinginan membayar dari masing-masing individu untuk mendapatkan keinginan membayar total konsumen. Sementara kita bisa mengasumsikan dengan aman bahwa konsumen tidak akan mau membayar sesuatu yang mereka tidak inginkan, kita tidak bisa yakin bahwa WTP yang terukur oleh harga pasar secara akurat dapat mengukur keuntungan keseluruhan baik dari individu maupun masyarakat. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah adanya kemungkinan kelompok individu yang bersedia membayar lebih dari harga yang berada di pasar. Jika demikian, keuntungan yang mereka terima lebih besar dari harga pasar yang diindikasikan. Keuntungan tersebut dieknal sebagai surplus konsumen.

CVM pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, dan kedua, keinginan menerima kompensasi atas (WTA) kerusakan suatu lingkungan perairan. Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak pemilikan (Garrod dan Willis 1999 dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam, pengukuran

yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum (maximum

Willingness to Pay) untuk memperoleh barang tersebut. Jika individu tersebut memiliki sumberdaya hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima (WTA) kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya alam yang dimiliki.

Pelaksanaan penelitian dengan pendekatan CVM, terdapat lima tahap dalam pelaksanaannya, yaitu :

1. Membuat hipotesis pasar. Diasumsikan akan adanya perbaikan terhadapa kualitas lingkungan oleh pemerintah, adanya perbaikan tersebut akan berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar hutan mangrove, responden diberi kuesioner/pertanyaan mengenai kemampuan masyarakat membayar perbaikan.


(48)

2. Mendapatkan nilai lelang. Ini dilakukan dengan survei, baik melalui survei langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP).

3. Menghitung rataan WTP dan WTA. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah).

4. Memperkirakan kurva lelang. Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas dengan variabel bebas.

5. Mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N).

Hal yang menarik dari CVM adalah secara teknik dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting yaitu (1) Seringkali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat; (2) Dapat diaplikasikan pada kebanyakan konteks kebijakan lingkungan.

Hal yang paling penting dari CVM adalah penggunaannya dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat. Secara khusus, CVM menyarankan bahwa nilai keberadaan barang-barang lingkungan merupakan hal yang penting untuk diketahui. CVM mempunyai kemampuan untuk mengestimasi nilai non-pengguna. Dengan CVM, dapat diukur utilitas dari penggunaan keberadaan barang lingkungan, bahkan jika seseorang tidak menggunakannya secara langsung.

Menurut Hanley dan Spash (1993), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian CVM, yaitu :

a. Pasar hipotetik harus memiliki kredibilitas dan realistik.

b. Alat pembayaran yang digunakan dan/atau ukuran kesejahteraan (WTP) sebaiknya tidak kontroversial dengan etika di masyarakat.

c. Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang lingkungan yang dimaksudkan dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.


(1)

Lampiran 4. Perhitungan Nilai Manfaat Keberadaan

Status Ketersediaan Membayar Responden Alamat Umur (thn)

Pendidikan

Pekerjaan

(Rp/ha/thn)

1 Kamal Muara 30 SMA staf kelurahan 36000

2 Kamal Muara 45 Sarjana staf kelurahan 42000

3 Kamal Muara 50 SD petambak 18000

4 Kamal Muara 34 Tidak Tamat SD penjaga tambak 12000

5 Kamal Muara 35 SMA wiraswasta 60000

6 Kamal Muara 47 SMP wiraswasta 48000

7 Kamal Muara 40 SMA pedagang 54000

8 Kamal Muara 36 SD petambak 12000

9 Kamal Muara 27 SMA staf kelurahan 48000

10 Kamal Muara 46 SMA pedagang 54000

11 Kamal Muara 38 SD buruh 18000

12 Kamal Muara 49 SD petambak 24000

13 Kamal Muara 47 Sarjana wiraswasta 84000

14 Kamal Muara 52 SD petambak 18000

15 Kamal Muara 45 Sarjana staf kelurahan 60000

16 Kapuk Muara 50 SMP staf kelurahan 18000

17 Kapuk Muara 39 SMP staf kelurahan 18000

18 Kapuk Muara 45 SMA wiraswasta 60000

19 Kapuk Muara 39 SMP karyawan pabrik 36000

20 Kapuk Muara 37 SMP buruh bangunan 24000

21 Kapuk Muara 50 SMP pedagang 30000

22 Kapuk Muara 42 SMA wiraswata 54000

23 Kapuk Muara 51 Sarjana wiraswata 60000

24 Kapuk Muara 45 Sarjana staf kelurahan 42000

25 Kapuk Muara 37 SMA pedagang 36000

26 Kapuk Muara 29 SMP buruh 12000

27 Kapuk Muara 32 SMA karyawan pabrik 36000

28 Kapuk Muara 35 SMP buruh pabrik 24000

29 Kapuk Muara 36 SMA staf kelurahan 42000

30 Kapuk Muara 48 Sarjana wiraswasta 60000

31 Pluit 50 SD nelayan 12000

32 Pluit 49 SD nelayan 12000

33 Pluit 39 SMA pedagang 48000

34 Pluit 55 SMP nelayan 18000

l35 Pluit 47 SMA pedagang 36000

36 Pluit 51 SMA pedagang 36000

37 Pluit 36 SMP buruh 24000

38 Pluit 45 SMA staf kelurahan 36000

39 Pluit 49 Sarjana wiraswasta 72000

40 Pluit 38 SMA staf kelurahan 36000

41 Pluit 31 SMA karyawan 48000

42 Pluit 55 SD nelayan 12000

43 Pluit 55 SMA wiraswasta 60000

44 Pluit 34 SMP buruh 18000

45 Pluit 46 SD nelayan 12000


(2)

47 Pluit 39 Tidak Tamat SD nelayan 12000

48 Pluit 41 Sarjana karyawan 60000

49 Pluit 34 SMA staf kelurahan 48000

50 Pluit 25 SMP buruh 18000

51 Pluit 46 SD nelayan 12000

52 Pluit 38 SMA staf kelurahan 36000

53 Pluit 43 Sarjana wiraswasta 72000

54 Pluit 50 SD nelayan 18000

55 Pluit 40 SMA staf kelurahan 42000

Jumlah (Rupiah) 2082000

Rata-rata kesediaan membayar (Rupiah) 37.854,55,-

Populasi (N)Jumlah KK Kelurahan Pluit, Kamal Muara dan Kapuk Muara 20904 Nilai Manfaat Keberadaan (N x rata-rata kesediaan membayar) 791.311.418,20,-


(3)

Lampiran 5. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTP Pantai Indah Kapuk

Binary Logistic Regression: kesediaan_td versus perspsi ling; perspsi_ku; ...

Link Function: Logit Response Information

Variable Value Count

kesediaa 1 162 (Event) 0 48

Total 210 Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -6,101 2,901 -2.10 0,043

perspsi

2 1,984 0,707 2,81 0,126 7,27 0,26 201,94

3 2,507 0,708 3,54 0,164 12,29 0,44 341,39 prpsi_ku

1 1,452 0,801 1,81 0,267 4,27 0,13 137,74 Pekerjaa

3 1,600 0,682 2,35 0,035 4,95 0,72 34,14 usia

1 0,109 0,923 0,12 0,195 1,11 0,24 5,04 2 0,253 0,923 0,27 0,288 3,50 0,77 15,91 pendidik

3 0,601 1,449 0,41 0,017 1,82 0,09 34,34 4 1,281 1,448 0,88 0,004 3,60 0,19 67,92 pendptan

2 1,836 0,574 3,20 0,072 6,27 1,94 20,22 3 2,170 0,574 3,78 0,056 8,76 2,71 28,26 pengelu a

3 -1,140 0,481 -2,37 0,345 0,32 0,11 0,91 4 -2,210 0,481 -4,59 0,459 0,11 0,04 0,31 jmlh tan

2 -0,163 1,261 -0,13 0,035 0,85 0,08 8,58

R-Sq = 87,14% R-Sq(adj) = 86,63%


(4)

Lampiran 6. Hasil Regresi Logistik Nilai WTP Pantai Indah Kapuk

Binary Logistic Regression: WTP versus perspsi lingkngn; perspsi_ku; ...

Link Function: Logit Response Information

Variable Value Count

WTP 1 62 (Event) 0 100

Total 162 Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -5,011 1,687 - 2,97 0,004

perspsi

2 0,897 0,588 1,53 0,096 2,45 0,77 7,77 3 1,161 0,588 1,97 0,072 3,19 1,01 10,12 prpsi_ku

1 1,631 0,621 2,63 0,222 5,11 1,48 17,62 Pekerjaa

3 1,847 1,124 1,64 0,295 6,34 0,70 57,44 usia

2 1,131 0,647 1,75 0,030 3,10 1,08 8,91 3 1,909 0,647 2,95 0,040 3,29 1,14 9,46 pendidik

3 1,142 1,186 0,96 0,078 3,13 0,31 32,03 pendapat

2 1,778 1,521 1,17 0,269 5,92 0,56 62,31 3 1,942 1,521 1,28 0,096 6,97 0,66 73,37 pengelua

3 -0,867 1,485 - 0,58 0,411 0,42 0,04 4,33 4 -1,022 1,485 - 0,69 0,290 0,36 0,03 3,71 jmlh tan

2 -0,654 1,702 - 0,38 0,082 0,52 0,05 5,78

R-Sq = 85,56% R-Sq(adj) = 84,80%


(5)

Lampiran 7. Hasil Regresi Logistik Kesediaan WTA Petambak

Binary Logistic Regression: bersedia_tdk versus code persepsi; prpsi_ku; ...

Link Function: Logit Response Information

Variable Value Count

bersedia 1 28 (Event) 0 4

Total 32 Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -1,775 2,731 - 0,65 0,078

code per

2 1,191 1,011 1,18 0,197 3,29 0,49 21,93 3 1,227 1,800 0,68 0,405 3,41 0,12 97,43 prpsi_ku

1 0,399 1,621 0,25 0,455 1,49 0,05 41,39 usia

2 0,993 1,425 0,70 0,150 2,70 0,10 71,05 3 1,092 1,603 0, 68 0,168 2,98 0,09 102,76 pendidik

3 -1,171 1,970 - 0,59 0,082 0,31 0,01 12,92 pendapat

1 -0,083 2,019 - 0,04 0,047 0,92 0,02 46,00 2 -1,109 2,010 - 0,55 0,031 0,33 0,01 16,50 pengelua

2 1,963 2,237 0, 88 0,243 7,12 0,11 474,67 jmlh tan

2 2,244 2,267 0, 99 0,061 9,43 0,13 663,35 3 2,773 2,264 1,22 0,082 16,01 0,23 1126,22

R-sq = 81,78% R-(adj) = 75,40%


(6)

Lampiran 8. Hasil Regresi Logistik Nilai WTA Petambak

Binary Logistic Regression: wta versus code persepsi; prpsi_ku; ...

Link Function: Logit Response Information

Variable Value Count

wta 1 20 (Event) 0 8

Total 28 Logistic Regression Table

Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -1,358 2,969 - 0,46 0,099

code per

2 1,366 2,582 0, 53 0,175 3,92 0,04 349,44 3 1,611 1,836 0,88 0,305 5,01 0,09 278,33 prpsi_ku

1 0,086 1,821 0,05 0,428 1,09 0,02 60,55 usia

2 1,138 1,994 0, 57 0,150 3,12 0,06 149,76 3 1,324 2,184 0,60 0,168 3,76 0,06 235,00 pendidik

3 -0,734 1,975 0,3 7 0,082 0,48 0,01 14,88 pendapat

1 -0,020 0,672 - 0,03 0,009 0,98 0,14 6,74 2 -0,538 1,284 - 0,41 0,031 0,58 0,06 5,31 pengelua

2 2,117 1,421 1,49 0,057 8,31 0,31 8,27 jmlh tan

2 2,174 2,375 0,91 0,054 8,79 0,13 611,86 3 2,524 2,527 0,99 0,094 12,48 0,14 1134,54

R-Sq = 80,82% R-Sq(adj) = 74,11%