Regenerasi nutrien akibat bioturbasi di kawasan reklamasi mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta

(1)

REGENERASI NUTRIEN AKIBAT BIOTURBASI DI

KAWASAN REKLAMASI MANGROVE MUARA ANGKE

KAPUK – JAKARTA

ANNA IDA SUNARYO P

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi Di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011

Anna Ida Sunaryo P


(4)

(5)

ABSTRACT

ANNA IDA SUNARYO P.Nutrient Regeneration As Bioturbation Result in Muara Angke Kapuk Mangrove Reclamation – Jakarta. Under direction of TRI PRARTONO and ALAN F. KOROPITAN

Bioturbation is an activity of digging, crawling, and eating sediment by benthic and able to give the effect of nutrient regeneration with the highest regeneration activity conducted by digging. Those activities presumably as one of water column nutrient sources in mangrove reclaimed of Muara Angke Kapuk which affected by waste and heavy metal from Cengkareng drain. This study aims to investigate the relevance of nutrients regeneration (fluxes) and bioturbation activity that occur in mangrove reclaimed of Muara Angke Kapuk through identifying of benthic bioturbation physical characteristics using resin cast method, measuring the nutrient profile in the pore water of bioturbation and non bioturbation regions, as well as analyzing nutrients fluxes behavior using sensitivity analysis of QUAL2K model. The observations results show the presence of four physical characteristics of the bioturbation burrows: single, U-shaped, Y-U-shaped, and complex; with the dominance of a single character. The existence of bioturbation burrows play an important role in the sediment, particularly the inversely vertical concentration profile and nutrients fluxes on bioturbation and non bioturbation regions. The fluxes in bioturbation region are mainly controlled by porosity as dominant parameter, followed by phytoplankton (chlorophyll a) abundance, nutrients concentration and DO parameters.


(6)

(7)

RINGKASAN

ANNA IDA SUNARYO P. Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta. Dibimbing oleh

TRI PRARTONO dan ALAN F. KOROPITAN.

Bioturbasi merupakan aktifitas biota bentik berupa gerakan menggali, merangkak, dan memakan sedimen, yang mampu mengakibatkan terjadinya perubahan letak dan ciri sedimen, pencampuran partikel sedimen dan perubahan komposisi biota bentik itu sendiri. Hal tersebut mengakibatkan bioturbasi mampu mempengaruhi kondisi nutrien, pada sedimen dan kolom air, melalui pengaruh keberadaan liang terhadap konsentrasi nutrien maupun fluks nutrien dari sedimen menuju kolom air atau sebaliknya. Namun demikian berapa besar kontribusi bioturbasi itu sendiri belum dijelaskan lebih detail, padahal nilai kontribusi bioturbasi ini perlu diperhitungkan dalam mengkaji regenerasi nutrien suatu perairan, khususnya perairan intertidal. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan fluks nutrien dan aktifitas biologi di sedimen yang disebabkan oleh proses bioturbasi di ekosistem mangrove melalui identifikasi karakteristik fisik bioturbasi biota bentik yang meliputi bentuk, kedalaman, dan diameter, mengukur profil nutrien yang terdapat di pore water pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi di daerah mangrove, memprediksi fluks nutrien pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi, dan memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi fluks nutrien di daerah bioturbasi.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2011 di kawasan reklamasi mangrove Muara Angke Kapuk, Jakarta, melalui lima tahap, yaitu studi pendahuluan, desain penelitian, rancangan alat pengambilan sampel pore water, pengambilan dan analisis sampel, dan pengolahan data. Studi pendahuluan dilakukan secara visual untuk mengetahui kondisi lapangan, termasuk kondisi substrat dan liang bioturbasi. Hasil studi pendahuluan ini digunakan untuk menentukan desain penelitian dan rancangan alat pengambilan sampel. Desain penelitian menentukan beberapa hal, seperti jumlah stasiun sampling, aktifitas bioturbasi, jenis nutrien, dan tahapan pengambilan sampel. Hasil desain penelitian adalah penggunaan dua stasiun sampling, yaitu lokasi bioturbasi dan non bioturbasi, pada ruang areal lingkup penelitian yang sama dengan masing-masing stasiun dibagi menjadi tiga titik berurutan dari darat hingga mendekati laut. Kemudian jenis aktifitas bioturbasi yang akan diamati adalah aktifitas meliang dengan pelaku aktifitas diasumsikan secara global (tidak dibedakan liang berdasarkan spesies biota) dan nutrien yang akan diukur meliputi amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat dengan urutan pengambilan sampel adalah sampel pore water, sampel cetakan liang bioturbasi, dan sampel sedimen.

Pengambilan sampel pore water dilakukan menggunakan alat yang dirancang berdasarkan studi pendahuluan dan merupakan modifikasi dari prinsip pore water pepperBuffle dan De Vitre (1994). Pada pelaksanaan sampling, alat ini dibiarkan selama 3 hari untuk memperoleh jumlah sampel yang cukup sekaligus untuk menghomogenkan kondisi pore water dalam alat. Setelah itu sampel diambil menggunakan syringe 50 ml dan dimasukkan dalam 2 botol sampel yang berbeda. Botol sampel pertama digunakan untuk pengukuran insitu, yaitu pH dan DO, dan botol kedua langsung dimasukkan dalam cool box untuk dibawa ke laboratorium dan dianalisis nutriennya. Sampel cetakan liang bioturbasi diperoleh dengan menggunakan metode resin cast menurut Atkinson dan Chapman (1984) diacu dalam Nickell dan Atkinson (1995), yaitu dengan


(8)

mencampurkan resin dan 2% polyester kemudian dituangkan dalam liang-liang bioturbasi dan dibiarkan selama 3 hari. Setelah 3 hari, cetakan tersebut diambil dan diukur morfologi fisiknya berdasarkan metode pengukuran Li et al. (2008) yang meliputi pengukuran SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu diameter shaft dalam), DO (distance opening yaitu jarak antara lubang permukaan satu dengan yang lain), UD ( U-depth yaitu kedalaman yang diukur dari lubang permukaan hingga batas percabangan liang yang terbentuk di dalam sedimen), CS (central shaft yaitu kedalaman liang yang diukur dari batas percabangan hingga ujung bawah liang), dan TD (total depthyaitu kedalaman liang secara keseluruhan). Sampel terakhir yang diambil adalah sampel sedimen. Sampel sedimen ini diperoleh dengan 2 metode, yaitu metode sedimen terganggu untuk analisis jenis dan ukuran butir, dan metode sedimen tidak terganggu untuk analisis porositas dan permeabilitas sedimen.

Tahapan terakhir dalam metode penelitian adalah analisis data. Data-data yang sudah diperoleh dianalisis secara berbeda. Data ukuran morfologi fisik liang bioturbasi dianalisis secara deskriptif, sedangkan data nutrien digunakan dalam pembuatan profil vertikal nutrien yang terdapat pada pore water lokasi bioturbasi dan non bioturbasi. Kedua profil yang diperoleh dibandingkan dan dianalisis secara deskriptif. Data nutrien juga digunakan dalam prediksi fluks nutrien dan identifikasi faktor dominan yang mempengaruhi fluks yang terjadi pada lokasi bioturbasi, bersama dengan penggunaan data sedimen.

Cetakan liang bioturbasi yang diperoleh berjumlah 19 buah cetakan dan menunjukkan adanya 4 tipe liang, yaitu tunggal (menyerupai huruf I), bentuk U, bentuk Y, dan kompleks. Pada 19 cetakan, dominasi karakter fisik liang adalah bentuk tunggal, sehingga tidak semua liang memiliki unsur DO, UD, dan CS. Dominasi karakter tersebut disebabkan karena penggunaan liang yang diduga untuk berlindung dan memenuhi kebutuhan mencari makan organisme secara individu maupun berkelompok.

Keberadaan liang-liang tersebut ternyata dapat mempengaruhi konsentrasi nutrien yang terdapat pada pore water. Hal tersebut terlihat dari profil vertikal konsentrasi nutrien yang berbanding terbalik antara lokasi bioturbasi dan non bioturbasi. Pore water lokasi bioturbasi memiliki kandungan DO yang lebih tinggi akibat adanya interaksi antara permukaan sedimen dan bagian dalam sedimen dibandingkan lokasi non bioturbasi. Hal tersebut mengakibatkan adanya domnasi reaksi aerob (reaksi nitrifikasi) pada lokasi bioturbasi, sehingga merubah NH4

menjadi NO2 kemudian NO3 sebagai hasil akhir. Reaksi nitrifikasi tersebut

mengakibatkan penurunan NH4 dan peningkatan NO3 seiring dengan

bertambahnya kedalaman. Berkebalikan dengan reaksi tersebut, pada lokasi non bioturbasi yang cenderung anaerob. Pore water mengalami reaksi denitrifikasi yang merubah NO3menjadi NO2dan kemudian NH4sebagai hasil akhir sehingga

NO3 justru menurun dan NH4 meningkat. Meski demikian, pada kedua lokasi

tidak selalu terjadi reaksi yang berkebalikan. Pada PO4, peningkatan

konsentrasinya pada lokasi non bioturbasi lebih disebabkan karena adanya reduksi Fe3+ menjadi Fe 2+ yang memiliki daya ikat lebih rendah, sehingga PO4

yang semula terikat pada partikel sedimen terlepas dan menjadi ion bebas pada pore water. Reduksi Fe tersebut tidak berlaku pada pore waterbioturbasi. Hal ini karena adanya kesamaan profil Fe3+ dan Fe2+ pada sedimen bioturbasi dan non bioturbasi (Lagauzére et al., 2011), sehingga perubahan PO4 (peningkatan

hingga kedalaman 5-7,5 cm dan kemudian menurun) lebih disebabkan karena adanya perubahan masukkan PO4 dari permukaan yang seiring dengan

perubahan lebar liang, serta adanya pemanfaatan PO4 oleh mikroorganisme


(9)

Perbedaan reaksi dan proses di atas ternyata juga mengakibatkan terjadinya perbedaan fluks nutrien yang dihasilkan kedua lokasi, dimana secara umum fluks yang terjadi sesuai dengan profil konsentrasi nutriennya. Pada lokasi bioturbasi, fluks yang dihasilkan lebih besar dengan arah masing-masing nutrien yang berlawanan. NH4 pada lokasi bioturbasi menurun, mengakibatkan adanya

aliran fluks dari dalam sedimen keluar menuju kolom air (efflux), NO3 mengalami

aliran masuk ke dalam sedimen (influx), dan PO4 mengalami perubahan dari influx menjadi efflux pada kedalaman dimana PO4 mengalami perubahan

konsentrasi. NH4 pada lokasi non bioturbasi justru mengalami influx, NO3

mengalami efflux, dan PO4 mengalami influx. Hal tersebut mengindikasikan

bahwa bioturbasi yang terjadi tidak hanya mampu merubah konsentrasi nutrien saja, namun juga mampu mempengaruhi fluks nutrien yang mengakibatkan terjadinya perubahan ketersediaan nutrien, baik di permukaan maupun dalam sedimen.

Fluks yang terjadi pada lokasi bioturbasi tersebut di atas tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi merupakan hasil interaksi berbagai faktor. Hasil prediksi pada analisis sensitivitas terhadap faktor dominan yang mempengaruhi fluks tersebut menunjukkan bahwa perubahan porositas yang terjadi memiliki indeks sensitivitas tertinggi dengan rata-rata perubahan fluks NH4

tertinggi pula, diikuti oleh perubahan parameter kelimpahan fitoplankton (klorofil a), konsentrasi nutrien, dan DO.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(12)

(13)

REGENERASI NUTRIEN AKIBAT BIOTURBASI DI

KAWASAN REKLAMASI MANGROVE MUARA ANGKE

KAPUK – JAKARTA

ANNA IDA SUNARYO P

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(14)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :


(15)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta

Nama : Anna Ida Sunaryo P

NRP : C551090011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Tri Prartono, M.Sc

Ketua

Dr. Alan F. Koropitan, M.Si

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah M.Sc. Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Kawasan reklamasi mangrove di Muara Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan reklamasi yang dikelola BKSDA Muara Angke untuk menjaga kestabilan ekosistem khususnya di Teluk Jakarta. Kawasan reklamasi yang terletak di sebelah barat muara saluran Cengkareng ini tidak lepas dari pengaruh limbah sampah dan logam berat yang mencemari saluran Cengkareng. Hal ini terlihat dari tumpukan sampah yang bahkan menutupi permukaan sedimen mangrove. Meski demikian, pada kawasan reklamasi ini masih dapat kita temukan berbagai jenis biota bentik dan satwa burung yang menandakan bahwa kawasan ini masih mampu mensuplai nutrien yang cukup untuk ekosistemnya. Kondisi kawasan mangrove yang cukup tertutup karena adanya batu-batu besar di sekeliling mangrove mengakibatkan adanya dugaan minimnya masukkan nutrien dari luar kawasan dan tingginya sirkulasi nutrien secara internal melalui proses regenerasi terutama akibat akitifitas organisme bentik (bioturbasi).

Fokus utama dari penulisan tesis ini adalah mengkaji bagaimana bentuk bioturbasi (khususnya meliang) dan bagaimana pengaruhnya terhadap konsentrasi dan fluks nutrien yang dihasilkan, serta memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi regenerasi nutrien akibat bioturbasi tersebut.

Pada hasil penulisan tesis ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami peran penting organisme bentik pada ekosistem, serta kaitannya dengan fungsi mangrove terhadap efek rumah kaca. Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Bogor, Oktober 2011 Ttd


(18)

(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung terselesaikannya tesis ini.

1. Dr. Tri Prartono, M.Sc.selaku ketua komisi pembimbing yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan tentang oseanografi kimia yang sangat membantu dalam proses pembelajaran.

2. Dr. Alan F. Koropitan, M.Si. Selaku anggota komisi pembimbing dan yang banyak memberikan masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan tesis ini.

3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang banyak motivasi dalam penyelesaian penelitian dan penulisan tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tahap akhir penyelesaian studi yang banyak memberikan saran dalam penyempurnaan hasil penelitian.

5. BKSDA Muara Angke atas ijin, kerjasama dan arahan yang baik dalam proses pelaksanaan penelitian.

6. Kedua Orang Tua (Ayahanda Sunaryo P dan Ibunda Farida Hanim) dan seluruh keluarga (Mas Eka, Mbak Kristin, Mas Rozak, Mbak Nita, dan si kecil Rasya) yang tidak berhenti memberikan doa restu, dukungan dan motivasi kepada penulis untuk terus belajar dan berusaha.

7. Yulianto Suteja atas bantuan, dukungan, semangat dan motivasi dalam penyelesaian studi.

8. Teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan angkatan 2009 IPB (Bang Lumban, Maria, Ai, Wahyu, Kahar, Kapten Toni, Mbak Citra, Cak Roni, Mbak Riri, Mbak Yuli, Mbak Emi, Yayan, Mas Reza, dan Mbak Tias), dan teman-teman Lab. Data Processing (Oli, Erlan, Kemal, Kris, Santos, Resni, Risni, Dipo) terimakasih banyak atas saran, kritik, serta dorongan selama menempuh belajar bersama, serta semua pihak yang telah membantu memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis.


(20)

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1983 di Waingapu – NTT sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Sunaryo Purwiyanto dan Farida Hanim Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di SD PL Santo Yusup Semarang tahun 1994. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah ke SMP PL Domenico Savio Semarang dan lulus tahun 1997. Pendidikan sekolah menengah atas diselesaikan tahun 2000 di SMAN 3 Semarang. Penulis kemudian masuk perguruan tinggi melalui program SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2000 di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro dan selesaikan studinya tahun 2005 dengan lama studi 4 tahun 6 bulan. Pada Tahun 2006 penulis diangkat sebagai staf pengajar di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Penulis diberi kesempatan melanjutkan studi magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) di Program Studi Ilmu Kelautan pada tahun 2009.

Selama mengikuti perkuliahan Magister, penulis ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor, turut aktif dalam organisasi kemahasiswaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan (WATERMASS IKL). Untuk menyelesaikan studi, penulis melaksanakan penelitian dan tesis yang berjudul “Regenerasi Nutrien Akibat Bioturbasi di Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk – Jakarta”


(22)

(23)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xxv DAFTAR GAMBAR... xxvii DAFTAR LAMPIRAN ... xxix

1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 2 1.3 Kerangka Pikiran ... 4 1.4 Tujuan dan Manfaat ... 5 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1 Mangrove ... 7 2.2 Bioturbasi ... 8 2.2.1 Pengertian dan Proses Bioturbasi ... 8 2.2.2 Morfometri Bioturbasi... 9 2.3 Sedimen... 11

2.3.1 Sifat Fisik Sedimen... 11 2.3.2 Sifat Kimiawi Sedimen ... 14 2.4 Fluks Nutrien ... 15 2.4.1 Konsep Fluks Nutrien ... 15 2.4.2 Pemodelan Fluks Nutrien ... 19 2.5 QUAL2K... 21 3 METODE PENELITIAN ... 23 3.1 Waktu dan Tempat ... 23 3.2 Alat dan Bahan... 23 3.3 Prosedur Penelitian ... 23 3.3.1 Studi Pendahuluan ... 23 3.3.2 Desain Penelitian... 24 3.3.3 Rancangan Alat ... 25 3.3.4 Teknik Sampling ... 25 3.4 Perolehan Data ... 27 3.4.1 Sedimen ... 27 3.4.2 Morfologi Bioturbasi... 28 3.5 Analisis Data ... 29 3.5.1 Karakteristik Bioturbasi dan Profil Nutrien... 29 3.5.2 Regenerasi (Fluks) Nutrien... 29 3.5.3 Analisis Sensitivitas QUAL2K ... 31 3.6 Asumsi Model QUAL2K... 32


(24)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 33 4.1 Kondisi Lokasi Penelitian ... 33 4.2 Karakteristik Fisik Bioturbasi ... 33 4.3 Profil Nutrien... 42 4.4 Fluks Nutrien... 50 4.4.1 Fluks Nutrien Pada Lokasi Bioturbasi... 50 4.4.2 Fluks Nutrien Pada Lokasi Non Bioturbasi ... 53 4.5 Analisis Sensitivitas Model QUAL2K... 57 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 65 5.1 Kesimpulan ... 65 5.2 Saran... 65 DAFTAR PUSTAKA... 67 LAMPIRAN ... 73


(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi bahan organik pada sedimen mangrove R.mangle dan

A.schaureiana... 8 2 Ukuran butir berdasarkan Udden-Wentworth ... 13 3 Koefisien difusi ion ... 21 4 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan... 24 5 Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium ... 24 6 Karakteristik fisik cetakan (cast) liang bioturbasi ... 34 7 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+pada lokasi

bioturbasi akibat penambahan parameter ... 58 8 Indeks sensitivitas model QUAL2K terhadap fluks NH4+pada lokasi


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Sketsa morfologi liang bioturbasi polychaeta yang menyerupai huruf J... 10 2 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh bivalvia... 10 3 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh kepiting (Uca pugnax) ... 11 4 Komponen penyusun sedimen... 12 5 Proses redoks bahan organik yang terjadi dalam sedimen ... 14 6 Profil nutrien dalam porewater yang menunjukkan perubahan

konsentrasi yang berbeda akibat keberadaan organisme bioturbasi... 18 7 Hubungan positif yang dihasilkan antara fluks nutrien dan kelimpahan

bentik ... 19 8 Lokasi penelitian ... 23 9 Rancangan pore water profiler yang digunakan dalam pengambilan

sampel pore water... 26 10 Pengukuran morfologi fisik liang bioturbasi ... 29 11 Skematik model QUAL2K untuk perhitungan fluks nutrien ... 30 12 Sistem box model QUAL2K yang mewakili kondisi sedimen dan

pore waterpada daerah di antara 2 kedalaman ... 30 13 Posisi connection shaftyang berfungsi sebagai tempat terjadinya

reproduksi dalam liang bioturbasi... 41 14 Profil NH4+, pada pore watersedimen menurut kedalaman sedimen

(cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi ... 43 15 Profil NO2-, NO3-dan PO43-pada pore watersedimen menurut

kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi ... 44 16 Profil DO (mg/l) pada pore watersedimen menurut kedalaman (cm)

pada lokasi bioturbasi dan non bioturbasi ... 45 17 pH porewater menurut kedalaman sedimen (cm) pada lokasi bioturbasi

dan non bioturbasi ... 48 18 Profil fluks NH4+, NO3-dan PO43-(mmol m-2h-1) pada lokasi bioturbasi ... 51

19 Profil fluks NH4+, NO3-dan PO43-(mmol m-2h-1) pada lokasi non


(28)

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kondisi Kawasan Reklamasi Mangrove Muara Angke Kapuk ... 75 2 Porewater profiler dan Ring sampler... 76 3 Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi bioturbasi (B1-B3) ... 77 4 Parameter pada program QUAL2K untuk lokasi non bioturbasi

(N1-N3) ... 79 5 Konsentrasi nutrien (NH4, NO2, NO3, dan PO4) hasil analisis

laboratorium... 81 6 Hasil pengukuran pH dan salinitas... 84 7 Hasil analisis sedimen... 87 8 Grafik hasil analisis sensitivitas NH4+pada lokasi bioturbasi ... 88


(30)

1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nutrien merupakan unsur kimia yang dibutuhkan organisme dalam sistem metabolisme untuk bertahan hidup dan berkembang. Nutrien diperoleh dari lingkungan habitatnya, sehingga keberadaan nutrien dalam suatu ekosistem sangatlah penting untuk mendukung produktifitas primer dan sekunder yang terdapat dalam ekosistem tersebut. Konsentrasi nutrien berbeda-beda pada tiap perairan tergantung dari kondisi perairan, baik debit air sungai yang dipengaruhi oleh musim, kondisi fisika perairan (pasang surut, gelombang), konsumsi secara biologi, dan regenerasi yang terjadi di perairan. Regenerasi secara umum memiliki pengertian kemampuan untuk mengembalikan atau menggantikan sesuatu yang telah hilang atau mengalami kerusakan. Regenerasi nutrien sendiri merupakan lepasnya nutrien yang berupa bahan organik, yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, misalnya dekomposisi detritus, fotosintesis fitoplankton, ekskresi organisme, bioturbasi, maupun proses fisik seperti upwelling, sehingga mengakibatkan perubahan konsentrasi nutrien yang cukup signifikan.

Penelitian mengenai budget dan nutrien stoikiometri mampu menunjukkan

bahwa regenerasi nutrien di perairan cukup besar, baik inorganik menjadi bentuk organik maupun sebaliknya dan berlangsung dengan cepat, mulai hitungan jam, hari hingga bulan (Neilson dan Cronin, 1981). Zimmerman dan Benner (1994) melakukan penelitian untuk melihat konsentrasi nutrien perairan dan fluks regenerasi nutrien akibat proses dekomposisi akibat bentik, yaitu fluks PO4

3-rendah dan secara umum berasal dari sedimen ke kolom air (berkisar antara 0,0-3,5 µM m-2 h-1), N+N (nitrat dan nitrit) cukup tinggi, umumnya berasal dari air ke sedimen pada estuari bagian atas (berkisar antara 3,0-17,2 µM m-2 h-1) dan dari sedimen ke kolom air pada estuari bagian bawah (antara 0,6-12,7 µM m-2 h-1), sedangkan regenerasi NH4+ berasal dari sedimen dengan fluks yang cukup

tinggi, yaitu antara 3,1-45,2 µM m-2 h-1.

Regenerasi nutrien terjadi, baik di kolom air maupun di sedimen. Regenerasi pada kolom air terjadi melalui proses fotosintesa fitoplankton dan proses-proses fisik seperti upwelling, pasang surut, dan gelombang, sehingga regenerasi nutrien di kolom perairan terbatas. Hal ini berbeda dengan regenerasi nutrien yang terjadi di sedimen. Proses-proses dekomposisi dan ekskresi yang terjadi di dalam lapisan sedimen menjadi sumber nutrien yang melimpah, namun


(31)

2

sulit teregenerasi ke kolom air, sehingga dibutuhkan suatu transpor aktif, misalnya difusi dan bioturbasi. Bioturbasi merupakan aktifitas menggali maupun merangkak (crawling), dan memakan sedimen, yang dilakukan biota bentik (Thibodeaux dan Bierman, 2003). Aktifitas-aktifitas tersebut ternyata mampu mengakibatkan perubahan letak dan ciri sedimen, pencampuran partikel sedimen dan komposisi biota bentik itu sendiri (Le Hir et al., 2007).

Difusi yang dilakukan oleh porewater, meskipun menjadi salah satu jalan regenerasi, namun nutrien yang bisa terbawa tidaklah sebanyak regenerasi non difusi, termasuk bioturbasi. Rasheed et al. (2006) menjelaskan bahwa fluks nutrien hasil regenerasi secara total (termasuk bioturbasi) ternyata lebih besar dibandingkan hasil difusi porewater. Namun demikian berapa besar kontribusi bioturbasi itu sendiri terhadap total fluks yang dihasilkan belum dijelaskan, padahal nilai fluks regenerasi nutrien akibat bioturbasi ini perlu diperhitungkan dalam mengkaji kondisi nutrien suatu perairan intertidal, sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Ekosistem mangrove di kawasan reklamasi Muara Angke Kapuk merupakan ekosistem yang terletak di muara saluran Cengkareng. Meski sebagai kawasan reklamasi, namun ekosistem ini tidak lepas dari berbagai macam tekanan dari lingkungan luar, terutama pencemaran sampah dan limbah yang berasal dari pabrik di sekitar Cengkareng. Pencemaran sampah dapat terlihat dari kondisi fisik saluran Cengkareng maupun daerah di sekitar saluran, dimana sampah-sampah yang tidak dapat terdegradasi menumpuk di sepanjang pinggiran saluran. Pencemaran limbah pada saluran Cengkareng ini ditegaskan oleh Rochyatun dan Rozak (2007) dimana saluran Cengkareng merupakan salah satu perairan bagian Barat Teluk Jakarta dengan kadar logam berat (Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni) yang cukup tinggi. Pencemaran yang terjadi di saluran Cengkareng menyebabkan kondisi muara mendapatkan pengaruh cukup besar, diantaranya adalah sedimen yang berwarna abu-abu kehitaman pada daerah mulut muara. Warna kehitaman tersebut menunjukkan rendahnya oksigen yang terkandung pada mulut muara (Helfinalis et al, 1994).

Pencemaran yang terjadi di saluran Cengkareng ini tentu saja akan mempengaruhi ekosistem yang berada di sekitarnya, termasuk juga kawasan reklamasi mangrove. Kawasan reklamasi ini merupakan salah satu bagian dari


(32)

3

Suaka Margasatwa Muara Angke yang dikelola oleh BKSDA. Meski terkena imbas pencemaran, namun ternyata kawasan reklamasi mangrove tersebut masih dapat memberi kehidupan pada berbagai macam biota, termasuk berbagai jenis bentos. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya bentos (misalnya kepiting) yang hidup di kawasan reklamasi tersebut.

Kondisi di atas menimbulkan dugaan bahwa terjadi siklus nutrien yang cukup tinggi, serta didukung oleh tranport aktif, sehingga mampu mendukung kebutuhan nutrien dalam ekosistem. Kedua aktifitas tersebut dilakukan secara internal yang secara dominasi melibatkan biota-biota dalam ekosistem. Siklus nutrien didukung oleh proses dekomposisi aktif dalam sedimen yang mengubah bahan inorganik menjadi organik, sedangkan transpor aktif didukung oleh tingkah laku biota yang secara sengaja maupun tidak sengaja mengakibatkan terjadinya perpindahan bahan organik hasil dekomposisi dari sedimen menuju kolom air (bioturbasi).

Berbagai macam aktifitas bioturbasi diduga memberikan efek regenerasi yang berbeda, dengan regenerasi tertinggi ditimbulkan oleh aktifitas meliang atau menggali (Biles et al., 2002). Bioturbasi dalam bentuk menggali mengakibatkan adanya interaksi sedimen dan kolom perairan yang lebih besar, sehingga baik berupa pertukaran oksigen (Karlson, 2007 in Engelsen et al., 2008), perpindahan partikel sedimen, dan lepasnya nutrien di sedimen juga lebih besar. Nickel et al. (2003) menjelaskan bahwa bioturbasi memberikan fluks yang tinggi pada oksigen dan nutrien (amonium, fosfat, silikat dan nitrat). Fluks oksigen hasil bioturbasi mencapai 434,9 mmol m-2 h-1 dengan arah transpor dari kolom air masuk ke sedimen, sedangkan keseluruhan jenis nutrien mengalami transpor dengan nilai fluks yang berbeda-beda, amonium sebesar 96,83 mmol m-2 h-1, fosfat 14,51 mmol m-2 h-1, silikat 7,87 mmol m-2 h-1, dan nitrat 0,70 mmol m-2 h-1. Masuknya oksigen ke dalam sedimen akibat lubang bioturbasi diduga merubah proses redoks yang terjadi dalam sedimen dan menjadi penyebab terjadinya perubahan konsentrasi nutrien yang kemudian mengalami transpor keluar sedimen bersama dengan air dan partikel sedimen yang berpindah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa aktifitas bioturbasi bukan hanya aktifitas yang memang bagian dari tingkah laku biota secara alami, namun memiliki

kontribusi yang penting bagi keberlangsungan ekosistem mangrove.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan, yaitu :


(33)

4

1. Bagaimana bioturbasi yang terjadi di daerah mangrove reklamasi Muara Angke Kapuk

2. Bagaimana kondisi nutrien pada sedimen (porewater)di daerah bioturbasi di mangrove reklamasi Muara Angke Kapuk

3. Berapa besar bioturbasi mampu mempengaruhi nutrien dan sedimen di daerah mangrove

4. Apa faktor dominan yang mempengaruhi nutrien pada daerah bioturbasi di kawasan mangrove

1.3 Kerangka Pikiran

Bioturbasi secara alami dilakukan di substrat lunak, terutama di ekosistem mangrove. Hal tersebut terjadi karena mangrove merupakan ekosistem dengan nutrien dan keanekaragaman serta kelimpahan biota yang tinggi, sehingga secara alami mengalami regenerasi nutrien akibat bioturbasi. Apalagi daerah mangrove merupakan daerah yang tenang dan terlindungi, sehingga pengaruh gelombang sangat minim dan diduga tingginya nutrien di daerah mangrove berasal dari dalam mangrove tersebut. Kelimpahan biota bentik yang tinggi mengakibatkan pelaku bioturbasi, khususnya yang menggali, juga tinggi.

Penelitian fluks nutrien sebagai bentuk regenerasi akibat bioturbasi, biasanya dilakukan jenis substrat pasir dengan polychaeta sebagai pelaku utama bioturbasi dan pada skala laboratorium. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa memang terjadi perubahan proses kimia dalam sedimen yang menyebabkan terjadinya perubahan distribusi nutrien secara vertikal. Selain itu, fluks nutrien yang mengalami transpor dari sedimen menuju kolom air juga tinggi. Meski demikian, pada penelitian tersebut faktor lain seperti siklus nutrien, kondisi nutrien ketika tidak terjadi bioturbasi, kondisi substrat di kedalaman, belum diperhitungkan.

Kondisi dan pengaruh bioturbasi yang terjadi secara alami pada ekosistem mangrove tersebut dapat diketahui dengan melakukan pengamatan secara langsung. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat seberapa besar kontribusi bioturbasi dalam mengatur transpor nutrien dalam ekosistem mangrove tanpa mengesampingkan proses alami lain yang menjadi pendukung maupun penghambat peran bioturbasi itu sendiri. Kondisi nutrien secara vertikal pada sedimen hasil bioturbasi dapat diketahui dengan membandingkan kondisi nutrien daerah bioturbasi dan non bioturbasi pada ekosistem yang sama. Pendekatan


(34)

5

faktor pendukung bioturbasi, seperti kondisi substrat, bentuk bioturbasi dan kelimpahan liang bioturbasi, juga dapat diperhitungkan. Pendekatan secara langsung tersebut diharapkan mampu benar-benar menggambarkan transpor nutrien oleh bioturbasi di alam.

1.4 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan fluks nutrien dan aktifitas biologi di sedimen yang disebabkan oleh proses bioturbasi di ekosistem mangrove melalui :

1. Mengidentifikasi karakteristik fisik bioturbasi biota bentik, seperti bentuk, kedalaman, dan diameter

2. Mengukur profil nutrien yang terdapat di porewater pada daerah

bioturbasi dan non bioturbasi di daerah mangrove

3. Memprediksi fluks nutrien pada daerah bioturbasi dan non bioturbasi 4. Memprediksi faktor dominan yang mempengaruhi fluks nutrien di daerah

bioturbasi

Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk pendugaan stok nutrien di perairan, khususnya daerah mangrove. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai informasi dasar mengenai peranan mangrove dalam efek rumah kaca. Keberadaan liang bioturbasi dapat mengakibatkan perubahan redoks pada sedimen akibat perubahan kandungan oksigen sehingga komposisi hasil reaksi juga berubah. Liang bioturbasi ini diduga dapat mengakibatkan

terjadinya transpor N2O yang merupakan salah satu gas rumah kaca, secara aktif


(35)

(36)

7

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mangrove

Mangrove sebagai ekosistem merupakan hutan di daerah intertidal yang memiliki tingkat produktifitas sangat tinggi, dan tersebar di sepanjang pantai, terutama pantai tropis. Ekosistem mangrove ini juga merupakan zona penyangga yang mampu menstabilkan zonasi pantai dari erosi laut (Prasad dan Ramanthan, 2008). Ekosistem mangrove tidak hanya mencakup tumbuhan mangrove saja, namun juga termasuk organisme di dalamnya, termasuk bakteri, jamur, mikroalaga, invertebrata, burung, dan bahkan mamalia (Hulgoin et al., 2001).

Vegetasi mangrove memiliki peran penting dalam menyediakan bahan organik untuk ekosistem melalui serasah yang terjatuh ke sedimen dan mengalami proses oksik-suboksik-anoksik. Serasah-serasah mangrove, baik daun, ranting, maupun patahan yang lain terdekomposisi dalam sedimen dan menghasilkan bahan organik terlarut (dissolved organic matter / DOM), menjadi sumber regenerasi nutrien. Serasah yang jatuh ke dalam sedimen tersebut mengalami pencucian oleh air laut dan mengakibatkan terlepasnya sejumlah unsur sehingga menghasilkan DOM yang cukup tinggi bagi perairan (Benner et al., 1990 in Kathiresan, 2011), misalnya organik karbon, nitrogen (Fell et al.,1975; Newell et al.,1984; Robertson,1988; in Ashton et al., 1999) terutama kandungan potasium yang sangat mudah tercuci dalam waktu sangat singkat, yaitu 95% dari total potasium (Steinke et al., 1993 in Kathiresan, 2011). Persentase hilangnya material pada daun akibat pencucian berbeda-beda, tergantung pada jenis mangrove (Robertson et al., 1992 in Ashton et al., 1999), dengan proses pencucian yang terjadi dalam 3-28 hari (Cundell et al., 1979; Steinke et al., 1993a ; in Ashton et al., 1999)

Proses-proses tersebut mengakibatkan bahan organik dalam sedimen ekosistem mangrove sangat tinggi. Schubauer dan Hopkinson (1984) in Day et

al. (1989) mengemukakan bahwa tingkat produktifitas primer pada bagian

sedimen ekosistem mangrove secara umum lebih besar dibandingkan produktifitas pada bagian atas ekosistem. Tingkat produktifitas primer bagian atas pada jenis mangrove Spartina alterniflora berkisar antara 0,5-6,2 kg m-2 tahun-1, sedangkan produktifitas primer pada bagian bawah (sedimen) antara 0,3-48,9 kg m-2 tahun-1 (Good et al., 1982 in Day et al., 1989).


(37)

8

Namun demikian, secara vertikal, distribusi bahan organik tersebut mengalami perubahan. Pada substrat mangrove jenis Avicenia, konsentrasi C-organik dan N mengalami penurunan hingga 40% dari permukaan menuju kedalaman 15 cm, total CHO (hydrosoluble sugars) menurun dari 2,24-1,41 mg g-1 pada kedalaman intermediate kemudian meningkat lagi hingga 3,83 mg g-1. Hal tersebut berbeda dengan Rhizpora yang justru memiliki distribusi vertikal C-organik, N, dan total CHO yang cenderung konstan. Perubahan konsetrasi distribusi vertikal dan perbedaan antara substrat kedua jenis mangrove tersebut juga terjadi pada bahan organik lainnya (Tabel 1) (Lacerda et al., 1995).

Tabel 1 Komposisi bahan organik pada sedimen mangrove R.mangle dan

A.schaureiana (Lacerda et al., 1995)

Depth (cm) Rhizopora Avicennia

1-5 5-10 10-15 1-5 5-10 10-15 C-org (%)

Nitrogen (%) C/N

CHO (mg g-1) AA (mg g-1) AS (mg g-1) CHO-C (% C) AA-C (% C) AS-C (% C) AA-N (% N) AS-N (% N)

2,80 0,16 17,5 2,47 4,37 0,42 0,36 0,70 0,01 3,70 0,23 2,70 0,18 15,0 2,44 2,51 0,22 0,36 0,72 0,05 1,95 0,09 2,70 0,16 16,9 2,50 2,74 0,23 0,37 0,62 0,03 2,34 0,19 6,10 0,35 17,4 2,24 6,78 0,40 0,23 0,49 0,02 2,68 0,08 3,80 0,23 16,5 1,41 1,70 0,11 1,49 1,97 0,10 10,2 0,38 3,80 0,20 19,0 3,83 6,11 0,61 4,28 6,40 0,51 38,1 2,27 CHO, Total sugars: AA, amino acids, AS, amino sugars; CHO-C, contribution of sugars to the C-org pool; AA-C, AS-C, contributions of AA and AS to the C-org pool, respectively; AA-N, AS-N, contributions of AA and AS to the N-pool

2.2. Bioturbasi

2.2.1. Pengertian dan Proses Bioturbasi

Bioturbasi merupakan suatu aktifitas yang dilakukan organisme sehingga menyebabkan terjadinya perubahan letak (displacement) sedimen. Aktifitas

tersebut dapat berupa gerakan menggali (digging) maupun menggaruk

(crawling), dan memakan sedimen (Richter, 1952 in François et al., 2002; Nickell

et al., 2003; Meysman et al., 2003).

Mekanisme bioturbasi berbeda pada setiap organisme bentik. Pada beberapa organisme, bioturbasi hanya dilakukan dengan cara memakan sedimen dan kemudian mengekskresikannya kembali. Hasil ekskresi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya perubahan ikatan kimia akibat adanya


(38)

9

metabolism dan kerja enzim dalam tubuh, sehingga ketika sedimen tersebut diekskresikan terjadilah regenerasi. Organisme lain ada juga yang melakukan bioturbasi dengan menggali sedimen. Cara bioturbasi ini mempengaruhi kondisi ekosistem lebih besar dibandingkan aktifitas memakan sedimen. Hal tersebut karena saat penggalian dilakukan, sejumlah besar sedimen yang berada di bawah permukaan akan dibuang menuju ke permukaan sedimen, sehingga proses-proses kimiawi yang terjadi pada lapisan dalam tentu saja akan berbeda. Mulsow dan Boudreau (1998) menjelaskan bahwa aktifitas menggali, seperti yang dilakukan oleh cacing tanah, mampu meningkatkan porositas tanah disamping mengakibatkan pencampuran bahan organik dan anorganik, dan membuat beberapa bahan anorganik menjadi dapat diserap oleh tumbuhan. Selain itu, ada pula bioturbasi yang merupakan gabungan keduanya, yaitu menggali lubang sambil memakan substrat lalu diekskresikan kembali di permukaan sedimen.

Mekanisme pergerakan yang mengakibatkan bioturbasi juga

bermacam-macam. Amoboeid dan ciliary, yang dilakukan oleh meiofauna protozoa.

Peristaltic dan crawling, yang menggunakan bagian tubuh organisme yang lunak,

drilling yang biasa dilakukan oleh organisme yang hidup di substrat keras (Schäfer, 1972 in Carney, 1981).

2.2.2. Morfometri Bioturbasi

Morfometri atau bentuk bioturbasi berbeda setiap biota, terutama pada aktifitas menggali. Tekstur bioturbasi yang dihasilkan polychaeta (misalnya

Arenicola marina) memiliki bentuk J (J-shape) (Gambar 1). Carney (1981) menjelaskan, tekstur ini dihasilkan Arenicola dengan melakukan gerak peristaltik. Kemampuan menggali lubang Arenicola ini disebabkan adanya produksi lendir pada permukaan tubuhnya yang mampu mengubah struktur sedimen dan membentuk liang. Gerak persitaltik tersebut dilakukan Arenicola secara vertikal ke bawah sejauh 20-30 cm dan kemudian berbelok secara horizontal, sehingga membentuk huruf J atau L.

Pada proses meliangnya, Arenicola juga memakan substrat di depannya sehingga membuat celah sebagai ventilasi air. Hal tersebut menimbulkan tekanan pada permukaan sedimen sehingga sedimen pada sisi lain lubang

mengalami penurunan. Arenicola juga mencerna bahan organik pada substrat


(39)

10

Gambar 1 Sketsa morfologi liang bioturbasi polychaeta yang menyerupai huruf J (Marinebio, 2010).

Arenicola ini dominan terjadi di daerah intertidal berpasir yang sedikit atau bahkan tidak terdapat vegetasi (Reise, 1985 in Volkenborn et al., 2007).

Tekstur bioturbasi lain adalah tekstur yang dihasilkan oleh bivalvia dan kepiting. Tekstur bioturbasi kedua bentik ini hanya berbentuk liang yang lurus vertikal maupun horisontal ke dalam sedimen. Aktifitas menggali oleh bivalvia dilakukan dengan menggunakan kaki pada kedalaman bioturbasi yang berbeda setiap jenisnya. Perbedaan kedalaman ini dipengaruhi oleh cara hidup masing-masing jenis bivalvia. Penggalian sedimen diikuti dengan masuknya cangkang secara perlahan ke dalam sedimen dan menjulurkan sifon hingga permukaan sedimen sebagai jalan air, oksigen dan makanan (Gambar 2).

Gambar 2 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh bivalvia (Marinebio, 2010). Tekstur bioturbasi pada kepiting, hampir mirip dengan bivalvia, yaitu lubang vertikal ke dalam sedimen (Gambar 3). Penggalian sedimen oleh kepiting dilakukan oleh kaki jalan dan kaki renang, dimana kaki jalan bagian depan mulai menggaruk dan melempar sedimen ke areal sekitar permukaan hingga terbentuk


(40)

11

sedikit lubang. Kepiting lalu mulai memasukkan karapaksnya dengan dibantu kaki jalan bagian belakang yang juga menggaruk sedimen. Kaki renang kepiting mulai melempar sedimen ketika hampir seluruh karapaks mulai masuk dalam sedimen (Carney, 1981). Meski pada umumnya tekstur bioturbasi kepiting vertikal ke dalam sedimen, namun Oberlander (2007) menunjukkan bahwa

tekstur tersebut juga dapat berupa L-shape, menyesuaikan kondisi dalam

sedimen.

Gambar 3 Morfologi liang bioturbasi yang dibuat oleh kepiting (Uca pugnax). Bentuk liang dapat berupa huruf I yang vertikal hingga mencapai kedalaman 10-20 cm (a) atau berupa huruf L, menyesuaikan kondisi dalam sedimen (b) (Oberlander, 2007).

2.3. Sedimen

2.3.1. Sifat Fisik Sedimen

Sedimen merupakan material yang menjadi pembentuk karakter pesisir. Sedimen daerah estuaria berasal dari partikel-partikel yang terbawa oleh aliran sungai dan mengalami pengendapan. Makin besar wilayah estuaria, maka makin banyak partikel yang mengalami pengendapan akibat berkurangnya kecepatan arus. Sedimen wilayah estuaria cenderung memiliki ukuran yang halus dan kaya akan bahan organik.

Sifat fisik sedimen sangat tergantung pada partikel dan fluida yang menyusunnya (Gambar 4). Partikel yang menyusun sedimen atau butir sedimen (sediment grain) merupakan penyusun sedimen yang menyebabkan terjadinya


(41)

12

Gambar 4 Komponen penyusun sedimen (Schulz dan Zabel, 2006).

pengendapan pada dasar laut, ikatan antar partikel ini semakin erat seiring dengan meningkatnya tekanan lithostatik. Celah yang terdapat di sela-sela butir, disebut pori (pores), biasanya terisi oleh air (porewater). Butir-butir sedimen yang

berdekatan dan menyatu membentuk sediment frame. Elastisitas pada frame dan

Jumlah pori tersebut mempengaruhi bentuk, distribusi ukuran butir, dan penyusunan partikel sedimen (Schulz dan Zabel, 2006).

Butir sedimen memiliki berbagai macam ukuran, yang tentu saja akan memberikan fenomena yang berbeda. Udden-Wentworth mengklasifikasikan ukuran butir sedimen menjadi beberapa kelompok (Tabel 2). Jenis dan ukuran butir sedimen tersebut saling terkait dan berpengaruh pada sifat-sifat sedimen yang lain, misalnya porositas, serta permeabilitas. Porositas adalah

perbandingan ukuran ruang (space) pada suatu material sedimen dengan

volume total sedimen, semakin besar ruang yang terdapat pada material, maka porositasnya akan makin tinggi. Porositas sangat dipengaruhi oleh ukuran butir, bentuk, dan distribusi butir. Distribusi butir menunjukkan tingkat keseragaman ukuran dan bentuk partikel yang menyusun sedimen, makin tinggi keseragamannya maka makin baik distribusi butirnya (well sorted) sehingga makin tinggi porositasnya. Hal ini disebabkan karena poorly sorted sediments

memiliki rentang ukuran butir yang lebar, sehingga butir sedimen yang berukuran kecil dapat mengisi ruang kosong (pori) yang ada (Wards, 2007). Contoh sedimen yang memiliki keseragaman butir tinggi adalah well sorted-fine sand,

yaitu 41,1 %, medium sand yaitu 40,7 % (Kamann et al., 2007), atau pun sedimen yang diendapkan oleh angin pada daerah sungai.


(42)

13

Tabel 2 Ukuran butir berdasarkan Udden-Wentworth (Lewis dan McConchie, 1994 in Selley, 2000)

Sifat fisika sedimen yang lain adalah permeabilitas (kemampuan sedimen untuk mentransfer air). Permeabilitas ditentukan oleh pori dan tingkat keeratan antar butir. Bila interkoneksi antar pori baik, fluida dalam pori akan mudah mengalir dan permeabilitasnya tinggi, misalnya clay dan sand. Clay memiliki porositas yang lebih tinggi, namun porinya tidak terkoneksi dengan baik sehingga tingkat permeabilitasnya lebih rendah dibandingkan sand.


(43)

14

2.3.2. Sifat Kimiawi Sedimen

Proses-proses kimiawi yang terjadi di sedimen bukanlah proses yang berlangsung secara sederhana, salah satunya adalah proses redoks yang diakibatkan oleh banyak faktor. Secara umum, sedimen memiliki beberapa lapisan, yaitu aerob, reduksi nitrat, reduksi sulfat, dan reduksi karbonat. Lapisan-lapisan tersebut memiliki ciri yang berbeda. Lapisan aerob merupakan Lapisan-lapisan yang berada di bawah permukaan sedimen hingga kedalaman ± 4 cm, banyak ditemukan epifauna. Pada lapisan ini, berlangsung proses-proses kimia yang masih menggunakan oksigen sebagai oksidatornya. Lapisan reduksi nitrat, biasanya berwarna kuning, memiliki ketebalan ± 4-10 cm, dan biasanya ditemukan biota infauna. Lapisan reduksi sulfat, biasanya berwarna abu-abu, mempunyai ketebalan ± 10-50 cm. Lapisan reduksi karbonat, biasanya berwarna hitam dan memiliki aroma yang khas karena mengandung banyak gas metena (CH4) dan amonium (NH4) (Sanders, 1978). Proses yang terjadi pada tiap lapisan

berbeda satu dengan yang lain, meskipun saling mempengaruhi dimana hasil proses yang terjadi pada lapisan atas merupakan sumber energi bagi proses kimia yang terjadi pada lapisan bawah (Gambar 5).

Gambar 5 Proses redoks bahan organik yang terjadi dalam sedimen (Day et al.,


(44)

15

Karakteristik lapisan sedimen tersebut ternyata sangat dipengaruhi oleh aktifitas biota bentik yang hidup di sedimen. Day et al. (1989) menjelaskan beberapa mekanime yang dilakukan biota adalah melalui biotubasi, penurunan karbon organik, produksi agen pengikat seperti lendir, biodeposisi, dan oksigenasi sedimen anaerobik. Bioturbasi mengakibatkan ketidakstabilan sedimen, sedangkan produksi agen pengikat dapat menstabilkan sedimen. Ketidakstabilan akibat bioturbasi terjadi karena adanya perubahan distribusi ukuran butir, porositas dan permeabilitas sedimen. Bioturbasi dengan memakan

sedimen dan meregenerasi nutrien melalui fecal pellet ternyata mampu merubah

distribusi ukuran butir sedimen dan meningkatkan porositas. Perubahan pada ukuran butir sedimen selanjutnya mengakibatkan perubahan permeabilitas sedimen tersebut (Shull, 2010). Meski demikian, permeabilitas sedimen juga mempengaruhi aktifitas bioturbasi yang dilakukan biota bentik. Arenicola yang memerlukan oksigen dalam sedimen harus memompa air masuk dalam sedimen

agar kebutuhan oksigennya terpenuhi, sehingga Arenicola memerlukan sedimen

dengan permeabilitas sedimen tinggi (Volkenborn et al., 2007). Selain itu, ventilasi yang dibuat oleh biota yang melakukan aktifitas meliang memberikan kontribusi menambah electron acceptor (seperti oksigen, nitrat dan sulfat) dan mengurangi metabolit inhibitor, seperti ammonium, sulfit (Kristensen, 1988).

2.4. Fluks Nutrien

2.4.1. Konsep Fluks Nutrien

Fluks nutrien adalah jumlah nutrien yang mengalami perpindahan melalui berbagai macam transpor pada periode waktu tertentu. Pengertian fluks secara umum dapat digunakan pada perpindahan nutrien secara horizontal, misalnya input dari sungai ke laut yang disebut sebagai konveksi (perpindahan nutrien pada badan air itu sendiri akibat adanya gerakan angin, gelombang permukaan), maupun secara vertikal, dari kolom air ke sedimen atau sebaliknya disebut sebagai difusi. Selain itu fluks juga dapat berarti perubahan konsentrasi suatu bahan organik dari bentuk partikulat menjadi terlarut atau pun sebaliknya.

Fluks nutrien yang terjadi pada kondisi sedimen yang stabil (tidak mengalami gangguan dari luar), sangat tergatung pada proses hidrodinamika yang terjadi di bagian permukaan, kondisi sedimen, dan kondisi kimia. Proses hidrodinamika misalnya pasang surut, dan arus permukaan. Kondisi sedimen misalnya mencakup distribusi dan komposisi jenis dan ukuran butir, bulk density,


(45)

16

porositas dan permeabilitas, ketebalan sedimen, dan kecepatan aliran porewater, sedangkan kondisi kimia misalnya meliputi temperatur, salinitas, pH, DO, proses adsorpsi-desorpsi dan konsentrasi nutrien di sedimen dan kolom air (Fernandes, 2005).

Proses hidrodinamika yang terjadi di permukaan sedimen memberikan pengaruh pada kondisi batas (boundary layer). Arus permukaan dan pasang surut yang terjadi merupakan suatu mekanisme transpor yang membawa partikel sedimen dan bahan terlarut (Berner,1976 dan Vanrees et al.,1996 in Huettel et al., 2003), serta mampu mengontrol gradien konsentrasi bahan terlarut pada

sediment-water interface (Jørgensen,1994 dan Golosov & Ignatieva,1999 in

Huettel et al., 2003). Proses hidrodinamika tersebut dapat mengakibatkan erosi

pada bagian permukaan sedimen maupun mengurangi ketebalan boundary layer,

sehingga memungkinkan terjadinya fluks secara vertikal menuju kolom air (Biles

et al., 2002). Selain itu, arus lemah pada permukaan sedimen dan adanya pasang surut, mampu mendeposit partikel sedimen yang berukuran kecil dan bahan organik terlarut yang berasal dari kolom air di atasnya (Berner,1980 dan Ignatieva,1996 in Huettel et al., 2003), sehingga terjadi fluks vertikal menuju sedimen.

Pengaruh kondisi sedimen terhadap perpindahan nutrien saling terkait satu dengan yang lain. Distribusi dan komposisi jenis dan ukuran butir serta ketebalan sedimen mempengaruhi kemampuan sedimen untuk mentranspor nutrien dari dan menuju kolom air. Sedimen dengan distribusi dan komposisi yang jelek (tersusun atas jenis dan ukuran butir yang berbeda dan tersusun secara acak)

mengakibatkan kecepatan aliran porewater menjadi terhambat dan transpor

nutrien juga membutuhkan waktu yang lebih lama (Zhou et al., 2011). Porositas

mempengaruhi konsentrasi nutrien, yaitu bentuk partikulat dan terlarut. Perubahan porositas mengakibatkan komposisi partikulat dan terlarut nutrien juga mengalami perubahan sehingga memungkinkan terjadinya fluks. Meski demikian, transpor fluks tersebut tidak dapat hanya disebabkan oleh perubahan porositas. Bulk density mempengaruhi porositas dan struktur sedimen (Zhou et al., 2011) sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi fluks yang terjadi. Faktor lain yang juga mempengaruhi fluks adalah permeabilitas. Permeabilitas memiliki pengertian sebagai sifat sedimen dalam meloloskan air. Besar kecil permeabilitas ini dipengaruhi oleh jenis dan ukuran butir yang menyusun sedimen serta porositasnya. Pengaruh permeabilitas ini terlihat pada kecepatan


(46)

17

aliran porewater. Meski memiliki pengaruhnya masing-masing, namun pengaruh

kondisi sedimen akan terlihat apabila faktor-faktor tersebut saling berkaitan. Keterkaitan faktor lain yang juga penting dalam fluks nutrien adalah kondisi kimia sedimen maupun nutrien. Beberapa penelitian menemukan bahwa fluks nutrien sangat dipengaruhi oleh temperatur, salinitas dan DO, disamping konsentrasi nutrien itu sendiri. Hal ini karena faktor kimia tersebut sangat berperan dalam proses redoks yang berlangsung sehingga mempengaruhi gradien konsentrasi nutrien.

Fluks nutrien secara vertikal, baik menuju maupun berasal dari sedimen, akan lebih mudah bila interaksi antara sedimen dan kolom air lebih terbuka, seperti yang terjadi pada lokasi yang mengalami bioturbasi. Bioturbasi merupakan salah satu gangguan dari luar yang terjadi pada sedimen dan mengakibatkan perubahan fluks. Bioturbasi dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi nutrien, meningkatkan fluks oksigen pada lapisan sedimen yang lebih dalam dan aktifitas mikrobial pada sedimen (Yingst dan Rhoads, 1980, Van Duyl et al., 1992 dalam Kure dan Forbes, 1997). Meski demikian, perubahan-perubahan yang dihasilkan tidaklah sama, tergantung padapelaku bioturbasi, bentuk bioturbasi dan jenis nutrien yang dipengaruhi. Volkenborn et al. (2007) menjelaskan bahwa pada daerah yang tidak terdapat aktifitas makrobentik (Arenicola marina), konsentrasi sulfit pada porewater di kedalaman 15-20 cm adalah 150-200 µM dan pada daerah yang terdapat Arenicola konsentrasi sulfit menjadi di bawah 100 µM. Hal berbeda terjadi pada konsentrasi nitrat yang justru mengalami peningkatan pada kedalaman di bawah 10 cm dan bahkan mencapai

200 µM pada kedalaman 20 cm akibat adanya Arenicola (Gambar 6).

Penelitian lain juga dilakukan menggunakan jenis organisme bioturbasi yang berbeda dan ternyata hasil fluks yang dihasilkan adalah sama. Keberadaan

Nereis diversicolor mengakibatkan terjadinya peningkatan fosfat, silikat, dan

nitrat pada air antara (porewater), namun amonium mengalami penurunan.

Macoma balthica mengakibatkan penurunan amonium dan nitrit, sedangkan

Corophium valutator mengakibatkan nitrat meningkat dan amonium menurun (Mortimer et al., 1999). Fluks nutrien tersebut tidak hanya diakibatkan ada atau tidaknya biota bentik, namuun kelimpahan biota itu sendiri juga dapat mempengaruhi konsentrasi nutrien yang terdapat dalam air antara. Secara umum, peningkatan kelimpahan biota bentik mengakibatkan fluks nutrien juga makin meningkat (Gambar 7).


(47)

18

Gambar 6 Profil nutrien dalam porewater yang menunjukkan perubahan

konsentrasi yang berbeda akibat keberadaan organisme

bioturbasi, tanda menunjukkan konsentrasi tanpa Arenicola,

dan menunjukkan adanya Arenicola. Kedalaman sedimen

secara vertikal dimulai dari kedalaman di bawah 0 cm (Volkenborn


(48)

19

Gambar 7 Hubungan positif yang dihasilkan antara fluks nutrien dan kelimpahan bentik, (a) fluks fosfat ( ) dan silikat ( ) vs kelimpahan Nereis, (b) nitrat ( ), nitrit ( ), amonium ( ) vs kelimpahan Nereis, (c) nitrit ( ),

dan amonium ( ) vs kelimpahan Macoma (fluks nitrit x 100)

(Mortimer et al., 1999).

2.4.2. Pemodelan Fluks Nutrien

Fluks nutrien sebagai akibat dari bioturbasi merupakan salah satu bentuk prinsip hukum pertama Fick’s (Berg et al., 2003) dan sebuah proses discrete

dimana bioturbator memindahkan partikel pada jarak dan arah tertentu,

(a) (b)


(49)

20

kemudian menghabiskan beberapa saat tertentu untuk diam (rest period) dan kemudian bergerak lagi dengan jarak yang tetap sama, namun dengan arah yang berbeda dengan pergerakan sebelumnya (Wheatcroft et al., 1990). Bila jarak dan arah pergerakan partikel serta sela waktu pergerakan diketahui, maka percampuran sedimen yang terjadi dapat digambarkan dengan akurat.

Secara matematis, proses bioturbasi ini digambarkan sebagai proses difusi dengan kekuatan difusi yang diungkapkan dalam bentuk nilai biodifusi (DB) yang

mengakibatkan timbulnya fluks. Nilai fluks hasil bioturbasi dibedakan menjadi fluks sebagai hasil difusi secara molekuler, fluks hasil percampuran (mixing) yang meminimalkan gradien porositas, fluks hasil adveksi dan reaksi kimia yang terjadi (Boudreau, 1997). Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam bentuk box model.

Thibodeaux (1996) menjelaskan bahwa bioturbasi sebagai box model

merupakan salah satu asumsi aktifitas bioturbasi sebagai suatu percampuran yang terjadi secara acak dan cepat, dimana kondisi antar box merupakan kondisi

yang seragam. Perubahan yang terjadi pada sedimen dalam tiap box akan

terakumulasi di bagian bawah box akibat adanya proses percampuran. Meski demikian, pada kondisi sebenarnya di alam, perubahan fisika sedimen seperti porositas dan permeabilitas akan tetap terjadi pada kedalaman yang berbeda. Guna menggambarkan kondisi tersebut, diasumsikan percampuran yang terjadi tidak melibatkan percampuran antara padatan dan cairan, sehingga gradient

porositas dapat diminimalkan dan asumsi homogen pada box model tetap

terpenuhi. Percampuran tersebut disebut dengan intraphase mixing (Boudreau, 1997).

Bentuk pemodelan bioturbasi secara umum adalah (Boudreau, 1997) :

dimana adalah reaksi denitrifikasi serta kesetimbangan massa nutrien

(Chapra et al., 2008), adalah porositas, adalah turtuosity, konsetrasi

nutrien terlarut pada porewater , kedalaman , adalah velositas

porewater, dan koefisien bioturbasi/biodifusitas . diperoleh melalui persamaan :

Akumulasi Fluks Difusi

Molekuler Fluks Mixing Intraphase Adveksi Fluks

Reaksi Kimia


(50)

21

diperoleh dengan menggunakan persamaan Krom dan Berner (1980) in

Feuillet et al., (1997) :

dimana koefisien difusi tiap nutrien yang diperoleh dari Li dan Gregory (1974). Nilai amonia, nitrat, nitrit, dan fosfat dapat dilihat pada Tabel 3. adalah porositas sedimen rata-rata, dan faktor koreksi viskositas :

dimana bila dan bila

Tabel 3 Koefisien difusi ion (Li dan Gregory, 1974)

Anion Do (10

-6

cm2 s-1)

0 oC 18 oC 25 oC

9,8 - 9,78

-

16,8 15,3 16,1

-

19,8 19,1 19,0 7,34

2.5. QUAL2K

QUAL2K adalah salah satu model yang dikembangkan oleh Chapra et al. (2008) guna mempermudah analisis kualitas air pada sungai dan badan air, sekaligus melengkapi program pemodelan versi sebelumnya. Pemodelan ini dioperasikan dengan menggunakan sistem operasi Windows ME/2000/XP dengan antarmuka user menggunakan Microsoft Office Excel 2000 atau lebih tinggi. Seluruh program yang digunakan dalam pengoperasian model terdapat pada Microsoft Office macro language : Visual Basic for Applications (VBA).

QUAL2K merupakan bentuk pemodelan ekosistem sederhana berupa satu dimensi dengan asumsi terjadi percampuran massa air dengan baik secara vertikal maupun lateral dan kondisi hidrolis yang stabil. Meski tampak sederhana, QUAL2K mampu melakukan simulasi-simulasi, seperti pada aliran hidrolis yang

pada kenyataannya tidak seragam, heat budget,suhu, kualitas air, dan

masukan-masukan lain yang dapat mempengaruhi kondisi perairan, sebagai fungsi deret waktu, stoikiometri perairan, interaksi sediment-water interface, patogen, dan

parameter kinetik. Simulasi-simulasi tersebut dilakukan dalam bentuk box model


(51)

22

meskipun peruntukkan spesifik model QUAL2K ini adalah pada sungai dan badan air.

Salah satu simulasi yang mampu dilakukan QUAL2K dan berhubungan

dengan konteks bioturbasi adalah interaksi sediment-water interface yang

menghasilkan fluks, baik fluks SOD (Sediment Oxygen Demand) maupun

nutrien. Fluks yang dihasilkan oleh interaksi ini merupakan simulasi sebagai fungsi pengendapan bahan organik, reaksi yang terjadi dalam sedimen, dan konsentrasi bahan organik. Peran bioturbasi dalam fungsi simulasi tersebut terletak pada reaksi dalam sedimen, mengingat bioturbasi sebagai salah satu proses dalam diagenesis yang penting untuk diperhitungkan.


(52)

23

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian direncanakan dilaksanakan pada bulan Februari-Maret 2011. Pengambilan sampel dilakukan di daerah hutan lindung yang merupakan hasil reklamasi mangrove Muara Angke, Jakarta (Gambar 8).

Gambar 8 Lokasi penelitian.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu alat dan bahan yang digunakan di lapangan dan di laboratorium (Tabel 4 dan Tabel 5)

3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan. Kondisi lapangan yang diamati mencakup kondisi mangrove, substrat, dan liang bioturbasi. Kseluruhan pengamatan tersebut dilakukan secara visual, kecuali bentuk liang bioturbasi yang juga dilakukan pengukuran awal. Hasil studi pendahuluan akan digunakan dalam menentukan lokasi sampling dan rancangan alat yang akan digunakan.


(53)

24

Tabel 4 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan

No Nama Alat Spesifikasi Fungsi

1 Porewaterprofiler p = 30 cm, d = 2,5 inchi Memperoleh sampel porewater 2 Ring sampler d = 4,8 cm, t = 5 cm Mengambil sampel sedimen 3 Pipe ring d = 2,5 inchi, p = 10 cm Cetakan resin cast

4 Syringe 50 ml Mengambil sampel porewater

5 Cubtainer 250 ml Tempat sampel porewater

6 GPS GPS GARMIN Menentukan posisi stasiun

7 Cool box Marina cooler Menyimpan sampel

8 DO meter Lovibond OXI200 Mengukur DO sampel air

9 pH meter Jenway Mengukur pH sampel air

10 Refraktometer Atago Hand Refractometer 0-28 ‰

Mengukur salinitas 11 Kamera Digital camera Sony 10 MP Dokumentasi

12 Plastik klip - Menyimpan sampel sedimen

13 Es batu - Preservasi sampel air

14 Polyester resin - Mencetak liang bioturbasi

15 Sekop - Menggali sedimen

Tabel 5 Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium

No Nama Alat Spesifikasi Fungsi

1 Spektrofotometer HACH DR-2000 Menganalisa nutrien

2 Gelas beaker - Wadah sampel analisis

3 Vacuum pump - Menyaring sampel air

4 Kertas saring Whatman GF/C d = 47 mm Menyaring sampel air 5 Nitrate reagen NitraVer® 5, Powder

Pillows Cat. 14034-99

Analisis nitrat 6 Nitrite Reagent NitriVer® 3, Powder

Pillows Cat. 14065-99

Analisis nitrit 7 Nessler Reagent Cat. 21194-49 Analisis ammonia 8 Mineral stabilizer Cat. 23766-26 Analisis ammonia 9 Polyvinyl alcohol

dispersing agent

Cat. 23765-66 Analisis ammonia 10 Phosphate Reagent PhosVer® 3, Powder

Pillows Cat. 212599

Analisis phosphat

3.3.2. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah mangrove reklamasi, kawasan hutan lindung Muara Angke. Sampling dilakukan pada lokasi yang mengalami bioturbasi dan lokasi tanpa bioturbasi, sebagai substasiun. Kondisi bioturbasi yang diperhitungkan dalam sampling adalah bioturbasi yang dilakukan organisme meliang yang diasumsikan sebagai pelaku bioturbasi yang dominan

menyebabkan terjadinya regenerasi. Aktifitas crawling yang dilakukan

mikrobentik sebagai bentuk bioturbasi tidak diperhitungkan dalam pengambilan sampling. Pada tiap substasiun, diambil masing-masing 3 titik untuk daerah yang mengalami bioturbasi dan tanpa bioturbasi.


(54)

25

Sampling dilakukan dengan melakukan penanaman porewater profiler dan

pipe ring selama 3 hari agar kondisi porewater dalam profiler menjadi homogen sekaligus untuk memperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan. Setelah 3 hari,

dilakukan pengambilan sampel porewater, dilanjutkan dengan pengambilan hasil

cetakan pada pipe ring, dan terakhir adalah sampel sedimen menggunakan

sekop dan ring sampler. Sampel air yang telah diambil dimasukkan dalam 2

cubtainer, yaitu cubtainer pertama untuk pengukuran DO dan pH secara insitu dan cubtainer kedua untuk disaring kemudian dianalisa nutrien (ammonia, nitrit, nitrat, dan fosfat) di laboratorium, sedangkan sedimen yang tercetak di pipe ring

maupun ring sampler dibiarkan tetap berada dalam cetakan dan langsung

dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Sedimen pada pipe ring digunakan untuk

memperoleh cetakan morfologi liang bioturbasi, sedangkan sedimen pada ring sampler digunakan untuk memperoleh kondisi porositas dan permeabilitas sedimen. Sedimen yang diambil menggunakan sekop langsung dimasukkan dalam plastik klip untuk dianalisa tekstur sedimen di laboratorium.

3.3.3. Rancangan Alat

Tahap ini dilakukan untuk merancang dan membuat porewater profiler.

Porewater profiler dirancang agar mudah ditanam dan dikeluarkan dari sedimen,

memiliki kemampuan dalam memperoleh porewater dalam jumlah yang cukup

dan mampu menggambarkan profil vertikal nutrien pada setiap kedalaman sedimen. Profiler diadopsi dari prinsip kerja porewater peeper pada Buffle dan De Vitre (1994) yang kemudian dimodifikasi (Gambar 9). Profiler yang dibuat terdiri dari profiler bertingkat dan profiler tunggal, dimana keduanya terbuat dari bahan yang sama, yaitu pipa dengan diameter 2,5 inchi. Profiler bertingkat merupakan suatu rangkaian profiler yang tersusun memanjang dan bersekat setiap 5 cm, yaitu pada kedalaman 5, 10, dan 15 cm, serta memiliki panjang total 30 cm. Profiler tunggal merupakan profiler yang berfungsi hanya pada 1 kedalaman saja, yaitu untuk kedalaman 2,5 cm, 7,5 cm, dan 12,5 cm.

3.3.4. Teknik Sampling a. Porewater

Pada kedua lokasi titik sampling (bioturbasi maupun non bioturbasi), pengambilan sampel dilakukan dengan metode penanaman yang sama. Sampel


(55)

26

Gambar 9 Rancangan porewater profiler yang digunakan dalam pengambilan

sampel porewater, (a). Bertingkat, (b). Tunggal.

sampel diambil dengan menggunakan bantuan syringe. Sampel kemudian

dimasukkan dalam 2 cubtainer untuk dilakukan pengukuran insitu (pH dan DO) dan dimasukkan dalam cool box serta langsung dibawa ke laboratorium untuk dianalisa nutriennya. Sampel selama perjalanan dari lapangan menuju laboratorium diberi preservasi menggunakan es batu untuk mencegah terjadinya perubahan kimiawi dalam sampel air. Sampel air yang diperoleh disaring terlebih dahulu sebelum dilakukananalisa nutrien, yaitu amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat.

b. Sedimen

Sampel sedimen yang diambil adalah sampel sedimen terganggu dan tidak terganggu menurut prosedur pengambilan sampel sedimen Balai Penelitian

Tanah (2009). Pengambilan sampel ini menggunakan bantuan sekop dan ring

sampler. Sampel yang diperoleh menggunakan sekop adalah sampel sedimen terganggu yang digunakan dalam analisa teksturnya, sedangkan sampel pada

(a)

(b)

Selang keluar

Sekat pipa Per 5 cm

Lubang air masuk

7 cm

7 cm 6,35 cm 6,35 cm


(56)

27

ring sampler adalah sampel tidak terganggu yang digunakan dalam analisa porositas dan permeabilitas sedimen. Sampel yang diambil menggunakan sekop merupakan sampel sedimen terganggu yang akan dianalisa teksturnya. Sedimen mula-mula digali hingga kedalaman 0-20 cm kemudian diambil dengan menggunakan sekop dan langsung dimasukkan dalam kantong plastik yang telah

diberi label. Sampel yang diambil dengan ring sampler merupakan sampel

sedimen utuh yang diperoleh dengan menekan dari tinggi ring sampler ke dalam sedimen, kemudian ring yang lain ditumpangkan di atas ring pertama tadi. Kedua ring tersebut ditekan menggunakan bantuan kayu hingga ± 1 cm tinggi

ring kedua masuk ke dalam substrat. Kedua ring tersebut kemudian diangkat menggunakan bantuan sekop dan dipisahkan. Kelebihan sedimen pada

permukaan ring pertama dipotong menggunakan pisau/cutter dengan arah

sejajar permukaan ring dan ditutup pada kedua sisinya. Setiap ring diberi label dan langsung dimasukkan dalam peti untuk dianalisa porositas dan permeabilitasnya di laboratorium.

c. Morfologi Bioturbasi

Perolehan struktur morfologi bioturbasi menggunakan metode resin casting

menurut Atkinson dan Chapman (1984) in Nickell dan Atkinson (1995). Metode tersebut menggunakan campuran resin polyester dengan katalis peroksida yang berfungsi sebagai pengeras resin sebanyak 2 % dari volume. Pengambilan sampel liang bioturbasi ini dilakukan dengan memasang pipa yang berdiameter 3 inchi dan tinggi 10 cm. Campuran resin kemudian disuntikkan pada lubang bioturbasi dan dibiarkan selama 48 jam. Cetakan resin (resin cast) tersebut kemudian digali dan dibawa ke laboratorium untuk dikeluarkan dari pipa, didokumentasikan dan diukur dimensinya.

3.4. Perolehan Data 3.4.1. Sedimen

a. Ukuran dan Jenis Butir Sedimen

Ukuran butir dan jenis sedimen ditentukan dengan menggunakan persentase berat kering dari tiap ukuran ayakan yang diperoleh. Hasil penghitungan persentase kemudian digunakan untuk menentukan jenis sedimen dengan bantuan segitiga Shepard. Persamaan yang digunakan dalam menentukan berat fraksi adalah (Sanders, 1978) :


(57)

28

b. Porositas Sedimen

Nilai porositas sedimen dihitung berdasarkan hasil pengukuran volume air pada sedimen basah dan volume butir sedimen. Volume air dalam sedimen diperoleh dengan melakukan pencucian garam dari sedimen, kemudian dilakukan pengeringan. Berat kering kemudian dikurangkan dengan berat basah sedimen. Porositas dihitung dengan persamaan (Buchanan, 1984) :

dimana = porositas, = volume

c. Permeabilitas Sedimen

Permeabilitas merupakan rata-rata air yang melewati core sedimen,

dihitung dengan menggunakan persamaan (Buchanan, 1984) :

dimana = permeabilitas , = volume air yang dikumpulkan , =

panjang core , = tinggi muka air , = diameter core , = waktu

3.4.2. Morfologi Bioturbasi

Karakteristik morfologi bioturbasi diperoleh dengan melakukan pengukuran fisik pada cetakan liang bioturbasi menggunakan metode Li et al. (2008). Ukuran-ukuran pada liang dibedakan menjadi SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu diameter shaft dalam), DO (distance opening yaitu jarak antara lubang permukaan satu dengan yang lain), UD (U-depth yaitu kedalaman yang diukur dari lubang permukaan hingga batas percabangan liang yang terbentuk di dalam sedimen), CS (central shaft yaitu kedalaman liang yang diukur dari batas percabangan hingga ujung bawah liang),

dan TD (total depth yaitu kedalaman liang secara keseluruhan). UD, CS, dan TD

merupakan jarak yang didasarkan pada kedalaman liang dalam sedimen, bukan panjang liang itu sendiri (Li et al., 2008).


(58)

29

.

Gambar 10 Pengukuran morfologi fisik liang bioturbasi (Li et al., 2008).

3.5. Analisis Data

3.5.1. Karakteristik Bioturbasi dan Profil Nutrien

Karakteristik bioturbasi meliputi bentuk, panjang, diameter liang, dan total panjang liang. Karakteristik tersebut diperoleh dari hasil dokumentasi yang kemudian dilakukan pengukuran langsung pada cetakan resin. Hasil pengukuran dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif ini juga dilakukan pada konsentrasi nutrien hasil analisa di laboratorium (amonium, nitrat, nitrit, dan fosfat). Konsentrasi nutrien yangdiperoleh digunakan langsung dalam pembuatan profil distribusi vertikal dalam sedimen. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan nutrien pada sedimen maupun kolom air, pada daerah yang mengalami bioturbasi maupun non bioturbasi. Hasil profil nutrien pada kedua daerah tersebut kemudian dibandingkan.

3.5.2. Regenerasi (Fluks) Nutrien

Regenerasi atau fluks nutrien hasil bioturbasi dianalisis dengan menggunakan bantuan box model pada program QUAL2K version 2.11. Skematik sistem box model yang berlaku pada program QUAL2K ditunjukkan pada Gambar 11. Fluks nutrien yang dihitung pada program QUAL2K diasumsikan sebagai fluks yang terjadi pada tiap-tiap box yang mewakili daerah antara 2 kedalaman sedimen (kedalaman atas dan bawah), sehingga dari 7 lapisan kedalaman akan diperoleh 6 buah box model. Setiap box model mewakili


(59)

30

Gambar 11 Skematik model QUAL2K untuk perhitungan fluks nutrien (Chapra et

al., 2008). Kotak merah menunjukkan parameter yang tidak

digunakan dalam penelitian. (Ket : na = konsentrasi NH4 di kolom

air; o = konsentrasi oksigen; nn = konsentrasi NO3 di kolom air; pi =

konsentrasi PO4 di kolom air).

Gambar 12 Sistem box model QUAL2K yang mewakili kondisi sedimen dan

porewater pada daerah di antara 2 kedalaman.

Masing-masing fluks yang dihasilkan merupakan aliran nutrien yang terjadi pada tiap box, baik ke dalam maupun ke luar. Nutrien yang mengalami simulasi pada program QUAL2K meliputi NH4+, NO3-, dan PO43-. Hal ini karena ketiga

nutrien tersebut merupakan hasil utama dari proses mineralisasi, sedangkan NO2- dianggap sebagai ion perantara sehingga fluksnya tidak diperhitungkan.

Data parameter yang digunakan dalam program merupakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan hasil pengukuran, baik secara insitu (meliputi DO, temperatur) dan hasil analisis laboratorium (konsentrasi nutrien dan porositas). Data sekunder yang digunakan merupakan data hasil penelitian

Sistem box model

H1

H2 ∆H = 2,5 cm


(60)

31

sebelumnya yang telah dipublikasi (koefisien bioturbasi dan kelimpahan klorofil dari fitoplankton). Beberapa parameter yang digunakan dalam menjalankan program QUAL2K untuk memperoleh fluks pada setiap box dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4.

3.5.3. Analisis Sensitivitas QUAL2K

Analisis sensitivitas merupakan suatu cara untuk mengetahui pengaruh yang terjadi pada solusi optimal yang dihasilkan oleh suatu metode jika parameter diubah nilainya. Analisis sensitivitas akan memberikan gambaran yang dapat memperkirakan bagaimana suatu solusi memiliki konsistensi meskipun terjadi perubahan pada parameter-parameter yang mempengaruhinya. Pada penggunaan model QUAL2K juga perlu dilakukan analisa sensitivitas untuk mengetahui kestabilan solusi yang diberikan terhadap fluks nutrien pada proses diagenesis akibat bioturbasi. Analisis sensitivitas dilakukan pada fluks NH4+ yang timbul akibat adanya aktifitas bioturbasi. Hal ini dilakukan karena pada

liang bioturbasi yang memiliki kondisi oksik, reaksi redoks pada nitrogen bermula dari perubahan NH4+ menjadi NO2- dan NO3-, sehingga sensitivitas pada NH4+

akan mempengaruhi NO2- dan NO3- yang terbentuk.

Analisis sensitivitas ini dilakukan dengan melakukan penambahan dan pengurangan pada nilai DO (± 50%), porositas (± 5%), masing-masing konsentrasi NH4+, NO3-, dan PO43- (± 50%), dan kelimpahan klorofil pada

fitoplankton (± 25%) pada sedimen bioturbasi. Misalnya parameter DO pada kedalaman sedimen 0-2,5 cm pada titik sampling B1. Nilai DO awal (hasil pengukuran lapangan) adalah sebesar 3,425 mg l-1. Pada analisis sensitivitas, dilakukan penambahan DO sebesar 50%, sehingga input DO yang dilakukan pada model adalah sebesar 5,138 mg l-1, begitu pula dengan sensitivitas pada

pengurangannya, yaitu input DO sebesar 1,713 mg l-1. Penambahan dan

pengurangan input nilai tersebut juga belaku bagi parameter-parameter yang lain, namun dengan persentase yang berbeda. Tingkat persentase penambahan dan pengurangan tersebut disesuaikan dengan perubahan yang terjadi pada hasil analisis sensitivitas. Hal tersebut karena nilai masing-masing penambahan dan pengurangan dilakukan untuk mengetahui titik awal kesensitivan sekaligus tingkat konsistensi hasil pemodelan, sehingga model yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana fluks yang diakibatkan oleh kemungkinan-kemungkinan perubahan yang terjadi di alam.


(61)

32

3.6. Asumsi Model QUAL2K

Model QUAL2K merupakan salah satu metode penyederhanaan yang digunakan dalam analisis, sehingga diperoleh solusi regenerasi nutrien yang mampu mendekati kejadian sebenarnya di alam. Oleh karena itu, pada pelaksanaan model ini digunakan beberapa asumsi :

1. Sistem model adalah box model

2. Pelaku bioturbasi adalah organisme meliang secara global.

3. Sumber nutrien yang terdapat di sedimen merupakan hasil pengendapan fitoplankton dan masing-masing nutrien dari kolom air ke dalam sedimen. 4. Fluks yang terjadi merupakan pengembalian bahan organik terlarut dari

box model menuju kolom air atau pun pengambilan bahan organik terlarut dari kolom air masuk ke dalam box model.

5. Fluks yang menunjukkan arah positif menunjukkan terjadinya aliran nutrien dari dalam box model menuju ke kolom air, dan arah negatif menunjukkan terjadinya aliran nutrien dari kolom air menuju box model. 6. Jenis, ukuran butir dan komposisi sedimen diasumsikan homogen pada

setiap box kedalaman.

7. Koefisien bioturbasi yang digunakan adalah homogen pada setiap box kedalaman dan setiap titik sampling


(1)

Lampiran 6 Hasil pengukuran pH dan salinitas

(a) pH

ID Sampel Kedalaman (cm) pH

1 2 3 Rata-rata

B1 0 7,00 7,00 7,00 7,00

2,5 6,00 6,00 6,04 6,01 5 5,71 5,69 5,69 5,70 7,5 6,20 6,20 6,20 6,20 10 6,20 6,20 6,20 6,20 12,5 6,31 6,30 6,30 6,30 15 6,60 6,60 6,60 6,60

B2 0 7,48 7,47 7,48 7,48

2,5 6,30 6,31 6,30 6,30 5 5,50 5,50 5,50 5,50 7,5 5,70 5,70 5,70 5,70 10 6,10 6,10 6,10 6,10 12,5 6,40 6,40 6,41 6,40 15 6,50 6,50 6,49 6,50

B3 0 7,27 7,27 7,26 7,27

2,5 6,00 6,00 6,00 6,00 5 5,60 5,60 5,60 5,60 7,5 6,00 6,00 6,00 6,00 10 6,40 6,41 6,40 6,40 12,5 6,60 6,60 6,61 6,60 15 6,60 6,60 6,60 6,60

N1 0 7,46 7,47 7,47 7,47

2,5 7,34 7,34 7,35 7,34 5 7,04 7,04 7,04 7,04 7,5 6,54 6,54 6,54 6,54 10 6,04 6,04 6,05 6,04 12,5 5,94 5,94 5,94 5,94 15 5,64 5,64 5,64 5,64


(2)

ID Sampel Kedalaman (cm) pH

1 2 3 Rata-rata

N2 0 7,60 7,60 7,59 7,60

2,5 7,40 7,40 7,40 7,40 5 7,40 7,40 7,40 7,40 7,5 6,80 6,80 6,81 6,80 10 6,60 6,59 6,60 6,60 12,5 6,40 6,40 6,40 6,40 15 6,21 6,20 6,20 6,20

N3 0 7,20 7,19 7,20 7,20

2,5 7,00 7,00 7,00 7,00 5 6,80 6,80 6,80 6,80 7,5 6,00 6,00 6,00 6,00 10 5,81 5,80 5,80 5,80 12,5 5,39 5,40 5,40 5,40 15 5,40 5,40 5,40 5,40

(b), Salinitas

ID Sampel Kedalaman (cm) Salinitas (‰)

1 2 3 Rata-rata

B1 0 0,4 0,4 0,4 0,4

2,5 0,4 0,4 0,4 0,4

5 0,6 0,6 0,6 0,6

7,5 0,6 0,6 0,6 0,6

10 0,8 0,8 0,8 0,8

12,5 0,8 0,8 0,8 0,8

15 0,8 0,8 0,8 0,8

B2 0 0,6 0,6 0,6 0,6

2,5 0,8 0,8 0,8 0,8

5 0,8 0,8 0,8 0,8

7,5 0,8 0,8 0,8 0,8

10 1,0 1,0 1,0 1,0

12,5 1,0 1,2 1,0 1,1


(3)

ID Sampel Kedalaman (cm) Salinitas (‰)

1 2 3 Rata-rata

B3 0 0,6 0,6 0,8 0,7

2,5 0,6 0,8 0,8 0,7

5 1,0 0,8 1,0 0,9

7,5 1,0 1,0 1,0 1,0

10 1,0 1,2 1,2 1,1

12,5 1,2 1,2 1,4 1,3

15 1,4 1,4 1,4 1,4

N1 0 0,4 0,6 0,6 0,5

2,5 0,6 0,6 0,6 0,6

5 0,6 0,6 0,6 0,6

7,5 0,8 0,8 0,6 0,7

10 0,8 1,0 1,0 0,9

12,5 1,0 0,8 1,0 0,9

15 1,0 1,0 1,0 1,0

N2 0 0,8 0,8 0,8 0,8

2,5 0,8 0,8 0,8 0,8

5 1,0 1,0 1,0 1,0

7,5 1,0 1,0 1,0 1,0

10 1,0 1,0 1,2 1,1

12,5 1,2 1,2 1,2 1,2

15 1,2 1,2 1,2 1,2

N3 0 1,0 1,0 1,0 1,0

2,5 1,2 1,0 1,0 1,1

5 1,0 1,0 1,2 1,1

7,5 1,2 1,2 1,2 1,2

10 1,2 1,2 1,2 1,2

12,5 1,2 1,2 1,2 1,2


(4)

Lampiran 7 Hasil analisis sedimen

(a), Jenis dan ukuran butir

Jenis substrat

Sampel ID

non

bio

Pasir kasar

1000-2000 u

0,02

0,03

Pasir agak kasar

500-1000 u

0,22

0,21

Pasir sedang

200-500 u

0,23

0,25

Pasir agak halus

100-200 u

0,21

0,18

Pasir halus

50-100 u

0,32

0,33

Debu kasar

20-50 u

37,85

35,67

Debu sedang

10-20 u

45,28

43,75

Debu halus

2-10 u

14,87

18,58

Liat kasar

0,005-2 u

0,45

0,68

Liat halus

0-0,005 u

0,55

0,32

(b), Porositas dan Permeabilitas

Sampel

ID

Kedalaman (cm)

Ruang Pori Permeabilitas Total Rata-rata cm/jam Rata-rata

B1 0-5 90,4 89,33 1,65 1,80

5-10 89,6 2,37

10-15 88 1,37

B2 0-5 89,5 90,57 1,28 1,69

5-10 92,3 2,7

10-15 89,9 1,08

B3 0-5 89,8 88,33 2,53 1,78

5-10 86,8 1,65

10-15 88,4 1,16

N1 0-5 81,5 82,53 0,74 1,04

5-10 81 1,59

10-15 85,1 0,79

N2 0-5 81,7 83,63 0,95 1,07

5-10 84,7 1,6

10-15 84,5 0,67

N3 0-5 80,1 80,40 0,4 0,93

5-10 82,1 1,75


(5)

Lampiran 8 Grafik hasil analisis sensitivitas NH

4+

pada lokasi bioturbasi

-60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20

Sensitivitas Fluks NH

4+

(mmol N m

-2

h

-1

) Pada B1

Ke

da

la

m

a

n

(cm

)

Real

O2-50%

O2+50%

POR-5%

POR+5%

OM-50%

OM+50%

CHL-25%

CHL+25%

-60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20

Sensitivitas Fluks NH

4+

(mmol N m

-2

h

-1

) Pada B2

Ke

da

la

m

a

n

(cm

)

Real

O2-50%

O2+50%

POR-5%

POR+5%

OM-50%

OM+50%

CHL-25%

CHL+25%

0

2.5

5

7.5

10

12.5

15

0

2.5

5

7.5

10

12.5


(6)

-60 -50 -40 -30 -20 -10 0 10 20

Sensitivitas Fluks NH

4+

(mmol N m

-2

h

-1

) Pada B3

Ke

da

la

m

a

n

(cm

)

Real

O2-50%

O2+50%

POR-5%

POR+5%

OM-50%

OM+50%

CHL-50%

CHL+50%

0

2.5

5

7.5

10

12.5