Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PASCA
PEMUTIHAN KARANG: STUDI KASUS PEMUTIHAN
KARANG PADA 2010 DI PERAIRAN UTARA ACEH

EFIN MUTTAQIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang Pasca Pemutihan Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada
2010 Di Perairan Utara Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Efin Muttaqin
C252110171

RINGKASAN
EFIN MUTTAQIN. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan
Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di Perairan Utara Aceh.
Dibimbing oleh MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan SIGID HARYADI.
Pada Bulan April tahun 2010 terjadi kenaikan suhu permukaan laut secara
drastis yang mengakibatkan pemutihan karang di Perairan Utara Aceh. Strategi
yang efektif dalam mengelola terumbu karang pasca pemutihan karang sangat
diperlukan. Penelitian ini bertujuan, yaitu: mengetahui dampak pemutihan karang
pada tahun 2010 di Perairan Utara Aceh dan membuat strategi pengelolaan
ekosistem terumbu karang untuk meningkatkan kemampuan adaptasi ekosistem
terhadap ancaman perubahan iklim.
Lokasi penelitian berada di Perairan Utara Aceh yang terdiri dari Pulau Weh
Sabang, Pulau Beras dan Pulau Nasi yang Kabupaten Aceh Besar. Titik-titik
pengamatan tersebut mewakili tipe pengelolaan yang berbeda dengan pendekatan

wilayah berdasarkan hukum adat laut yang berlaku. Tipe pengelolaan tersebut
adalah: Pulau Aceh, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pantai Timur, Taman
Wisata Air Laut (TWAL) Iboih dan Weh Open access. Data pada penelitian
dikelompokkan berdasarkan beberapa parameter ekologi, parameter tekanan
anthopogenic, parameter sosial ekonomi dan sistem pengelolaan.
Pemutihan karang pada tahun 2010 memberikan dampak ekologi yang
sangat besar terhadap terumbu karang di wilayah Utara Aceh terutama di Pulau
Weh. Sementara di wilayah Pulau Aceh dampak tersebut relatif lebih kecil. Status
pengelolaan terumbu karang di Wilayah Pulau Aceh memiliki nilai terendah jika
dibandingkan dengan status pengelolaan terumbu karang yang berada di wilayah
KKP Pantai Timur maupun TWAL Iboih. Perlindungan kawasan, penegakan
aturan di dalam kawasan dan persepsi terhadap sumberdaya merupakan parameter
yang membedakan status pengelolaan yang ada di Perairan Utara Aceh. Strategi
pengelolaan di Pulau Aceh adalah mempertahankan kondisi ekologi dari
penurunan dan meningkatkan indikator sosial ekonomi serta sistem pengelolaan
kawasan yang lebih baik. Hal tersebut diimplementasikan dalam bentuk
pengaturan alat tangkap dan perlindungan kawasan yang memiliki nilai ekologis
yang paling penting.
TWAL Iboih dan KKP Pantai Timur merupakan kawasan yang memiliki
nilai pengelolaan yang paling baik. Strategi pengelolaan di kedua kawasan

tersebut memperkuat penegakan aturan di dalam kawasan dan pelibatan
masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Selain itu peningkatan dampak kawasan
konservasi terhadap perekonomian masyarakat adalah strategi meningkatkan
indikator sosial ekonomi. Strategi pengelolaan yang dilakukan di Weh open
access adalah meningkatkan sistem pengelolaan kawasn yang lebih baik. Hal ini
dilakukan dengan pengaturan alat tangkap jaring dan panah dengan pendekatan
hukum adat panglima laut.
Kata kunci: Pengelolaan, terumbu karang, pemutihan karang, Aceh, Utara Aceh

SUMMARY
EFIN MUTTAQIN. Coral reef ecosystem post bleaching management: Case
study of coral bleaching in 2010 in Northern Aceh. Supervised by MOHAMMAD
MUKHLIS KAMAL and SIGID HARYADI.

A drastic increase in Sea Surface Temperature (SST) was occurred in
Northern Aceh, Indonesia from April until the end of May 2010. Prolonged
temperature increase in coral reef ecosystem is the ultimate cause for mass
bleaching phenomenon, including in Northern Aceh. Bleached corals were
noticed in very vast area in particular at shallow reefs dominated by Acropora in
TWAL Iboih. This study aimed to assess the impact of 2010 coral bleaching event

in Northern Aceh and provide post bleaching management tools to increase
adaptive capacity of coral reef ecosystem due to global climate change.
Coral reef surveys were conducted in 24 sites within Weh Island, Beras
Island, and Nasi Island. Study sites were representing 4 different types of
management based on customary law in Aceh; East Coast Conservation Areas
(KKP Pantai Timur), Iboih Marine Recreational Park (TWAL Iboih), and open
access areas in both Weh Island and Aceh Islands. In addition to the ecological
data on coral reefs, assessment were also conducted on anthropogenic, socioeconomic and management system.
Coral bleaching event in 2010 causing the most severe impact on coral reef
ecosystem in Northern Aceh. Compared to those in Weh Island, coral reefs in
Aceh Islands were less affected. Results from all parameters related to
management, showed that Aceh Islands performed the weakest management
implementation. Meanwhile, East Coast Conservation Areas (KKP Pantai Timur)
and Iboih Marine Recreational Park (TWAL Iboih) have better management with
good protection areas, law enforcement, and better community perception to
marine resources. Aceh Islands need specific post bleaching strategies in order to
maintain ecological condition and increase socio-economic situation. Thus,
implementing management system with fishing gear restriction and protecting
areas from destructive activities are the key strategies in improving coral reefs in
Aceh Islands.

East Coast Conservation Areas (KKP Pantai Timur) and Iboih Marine
Recreational Park (TWAL Iboih) are areas with more effective management
system. Strategies in managing coral reef ecosystem should focus on
strengthening law enforcement in conservation areas, community involvement in
management areas, and increasing socio-economic impact in conservation areas.
Post bleaching management strategy in Weh Open Access is focusing on
improving management system within Weh protected areas which incorporate
strengthening fisheries regulation on limiting nets and spear guns.

Keyword: Coral bleaching, coral reef, management, Northern Aceh

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG PASCA
PEMUTIHAN KARANG: STUDI KASUS PEMUTIHAN
KARANG PADA 2010 DI PERAIRAN UTARA ACEH

EFIN MUTTAQIN
C252110171

Tesis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ario Damar, M.Si

Judul Penelitian

Nama
NRP

: Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan
Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang Pada 2010 Di
Perairan Utara Aceh
: Efin Muttaqin
: C252110171

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M Mukhlis Kamal M.Sc
Ketua

Dr Ir Sigid Haryadi M.Sc

Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto M.Sc

Tanggal Ujian: 17 Juli 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih

dalam tesis ini adalah Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pasca Pemutihan
Karang: Studi Kasus Pemutihan Karang pada Tahun 2010 di Perairan Utara Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir M Mukhlis Kamal,
M.Sc dan Bapak Dr Ir Sigid Haryadi M.Sc selaku pembimbing. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff Wildlife Conservation Society –
Indonesia Program Marine atas semua dukungan dan saran demi kesempurnaan
tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua
Orang Tua, Bapak Uwon Susila dan Ibu Kurnaeni atas doa dan kesabarannya,
serta kepada semua kakak yang telah memberikan dorongan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan SPL 2011 atas
kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bisa
bermanfaat bagi semua pihak.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

Efin Muttaqin

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

x

1 PENDAHULUAN
Latar belakang
Perumusan masalah
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian

1
1

2
5
5

2

TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu karang
Parameter Pembatas
Fungsi ekosistem terumbu karang
Pemutihan karang
Pemulihan karang

5
5
8
9
9
11

3

METODE
Lokasi penelitian
Metode pengambilan data
Analisis data

13
13
15
18

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Dampak pemutihan karang
Komposisi substrat dasar
Kelimpahan ikan karang
Rekrutmen karang keras
Kondisi sosial ekonomi
Persepsi masyarakat
Strategi adaptasi masyarakat
Kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang di
Wilayah Perairan Utara Aceh
Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang pasca pemutihan

26
26
29
31
35
35
37
38
39
49

KESIMPULAN

54

5

DAFTAR PUSTAKA

55

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang
dengan zooxanthellae (Birkeland 1997)
2 Kategori pemutihan karang berdasarkan McClanahan et al. (2001)
3 Faktor-faktor kunci yang menjadi penilaian (modifikasi dari
Obura dan Grimsdith 2009)
4 Strategi adaptasi nelayan terhadap penurunan hasil tangkapan ikan

6
15
20
39

DAFTAR GAMBAR
1 Alur kerja penelitian
2 Anatomi hewan karang
3 Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda
(a) fringing reef (b) barrier reef (c) Atol
4 Lokasi penelitian
5 Metode pengambilan data substrat dasar dengan metode
Point Intercept Transect (Hill dan Wilkinson, 2004)
6 Metode Underwater Visual Census (Hill dan Wilkinson, 2004
7 Metode transek kuadrat Hill dan Wilkinson, 2004)
8 Suhu permukaan air laut pada bulan April – Juni 2010 ( NOAA/NESDIS)
9 Tanda peringatan pemutihan karang berdasarkan titik panas pada
bulan April – Juni 2010 (NOAA/NESDIS)
10 Kondisi karang keras berdasarkan kategori pemutihan
11 Penutupan karang keras pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011, 2013
12 Penutupan alga pada kedalaman dangkal tahun 2009, 2011 dan 2013
13 Rata-rata kelimpahan ikan karang berdasarkan tipe pengelolaan
pada tahun 2009, 2011 dan 2013
14 Kelimpahan ikan karang pemakan polip karang berdasarkan
tipe pengelolaan pada tahun 2009, 2011 dan tahun 2013
15 Komposisi ikan karang berdasarkan kelompok tropik pada tahun
2009, 2011 dan 2013 berdasarkan tipe pengelolaan
16 Rata-rata rekrut karang baru berdasarkan tipe pengelolaan pada tahun 2013
17 Jumlah responden berdasarkan tipe pengelolaan
18 Komposisi responden berdasarkan jenis pekerjaan dan
latar belakang pendidikan
19 Komposisi responden berdasarkan selang umur
20 Pemetaan jarak antara parameter ekologi dan wilayah pengelolaan
21 Diagram radar untuk parameter kkologi di Perairan Utara Aceh
22 Pemetaan kemiripan antara wilayah berdasarkan parameter
tekanan anthropogenic
23 Diagram radar untuk parameter tekanan anthropogenic di Perairan
Utara Aceh
24 Pemetaan kemiripan wilayah pengelolaan berdasarkan
indikator sosial ekonomi
25 Diagram radar untuk indikator sosial ekonomi di Perairan Utara Aceh
26 Pemetaan kemiripan wilayah berdasarkan indikator sistem
pengelolan kawasan

4
6
8
14
16

17
17
27
27
28
30
31
32
33
34
35
36
36
37
40
41
43
44
45
46
47

27 Sebaran nilai parameter sistem pengelolaan di wilayah perairan Utara Aceh 48
28 Pemetaan kemiripan wilayah berdasarkan semua indikator
49
29 Sebaran indikator pengelolaan di wilayah Perairan Utara Aceh
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Proporsi pemutihan karang berdasarkan lokasi pengamatan di Perairan
Utara Aceh pada kedalaman dangkal dan dalam
Proporsi karang berdasarkan genera karang di Perairan Utara Aceh
Form interview untuk keluarga nelayan
Form interview untuk keluarga wisata
Form interview untuk tokoh masyarakat
Nilai semua parameter di Perairan Utara Aceh

59
61
63
66
70
72

1 PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat vital, karena memiliki
fungsi ekologis yang penting diantaranya sebagai tempat mencari makan biotabiota, tempat memijah, dan tempat mengasuh. Selain itu juga ekosistem terumbu
karang juga merupakan sumber pendapatan bagi manusia dan menyediakan
sumber makanan serta memberikan perlindungan terhadap pantai. Beberapa studi
menunjukkan bahwa 500 juta orang di seluruh dunia sangat tergantung terhadap
terumbu karang, dan secara ekonomi, sumberdaya dan pelayanan yang diberikan
oleh terumbu karang diperkirakan mencapai $375 milliar per tahun (Obura dan
Grimsdith 2009).
Terumbu karang adalah endapan masif yang penting dari kalsium karbonat
yang dihasilkan oleh karang. Hewan karang tersebut hidup dan bersimbiosis
dengan alga uniselular (zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang tersebut dan
hasil simbosis tersebut adalah energi dan sekresi dalam bentuk kalsium karbonat
(CaCO3). Terumbu karang merupakan ekosistem khas tropis yang hidup di
perairan yang hangat, dangkal dan rendah nutrien. Terumbu karang pada
umumnya ditemukan pada perairan dengan kisaran suhu 18 – 36 °C, dengan suhu
optimum 26-28 °C (Birkeland 1997). Walaupun demikian terumbu karang masih
dapat ditemukan di perairan dengan suhu 18ºC (Florida) sampai 33ºC (Persian
Gulf) (Buddemeier dan Wilkinson 1994). Keberadaan terumbu karang di lautan
hanya menutupi 0.2% dari seluruh dasar laut dan 25% dari seluruh spesies yang
ada di lautan. Walaupun demikian terumbu karang memiliki produktivitas primer
yang sangat tinggi sehingga terkadang disebut sebagai “hutan hujan tropisnya
lautan” (Roberts 2003).
Kawasan perairan Aceh bagian utara merupakan bagian dari Bioregion
Sumatera Bagian Utara, karena merupakan bioregion yang merepresentasikan
kondisi ekologis Samudera Hindia. Ekosistem yang penting di kawasan Aceh
bagian utara adalah ekosistem terumbu karang yang hampir 1/3 penduduk di
wilayah Aceh bagian utara sangat tergantung terhadap ekosistem terumbu karang.
Terumbu karang di perairan Aceh tersebar di wilayah utara Aceh seperti Pulau
Weh, dan Pulau Aceh, sedangkan di wilayah barat tersebar di Pulau Simeulue dan
Pulau Banyak. Terumbu karang di wilayah tersebut relatif lebih baik
dibandingkan dengan terumbu karang di wilayah Aceh lainnya.

Latar Belakang
Pada saat ini terumbu karang menghadapi ancaman yang semakin besar
dengan adanya dampak perubahan iklim global. Suhu laut global diperkirakan
telah meningkat 0,6 °C antara pertengahan tahun 1950an – 1990 an. Beberapa
penelitian memprediksi peningkatan suhu laut di masa yang akan datang
mencapai 1,4 – 5,8 °C pada tahun 2100 (IPCC 2001). Peningkatan suhu tersebut
dapat mengakibatkan terjadinya fenomena pemutihan karang jika terjadi anomali
suhu permukaan air laut 1-2 °C diatas suhu musim panas rata-rata. Para peneliti
juga memperkirakan bahwa kejadian pemutihan karang akan menjadi fenomena

2

yang kerap terjadi dengan frekuensi yang lebih sering di masa yang akan datang
(Hoegh-Guldberg 1999).
Pemutihan karang adalah hilangnya warna karang sehingga karang menjadi
transparan atau putih. Putihnya warna karang terjadi karena hilangnya atau
keluarnya zooxanthellae dari jaringan karang sebagai respon dari tekanan
lingkungan terhadap hewan karang. Hilangnya zooxanthellae dari jaringan karang
menyebabkan turunnya produktivitas hewan karang untuk memproduksi energi.
Hal ini terjadi karena hewan karang sangat tergantung kepada alga zooxanthella
dalam menyediakan energi melalui fotosintesis. Beberapa kajian menunjukkan
bahwa kenaikan suhu air laut yang tinggi dan radiasi ultra violet adalah dua
penyebab utama kejadian pemutihan karang (Fitt et al. 2001). Peningkatan suhu
yang drastis yang berinteraksi dengan radiasi sinar Ultra violet yang tinggi
tersebut mengakibatkan zooxanthellae keluar dari jaringan hewan karang sehingga
densitas zooxanthellae di dalam jaringan menjadi menurun bahkan hilang, dan hal
ini mengakibatkan hewan karang kehilangan zat warna dan menjadi berwarna
transparan (Lesser et al. 1990)
Dampak pemutihan karang terhadap ekosistem terumbu karang sangat
besar, selain mengakibatkan kematian karang dalam skala yang luas, pemutihan
karang juga berdampak pada berkurangnya tingkat keanekaragaman sumberdaya
alam. Selain berdampak terhadap ekologi, pemutihan terumbu karang juga
berdampak langsung terhadap perekonomian khususnya di daerah pesisir.
Beberapa studi memprediksi kerugian secara ekonomi akibat pemutihan karang
pada tahun 1998 diperkirakan mencapai $700-8200 Juta dollar khusus di wilayah
Laut India (Marshall dan Schuttenberg 2006).
Pada Bulan April tahun 2010 terjadi kenaikan suhu permukaan laut secara
drastis. Hal tersebut menyebabkan terjadi fenomena pemutihan karang di wilayah
Asia tenggara termasuk Indonesia. Beberapa tempat di dunia yang mengalami
pemutihan karang pada tahun 2010 adalah Singapura, Malaysia, Thailand dan
beberapa negara di Asia Selatan (Tun et al. 2010); (Krishnan et al. 2011). Perairan
di Indonesia yang mengalami pemutihan karang adalah Aceh, Padang, Teluk
Tomini, Wakatobi dan Bali. Dampak pemutihan karang tersebut juga terlihat di
wilayah Aceh khusunya Pulau Beras dan Pulau Nasi Kepulauan Aceh, dimana
35% karang di wilayah tersebut mengalami kematian (Muttaqin et al. 2011).
Beberapa ahli menyatakan bahwa pemutihan karang pada tahun 2010 mempunyai
dampak yang lebih parah dibandingkan dengan fenomena pemutihan karang pada
tahun 1998.

Perumusan Masalah
Pemutihan karang pada tahun 2010 mengakibatkan kematian karang
mencapai 35%. Tingginya tingkat kematian karang yang terjadi akibat pemutihan
karang telah menurunkan penutupan karang secara signifikan di Pulau Weh
(Muttaqin et al. 2011). Selain penurunan penutupan karang, pemutihan karang
juga mengakibatkan menurunnya keanekaragaman terumbu karang. Kematian
karang yang tinggi mengakibatkan peningkatan penutupan alga yang merupakan
kompetitor terumbu karang.

3

Peningkatan alga dalam waktu yang panjang bisa mengakibatkan proses
pemulihan terumbu karang berjalan lambat atau bahkan gagal akibat kompetisi
dengan alga terutama kompetisi ruang. Sehingga kompetisi antara alga dan karang
baru merupakan fase yang sangat krusial dalam menentukan keberhasilan proses
pemulihan karang.
Beberapa faktor yang memegang peranan penting dalam meningkatkan
kemampuan pemulihan karang adalah: keberadaaan ikan herbivora yang berfungsi
mengontrol keberadaan alga sehingga memberikan ruang bagi karang baru. Selain
itu juga keberadaan sumber larva karang, rendahnya tekanan terhadap ekosistem
baik dari tekanan perikanan maupun aktivitas industri.
Strategi yang efektif dalam mengelola terumbu karang pasca pemutihan
karang sangat diperlukan, karena terumbu karang merupakan sebuah sistem yang
tidak bisa berdiri sendiri dan merupakan sistem yang saling terkait satu sama
lainnya. Sebagai konsekuensinya para pengelola harus mempunyai pendekatan
dan pengelolaan yang terpadu untuk menjamin pulihnya terumbu karang beserta
fungsi-fungsinya.
Rencana dan alur penelitian ini secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1.
Selain itu juga digambarkan tahapan penelitian mulai dari identifikasi dampak
pemutihan karang di Perairan Utara Aceh, identifikasi faktor yang membantu
proses rekruitmen, hingga menyusun desain pengelolaan ekosistem terumbu
karang di Perairan Utara Aceh.

4

Kejadian pemutihan Karang
di Perairan Utara Aceh 2010

Identifikasi dampak pemutihan
karang terhadap ekologi di
Peraian Utara Aceh

Identifikasi faktor-faktor
pengelolaan ekosistem terumbu
karang

Parameter Ekologi
(Modifikasi dari
Obura and
Grimsditch)
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.

Penutupan
karang keras
Penutupan alga
Rekruitmen
karang
Ukuran karang
keras
Kelimpahan
ikan herbivora
Dampak
pemutihan
karang
Komposisi
genera karang

Status kawasan
berdasarkan faktor
ekologi

Parameter Tekanan
Anthropogenik

Parameter
Sosial Ekonomi

1. Input nutrien
2. Polusi
3. Tingkat
sedimentasi
4. Kerusakan fisik
karang
5. Aktivitas
perikanan tidak
ramah
lingkungan

1. Tingkat
ketergantungan
2. Komposisi
pekerjaan
3. Alternatif
pekerjaan
4. Keterampilan
5. Persepsi
terhadap SDA

Parameter
Pengelolaan
Kawasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Status kawasan
berdasarkan faktor
anthropogenik

Status kawasan
berdasarkan faktor
Sosial ekonomi

Status kawasan berdasarkan
semua faktor

Strategi pengelolaan ekosistem terumbu
karang di Perairan Utara Aceh

Gambar 1 Alur penelitian

Konservasi
Kawasan
Pengaturan alat
tangkap
Penegakan
aturan
Kepatuhan
Lembaga
pengelola
Kearifan lokal
Partisipasi
Masyarakat
Peran
pemerintah

Status kawasan
berdasarkan faktor
pengelolaan kawasan

5

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan, yaitu:
1. Mengidentifikasi dampak pemutihan karang pada tahun 2010 di Perairan
Utara Aceh
2. Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Utara
Aceh untuk meningkatkan kemampuan adaptasi ekosistem terhadap ancaman
perubahan iklim.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi dampak pemutihan
karang secara ekologi di Perairan Utara Aceh. Selain itu juga penelitian ini dapat
memberikan gambaran mengenai pengelolaan terumbu karang pasca pemutihan
karang di Perairan Utara agar proses pemulihan karang yang mati berlangsung
secara optimal.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang
Terumbu karang adalah endapan masif yang penting dari kalsium karbonat
yang dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo
Madreporaria/Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan
organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (CaCO3)
(Nybakken 1992).
Karang merupakan binatang sederhana, berbentuk tabung dengan mulut
berada di atas yang juga berfungsi sebagai anus. Di sekitar mulut dikelilingi oleh
tentakel yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Mulut dilanjutkan dengan
tenggorokan yang pendek yang langsung menghubungkan dengan rongga perut.
Di dalam rongga perut berisi semacam usus yang disebut dengan mesentri filamen
yang berfungsi sebagai alat pencerna (Suharsono 1996).
Polip karang terdiri dari dua lapisan sel yang sederhana yaitu ektodermis
(epidermis) dan lapisan endodermis (gastrodermis), dan kedua lapisan ini
dipisahkan oleh jaringan penghubung yang tipis disebut mesoglea (Bikerland
1997). Ektodermis merupakan jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel
antara lain sel mucus dan nematocist. Mesoglea merupakan jaringan tengah
berupa lapisan seperti jelly (Suharsono 1996). Lapisan endodermis merupakan
jaringan terdalam pada polip karang tempat hidup ribuan alga mikroskopik yang
disebut zooxanthellae yang secara alami hidup bersimbiosis dengan hewan karang
(Burke et al. 2002).

6

Gambar 2 Anatomi hewan karang (Birkeland 1997)
Hewan karang hidup bersimbiosis dengan alga bersel satu yang disebut
zooxanthellae. Zooxanthellae merupakan jenis alga dinoflagelata berwana coklat
dan kuning, yang dinyatakan sebagai Symbiodinium microadriaticum. Alga ini
juga hidup bersimbiosis dengan hewan-hewan lain di terumbu karang, seperti,
kima raksasa (Tridacna spp), anemon laut dan Coelenterata lainnya. Simbiosis
yang terjadi pada hewan karang dengan alga tersebut bersifat mutualisme dan
memberikan keuntungan bagi hewan karang maupun alga itu sendiri. Akan tetapi
selain memberikan keuntungan bagi hewan karang maupun zooxanthellae,
simbiosis tersebut memberikan konsekuensi. Keuntungan dan konsekuansi dari
simbiosis tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan
zooxanthellae
Keuntungan

Konsekuensi

Pengaruh tidak
langsung

Hewan karang
Mengurangi karbon,
menyediakan oksigen
untuk bernapas dan
metabolisme
Meningkatkan
pertumbuhan dan
reproduksi
Meningkatkan proses
kalsifikasi
Memberikan nutrisi

Tergantung kepada
pertumbuhan produksi alga
Peka terhadap tingkat oksigen
yang tinggi, sinar matahari dan
UV
Tidak dapat menerima alga
lainnya
Peka terhadap tekanan
lingkungan

Tidak bisa hidup
di daerah photic

7

Tabel 1 Keutungan dan konsekuensi dari simbiosis hewan karang dengan
zooxanthellae (Lanjutan)
Pengaruh tidak
Keuntungan
Konsekuensi
langsung
Zooxanthellae
Mendapatkan suplai CO2
dan nutrien dari hewan
karang

Perpindahan dari fraksi karbon
fotosintesis pada hewan

masukan nutrien
diatur

Adanya regulasi dari
pertumbuhan rata-rata sehingga
Terlindung di daerah
Terlindung dari
pertumbuhan zooxanthellae
photic
predator
pada hewan karang lebih
lambat dibanding dengan hidup
bebas
Terlindung dari bahaya
Terusir dari
Adanya potensi dikeluarkan
UV karena adanya jaringan
jaringan hewan
dari jaringan hewan karang
hewan karang
karang
Terjaga dari kepadatan
Suplai CO2 dan nutrien
populasi alga
dibatasi oleh hewan karang
Asosiasi simbiosis hewan karang
Meningkatkan
Menambah sensitivitas
pertumbuhan, dan
terhadap tekanan lingkungan
meningkatkan daya
yang bisa mempengaruhi alga,
kompetisi ruang pada
hewan karang atau keduanya
terumbu karang
Meningkatkan kemampuan Toleransi terhadap cahaya,
untuk membagi sumber
suhu dan sedimentasi menjadi
makanan dan ruang
terbatas
Sumber: (Birkeland 1997)
Nybakken (1992) mengelompokkan formasi terumbu karang menjadi tiga
kategori (Gambar 2), yaitu :
1. Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di
sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh
ke permukaan dan ke arah laut terbuka.
2. Terumbu karang penghalang (Barrier Reef), berada jauh dari pantai yang
dipisahkan oleh gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 -70 meter. Umumnya
terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai.
3. Atol, merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari
perairan dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu
gobah.

8

Gambar 3 Tahap pembentukan formasi terumbu karang dari yang termuda
(a) fringing reef (b) barrier reef (c) Atol ( Veron, 1986)

Parameter pembatas
Kelangsungan hidup dan pertumbuhan terumbu karang ditentukan oleh
beberapa faktor lingkungan. Soekarno et al. (1983) mengelompokkan parameterparameter tersebut yaitu: suhu, salinitas, cahaya, arus permukaan, sedimentasi dan
substrat. Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu
18 – 36° C, dengan suhu optimum 26 - 28 °C (Birkeland 1997), tetapi menurut
Nybakken (1992) terumbu karang dapat mentolelir suhu sampai 36 – 40 °C.
Menurut Sukarno et al, (1983), pada daerah tropis suhu rata-rata tahunan
perkembangan optimal terumbu karang adalah 25 - 30 °C. Karang hermatifik
adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang
menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32 – 35 ‰ (Nybakken
1992), meskipun pada salinitas ekstrem terumbu karang masih hidup, seperti di
Teluk Persia 46 ‰ dan di Laut Hindia Selatan 26 ‰ (Suharsono 1996).
Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
pertumbuhan terumbu karang dan membantu proses fotosintesis. Penetrasi cahaya
di perairan sangat bergantung kedalaman dan tingkat sedimentasi. Tingkat
kompensasi karang terhadap kedalaman terjadi sampai kedalaman dimana
intensitas cahaya kurang sampai 15 - 20 % dari intensitas permukaan (Nybakken
1992).
Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang
mengalami gelombang besar. Gelombang-gelombang itu memberikan sumber air
yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada
koloni. Gelombang-gelombang itu juga membawa nutrien dan unsur hara serta
plankton yang diperlukan oleh koloni karang (Nybakken 1992). Menurut

9

Tomascik et al. (1997), arus bermanfaat untuk pemindahan nutrien, larva dan
sedimen. Endapan dalam air dapat mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk
fotosintesis oleh zooxantellae dalam jaringan karang (Nybakken 1992).

Fungsi ekosistem terumbu karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki
produktivitas primer tinggi walaupun berada di habitat yang miskin nutrien.
Tingginya produktivitas primer tersebut membuat biota-biota yang ada didaerah
pesisir mulai dari plankton hingga ikan karang. Biota-biota tersebut menjadikan
ekosistem terumbu karang sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground).
Selain itu, kompleksitas morfologi susunan terumbu karang mampu memberikan
perlindungan bagi biota-biota untuk mengasuh juvenilenya pada masa mudanya
(nursery ground), serta sebagai tempat untuk memijah dan meletakkan telurnya
(spawning ground).
Selain fungsi ekologis, ekosistem terumbu karang juga memiliki fungsi
fisik. Struktur kapur yang keras dan stabil mammpu memberikan perlindungan
bagi pantai dari abrasi. Formasi karang yang terbentuk di perairan dangkal mampu
meredam hempasan gelombang yang masuk ke daerah pantai sehingga, energi
gelombang yang masuk menjadi lebih kecil.
Secara sosial, ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang sangat
penting. Lebih dari 1 milyar orang hidup di dalam radius 60 km dari terumbu
karang di daerah tropis termasuk indonesia. Selain itu juga separuh dari jumlah
tersebut sangat tergantung kepada terumbu karang sebagai sumber pangan dan
pendapatan. Sekitar 400 juta orang miskin di dunia bertumpu pada ekosistem
terumbu karang sebagai sumber utama protein mereka. Ikatan budaya dan
spiritual dengan terumbu karang juga dimiliki oleh manusia terutama penduduk
pulau-pulau di Indo-pasifik (Reid et al. 2011).
Potensi manfaat terumbu karang bagi indonesia secara umum diperkirakan
mencapai US$ 1,6 milyar dolar per tahun dari perikanan berkelanjutan,
perlindungan pantai dan pariwisata dengan manfaat ekonomi bersih untuk
terumbu karang berkisar US$270.000 per kilometer persegi (Reid et al. 2011).
Selain itu peluang-peluang pendidikan dan potensi manfaat farmasi dari senyawa
aktif produk-produk-produk hayati adalah beberapa diantaranya manfaat
ekosistem yang nilainya belum diketahui.

Pemutihan karang
Pemutihan karang adalah hilangnya warna terumbu karang sebagai dampak
dari berkurangnya densitas dan atau hilangnya zooxathellae yang merupakan alga
uniseluler dari genus Symbiodinium dari tubuh hewan karang. Alga Symbiodinium
terletak di jaringan endodermis hewan karang. Selain memberikan pigmen warna
alga tersebut menyediakan energi hewan karang sampai 90%. Pada umumnya
hewan-hewan pembentuk terumbu mengandung 1-5 x 106 zooxanthellae dari
setiap 1 cm2 jaringan hewan karang tersebut dan dalam setiap zooxanthellae
mengandung 2-10 pg klorofil. Sehingga ketika karang memutih, hewan karang

10

tersebut kehilangan 60-90% dari densitas zooxanthellae yang ada dalam hewan
karang serta setiap zooxanthellae kehilangan 50-80% pigmen fotosintesisnya
(Glynn 1996). Hilangnya zooxanthellae dari tubuh hewan karang sehingga hewan
karang menjadi transparan dan terlihat putih.
Peningkatan suhu dan radiasi ultraviolet mengakibatkan produksi berlebih
oksigen radikal. Kondisi tersebut akhirnya mendorong kerusakan sel pada
jaringan hewan karang sehingga hewan karang melakukan mekanisme pemutusan
simbiosis dengan alga untuk mengurangi kerusakan jaringan tersebut. Pemutusan
hubungan simbiosis tersebut berdampak pada keluarnya zooxanthellae dari
jaringan hewan karang (Lesser 2006). Kehilangan zooxanthellae mengakibatkan
juga hilangnya pigmen warna dalam hewan karang. Pada kondisi yang ekstrim
jaringan hewan karang akan terlihat transparan sehingga yang terlihat adalah
warna putih dari kerangka kapur terumbu (Fitt et al. 2000)
Karang yang sedang memutih masih berada dalam kondisi hidup, jika
kondisi tersebut berangsur pulih, dimana jumlah zooxanthellae kembali
meningkat maka karang dapat bertahan dari proses pemutihan tersebut. Walaupun
demikian karang putih yang masih hidup memiliki kemampuan tumbuh yang
menurun karena proses kalsifikasi yang menurun pula. Jika pemutihan karang
terus berlanjut dan zooxanthellae hilang dari hewan karang, pemutihan tersebut
bisa mengakibatkan kematian karang.
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya pemutihan karang. Pada skala
lokal pemutihan karang dapat di akibatkan oleh badai, penyakit karang,
sedimentasi, potassium, perubahan salinitas dan suhu. Peningkatan suhu laut 1-2º
C diatas suhu rata-rata maksimum dapat memicu terjadinya pemutihan karang.
Selain kenaikan suhu, ekspose cahaya yang berlebihan juga dapat mengakibatkan
pemutihan karang. Wilkinson (2000) menyatakan bahwa anomali peningkatan
suhu laut yang berkaitan dengan iklim yang biasanya berasosiasi dengan El Niño
Southern Oscillation (ENSO) telah mengakibatkan pemutihan karang dalam skala
yang luas dan dampak yang parah, seperti yang tercatat pada awal tahun 1980.
Selain berdampak terhadap ekologi, pemutihan karang juga berdampak pada
sektor-sektor lainnya, diantaranya:
1. Sektor ekonomi
Pemutihan karang dapat berdampak pada pariwisata dan perikanan dalam waktu
yang dekat, dan hilangnya fungsi perlindungan terhadap pantai serta fungsi-fungsi
lainnya (Wilkinson et al. 1999). Beberapa studi memprediksi kerugian secara
ekonomi akibat pemutihan karang pada tahun 1998 diperkirakan mencapai $7008200 Juta dollar khusus di wilayah Laut Hindia (Marshall dan Schuttenberg
2006)
2. Sektor perikanan
Ketergantungan nelayan tradisional terhadap ikan karang di seluruh negara tropis
semakin menguatkan potensi dari dampak pemutihan karang secara ekonomi.
Komposisi dan kesehatan ekosistem terumbu karang merupakan faktor yang
sangat penting terhadap struktur perikanan ikan karang melalui makanan dan
pelayanan yang disediakan oleh terumbu karang. Degradasi karang akibat
pemutihan karang dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan, komposisi dan
distribusi ikan karang.
3. Sektor pariwisata

11

Dampak dari degradasi terumbu karang akibat pemutihan karang, menyebabkan
hilangnya fungsi estetika dari terumbu karang. Hal ini berakibat secara langsung
terhadap nilai kepuasan terhadap para pelaku pariwisata. Dan pada akhirnya akan
berdampak pada penurunan aktivitas pariwisata lainnya seperti industri selam.

Pemulihan karang
Terumbu karang dapat pulih dari gangguan dengan dua mekanisme yaitu
rekruitmen dan regenerasi. Rekruitmen merupakan pemulihan karang setelah
terjadinya kerusakan dan kembali ke kondisi sebelum terjadinya kerusakan
tersebut. Rekolonisasi adalah proses penempelan dari larva planula karang pada
substrat yang tersedia. Regenerasi karang adalah pertumbuhan kembali dari
individu atau koloni karang setelah terjadinya kerusakan sebagian yang termasuk
di dalamnya pembentukan kembali potongan-potongan karang dari koloni
induknya (Pearson 1981).
Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dan
perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam.
Rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta
memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan. Proses rekrutmen
berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa
sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan
berlangsung secara terus menerus (Erwin et al. 2008).
Proses rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase
planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di
dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua
proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu
karang. Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan
rekrutmen adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses
menjadi anggota baru dalam populasi. Proses rekrutmen ditandai dengan
kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relatif kecil (juvenile) pada habitat
baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga
dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan
substrat untuk penempelan.
Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan. Tahapan awal adalah
keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam
bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan
orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli.
Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe
substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti
ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya
dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin 1991) ; (Richmon 1997). Penempelan
larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa
metamorfosis. Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang diindikasikan
oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula
menjadi koloni karang muda (juvenile).
Metamorfosis baru akan dilakukan jika larva planula benar-benar sudah
memastikan susbstrat untuk penempelan selamanya. Metamorfosis diawali dengan

12

proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk
mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan
pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi
mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya
mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga
mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini
dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi
sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel 1989) ; (Sorokin
1991) ; (Richmond 1997).
Proses penempelan karang terkait erat dengan kondisi lingkungan di
sekitarnya seperti tingkat sedimentasi, masukan nutrien, kedalaman, orientasi
substrat, pergerakan air dan temperatur (Wallace 1985); (Harriott 1992); (Maida
et al. 1994); (Mundy dan Babcock 1998); (Gilmour 1999); (Putnam et al. 2008).
Faktor biologi yang mempengaruhi proses rekruitmen adalah keberadaan makro
alga, Crustose Coralline Algae dan keberadaan karang lunak juga berpengaruh
terhadap pemilihan lokasi yang permanen bagi planula karang untuk menempel
sebelum proses metamorfosis terjadi metamorphosis (Morse dan Morse 1991);
Maida et al. 1995); (Harrington et al. 2004);(Birrell et al. 2008).
Lamanya komunitas karang dapat pulih setelah kematian akibat fenomena
pemutihan karang tergantung beberapa faktor, diantaranya: sumber larva karang,
kondisi rekruitmen karang di wilayah tersebut, adanya pengendaliaan terhadap
daya tahan karang setelah proses rekruitmen, dan rata-rata pertumbuhan karang.
Beberapa faktor lainnya yang berpengaruh terhadap pemulihan karang adalah:
- Kondisi yang sesuai untuk proses rekruitmen. Hal ini meliputi kondisi
perairan yang bagus, adanya Crustose Coralline Algae sebagai penyedia
substrat yang sesuai. Substrat dasar seperti karang hidup, sediment, dan fleshy
alga merupakan salah satu substrat yang tidak cocok untuk rekruitmen
karang. Selain dapat mengurangi tingkat kelangsungan hidup karang baru,
keberadaan alga juga dapat secara jangka panjang dapat menurunkan tingkat
rekruitmen karang.
- Konektivitas. Terumbu karang yang mengalami kematian karang yang tinggi
sangat tergantung pada konektivitas terhadap sumber karang hidup lainnya
sebagai sumber larva (Cowen et al. 2000). Sumber larva tersebut dapat
berasal dari luar daerah tersebut atau berasal dari lokal. Jika sumber larva
masih berada dekat, maka konektivitas wilayah tersebut dengan wilayah luar
tidak menjadi tergantung. Akan tetapi jika sumber larva berasal dari wilayah
luar wilayah yang mengalami kerusakan akan sangat tergantung pada suplai
larva yang berada di sekitarnya. Dalam konteks pemulihan karang akibat
pemutihan karang, proses pemulihan karang akan berjalan dengan optimal
jika terjadi kombinasi antara rekruitmen secara lokal maupun rekruitmen
yang berasal dari sumber luar.
- Grazing: Ikan herbivora memiliki peranan penting pada fase pemulihan
karang. Keberadaan ikan tersebut dapat mengendalikan keberadaan dan
pertumbuhan alga. Keberadaan ikan tersebut dapat mengurangi bahkan
mengganti kodisi substrat yang ditutupi alga menjadi substrat yang cocok
untuk penempelan larva karang.

13

3 METODE
Lokasi penelitian
Lokasi penelitian berada di Perairan Utara Aceh. Pengumpalan data ekologi
dilakukan di 24 titik pengamatan. Titik-titik pengamatan tersebut mewakili
wilayah berdasarkan hukum adat laut yang berlaku di Aceh (Gambar 4).
1. Pulau Aceh. Pengamatan di Pulau Aceh dilakukan di Pulau Nasi dan Pulau
Beras yang terletak di Kecamatan Pulo Aceh. Titik pengamatan ekologi
dilakukan pada 6 titik yaitu; Leun Balee 1, Deudap, Lamteng, Paloh, Lhoh,
Pasi Janeng 2. Berdasarkan pembagian wilayah panglima laut di Aceh, Pulau
Beras dan Pulau Nasi masuk dalam pengelolaan Panglima Laut Pulo Aceh.
Pada wilayah tersebut belum ada pengaturan alat tangkap yang spesifik,
sehingga di wilayah tersebut semua alat tangkap bisa beroperasi.
2. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pesisir Timur Pulau Weh (6 titik).
Pengamatan di lokasi Kawasan konservasi dilakukukan di Desa/Gampong
Anoi itam, Ie Meulee, Ujung Kareung, dan Kota Atas. Gampong Kota Atas, Ie
Meulee, dan Ujung Kareugn masuk kedalam pengelolaan Panglima Laut Ie
Meule. Sedangkan Gampong Anoi Itam masuk ke dalam pengelolaan
Panglima Laut Anoi Itam. Pengamatan ekologi di KKP Pantai Timur
dilakukan sebanyak 6 titik, diantaranta Itam, Benteng, Sumur tiga, Ujung
Kareung, Reuteuk and Ujung Seuke. KKP Pantai Timur merupakan kawasan
konservasi daerah yang ditetapkan oleh Kementrian Kelautan Perikanan. Pada
kawasan konservasi tersebut terdapat pengaturan alat tangkap, dimana alat
tangkap seperti jaring, alat bantu pernapasan (kompresor) dan alat tangkap
yang merusak lainnya tidak bisa beroperasi di wilayah ini. Wilayah ini terletak
di pesisir timur Pulau Weh Kota Sabang.
3. Taman Wisata Air Laut (TWAL) Iboih. Kawasan tersebut terletak di
Gampong Iboih Pulau Weh Kota Sabang. Berdasarkan pengelolaan panglima
laut di Aceh, TWAL Iboih masuk kedalam wilayah pengelolaan Panglima
Laut Iboih. Pada pengamatan ekologi dilakukan pada 6 titik diantaranya:
Batee Merunron, Lhok Weng, Rubiah Channel, Sea Garden, Ujung seurawan,
dan Canyon. Wilayah ini merupakan kawasan konservasi yang dikelola oleh
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Aceh. Pada wilayah ini terdapat
pengaturan alat tangkap, dimana semua alat tangkap jaring, kompresor dan
spear gun serta alat tangkap yang merusak lainnya tidak bisa beroperasi di
wilayah ini. Wilayah ini terletak di wilayah utara Pulau Weh Kota Sabang.
4. Weh Open access. Kawasan merupakan kawasan yang tidak termasuk ke
dalam KKP Pantai Timur dan TWAL Iboih, dimana wilayah ini secara terbuka
dapat diakses oleh nelayan dari manapun tanpa ada pembatasan dan
pengaturan alat tangkat. Wilayah ini terletak di Gampong Paya, Kenekai,
Jaboi dan Beurawang. Berdasarkan pengelolaan panglima laut di Aceh,
wilayah-wilayah tesebut termasuk kedalam wilayah pengelolaan Panglima
Laut Paya, Kenekai, Jaboi dan Beurawang. Pengamatan ekologi dilakukan
pada 6 titik diantaranya: Ba Kopra, Lhong Angin 2, Pulau Klah, Gapang,
Beurawang, Jaboi. Pada wilayah ini belum ada pengaturan alat tangkap.
Semua alat tangkap bisa beroperasi kecuali bom dan racun. Wilayah ini
terletak di Pulau Weh Kota Sabang.

14

14

Gambar 4 Lokasi penelitian

15

Metode pengambilan data
Data pada penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data-data primer tersebut adalah: tingkat pemutihan karang, komposisi penutupan
substrat, kelimpahan ikan herbivora, rekruitmen karang baru, dan ukuran karang.
Sedangkan data sekunder meliputi: data demografi, tingkat ketergantungan
masyarakat dan persepsi masyarakat.
Tingkat pemutihan karang keras
Tingkat pemutihan karang diukur berdasarkan metode “rapid assessment”
yang dikembangkan oleh Mcclanahan et al., 2001. Pengambil data menghitung
jumlah koloni karang dengan keterangan genera pada radius 2 m pada karang
dangkal seperti hamparan karang 1- 2 m maupun di bagian tubir 3-4 m. genera
karang tersebut kemudian di kategorikan berdasarkan tingkat pemutihan karang
(Tabel 2). Pada saat pengambilan data, pengambil data melakukan renang di
permukaan air dengan arah yang acak dengan ulangan minimal 30 kali. Jarak dari
tiap ulangan adalah 3 – 10 kayuhan renang.
Tabel 2 kategori pemutihan karang berdasarkan McClanahan et al. (2001)
Kondisi karang
Keterangan
Normal (C1)
- 100% jaringan karang sehat dan tidak ada tanda putih
- > 50% jaringan sehat dengan beberapa jaringan pucat dan
atau mati
Pucat (C2)
- 100% jaringan pucat
- > 50% jaringan pucat dan sebagiannya normal dan atau
mati
Putih (C3)
- Putih tingkat 1 (20% koloni putih)
(C4)
- Putih tingkat 2 (21% - 50% koloni putih)
(C5)
- Putih tingkat 3 (51% - 80% koloni putih)
(C6)
- Putih tingkat 4 (80%- 100% koloni putih)
Mati (C7)
- > 50% jaringan karang mati dengan beberapa tanda
pemutihan sebelumnya dan atau sebagian masih putih.
Survey tingkat pemutihan karang dilakukan pada 3 tahap, yaitu Bulan Mei
2010, Juli 2010 dan Februari 2011. Pada pengamatan bulan Mei dan Juli 2010
pengamatan hanya dilakukan pada kedalaman dangkal karena persiapan yang
sangat cepat dan survey harus segera dilaksanakan sehingga hanya mampu
melakukan survey pada kedalaman dangkal (< 4m). Sedangkan pada survey bulan
Februari 2011, pengamatan dilakukan pada dua kedalaman yaitu kedalaman
dangkal (< 4 m ) dan kedalaman dalam (7-8 m).
Komposisi penutupan substrat dasar
Metode yang digunakan adalah Point intercept Transect. Metode ini
bertujuan untuk melihat kondisi karang dan bentik substrat lainnya seperti
penutupan alga dan karang lunak (Hill dan Wilkinson 2004). Panjang transek
yang digunakan adalah 50 m dengan 3 ulangan yang diletakan pada daerah
dangkal (2-3 m) (Gambar 5). 100 titik variabel substrat seperti karang keras dan

16

alga dicatat setiap 50 cm. Perhitungan karang keras dicatat berdasarkan bentuk
pertumbuhan dan genus. Substrat diklasifikasikan dalam beberapa kategori:
karang lunak, fleshy algae, turf algae, red coralline algae, calcareous algae
(Halimeda), sponge dan pasir. Pengamatan substrat dasar dilakukan pada tahun
2009, 2011 dan 2013 pada titik, arah, kedalaman dan ulangan yyang sama dengan
referensi titik menggunakan posisi GPS dan tanda alam. Sehingga bisa bahwa
pengamatan yang dilakukan berada pada posisi yang relatif sama pada setiap
tahunnya.

Gambar 5

Metode pengambilan data substrat dasar dengan metode Point
Intercept Transect (Hill dan Wilkinson, 2004).

Kelimpahan ikan herbivora
Dalam memonitoring kondisi ikan karang khususnya ikan herbivora,
digunakan metode Underwater Visual Census (UVC) (Hill dan Wilkinson 2004).
Parameter yang akan diamati adalah kelimpahan ikan target dalam satuan area
terumbu karang. Kelimpahan ikan karang dicatat pada 3 x (5 m x 50 m) belt
transek untuk ikan ukuran >10 m, dan pada 3 x (2m x 50 m) untuk ikan ukuran <
10 cm (Gambar 6). Untuk ikan karang < 10 cm, jumlah ikan dicatat pada satu sisi
transek (1 m x 50 m) kemudian diikuti oleh pencatatan pada sisi lainnya.
Pendataan dilakukan pada kedalaman dangkal yaitu kedalaman 3 m. Patokan
transek pengamatan ikan karang menggunakan transek yang dibentangkan untuk
pengamatan substrat dasar dengan posisi yang sama pada tiap tahunnya.

17

Gambar 6 Metode Underwater Visual Census (Hill dan Wilkinson 2004)

Rekruitment karang baru
Data rekruitmen karang baru dikumpulkan dengan menggunakan metode
transek kuadrat 50 x 50 cm setiap 10 m sepanjang transect 3 x 50 m (Hill dan
Wilkinson 2004). Karang dengan ukuran < 4 cm dihitung dalam setiap transek
dan dilakukan pada kedalaman dangkal (3m) dan dalam (7-8m) (Hill dan
Wilkinson 2004) (Gambar 7). Peletakan transek kuadrat dilakukan pada titik 0,
10, 20 dan seterusnya dengan patokan transek substrat dasar.

Gambar 7 Metode transek kuadrat Hill dan Wilkinson 2004)

18

Data Sosial ekonomi Perikanan
Informasi-informasi yang terkait dengan sosial ekonomi dan pengelolaan
wilayah pesisir di Perairan Aceh utara yang meliputi Pulau Weh, Pulau Beras dan
Pulau Nasi dikumpulkan dengan data sekunder, dan interview langsung. Interview
dilakukan kepada masyarakat/nelayan, pelaku wisata, kepala desa dan tokoh
masyarakat seperti panglima laut yang ada di Pulau Weh Kota Sabang dan Pulau
Aceh.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi) dan wawancara dengan
menggunakan kuesioner. Informasi dari responden diperoleh melalui wawancara
mendalam secara individual dan berkelompok, yaitu dengan menggunakan
metode in-depth interview dan FGD (Focus Group Disscusion) disertai dengan
pengisian kuesioner. Informasi yang dibutuhkan juga diperoleh melalui metode
triangulasi,yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan ulang data dengan para
tokoh kunci yang ada di lapangan.
Penentuan responden dilakukan dalam dua tahap, yaitu menggunakan
metode purposive sampling dan metode simple random sampling. Metode
Purposive sampling adalah penentuan responden yang dilakukan secara sengaja
dengan menggunakan kriteria tertentu. Responden pada studi ini adalah nelayan di
Pulau Weh dan Pulau Aceh yang telah melaut selama 5 tahun atau lebih. Selian
itu juga target responden adalah pelaku wisata seperti operator selam, pemilik atau
pengurus operator selama yang telah bekerja di Pulau Weh lebih selama 5 atau
lebih. Tahap kedua, yaitu metode simple random sampling, menentukan
responden secara acak sekitar 10-15% yang mewakili tiap desa.
Analisis Data
Tingkat pemutihan karang
Data dianalis dengan menggunakan proporsi genera karang sampa