b, c, d b,c,d,e c
berkembangbiak berbagai jenis ikan komersial serta sebagai indikator banjir. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan Sungai Kuala Samboja sebagai sumber
air untuk mandi, mencuci, dan sarana transportasi mengangkut hasil pertanian Atmoko 2010. Pada musim kemarau sumur milik warga yang berada di tepi
pantai airnya menjadi asin, sehingga mereka menggunakan air dari Sungai Kuala
Samboja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Iklim, Tanah, dan Topografi
Rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir adalah 2.363 mmtahun, dengan rata-rata hari hujan 150 haritahun. Curah hujan tercatat pada stasiun
penakar curah hujan Unit Pelaksana Teknis UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja yang berjarak sekitar 0.5 km dari lokasi penelitian.
Curah hujan cenderung turun pada bulan Juli-Oktober Gambar 7. Data curah
hujan tersaji pada Lampiran 1.
Gambar 7 Rata-rata curah hujan tahun 2001 sd Februari 2012 yang tercatat di stasiun penakar curah hujan UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kecamatan Samboja.
Suhu udara selama tahun 2011 yang tercatat di Stasiun BMKG Balikpapan berkisar antara 22-34.7
o
C, dengan rata-rata 26.8
o
C. Rata-rata kelembaban udara
bulanan berkisar antara 82-93. Lokasi stasiun berjarak sekitar 38 km dari lokasi penelitian. Data suhu dan kelembaban udara tersaji pada Lampiran 2.
Topografi wilayah Kelurahan Kuala Samboja meliputi dataran rendah yang landai dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Dataran rendah di
tepi pantai dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai Kuala adalah muara sungai yang mengalirkan air dari sungai-sungai yang ada di daerah hulu seperti
Sungai Merdeka, Sungai Saka Kanan, dan Sungai Muara Wali. Kondisi tanah di Kecamatan Samboja sebagian besar terdiri dari tanah podsolik merah kuning,
tanah liat dan berpasir UPT DPTP Kecamatan Samboja 2011.
Flora dan Fauna
Vegetasi pada habitat bekantan di Sungai Kuala Samboja dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut menyebabkan terdapat perubahan formasi
vegetasi mulai dari muara sungai menuju ke arah hulu. Jenis floranya dicirikan oleh jenis-jenis yang umum dijumpai di daerah mangrove dan daerah tepi sungai
atau riparian. Fauna yang ada di sekitar Sungai Kuala Samboja adalah bekantan Nasalis
larvatus , monyet ekor panjang Macaca fascicularis Raffles, biawak Varanus
salvator Laurenti, berang-berang, Tupaiidae, beberapa jenis ular, bidawang
Pelochelys sp., Egreta sp., jenis elang dan jenis burung lainnya. Daerah muara sungai seperti Sungai Kuala Samboja memiliki sumberdaya perairan yang tinggi
di antaranya berbagai jenis ikan dan udang. Ikan yang sering dijumpai di Sungai Kuala Samboja adalah ikan kakap Lutjanus sp, baung Hemibagrus spp., Patin
Pangasius spp., otek Tachysurus sp., bulan-bulan Megalops sp., adungan
Hampala sp., dan udang galah Marco sp. Selain itu juga terdapat ikan gurame Osphronemus gouramy Lac. dan nila Oreochromis niloticus L. Atmoko
2010.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sd Februari 2012 di habitat bekantan di Kelurahan Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten
Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah perahu kelotok 5 HP horse power, GPS receiver
Garmin CSx60, binocular Brunton 10 x 40, laser distance measurement, komputer dengan software ArcView 3.3 dan MapSources, kamera DSLR, lensa
300 mm, kompas, pita meter, roll meter, pengering herbarium, dan stopwatch. Bahan yang digunakan adalah kertas koran, kertas label herbarium, flagging tape,
kertas milimeter blok, kertas kalkir, Snowman drawing pen, peta dasar digital provinsi Kalimantan Timur dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH IV
Kalimantan, dan peta Kuala Samboja dari GoogleEarth yang diakses tahun 2010.
Metode Kerja Pemetaan Fisik
Pengambilan data fisik sungai dilakukan dengan GPS-tracking menyusuri sungai termasuk anak sungai sejauh bisa dijangkau menggunakan perahu.
Kondisi lingkungan lain di sekitarnya seperti jalan raya, jalan setapak dan jembatan diambil koordinat dan data track-nya. Sungai yang dipetakan adalah
areal yang di sekitarnya digunakan sebagai habitat bekantan. Kondisi fisik sungai dan vegetasi secara umum didigitasi dari peta GoogleEarth dan sistem
koordinatnya disesuaikan dengan hasil pengambilan data track dan koordinat di lapangan serta data peta dasar dari BPKH Kalimantan.
Berdasarkan hasil pemetaan fisik sungai, selanjutnya dilakukan identifikasi lahan sekitar berdasarkan informasi dari ketua RT setempat dan informasi dari
masyarakat sekitar. Selanjutnya dilakukan checking ground untuk mengetahui
penggunaan lahan. Peta kondisi fisik sungai, habitat dan lahan di sekitarnya di- overlay
dengan software ArcView 3.3.
Habitat
Habitat di areal ini dibagi menjadi tiga komunitas yang mewakili tipe habitat bekantan. Deskripsi pembagian komunitas adalah sebagai berikut:
1. Komunitas rambai: Habitat bekantan yang mewakili daerah bawah paling dekat dengan
muara sungai, yaitu berjarak sekitar 1.75 km. Lokasi ini sebagian besar adalah bekas tambak masyarakat yang sudah tidak aktif.
Ditumbuhi oleh jenis mangrove, nipah dan tumbuhan bawah. Sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan hampir selalu tergenang
air. Pada saat air laut pasang atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 180 cm.
2. Komunitas rambai-riparian: Habitat bekantan yang mewakili daerah tengah yang berjarak sekitar
2.63 km dari muara sungai. Habitatnya berdekatan dengan permukiman penduduk dan jalan raya Balikpapan-Handil Dua.
Dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi jenis mangrove, nipah dan jenis-jenis riparian. Pada saat air laut pasang
atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 130 cm. 3. Komunitas riparian:
Habitat bekantan yang mewakili daerah atas yang berjarak sekitar 3.78 km dari muara sungai. Habitatnya berbatasan langsung dengan
kebun masyarakat dan areal penggembalaan ternak. Masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi oleh jenis-jenis
riparian. Pada saat air laut pasang atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 80 cm.
Struktur dan komposisi vegetasi penyusun habitat diketahui dengan analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak, modifikasi dari Soerianegara dan
Indrawan 1998. Masing-masing lokasi dibuat jalur sepanjang 200 m dengan lebar 20 m yang diletakkan secara purposive pada habitat, sehingga total petak
yang dibuat sebanyak 30 petak 1.2 ha. Jalur kemudian dibagi menjadi petak- petak berukuran 20 x 20 m untuk pengamatan vegetasi tingkat pohon atau
berhabitus pohon diameter 10 cm, sub-petak 5 x 5 m untuk vegetasi tingkat pancang diameter 10 cm; tinggi 1,5 m, dan sub-petak 2 x 2 m untuk tingkat
semai semai sd tinggi 1.5 m. Data yang diambil adalah jenis tumbuhan, diameter dbh=diameter breast height, dan tinggi. Jenis liana, rotan, dan jenis
merambat lainnya dicatat kehadirannya. Profil habitat dibuat sebanyak tiga buah masing-masing mewakili tiga tipe
komunitas. Profil habitat dibuat pada lokasi yang menjadi home range bekantan, terutama pada sekitar pohon pakan, tempat beraktivitas atau pohon tidurnya.
Profil habitat dibuat pada petak berukuran 20 x 100 m, memanjang tegak lurus tepi sungai Gambar 8. Untuk memudahkan penentuan posisi pohon pada petak
digunakan sistem koordinat y sejajar jalur rintisan dan x 10 m kekanan positif; 10 m ke kiri negatif. Data yang diambil adalah jenis pohon, dbh, tinggi bebas
cabang, tinggi total, dan lebar tajuk depan, belakang, kiri, kanan. Jenis tumbuhan yang ditemukan diambil spesimen herbariumnya untuk diidentifikasi
lebih lanjut dan mendapatkan nama ilmiah di Herbarium Wanariset Samboja WAN. Ketinggian air dicatat untuk penggambaran pasang tertinggi dan
terendah pada profil habitat. Pengukuran dilakukan langsung di lapangan atau berdasarkan tanda-tanda pasang tertinggi pada batang pohon.
Gambar 8 Bentuk dan ukuran petak untuk penggambaran profil habitat.
0 20 40 60 80 100
-10 m
10 m
~
S unga
i
~
Sumbu y
~ ~
S um
bu x
Jalur rintisan
Populasi
Perhitungan jumlah individu dilakukan dengan sensus secara langsung menggunakan metode konsentrasi dengan menggunakan perahu Bennett
Sebastian 1988. Dalam metode ini penghitungan dilakukan pada semua individu dalam kelompok bekantan dari atas perahu di tepi kiri dan kanan sungai. Sensus
dilakukan terutama pada pagi hari 06.00-10.00 saat bekantan masih berada di pohon tidur dan pada sore hari 14.00-18.00 saat bekantan menuju dan berada
pada pohon tidur di tepi sungai. Perhitungan kelompok dan individu dilakukan bersamaan dengan pengambilan data fisik sungai.
Setiap perjumpaan dengan kelompok bekantan dicatat lokasi, waktu perjumpaan, jumlah individu, struktur umur dan jenis kelaminnya. Jenis kelamin
dan kelas umur yang diamati pada penelitian ini didasarkan modifikasi dari Bennett dan Sebastian 1988. Kelas umur dan jenis kelamin yang diamati adalah
6 enam tingkat yaitu jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja, anak, dan bayi. Bayi bekantan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam satu
tingkat saja.
Habituasi dan Pengenalan Kelompok
Habituasi dilakukan untuk membiasakan bekantan dengan kehadiran peneliti, sehingga keberadaan peneliti tidak banyak berpengaruh terhadap
perilakunya. Pemilihan kelompok yang diamati adalah kelompok one-male group yang ada di komunitas rambai, komunitas rambai-riparian dan komunitas riparian.
Pengenalan kelompok yang akan dijadikan sampel pengamatan dilakukan dengan mencatat ciri-ciri pada kelompok. Ciri-ciri kelompok yang dijadikan pembeda
dengan kelompok lainnya adalah: jumlah individu dalam kelompok, jenis kelamin, struktur umur, dan tanda-tanda fisik individunya.
Pemanfaatan Ruang Habitat
Pengamatan pemanfaatan habitat dilakukan pada aktivitas bekantan secara horizontal dan vertikal strata ketinggian. Daerah jelajah harian bekantan
dilakukan dengan mengikuti kelompok bekantan melalui darat dan sungai, kemudian diambil data koordinat lokasinya setiap terjadi perpindahan.
Pengambilan titik koordinat sebisa mungkin pada posisi jantan dewasa, hal itu didasarkan pada asumsi bahwa jantan dewasa adalah pusat kelompok dan
mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumber daya yang ada dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain. Pencatatan posisi dilakukan dengan
menggunakan fasilitas sight and go pada GPS. Pada fasilitas tersebut GPS diarahkan pada posisi kelompok bekantan, kemudian dimasukkan data jarak
antara GPS dengan lokasi kelompok bekantan. Pengukuran jarak menggunakan laser distance measurement
, namun jika tidak memungkinkan dilakukan dengan estimasi jarak.
Pengamatan pemanfaatan ruang secara vertikal dilakukan berdasarkan strata ketinggian vegetasi. Strata vegetasi dikelompokkan menjadi strata-strata, yaitu: 0-
3 m, 3.1-6 m, 6.1-9 m, 9.1-12 m, dan 12 m. Pengamatan aktivitas yang dilakukan dalam pemanfaatan strata ketinggian dilakukan dengan metode
instantaneous sampling Altmann 1974. Pencatatan dilakukan pada jantan
dewasa dan betina dewasa yang menjadi target pengamatan setiap 30 menit dengan interval 1 menit mewakili aktivitas 12 jam 06.00-18.00. Pengamatan
dilakukan pada tiga kelompok sampel, dengan total satuan pengamatan sebanyak 4.084 satuan waktu pengamatan 2.026 jantan dan 2.058 betina. Pengamatan
secara tidak langsung dilakukan dengan mengamati bekas-bekas yang ditinggalkan seperti sisa pakan atau patahan ranting, jejak kaki dan feses.
Perilaku bekantan yang diamati adalah pemanfaatan strata pohon dan aktivitasnya. Aktivitas bekantan meliputi aktivitas makan, bergerak, sosial, istirahat, dan tidur.
Informasi pendukung, seperti kejadian-kejadian lain atau jenis satwaliar lainnya pada saat pengamatan atau di luar waktu pengamatan dicatat dengan
metode ad libitum. Pengamatan satwaliar, terutama jenis primata lainnya dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya interaksi atau tumpang
tindih penggunaan habitat dengan bekantan.
Jenis Pakan
Pengamatan aktivitas makan dilakukan bersama dengan pengamatan pemanfaatan ruang. Untuk mengetahui jenis tumbuhan dan bagian yang disukai
oleh bekantan dilakukan dengan metode IARF individual activity records of
feeding Yeager 1989. Pada metode ini, satu jenis tumbuhan yang dimakan oleh
satu individu bekantan yang teramati diberi nilai 1 satu. Dicatat juga bagian dari tumbuhan yang dimakan, meliputi daun, pucuk daun, buah, bunga, batang, dan
tangkai daun.
Analisis Data Habitat
Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis flora diketahui dari Indeks Nilai Penting, yaitu jumlah dari frekuensi relatif, kerapatan relatif dan dominansi
relatif Mueller-Dombois Ellenberg 1974. Khusus untuk vegetasi pada tingkat semai indeks nilai penting dihitung dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan
relatif dengan frekuensi relatif. Profil habitat disajikan dalam bentuk digambar profil dua dimensi pada kertas milimeter blok dengan proyeksi dari samping dan
dari atas penutupan tajuk, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat seberapa besar persamaan antar habitat dilakukan dengan
menghitung indeks kesamaan komunitas Jaccard Ludwig Reynolds 1988 dengan rumus:
JI
dimana: JI : Indeks Jaccard
a : jumlah jenis pada lokasi A b : jumlah jenis pada lokasi B
c : jumlah jenis pada lokasi A dan B
Populasi
Data kelompok, jumlah individu bekantan ditabulasi berdasarkan struktur umur, jenis kelamin dan dianalisis secara deskriptif.
Pemanfaatan Ruang Habitat
Titik koordinat pergerakan kelompok bekantan di-overlay dengan peta habitat dan grid 20 x 20 m 0.04 ha. Grid yang dilalui pergerakan bekantan di
arsir dengan arsiran berbeda antara home range dan core area-nya. Home range
kelompok bekantan dihitung dengan menjumlahkan grid yang dilalui oleh kelompok bekantan kemudian dikalikan luas grid.
Pergerakan secara vertikal, dihitung persentase penggunaan strata tajuk pada aktivitas makan, bergerak, sosial, istirahat, dan tidur. Data ditampilkan dalam
bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif. Signifikansi proporsi aktivitas dengan lokasi lain, preferensi pemanfaatan strata tajuk dan preferensi jam
aktivitas bekantan dianalisis menggunakan uji Chi-square
χ
2
, dengan formula Siegel 1990:
dimana: O
i
= banyak kasus diamati dalam kategori ke-i Ei
= banyak yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho ∑
= penjumlahan semua kategori k Hipotesis null Ho yang akan diuji adalah: 1 proporsi aktivitas bekantan
dengan lokasi lainnya tidak berbeda, 2 tidak ada preferensi aktivitas harian bekantan pada jam-jam tertentu, 3 tidak ada preferensi ketinggian tajuk untuk
aktivitas bekantan. Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika nilai χ
2
hitung lebih besar daripada
χ
2
tabel pada p = 0.01. Perbedaan pergerakan harian daily range antar kelompok bekantan
dianalisis dengan uji U Mann-Whitney Siegel 1990: 2
atau 2
dimana: n
1
= banyaknya kasus dalam kelompok yang lebih kecil n
2
= banyaknya kasus dalam kelompok yang lebih besar R
1
R
2
= jumlah ranking pada kelompok n
1
n
2
Hipotesis null Ho yang akan diuji adalah jarak pergerakan harian antar kelompok bekantan tidak berbeda. Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika
nilai U lebih besar daripada U tabel pada p = 0.01.
Jenis pakan yang digunakan oleh bekantan dijumlah skor masing-masing jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan kemudian di ranking untuk
mendapatkan jenis-jenis yang disukai. Data tampilkan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL Isolasi Habitat
Habitat bekantan di Kuala Samboja berada di sekitar aliran sungai Kuala Samboja sepanjang sekitar lima kilometer. Habitatnya tersisa hanya pada sisi
kanan dan kiri sungai dengan lebar antara 0-200 m. Habitat terisolasi dan terfragmentasi oleh berbagai infrastruktur, lahan masyarakat, dan aktivitas
masyarakat di sekitarnya. Isolasi dan fragmentasi habitat bekantan seperti tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Isolasi dan fragmentasi habitat bekantan di sekitar Sungai Kuala Samboja Lokasi
IsolasiAktivitas Sebelah utara
Areal penggembalaan ternak, pagar-pagar pembatas lahan masyarakat yang terbuat dari kawat atau kayu, kanal
normalisasi air Handil Jamur, Sungai Lempahung, kolam ikan, badan jalan baru, jalan tanah, dan jembatan.
Sebelah selatan Jalan raya, permukiman penduduk, kebun masyarakat,
bekas tambak, penambangan pasir, perusahaan pengolah limbah, dan jembatan.
Sebelah timur Permukiman penduduk, tambak, jembatan, dan Selat
Makassar. Sebelah barat
Kanal normalisasi air Sungai Jerangin, kebun masyarakat dan areal penggembalaan ternak
Aktivitas masyarakat lainnya di lokasi ini diantaranya adalah penggunaan sungai sebagai sarana transportasi, menjaring dan memancing ikan atau udang,
pengambilan daun nipah, aktivitas penggembalaan ternak, jasa pencucian mobil, dan digunakan sebagai sarana MCK mandi, cuci, kakus.
Luas areal yang masih viable menjadi habitat bekantan adalah sekitar 67.6 ha. Seluas 35.16 ha diantaranya di komunitas rambai, 19.64 ha di komunitas
rambai-riparian, dan 12.8 ha di komunitas riparian. Peta isolasi habitat bekantan di Kuala Samboja tersaji pada Gambar 9, sedangkan kondisi isolasi habitat
dijelaskan pada Lampiran 3.
35
Gambar 9 Peta isolasi habitat bekantan di sekitar Sungai Kuala Samboja.
Vegetasi Penyusun Habitat Jumlah jenis
Jenis tumbuhan yang menyusun habitat bekantan meliputi 79 jenis yang termasuk dalam 71 marga dan 45 suku, dari jumlah tersebut sebanyak 18 jenis
dari 17 marga dan 15 suku adalah jenis liana dan herba. Sebanyak 58 jenis 51 marga dan 33 suku diantaranya dijumpai pada petak analisis vegetasi. Daftar jenis
tumbuhan tersaji pada Lampiran 4.
Struktur dan Komposisi Jenis
Jenis yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas rambai hanya 4 jenis dengan dominansi rambai laut Sonneratia caseolaris baik pada tingkat
pohon INP = 287.97; kerapatan 158 individuha, pancang INP = 160.50; kerapatan 3.520 individuha dan semai INP = 83.33; kerapatan 1.500
individuha. Kerapatan dan INP jenis pada habitat bekantan di komunitas rambai tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4. Kerapatan dan INP jenis pada habitat bekantan di komunitas rambai
No Jenis K indha FR
KR DR INP
Pohon
1 Sonneratia caseolaris 158
90.91 98.44
98.62 287.97
2 Aglaia sp. 3
9.09 1.56
1.38 12.03
160 100.00
100.00 100.00 300.00
Pancang
1 Sonneratia caseolaris 3 520
46.15 46.56
67.79 160.50
2 Glochidion rubrum
1 400 38.46
18.52 7.51
64.49 3
Ardisia elliptica 2 640
15.38 34.92
24.70 75.00
7 560 100.00
100.00 100.00 300.00
Semai
1 Sonneratia caseolaris 1 500
33.33 50.00
- 83.33
2 Glochidion rubrum 1 250
33.33 41.67
- 75.00
3 Ardisia elliptica 250
33.33 8.33
- 41.67
3 000 100.00
100.00 -
200.00 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR =
Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting
Jenis liana, herba, dan tumbuhan lainnya di dalam dan di luar petak pengamatan diantaranya adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Deris
sp., Derris trifoliata, Flagellaria sp., Rhaphidophora sp., Scleria sp., dan Nipa
fruticans. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai seperti tersaji pada
Gambar 10.
Gambar 10. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai
Gambar 11. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai-riparian
Jenis yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas rambai-riparian terdapat 27 jenis. Vegetasi tingkat pohon didominansi oleh jenis S. caseolaris
INP = 77.76; kerapatan 60 individuha, tingkat pancang dan semai didominansi oleh jenis Ardisia elliptica INP = 132.28; kerapatan 4.560
individuha dan INP = 38.47; kerapatan 5.000 individuha. Kerapatan dan INP jenis pada komunitas rambai-riparian tersaji pada Tabel 5 dan Lampiran 5,
sedangkan kondisi habitat seperti pada Gambar 11. Tabel 5. Kerapatan dan INP lima jenis tertinggi pada habitat bekantan di
komunitas rambai-riparian
No Jenis
K indha FR KR DR INP
Pohon
1 Sonneratia caseolaris 60
11.76 24.00
42.00 77.76
2 Cerbera manghas 53
8.82 21.00
14.98 44.80
3 Ardisia elliptica 40
14.71 16.00
6.44 37.15
4 Syzygium polyanthum 18
8.82 7.00
9.17 25.00
5 Elaeocarpus stipularis 23
8.82 9.00
4.26 22.08
Pancang
1 Ardisia elliptica 4 560
23.33 55.07
53.87 132.28 2 Sonneratia caseolaris
800 3.33
9.66 14.67
27.67 3 Guioa diplopetala
640 6.67
7.73 11.18
25.58 4 Glochidion rubrum
320 13.33
3.86 1.24
18.43 5 Cerbera manghas
560 3.33
6.76 6.96
17.06
Semai
1 Ardisia elliptica 5 000
16.00 22.47 -
38.47 2 Teijsmanniodendron coriaceum
4 500 8.00
20.22 - 28.22
3 Ficus sp. 2 2 250
16.00 10.11 -
26.11 4 Elaeocarpus stipularis
2 500 12.00
11.24 - 23.24
5 Melastoma malabathricum 3 000
8.00 13.48 -
21.48 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR =
Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting
Jenis palem, liana dan herba lainnya yang berada di dalam dan di luar petak pengamatan pada komunitas rambai-riparian diantaranya adalah Nipa fruticans,
Acanthus ilicifolius , Acrostichum aureum, Bauhinia sp., Calamus sp., Deris sp.,
Derris trifoliata , Flagellaria sp., Mikania scandens, Rhaphidophora sp., Scleria
sp., Uncaria sp., dan Famili Zingiberaceae. Jumlah jenis tumbuhan yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas
riparian adalah 47 jenis. Vegetasi tingkat pohon didominansi oleh jenis Vitex pinnata
INP = 108.98; kerapatan 242.5 individuha, tingkat pancang dan
semai didominansi oleh jenis Elaeocarpus stipularis INP = 73.03; kerapatan 400 individuha dan INP = 36.54; kerapatan 2250 individuha. Kerapatan dan
INP jenis pada komunitas riparian tersaji pada Tabel 6 dan Lampiran 6, sedangkan kondisi habitat seperti pada Gambar 12.
Tabel 6. Kerapatan dan INP lima jenis tertinggi pada habitat bekantan di komunitas riparian
No Jenis
K indha FR KR DR INP
Pohon
1 Vitex pinnata 243
18.75 44.50 45.74 108.98
2 Elaeocarpus stipularis 135
18.75 24.77 13.13
56.65 3 Heynea trijuga
98 14.58
17.89 11.47 43.94
4 Hevea brasiliensis 3
2.08 0.46 12.36
14.90 5 Artocarpus elasticus
10 6.25
1.83 1.86
9.94
Pancang
1 Elaeocarpus stipularis 400
17.16 12.66 43.21
73.03 2 Leea indica
200 27.61
6.33 6.12
40.06 3 Heynea trijuga
240 6.72
7.59 8.11
22.42 4 Baccaurea motleyana
280 4.10
8.86 2.79
15.75 5 Garcinia parvifolia
80 2.61
2.53 6.63
11.77
Semai
1 Elaeocarpus stipularis 2 250
17.39 19.15 -
36.54 2 Leea indica
1 500 13.04
12.77 - 25.81
3 Ficus sp. 1 1 000
8.70 8.51 -
17.21 4 Urophyllum sp.
750 6.52
6.38 - 12.90
5 Baccaurea motleyana 500
4.35 4.26 -
8.60 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR =
Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting
Jenis liana dan herba lainnya yang berada di dalam dan di luar petak pengamatan pada komunitas riparian diantaranya adalah Bauhinia sp., Calamus
sp., Embelia sp., Flagellaria sp., Imperata cylindrica, Meremia sp., Mikania scandens
, Rhaphidophora sp., dan Stenochlaena palustris.
Gambar 12. Kondisi habitat bekantan di komunitas riparian
Profil Habitat
Berdasarkan profil habitat yang dibuat pada komunitas riparian, menunjukkan kondisi pohon dbh 10 cm rapat 400 pohonha, tajuk saling
tumpang tindih satu dengan lainnya, dan hanya 1.2 pohon yang ketinggiannya lebih dari 15 m. Pada jarak sekitar 75 m dari tepi sungai sudah tidak dijumpai
vegetasi tingkat pohon, yang ada hanya padang rumput dan semak belukar. Kerapatan pohon di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian hampir
sama yaitu 155 pohonha dan 165 pohonha. Pada habitat komunitas rambai masih terdapat pohon S. caseolaris yang tinggi dan berdiameter besar, demikian
juga di habitat rambai-riparian, namun jumlahnya lebih sedikit, sedangkan daerah tepi sungai didominansi oleh nipah Nipa fruticans. Kondisi tajuk yang
diskontinyu pada komunitas rambai dan rambai-riparian menyebabkan seluruh permukaan tanah tertutup oleh tumbuhan bawah. Profil habitat pada komunitas
rambai, komunitas rambai-riparian dan komunitas riparian tersaji pada Gambar 13, 14 dan 15, sedangkan data pohon dalam profil tersaji pada Lampiran 7, 8, dan
9.
41
Gambar 13 Profil habitat bekantan pada komunitas rambai di Kuala Samboja.
Gambar 14 Profil habitat bekantan pada komunitas rambai-riparian di Kuala Samboja.
43
Gambar 15 Profil habitat bekantan pada komunitas riparian di Kuala Samboja.
Kesamaan Komunitas
Komunitas tumbuhan pada tiga lokasi habitat bekantan berbeda antara satu dengan lainnya. Hal itu dapat dilihat berdasarkan indeks kesamaan komunitas
Jaccard yang menunjukkan bahwa komunitas rambai-riparian dengan komunitas riparian memiliki kesamaan komunitas sebesar 0.28, komunitas rambai dengan
komunitas rambai-riparian sebesar 0.13, sedangkan komunitas rambai dengan komunitas riparian hanya 0.06 Tabel 7.
Tabel 7 Matrik indeks kesamaan komunitas Jaccard antar tiga lokasi habitat. Komunitas
rambai Komunitas
rambai-riparian Komunitas
riparian Komunitas rambai
1.00 0.13
0.06 Komunitas rambai-riparian
1.00 0.28
Komunitas riparian 1.00
Populasi dan Penyebaran
Populasi bekantan yang teramati secara langsung adalah sekitar 143 ekor. Populasi bekantan tersebut sebanyak 98 ekor yang terbagi dalam 9 kelompok
dapat diidentifikasi dan dikenali oleh peneliti, sedangkan 45 ekor lainnya tidak dapat dipastikan jumlah kelompoknya. Hal itu dikarenakan keterbatasan peneliti
untuk dapat mengidentifikasi seluruh kelompok, setiap kelompok memiliki daerah jelajahnya masing-masing dan antar kelompok saling tumpang tindih. Sembilan
kelompok bekantan yang dapat diidentifikasi, 6 kelompok diantaranya adalah one male group
OMG, yang berada di komunitas rambai sebanyak satu kelompok, di komunitas rambai-riparian empat kelompok dan di komunitas riparian satu
kelompok. Tiga kelompok lainnya adalah all male group AMG, yang tersebar di komunitas rambai sebanyak dua kelompok dan satu kelompok di komunitas
riparian. Bekantan yang tidak dapat diidentifikasi seluruhnya berada di komunitas rambai. Sex ratio yang dihitung berdasarkan jumlah individu dewasa dan remaja
pada pada kelompok OMG adalah 1: 3.9. Komposisi kelompok tersaji pada Tabel 8. Penyebaran bekantan pada habitat berdasarkan indikasi titik perjumpaan dan
informasi masyarakat tersaji pada Gambar 16.
Tabel 8 Komposisi kelompok bekantan di Kuala Samboja LokasiKomunitas
Kelompok Jumlah
JD JR
BD BR An By Riparian
AMG 1
6 2
4 Riparian
Raja 10
1 1
3 1
3 1
Rambai-Riparian Zacky
12 1
6 4
1 Rambai-Riparian
Becky 12
1 5
1 3
2 Rambai-Riparian
J-Bond 15
1 6
2 3
3 Rambai-Riparian
Baha 5
1 3
1 Rambai
AMG 2
15 4
8 3
Rambai AMG
3 13
3 8
2 Rambai
Stan 10
1 1
4 4
Rambai Unidentified
45 Total
143 15
22 27
4 23
7 Keterangan: JD=jantan dewasa; JR=jantan remaja; BD=betina dewasa; BR=betina
remaja; An=anak; By=bayi
Gambar 16 Indikasi titik penyebaran bekantan di Kuala Samboja.
Pengenalan Kelompok
Kelompok yang dipilih menjadi sampel dalam pengamatan perilaku sebanyak tiga kelompok. Alasan pemilihan kelompok sampel diantaranya adalah:
mewakili tiga komunitas habitat, mudah mengenali kelompok, bisa dibedakan dengan kelompok yang lain, dan bisa diikuti pergerakan hariannya. Selanjutnya
dilakukan pengenalan kelompok sampel dan habituasi. Bekantan di lokasi ini berdekatan dengan aktivitas masyarakat, sehingga sudah terbiasa dengan
kehadiran manusia dalam jarak yang relatif dekat. Hal tersebut sangat membantu dalam proses habituasi. Deskripsi tiga kelompok sampel tersebut adalah sebagai
berikut: Kelompok Stan
: Kelompok yang mewakili komunitas habitat rambai. Jumlah individu 10 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan
dewasa, 1 ekor jantan remaja, 4 ekor betina dewasa dan 4 ekor anak. Kelompok ini lebih dicirikan dengan masih
adanya keberadaan jantan remaja dalam kelompok. Kelompok Zacky : Kelompok yang mewakili komunitas habitat rambai-
riparian. Jumlah individu 12 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan dewasa, 6 ekor betina dewasa, 4 ekor anak dan 1 ekor
bayi. Aktivitas kelompok ini simpatrik dengan kelompok Becky
yang jumlahnya juga 12 ekor, namun berbeda dalam struktur umurnya. Selain itu jantan dewasa pada kelompok
Becky dicirikan dengan postur tubuh yang lebih besar.
Kelompok Raja : Kelompok yang mewakili komunitas habitat riparian.
Jumlah individu sebanyak 9 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan dewasa, 1 ekor jantan remaja, 3 ekor betina dewasa,
1 ekor betina remaja dan 3 ekor anak. Kelompok ini mudah dikenali, karena hanya ada dua kelompok yang
menggunakan habitat ini. Kelompok yang hidup simpatrik dengan kelompok ini adalah kelompok all-male group.
Proporsi Aktivitas
Secara umum pola proporsi aktivitas time budget harian kelompok Stan dan Zacky hampir sama. Aktivitas makan tertinggi pada kelompok Stan 33.4,
aktivitas bergerak dan tidur paling banyak pada kelompok Raja 20.5 dan 28.1, istirahat dan sosial tertinggi pada kelompok Zacky 37 dan 2.1
Gambar 17.
tidur makan
bergerak sosial
istirahat Gambar 17 Perbandingan proporsi aktivitas tiga kelompok bekantan Stan a,
Zacky b dan Raja c di Kuala Samboja.
Berdasarkan analisis Chi square dengan didasarkan nilai frekuensi harapan menurut Bismark 1986 menunjukkan kesamaan proporsi aktivitas bekantan di
TN Kutai dengan kelompok Zacky χ
2
= 8.55; db = 2; p 0.01 dan Raja χ
2
= 0.04; db = 2; p 0.01, sedangkan kelompok Stan proporsi aktivitasnya berbeda
χ
2
= 15.48; db = 2; p 0.01.
a b
istirahat makan
bergerak sosial
tidur Gambar 18 Proporsi aktivitas bekantan jantan a dan betina b di Kuala
Samboja. Berdasarkan jenis kelamin, betina memiliki aktivitas makan dan bergerak
lebih tinggi 32.6 dan 11.5 dibandingkan jantan 28.4 dan 10.6, namun aktivitas istirahat termasuk tidur jantan lebih tinggi 61.0 dari betina 53.3.
Proporsi aktivitas jantan dan betina tersaji pada Gambar 18. Aktivitas sosial
hanya dilakukan oleh betina saja, yaitu sebesar 2.5, meliputi aktivitas allogrooming
dan menyusui. Allogrooming dilakukan oleh betina dewasa terhadap betina dewasa lain atau betina dewasa terhadap anaknya.
Aktivitas Harian
Aktivitas makan kelompok Stan meningkat mulai pagi hari pukul 06.00 sampai dengan 08.00, kemudian cenderung menurun pada siang hari sekitar pukul
10.00 - 13.00. Pada sore hari pukul 16.00 - 17.00 aktivitas makan meningkat mencapai 69. Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada siang hari pukul 10.00 -
13.00 berkisar antara 71 - 90. Aktivitas istirahat pada siang hari banyak dilakukan oleh bekantan untuk tidur, yaitu berkisar 34 - 78. Aktivitas bergerak
banyak dilakukan pada pukul 14.00 - 15.00, yaitu sebesar 20 Gambar 19. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Stan mempunyai preferensi
waktu tertentu untuk beraktivitas makan χ
2
= 100.7; p 0.01; n = 479, bergerak χ
2
= 104.8; p 0.01; n = 60 dan istirahat χ
2
= 70.8; p 0.01; n = 873. Aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu untuk beraktivitasnya χ
2
= 13.6; p 0.01; n = 20.
makan tidur
istirahat bergerak
sosial Gambar 19 Aktivitas harian kelompok Stan.
Aktivitas makan kelompok Zacky mulai pagi hari sampai pukul 14.00 tidak banyak mengalami perubahan hanya pada pukul 10.00 - 12.00 aktivitas makannya
menurun seiring dengan aktivitas istirahat dan tidur yang tinggi. Pukul 14.00 aktivitas makan dan bergerak mulai meningkat kembali sampai pukul 17.00
menjelang istirahat di pohon tidur, dengan ditandai aktivitas istirahat diam yang meningkat. Grafik aktivitas harian kelompok Zacky tersaji pada Gambar 20.
Aktivitas istirahat pada pagi hari banyak digunakan untuk tidur, sedangkan pada sore hari cenderung digunakan untuk istirahat diam. Aktivitas istirahat tidur
mulai teramati sejak pagi hari sampai pukul 15.00, dan aktivitas tidur tertinggi terjadi pada tengah hari pukul 11.00 - 12.00, sebesar 24 saat kondisi matahari
panas terik. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Zacky menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk beraktivitas makan χ
2
= 67.1; p 0.01; n = 403, bergerak χ
2
= 44.6; p 0.01; n = 114, sosial χ
2
= 60.8; p 0.01; n = 26, dan istirahat χ
2
= 76.9; p 0.01; n = 757.
makan tidur
istirahat bergerak
sosial Gambar 20 Aktivitas harian kelompok Zacky.
Aktivitas makan kelompok Raja dilakukan mulai pagi hari dan menurun pada pukul 10.00 - 12.00, kemudian cenderung meningkat lagi sampai sore pukul
17.00. Aktivitas bergerak kelompok Raja dibandingkan dua kelompok lainnya terlihat tidak beraturan pada waktu tertentu aktivitasnya sangat tinggi mencapai
lebih dari 70, namun pada jam tertentu sama sekali tidak melakukan pergerakan. Grafik aktivitas harian kelompok Raja tersaji pada Gambar 21. Berdasarkan
analisis statistik aktivitas kelompok Raja menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk melakukan aktivitas makan χ
2
= 130; p 0.01; n = 392, bergerak χ
2
= 338.8; p 0.01; n = 286, dan istirahat χ
2
= 168.9; p 0.01; n = 709, sedangkan aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu χ
2
= 16.6; p 0.01;
n = 5.
makan tidur
istirahat bergerak
sosial Gambar 21 Aktivitas harian kelompok Raja.
Pergerakan horizontal
Rata-rata jarak pergerakan harian ketiga kelompok bekantan adalah 320.4 m dengan kisaran 25.7-749.9 m. Pergerakan harian kelompok Stan meliputi daerah
di sekitar kanal Handil Jamur dan bekas tambak masyarakat. Koordinat pergerakannya berkisar antara 01
o
01’45” sd 01
o
02’05” LS dan 117
o
10’50” sd
117
o
11’25” BT. Pergerakan harian kelompok Stan rata-rata 289.2 m 96.6 - 537.5 m. Pergerakan harian kelompok Stan tersaji pada Gambar 22. Core area yang
digunakan adalah pada pohon S. caseolaris, yaitu sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat untuk beraktivitas. Pohon lain yang sering digunakan untuk
beristirahat pada siang hari adalah pohon Aglaia sp. Pergerakan kelompok Zacky adalah di sekitar jembatan Kumala yang
berdekatan dengan jalan raya dan permukiman penduduk. Kelompok ini sering menggunakan pohon S. caseolaris yang berada sekitar 15 - 20 m dari jalan raya.
Koordinat pergerakannya berkisar antara 01
o
01’40” sd 01
o
01’50” LS dan 117
o
09’12” sd 117
o
12’42” BT. Jarak jelajah harian kelompok Zacky rata-rata adalah 260.7 m 25.7 – 482.8 m. Pergerakan harian kelompok Zacky tersaji pada
Gambar 23. Pohon yang sering digunakan untuk istirahat pada siang hari selain S. caseolaris
adalah Syzygium polyanthum, sedangkan pohon tidurnya adalah S. caseolaris
dan Aglaia sp.
Gambar 22 Pergerakan kelompok Stan tanggal 25-26 Nopember dan 18-25 Desember 2011.
Gambar 23 Pergerakan kelompok Zacky pada tanggal 30 September sd 10 Oktober 2011.
Gambar 24 Pergerakan kelompok Raja pada tanggal 31 Januari sd 6 Februari 2012.
Pergerakan kelompok Raja adalah di sekitar kebun buah dan karet masyarakat, dibelakang perusahaan pengolah limbah sampai di sekitar kanal
Sungai Jerangin. Koordinat pergerakan harian berkisar antara 01
o
01’15” sd 01
o
00’30” LS dan 117
o
09’05” sd 117
o
09’40” BT. Jarak pergerakan harian kelompok Raja rata-rata adalah 449 m 109.9 – 749.9 m. Pergerakan harian
tersaji pada Gambar 24. Kelompok Raja menggunakan pohon V. pinnata, H. braziliensis
, dan
Artocarpus elasticus
sebagai pohon tidurnya. Jarak pergerakan harian tiga kelompok yang diamati secara statistik berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Antara kelompok Stan dengan Zacky berbeda secara signifikan U = 39; n
1
= 9; n
2
= 9; α = 0.01, demikian pula kelompok Stan dengan Raja U = 14; n
1
= 5; n
2
= 9; α = 0.01, dan Zacky dengan Raja U = 15; n
1
= 5; n
2
= 9; α = 0.01. Luas home range kelompok Stan adalah 4.92 ha, sedangkan kelompok
Zacky seluas 4.52 ha. Home range kelompok Zacky sebagian besar tumpang
tindih dengan kelompok Becky dan sedikit bersinggungan dengan kelompok J- Bond
. Home range kelompok Raja adalah seluas 6.92 ha. Peta home range kelompok Stan, Becky dan Raja masing tersaji pada Lampiran 10, 11 dan 12.
Pemanfaatan Strata Tajuk
Aktivitas makan dan bergerak kelompok Stan dan Zacky banyak dilakukan pada ketinggian 0 - 3 m 36.9 dan 76.8. Kedua kelompok tersebut berbeda
dalam aktivitas sosial dan istirahatnya, dimana lebih dari 60 aktivitas sosial dan istirahat kelompok Stan pada ketinggian 6 m, sedangkan kelompok Zacky pada
ketinggian 6 m. Hal yang berbeda ada pada kelompok Raja yang aktivitasnya sebagian besar dilakukan pada strata tengah dan atas.
T in
g g
i m
Makan N=733 Bergerak N=95 Istirahat N=669 Tidur N=497 Total N=2021
Aktivitas Gambar 25 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Stan.
Kelompok Stan secara umum menggunakan seluruh strata pada habitat untuk beraktivias. Aktivitas makan dan bergerak banyak dilakukan pada
ketinggian 0-3 m, bahkan aktivitas bergerak lebih dari 55 dilakukan pada ketinggian ini. Penggunaan strata untuk aktivitas istirahat dan tidur memiliki pola
yang hampir sama yaitu lebih banyak dilakukan di ketinggian 9-12 m Gambar 25. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat preferensi penggunaan
strata pohon pada aktivitas secara umum χ
2
= 229.8; p 0.01; db = 4; N = 2021, aktivitas makan χ
2
= 207.5; p 0.01; db = 4; N = 733, bergerak χ
2
=192.1; p 0.01; db = 4; N = 95, istirahat χ
2
= 120.1; p 0.01; db = 4; N = 696, dan tidur χ
2
= 124.1; p 0.01; db = 4; N = 497. Kelompok Stan menggunakan strata atas lebih dari 12 m masih cukup
tinggi, yaitu sebanyak 16.8. Hal tersebut dikarenakan pada habitatnya di komunitas rambai masih banyak dijumpai pohon dengan ketinggian lebih dari 12
m. Jika dilihat di dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, terdapat sebanyak 20 pohon 7.9 memiliki ketinggian berkisar antara 12-19 m Gambar 26.
T ingg
i m
Diameter pohon cm Aktivitas bekantan
Gambar 26 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Stan.
Kelompok Zacky secara umum menggunakan strata ketinggian paling banyak pada ketinggian 0-6 m dan berangsur-angsur menurun seiring dengan
bertambahnya ketinggian, kecuali pada aktivitas tidur yang lebih dari 40 dilakukan pada ketinggian 3-6 m dan tidak menggunakan strata lebih dari 12 m
Gambar 27. Perhitungan statistik menunjukkan terdapat preferensi pemilihan ketinggian strata pohon terhadap aktivitas secara umum χ
2
= 532.6; p 0.01; db = 4; N = 1809, aktivitas makan χ
2
= 120.6; p 0.01; db = 4; N = 495, bergerak χ
2
=234.8; p 0.01; db = 4; 156, istirahat χ
2
= 170.5; p 0.01; db = 4; N = 664, dan tidur χ
2
= 265.0; p 0.01; db = 4; N = 494. Kelompok Zacky menggunakan strata atas lebih dari 12 m hanya sebanyak
5.6. Hal tersebut dikarenakan pada habitatnya di komunitas rambai-riparian, pohon dengan tinggi lebih dari 12 m jumlahnya lebih sedikit dibandingkan di
komunitas rambai. Jika dilihat di dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, hanya 4.6 pohon yang tingginya berkisar 12-18 m Gambar 28.
T in
g g
i m
Makan N=495 Bergerak N=156 Istirahat N=664 Tidur N=494 Total N=1809
Aktivitas Gambar 27 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Zacky.
T inggi
m
Diameter pohon cm Aktivitas bekantan
Gambar 28 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Zacky.
Aktivitas kelompok Raja dalam menggunakan strata ketinggian banyak dilakukan pada ketinggian 3-9 m. Aktivitas makan dan bergerak banyak
dilakukan pada ketinggian 3-9 m, istirahat banyak dilakukan pada ketinggian 6-12 m, sedangkan tidur rata-rata dilakuka pada ketinggian diatas 6 m dan tidak pernah
di lakukan di bawah Gambar 29. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat preferensi penggunaan strata pohon terhadap aktivitas secara umum χ
2
= 435.8; p 0.01; db = 4; N = 1695, aktivitas makan χ
2
= 167.8; p 0.01; db = 4; N = 536, bergerak χ
2
= 209.1; p 0.01; db = 4; 264, istirahat χ
2
= 149.1; p 0.01; db = 4; N = 394, dan tidur χ
2
= 205.1; p 0.01; db = 4; N = 501.
T in
g g
i m
Makan N=536 Bergerak N=264 Istirahat N=394 Tidur N=501 Total N=1695
Aktivitas Gambar 29 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Raja.
K et
inggi an
m
Diameter pohon cm Aktivitas bekantan
Gambar 30 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Raja.
Komunitas riparian banyak dijumpai pohon dengan tinggi 12 m ke atas namun pohon-pohon tersebut sebagian besar berdiameter kecil. Jika dilihat di
dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, sebanyak 59 pohon dengan tinggi 12 m, 56 diantaranya berdiameter kurang dari 20 cm, sehingga bekantan banyak
melakukan aktivitas di strata tengah Gambar 30.
Jenis Pakan
Sekurang-kurangnya terdapat 21 jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja. Sebanyak 12 jenis berhabitus pohon, 2 jenis pohon kecil, 5 jenis
liana, 1 jenis paku-pakuan dan 1 jenis semak. Berdasarkan perhitungan IARF menunjukkan bahwa lima jenis tumbuhan paling disukai bekantan. Jenis tersebut
adalah rambai laut Sonneratia caseolaris, laban Vitex pinnata, Deris sp., karet Hevea braziliensis dan api-api Avicenia cf. officinalis. Jenis tumbuhan sumber
pakan bekantan dan bagian yang makan tersaji pada Tabel 9.
58 Tabel 9 Jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja
No Suku
Jenis Habitus
Bagian dimakan IARF
Relatif Kelompok
teramati Habitat
Daun Buah Bunga Pucuk Tangkai batang 1 Sonneratiaceae
Sonneratia caseolaris Pohon
√ √
√
82 34.5
3-10 A, B
2 Verbenaceae Vitex pinnata
Pohon
√ √
b
√
a
46 19.3
1-6 B, C
3 Leguminosae-pap. Deris
sp. Liana
√
18 7.6
3, 9 A, B
4 Euphorbiaceae Hevea brasiliensis
Pohon
√ √
b
17 7.1
1-2 C
5 Avicenniaceae Avicenia cf. officinalis
Pohon
√ √
13 5.5
7-8 A
6 Acanthaceae Acanthus ilicifolius
Semak
√
9 3.8
9 A
7 Araceae Raphidophora
sp. Liana
√
9 3.8
3, 9 A, B
8 Leguminosae-caes. Bauhinia sp. Liana
√ √
6 2.5
2 C
9 Leguminosae-pap. Derris trifoliata
Liana
√ √
6 2.5
3 B
10 Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis
Pohon
√
a
√
b
√
5 2.1
1-2 C
11 Flagellariaceae Flagelaria
sp. Liana
√ √
4 1.7
3-5, 9 A, B
12 Malvaceae Hibiscus tiliaceus
Pohon
√
4 1.7
1-2 C
13 Dipterocarpaceae Vatica pauciflora
Pohon
√
4 1.7
1-2 C
14 Anacardiaceae Buchanania arborescens
Pohon
√ √
√
3 1.3
2 C
15 Rubiaceae Oxyceros longiflora
Pohon kecil
√
3 1.3
5 B
16 Euphorbiaceae Baccaurea motleyana
Pohon
√
2 0.8
2 C
17 Verbenaceae Teijsmanniodendron
coriaceum Pohon kecil
√
2 0.8
5 B
18 Myrtaceae Syzygium
sp Pohon
√
2 0.8
10 A
19 Dilleniaceae Dillenia suffruticosa
Pohon
√
1 0.4
2 C
20 Meliaceae Sandoricum koetjape
Pohon
√
1 0.4
1 C
21 Blechnaceae Stenochlaena palustris
Paku-pakuan
√
1 0.4
2 C
238 100
Keterangan: Kelompok : 1. AMG1; 2. Raja; 3. Zacky; 4. Becky; 5. J-Bond; 6. Baha; 7. AMG2; 8. AMG3; 9. Stan; 10. Unidentified. Habitat
: A = Komunitas rambai; B = Komunitas rambai-riparian; C = Komunitas riparian Sumber
:
a
Matsuda 2008;
b
Soendjoto et al. 2006
PEMBAHASAN
Tekanan Terhadap Habitat
Tekanan isolasi dan fragmentasi habitat bekantan di Kuala Samboja diperkirakan akan semakin besar dimasa yang akan datang. Hal itu dikarenakan
semakin berkembangnya daerah, jumlah penduduk semakin meningkat, dan banyaknya perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit.
Perkembangan daerah diantaranya adalah dengan adanya rencana pemekaran wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi Kabupaten Kutai Pesisir, yang
meliputi kecamatan yang ada di tepi pantai seperti Kecamatan Samboja, Anggana, dan Muara Jawa. Pemekaran wilayah di tingkat kelurahan juga direncanakan
pada kelurahan Kuala Samboja yang akan dibagi menjadi Kelurahan Kuala Samboja dan Kelurahan Kampung Lama. Berdasarkan Monografi kecamatan
Samboja menunjukkan pertambahan penduduk di Kecamatan Samboja pada tahun 2011 adalah sebesar 3.16, sedangkan pertambahan penduduk di Kelurahan
Kuala Samboja adalah sebesar 1.45. Pembukaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit di daerah Samboja dan sekitarnya juga sangat berperan
terhadap perkembangan daerah ini. Penduduk yang semakin meningkat berimplikasi terhadap pembukaan lahan
untuk permukiman dan sarana penunjang lainnya. Pembukaan lahan tidak menutup kemungkinan dilakukan di sempadan sungai Kuala Samboja dan daerah
yang masih berhutan, yang merupakan habitat bekantan. Walaupun sebenarnya masih banyak lahan kosong milik masyarakat yang saat ini hanya digunakan
untuk menggembalakan ternak sapi.
Komunitas Habitat
Habitat bekantan terdiri dari komunitas rambai, komunitas rambai-riparian, dan komunitas riparian, dengan indeks kesamaan komunitas berkisar antara 0.06 –
0.28. Jumlah jenis yang ada pada petak analisis vegetasi pada tiga komunitas tersebut lebih tinggi 58 jenis, 51 marga, 33 suku dibandingkan di habitat
bekantan lainnya yang tidak dilindungi. Sebagai perbandingan, jumlah jenis tumbuhan pada habitat bekantan di Delta Mahakam adalah sebanyak 46 jenis
tumbuhan 44 marga, 31 suku pada petak pengamatan contoh seluas 3,22 ha Atmoko Sidiyasa 2008, sedangkan di habitat bekantan hutan karet Kabupaten
Tabalong dijumpai sebanyak 46 jenis tumbuhan 36 marga, 23 suku pada areal contoh seluas 1,6 ha Soendjoto 2005. Jumlah jenis pada habitat bekantan di
areal dilindungi jauh lebih tinggi, yaitu sebanyak 90 jenis tumbuhan 92 marga, 33 suku pada areal contoh seluas 2,02 ha di habitat rawa gambut air tawar di TN.
Tanjung Puting Yeager 1989, sedangkan penelitian Matsuda 2008 di hutan riparian Sabah Malaysia yang daerah tepi sungainya dilindungi terdapat sebanyak
180 jenis tumbuhan berhabitus pohon dan liana, yang termasuk dalam 124 marga dan 46 suku pada areal contoh 2,15 ha.
Banyak faktor yang mempengaruhi komunitas tumbuhan pada suatu habitat, diantaranya adalah tingkat gangguan dari luar dan kondisi lingkungannya, seperti
kondisi tanah, ketinggian, cahaya matahari, air, dan curah hujan. Menurut Chapman et al 2004 curah hujan dan penyebaran musim hujan berpengaruh
terhadap komunitas tumbuhan, kondisi tersebut ikut mempengaruhi kehidupan primata yang ada, karena perbedaan komposisi dan keanekaragaman tumbuhan
tersebut berpengaruh terhadap ketersedaan sumber pakan. Zona riparian yang berada di tepi sungai mempunyai peranan penting bagi
kehidupan satwaliar, karena: 1 tersedianya air yang menjadi komponen habitat penting yang diperlukan satwaliar, 2 keberadaan air yang cukup dengan
dikombinasikan kondisi tanah akan menyediakan tempat tumbuh yang sesuai dan meningkatkan
pertumbuhan biomasa,
sehingga dapat
meningkatkan keanekaragaman tumbuhan dan struktur komunitas, 3 merupakan daerah
pertemuan beberapa tipe habitat sehingga meningkatkan keanekaragamannya, 4 bentuk daerah riparian mengikuti garis sungai memaksimalkan pertumbuhan di
daerah tepi dan juga produktivitas satwaliar, 5 daerah tepi sungai menciptakan strata yang lebih banyak sehingga jumlah jenisnya juga tinggi, 6 menciptakan
mikroklimat kelembaban udara, transpirasi, kesejukan, aliran udara yang berbeda dengan daerah di sekitarnya, yang disukai oleh satwaliar, 7 daerah
riparian dapat menjadi jalur migrasi bagi satwaliar, dan 8 menjadi koridor yang menghubungkan antar habitat Thomas et el. 1979.
Sistem Regenerasi
Sistem regenerasi jenis tumbuhan adalah hal yang penting untuk keberlangsungan jenis tersebut di masa yang akan datang. Sistem regenerasi
tumbuhan dapat dilihat dari kehadiran jenis-jenis tersebut pada semua tingkat vegetasi dan tingkat kerapatannya. Sepuluh dari 58 jenis yang ada dalam petak
analisis vegetasi pada penelitian ini dijumpai pada tiga tingkat vegetasi, yaitu tingkat pohon, pancang dan semai. Jenis tersebut adalah Ardisia elliptica,
Elaeocarpus stipularis , Glochidion rubrum, Heynea trijuga, Melanochyla
auriculata , Melicope luna-ankenda, Syzygium polyanthum, Sonneratia caseolaris,
Teijsmanniodendron coriaceum dan Vitex pinnata.
Jenis S. caseolaris pada komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian adalah sumber pakan utama, pohon tidur, dan tempat beraktivitas bekantan di
kedua komunitas ini. Tingkat kerapatan pohon rambai di komunitas rambai- riparian lebih rendah 60 indha dibandingkan pada komunitas rambai 158
indha. Kondisi tersebut menyebabkan beberapa pohon S. caseolaris di komunitas rambai-riparian terlihat gundul karena daunnya habis dimakan
bekantan. Permasalahan lainnya adalah tingkat erosi yang tinggi terhadap tepi kanan dan kiri sungai menyebabkan sebagian besar pohon S. caseolaris yang
tumbuh di tepi sungai miring dan rebah ke sungai. Pohon S. caseolaris dominan pada komunitas rambai INP = 287.97 dan
rambai-riparian INP = 77.76, namun sistem regenerasinya kurang baik. Kerapatan S. caseolaris tingkat semai di komunitas rambai rendah, yaitu hanya
1500 indha sedangkan tingkat pancang mencapai 3520 indha, demikian juga pada komunitas rambai-riparian, kerapatan tingkat pancang tinggi 800 indha,
namun tingkat semai tidak dijumpai sama sekali. Sistem regenerasi yang baik seharusnya ditunjukkan dengan kerapatan tingkat semai lebih tinggi dari pancang
dan kerapatan pancang lebih tinggi dari tingkat pohon. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Sidiyasa et al. 2005. Penyebab rendahnya vegetasi
tingkat semai di komunitas rambai dan rambai-riparian adalah tertutupnya sebagian besar permukaan tanah oleh jenis liana dan herba lainnya, sehingga
semai-semai tersebut tertekan dan banyak yang mati. Seperti dilaporkan oleh Bismark 1994 bahwa pada habitat bekantan dengan adanya Acrostichum aureum
yang tumbuh rapat menutup tanah menyebabkan anakan viviparous seed jenis bakau terganggu pertumbuhannya karena kekurangan cahaya atau posisi
tumbuhnya kurang baik.
Profil Habitat
Tajuk pohon yang dibentuk pada komunitas rambai dan rambai-riparian secara umum diskontinyu, sehingga banyak ruang antar tajuk pohon. Areal di
komunitas rambai adalah bekas tambak yang sudah tidak produktif, sehingga pohon Sonneratia caseolaris yang ada adalah pohon-pohon yang tersisa dari
pembukaan tambak tersebut. Pohon di komunitas rambai lebih jarang, lebih menyebar dan lebih tinggi 19.4 tingginya 15 m dibandingkan di komunitas
rambai-riparian 3 tingginya 15 m. Ruang antar pohon yang terbuka di komunitas rambai dan rambai-riparian memberikan ruang kepada tumbuhan
bawah seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum untuk tumbuh rapat dan menutup permukaan tanah.
Berbeda dengan dua komunitas sebelumnya, profil habitat pada komunitas riparian kondisinya lebih rapat dan tajuk pohon terbentuk secara kontinyu.
Sebagian areal di lokasi riparian adalah kebun buah-buahan dan karet milik masyarakat. Buah yang ditanam adalah buah manggis, rambai darat, dan ketjapi.
Kondisi kebun tidak dipelihara dan dirawat secara intensif, pembersihan sekitar pohon buah hanya dilakukan menjelang musim buah. Jalur-jalur rintisan dibuat
hanya jalan menuju pohon karet untuk keperluan menyadap getahnya, selebihnya dibiarkan begitu saja. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai jenis tumbuhan
lain seperti rotan, liana dan tumbuhan liar lainnya tumbuh dengan rapat pada tajuk dan pohon tepi sungai. Keberadaan jenis-jenis yang tumbuh liar tersebut berperan
penting sebagai sumber pakan lain bagi bekantan.
Populasi
Apabila dibandingkan dengan laporan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa populasi bekantan di Sungai Kuala Samboja mengalami peningkatan. Pada
tahun 1989 di lokasi yang sama dilaporkan terdapat lima kelompok bekantan
dengan jumlah sebanyak 90 ekor Yasuma 1994, pada tahun 1991 populasinya menjadi 98 ekor Alikodra 1997, tahun 1993 meningkat menjadi tujuh kelompok
dengan populasi 103 ekor Alikodra et al. 1995. Persentase keberadaan bayi pada penelitian ini hanya 7.1 dari populasi yang ada, padahal sekitar 20 tahun
yang lalu persentase bayi dilaporkan mencapai 21.4 Alikodra 1997. Hal ini sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi habitat yang berpengaruh
terhadap kualitas dan kuantitas sumber pakan. Hal yang menarik dari hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan
penelitian terdahulu adalah tidak adanya laporan sebelumnya yang melaporkan keberadaan kelompok all-male group AMG di lokasi ini. Pada penelitian ini
dijumpai sekurang-kurangnya tiga kelompok AMG dengan jumlah kelompok berkisar antara 6-15 ekor, yang terdiri dari jantan dewasa, jantan remaja dan anak-
anak. Satu kelompok AMG berada di komunitas riparian dan dua kelompok lainnya berada di komunitas rambai. Pada habitat bekantan lainnya jumlah
kelompok pada AMG bervariasi, mulai dari 6 ekor di Labuk Bay Agoramoorthy Hsu 2005, 8 ekor di Kinabatangan Boonratana 1999, 12 ekor di Samunsam,
Serawak Bennett Sebastian 1988, dan 30 ekor di Sungai Menanggul Murai 2004. Murai 2004 melaporkan bahwa fragmentasi habitat bekantan akibat
pembangunan kebun kelapa sawit di Sungai Menanggul menyebabkan peningkatan ukuran kelompok AMG. Saat kebun kelapa sawit baru dibuka tahun
1990-1991 di sekitar Sungai Menanggul dijumpai tiga kelompok AMG dengan jumlah berkisar antara 8-10 ekor, namun tahun 2000 kelompok AMG mencapai
30 ekor Murai 2004. Habitat yang rusak atau terfragmentasi menyebabkan tajuk pohon lebih terbuka dan ancaman predator akan semakin tinggi, sehingga dengan
membentuk kelompok AMG yang besar dapat melawan ancaman dari predator. Sex ratio
bekantan pada penelitian ini adalah 1:3.9, masih dalam kisaran sex ratio
hasil penelitian sebelumnya di lokasi yang sama pada tahun 1991, yaitu berkisar antara 1:3-1:6 Alikodra 1997. Sex ratio kelompok bekantan di
beberapa lokasi lainnya bervariasi, diantaranya di TN Kutai 1:2.55 Bismark 1995, di TN Tanjung Puting 1:1.5 Bismark 1981, 1:4.2 Yeager 1992, di
Kabupaten Tabalong 1:2.83 Soendjoto 2005, di Kinabatangan 1:8.4 Boonratana 2000a, dan di Labuk Bay Sabah 1:5 Agoramoorthy Hsu 2005.
Aktivitas
Proporsi aktivitas kelompok Zacky dan Raja sama dengan proporsi aktivitas kelompok bekantan di TN Kutai, sedangkan pada kelompok Stan berbeda. Hal itu
menunjukkan bahwa walaupun kelompok Stan beraktivitas di komunitas rambai yang didominansi oleh jenis mangrove seperti halnya di TN Kutai, namun
perbedaan kondisi kerapatan pohon, variasi jenis tumbuhan, dan ketersediaan pakan menyebabkan proporsi aktivitasnya berbeda. Pada komunitas rambai,
hanya dijumpai satu jenis mangrove S. caseolaris, sedangkan di TN Kutai terdiri dari Rhizophora mucronata, R. Apiculata, Bruguiera sexangula, B. parvifolia, B.
caryophylloides, Avicennia alba, dan Ceriops tagal Bismark 1986. Selain itu
komunitas mangrove di TN Kutai lebih rapat 311.04 pohonha dan tajuknya kontinyu, sedangkan di lokasi penelitian ini kondisinya lebih jarang 158
pohonha dan tajuk diskontinyu. Hasil penelitian Bismak 1986 dijadikan acuan sebagai frekuensi harapan dalam analisis karena empat alasan, yaitu: 1 habitatnya
berada di kawasan konservasi yang sedikit mengalami gangguan, 2 lokasi penelitian di areal mangrove, 3 tipe datanya relatif sama dengan penelitian ini,
dan 4 kepadatan bekantan relatif sedang 60 ekorkm
2
. Secara umum, waktu yang digunakan oleh bekantan di Kuala Samboja
untuk istirahat dan tidur siang lebih dari setengah dari aktivitas hariannya. Hal tersebut diperkuat oleh McDade 2005 yang menyatakan bahwa bekantan
mencari pakan pada pagi hari, kemudian istirahat dalam waktu yang cukup lama untuk mencerna pakannya dan makan lagi menjelang petang. Seperti halnya jenis
ruminansia, waktu istirahat yang panjang digunakan untuk mencerna pakannya, salah satunya adalah dengan melakukan remastication. Remastication adalah
perilaku bekantan mengeluarkan kembali pakannya ke mulut kemudian mengunyahnya kembali sebelum benar-benar menelannya.
Aktivitas bergerak kelompok Raja paling tinggi sedangkan waktu istirahatnya paling rendah jika dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Hal
itu berkaitan dengan kondisi habitat di komunitas riparian yang memanjang di tepi sungai dengan vegetasi lebih rapat dan sumber pakan tersebar. Pergerakan untuk
mencapai pohon pakan yang satu ke pohon pakan lainnya harus terlebih dahulu melalui pohon-pohon lain yang ada di sekitarnya. Selain itu jenis yang banyak
dan rapat menyebabkan diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencari dan memilih pakan yang disukai foraging. Selaras dengan penelitian Yang et al.
2007 pada subfamily Colobinae lainnya yaitu Trachypithecus francoisi menunjukkan bahwa pada habitat yang masih baik aktivitas bergerak dan foraging
cenderung lebih rendah dan istirahatnya lebih tinggi dibandingkan pada habitat yang rusak.
Aktivitas makan dan bergerak bekantan betina lebih tinggi dibandingkan jantan, namun aktivitas istirahatnya lebih rendah. Betina memerlukan makan
yang lebih banyak untuk mendapatkan energi yang lebih untuk menyusui, merawat bayi, dan menunjang sistem reproduksinya. Jantan lebih banyak
beristirahat sebagai upaya untuk menghemat energi Bobot badannya yang lebih berat sehingga pergerakannya juga memerlukan energi yang lebih tinggi, selain itu
jantan memerlukan cadangan energi lebih untuk melindungi kelompoknya dari ancaman predator.
Selama penelitian tidak dijumpai adanya aktivitas sexual, padahal menurut Nowak 1999 bekantan tidak mengenal musim kawin, perkawinan terjadi
sepanjang tahun. Kondisi tersebut dimungkinkan karena pada saat penelitian beberapa betina dewasa sedang menyusui bayi atau anaknya. Betina dewasa yang
sedang bersama dengan bayinya cenderung menghidar saat jantan akan mendekatinya Agoramoorthy Hsu 2005. Gorzitze 1996 melaporkan bahwa
puncak kopulasi bekantan terjadi pada bulan Oktober dan tidak terlihat perilaku kopulasi selama kebuntingan sampai beranak pada bulan Nopember dan
Desember. Kopulasi pada bekantan di habitat liar juga terjadi pada bulan Januari, Juni, Agustus, dan Nopember Agoramoorthy Hsu 2005; Murai et al. 2007,
sedangkan berdasarkan observasi yang penulis lakukan di Taman Safari Cisarua menunjukkan kopulasi terjadi juga pada bulan Desember.
Kelompok Stan dan Zacky sudah terhabituasi oleh kehadiran manusia dengan segala aktivitasnya. Beberapa kali pengamatan pada pagi hari saat
kelompok Zacky masih tidur di pohon yang berdekatan dengan jalan raya terlihat bahwa bekantan tidak terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh
kendaraan yang melintas. Demikian juga dengan kelompok Stan yang tetap tenang melakukan aktivitasnya, walaupun di sekitar lokasi tersebut ada aktivitas
masyarakat yang sedang memancing, memasang atau memeriksa bubu, atau mengambil dan mengangkut daun nipah. Bekantan di lokasi lainnya lebih sensitif
dengan kehadiran manusia. Menurut Boonratana 2000b, bekantan di Kinabatangan, Sabah Malaysia menggunakan sebanyak 27.8 - 30 dari waktu
aktivitasnya untuk kewaspadaan. Berdasarkan pengalaman penulis di Sungai Batu Barat, TN Gunung Palung, di Delta Mahakam dan di Teluk Balikpapan juga
menjumpai bekantan dengan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kehadiran manusia.
Pergerakan Horizontal
Pergerakan harian daily range kelompok bekantan bervariasi, yaitu berkisar antara 25-749 m rata-rata 320 m. Pergerakah terpendek dilakukan oleh
kelompok Zacky pada saat terjadi hujan hampir sepanjang hari, sedangkan pergerakan terjauh dilakukan oleh kelompok Raja saat menghindar dari anjing
yang masuk ke kebun buah masyarakat. Hasil ini memperkuat penelitian Boonratana 2000a bahwa pergerakan harian bekantan sangat bervariasi antar
hari maupun antar bulan. Pergerakan harian kelompok bekantan di lokasi ini lebih pendek dibandingkan di lokasi lainnya yang rata-rata 541 m Soendjoto 2005,
799 m Matsuda et al. 2009a, 910 m Boonratana 2000a, dan 1.007 m Bismark 1986.
Perjalanan harian bekantan dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi ketersediaan pakan. Jarak perjalanan harian bekantan berkorelasi negatif secara
nyata terhadap curah hujan, yaitu jaraknya menurun pada bulan-bulan dengan curan hujan tinggi dan meningkat pada bulan dengan curah hujan rendah Bismark
2009. Berbeda dengan hasil penelitian Boonratana 2000a yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara rata-rata jarak pergerakan harian bulanan dengan
curah hujan, fenologi, dan pakan buah, biji, bunga, namun jarak pergerakan harian berkorelasi dengan sumber pakan daun muda. Matsuda et al. 2009a
menambahkan bahwa perjalanan harian bekantan akan lebih jauh pada saat proporsi pakannya lebih banyak daun muda dari pada buah, sehingga kelompok
bekantan akan lebih sering menggunakan areal yang berdekatan dengan tepi sungai yang ketersedian buah tinggi.
Areal pergerakan bekantan di lokasi penelitian dapat disebut home range. Habitatnya yang hanya terbatas di tepi sungai dan terisolasi oleh aktivitas
masyarakat, sehingga kecil kemungkinan luas areal pergerakannya meningkat lagi. Penelitian sebelumnya, melaporkan bahwa home range bekantan di Kuala
Samboja berkisar antara 15.47-30.71 ha Alikodra 1997, sedangkan saat ini menurun menjadi 4.52-6.92 ha. Home range kelompok Raja paling luas
dibandingkan dua kelompok sampel lainnya, hal ini dimungkinkan karena arealnya jarang tertutup air sehingga ancaman potensial pemangsa dari darat
seperti anjing kampung lebih besar. Kelompok Raja menghindari ancaman pemangsa dengan memperluas home range. Ancaman pemangsa darat kelompok
Stan dan Zacky kecil karena pada home range-nya hampir selalu tergenang air.
Secara umum luas home range tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan bekantan yang hidup di kawasan konservasi atau lokasi dengan sedikit gangguan,
karena luasnya bisa mencapai 900 ha Bennett Sebastian 1988. Sebagian data home range kelompok Raja didasarkan pada titik perjumpaan
kelompok pada saat studi pendahuluan. Pergerakan kelompok Raja mulai diikuti dari kebun buah-buahan masyarakat, dengan arah pergerakan menuju ke arah
hulu. Saat itu adalah musim buah-buahan sedang masak, sehingga kelompok monyet ekor panjang datang mencari pakan ke lokasi ini. Keberadaan monyet
tersebut menyebabkan anjing berdatangan untuk memburu atau mengusirnya dengan mengeluarkan salakan dan gonggongan. Hal ini menyebabkan kelompok
bekantan menghindar dengan bergerak ke atas ke arah hulu sungai. Sampai penelitian ini berakhir bekantan belum kembali ke kebun buah-buahan
masyarakat, padahal kelompok ini beberapa kali teramati di kebun buah masyarakat pada saat studi pendahuluan, yaitu sebelum musim buah masak
terjadi. Menurunnya luas home range bekantan di Kuala Samboja dibandingkan penelitian sebelumnya lebih dikarenakan habitatnya semakin sempit dan
fragmentasi habitat semakin meningkat.
Pergerakan Vertikal
Aktivitas penggunaan strata tajuk dipengaruhi oleh kondisi habitat pakan, kerapatan, kondisi pohon, dan struktur tajuk, selain itu berdasarkan pengamatan
juga dipengaruhi oleh suhu, tiupan angin, dan keberadaan pemangsa. Kerapatan vegetasi, keberadaan pohon yang tinggi dan tajuknya saling bertautan
berpengaruh terhadap aktivitas kelompok bekantan. Kelompok Stan dan Zacky banyak melakukan aktivitas makan dan bergerak di lantai hutan karena kondisi
vegetasinya jarang dan tajuk tidak bersinggungan satu dengan lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya
bekantan harus turun terlebih dahulu ke lantai hutan. Selain itu di lantai hutan juga terdapat sumber pakan lainnya seperti daun Deris sp., bunga Acanthus
ilicifolius, batang atau daun muda Flagelaria sp., dan pucuk Rhapidophora sp.
Kelompok Raja jarang beraktivitas di lantai hutan karena kondisi habitatnya rapat, tajuk saling bertautan dan sumber pakan sebagian besar berada di strata atas,
sehingga pergerakan dapat dilakukan melalui cabang antar pohon. Bekantan memilih strata ketinggian pohon untuk beraktivitas juga
memperhatikan kekuatan cabang pohon untuk menahan bobot badannya yang relatif besar dibandingkan subfamili Colobinae lainnya. Hal ini yang
menyebabkan betina yang bobotnya hanya setengah dari jantan lebih banyak 34.9 beraktivitas di strata tajuk yang tinggi 10 m dibandingkan yang jantan
31.7. Selain itu untuk mengurangi resiko dahan yang digunakan patah, jantan sering menggunakan cabang yang dekat dengan batang pohon yang relatif besar
dan kuat. Bismark 1994 menyatakan bahwa pemilihan strata bawah 0-5 m banyak digunakan untuk pergerakan karena bobot badannya berat dan
memerlukan batang yang besar untuk keseimbangan dalam berjalan. Ketinggian penggunaan strata tajuk juga karena faktor suhu. Sesaat setelah
hujan, kondisi tajuk bagian bawah masih lembab oleh air hujan sedangkan pada strata atas sudah mulai hangat oleh sinar matahari. Saat itulah bekantan akan naik
ke strata yang lebih tinggi, sebagai upaya untuk menghangatkan suhu tubuh atau mengeringkan badannya dari air hujan. Bismark 1994 menyatakan bahwa pada
tengah hari, bekantan menggunakan strata tengah 10-15 m terutama untuk istirahat, sedangkan strata atas berfungsi sebagai pelindung dari panas, hal itu
dikarenakan perbedaan suhu pada ketinggian di atas 20 m dengan dibawah 17 m adalah 1.5
o
C.
Tiupan angin berpengaruh terhadap ketinggian penggunaan strata tajuk oleh bekantan. Pada saat datang angin yang bertiup kencang, bekantan akan turun dari
strata tajuk yang yang tinggi ke strata tajuk yang lebih rendah. Kondisi tersebut sering teramati sesaat sebelum hujan turun atau saat hujan deras disertai angin.
Perilaku tersebut adalah salah satu upaya untuk mengurangi resiko jatuh dari ketinggian, cabang pohon patah atau bahkan pohon tumbang tertiup angin.
Keberadaan pemangsa juga berpengaruh terhadap ketinggian aktivitas bekantan. Elang adalah potensial pemangsa yang berpengaruh terhadap aktivitas
bekantan dalam memanfaatkan strata ketinggian tajuk. Sekurang-kurangnya terdapat dua jenis elang teramati sedang terbang atau bertengger di pohon selama
penelitian. Pengaruh tersebut terlihat saat seekor elang yang sedang terbang berkeliling di atas pohon tempat bekantan beraktivitas, langsung direspon jantan
dewasa dengan mengeluarkan alarm call tanda bahaya sambil segera turun dari ketinggian sekitar 17 m ke strata yang lebih rendah dengan diikuti oleh anggota
kelompok lainnya. Hasil ini memperkuat pernyataan Bismark 1986 bahwa pemilihan strata bawah untuk aktivitas bekantan salah satunya adalah untuk
menghindari pemangsa, yaitu elang Spizaetus alboniger, Spilornis cheela, dan Accipiter badius
. Menurut Soendjoto 2005 bekantan yang hidup di hutan karet sebagian
besar aktivitasnya dilakukan pada strata di bawah 15 m, hal itu dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, sumber pakan yang sebagian besar adalah daun-daunan
tersedia pada semua strata ketinggian. Kedua, pada ketinggian kurang dari 15 m percabangan pohon banyak terbentuk dan tajuk yang rimbun. Kondisi tersebut
menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk istirahat, makan, dan berlindung dari terik matahari. Ketiga, aktivitas di atas 15 m beresiko bekantan
jatuh dan mengakibatkan trauma. Keempat, bergerak ke ketinggian lebih dari 15 m memerlukan energi yang lebih besar.
Jenis arboreal lainnya seperti Colobus badius dalam menggunakan strata ketinggian pohon dipengaruhi oleh musim. Musim kering C. badius lebih banyak
menggunakan strata atas dan tengah, sedangkan pada musim basah 60-80 waktu aktivitasnya dilakukan pada strata tengah Gebo Chapman 1995. Hylobates
lar dan H. moloch lebih memilih pucuk dan kanopi atas pohon yang tinggi untuk
beraktivitas, namun pada hutan yang terganggu dimana pohon-pohon besar sudah hilang, aktivitasnya banyak dilakukan di kanopi bagian tengah Nijman 2001.
Sumber Pakan
Jenis laban Vitex pinnata adalah pakan utama di komunitas riparian sedangkan rambai laut S. caseolaris menjadi pakan utama di komunitas rambai
dan komunitas rambai-riparian. Jenis mangrove lainnya selain rambai laut adalah api-api
Avicenia cf. officinalis . D
aun dan buah api-api dimakan oleh kelompok AMG 1 di bawah komunitas rambai yang berdekatan dengan muara sungai.
Berdasarkan pengamatan penulis penyebaran jenis api-api hanya dijumpai di lokasi tersebut dengan kondisi kadar garam yang lebih tinggi. Penggunaan S.
caseolaris sebagai sumber pakan utama bekantan juga di laporkan di Delta
Mahakam Alikodra Mustari 1994; Atmoko et al. 2007, Sungai Sepaku, dan Sungai Semoi, Kalimantan Timur Atmoko et al. 2011, namun penelitian Saidah
et al. 2002 di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan,
menunjukkan hal yang berbeda, dimana bekantan sama sekali tidak memanfaatkan S. caseolaris baik sebagai sumber pakan maupun tempat
beraktivitas. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa sumber pakan utama bekantan adalah Rhizophora mucronata dan Bruguiera parvifolia.
Jenis tumbuhan bawah dan liana yang banyak dijumpai di ketiga lokasi ternyata juga digunakan oleh bekantan sebagai sumber pakannya. Berdasarkan
nilai IARF jenis Deris sp., Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Bauhinia sp dan Derris trifoliate sering dimakan oleh bekantan. Acanthus ilicifolius,
Raphidophora sp., Flagelaria sp., dan Oxyceros longiflora adalah jenis yang
belum pernah dilaporkan sebagai sumber pakan bekantan pada penelitian di habitat bekantan lainnya Salter et al. 1985; Bismark 1986, 1994; Yeager 1989,
1995; Alikodra Mustari 1994; Yeager et al. 1997; Alikodra 1997; Atmoko Sidiyasa 2008; Saidah et al. 2002; Soendjoto et al. 2006; Kartono et al. 2008;
Matsuda et al. 2009b. Ada dua kemungkinan alasan penggunaan jenis tersebut sebagai sumber pakan. Pertama dikarenakan ketersediaan sumber pakan yang
umum dimakan terbatas keberadaannya, sehingga bekantan beradaptasi dengan
memakan jenis-jenis tersebut. Kedua untuk memenuhi kebutuhan mineral yang mungkin banyak terdapat pada tumbuhan tersebut.
Bekantan memakan beberapa jenis tumbuhan adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, diantaranya mineral. Beberapa jenis tumbuhan yang sering
tumbuh di hutan sekunder seperti suku Leguminosae sering dipilih oleh primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh kandungannya tidak
menghambat pencernaan Gupta Chivers 2004. Selain itu, variasi jenis pakan yang tinggi juga sebagai salah satu strategi untuk menghindari keracunan.
Menurut Waterman et al. 1988 primata yang memakan berbagai jenis tumbuhan dan bagiannya dengan variasi tinggi akan mengurangi peluang terkena efek racun
yang ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Memakan buah yang belum masak mencerminkan tingginya toleransi terhadap sumber
pakan yang berserat tinggi atau menghindari agen antibiotik yang terkandung dalam buah masak Garber 1987.
Primata Simpatrik
Satwa primata yang hidup simpatrik dengan bekantan adalah monyet ekor panjang Macaca fascicularis, keduanya memanfaatkan ruang habitat yang sama
baik secara horizontal maupun vertikal. Monyet ekor panjang termasuk primata omnivorus
, dan juga memanfaatkan beberapa jenis pakan yang sama dengan bekantan, seperti buah rambai darat Baccaurea motleyana, Dillenia suffruticosa,
Sandoricum koetjape, dan bunga Buchanania arborescens. Selama pengamatan
tidak dijumpai perilaku agonistik diantara keduanya. Penggunaan strata tajuk oleh kedua jenis simpatrik ini sama, hanya saja keduanya menghidari konflik dengan
menggunakan sumberdaya secara bergantian. Bekantan menggunakan sumber pakan buah-buahan seperti buah S. koetjape dan B. montleyana yang masih muda,
sedangkan monyet ekor panjang memakan buah-buah yang sudah masak. Penelitian Soendjoto 2005 di hutan karet Kabupaten Tabalong Kalimantan
Selatan menunjukkan bahwa bekantan dan Trachypithecus auratus yang hidup secara simpatrik menghindari konflik dengan menggunakan strata ketinggian yang
berbeda, T. auratus di strata atas sedangkan bekantan berada di strata bawah.
Pemangsa
Potensial pemangsa yang ada di lokasi penelitian adalah jenis elang, biawak, ular kobra dan anjing. Pemangsaan primata oleh jenis burung terutama elang
telah banyak dilaporkan. Jenis elang memangsa subfamili Colobinae dilaporkan oleh Fam dan Nijman 2011 yaitu pada elang Spizaetus yang menyergap anak
Presbytis femoralis , yang berbobot sekitar 1.9 kg, kemudian membawanya
terbang sebelum mendarat dan membunuh dengan menginjaknya di tanah sampai mati lemas. Berdasarkan analisis sisa tulang mangsa di bawah sarang elang
mahkota Stephanoaetus coronatus diketahui 66 mangsanya adalah dari 6 jenis primata dan 3 diantaranya dari subfamily Colobinae Piliocolobus badius,
Colobus guereza, Unidentified Sanders et al. 2003. Dilaporkan juga oleh
Fleagle 1988 bahwa lemur tikus Microcebus murinus adalah jenis dari prosimian yang umum dimangsa oleh burung hantu Tyto alba.
Biawak Varanus salvator sebagai salah satu potensial predator di lokasi penelitian terlihat tidak mengkhawatirkan bagi bekantan. Hal itu ditunjukkan
pada beberapa kali pengamatan terlihat biawak dan bekantan menggunakan pohon yang sama untuk beristirahat dan tidur pada siang hari. Hal tersebut berbeda
dengan hasil observasi Yeager 1991 dimana keberadaan biawak sepanjang 1.3 m pada pohon yang sama menyebabkan kelompok bekantan sangat tidak tenang dan
menimbulkan perilaku agonistik dengan mengeluarkan suara dan ekspresi ancaman kepada biawak. Keberadaan ular kobra dijumpai saat ular tersebut
berenang menyeberangi sungai Kula Samboja di komunitas riparian namun belum diketahui pengaruh keberadaannya terhadap bekantan di lokasi ini.
Anjing Canis lupus familiaris sebagai pemangsa bekantan belum pernah dilaporkan sebelumnya. Anjing adalah pemangsa bagi bekantan, terutama pada
habitat yang berdekatan dengan permukiman dan kebun masyarakat. Anjing menjadi salah satu ancaman sebagai pemangsa bekantan di lokasi penelitian
dengan ditunjukkan oleh perilaku bekantan yang cenderung menghindar pada saat anjing masuk ke kebun buah masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya
bekantan yang diserang oleh anjing di Pantai Tanah Merah yang berjarak sekitar 5 km dari lokasi penelitian. Pada bulan Oktober 2011, seekor bekantan jantan
remaja ditemukan luka-luka diserang oleh tiga ekor anjing. Kemungkinan
bekantan tersebut adalah bekantan soliter atau yang terpisah dari kelompoknya. Bekantan tersebut sempat diselamatkan oleh masyarakat sekitar, namun keesokan
paginya bekantan tersebut ditemukan sudah mati. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan di Balitek Konservasi Sumber Daya Alam Samboja menunjukkan
pada tubuh bekantan jantan remaja dengan bobot 13 kg itu terdapat bekas luka gigitan taring pada kepala, tengkuk, kening, leher dan punggung serta luka robek
di bagian pinggang sebelah bawah. Penyebab kematiannya diperkirakan karena luka yang serius, kelaparan, dan stres.
Habitat bekantan yang banyak mengalami kerusakan, menyebabkan tingkat ancaman pemangsa semakin tinggi. Habitat yang terfragmentasi memaksa
bekantan turun ke tanah untuk berpindah dari satu habitat ke habitat lainnya dan saat inilah potensi terjadinya pemangsaan oleh pemangsa darat tinggi. Demikian
pula terbuka tajuk pada habitat memudahkan akses pemangsa dari jenis burung melakukan pemangsaan terhadap bekantan.
Strategi Adaptasi
Bekantan di lokasi penelitian ini masih bisa bertahan hidup dan populasinya meningkat walaupun tidak optimal. Beberapa strategi yang mungkin digunakan
oleh bekantan untuk bertahan hidup di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi ini adalah dengan 1 mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam wilayah
jelajahnya yang sempit, diantaranya dengan menggunakan sumber pakan lain tidak biasa dimakan bekantan di tempat lainnya, 2 menghemat energinya dengan
mengurangi perilaku agonistik terhadap jenis primata simpatrik lainnya dan kehadiran manusia, 3 menggunakan sebagian besar waktu aktivitas siangnya
untuk istirahat atau tidur, dan 4 melakukan pergerakan harian yang tidak terlalu jauh.
Bekantan di habitat hutan karet juga mempunyai strategi untuk beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi habitat. Menurut Soendjoto 2005 pada waktu
tertentu beberapa areal hutan karet milik masyarakat di konversi menjadi ladang, sehingga menciptakan mozaik-mozaik pada habitat bekantan. Mozaik inilah yang
menjadi patch bagi bekantan, sehingga untuk mencapai patch tersebut bekantan beradatasi dengan merubah pola jelajah hariannya.
Implikasi Pengelolaan
Habitat bekantan di Kuala samboja sebagian besar adalah lahan masyarakat, sehingga pengelolaannya sebaiknya dilakukan oleh kelompok masyarakat, dengan
didukung oleh berbagai stakeholder terkait, baik oleh pemerintah, swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Pemerintah sebagai lembaga legal formal
mempunyai peranan strategis untuk memberikan penyuluhan, pembinaan dan pemberian insentif dalam pengelolaan habitat bekantan. Pihak swasta seperti
perusahaan migas dan tambang batubara dapat berkontribusi dalam kegiatan rehabilitasi, sedangkan LSM dapat melakukan pendampingan terhadap
masyarakat dalam pengelolaannya. Secara garis besar ada tiga hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan habitat bekantan di Kuala Samboja, yaitu:
rehabilitasi, ekowisata dan penyuluhan terhadap masyarakat. Secara skematik tersaji pada Gambar 31.
Gambar 31. Skematik pengelolaan habitat bekantan di Kuala Samboja.
Rehabilitasi
Areal di sekitar sungai Kuala Samboja statusnya adalah milik masyarakat. Pohon-pohon yang tersisa hanya sedikit di tepi kanan dan kiri sungai, padahal
berdasarkan peraturan yang ada, 50-100 m sebelah kanan dan kiri sungai tidak
BEKANTAN MASYARAKAT
Masyarakat
Rehabilitasi
Sempadan Sungai Lahan Masyarakat
Ekowisata
Jenis mangrove Karet dan buah-buahan
Getah dan buah Mencegah erosi
Pakan Pohon tidur
Jasa Agen
Wisata Pemerintah,
LSM Penyuluhan
Perusahaan
diperbolehkan melakukan penebangan pohon Pemerintah RI 1999b. Rehabilitasi habitat perlu dilakukan dan difokuskan pada dua daerah, yaitu daerah
sempadan sungai dan lahan masyarakat. 1
Daerah sempadan sungai Arus air di Sungai Kuala Samboja cukup deras karena merupakan
muara dari banyak sungai-sungai yang ada di daerah hulu. Pada saat musim hujan debit airnya meningkat bahkan akhir-akhir ini sering terjadi banjir.
Kondisi tersebut menyebabkan pohon di tepi sungai pada beberapa lokasi di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian banyak yang miring atau
rebah ke sungai, karena erosi. Pohon di tepi sungai mempunyai peranan penting bagi bekantan dan perlindungan sungai. Bekantan selalu
menggunakan pohon yang berada di tepi sungai sebagai pohon tidurnya, selain itu pohon tepi sungai berfungsi untuk melindungi tepi sungai dari
ancaman erosi. Rehabilitasi di daerah tepi sungai perlu dilakukan dengan penanaman
jenis asli dan jenis lainnya yang merupakan sumber pakan bekantan dan mempunyai kemampuan untuk memperkuat badan sungai. Jenis tersebut
diantaranya adalah jenis mangrove seperti Sonneratia caseolaris, S. alba, Avicenia alba, A. officinalis, Bruguiera sexangula, Rhizophora apiculata.
Jenis terakhir baik untuk melindungi tepi pantai dan sungai karena memiliki akar jangkang banyak dan kuat yang keluar dari batang.
Jenis mangrove dapat digunakan sebagai jenis untuk merehabilitasi bekas tambak di komunitas rambai dan sebagian di komunitas rambai-
riparian. Penanaman dapat dilakukan pada areal yang terbuka dengan mengurangi sebagian tumbuhan penutup tanahnya, sehingga tingkat semai
dan pancang dapat tumbuh menjadi pohon. Sempadan sungai di komunitas riparian dapat ditanam dengan jenis laban Vitex pinnata dan jenis buah-
buahan untuk sempadan sungai yang berbatasan dengan lahan masyarakat. Dengan melakukan penanaman di sempadan sungai maka akan memberikan
sumber pakan bekantan dan tempat untuk beraktivitas sekaligus mengamankan lahan masyarakat dari ancaman erosi.
2 Lahan masyarakat
Home range bekantan sebagian besar berada di lahan masyarakat,
sehingga rehabilitasi perlu dilakukan dengan penanaman di lahan masyarakat. Upaya ini adalah untuk memanfaatkan lahan yang selama ini tidak produktif
sekaligus memberikan rumah baru bagi kehidupan bekantan. Jenis yang direkomendasikan terutama adalah tanaman karet Hevea braziliensis dan
jenis buah-buahan seperti manggis Garcinia mangostana, mangga Mangifera indica, durian Durio zibethinus, rambai darat
Baccaurea motleyana
, Ketjapi Sandoricun koetjapi, dan jambu-jambu Syzygium sp.. Penanaman karet di lahan masyarakat dapat dikombinasikan dengan
jenis buah-buahan. Penanaman karet dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat dengan menyadap getahnya, sedangkan bekantan dapat
menggunakan daun karet sebagai sumber pakan. Penanaman pohon buah- buahan sedikit menimbulkan konflik kepentingan antara bekantan dan
masyarakat, karena bekantan juga memakan bunga dan buah yang masih muda, namun hal ini tidak terlalu berpengaruh karena porsinya hanya sedikit.
Kondisi kebun karet dan buah-buahan setelah umur sekitar 4 tahun tidak perlu dilaukan perawatan secara intensif, sehingga akan tumbuh berbagai jenis
liana dan tumbuhan lainnya yang nantinya akan digunakan bekantan sebagai sumber pakan alternatif. Penanaman di lahan masyarakat terutama di daerah
sekitar kanal Handil Jamur, Badan Jalan Baru dan sekitar kanal Sungai Lempahung. Penentuan blok-blok lokasi penanaman harus tetap
memperhatikan areal-areal
yang akan
tetap digunakan
untuk menggembalakan ternak dan dapat menciptakan koridor antar habitat.
Penyuluhan
Interaksi masyarakat dengan bekantan dan habitatnya di lokasi ini relatif tinggi. Beberapa masyarakat sekitar sering mengambil daun nipah yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan atap daun. Pergerakan harian, home range
dan core area bekantan sebagian besar berada di lahan masyarakat. Seringkali bekantan memakan bunga dan buah-buahan yang masih muda di kebun
masyarakat. Oleh karena itu penyuluhan sangat penting dilakukan kepada masyarakat sekitar.
Penyuluhan terutama dilakukan kepada masyarakat RT 01, 02, dan 16 yang berbatasan langsung dengan habitat bekantan. Penyuluhan berisi tentang
perlindungan areal di sempadan sungai yang merupakan habitat bekantan, dan menanamkan kebanggan bahwa di sekitar tempat tinggalnya terdapat satwa yang
unik dan dilindungi. Kehidupan simpatrik manusia dan bekantan yang berdampingan dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing diharapkan
dapat tercipta melalui pendekatan yang mendalam dengan masyarakat. Pendekatan dan penyuluhan dapat dilakukan melalui ketua RT, aparat
pemerintahan desa, pemuka masyarakat, dan tokoh agama. Penyuluhan juga perlu dilakukan sejak dini terhadap anak-anak sekolah
dasar sampai sekolah menengah atas yang ada di sekitar habitat bekantan. Materi penyuluhan meliputi pentingnya kelestarian lingkungan, bekantan sebagai
satwaliar yang perlu dilindungi, perlindungan terhadap areal sempadan sungai dan kewaspadaan akan bahaya banjir. Penyuluhan juga dapat dilakukan secara tidak
langsung, yaitu dengan memasang papan-papan informasi, peringatan dan ajakan untuk melestarikan bekantan dan lingkungan habitatnya. Media lain yang bisa
digunakan adalah media cetak poster, leaflet, booklet, sepanduk, sticker, majalah, surat kabar, audio-video film, dan media elektronik televisi, internet.
Penyuluhan dapat dilakukan oleh instansi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.
Ekowisata
Bekantan di Kuala Samboja relatif mudah untuk dijumpai, sehingga frekuensi perjumpaannya sangat tinggi. Lokasinya cukup strategis dan mudah
dijangkau karena berada di tepi jalan raya Balikpapan-Handil Dua. Kondisi ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai areal ekowisata, karena sangat
representatif untuk melihat bekantan liar di habitatnya. Selama ini beberapa agen wisata di Balikpapan dan Yayasan BOS Borneo Orangutan Survival melalui
ecolodge Samboja Lestari menggunakan areal ini sebagai lokasi wisata minat khusus bagi tamu-tamu warga negara asing. Wisatawan asing yang berkunjung ke
habitat bekantan Kuala Samboja harus membayar ke agen wisata sekitar US 20 per orang. Namun belum adanya kelompok masyarakat yang mengelola kawasan
ini menyebabkan kontribusinya terhadap masyarakat sekitar, bekantan dan habitatnya masih terabaikan. Masyarakat sekitar nantinya diharapkan dapat lebih
banyak berperan dalam kegiatan ekowisata tersebut. Pendapatan tambahan bagi masyarakat dapat diperoleh dari jasa mengantar susur sungai, penyewaan perahu,
pelampung, penjualan souvenir ataupun persewaan alat pancing. Adanya nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar diharapkan dapat meningkatkan peran
serta masyarakat untuk melestarikan bekantan dan habitatnya di sekitar Sungai Kuala Samboja.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kualitas dan kuantitas habitat akan semakin menurun pada waktu yang akan
datang, jika tidak segera dilakukan pengelolaan dan pembinaan habitat. Penurunan kualitas habitat dapat dilihat dari sistem renegerasi pohon pakan
utama yang kurang baik akibat penutupan tumbuhan bawah, tekanan dari perkembangan masyarakat sekitarnya, dan banyaknya pohon tepi sungai yang
miring atau rebah. 2.
Populasi bekantan mengalami peningkatan namun kondisi regenerasinya mengkhawatirkan, karena berdasarkan kelas umur komposisi bayi hanya 7.1
padahal sebelumnya dilaporkan mencapai 20.4. 3.
Bekantan mampu beradaptasi pada habitat yang sempit dan terisolasi dengan tiga strategi. Pertama memanfaatkan sumber pakan yang tersedia dengan
menggunakan sumber pakan yang umum digunakan oleh bekantan, juga pemanfaatan tumbuhan yang tidak biasa dimakan bekantan di tempat lain.
Kedua menghemat energi dengan menyesuaikan perilakunya, yaitu mengurangi aktivitas agonistik terhadap kehadiran manusia atau jenis
simpatrik lainnya dan melakukan jelajah harian yang tidak jauh. Ketiga menyesuaikan proporsi aktivitasnya, yaitu menggunakan sebagian besar
aktivitas hariannya untuk istirahat dan tidur, jantan menghemat energi dengan lebih banyak beristirahat sedangkan betinya aktivitas makannya tinggi untuk
mendapatkan energi yang lebih banyak.
4. Aktivitas bekantan dalam pemanfaatan ruang disesuaikan dengan ketersediaan
pakan pada strata ketinggian, kerapatan dan ketinggian strata tajuk pohon, dan
luas habitat yang tersisa.
Saran
1. Perlu dilakukan rehabilitasi habitat dengan melakukan penanaman di tepi
sungai dan lahan masyarakat dengan jenis mangrove, karet dan buah-buahan tanpa perawatan yang intensif pada umur tertentu.
2. Perlu dilakukan penyuluhan dan pengembangan ekowisata dengan bekantan
sebagai obyek daya tarik utama, sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat sekitar dan memberikan pendapat tambahan.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kandungan nutrisi sumber pakan,
perilaku dan pola jelajah kelompok all male group, terutama di komunitas rambai.
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho WC, Ma’ruf A. 2005. Sungai Hitam Samboja, habitat bekantan Nasalis larvatus yang terabaikan. Warta Konservasi Lahan Basah
132:21, 26-28. Agoramoorthy G, Hsu MJ. 2005. Occurrence of Infanticide among wild proboscis
monkeys Nasalis larvatus in Sabah, Northern Borneo. Folia Primatology
76:177–179. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB. Alikodra HS, Mustari AH, Santosa N, Yasuma S. 1995. Social interaction of
proboscis monkey Nasalis larvatus Wurmb group at Samboja Koala, East Kalimantan. Annual Report of Pusrehut Vol. 6 April.
Alikodra HS, Mustari AH. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey Nasalis larvatus Wurmb at Mahakam River Delta, East
Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut Vol. 5 Desember.
Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan Nasalis larvatus di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 52:67-72.
Altmann J. 1974. Observational study of behavior: sampling methods. Behaviour 69:227–267.
Atmoko T, Ma’ruf A, Syahbani I, Rengku MT. 2007. Kondisi habitat dan penyebaran bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Delta Mahakam,
Kalimantan Timur. Di dalam: Sidiyasa K, Omon M, Setiabudi D, editor. Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan
Lestari
; Balikpapan, 31 Jan 2007. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. hlm 35-42.
Atmoko T, Sidiyasa K. 2008. Karakteristik vegetasi habitat bekantan Nasalis larvatus
Wurmb di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
54:307-316. Atmoko T. 2010. Strategi pengembangan ekowisata pada habitat bekantan
Nasalis larvatus wurmb. di Kuala Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
74: 425-437. Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran bekantan Nasalis
larvatus Wurmb. pada areal tidak dilindungi di Teluk Balikpapan,
Kalimantan Timur. Di dalam: Ekspose Hasil-hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang
Konservatif ; Balikpapan, 3 Nov 2011. Bogor: Pusat Litbang Konservasi
dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons.
NewYork. Bennett EL, Sebastian AC. 1988. Social organization and ecology of proboscis
monkeys Nasalis larvatus in Mixed Coastal Forest in Sarawak. International Journal of Primatology
93:233-255. Bernard H, Matsuda I, Hanya G, Ahmad AH. 2011. Characteristic of night
sleeping trees of proboscis monkey Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. International Journal of Primatology 32:259–267. DOI
10.1007s10764-010-9465-8.
Bismark M. 1981. Preliminary survey of the proboscis monkey at Tanjung Putting Reserve, Kalimantan. Tigerpaper 8:26.
Bismark M. 1986. Perilaku bekantan Nasalis larvatus Wurmb dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai,
Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bismark M. 1995. Analisis populasi bekantan Nasalis larvatus. Rimba Indonesia
303 September. Bismark M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis larvatus
Wurmb. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 13:309-320. Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan Nasalis larvatus. Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Departemen Kehutanan. Bloom, S. 1999. In praise of primates. Steve Bloom Images and Konemann
Verlagsgesellschaft mbH. Koln, Germany. Bolen EG, Robinson WL. 2003. Wildlife Ecology and Management. Fifth edition.
Pearson Education, Inc. New Jersey. Boonratana R. 1993. The ecology and behaviour of the proboscis monkey
Nasalis larvatus in the Lower Kinabatangan, Sabah [dissertation]. Bangkok: Mahidol University.
Boonratana R. 1999. Dispersal in proboscis monkey Nasalis larvatus in The Lower Kinabatangan, Northern Borneo. Tropical Biodiversity 63:179-
187.
Boonratana R. 2000a. Ranging behavior of proboscis monkey Nasalis larvatus in the Lower Kinabatangan, Norhern Borneo. International Journal of
Primatology 213:497-518.
Boonratana R. 2000b. A short note on vigilance exhibited by proboscis monkey Nasalis larvatus in the lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia.
Tigerpaper 274: 21-22.
Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissmann T, Groves CP, Melnick DJ, Morales JC, Shekelle M, Stewart CB. 2004. Asian primate classification. Zoo
Biology 23:533–544.
Chapman CA, Gautier-Hion A, Oates JF, Onderdonk DA. 2004. African primate communities: Determinants of structure and threats to survival in Primate
Communities . Fleagle JG, Janson CH, Reed KE, editors. Cambridge
university press: Cambridge, United Kingdom. pp: 1-37. Fam SD, Nijman V. 2011. Spizaetus hawk-eagles as predators of arboreal
colobines. Primates 52:105–110. Fleagle JG. 1988. Primate Adaptation and Evolution. London: Academic Pr.
Galdikas BMF. 1985. Crocodile predation on a proboscis monkey in Borneo. Primates
264:495-496. Garber PA. 1987. Foraging strategies among living primates. Annual Reviews
Anthropology 16:339-64.
Gebo DL, Chapman CA. 1995. Habitat, annual, and seasonal effects on positional behavior in red colobus monkeys. American Journal of Physical
Anthropology 96:73-82.
Gorzitze AB. 1996. Birth-related behaviors in wild proboscis monkey Nasalis larvatus
. Primates 371:75-78. Gron KJ. 2009. Primate Factsheets: Proboscis monkey Nasalis larvatus
Conservation. http:pin.primate.wisc.edufactsheetsentryproboscis_
monkeycons [9 Oktober 2010]. Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington
and London. Gupta AK, Chivers DJ. 2004. Biomass and use of resources in south and south-
east Asian primate communities in Primate Communities. Fleagle JG, Janson CH, Reed KE, editors. Cambridge university press: Cambridge,
United Kingdom. pp. 38-54.
Kawabe M, Mano T. 1972. Ecology and behavior of the wild proboscis monkey, Nasalis larvatus
Wurmb, in Sabah, Malaysia. Primates 132:213-228.
Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik habitat dan wilayah jelajah bekantan di hutan mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan
Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi
133:1–6. Hutchins M, Kleiman DG, Geist V, McDade MC, editors. 2003. Grzimek’s
Animal Life Encyclopedia , 2nd edition. Volumes 12–16, Mammals I–V,
Farmington Hills, MI: Gale Group. Lindenfors P. 2002. Sexually antagonistic selection on primate size. Journal of
Evolutionary Biology 15:595–607.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Computing
. John and Sons. New York. MacKinnon 1987. Conservation status of primates in Malaysia, with special
reference to Indonesia. Primate Conservation 8:175-183. Matsuda I. 2008. Feeding and ranging behaviors of proboscis monkey Nasalis
larvatus in Sabah, Malaysia [Dissertation]. Hokkaido: Graduate School
of Environmental Earth Science, Hokkaido University. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2008a. Clouded leopard Neofelis diardi
predation on proboscis monkeys Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. Primates
49:227–231. Matsuda I, Tuuga A, Akiyama Y, Higashi S. 2008b. Selection of river crossing
location and sleeping site by proboscis monkey Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. American Journal of Primatology 70:1097-1101.
Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009a. Ranging behavior of proboscis monkey in a riverine forest with special reference to ranging in inland forest.
International Journal of Primatology 30:313-325.
Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009b. The feeding ecology and activity budget of proboscis monkeys. American Journal of Primatology 71:478–492.
Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2010. Effects of water level on sleeping-site selection and inter-group association in proboscis monkeys: why do they
sleep alone inland on flooded days?. Ecological Research 25: 475–482. Matsuda I, Murai T, Clauss M, Yamada T, Tuuga A, Bernard H, Higaashi S.
2011. Regurgitation and remastication in the foregut-fermenting proboscis
monkey Nasalis
larvatus .
Biology Letters
. Doi:
10.1098rsbl.2011.0197. McDade MC, editor. 2005. Grzimek’s Student Animal Life Resource, Mammals.
volume 1, Echidnas to Armadillos. Farmington Hills, MI: Gale Group.
McNeely JA, Miller KR, Reid WV, Mittermeier RA, Werner TB. 1990. Conserving The World’s Biological Diversity
. IUCN, Gland, Switzerland; WRI, CI, WWF-US, and the World Bank, Washington,
D.C. Meijaard E, Nijman V. 2000. Distribution and conservation of the proboscis
monkey Nasalis larvatus in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation
92:15-24. Meijaard E, Nijman V, Supriatna J. 2008. Nasalis larvatus. In: IUCN 2010. IUCN
Red List of Threatened Species. Version 2011.2. www.iucnredlist.org. Downloaded on 22 April 2012.
Muller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Murai T. 2004. Social behaviors of all-male proboscis monkeys when joined by females. Ecological Research 19:451–454.
Murai T, Mohamed M, Bernard H, Mahedi PA, Saburi R, Higashi S. 2007. Female transfer between one-male groups of proboscis monkey Nasalis
larvatus . Primates 48:117–121.
Murai T. 2006. Mating behaviors of the proboscis monkey Nasalis larvatus. American Journal of Primatology
68:832-837. Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. Academic Press,
Londong-New York. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primate. The MIT Press,
Cambridge Massachusetts. Nijman V. 2001. Effect of behavioural changes due to habitat disturbance on
density estimation of rain forest vertebrates, as illustrated by gibbons Primates: Hylobatidae. In Forest and Primates. Conservation and
Ecology of The Endemic Primates of Java and Borneo . Tropenbos-
Kalimantan Series 5. pp. 33-42. Nowak RM. 1999. Primates of The World. The Johns Hopkins University Press.
Baltimore and London. Oates JF. 1986. Food distribution and foraging behavior. In Primates Societies.
Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, Struhsaker TT, editors. Chicago: University of Chicago Pr.
Onuma M. 2002. Daily ranging patterns of the proboscis monkey, Nasalis larvatus
, in coastal areas of Serawak, Malaysia. Mammal Study 27:141- 144.
Ortmann S, Bradley BJ, Stolter C, Ganzhorn JU. 2006. Estimating the quality and composition of wild animal diets-a critical survey of methods. In:
Hohman H, Robbins MM, Boesch C, editors. Feeding Ecology in Apes and Other Primates
. Ecological physical, and behavioral aspects. Cambridge University Press.
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999a. Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa. [Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999b. Undang-Undang Nomor
41 tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Kehutanan. [Pemkab Kukar] Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. 2011. Monografi
Kecamatan Samboja , Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan
Timur. Rowe N. 1996. The pictorial Guide to The Living Primates. Patagonias Press.
Saidah S, Djoko M, Achmad S. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan Nasalis larvatus di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains
151:18-29. Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai PK. 1985. Habitat use,
ranging behaviour, and food habits of the proboscis monkey, Nasalis larvatus
van Wurmb, in Sarawak. Primates 264:436-451. Sanders WJ, Trapani J, Mitani JC. 2003. Taphonomic aspects of crowned hawk-
eagle predation on monkeys. Journal of Human Evolution 44:87-105. Sidiyasa K, Noorhidayah, Ma’ruf A. 2005. Habitat dan potensi regenerasi pohon
pakan bekantan Nasalis larvatus di Kuala Samboja Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam
24:411-413. Siegel S. 1990. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Suyuti Z,
Simatupang L, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Nonparametric Statistics for The Behavioral Sciences.
Soendjoto MA. 2004. A new record on habitat of the proboscis monkey Nasalis larvatus
and its problem in South Kalimantan Indonesia. Tigerpaper 312:17-18.
Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan Nasalis larvatus terhadap hutan karet: Studi kasus di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan [desertasi].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soendjoto MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H. 2006. Jenis dan komposisi
pakan bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 71:34-38.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soerianegara I, Sastradipradja D, Alikodra HS, Bismark M. 1994. Studi habitat sumber pakan dan perilaku bekantan Nasalis larvatus sebagai
parameter ekologi dalam mengkaji sistem pengelolaan habitat hutan mangrove di Taman Nasional Kutai. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup.
Bogor: IPB.
Srivathsan A, Meier R. 2011. Proboscis monkeys Nasalis larvatus Wurmb, 1787 have unusually high-pitched vocalizations. The Raffles Bulletin of
Zoology 592: 319–323
Thomas JW, Maser C, Rodiek JE. 1979. Wildlife Habitats in Managed Rangelands The Great Basin of Southeastern Oregon. Riparian zones.
Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-080. Portland, OR U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Nor.
Ullrey DE, Allen ME, Ausman LM, Conklin-Brittain NL, Edwards MS, Erwin JM, Holick MF, Hopkins DT, Lewis SM, Lonnerdal BLG, Rudel L.
2003. Nutrient Requirements of Nonhuman Primates: Second revised edition. Committee on Animal Nutrition, Ad Hoc Committee on
Nonhuman Primate Nutrition, National Research Council. The National Academies Press, Washington, D.C.
[UPT DPT Kecamatan Samboja] Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja. 2011. Laporan Tahunan Tahun
2011 . UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja.
Vié J, Richard-Hansen C, Fournier-Chambrillon C. 2001. Abundance, use of space, and activity patterns of white-faced sakis Pithecia pithecia in
French Guiana. American Journal of Primatology 55:203–221. Waterman PG, Ross JAM, Bennett EL, Davies AG. 1988. A comparison of the
floristics and leaf chemistry of the tree flora in two Malaysian rain forests and the influence of leaf chemistry on populations of colobine monkeys
in the Old World. Biological Journal of the Linnean Sosiety 34:1-32.
Whittaker DJ. 2006. A Conservation action plan for the Mentawai Primates. Primate Conservation
20: 95–105. Whittaker DJ, Ting N, Melnick DJ. 2006. Molecular phylogenetic afinities of the
simakobu monkey Simias concolor. Molecular Phylogenetics and Evolution
39:887–892. Yang L, Minghai Z, Jianzhang J, Ankang W, Shuangxi W, Shusen Z. 2007. Time
budget of daily activity of francois’ langur Trachypithecus francoisi francoisi
in disturbance habitat. Acta Ecologica Sinica 275: 1715−1722.
Yasuma S. 1994. An Invitation to The Mamals of East Kalimantan. Pusrehut Special Publication No.3. Samarinda.
Yeager CP. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey Nasalis larvatus. International Journal of Primatology
106:497-530. Yeager CP. 1991. Possible antipredator behavior associated with river crossings
by proboscis monkeys Nasalis larvatus. American Journal of Primatology
24:61-66. Yeager CP. 1992. Changes in proboscis monkey Nasalis larvatus group size and
density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity
11:49-55. Yeager CP. 1993. Ecological constraints on intergroup association in the
proboscis monkey Nasalis larvatus. Tropical Biodiversity 12:89-100. Yeager CP. 1995. Does intraspecific variation in social systems explain reported
differences in the social structure of the proboscis monkey Nasalis larvatus
?. Primates 364:575-582. Yeager CP, Silver SC, Dierenfeld ES. 1997. Mineral and phytochemical
influences on foliage selection by the proboscis monkey Nasalis larvatus
. American Journal of Primatology 41:117–128. Youlatos D. 1998. Seasonal variation in the positional behavior of red howling
monkeys Alouatta seniculus. Primates 394: 449-457.
Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan di lokasi penelitian tahun 2001 sampai dengan Februari 2012
Curah Hujan Tahun
Bulan Jml
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul Agu Sep Okt Nop Des
2001 167
274 271 293 161
61 74
44 125 137 220 265 2092 2002
228 156 184
184 209 214 6
12 64 36 199 200 1692
2003 347
213 351 148 175
71 162 233
89 242 198 129 2358 2004
283 265 361
97 273 273 184 33 142 198 276 2385
2005 168
182 273 164 326
72 176 95
31 296 425 302 2510 2006
381 297 273
164 326 306 56
154 125 7 218 226 2533
2007 326
278 175 116 136 186 348
154 37 45 167 268 2236
2008 171
239 340 185 113 167 345
225 131 343 343 353 2955 2009
312 213 220
163 176 110 105 63
61 169 173 239 2004 2010
319 228 194
224 342 206 406 224 190 310 235.5 290.5 3169
2011 298
112 264 423
96 191 25
11 118 165 210 146 2059 2012
246 365
Min. 167
112 175 97
96 61
6 31
7 167 129 Rata
2
271 235 264
197 212 169 172 111
91 172 235 245 2363
Max. 381
365 361 423 342 306 406
233 190 343 425 353
Hari Hujan
Tahun Bulan
Jml Jan
Feb Mar Apr
Mei Jun
Jul Agu Sep Okt Nop Des
2001 19
17 17
21 12
9 7
3 12
9 13
16 155
2002 15
11 11
14 10
14 3
4 7
1 17
17 124
2003 19
18 17
15 18
10 12
12 4
12 14
5 156
2004 19
15 21
11 12
12 12
8 6
15 16
147 2005
4 10
14 18
15 11
13 11
3 18
16 19
152 2006
14 11
14 18
15 14
6 14
5 1
11 12
135 2007
22 16
12 14
11 18
17 10
4 2
16 17
159 2008
15 17
24 20
10 12
19 18
10 17
16 17
195 2009
18 15
9 10
11 7
9 6
6 10
16 13
130 2010
13 6
10 10
15 17
16 13
17 21
10 15
163 2011
5 14
17 19
9 10
5 5
14 14
13 14
139 2012
21 19
Rata
2
15.3 14.1 15.1 15.5 12.5 12.2 10.8 8.7