b, c, d b,c,d,e c

berkembangbiak berbagai jenis ikan komersial serta sebagai indikator banjir. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan Sungai Kuala Samboja sebagai sumber air untuk mandi, mencuci, dan sarana transportasi mengangkut hasil pertanian Atmoko 2010. Pada musim kemarau sumur milik warga yang berada di tepi pantai airnya menjadi asin, sehingga mereka menggunakan air dari Sungai Kuala Samboja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Iklim, Tanah, dan Topografi Rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir adalah 2.363 mmtahun, dengan rata-rata hari hujan 150 haritahun. Curah hujan tercatat pada stasiun penakar curah hujan Unit Pelaksana Teknis UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja yang berjarak sekitar 0.5 km dari lokasi penelitian. Curah hujan cenderung turun pada bulan Juli-Oktober Gambar 7. Data curah hujan tersaji pada Lampiran 1. Gambar 7 Rata-rata curah hujan tahun 2001 sd Februari 2012 yang tercatat di stasiun penakar curah hujan UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja. Suhu udara selama tahun 2011 yang tercatat di Stasiun BMKG Balikpapan berkisar antara 22-34.7 o C, dengan rata-rata 26.8 o C. Rata-rata kelembaban udara bulanan berkisar antara 82-93. Lokasi stasiun berjarak sekitar 38 km dari lokasi penelitian. Data suhu dan kelembaban udara tersaji pada Lampiran 2. Topografi wilayah Kelurahan Kuala Samboja meliputi dataran rendah yang landai dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar. Dataran rendah di tepi pantai dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sungai Kuala adalah muara sungai yang mengalirkan air dari sungai-sungai yang ada di daerah hulu seperti Sungai Merdeka, Sungai Saka Kanan, dan Sungai Muara Wali. Kondisi tanah di Kecamatan Samboja sebagian besar terdiri dari tanah podsolik merah kuning, tanah liat dan berpasir UPT DPTP Kecamatan Samboja 2011. Flora dan Fauna Vegetasi pada habitat bekantan di Sungai Kuala Samboja dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut menyebabkan terdapat perubahan formasi vegetasi mulai dari muara sungai menuju ke arah hulu. Jenis floranya dicirikan oleh jenis-jenis yang umum dijumpai di daerah mangrove dan daerah tepi sungai atau riparian. Fauna yang ada di sekitar Sungai Kuala Samboja adalah bekantan Nasalis larvatus , monyet ekor panjang Macaca fascicularis Raffles, biawak Varanus salvator Laurenti, berang-berang, Tupaiidae, beberapa jenis ular, bidawang Pelochelys sp., Egreta sp., jenis elang dan jenis burung lainnya. Daerah muara sungai seperti Sungai Kuala Samboja memiliki sumberdaya perairan yang tinggi di antaranya berbagai jenis ikan dan udang. Ikan yang sering dijumpai di Sungai Kuala Samboja adalah ikan kakap Lutjanus sp, baung Hemibagrus spp., Patin Pangasius spp., otek Tachysurus sp., bulan-bulan Megalops sp., adungan Hampala sp., dan udang galah Marco sp. Selain itu juga terdapat ikan gurame Osphronemus gouramy Lac. dan nila Oreochromis niloticus L. Atmoko 2010. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 sd Februari 2012 di habitat bekantan di Kelurahan Kuala Samboja, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah perahu kelotok 5 HP horse power, GPS receiver Garmin CSx60, binocular Brunton 10 x 40, laser distance measurement, komputer dengan software ArcView 3.3 dan MapSources, kamera DSLR, lensa 300 mm, kompas, pita meter, roll meter, pengering herbarium, dan stopwatch. Bahan yang digunakan adalah kertas koran, kertas label herbarium, flagging tape, kertas milimeter blok, kertas kalkir, Snowman drawing pen, peta dasar digital provinsi Kalimantan Timur dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH IV Kalimantan, dan peta Kuala Samboja dari GoogleEarth yang diakses tahun 2010. Metode Kerja Pemetaan Fisik Pengambilan data fisik sungai dilakukan dengan GPS-tracking menyusuri sungai termasuk anak sungai sejauh bisa dijangkau menggunakan perahu. Kondisi lingkungan lain di sekitarnya seperti jalan raya, jalan setapak dan jembatan diambil koordinat dan data track-nya. Sungai yang dipetakan adalah areal yang di sekitarnya digunakan sebagai habitat bekantan. Kondisi fisik sungai dan vegetasi secara umum didigitasi dari peta GoogleEarth dan sistem koordinatnya disesuaikan dengan hasil pengambilan data track dan koordinat di lapangan serta data peta dasar dari BPKH Kalimantan. Berdasarkan hasil pemetaan fisik sungai, selanjutnya dilakukan identifikasi lahan sekitar berdasarkan informasi dari ketua RT setempat dan informasi dari masyarakat sekitar. Selanjutnya dilakukan checking ground untuk mengetahui penggunaan lahan. Peta kondisi fisik sungai, habitat dan lahan di sekitarnya di- overlay dengan software ArcView 3.3. Habitat Habitat di areal ini dibagi menjadi tiga komunitas yang mewakili tipe habitat bekantan. Deskripsi pembagian komunitas adalah sebagai berikut: 1. Komunitas rambai: Habitat bekantan yang mewakili daerah bawah paling dekat dengan muara sungai, yaitu berjarak sekitar 1.75 km. Lokasi ini sebagian besar adalah bekas tambak masyarakat yang sudah tidak aktif. Ditumbuhi oleh jenis mangrove, nipah dan tumbuhan bawah. Sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan hampir selalu tergenang air. Pada saat air laut pasang atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 180 cm. 2. Komunitas rambai-riparian: Habitat bekantan yang mewakili daerah tengah yang berjarak sekitar 2.63 km dari muara sungai. Habitatnya berdekatan dengan permukiman penduduk dan jalan raya Balikpapan-Handil Dua. Dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi jenis mangrove, nipah dan jenis-jenis riparian. Pada saat air laut pasang atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 130 cm. 3. Komunitas riparian: Habitat bekantan yang mewakili daerah atas yang berjarak sekitar 3.78 km dari muara sungai. Habitatnya berbatasan langsung dengan kebun masyarakat dan areal penggembalaan ternak. Masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi oleh jenis-jenis riparian. Pada saat air laut pasang atau terjadi banjir ketinggian air mencapai 80 cm. Struktur dan komposisi vegetasi penyusun habitat diketahui dengan analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak, modifikasi dari Soerianegara dan Indrawan 1998. Masing-masing lokasi dibuat jalur sepanjang 200 m dengan lebar 20 m yang diletakkan secara purposive pada habitat, sehingga total petak yang dibuat sebanyak 30 petak 1.2 ha. Jalur kemudian dibagi menjadi petak- petak berukuran 20 x 20 m untuk pengamatan vegetasi tingkat pohon atau berhabitus pohon diameter 10 cm, sub-petak 5 x 5 m untuk vegetasi tingkat pancang diameter 10 cm; tinggi 1,5 m, dan sub-petak 2 x 2 m untuk tingkat semai semai sd tinggi 1.5 m. Data yang diambil adalah jenis tumbuhan, diameter dbh=diameter breast height, dan tinggi. Jenis liana, rotan, dan jenis merambat lainnya dicatat kehadirannya. Profil habitat dibuat sebanyak tiga buah masing-masing mewakili tiga tipe komunitas. Profil habitat dibuat pada lokasi yang menjadi home range bekantan, terutama pada sekitar pohon pakan, tempat beraktivitas atau pohon tidurnya. Profil habitat dibuat pada petak berukuran 20 x 100 m, memanjang tegak lurus tepi sungai Gambar 8. Untuk memudahkan penentuan posisi pohon pada petak digunakan sistem koordinat y sejajar jalur rintisan dan x 10 m kekanan positif; 10 m ke kiri negatif. Data yang diambil adalah jenis pohon, dbh, tinggi bebas cabang, tinggi total, dan lebar tajuk depan, belakang, kiri, kanan. Jenis tumbuhan yang ditemukan diambil spesimen herbariumnya untuk diidentifikasi lebih lanjut dan mendapatkan nama ilmiah di Herbarium Wanariset Samboja WAN. Ketinggian air dicatat untuk penggambaran pasang tertinggi dan terendah pada profil habitat. Pengukuran dilakukan langsung di lapangan atau berdasarkan tanda-tanda pasang tertinggi pada batang pohon. Gambar 8 Bentuk dan ukuran petak untuk penggambaran profil habitat. 0 20 40 60 80 100 -10 m 10 m ~ S unga i ~ Sumbu y ~ ~ S um bu x Jalur rintisan Populasi Perhitungan jumlah individu dilakukan dengan sensus secara langsung menggunakan metode konsentrasi dengan menggunakan perahu Bennett Sebastian 1988. Dalam metode ini penghitungan dilakukan pada semua individu dalam kelompok bekantan dari atas perahu di tepi kiri dan kanan sungai. Sensus dilakukan terutama pada pagi hari 06.00-10.00 saat bekantan masih berada di pohon tidur dan pada sore hari 14.00-18.00 saat bekantan menuju dan berada pada pohon tidur di tepi sungai. Perhitungan kelompok dan individu dilakukan bersamaan dengan pengambilan data fisik sungai. Setiap perjumpaan dengan kelompok bekantan dicatat lokasi, waktu perjumpaan, jumlah individu, struktur umur dan jenis kelaminnya. Jenis kelamin dan kelas umur yang diamati pada penelitian ini didasarkan modifikasi dari Bennett dan Sebastian 1988. Kelas umur dan jenis kelamin yang diamati adalah 6 enam tingkat yaitu jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja, anak, dan bayi. Bayi bekantan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam satu tingkat saja. Habituasi dan Pengenalan Kelompok Habituasi dilakukan untuk membiasakan bekantan dengan kehadiran peneliti, sehingga keberadaan peneliti tidak banyak berpengaruh terhadap perilakunya. Pemilihan kelompok yang diamati adalah kelompok one-male group yang ada di komunitas rambai, komunitas rambai-riparian dan komunitas riparian. Pengenalan kelompok yang akan dijadikan sampel pengamatan dilakukan dengan mencatat ciri-ciri pada kelompok. Ciri-ciri kelompok yang dijadikan pembeda dengan kelompok lainnya adalah: jumlah individu dalam kelompok, jenis kelamin, struktur umur, dan tanda-tanda fisik individunya. Pemanfaatan Ruang Habitat Pengamatan pemanfaatan habitat dilakukan pada aktivitas bekantan secara horizontal dan vertikal strata ketinggian. Daerah jelajah harian bekantan dilakukan dengan mengikuti kelompok bekantan melalui darat dan sungai, kemudian diambil data koordinat lokasinya setiap terjadi perpindahan. Pengambilan titik koordinat sebisa mungkin pada posisi jantan dewasa, hal itu didasarkan pada asumsi bahwa jantan dewasa adalah pusat kelompok dan mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumber daya yang ada dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain. Pencatatan posisi dilakukan dengan menggunakan fasilitas sight and go pada GPS. Pada fasilitas tersebut GPS diarahkan pada posisi kelompok bekantan, kemudian dimasukkan data jarak antara GPS dengan lokasi kelompok bekantan. Pengukuran jarak menggunakan laser distance measurement , namun jika tidak memungkinkan dilakukan dengan estimasi jarak. Pengamatan pemanfaatan ruang secara vertikal dilakukan berdasarkan strata ketinggian vegetasi. Strata vegetasi dikelompokkan menjadi strata-strata, yaitu: 0- 3 m, 3.1-6 m, 6.1-9 m, 9.1-12 m, dan 12 m. Pengamatan aktivitas yang dilakukan dalam pemanfaatan strata ketinggian dilakukan dengan metode instantaneous sampling Altmann 1974. Pencatatan dilakukan pada jantan dewasa dan betina dewasa yang menjadi target pengamatan setiap 30 menit dengan interval 1 menit mewakili aktivitas 12 jam 06.00-18.00. Pengamatan dilakukan pada tiga kelompok sampel, dengan total satuan pengamatan sebanyak 4.084 satuan waktu pengamatan 2.026 jantan dan 2.058 betina. Pengamatan secara tidak langsung dilakukan dengan mengamati bekas-bekas yang ditinggalkan seperti sisa pakan atau patahan ranting, jejak kaki dan feses. Perilaku bekantan yang diamati adalah pemanfaatan strata pohon dan aktivitasnya. Aktivitas bekantan meliputi aktivitas makan, bergerak, sosial, istirahat, dan tidur. Informasi pendukung, seperti kejadian-kejadian lain atau jenis satwaliar lainnya pada saat pengamatan atau di luar waktu pengamatan dicatat dengan metode ad libitum. Pengamatan satwaliar, terutama jenis primata lainnya dilakukan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya interaksi atau tumpang tindih penggunaan habitat dengan bekantan. Jenis Pakan Pengamatan aktivitas makan dilakukan bersama dengan pengamatan pemanfaatan ruang. Untuk mengetahui jenis tumbuhan dan bagian yang disukai oleh bekantan dilakukan dengan metode IARF individual activity records of feeding Yeager 1989. Pada metode ini, satu jenis tumbuhan yang dimakan oleh satu individu bekantan yang teramati diberi nilai 1 satu. Dicatat juga bagian dari tumbuhan yang dimakan, meliputi daun, pucuk daun, buah, bunga, batang, dan tangkai daun. Analisis Data Habitat Untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis flora diketahui dari Indeks Nilai Penting, yaitu jumlah dari frekuensi relatif, kerapatan relatif dan dominansi relatif Mueller-Dombois Ellenberg 1974. Khusus untuk vegetasi pada tingkat semai indeks nilai penting dihitung dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif dengan frekuensi relatif. Profil habitat disajikan dalam bentuk digambar profil dua dimensi pada kertas milimeter blok dengan proyeksi dari samping dan dari atas penutupan tajuk, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat seberapa besar persamaan antar habitat dilakukan dengan menghitung indeks kesamaan komunitas Jaccard Ludwig Reynolds 1988 dengan rumus: JI dimana: JI : Indeks Jaccard a : jumlah jenis pada lokasi A b : jumlah jenis pada lokasi B c : jumlah jenis pada lokasi A dan B Populasi Data kelompok, jumlah individu bekantan ditabulasi berdasarkan struktur umur, jenis kelamin dan dianalisis secara deskriptif. Pemanfaatan Ruang Habitat Titik koordinat pergerakan kelompok bekantan di-overlay dengan peta habitat dan grid 20 x 20 m 0.04 ha. Grid yang dilalui pergerakan bekantan di arsir dengan arsiran berbeda antara home range dan core area-nya. Home range kelompok bekantan dihitung dengan menjumlahkan grid yang dilalui oleh kelompok bekantan kemudian dikalikan luas grid. Pergerakan secara vertikal, dihitung persentase penggunaan strata tajuk pada aktivitas makan, bergerak, sosial, istirahat, dan tidur. Data ditampilkan dalam bentuk grafik dan dianalisis secara deskriptif. Signifikansi proporsi aktivitas dengan lokasi lain, preferensi pemanfaatan strata tajuk dan preferensi jam aktivitas bekantan dianalisis menggunakan uji Chi-square χ 2 , dengan formula Siegel 1990: dimana: O i = banyak kasus diamati dalam kategori ke-i Ei = banyak yang diharapkan dalam kategori ke-i di bawah Ho ∑ = penjumlahan semua kategori k Hipotesis null Ho yang akan diuji adalah: 1 proporsi aktivitas bekantan dengan lokasi lainnya tidak berbeda, 2 tidak ada preferensi aktivitas harian bekantan pada jam-jam tertentu, 3 tidak ada preferensi ketinggian tajuk untuk aktivitas bekantan. Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika nilai χ 2 hitung lebih besar daripada χ 2 tabel pada p = 0.01. Perbedaan pergerakan harian daily range antar kelompok bekantan dianalisis dengan uji U Mann-Whitney Siegel 1990: 2 atau 2 dimana: n 1 = banyaknya kasus dalam kelompok yang lebih kecil n 2 = banyaknya kasus dalam kelompok yang lebih besar R 1 R 2 = jumlah ranking pada kelompok n 1 n 2 Hipotesis null Ho yang akan diuji adalah jarak pergerakan harian antar kelompok bekantan tidak berbeda. Kaidah keputusannya adalah menolak Ho jika nilai U lebih besar daripada U tabel pada p = 0.01. Jenis pakan yang digunakan oleh bekantan dijumlah skor masing-masing jenis tumbuhan dan bagian yang dimakan kemudian di ranking untuk mendapatkan jenis-jenis yang disukai. Data tampilkan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Isolasi Habitat Habitat bekantan di Kuala Samboja berada di sekitar aliran sungai Kuala Samboja sepanjang sekitar lima kilometer. Habitatnya tersisa hanya pada sisi kanan dan kiri sungai dengan lebar antara 0-200 m. Habitat terisolasi dan terfragmentasi oleh berbagai infrastruktur, lahan masyarakat, dan aktivitas masyarakat di sekitarnya. Isolasi dan fragmentasi habitat bekantan seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Isolasi dan fragmentasi habitat bekantan di sekitar Sungai Kuala Samboja Lokasi IsolasiAktivitas Sebelah utara Areal penggembalaan ternak, pagar-pagar pembatas lahan masyarakat yang terbuat dari kawat atau kayu, kanal normalisasi air Handil Jamur, Sungai Lempahung, kolam ikan, badan jalan baru, jalan tanah, dan jembatan. Sebelah selatan Jalan raya, permukiman penduduk, kebun masyarakat, bekas tambak, penambangan pasir, perusahaan pengolah limbah, dan jembatan. Sebelah timur Permukiman penduduk, tambak, jembatan, dan Selat Makassar. Sebelah barat Kanal normalisasi air Sungai Jerangin, kebun masyarakat dan areal penggembalaan ternak Aktivitas masyarakat lainnya di lokasi ini diantaranya adalah penggunaan sungai sebagai sarana transportasi, menjaring dan memancing ikan atau udang, pengambilan daun nipah, aktivitas penggembalaan ternak, jasa pencucian mobil, dan digunakan sebagai sarana MCK mandi, cuci, kakus. Luas areal yang masih viable menjadi habitat bekantan adalah sekitar 67.6 ha. Seluas 35.16 ha diantaranya di komunitas rambai, 19.64 ha di komunitas rambai-riparian, dan 12.8 ha di komunitas riparian. Peta isolasi habitat bekantan di Kuala Samboja tersaji pada Gambar 9, sedangkan kondisi isolasi habitat dijelaskan pada Lampiran 3. 35 Gambar 9 Peta isolasi habitat bekantan di sekitar Sungai Kuala Samboja. Vegetasi Penyusun Habitat Jumlah jenis Jenis tumbuhan yang menyusun habitat bekantan meliputi 79 jenis yang termasuk dalam 71 marga dan 45 suku, dari jumlah tersebut sebanyak 18 jenis dari 17 marga dan 15 suku adalah jenis liana dan herba. Sebanyak 58 jenis 51 marga dan 33 suku diantaranya dijumpai pada petak analisis vegetasi. Daftar jenis tumbuhan tersaji pada Lampiran 4. Struktur dan Komposisi Jenis Jenis yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas rambai hanya 4 jenis dengan dominansi rambai laut Sonneratia caseolaris baik pada tingkat pohon INP = 287.97; kerapatan 158 individuha, pancang INP = 160.50; kerapatan 3.520 individuha dan semai INP = 83.33; kerapatan 1.500 individuha. Kerapatan dan INP jenis pada habitat bekantan di komunitas rambai tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Kerapatan dan INP jenis pada habitat bekantan di komunitas rambai No Jenis K indha FR KR DR INP Pohon 1 Sonneratia caseolaris 158 90.91 98.44 98.62 287.97 2 Aglaia sp. 3 9.09 1.56 1.38 12.03 160 100.00 100.00 100.00 300.00 Pancang 1 Sonneratia caseolaris 3 520 46.15 46.56 67.79 160.50 2 Glochidion rubrum 1 400 38.46 18.52 7.51 64.49 3 Ardisia elliptica 2 640 15.38 34.92 24.70 75.00 7 560 100.00 100.00 100.00 300.00 Semai 1 Sonneratia caseolaris 1 500 33.33 50.00 - 83.33 2 Glochidion rubrum 1 250 33.33 41.67 - 75.00 3 Ardisia elliptica 250 33.33 8.33 - 41.67 3 000 100.00 100.00 - 200.00 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting Jenis liana, herba, dan tumbuhan lainnya di dalam dan di luar petak pengamatan diantaranya adalah Acanthus ilicifolius, Acrostichum aureum, Deris sp., Derris trifoliata, Flagellaria sp., Rhaphidophora sp., Scleria sp., dan Nipa fruticans. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai seperti tersaji pada Gambar 10. Gambar 10. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai Gambar 11. Kondisi habitat bekantan di komunitas rambai-riparian Jenis yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas rambai-riparian terdapat 27 jenis. Vegetasi tingkat pohon didominansi oleh jenis S. caseolaris INP = 77.76; kerapatan 60 individuha, tingkat pancang dan semai didominansi oleh jenis Ardisia elliptica INP = 132.28; kerapatan 4.560 individuha dan INP = 38.47; kerapatan 5.000 individuha. Kerapatan dan INP jenis pada komunitas rambai-riparian tersaji pada Tabel 5 dan Lampiran 5, sedangkan kondisi habitat seperti pada Gambar 11. Tabel 5. Kerapatan dan INP lima jenis tertinggi pada habitat bekantan di komunitas rambai-riparian No Jenis K indha FR KR DR INP Pohon 1 Sonneratia caseolaris 60 11.76 24.00 42.00 77.76 2 Cerbera manghas 53 8.82 21.00 14.98 44.80 3 Ardisia elliptica 40 14.71 16.00 6.44 37.15 4 Syzygium polyanthum 18 8.82 7.00 9.17 25.00 5 Elaeocarpus stipularis 23 8.82 9.00 4.26 22.08 Pancang 1 Ardisia elliptica 4 560 23.33 55.07 53.87 132.28 2 Sonneratia caseolaris 800 3.33 9.66 14.67 27.67 3 Guioa diplopetala 640 6.67 7.73 11.18 25.58 4 Glochidion rubrum 320 13.33 3.86 1.24 18.43 5 Cerbera manghas 560 3.33 6.76 6.96 17.06 Semai 1 Ardisia elliptica 5 000 16.00 22.47 - 38.47 2 Teijsmanniodendron coriaceum 4 500 8.00 20.22 - 28.22 3 Ficus sp. 2 2 250 16.00 10.11 - 26.11 4 Elaeocarpus stipularis 2 500 12.00 11.24 - 23.24 5 Melastoma malabathricum 3 000 8.00 13.48 - 21.48 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting Jenis palem, liana dan herba lainnya yang berada di dalam dan di luar petak pengamatan pada komunitas rambai-riparian diantaranya adalah Nipa fruticans, Acanthus ilicifolius , Acrostichum aureum, Bauhinia sp., Calamus sp., Deris sp., Derris trifoliata , Flagellaria sp., Mikania scandens, Rhaphidophora sp., Scleria sp., Uncaria sp., dan Famili Zingiberaceae. Jumlah jenis tumbuhan yang dijumpai pada petak pengamatan di komunitas riparian adalah 47 jenis. Vegetasi tingkat pohon didominansi oleh jenis Vitex pinnata INP = 108.98; kerapatan 242.5 individuha, tingkat pancang dan semai didominansi oleh jenis Elaeocarpus stipularis INP = 73.03; kerapatan 400 individuha dan INP = 36.54; kerapatan 2250 individuha. Kerapatan dan INP jenis pada komunitas riparian tersaji pada Tabel 6 dan Lampiran 6, sedangkan kondisi habitat seperti pada Gambar 12. Tabel 6. Kerapatan dan INP lima jenis tertinggi pada habitat bekantan di komunitas riparian No Jenis K indha FR KR DR INP Pohon 1 Vitex pinnata 243 18.75 44.50 45.74 108.98 2 Elaeocarpus stipularis 135 18.75 24.77 13.13 56.65 3 Heynea trijuga 98 14.58 17.89 11.47 43.94 4 Hevea brasiliensis 3 2.08 0.46 12.36 14.90 5 Artocarpus elasticus 10 6.25 1.83 1.86 9.94 Pancang 1 Elaeocarpus stipularis 400 17.16 12.66 43.21 73.03 2 Leea indica 200 27.61 6.33 6.12 40.06 3 Heynea trijuga 240 6.72 7.59 8.11 22.42 4 Baccaurea motleyana 280 4.10 8.86 2.79 15.75 5 Garcinia parvifolia 80 2.61 2.53 6.63 11.77 Semai 1 Elaeocarpus stipularis 2 250 17.39 19.15 - 36.54 2 Leea indica 1 500 13.04 12.77 - 25.81 3 Ficus sp. 1 1 000 8.70 8.51 - 17.21 4 Urophyllum sp. 750 6.52 6.38 - 12.90 5 Baccaurea motleyana 500 4.35 4.26 - 8.60 Keterangan: K = Kerapatan; FR = Frekuensi Relatif; KR = Kerapatan Relatif; DR = Dominansi Relatif; INP = Indeks Nilai Penting Jenis liana dan herba lainnya yang berada di dalam dan di luar petak pengamatan pada komunitas riparian diantaranya adalah Bauhinia sp., Calamus sp., Embelia sp., Flagellaria sp., Imperata cylindrica, Meremia sp., Mikania scandens , Rhaphidophora sp., dan Stenochlaena palustris. Gambar 12. Kondisi habitat bekantan di komunitas riparian Profil Habitat Berdasarkan profil habitat yang dibuat pada komunitas riparian, menunjukkan kondisi pohon dbh 10 cm rapat 400 pohonha, tajuk saling tumpang tindih satu dengan lainnya, dan hanya 1.2 pohon yang ketinggiannya lebih dari 15 m. Pada jarak sekitar 75 m dari tepi sungai sudah tidak dijumpai vegetasi tingkat pohon, yang ada hanya padang rumput dan semak belukar. Kerapatan pohon di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian hampir sama yaitu 155 pohonha dan 165 pohonha. Pada habitat komunitas rambai masih terdapat pohon S. caseolaris yang tinggi dan berdiameter besar, demikian juga di habitat rambai-riparian, namun jumlahnya lebih sedikit, sedangkan daerah tepi sungai didominansi oleh nipah Nipa fruticans. Kondisi tajuk yang diskontinyu pada komunitas rambai dan rambai-riparian menyebabkan seluruh permukaan tanah tertutup oleh tumbuhan bawah. Profil habitat pada komunitas rambai, komunitas rambai-riparian dan komunitas riparian tersaji pada Gambar 13, 14 dan 15, sedangkan data pohon dalam profil tersaji pada Lampiran 7, 8, dan 9. 41 Gambar 13 Profil habitat bekantan pada komunitas rambai di Kuala Samboja. Gambar 14 Profil habitat bekantan pada komunitas rambai-riparian di Kuala Samboja. 43 Gambar 15 Profil habitat bekantan pada komunitas riparian di Kuala Samboja. Kesamaan Komunitas Komunitas tumbuhan pada tiga lokasi habitat bekantan berbeda antara satu dengan lainnya. Hal itu dapat dilihat berdasarkan indeks kesamaan komunitas Jaccard yang menunjukkan bahwa komunitas rambai-riparian dengan komunitas riparian memiliki kesamaan komunitas sebesar 0.28, komunitas rambai dengan komunitas rambai-riparian sebesar 0.13, sedangkan komunitas rambai dengan komunitas riparian hanya 0.06 Tabel 7. Tabel 7 Matrik indeks kesamaan komunitas Jaccard antar tiga lokasi habitat. Komunitas rambai Komunitas rambai-riparian Komunitas riparian Komunitas rambai 1.00 0.13 0.06 Komunitas rambai-riparian 1.00 0.28 Komunitas riparian 1.00 Populasi dan Penyebaran Populasi bekantan yang teramati secara langsung adalah sekitar 143 ekor. Populasi bekantan tersebut sebanyak 98 ekor yang terbagi dalam 9 kelompok dapat diidentifikasi dan dikenali oleh peneliti, sedangkan 45 ekor lainnya tidak dapat dipastikan jumlah kelompoknya. Hal itu dikarenakan keterbatasan peneliti untuk dapat mengidentifikasi seluruh kelompok, setiap kelompok memiliki daerah jelajahnya masing-masing dan antar kelompok saling tumpang tindih. Sembilan kelompok bekantan yang dapat diidentifikasi, 6 kelompok diantaranya adalah one male group OMG, yang berada di komunitas rambai sebanyak satu kelompok, di komunitas rambai-riparian empat kelompok dan di komunitas riparian satu kelompok. Tiga kelompok lainnya adalah all male group AMG, yang tersebar di komunitas rambai sebanyak dua kelompok dan satu kelompok di komunitas riparian. Bekantan yang tidak dapat diidentifikasi seluruhnya berada di komunitas rambai. Sex ratio yang dihitung berdasarkan jumlah individu dewasa dan remaja pada pada kelompok OMG adalah 1: 3.9. Komposisi kelompok tersaji pada Tabel 8. Penyebaran bekantan pada habitat berdasarkan indikasi titik perjumpaan dan informasi masyarakat tersaji pada Gambar 16. Tabel 8 Komposisi kelompok bekantan di Kuala Samboja LokasiKomunitas Kelompok Jumlah JD JR BD BR An By Riparian AMG 1 6 2 4 Riparian Raja 10 1 1 3 1 3 1 Rambai-Riparian Zacky 12 1 6 4 1 Rambai-Riparian Becky 12 1 5 1 3 2 Rambai-Riparian J-Bond 15 1 6 2 3 3 Rambai-Riparian Baha 5 1 3 1 Rambai AMG 2 15 4 8 3 Rambai AMG 3 13 3 8 2 Rambai Stan 10 1 1 4 4 Rambai Unidentified 45 Total 143 15 22 27 4 23 7 Keterangan: JD=jantan dewasa; JR=jantan remaja; BD=betina dewasa; BR=betina remaja; An=anak; By=bayi Gambar 16 Indikasi titik penyebaran bekantan di Kuala Samboja. Pengenalan Kelompok Kelompok yang dipilih menjadi sampel dalam pengamatan perilaku sebanyak tiga kelompok. Alasan pemilihan kelompok sampel diantaranya adalah: mewakili tiga komunitas habitat, mudah mengenali kelompok, bisa dibedakan dengan kelompok yang lain, dan bisa diikuti pergerakan hariannya. Selanjutnya dilakukan pengenalan kelompok sampel dan habituasi. Bekantan di lokasi ini berdekatan dengan aktivitas masyarakat, sehingga sudah terbiasa dengan kehadiran manusia dalam jarak yang relatif dekat. Hal tersebut sangat membantu dalam proses habituasi. Deskripsi tiga kelompok sampel tersebut adalah sebagai berikut: Kelompok Stan : Kelompok yang mewakili komunitas habitat rambai. Jumlah individu 10 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan dewasa, 1 ekor jantan remaja, 4 ekor betina dewasa dan 4 ekor anak. Kelompok ini lebih dicirikan dengan masih adanya keberadaan jantan remaja dalam kelompok. Kelompok Zacky : Kelompok yang mewakili komunitas habitat rambai- riparian. Jumlah individu 12 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan dewasa, 6 ekor betina dewasa, 4 ekor anak dan 1 ekor bayi. Aktivitas kelompok ini simpatrik dengan kelompok Becky yang jumlahnya juga 12 ekor, namun berbeda dalam struktur umurnya. Selain itu jantan dewasa pada kelompok Becky dicirikan dengan postur tubuh yang lebih besar. Kelompok Raja : Kelompok yang mewakili komunitas habitat riparian. Jumlah individu sebanyak 9 ekor, yang terdiri dari 1 ekor jantan dewasa, 1 ekor jantan remaja, 3 ekor betina dewasa, 1 ekor betina remaja dan 3 ekor anak. Kelompok ini mudah dikenali, karena hanya ada dua kelompok yang menggunakan habitat ini. Kelompok yang hidup simpatrik dengan kelompok ini adalah kelompok all-male group. Proporsi Aktivitas Secara umum pola proporsi aktivitas time budget harian kelompok Stan dan Zacky hampir sama. Aktivitas makan tertinggi pada kelompok Stan 33.4, aktivitas bergerak dan tidur paling banyak pada kelompok Raja 20.5 dan 28.1, istirahat dan sosial tertinggi pada kelompok Zacky 37 dan 2.1 Gambar 17. tidur makan bergerak sosial istirahat Gambar 17 Perbandingan proporsi aktivitas tiga kelompok bekantan Stan a, Zacky b dan Raja c di Kuala Samboja. Berdasarkan analisis Chi square dengan didasarkan nilai frekuensi harapan menurut Bismark 1986 menunjukkan kesamaan proporsi aktivitas bekantan di TN Kutai dengan kelompok Zacky χ 2 = 8.55; db = 2; p 0.01 dan Raja χ 2 = 0.04; db = 2; p 0.01, sedangkan kelompok Stan proporsi aktivitasnya berbeda χ 2 = 15.48; db = 2; p 0.01. a b istirahat makan bergerak sosial tidur Gambar 18 Proporsi aktivitas bekantan jantan a dan betina b di Kuala Samboja. Berdasarkan jenis kelamin, betina memiliki aktivitas makan dan bergerak lebih tinggi 32.6 dan 11.5 dibandingkan jantan 28.4 dan 10.6, namun aktivitas istirahat termasuk tidur jantan lebih tinggi 61.0 dari betina 53.3. Proporsi aktivitas jantan dan betina tersaji pada Gambar 18. Aktivitas sosial hanya dilakukan oleh betina saja, yaitu sebesar 2.5, meliputi aktivitas allogrooming dan menyusui. Allogrooming dilakukan oleh betina dewasa terhadap betina dewasa lain atau betina dewasa terhadap anaknya. Aktivitas Harian Aktivitas makan kelompok Stan meningkat mulai pagi hari pukul 06.00 sampai dengan 08.00, kemudian cenderung menurun pada siang hari sekitar pukul 10.00 - 13.00. Pada sore hari pukul 16.00 - 17.00 aktivitas makan meningkat mencapai 69. Aktivitas istirahat banyak dilakukan pada siang hari pukul 10.00 - 13.00 berkisar antara 71 - 90. Aktivitas istirahat pada siang hari banyak dilakukan oleh bekantan untuk tidur, yaitu berkisar 34 - 78. Aktivitas bergerak banyak dilakukan pada pukul 14.00 - 15.00, yaitu sebesar 20 Gambar 19. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Stan mempunyai preferensi waktu tertentu untuk beraktivitas makan χ 2 = 100.7; p 0.01; n = 479, bergerak χ 2 = 104.8; p 0.01; n = 60 dan istirahat χ 2 = 70.8; p 0.01; n = 873. Aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu untuk beraktivitasnya χ 2 = 13.6; p 0.01; n = 20. makan tidur istirahat bergerak sosial Gambar 19 Aktivitas harian kelompok Stan. Aktivitas makan kelompok Zacky mulai pagi hari sampai pukul 14.00 tidak banyak mengalami perubahan hanya pada pukul 10.00 - 12.00 aktivitas makannya menurun seiring dengan aktivitas istirahat dan tidur yang tinggi. Pukul 14.00 aktivitas makan dan bergerak mulai meningkat kembali sampai pukul 17.00 menjelang istirahat di pohon tidur, dengan ditandai aktivitas istirahat diam yang meningkat. Grafik aktivitas harian kelompok Zacky tersaji pada Gambar 20. Aktivitas istirahat pada pagi hari banyak digunakan untuk tidur, sedangkan pada sore hari cenderung digunakan untuk istirahat diam. Aktivitas istirahat tidur mulai teramati sejak pagi hari sampai pukul 15.00, dan aktivitas tidur tertinggi terjadi pada tengah hari pukul 11.00 - 12.00, sebesar 24 saat kondisi matahari panas terik. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Zacky menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk beraktivitas makan χ 2 = 67.1; p 0.01; n = 403, bergerak χ 2 = 44.6; p 0.01; n = 114, sosial χ 2 = 60.8; p 0.01; n = 26, dan istirahat χ 2 = 76.9; p 0.01; n = 757. makan tidur istirahat bergerak sosial Gambar 20 Aktivitas harian kelompok Zacky. Aktivitas makan kelompok Raja dilakukan mulai pagi hari dan menurun pada pukul 10.00 - 12.00, kemudian cenderung meningkat lagi sampai sore pukul 17.00. Aktivitas bergerak kelompok Raja dibandingkan dua kelompok lainnya terlihat tidak beraturan pada waktu tertentu aktivitasnya sangat tinggi mencapai lebih dari 70, namun pada jam tertentu sama sekali tidak melakukan pergerakan. Grafik aktivitas harian kelompok Raja tersaji pada Gambar 21. Berdasarkan analisis statistik aktivitas kelompok Raja menunjukkan adanya preferensi waktu tertentu untuk melakukan aktivitas makan χ 2 = 130; p 0.01; n = 392, bergerak χ 2 = 338.8; p 0.01; n = 286, dan istirahat χ 2 = 168.9; p 0.01; n = 709, sedangkan aktivitas sosial tidak ada preferensi waktu tertentu χ 2 = 16.6; p 0.01; n = 5. makan tidur istirahat bergerak sosial Gambar 21 Aktivitas harian kelompok Raja. Pergerakan horizontal Rata-rata jarak pergerakan harian ketiga kelompok bekantan adalah 320.4 m dengan kisaran 25.7-749.9 m. Pergerakan harian kelompok Stan meliputi daerah di sekitar kanal Handil Jamur dan bekas tambak masyarakat. Koordinat pergerakannya berkisar antara 01 o 01’45” sd 01 o 02’05” LS dan 117 o 10’50” sd 117 o 11’25” BT. Pergerakan harian kelompok Stan rata-rata 289.2 m 96.6 - 537.5 m. Pergerakan harian kelompok Stan tersaji pada Gambar 22. Core area yang digunakan adalah pada pohon S. caseolaris, yaitu sebagai sumber pakan, pohon tidur dan tempat untuk beraktivitas. Pohon lain yang sering digunakan untuk beristirahat pada siang hari adalah pohon Aglaia sp. Pergerakan kelompok Zacky adalah di sekitar jembatan Kumala yang berdekatan dengan jalan raya dan permukiman penduduk. Kelompok ini sering menggunakan pohon S. caseolaris yang berada sekitar 15 - 20 m dari jalan raya. Koordinat pergerakannya berkisar antara 01 o 01’40” sd 01 o 01’50” LS dan 117 o 09’12” sd 117 o 12’42” BT. Jarak jelajah harian kelompok Zacky rata-rata adalah 260.7 m 25.7 – 482.8 m. Pergerakan harian kelompok Zacky tersaji pada Gambar 23. Pohon yang sering digunakan untuk istirahat pada siang hari selain S. caseolaris adalah Syzygium polyanthum, sedangkan pohon tidurnya adalah S. caseolaris dan Aglaia sp. Gambar 22 Pergerakan kelompok Stan tanggal 25-26 Nopember dan 18-25 Desember 2011. Gambar 23 Pergerakan kelompok Zacky pada tanggal 30 September sd 10 Oktober 2011. Gambar 24 Pergerakan kelompok Raja pada tanggal 31 Januari sd 6 Februari 2012. Pergerakan kelompok Raja adalah di sekitar kebun buah dan karet masyarakat, dibelakang perusahaan pengolah limbah sampai di sekitar kanal Sungai Jerangin. Koordinat pergerakan harian berkisar antara 01 o 01’15” sd 01 o 00’30” LS dan 117 o 09’05” sd 117 o 09’40” BT. Jarak pergerakan harian kelompok Raja rata-rata adalah 449 m 109.9 – 749.9 m. Pergerakan harian tersaji pada Gambar 24. Kelompok Raja menggunakan pohon V. pinnata, H. braziliensis , dan Artocarpus elasticus sebagai pohon tidurnya. Jarak pergerakan harian tiga kelompok yang diamati secara statistik berbeda antara yang satu dengan yang lain. Antara kelompok Stan dengan Zacky berbeda secara signifikan U = 39; n 1 = 9; n 2 = 9; α = 0.01, demikian pula kelompok Stan dengan Raja U = 14; n 1 = 5; n 2 = 9; α = 0.01, dan Zacky dengan Raja U = 15; n 1 = 5; n 2 = 9; α = 0.01. Luas home range kelompok Stan adalah 4.92 ha, sedangkan kelompok Zacky seluas 4.52 ha. Home range kelompok Zacky sebagian besar tumpang tindih dengan kelompok Becky dan sedikit bersinggungan dengan kelompok J- Bond . Home range kelompok Raja adalah seluas 6.92 ha. Peta home range kelompok Stan, Becky dan Raja masing tersaji pada Lampiran 10, 11 dan 12. Pemanfaatan Strata Tajuk Aktivitas makan dan bergerak kelompok Stan dan Zacky banyak dilakukan pada ketinggian 0 - 3 m 36.9 dan 76.8. Kedua kelompok tersebut berbeda dalam aktivitas sosial dan istirahatnya, dimana lebih dari 60 aktivitas sosial dan istirahat kelompok Stan pada ketinggian 6 m, sedangkan kelompok Zacky pada ketinggian 6 m. Hal yang berbeda ada pada kelompok Raja yang aktivitasnya sebagian besar dilakukan pada strata tengah dan atas. T in g g i m Makan N=733 Bergerak N=95 Istirahat N=669 Tidur N=497 Total N=2021 Aktivitas Gambar 25 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Stan. Kelompok Stan secara umum menggunakan seluruh strata pada habitat untuk beraktivias. Aktivitas makan dan bergerak banyak dilakukan pada ketinggian 0-3 m, bahkan aktivitas bergerak lebih dari 55 dilakukan pada ketinggian ini. Penggunaan strata untuk aktivitas istirahat dan tidur memiliki pola yang hampir sama yaitu lebih banyak dilakukan di ketinggian 9-12 m Gambar 25. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat preferensi penggunaan strata pohon pada aktivitas secara umum χ 2 = 229.8; p 0.01; db = 4; N = 2021, aktivitas makan χ 2 = 207.5; p 0.01; db = 4; N = 733, bergerak χ 2 =192.1; p 0.01; db = 4; N = 95, istirahat χ 2 = 120.1; p 0.01; db = 4; N = 696, dan tidur χ 2 = 124.1; p 0.01; db = 4; N = 497. Kelompok Stan menggunakan strata atas lebih dari 12 m masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 16.8. Hal tersebut dikarenakan pada habitatnya di komunitas rambai masih banyak dijumpai pohon dengan ketinggian lebih dari 12 m. Jika dilihat di dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, terdapat sebanyak 20 pohon 7.9 memiliki ketinggian berkisar antara 12-19 m Gambar 26. T ingg i m Diameter pohon cm Aktivitas bekantan Gambar 26 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Stan. Kelompok Zacky secara umum menggunakan strata ketinggian paling banyak pada ketinggian 0-6 m dan berangsur-angsur menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, kecuali pada aktivitas tidur yang lebih dari 40 dilakukan pada ketinggian 3-6 m dan tidak menggunakan strata lebih dari 12 m Gambar 27. Perhitungan statistik menunjukkan terdapat preferensi pemilihan ketinggian strata pohon terhadap aktivitas secara umum χ 2 = 532.6; p 0.01; db = 4; N = 1809, aktivitas makan χ 2 = 120.6; p 0.01; db = 4; N = 495, bergerak χ 2 =234.8; p 0.01; db = 4; 156, istirahat χ 2 = 170.5; p 0.01; db = 4; N = 664, dan tidur χ 2 = 265.0; p 0.01; db = 4; N = 494. Kelompok Zacky menggunakan strata atas lebih dari 12 m hanya sebanyak 5.6. Hal tersebut dikarenakan pada habitatnya di komunitas rambai-riparian, pohon dengan tinggi lebih dari 12 m jumlahnya lebih sedikit dibandingkan di komunitas rambai. Jika dilihat di dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, hanya 4.6 pohon yang tingginya berkisar 12-18 m Gambar 28. T in g g i m Makan N=495 Bergerak N=156 Istirahat N=664 Tidur N=494 Total N=1809 Aktivitas Gambar 27 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Zacky. T inggi m Diameter pohon cm Aktivitas bekantan Gambar 28 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Zacky. Aktivitas kelompok Raja dalam menggunakan strata ketinggian banyak dilakukan pada ketinggian 3-9 m. Aktivitas makan dan bergerak banyak dilakukan pada ketinggian 3-9 m, istirahat banyak dilakukan pada ketinggian 6-12 m, sedangkan tidur rata-rata dilakuka pada ketinggian diatas 6 m dan tidak pernah di lakukan di bawah Gambar 29. Perhitungan statistik menunjukkan bahwa terdapat preferensi penggunaan strata pohon terhadap aktivitas secara umum χ 2 = 435.8; p 0.01; db = 4; N = 1695, aktivitas makan χ 2 = 167.8; p 0.01; db = 4; N = 536, bergerak χ 2 = 209.1; p 0.01; db = 4; 264, istirahat χ 2 = 149.1; p 0.01; db = 4; N = 394, dan tidur χ 2 = 205.1; p 0.01; db = 4; N = 501. T in g g i m Makan N=536 Bergerak N=264 Istirahat N=394 Tidur N=501 Total N=1695 Aktivitas Gambar 29 Persentase penggunaan strata tajuk oleh kelompok Raja. K et inggi an m Diameter pohon cm Aktivitas bekantan Gambar 30 Grafik rata-rata tinggi pohon dengan persentase ketinggian aktivitas kelompok Raja. Komunitas riparian banyak dijumpai pohon dengan tinggi 12 m ke atas namun pohon-pohon tersebut sebagian besar berdiameter kecil. Jika dilihat di dalam petak analisis vegetasi yang dibuat, sebanyak 59 pohon dengan tinggi 12 m, 56 diantaranya berdiameter kurang dari 20 cm, sehingga bekantan banyak melakukan aktivitas di strata tengah Gambar 30. Jenis Pakan Sekurang-kurangnya terdapat 21 jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja. Sebanyak 12 jenis berhabitus pohon, 2 jenis pohon kecil, 5 jenis liana, 1 jenis paku-pakuan dan 1 jenis semak. Berdasarkan perhitungan IARF menunjukkan bahwa lima jenis tumbuhan paling disukai bekantan. Jenis tersebut adalah rambai laut Sonneratia caseolaris, laban Vitex pinnata, Deris sp., karet Hevea braziliensis dan api-api Avicenia cf. officinalis. Jenis tumbuhan sumber pakan bekantan dan bagian yang makan tersaji pada Tabel 9. 58 Tabel 9 Jenis tumbuhan sumber pakan bekantan di Kuala Samboja No Suku Jenis Habitus Bagian dimakan IARF Relatif Kelompok teramati Habitat Daun Buah Bunga Pucuk Tangkai batang 1 Sonneratiaceae Sonneratia caseolaris Pohon √ √ √ 82 34.5 3-10 A, B 2 Verbenaceae Vitex pinnata Pohon √ √ b √ a 46 19.3 1-6 B, C 3 Leguminosae-pap. Deris sp. Liana √ 18 7.6 3, 9 A, B 4 Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Pohon √ √ b 17 7.1 1-2 C 5 Avicenniaceae Avicenia cf. officinalis Pohon √ √ 13 5.5 7-8 A 6 Acanthaceae Acanthus ilicifolius Semak √ 9 3.8 9 A 7 Araceae Raphidophora sp. Liana √ 9 3.8 3, 9 A, B 8 Leguminosae-caes. Bauhinia sp. Liana √ √ 6 2.5 2 C 9 Leguminosae-pap. Derris trifoliata Liana √ √ 6 2.5 3 B 10 Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis Pohon √ a √ b √ 5 2.1 1-2 C 11 Flagellariaceae Flagelaria sp. Liana √ √ 4 1.7 3-5, 9 A, B 12 Malvaceae Hibiscus tiliaceus Pohon √ 4 1.7 1-2 C 13 Dipterocarpaceae Vatica pauciflora Pohon √ 4 1.7 1-2 C 14 Anacardiaceae Buchanania arborescens Pohon √ √ √ 3 1.3 2 C 15 Rubiaceae Oxyceros longiflora Pohon kecil √ 3 1.3 5 B 16 Euphorbiaceae Baccaurea motleyana Pohon √ 2 0.8 2 C 17 Verbenaceae Teijsmanniodendron coriaceum Pohon kecil √ 2 0.8 5 B 18 Myrtaceae Syzygium sp Pohon √ 2 0.8 10 A 19 Dilleniaceae Dillenia suffruticosa Pohon √ 1 0.4 2 C 20 Meliaceae Sandoricum koetjape Pohon √ 1 0.4 1 C 21 Blechnaceae Stenochlaena palustris Paku-pakuan √ 1 0.4 2 C 238 100 Keterangan: Kelompok : 1. AMG1; 2. Raja; 3. Zacky; 4. Becky; 5. J-Bond; 6. Baha; 7. AMG2; 8. AMG3; 9. Stan; 10. Unidentified. Habitat : A = Komunitas rambai; B = Komunitas rambai-riparian; C = Komunitas riparian Sumber : a Matsuda 2008; b Soendjoto et al. 2006 PEMBAHASAN Tekanan Terhadap Habitat Tekanan isolasi dan fragmentasi habitat bekantan di Kuala Samboja diperkirakan akan semakin besar dimasa yang akan datang. Hal itu dikarenakan semakin berkembangnya daerah, jumlah penduduk semakin meningkat, dan banyaknya perusahaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan daerah diantaranya adalah dengan adanya rencana pemekaran wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi Kabupaten Kutai Pesisir, yang meliputi kecamatan yang ada di tepi pantai seperti Kecamatan Samboja, Anggana, dan Muara Jawa. Pemekaran wilayah di tingkat kelurahan juga direncanakan pada kelurahan Kuala Samboja yang akan dibagi menjadi Kelurahan Kuala Samboja dan Kelurahan Kampung Lama. Berdasarkan Monografi kecamatan Samboja menunjukkan pertambahan penduduk di Kecamatan Samboja pada tahun 2011 adalah sebesar 3.16, sedangkan pertambahan penduduk di Kelurahan Kuala Samboja adalah sebesar 1.45. Pembukaan tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit di daerah Samboja dan sekitarnya juga sangat berperan terhadap perkembangan daerah ini. Penduduk yang semakin meningkat berimplikasi terhadap pembukaan lahan untuk permukiman dan sarana penunjang lainnya. Pembukaan lahan tidak menutup kemungkinan dilakukan di sempadan sungai Kuala Samboja dan daerah yang masih berhutan, yang merupakan habitat bekantan. Walaupun sebenarnya masih banyak lahan kosong milik masyarakat yang saat ini hanya digunakan untuk menggembalakan ternak sapi. Komunitas Habitat Habitat bekantan terdiri dari komunitas rambai, komunitas rambai-riparian, dan komunitas riparian, dengan indeks kesamaan komunitas berkisar antara 0.06 – 0.28. Jumlah jenis yang ada pada petak analisis vegetasi pada tiga komunitas tersebut lebih tinggi 58 jenis, 51 marga, 33 suku dibandingkan di habitat bekantan lainnya yang tidak dilindungi. Sebagai perbandingan, jumlah jenis tumbuhan pada habitat bekantan di Delta Mahakam adalah sebanyak 46 jenis tumbuhan 44 marga, 31 suku pada petak pengamatan contoh seluas 3,22 ha Atmoko Sidiyasa 2008, sedangkan di habitat bekantan hutan karet Kabupaten Tabalong dijumpai sebanyak 46 jenis tumbuhan 36 marga, 23 suku pada areal contoh seluas 1,6 ha Soendjoto 2005. Jumlah jenis pada habitat bekantan di areal dilindungi jauh lebih tinggi, yaitu sebanyak 90 jenis tumbuhan 92 marga, 33 suku pada areal contoh seluas 2,02 ha di habitat rawa gambut air tawar di TN. Tanjung Puting Yeager 1989, sedangkan penelitian Matsuda 2008 di hutan riparian Sabah Malaysia yang daerah tepi sungainya dilindungi terdapat sebanyak 180 jenis tumbuhan berhabitus pohon dan liana, yang termasuk dalam 124 marga dan 46 suku pada areal contoh 2,15 ha. Banyak faktor yang mempengaruhi komunitas tumbuhan pada suatu habitat, diantaranya adalah tingkat gangguan dari luar dan kondisi lingkungannya, seperti kondisi tanah, ketinggian, cahaya matahari, air, dan curah hujan. Menurut Chapman et al 2004 curah hujan dan penyebaran musim hujan berpengaruh terhadap komunitas tumbuhan, kondisi tersebut ikut mempengaruhi kehidupan primata yang ada, karena perbedaan komposisi dan keanekaragaman tumbuhan tersebut berpengaruh terhadap ketersedaan sumber pakan. Zona riparian yang berada di tepi sungai mempunyai peranan penting bagi kehidupan satwaliar, karena: 1 tersedianya air yang menjadi komponen habitat penting yang diperlukan satwaliar, 2 keberadaan air yang cukup dengan dikombinasikan kondisi tanah akan menyediakan tempat tumbuh yang sesuai dan meningkatkan pertumbuhan biomasa, sehingga dapat meningkatkan keanekaragaman tumbuhan dan struktur komunitas, 3 merupakan daerah pertemuan beberapa tipe habitat sehingga meningkatkan keanekaragamannya, 4 bentuk daerah riparian mengikuti garis sungai memaksimalkan pertumbuhan di daerah tepi dan juga produktivitas satwaliar, 5 daerah tepi sungai menciptakan strata yang lebih banyak sehingga jumlah jenisnya juga tinggi, 6 menciptakan mikroklimat kelembaban udara, transpirasi, kesejukan, aliran udara yang berbeda dengan daerah di sekitarnya, yang disukai oleh satwaliar, 7 daerah riparian dapat menjadi jalur migrasi bagi satwaliar, dan 8 menjadi koridor yang menghubungkan antar habitat Thomas et el. 1979. Sistem Regenerasi Sistem regenerasi jenis tumbuhan adalah hal yang penting untuk keberlangsungan jenis tersebut di masa yang akan datang. Sistem regenerasi tumbuhan dapat dilihat dari kehadiran jenis-jenis tersebut pada semua tingkat vegetasi dan tingkat kerapatannya. Sepuluh dari 58 jenis yang ada dalam petak analisis vegetasi pada penelitian ini dijumpai pada tiga tingkat vegetasi, yaitu tingkat pohon, pancang dan semai. Jenis tersebut adalah Ardisia elliptica, Elaeocarpus stipularis , Glochidion rubrum, Heynea trijuga, Melanochyla auriculata , Melicope luna-ankenda, Syzygium polyanthum, Sonneratia caseolaris, Teijsmanniodendron coriaceum dan Vitex pinnata. Jenis S. caseolaris pada komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian adalah sumber pakan utama, pohon tidur, dan tempat beraktivitas bekantan di kedua komunitas ini. Tingkat kerapatan pohon rambai di komunitas rambai- riparian lebih rendah 60 indha dibandingkan pada komunitas rambai 158 indha. Kondisi tersebut menyebabkan beberapa pohon S. caseolaris di komunitas rambai-riparian terlihat gundul karena daunnya habis dimakan bekantan. Permasalahan lainnya adalah tingkat erosi yang tinggi terhadap tepi kanan dan kiri sungai menyebabkan sebagian besar pohon S. caseolaris yang tumbuh di tepi sungai miring dan rebah ke sungai. Pohon S. caseolaris dominan pada komunitas rambai INP = 287.97 dan rambai-riparian INP = 77.76, namun sistem regenerasinya kurang baik. Kerapatan S. caseolaris tingkat semai di komunitas rambai rendah, yaitu hanya 1500 indha sedangkan tingkat pancang mencapai 3520 indha, demikian juga pada komunitas rambai-riparian, kerapatan tingkat pancang tinggi 800 indha, namun tingkat semai tidak dijumpai sama sekali. Sistem regenerasi yang baik seharusnya ditunjukkan dengan kerapatan tingkat semai lebih tinggi dari pancang dan kerapatan pancang lebih tinggi dari tingkat pohon. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Sidiyasa et al. 2005. Penyebab rendahnya vegetasi tingkat semai di komunitas rambai dan rambai-riparian adalah tertutupnya sebagian besar permukaan tanah oleh jenis liana dan herba lainnya, sehingga semai-semai tersebut tertekan dan banyak yang mati. Seperti dilaporkan oleh Bismark 1994 bahwa pada habitat bekantan dengan adanya Acrostichum aureum yang tumbuh rapat menutup tanah menyebabkan anakan viviparous seed jenis bakau terganggu pertumbuhannya karena kekurangan cahaya atau posisi tumbuhnya kurang baik. Profil Habitat Tajuk pohon yang dibentuk pada komunitas rambai dan rambai-riparian secara umum diskontinyu, sehingga banyak ruang antar tajuk pohon. Areal di komunitas rambai adalah bekas tambak yang sudah tidak produktif, sehingga pohon Sonneratia caseolaris yang ada adalah pohon-pohon yang tersisa dari pembukaan tambak tersebut. Pohon di komunitas rambai lebih jarang, lebih menyebar dan lebih tinggi 19.4 tingginya 15 m dibandingkan di komunitas rambai-riparian 3 tingginya 15 m. Ruang antar pohon yang terbuka di komunitas rambai dan rambai-riparian memberikan ruang kepada tumbuhan bawah seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum aureum untuk tumbuh rapat dan menutup permukaan tanah. Berbeda dengan dua komunitas sebelumnya, profil habitat pada komunitas riparian kondisinya lebih rapat dan tajuk pohon terbentuk secara kontinyu. Sebagian areal di lokasi riparian adalah kebun buah-buahan dan karet milik masyarakat. Buah yang ditanam adalah buah manggis, rambai darat, dan ketjapi. Kondisi kebun tidak dipelihara dan dirawat secara intensif, pembersihan sekitar pohon buah hanya dilakukan menjelang musim buah. Jalur-jalur rintisan dibuat hanya jalan menuju pohon karet untuk keperluan menyadap getahnya, selebihnya dibiarkan begitu saja. Kondisi tersebut menyebabkan berbagai jenis tumbuhan lain seperti rotan, liana dan tumbuhan liar lainnya tumbuh dengan rapat pada tajuk dan pohon tepi sungai. Keberadaan jenis-jenis yang tumbuh liar tersebut berperan penting sebagai sumber pakan lain bagi bekantan. Populasi Apabila dibandingkan dengan laporan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa populasi bekantan di Sungai Kuala Samboja mengalami peningkatan. Pada tahun 1989 di lokasi yang sama dilaporkan terdapat lima kelompok bekantan dengan jumlah sebanyak 90 ekor Yasuma 1994, pada tahun 1991 populasinya menjadi 98 ekor Alikodra 1997, tahun 1993 meningkat menjadi tujuh kelompok dengan populasi 103 ekor Alikodra et al. 1995. Persentase keberadaan bayi pada penelitian ini hanya 7.1 dari populasi yang ada, padahal sekitar 20 tahun yang lalu persentase bayi dilaporkan mencapai 21.4 Alikodra 1997. Hal ini sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi habitat yang berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas sumber pakan. Hal yang menarik dari hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu adalah tidak adanya laporan sebelumnya yang melaporkan keberadaan kelompok all-male group AMG di lokasi ini. Pada penelitian ini dijumpai sekurang-kurangnya tiga kelompok AMG dengan jumlah kelompok berkisar antara 6-15 ekor, yang terdiri dari jantan dewasa, jantan remaja dan anak- anak. Satu kelompok AMG berada di komunitas riparian dan dua kelompok lainnya berada di komunitas rambai. Pada habitat bekantan lainnya jumlah kelompok pada AMG bervariasi, mulai dari 6 ekor di Labuk Bay Agoramoorthy Hsu 2005, 8 ekor di Kinabatangan Boonratana 1999, 12 ekor di Samunsam, Serawak Bennett Sebastian 1988, dan 30 ekor di Sungai Menanggul Murai 2004. Murai 2004 melaporkan bahwa fragmentasi habitat bekantan akibat pembangunan kebun kelapa sawit di Sungai Menanggul menyebabkan peningkatan ukuran kelompok AMG. Saat kebun kelapa sawit baru dibuka tahun 1990-1991 di sekitar Sungai Menanggul dijumpai tiga kelompok AMG dengan jumlah berkisar antara 8-10 ekor, namun tahun 2000 kelompok AMG mencapai 30 ekor Murai 2004. Habitat yang rusak atau terfragmentasi menyebabkan tajuk pohon lebih terbuka dan ancaman predator akan semakin tinggi, sehingga dengan membentuk kelompok AMG yang besar dapat melawan ancaman dari predator. Sex ratio bekantan pada penelitian ini adalah 1:3.9, masih dalam kisaran sex ratio hasil penelitian sebelumnya di lokasi yang sama pada tahun 1991, yaitu berkisar antara 1:3-1:6 Alikodra 1997. Sex ratio kelompok bekantan di beberapa lokasi lainnya bervariasi, diantaranya di TN Kutai 1:2.55 Bismark 1995, di TN Tanjung Puting 1:1.5 Bismark 1981, 1:4.2 Yeager 1992, di Kabupaten Tabalong 1:2.83 Soendjoto 2005, di Kinabatangan 1:8.4 Boonratana 2000a, dan di Labuk Bay Sabah 1:5 Agoramoorthy Hsu 2005. Aktivitas Proporsi aktivitas kelompok Zacky dan Raja sama dengan proporsi aktivitas kelompok bekantan di TN Kutai, sedangkan pada kelompok Stan berbeda. Hal itu menunjukkan bahwa walaupun kelompok Stan beraktivitas di komunitas rambai yang didominansi oleh jenis mangrove seperti halnya di TN Kutai, namun perbedaan kondisi kerapatan pohon, variasi jenis tumbuhan, dan ketersediaan pakan menyebabkan proporsi aktivitasnya berbeda. Pada komunitas rambai, hanya dijumpai satu jenis mangrove S. caseolaris, sedangkan di TN Kutai terdiri dari Rhizophora mucronata, R. Apiculata, Bruguiera sexangula, B. parvifolia, B. caryophylloides, Avicennia alba, dan Ceriops tagal Bismark 1986. Selain itu komunitas mangrove di TN Kutai lebih rapat 311.04 pohonha dan tajuknya kontinyu, sedangkan di lokasi penelitian ini kondisinya lebih jarang 158 pohonha dan tajuk diskontinyu. Hasil penelitian Bismak 1986 dijadikan acuan sebagai frekuensi harapan dalam analisis karena empat alasan, yaitu: 1 habitatnya berada di kawasan konservasi yang sedikit mengalami gangguan, 2 lokasi penelitian di areal mangrove, 3 tipe datanya relatif sama dengan penelitian ini, dan 4 kepadatan bekantan relatif sedang 60 ekorkm 2 . Secara umum, waktu yang digunakan oleh bekantan di Kuala Samboja untuk istirahat dan tidur siang lebih dari setengah dari aktivitas hariannya. Hal tersebut diperkuat oleh McDade 2005 yang menyatakan bahwa bekantan mencari pakan pada pagi hari, kemudian istirahat dalam waktu yang cukup lama untuk mencerna pakannya dan makan lagi menjelang petang. Seperti halnya jenis ruminansia, waktu istirahat yang panjang digunakan untuk mencerna pakannya, salah satunya adalah dengan melakukan remastication. Remastication adalah perilaku bekantan mengeluarkan kembali pakannya ke mulut kemudian mengunyahnya kembali sebelum benar-benar menelannya. Aktivitas bergerak kelompok Raja paling tinggi sedangkan waktu istirahatnya paling rendah jika dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Hal itu berkaitan dengan kondisi habitat di komunitas riparian yang memanjang di tepi sungai dengan vegetasi lebih rapat dan sumber pakan tersebar. Pergerakan untuk mencapai pohon pakan yang satu ke pohon pakan lainnya harus terlebih dahulu melalui pohon-pohon lain yang ada di sekitarnya. Selain itu jenis yang banyak dan rapat menyebabkan diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencari dan memilih pakan yang disukai foraging. Selaras dengan penelitian Yang et al. 2007 pada subfamily Colobinae lainnya yaitu Trachypithecus francoisi menunjukkan bahwa pada habitat yang masih baik aktivitas bergerak dan foraging cenderung lebih rendah dan istirahatnya lebih tinggi dibandingkan pada habitat yang rusak. Aktivitas makan dan bergerak bekantan betina lebih tinggi dibandingkan jantan, namun aktivitas istirahatnya lebih rendah. Betina memerlukan makan yang lebih banyak untuk mendapatkan energi yang lebih untuk menyusui, merawat bayi, dan menunjang sistem reproduksinya. Jantan lebih banyak beristirahat sebagai upaya untuk menghemat energi Bobot badannya yang lebih berat sehingga pergerakannya juga memerlukan energi yang lebih tinggi, selain itu jantan memerlukan cadangan energi lebih untuk melindungi kelompoknya dari ancaman predator. Selama penelitian tidak dijumpai adanya aktivitas sexual, padahal menurut Nowak 1999 bekantan tidak mengenal musim kawin, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Kondisi tersebut dimungkinkan karena pada saat penelitian beberapa betina dewasa sedang menyusui bayi atau anaknya. Betina dewasa yang sedang bersama dengan bayinya cenderung menghidar saat jantan akan mendekatinya Agoramoorthy Hsu 2005. Gorzitze 1996 melaporkan bahwa puncak kopulasi bekantan terjadi pada bulan Oktober dan tidak terlihat perilaku kopulasi selama kebuntingan sampai beranak pada bulan Nopember dan Desember. Kopulasi pada bekantan di habitat liar juga terjadi pada bulan Januari, Juni, Agustus, dan Nopember Agoramoorthy Hsu 2005; Murai et al. 2007, sedangkan berdasarkan observasi yang penulis lakukan di Taman Safari Cisarua menunjukkan kopulasi terjadi juga pada bulan Desember. Kelompok Stan dan Zacky sudah terhabituasi oleh kehadiran manusia dengan segala aktivitasnya. Beberapa kali pengamatan pada pagi hari saat kelompok Zacky masih tidur di pohon yang berdekatan dengan jalan raya terlihat bahwa bekantan tidak terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh kendaraan yang melintas. Demikian juga dengan kelompok Stan yang tetap tenang melakukan aktivitasnya, walaupun di sekitar lokasi tersebut ada aktivitas masyarakat yang sedang memancing, memasang atau memeriksa bubu, atau mengambil dan mengangkut daun nipah. Bekantan di lokasi lainnya lebih sensitif dengan kehadiran manusia. Menurut Boonratana 2000b, bekantan di Kinabatangan, Sabah Malaysia menggunakan sebanyak 27.8 - 30 dari waktu aktivitasnya untuk kewaspadaan. Berdasarkan pengalaman penulis di Sungai Batu Barat, TN Gunung Palung, di Delta Mahakam dan di Teluk Balikpapan juga menjumpai bekantan dengan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kehadiran manusia. Pergerakan Horizontal Pergerakan harian daily range kelompok bekantan bervariasi, yaitu berkisar antara 25-749 m rata-rata 320 m. Pergerakah terpendek dilakukan oleh kelompok Zacky pada saat terjadi hujan hampir sepanjang hari, sedangkan pergerakan terjauh dilakukan oleh kelompok Raja saat menghindar dari anjing yang masuk ke kebun buah masyarakat. Hasil ini memperkuat penelitian Boonratana 2000a bahwa pergerakan harian bekantan sangat bervariasi antar hari maupun antar bulan. Pergerakan harian kelompok bekantan di lokasi ini lebih pendek dibandingkan di lokasi lainnya yang rata-rata 541 m Soendjoto 2005, 799 m Matsuda et al. 2009a, 910 m Boonratana 2000a, dan 1.007 m Bismark 1986. Perjalanan harian bekantan dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi ketersediaan pakan. Jarak perjalanan harian bekantan berkorelasi negatif secara nyata terhadap curah hujan, yaitu jaraknya menurun pada bulan-bulan dengan curan hujan tinggi dan meningkat pada bulan dengan curah hujan rendah Bismark 2009. Berbeda dengan hasil penelitian Boonratana 2000a yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara rata-rata jarak pergerakan harian bulanan dengan curah hujan, fenologi, dan pakan buah, biji, bunga, namun jarak pergerakan harian berkorelasi dengan sumber pakan daun muda. Matsuda et al. 2009a menambahkan bahwa perjalanan harian bekantan akan lebih jauh pada saat proporsi pakannya lebih banyak daun muda dari pada buah, sehingga kelompok bekantan akan lebih sering menggunakan areal yang berdekatan dengan tepi sungai yang ketersedian buah tinggi. Areal pergerakan bekantan di lokasi penelitian dapat disebut home range. Habitatnya yang hanya terbatas di tepi sungai dan terisolasi oleh aktivitas masyarakat, sehingga kecil kemungkinan luas areal pergerakannya meningkat lagi. Penelitian sebelumnya, melaporkan bahwa home range bekantan di Kuala Samboja berkisar antara 15.47-30.71 ha Alikodra 1997, sedangkan saat ini menurun menjadi 4.52-6.92 ha. Home range kelompok Raja paling luas dibandingkan dua kelompok sampel lainnya, hal ini dimungkinkan karena arealnya jarang tertutup air sehingga ancaman potensial pemangsa dari darat seperti anjing kampung lebih besar. Kelompok Raja menghindari ancaman pemangsa dengan memperluas home range. Ancaman pemangsa darat kelompok Stan dan Zacky kecil karena pada home range-nya hampir selalu tergenang air. Secara umum luas home range tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan bekantan yang hidup di kawasan konservasi atau lokasi dengan sedikit gangguan, karena luasnya bisa mencapai 900 ha Bennett Sebastian 1988. Sebagian data home range kelompok Raja didasarkan pada titik perjumpaan kelompok pada saat studi pendahuluan. Pergerakan kelompok Raja mulai diikuti dari kebun buah-buahan masyarakat, dengan arah pergerakan menuju ke arah hulu. Saat itu adalah musim buah-buahan sedang masak, sehingga kelompok monyet ekor panjang datang mencari pakan ke lokasi ini. Keberadaan monyet tersebut menyebabkan anjing berdatangan untuk memburu atau mengusirnya dengan mengeluarkan salakan dan gonggongan. Hal ini menyebabkan kelompok bekantan menghindar dengan bergerak ke atas ke arah hulu sungai. Sampai penelitian ini berakhir bekantan belum kembali ke kebun buah-buahan masyarakat, padahal kelompok ini beberapa kali teramati di kebun buah masyarakat pada saat studi pendahuluan, yaitu sebelum musim buah masak terjadi. Menurunnya luas home range bekantan di Kuala Samboja dibandingkan penelitian sebelumnya lebih dikarenakan habitatnya semakin sempit dan fragmentasi habitat semakin meningkat. Pergerakan Vertikal Aktivitas penggunaan strata tajuk dipengaruhi oleh kondisi habitat pakan, kerapatan, kondisi pohon, dan struktur tajuk, selain itu berdasarkan pengamatan juga dipengaruhi oleh suhu, tiupan angin, dan keberadaan pemangsa. Kerapatan vegetasi, keberadaan pohon yang tinggi dan tajuknya saling bertautan berpengaruh terhadap aktivitas kelompok bekantan. Kelompok Stan dan Zacky banyak melakukan aktivitas makan dan bergerak di lantai hutan karena kondisi vegetasinya jarang dan tajuk tidak bersinggungan satu dengan lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya bekantan harus turun terlebih dahulu ke lantai hutan. Selain itu di lantai hutan juga terdapat sumber pakan lainnya seperti daun Deris sp., bunga Acanthus ilicifolius, batang atau daun muda Flagelaria sp., dan pucuk Rhapidophora sp. Kelompok Raja jarang beraktivitas di lantai hutan karena kondisi habitatnya rapat, tajuk saling bertautan dan sumber pakan sebagian besar berada di strata atas, sehingga pergerakan dapat dilakukan melalui cabang antar pohon. Bekantan memilih strata ketinggian pohon untuk beraktivitas juga memperhatikan kekuatan cabang pohon untuk menahan bobot badannya yang relatif besar dibandingkan subfamili Colobinae lainnya. Hal ini yang menyebabkan betina yang bobotnya hanya setengah dari jantan lebih banyak 34.9 beraktivitas di strata tajuk yang tinggi 10 m dibandingkan yang jantan 31.7. Selain itu untuk mengurangi resiko dahan yang digunakan patah, jantan sering menggunakan cabang yang dekat dengan batang pohon yang relatif besar dan kuat. Bismark 1994 menyatakan bahwa pemilihan strata bawah 0-5 m banyak digunakan untuk pergerakan karena bobot badannya berat dan memerlukan batang yang besar untuk keseimbangan dalam berjalan. Ketinggian penggunaan strata tajuk juga karena faktor suhu. Sesaat setelah hujan, kondisi tajuk bagian bawah masih lembab oleh air hujan sedangkan pada strata atas sudah mulai hangat oleh sinar matahari. Saat itulah bekantan akan naik ke strata yang lebih tinggi, sebagai upaya untuk menghangatkan suhu tubuh atau mengeringkan badannya dari air hujan. Bismark 1994 menyatakan bahwa pada tengah hari, bekantan menggunakan strata tengah 10-15 m terutama untuk istirahat, sedangkan strata atas berfungsi sebagai pelindung dari panas, hal itu dikarenakan perbedaan suhu pada ketinggian di atas 20 m dengan dibawah 17 m adalah 1.5 o C. Tiupan angin berpengaruh terhadap ketinggian penggunaan strata tajuk oleh bekantan. Pada saat datang angin yang bertiup kencang, bekantan akan turun dari strata tajuk yang yang tinggi ke strata tajuk yang lebih rendah. Kondisi tersebut sering teramati sesaat sebelum hujan turun atau saat hujan deras disertai angin. Perilaku tersebut adalah salah satu upaya untuk mengurangi resiko jatuh dari ketinggian, cabang pohon patah atau bahkan pohon tumbang tertiup angin. Keberadaan pemangsa juga berpengaruh terhadap ketinggian aktivitas bekantan. Elang adalah potensial pemangsa yang berpengaruh terhadap aktivitas bekantan dalam memanfaatkan strata ketinggian tajuk. Sekurang-kurangnya terdapat dua jenis elang teramati sedang terbang atau bertengger di pohon selama penelitian. Pengaruh tersebut terlihat saat seekor elang yang sedang terbang berkeliling di atas pohon tempat bekantan beraktivitas, langsung direspon jantan dewasa dengan mengeluarkan alarm call tanda bahaya sambil segera turun dari ketinggian sekitar 17 m ke strata yang lebih rendah dengan diikuti oleh anggota kelompok lainnya. Hasil ini memperkuat pernyataan Bismark 1986 bahwa pemilihan strata bawah untuk aktivitas bekantan salah satunya adalah untuk menghindari pemangsa, yaitu elang Spizaetus alboniger, Spilornis cheela, dan Accipiter badius . Menurut Soendjoto 2005 bekantan yang hidup di hutan karet sebagian besar aktivitasnya dilakukan pada strata di bawah 15 m, hal itu dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, sumber pakan yang sebagian besar adalah daun-daunan tersedia pada semua strata ketinggian. Kedua, pada ketinggian kurang dari 15 m percabangan pohon banyak terbentuk dan tajuk yang rimbun. Kondisi tersebut menciptakan iklim mikro yang nyaman bagi bekantan untuk istirahat, makan, dan berlindung dari terik matahari. Ketiga, aktivitas di atas 15 m beresiko bekantan jatuh dan mengakibatkan trauma. Keempat, bergerak ke ketinggian lebih dari 15 m memerlukan energi yang lebih besar. Jenis arboreal lainnya seperti Colobus badius dalam menggunakan strata ketinggian pohon dipengaruhi oleh musim. Musim kering C. badius lebih banyak menggunakan strata atas dan tengah, sedangkan pada musim basah 60-80 waktu aktivitasnya dilakukan pada strata tengah Gebo Chapman 1995. Hylobates lar dan H. moloch lebih memilih pucuk dan kanopi atas pohon yang tinggi untuk beraktivitas, namun pada hutan yang terganggu dimana pohon-pohon besar sudah hilang, aktivitasnya banyak dilakukan di kanopi bagian tengah Nijman 2001. Sumber Pakan Jenis laban Vitex pinnata adalah pakan utama di komunitas riparian sedangkan rambai laut S. caseolaris menjadi pakan utama di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian. Jenis mangrove lainnya selain rambai laut adalah api-api Avicenia cf. officinalis . D aun dan buah api-api dimakan oleh kelompok AMG 1 di bawah komunitas rambai yang berdekatan dengan muara sungai. Berdasarkan pengamatan penulis penyebaran jenis api-api hanya dijumpai di lokasi tersebut dengan kondisi kadar garam yang lebih tinggi. Penggunaan S. caseolaris sebagai sumber pakan utama bekantan juga di laporkan di Delta Mahakam Alikodra Mustari 1994; Atmoko et al. 2007, Sungai Sepaku, dan Sungai Semoi, Kalimantan Timur Atmoko et al. 2011, namun penelitian Saidah et al. 2002 di kawasan mangrove Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, menunjukkan hal yang berbeda, dimana bekantan sama sekali tidak memanfaatkan S. caseolaris baik sebagai sumber pakan maupun tempat beraktivitas. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa sumber pakan utama bekantan adalah Rhizophora mucronata dan Bruguiera parvifolia. Jenis tumbuhan bawah dan liana yang banyak dijumpai di ketiga lokasi ternyata juga digunakan oleh bekantan sebagai sumber pakannya. Berdasarkan nilai IARF jenis Deris sp., Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Bauhinia sp dan Derris trifoliate sering dimakan oleh bekantan. Acanthus ilicifolius, Raphidophora sp., Flagelaria sp., dan Oxyceros longiflora adalah jenis yang belum pernah dilaporkan sebagai sumber pakan bekantan pada penelitian di habitat bekantan lainnya Salter et al. 1985; Bismark 1986, 1994; Yeager 1989, 1995; Alikodra Mustari 1994; Yeager et al. 1997; Alikodra 1997; Atmoko Sidiyasa 2008; Saidah et al. 2002; Soendjoto et al. 2006; Kartono et al. 2008; Matsuda et al. 2009b. Ada dua kemungkinan alasan penggunaan jenis tersebut sebagai sumber pakan. Pertama dikarenakan ketersediaan sumber pakan yang umum dimakan terbatas keberadaannya, sehingga bekantan beradaptasi dengan memakan jenis-jenis tersebut. Kedua untuk memenuhi kebutuhan mineral yang mungkin banyak terdapat pada tumbuhan tersebut. Bekantan memakan beberapa jenis tumbuhan adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, diantaranya mineral. Beberapa jenis tumbuhan yang sering tumbuh di hutan sekunder seperti suku Leguminosae sering dipilih oleh primata karena banyak mengandung N, P dan abu, sejauh kandungannya tidak menghambat pencernaan Gupta Chivers 2004. Selain itu, variasi jenis pakan yang tinggi juga sebagai salah satu strategi untuk menghindari keracunan. Menurut Waterman et al. 1988 primata yang memakan berbagai jenis tumbuhan dan bagiannya dengan variasi tinggi akan mengurangi peluang terkena efek racun yang ditimbulkan oleh senyawa sekunder dalam tumbuhan tersebut. Memakan buah yang belum masak mencerminkan tingginya toleransi terhadap sumber pakan yang berserat tinggi atau menghindari agen antibiotik yang terkandung dalam buah masak Garber 1987. Primata Simpatrik Satwa primata yang hidup simpatrik dengan bekantan adalah monyet ekor panjang Macaca fascicularis, keduanya memanfaatkan ruang habitat yang sama baik secara horizontal maupun vertikal. Monyet ekor panjang termasuk primata omnivorus , dan juga memanfaatkan beberapa jenis pakan yang sama dengan bekantan, seperti buah rambai darat Baccaurea motleyana, Dillenia suffruticosa, Sandoricum koetjape, dan bunga Buchanania arborescens. Selama pengamatan tidak dijumpai perilaku agonistik diantara keduanya. Penggunaan strata tajuk oleh kedua jenis simpatrik ini sama, hanya saja keduanya menghidari konflik dengan menggunakan sumberdaya secara bergantian. Bekantan menggunakan sumber pakan buah-buahan seperti buah S. koetjape dan B. montleyana yang masih muda, sedangkan monyet ekor panjang memakan buah-buah yang sudah masak. Penelitian Soendjoto 2005 di hutan karet Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa bekantan dan Trachypithecus auratus yang hidup secara simpatrik menghindari konflik dengan menggunakan strata ketinggian yang berbeda, T. auratus di strata atas sedangkan bekantan berada di strata bawah. Pemangsa Potensial pemangsa yang ada di lokasi penelitian adalah jenis elang, biawak, ular kobra dan anjing. Pemangsaan primata oleh jenis burung terutama elang telah banyak dilaporkan. Jenis elang memangsa subfamili Colobinae dilaporkan oleh Fam dan Nijman 2011 yaitu pada elang Spizaetus yang menyergap anak Presbytis femoralis , yang berbobot sekitar 1.9 kg, kemudian membawanya terbang sebelum mendarat dan membunuh dengan menginjaknya di tanah sampai mati lemas. Berdasarkan analisis sisa tulang mangsa di bawah sarang elang mahkota Stephanoaetus coronatus diketahui 66 mangsanya adalah dari 6 jenis primata dan 3 diantaranya dari subfamily Colobinae Piliocolobus badius, Colobus guereza, Unidentified Sanders et al. 2003. Dilaporkan juga oleh Fleagle 1988 bahwa lemur tikus Microcebus murinus adalah jenis dari prosimian yang umum dimangsa oleh burung hantu Tyto alba. Biawak Varanus salvator sebagai salah satu potensial predator di lokasi penelitian terlihat tidak mengkhawatirkan bagi bekantan. Hal itu ditunjukkan pada beberapa kali pengamatan terlihat biawak dan bekantan menggunakan pohon yang sama untuk beristirahat dan tidur pada siang hari. Hal tersebut berbeda dengan hasil observasi Yeager 1991 dimana keberadaan biawak sepanjang 1.3 m pada pohon yang sama menyebabkan kelompok bekantan sangat tidak tenang dan menimbulkan perilaku agonistik dengan mengeluarkan suara dan ekspresi ancaman kepada biawak. Keberadaan ular kobra dijumpai saat ular tersebut berenang menyeberangi sungai Kula Samboja di komunitas riparian namun belum diketahui pengaruh keberadaannya terhadap bekantan di lokasi ini. Anjing Canis lupus familiaris sebagai pemangsa bekantan belum pernah dilaporkan sebelumnya. Anjing adalah pemangsa bagi bekantan, terutama pada habitat yang berdekatan dengan permukiman dan kebun masyarakat. Anjing menjadi salah satu ancaman sebagai pemangsa bekantan di lokasi penelitian dengan ditunjukkan oleh perilaku bekantan yang cenderung menghindar pada saat anjing masuk ke kebun buah masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya bekantan yang diserang oleh anjing di Pantai Tanah Merah yang berjarak sekitar 5 km dari lokasi penelitian. Pada bulan Oktober 2011, seekor bekantan jantan remaja ditemukan luka-luka diserang oleh tiga ekor anjing. Kemungkinan bekantan tersebut adalah bekantan soliter atau yang terpisah dari kelompoknya. Bekantan tersebut sempat diselamatkan oleh masyarakat sekitar, namun keesokan paginya bekantan tersebut ditemukan sudah mati. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan di Balitek Konservasi Sumber Daya Alam Samboja menunjukkan pada tubuh bekantan jantan remaja dengan bobot 13 kg itu terdapat bekas luka gigitan taring pada kepala, tengkuk, kening, leher dan punggung serta luka robek di bagian pinggang sebelah bawah. Penyebab kematiannya diperkirakan karena luka yang serius, kelaparan, dan stres. Habitat bekantan yang banyak mengalami kerusakan, menyebabkan tingkat ancaman pemangsa semakin tinggi. Habitat yang terfragmentasi memaksa bekantan turun ke tanah untuk berpindah dari satu habitat ke habitat lainnya dan saat inilah potensi terjadinya pemangsaan oleh pemangsa darat tinggi. Demikian pula terbuka tajuk pada habitat memudahkan akses pemangsa dari jenis burung melakukan pemangsaan terhadap bekantan. Strategi Adaptasi Bekantan di lokasi penelitian ini masih bisa bertahan hidup dan populasinya meningkat walaupun tidak optimal. Beberapa strategi yang mungkin digunakan oleh bekantan untuk bertahan hidup di habitat yang terisolasi dan terfragmentasi ini adalah dengan 1 mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam wilayah jelajahnya yang sempit, diantaranya dengan menggunakan sumber pakan lain tidak biasa dimakan bekantan di tempat lainnya, 2 menghemat energinya dengan mengurangi perilaku agonistik terhadap jenis primata simpatrik lainnya dan kehadiran manusia, 3 menggunakan sebagian besar waktu aktivitas siangnya untuk istirahat atau tidur, dan 4 melakukan pergerakan harian yang tidak terlalu jauh. Bekantan di habitat hutan karet juga mempunyai strategi untuk beradaptasi dengan adanya perubahan kondisi habitat. Menurut Soendjoto 2005 pada waktu tertentu beberapa areal hutan karet milik masyarakat di konversi menjadi ladang, sehingga menciptakan mozaik-mozaik pada habitat bekantan. Mozaik inilah yang menjadi patch bagi bekantan, sehingga untuk mencapai patch tersebut bekantan beradatasi dengan merubah pola jelajah hariannya. Implikasi Pengelolaan Habitat bekantan di Kuala samboja sebagian besar adalah lahan masyarakat, sehingga pengelolaannya sebaiknya dilakukan oleh kelompok masyarakat, dengan didukung oleh berbagai stakeholder terkait, baik oleh pemerintah, swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Pemerintah sebagai lembaga legal formal mempunyai peranan strategis untuk memberikan penyuluhan, pembinaan dan pemberian insentif dalam pengelolaan habitat bekantan. Pihak swasta seperti perusahaan migas dan tambang batubara dapat berkontribusi dalam kegiatan rehabilitasi, sedangkan LSM dapat melakukan pendampingan terhadap masyarakat dalam pengelolaannya. Secara garis besar ada tiga hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan habitat bekantan di Kuala Samboja, yaitu: rehabilitasi, ekowisata dan penyuluhan terhadap masyarakat. Secara skematik tersaji pada Gambar 31. Gambar 31. Skematik pengelolaan habitat bekantan di Kuala Samboja. Rehabilitasi Areal di sekitar sungai Kuala Samboja statusnya adalah milik masyarakat. Pohon-pohon yang tersisa hanya sedikit di tepi kanan dan kiri sungai, padahal berdasarkan peraturan yang ada, 50-100 m sebelah kanan dan kiri sungai tidak BEKANTAN MASYARAKAT Masyarakat Rehabilitasi Sempadan Sungai Lahan Masyarakat Ekowisata Jenis mangrove Karet dan buah-buahan Getah dan buah Mencegah erosi Pakan Pohon tidur Jasa Agen Wisata Pemerintah, LSM Penyuluhan Perusahaan diperbolehkan melakukan penebangan pohon Pemerintah RI 1999b. Rehabilitasi habitat perlu dilakukan dan difokuskan pada dua daerah, yaitu daerah sempadan sungai dan lahan masyarakat. 1 Daerah sempadan sungai Arus air di Sungai Kuala Samboja cukup deras karena merupakan muara dari banyak sungai-sungai yang ada di daerah hulu. Pada saat musim hujan debit airnya meningkat bahkan akhir-akhir ini sering terjadi banjir. Kondisi tersebut menyebabkan pohon di tepi sungai pada beberapa lokasi di komunitas rambai dan komunitas rambai-riparian banyak yang miring atau rebah ke sungai, karena erosi. Pohon di tepi sungai mempunyai peranan penting bagi bekantan dan perlindungan sungai. Bekantan selalu menggunakan pohon yang berada di tepi sungai sebagai pohon tidurnya, selain itu pohon tepi sungai berfungsi untuk melindungi tepi sungai dari ancaman erosi. Rehabilitasi di daerah tepi sungai perlu dilakukan dengan penanaman jenis asli dan jenis lainnya yang merupakan sumber pakan bekantan dan mempunyai kemampuan untuk memperkuat badan sungai. Jenis tersebut diantaranya adalah jenis mangrove seperti Sonneratia caseolaris, S. alba, Avicenia alba, A. officinalis, Bruguiera sexangula, Rhizophora apiculata. Jenis terakhir baik untuk melindungi tepi pantai dan sungai karena memiliki akar jangkang banyak dan kuat yang keluar dari batang. Jenis mangrove dapat digunakan sebagai jenis untuk merehabilitasi bekas tambak di komunitas rambai dan sebagian di komunitas rambai- riparian. Penanaman dapat dilakukan pada areal yang terbuka dengan mengurangi sebagian tumbuhan penutup tanahnya, sehingga tingkat semai dan pancang dapat tumbuh menjadi pohon. Sempadan sungai di komunitas riparian dapat ditanam dengan jenis laban Vitex pinnata dan jenis buah- buahan untuk sempadan sungai yang berbatasan dengan lahan masyarakat. Dengan melakukan penanaman di sempadan sungai maka akan memberikan sumber pakan bekantan dan tempat untuk beraktivitas sekaligus mengamankan lahan masyarakat dari ancaman erosi. 2 Lahan masyarakat Home range bekantan sebagian besar berada di lahan masyarakat, sehingga rehabilitasi perlu dilakukan dengan penanaman di lahan masyarakat. Upaya ini adalah untuk memanfaatkan lahan yang selama ini tidak produktif sekaligus memberikan rumah baru bagi kehidupan bekantan. Jenis yang direkomendasikan terutama adalah tanaman karet Hevea braziliensis dan jenis buah-buahan seperti manggis Garcinia mangostana, mangga Mangifera indica, durian Durio zibethinus, rambai darat Baccaurea motleyana , Ketjapi Sandoricun koetjapi, dan jambu-jambu Syzygium sp.. Penanaman karet di lahan masyarakat dapat dikombinasikan dengan jenis buah-buahan. Penanaman karet dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat dengan menyadap getahnya, sedangkan bekantan dapat menggunakan daun karet sebagai sumber pakan. Penanaman pohon buah- buahan sedikit menimbulkan konflik kepentingan antara bekantan dan masyarakat, karena bekantan juga memakan bunga dan buah yang masih muda, namun hal ini tidak terlalu berpengaruh karena porsinya hanya sedikit. Kondisi kebun karet dan buah-buahan setelah umur sekitar 4 tahun tidak perlu dilaukan perawatan secara intensif, sehingga akan tumbuh berbagai jenis liana dan tumbuhan lainnya yang nantinya akan digunakan bekantan sebagai sumber pakan alternatif. Penanaman di lahan masyarakat terutama di daerah sekitar kanal Handil Jamur, Badan Jalan Baru dan sekitar kanal Sungai Lempahung. Penentuan blok-blok lokasi penanaman harus tetap memperhatikan areal-areal yang akan tetap digunakan untuk menggembalakan ternak dan dapat menciptakan koridor antar habitat. Penyuluhan Interaksi masyarakat dengan bekantan dan habitatnya di lokasi ini relatif tinggi. Beberapa masyarakat sekitar sering mengambil daun nipah yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan atap daun. Pergerakan harian, home range dan core area bekantan sebagian besar berada di lahan masyarakat. Seringkali bekantan memakan bunga dan buah-buahan yang masih muda di kebun masyarakat. Oleh karena itu penyuluhan sangat penting dilakukan kepada masyarakat sekitar. Penyuluhan terutama dilakukan kepada masyarakat RT 01, 02, dan 16 yang berbatasan langsung dengan habitat bekantan. Penyuluhan berisi tentang perlindungan areal di sempadan sungai yang merupakan habitat bekantan, dan menanamkan kebanggan bahwa di sekitar tempat tinggalnya terdapat satwa yang unik dan dilindungi. Kehidupan simpatrik manusia dan bekantan yang berdampingan dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing diharapkan dapat tercipta melalui pendekatan yang mendalam dengan masyarakat. Pendekatan dan penyuluhan dapat dilakukan melalui ketua RT, aparat pemerintahan desa, pemuka masyarakat, dan tokoh agama. Penyuluhan juga perlu dilakukan sejak dini terhadap anak-anak sekolah dasar sampai sekolah menengah atas yang ada di sekitar habitat bekantan. Materi penyuluhan meliputi pentingnya kelestarian lingkungan, bekantan sebagai satwaliar yang perlu dilindungi, perlindungan terhadap areal sempadan sungai dan kewaspadaan akan bahaya banjir. Penyuluhan juga dapat dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan memasang papan-papan informasi, peringatan dan ajakan untuk melestarikan bekantan dan lingkungan habitatnya. Media lain yang bisa digunakan adalah media cetak poster, leaflet, booklet, sepanduk, sticker, majalah, surat kabar, audio-video film, dan media elektronik televisi, internet. Penyuluhan dapat dilakukan oleh instansi pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Ekowisata Bekantan di Kuala Samboja relatif mudah untuk dijumpai, sehingga frekuensi perjumpaannya sangat tinggi. Lokasinya cukup strategis dan mudah dijangkau karena berada di tepi jalan raya Balikpapan-Handil Dua. Kondisi ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai areal ekowisata, karena sangat representatif untuk melihat bekantan liar di habitatnya. Selama ini beberapa agen wisata di Balikpapan dan Yayasan BOS Borneo Orangutan Survival melalui ecolodge Samboja Lestari menggunakan areal ini sebagai lokasi wisata minat khusus bagi tamu-tamu warga negara asing. Wisatawan asing yang berkunjung ke habitat bekantan Kuala Samboja harus membayar ke agen wisata sekitar US 20 per orang. Namun belum adanya kelompok masyarakat yang mengelola kawasan ini menyebabkan kontribusinya terhadap masyarakat sekitar, bekantan dan habitatnya masih terabaikan. Masyarakat sekitar nantinya diharapkan dapat lebih banyak berperan dalam kegiatan ekowisata tersebut. Pendapatan tambahan bagi masyarakat dapat diperoleh dari jasa mengantar susur sungai, penyewaan perahu, pelampung, penjualan souvenir ataupun persewaan alat pancing. Adanya nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar diharapkan dapat meningkatkan peran serta masyarakat untuk melestarikan bekantan dan habitatnya di sekitar Sungai Kuala Samboja. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kualitas dan kuantitas habitat akan semakin menurun pada waktu yang akan datang, jika tidak segera dilakukan pengelolaan dan pembinaan habitat. Penurunan kualitas habitat dapat dilihat dari sistem renegerasi pohon pakan utama yang kurang baik akibat penutupan tumbuhan bawah, tekanan dari perkembangan masyarakat sekitarnya, dan banyaknya pohon tepi sungai yang miring atau rebah. 2. Populasi bekantan mengalami peningkatan namun kondisi regenerasinya mengkhawatirkan, karena berdasarkan kelas umur komposisi bayi hanya 7.1 padahal sebelumnya dilaporkan mencapai 20.4. 3. Bekantan mampu beradaptasi pada habitat yang sempit dan terisolasi dengan tiga strategi. Pertama memanfaatkan sumber pakan yang tersedia dengan menggunakan sumber pakan yang umum digunakan oleh bekantan, juga pemanfaatan tumbuhan yang tidak biasa dimakan bekantan di tempat lain. Kedua menghemat energi dengan menyesuaikan perilakunya, yaitu mengurangi aktivitas agonistik terhadap kehadiran manusia atau jenis simpatrik lainnya dan melakukan jelajah harian yang tidak jauh. Ketiga menyesuaikan proporsi aktivitasnya, yaitu menggunakan sebagian besar aktivitas hariannya untuk istirahat dan tidur, jantan menghemat energi dengan lebih banyak beristirahat sedangkan betinya aktivitas makannya tinggi untuk mendapatkan energi yang lebih banyak. 4. Aktivitas bekantan dalam pemanfaatan ruang disesuaikan dengan ketersediaan pakan pada strata ketinggian, kerapatan dan ketinggian strata tajuk pohon, dan luas habitat yang tersisa. Saran 1. Perlu dilakukan rehabilitasi habitat dengan melakukan penanaman di tepi sungai dan lahan masyarakat dengan jenis mangrove, karet dan buah-buahan tanpa perawatan yang intensif pada umur tertentu. 2. Perlu dilakukan penyuluhan dan pengembangan ekowisata dengan bekantan sebagai obyek daya tarik utama, sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat sekitar dan memberikan pendapat tambahan. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang kandungan nutrisi sumber pakan, perilaku dan pola jelajah kelompok all male group, terutama di komunitas rambai. DAFTAR PUSTAKA Adinugroho WC, Ma’ruf A. 2005. Sungai Hitam Samboja, habitat bekantan Nasalis larvatus yang terabaikan. Warta Konservasi Lahan Basah 132:21, 26-28. Agoramoorthy G, Hsu MJ. 2005. Occurrence of Infanticide among wild proboscis monkeys Nasalis larvatus in Sabah, Northern Borneo. Folia Primatology 76:177–179. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid 1. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Alikodra HS, Mustari AH, Santosa N, Yasuma S. 1995. Social interaction of proboscis monkey Nasalis larvatus Wurmb group at Samboja Koala, East Kalimantan. Annual Report of Pusrehut Vol. 6 April. Alikodra HS, Mustari AH. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey Nasalis larvatus Wurmb at Mahakam River Delta, East Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut Vol. 5 Desember. Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan Nasalis larvatus di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 52:67-72. Altmann J. 1974. Observational study of behavior: sampling methods. Behaviour 69:227–267. Atmoko T, Ma’ruf A, Syahbani I, Rengku MT. 2007. Kondisi habitat dan penyebaran bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Di dalam: Sidiyasa K, Omon M, Setiabudi D, editor. Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari ; Balikpapan, 31 Jan 2007. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. hlm 35-42. Atmoko T, Sidiyasa K. 2008. Karakteristik vegetasi habitat bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 54:307-316. Atmoko T. 2010. Strategi pengembangan ekowisata pada habitat bekantan Nasalis larvatus wurmb. di Kuala Samboja, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 74: 425-437. Atmoko T, Ma’ruf A, Rinaldi SE, Sitepu BS. 2011. Penyebaran bekantan Nasalis larvatus Wurmb. pada areal tidak dilindungi di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur. Di dalam: Ekspose Hasil-hasil Riset untuk Mendukung Konservasi yang Bermanfaat dan Pemanfaatan yang Konservatif ; Balikpapan, 3 Nov 2011. Bogor: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Badan Litbang Kementerian Kehutanan. Bailey, J.A. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons. NewYork. Bennett EL, Sebastian AC. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys Nasalis larvatus in Mixed Coastal Forest in Sarawak. International Journal of Primatology 93:233-255. Bernard H, Matsuda I, Hanya G, Ahmad AH. 2011. Characteristic of night sleeping trees of proboscis monkey Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. International Journal of Primatology 32:259–267. DOI 10.1007s10764-010-9465-8. Bismark M. 1981. Preliminary survey of the proboscis monkey at Tanjung Putting Reserve, Kalimantan. Tigerpaper 8:26. Bismark M. 1986. Perilaku bekantan Nasalis larvatus Wurmb dalam memanfaatkan lingkungan hutan bakau di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bismark M. 1995. Analisis populasi bekantan Nasalis larvatus. Rimba Indonesia 303 September. Bismark M. 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan Nasalis larvatus Wurmb. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 13:309-320. Bismark M. 2009. Biologi Konservasi Bekantan Nasalis larvatus. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Departemen Kehutanan. Bloom, S. 1999. In praise of primates. Steve Bloom Images and Konemann Verlagsgesellschaft mbH. Koln, Germany. Bolen EG, Robinson WL. 2003. Wildlife Ecology and Management. Fifth edition. Pearson Education, Inc. New Jersey. Boonratana R. 1993. The ecology and behaviour of the proboscis monkey Nasalis larvatus in the Lower Kinabatangan, Sabah [dissertation]. Bangkok: Mahidol University. Boonratana R. 1999. Dispersal in proboscis monkey Nasalis larvatus in The Lower Kinabatangan, Northern Borneo. Tropical Biodiversity 63:179- 187. Boonratana R. 2000a. Ranging behavior of proboscis monkey Nasalis larvatus in the Lower Kinabatangan, Norhern Borneo. International Journal of Primatology 213:497-518. Boonratana R. 2000b. A short note on vigilance exhibited by proboscis monkey Nasalis larvatus in the lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Tigerpaper 274: 21-22. Brandon-Jones D, Eudey AA, Geissmann T, Groves CP, Melnick DJ, Morales JC, Shekelle M, Stewart CB. 2004. Asian primate classification. Zoo Biology 23:533–544. Chapman CA, Gautier-Hion A, Oates JF, Onderdonk DA. 2004. African primate communities: Determinants of structure and threats to survival in Primate Communities . Fleagle JG, Janson CH, Reed KE, editors. Cambridge university press: Cambridge, United Kingdom. pp: 1-37. Fam SD, Nijman V. 2011. Spizaetus hawk-eagles as predators of arboreal colobines. Primates 52:105–110. Fleagle JG. 1988. Primate Adaptation and Evolution. London: Academic Pr. Galdikas BMF. 1985. Crocodile predation on a proboscis monkey in Borneo. Primates 264:495-496. Garber PA. 1987. Foraging strategies among living primates. Annual Reviews Anthropology 16:339-64. Gebo DL, Chapman CA. 1995. Habitat, annual, and seasonal effects on positional behavior in red colobus monkeys. American Journal of Physical Anthropology 96:73-82. Gorzitze AB. 1996. Birth-related behaviors in wild proboscis monkey Nasalis larvatus . Primates 371:75-78. Gron KJ. 2009. Primate Factsheets: Proboscis monkey Nasalis larvatus Conservation. http:pin.primate.wisc.edufactsheetsentryproboscis_ monkeycons [9 Oktober 2010]. Groves CP. 2001. Primate Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington and London. Gupta AK, Chivers DJ. 2004. Biomass and use of resources in south and south- east Asian primate communities in Primate Communities. Fleagle JG, Janson CH, Reed KE, editors. Cambridge university press: Cambridge, United Kingdom. pp. 38-54. Kawabe M, Mano T. 1972. Ecology and behavior of the wild proboscis monkey, Nasalis larvatus Wurmb, in Sabah, Malaysia. Primates 132:213-228. Kartono AP, Ginting A, Santoso N. 2008. Karakteristik habitat dan wilayah jelajah bekantan di hutan mangrove Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi 133:1–6. Hutchins M, Kleiman DG, Geist V, McDade MC, editors. 2003. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia , 2nd edition. Volumes 12–16, Mammals I–V, Farmington Hills, MI: Gale Group. Lindenfors P. 2002. Sexually antagonistic selection on primate size. Journal of Evolutionary Biology 15:595–607. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Computing . John and Sons. New York. MacKinnon 1987. Conservation status of primates in Malaysia, with special reference to Indonesia. Primate Conservation 8:175-183. Matsuda I. 2008. Feeding and ranging behaviors of proboscis monkey Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia [Dissertation]. Hokkaido: Graduate School of Environmental Earth Science, Hokkaido University. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2008a. Clouded leopard Neofelis diardi predation on proboscis monkeys Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. Primates 49:227–231. Matsuda I, Tuuga A, Akiyama Y, Higashi S. 2008b. Selection of river crossing location and sleeping site by proboscis monkey Nasalis larvatus in Sabah, Malaysia. American Journal of Primatology 70:1097-1101. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009a. Ranging behavior of proboscis monkey in a riverine forest with special reference to ranging in inland forest. International Journal of Primatology 30:313-325. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2009b. The feeding ecology and activity budget of proboscis monkeys. American Journal of Primatology 71:478–492. Matsuda I, Tuuga A, Higashi S. 2010. Effects of water level on sleeping-site selection and inter-group association in proboscis monkeys: why do they sleep alone inland on flooded days?. Ecological Research 25: 475–482. Matsuda I, Murai T, Clauss M, Yamada T, Tuuga A, Bernard H, Higaashi S. 2011. Regurgitation and remastication in the foregut-fermenting proboscis monkey Nasalis larvatus . Biology Letters . Doi: 10.1098rsbl.2011.0197. McDade MC, editor. 2005. Grzimek’s Student Animal Life Resource, Mammals. volume 1, Echidnas to Armadillos. Farmington Hills, MI: Gale Group. McNeely JA, Miller KR, Reid WV, Mittermeier RA, Werner TB. 1990. Conserving The World’s Biological Diversity . IUCN, Gland, Switzerland; WRI, CI, WWF-US, and the World Bank, Washington, D.C. Meijaard E, Nijman V. 2000. Distribution and conservation of the proboscis monkey Nasalis larvatus in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 92:15-24. Meijaard E, Nijman V, Supriatna J. 2008. Nasalis larvatus. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2. www.iucnredlist.org. Downloaded on 22 April 2012. Muller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons, Inc. New York. Murai T. 2004. Social behaviors of all-male proboscis monkeys when joined by females. Ecological Research 19:451–454. Murai T, Mohamed M, Bernard H, Mahedi PA, Saburi R, Higashi S. 2007. Female transfer between one-male groups of proboscis monkey Nasalis larvatus . Primates 48:117–121. Murai T. 2006. Mating behaviors of the proboscis monkey Nasalis larvatus. American Journal of Primatology 68:832-837. Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook of Living Primates. Academic Press, Londong-New York. Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primate. The MIT Press, Cambridge Massachusetts. Nijman V. 2001. Effect of behavioural changes due to habitat disturbance on density estimation of rain forest vertebrates, as illustrated by gibbons Primates: Hylobatidae. In Forest and Primates. Conservation and Ecology of The Endemic Primates of Java and Borneo . Tropenbos- Kalimantan Series 5. pp. 33-42. Nowak RM. 1999. Primates of The World. The Johns Hopkins University Press. Baltimore and London. Oates JF. 1986. Food distribution and foraging behavior. In Primates Societies. Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, Struhsaker TT, editors. Chicago: University of Chicago Pr. Onuma M. 2002. Daily ranging patterns of the proboscis monkey, Nasalis larvatus , in coastal areas of Serawak, Malaysia. Mammal Study 27:141- 144. Ortmann S, Bradley BJ, Stolter C, Ganzhorn JU. 2006. Estimating the quality and composition of wild animal diets-a critical survey of methods. In: Hohman H, Robbins MM, Boesch C, editors. Feeding Ecology in Apes and Other Primates . Ecological physical, and behavioral aspects. Cambridge University Press. [Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999a. Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. [Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999b. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tanggal 30 September 1999 tentang Kehutanan. [Pemkab Kukar] Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. 2011. Monografi Kecamatan Samboja , Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Rowe N. 1996. The pictorial Guide to The Living Primates. Patagonias Press. Saidah S, Djoko M, Achmad S. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan Nasalis larvatus di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains 151:18-29. Salter RE, Mackenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai PK. 1985. Habitat use, ranging behaviour, and food habits of the proboscis monkey, Nasalis larvatus van Wurmb, in Sarawak. Primates 264:436-451. Sanders WJ, Trapani J, Mitani JC. 2003. Taphonomic aspects of crowned hawk- eagle predation on monkeys. Journal of Human Evolution 44:87-105. Sidiyasa K, Noorhidayah, Ma’ruf A. 2005. Habitat dan potensi regenerasi pohon pakan bekantan Nasalis larvatus di Kuala Samboja Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 24:411-413. Siegel S. 1990. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Suyuti Z, Simatupang L, penerjemah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Nonparametric Statistics for The Behavioral Sciences. Soendjoto MA. 2004. A new record on habitat of the proboscis monkey Nasalis larvatus and its problem in South Kalimantan Indonesia. Tigerpaper 312:17-18. Soendjoto MA. 2005. Adaptasi bekantan Nasalis larvatus terhadap hutan karet: Studi kasus di Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan [desertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soendjoto MA, Alikodra HS, Bismark M, Setijanto H. 2006. Jenis dan komposisi pakan bekantan Nasalis larvatus Wurmb di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 71:34-38. Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soerianegara I, Sastradipradja D, Alikodra HS, Bismark M. 1994. Studi habitat sumber pakan dan perilaku bekantan Nasalis larvatus sebagai parameter ekologi dalam mengkaji sistem pengelolaan habitat hutan mangrove di Taman Nasional Kutai. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Bogor: IPB. Srivathsan A, Meier R. 2011. Proboscis monkeys Nasalis larvatus Wurmb, 1787 have unusually high-pitched vocalizations. The Raffles Bulletin of Zoology 592: 319–323 Thomas JW, Maser C, Rodiek JE. 1979. Wildlife Habitats in Managed Rangelands The Great Basin of Southeastern Oregon. Riparian zones. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-080. Portland, OR U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Nor. Ullrey DE, Allen ME, Ausman LM, Conklin-Brittain NL, Edwards MS, Erwin JM, Holick MF, Hopkins DT, Lewis SM, Lonnerdal BLG, Rudel L. 2003. Nutrient Requirements of Nonhuman Primates: Second revised edition. Committee on Animal Nutrition, Ad Hoc Committee on Nonhuman Primate Nutrition, National Research Council. The National Academies Press, Washington, D.C. [UPT DPT Kecamatan Samboja] Unit Pelaksana Teknis Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja. 2011. Laporan Tahunan Tahun 2011 . UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja. Vié J, Richard-Hansen C, Fournier-Chambrillon C. 2001. Abundance, use of space, and activity patterns of white-faced sakis Pithecia pithecia in French Guiana. American Journal of Primatology 55:203–221. Waterman PG, Ross JAM, Bennett EL, Davies AG. 1988. A comparison of the floristics and leaf chemistry of the tree flora in two Malaysian rain forests and the influence of leaf chemistry on populations of colobine monkeys in the Old World. Biological Journal of the Linnean Sosiety 34:1-32. Whittaker DJ. 2006. A Conservation action plan for the Mentawai Primates. Primate Conservation 20: 95–105. Whittaker DJ, Ting N, Melnick DJ. 2006. Molecular phylogenetic afinities of the simakobu monkey Simias concolor. Molecular Phylogenetics and Evolution 39:887–892. Yang L, Minghai Z, Jianzhang J, Ankang W, Shuangxi W, Shusen Z. 2007. Time budget of daily activity of francois’ langur Trachypithecus francoisi francoisi in disturbance habitat. Acta Ecologica Sinica 275: 1715−1722. Yasuma S. 1994. An Invitation to The Mamals of East Kalimantan. Pusrehut Special Publication No.3. Samarinda. Yeager CP. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey Nasalis larvatus. International Journal of Primatology 106:497-530. Yeager CP. 1991. Possible antipredator behavior associated with river crossings by proboscis monkeys Nasalis larvatus. American Journal of Primatology 24:61-66. Yeager CP. 1992. Changes in proboscis monkey Nasalis larvatus group size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Tropical Biodiversity 11:49-55. Yeager CP. 1993. Ecological constraints on intergroup association in the proboscis monkey Nasalis larvatus. Tropical Biodiversity 12:89-100. Yeager CP. 1995. Does intraspecific variation in social systems explain reported differences in the social structure of the proboscis monkey Nasalis larvatus ?. Primates 364:575-582. Yeager CP, Silver SC, Dierenfeld ES. 1997. Mineral and phytochemical influences on foliage selection by the proboscis monkey Nasalis larvatus . American Journal of Primatology 41:117–128. Youlatos D. 1998. Seasonal variation in the positional behavior of red howling monkeys Alouatta seniculus. Primates 394: 449-457. Lampiran 1. Data curah hujan dan hari hujan di lokasi penelitian tahun 2001 sampai dengan Februari 2012 Curah Hujan Tahun Bulan Jml Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des 2001 167 274 271 293 161 61 74 44 125 137 220 265 2092 2002 228 156 184 184 209 214 6 12 64 36 199 200 1692 2003 347 213 351 148 175 71 162 233 89 242 198 129 2358 2004 283 265 361 97 273 273 184 33 142 198 276 2385 2005 168 182 273 164 326 72 176 95 31 296 425 302 2510 2006 381 297 273 164 326 306 56 154 125 7 218 226 2533 2007 326 278 175 116 136 186 348 154 37 45 167 268 2236 2008 171 239 340 185 113 167 345 225 131 343 343 353 2955 2009 312 213 220 163 176 110 105 63 61 169 173 239 2004 2010 319 228 194 224 342 206 406 224 190 310 235.5 290.5 3169 2011 298 112 264 423 96 191 25 11 118 165 210 146 2059 2012 246 365 Min. 167 112 175 97 96 61 6 31 7 167 129 Rata 2 271 235 264 197 212 169 172 111 91 172 235 245 2363 Max. 381 365 361 423 342 306 406 233 190 343 425 353 Hari Hujan Tahun Bulan Jml Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des 2001 19 17 17 21 12 9 7 3 12 9 13 16 155 2002 15 11 11 14 10 14 3 4 7 1 17 17 124 2003 19 18 17 15 18 10 12 12 4 12 14 5 156 2004 19 15 21 11 12 12 12 8 6 15 16 147 2005 4 10 14 18 15 11 13 11 3 18 16 19 152 2006 14 11 14 18 15 14 6 14 5 1 11 12 135 2007 22 16 12 14 11 18 17 10 4 2 16 17 159 2008 15 17 24 20 10 12 19 18 10 17 16 17 195 2009 18 15 9 10 11 7 9 6 6 10 16 13 130 2010 13 6 10 10 15 17 16 13 17 21 10 15 163 2011 5 14 17 19 9 10 5 5 14 14 13 14 139 2012 21 19 Rata 2 15.3 14.1 15.1 15.5 12.5 12.2 10.8 8.7

8.2 10.1 14.7 14.6 150

Sumber: Penakar curah hujan UPT Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kecamatan Samboja tahun 2012 Lampiran 2 Kondisi suhu udara yang tercatat di BMKG Balikpapan 38 km dari lokasi penelitian tahun 2011 Suhu udara Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Suhu max

33.8 34.7 34.0 33.7 34.0 33.3 32.7 34.4 34.0 33.9 34.1 32.7

Muhu min 22.7 22.1 22.9 22.0 23.0 23.2 23.1 22.0 23.5 22.5 22.8 22.9 Suhu rata-rata 26.5 26.5 26.4 26.5 27.5 26.9 26.6 27.7 27.1 27.0 27.0 26.9 Kelembaban rata-rata 89 89 92 93 89 88 87 82 88 89 89 89 Sumber: BMKG Balikpapan tahun 2012 Lampiran 3 Kondisi isolasi habitat bekantan di Kuala Samboja

1. Jalan raya

, sebelah selatan sungai Kuala Samboja dibatasi oleh jalan raya Balikpapan-Handil II Gambar 32. Selain angkutan umum, jalan ini juga sering dilalui oleh truk pengangkut pasir, batubara dan alat-alat berat. Jalur lalu lintas di daerah ini cukup ramai, karena selain dekat dengan pusat kecamatan Samboja, juga jalur utama untuk menuju Taman Wisata Pantai Tanah Merah dan perusahaan minyak TOTAL E P di Senipah. Seringkali bekantan menyeberang jalan raya, bahkan pernah dilaporkan oleh masyarakat sekitar bekantan mati tertabrak oleh kendaraan.

2. Permukiman penduduk,

terdapat di sekitar jalan raya Balikpapan-Handil Dua dan di daerah muara sungai yang merupakan perkampungan nelayan. Bekantan sering dijumpai pada pohon-pohon di belakang perumahan penduduk Gambar 33.

3. Penggembalaan ternak

, sebagian besar lahan di sekitar Sungai Kuala Samboja tidak produktif untuk lahan pertanian, sehingga lahan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk menggembalakan ternak sapi Gambar 34. Sebagian besar lahan masyarakat tersebut dipasang pagar pembatas yang terbuat dari kawat berduri atau kayu ulin. 4. Kebun , lahan di sekitar Sungai Kuala Samboja semuanya dimiliki oleh masyarakat. Sebagian lahan tersebut adalah kebun yang tidak dikelola dengan intensif. Kebun tersebut ditanami dengan kelapa atau buah-buahan yang dicampur dengan karet Gambar 35. Buah-buahan yang ditanam diantaranya manggis, rambai dan wanyi. Tanaman tersebut sudah ditanam lebih dari 25 tahun yang lalu, sedangkan tanaman baru akhir-akhir ini sulit dikembangkan karena pada musim penghujan sering terjadi banjir dan airnya meluap menggenangi lahan masyarakat dalam waktu yang lama. Banjir besar yang sering terjadi disebabkan semakin sedikit daerah tangkapan air dan maraknya pertambangan batubara di daerah hulu. Gambar 32 Habitat bekantan yang berada di tepi jalan raya Balikpapan-Handil Dua. Gambar 33 Bekantan di belakang rumah penduduk. Gambar 34 Areal penggembalaan ternak sapi. Gambar 35 Kebun kelapa milik masyarakat. Gambar 36 Kanal di Sungai Jerangin. Gambar 37 Badan jalan baru.

5. Jalan tanah,

sering digunakan oleh masyarakat untuk menggembalakan sapi, akses ke kebun atau memancing. Jalan tanah tersebut diantaranya di dekat Sungai Lempahung dan jalan yang baru dibangun di Handil Pancar, sedangkan jalan setapak berada di Sungai Jerangin, di sekitar bekas tambak masyarakat dan penghubung kanal Hadil Pancar dengan jalan raya. Keberadaan jalan ini memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk beraktivitas di lokasi tersebut.

6. Kanal normalisasi air

, areal di sekitar Sungai Kuala Samboja adalah rawa, sehingga pada musim hujan terutama saat terjadi banjir seluruh daratan tertutup oleh air selama beberapa hari. Pembangunan kanal difungsikan untuk mengalirkan air hujan dan air dari rawa langsung ke sungai sehingga daratan menjadi lebih cepat kering. Kanal yang dibuat sebanyak tiga buah, yaitu di kanal Handil Jamur, kanal Sungai Lempahung, kanal Sungai Jerangin Gambar 36, dan ditambah parit yang dibuat di sebelah kiri dan kanan badan jalan baru di Handil Pancar.

7. Badan jalan

, jalan baru direncanakan dibangun di lokasi Handil Pancar. Sampai saat ini sudah dibangun sepanjang 700 meter dengan lebar 6 meter. Pada jalan tersebut di sebelah kanan dan kiri dibuat parit sebagai sistem drainase untuk mengalirkan air ke sungai. Berdasarkan informasi ketua RT setempat pembangunan badan jalan tersebut direncanakan akan dilanjutkan pada tahun 2012 Gambar 37.

8. Perusahaan pengolah limbah dan penambangan pasir

, perusahaan pengolahan limbah PT. PLKK Pengolahan Limbah Kutai Kartanegara berbatasan langsung dengan tepi sungai Kuala Samboja. Perusahaan ini mengolah limbah dari beberapa perusahaan minyak yang ada di Samboja dan sekitarnya. Lokasi penambangan pasir berada tidak jauh dengan PT. PLKK dan kanal Sungai Jerangin. Pasir yang berasal dari Samboja ini memenuhi kebutuhan pasir di daerah Samboja dan juga untuk wilayah Balikpapan dan sekitarnya. Intensitas penambangan pasir berpengaruh terhadap peningkatan arus lalu lintas truk pengangkut pasir yang melalui jalan raya Balikpapan-Handil Dua.

9. Bekas tambak

, dae beberapa areal tamba Menurut pemilikny produktifitasnya sud masyarakat di daera ikan di daerah hulu b

10. Kolam ikan

, be direncanakan oleh pe pemancingan umum untuk penggunaan te

11. Jembatan

, beberapa habitat bekantan di Gambar 38, jemba rambai-riparian, dan sungai. Gambar 38 Jembatan Lok

12. Aktivitas masyarakat

Transportasi sungai air oleh masyaraka mengangkut daun ni menuju kebun Gam dan masuk transport aerah yang berdekatan dengan muara sunga mbak yang sudah tidak aktif sekitar lebih dari knya usaha pertambakan tidak dijalankan la sudah menurun, selain itu pada musim rah hulu sering melakukan peracunan ikan. P u berakibat kematian terhadap organisme air. eberapa lokasi di sekitar Sungai Kuala h pemiliknya akan digunakan untuk kolam ikan um. Beberapa lahan masyarakat sudah dipe n tersebut, yaitu di daerah sekitar badan jalan ba pa jembatan yang berada di Sungai Kuala Sam diantaranya adalah jembatan Loka di daera mbatan Kumala dan jembatan Haji Wiwid dan jembatan Kuala Samboja yang dekat deng Loka. Gambar 39 Sarana transportasi s akat gai , Sungai Kuala Samboja dijadikan sarana tr kat untuk aktivitasnya sehari-hari, seperti me un nipah, mencari ikan atau udang, dan sarana tr ambar 39. Selain itu muara sungai adalah pi portasi sungai menuju selat Makassar. ungai terdapat dari 10 tahun. lagi karena m kemarau Peracunaan la Samboja kan dan areal dipersiapkan n baru. amboja pada rah riparian di daerah ngan muara si sungai. transportasi mencari dan transportasi pintu keluar Memancing, Sungai Kuala Samboja adalah muara sungai dari beberapa sungai yang ada di daerah hulu, sehingga memiliki sumberdaya perairan yang lebih tinggi. Selain ikan dari sungai juga jenis ikan laut yang masuk ke sungai karena pengaruh pasang air laut. Kondisi tersebut menyebabkan Sungai Kuala Samboja menjadi tujuan masyarakat di daerah Samboja untuk menjaring dan memancing ikan atau udang. Seringkali para pemancing berasal dari daerah Balikpapan dan sekitarnya. Memancing dilakukan dengan naik perahu atau dari tepi sungai. Daerah sekitar sungai banyak dijumpai jalan-jalan setapak yang dibuat para pemancing untuk mencapai lokasi yang diperkirakan banyak ikan berkumpul. Lampiran 4. Daftar Jenis tumbuhan di Sungai Kuala Samboja Acanthaceae Acanthus ilicifolius L. Anacardiaceae Buchanania arborescens Blume Blume Melanochyla auriculata Hook.f. Annonaceae Uvaria sp. Polyalthia rumphii Blume Merr. Apocynaceae Cerbera manghas L. Aquifoliaceae Ilex cymosa Blume Araceae Rhaphidophora sp. Avicenniaceae Avicennia cf. officinalis L. Blechnaceae Stenochlaena palustris Burm.Bedd Chrysobalanaceae Maranthes corymbosa Blume Compositae Mikania scandens Willd. Convolvulaceae Erycibe sp. Meremia sp Cyperaceae Scleria sp. Dilleniaceae Dillenia suffruticosa griff. Dipterocarpaceae Vatica pauciflora Korth. Blume Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis Blume Euphorbiaceae Aporosa sp. Glochidion rubrum Blume Hevea brasiliensis Willd. ex A. Juss. Müll.Arg. Baccaurea motleyana Müll.Arg. Müll.Arg. Flacourtiaceae Flacourtia rukam Zoll. Moritzi Flagellariaceae Flagellaria sp. Gramineae Imperata cylindrica L. Beauv. Guttiferae Garcinia bancana Miq. Miq. Garcinia parvifolia Miq. Miq. Hypericaceae Cratoxylum formosum Jack Dyer Lauraceae Actinodaphne glabra Blume Cinnamomum sp. Leeaceae Leea indica Burm.f. Merr. Leguminosae-caes. Bauhinia sp. Leguminosae-mim. Acacia auriculiformis A.Cunn. ex Benth. Acacia mangium Willd. Leguminosae-pap. Derris trifoliata Lour. Derris sp. Linaceae Ixonanthes petiolaris Blume Loganiaceae Fagraea racemosa Jack ex Wall. Malvaceae Hibiscus tiliaceus L. Melastomataceae Melastoma malabathricum L. Pternandra rostrata Cogn. M.P.Nayar Meliaceae Aglaia sp. Heynea trijuga Roxb. ex Sims Sandoricum koetjape Burm.f. Merr. Moraceae Artocarpus elasticus Blume Ficus sp. 1 Ficus sp. 2 Parartocarpus bracteatus King Becc. Myrsinaceae Ardisia elliptica Thunb. Ardisia serrata Cav. Pers. Embelia sp. Myrtaceae Syzygium polyanthum Wight Walp. Syzygium lineatum DC Merr. Perry Palmae Oncosperma horridum Scheff. Calamus sp. Nipa fruticans Benth. Hook.f. Pteridaceae Acrostichum aureum L. Rhamnaceae Alphitonia excelsa Fenzl Reiss ex Endl. Rhizophoraceae Carralia sp. Rubiaceae Oxyceros longiflora Lamk. Yamazaki Chanthium sp. Uncaria sp. Urophyllum arborescens Urophyllum sp. Timonius cf. wallichianus Korth. Valeton Melicope luna-ankenda Blume T.G. Hartley Not ident. Sapindaceae Guioa diplopetala Hassk. Radlk. Guoia sp. Lepisanthes alata Blume Leenh. Sonneratiaceae Sonneratia caseolaris L. Engl. Symplocaceae Symplocos fasciculata Zoll. Theaceae Camellia lanceolata Blume Seem. Thymelaeaceae Aquilaria beccariana Tiegh. Verbenaceae Peronema canescens Jack Teijsmanniodendron coriaceum CB. Clarke Kosterm Vitex pinnata L. Gmelina asiatica L. Zingiberaceae Not ident.