Politik Hukum Pertanahan di Indonesia

27 BAB II STATUS DAN PENGATURAN TANAH DI BATAM BERDASARKAN POLITIK HUKUM PERTANAHAN

A. Politik Hukum Pertanahan di Indonesia

Politik hukum nasional adalah sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. 1 Selanjutnya dikatakan bahwa dari segi lain masalah politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah politik hukum nasional akan selalu berupa keharusan atau kebijaksanaan untuk mengadakan suatu pilihan terhadap hukum mana yang harus dibentuk dan diberlakukan serta mengenai kearah mana hukum hendak dikembangkan dalam suatu wilayah Negara Republik Indonesia yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya, sehubungan dengan bermacam-macam sistem hukum yang ada. Politik Hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup 2 : 1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan. 1 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 halaman 160. 2 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Penerbit LaksBang Pressinso, Surabaya, 2006 halaman 51. 28 2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supermasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. 3. Politik hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan, termasuk hukum di bidang pertanahan. Politik hukum pertanahan tidak lain adalah kewenangan atau kekuasaan untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan unsur-unsur agraria yang meliputi : bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas tertentu yang dituangkan dalam kebijakan policy yang dalam kenyataannya tertuang pada kaidah-kaidah hukum agraria. 3 Amanat konstitusi di bidang pertanahan menuntut agar politik dan kebijakan pertanahan dapat memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanatkan pada sila kelima Pancasila dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Nilai-nilai dasar ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, terutama tanah. 3 Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Jakarta, 2007 halaman 38. 29 Kemudian politik agraria pada waktu yang lalu, tidak menjadikan pembaharuan agraria sebagai landasan pembangunan. Tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hanyalah dipandang sebagai objek, tempat segala kegiatan pembangunan dilaksanakan dengan orientasi tunggal yakni pertumbuhan ekonomi. Sebagai dampaknya, hingga saat ini dapat dirasakan adanya ketimpangan dalam struktur pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang tidak jarang berujung pada terjadinya berbagai konflik antar subjek hak dengan posisi tawar yang berbeda. Di samping itu, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber agraria itu telah mengakibatkan kemunduran sumber agraria dalam kualitas maupun kuantitasnya. Pembaharuan agraria diperlukan sebagai suatu agenda politik selama bagian terbesar penduduk tinggal di pedesaan dan pendapatannya tergantung pada kegiatan yang terkait dengan pertanian. Ketika ketimpangan dalam struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya masih terjadi, dan diperlukan upaya untuk merestrukturisasi hubungan yang tidak adil antara manusia dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya, maka diperlukan pembaharuan agraria. 4 4 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Kompas, Jakarta, 2001 halaman 81. 30 Kata kunci pembaharuan agraria, adalah keadilan dalam upaya menyejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat petani, nelayan dan masyarakat adat. Dengan kata lain, pembaharuan agraria merupakan upaya untuk memperdayakan masyarakat, yang operasionalisasinya dapat dijumpai dalam beberapa prinsip. Prinsip-prinsip dasar pembaharuan agraria tersebut adalah sebagai berikut 5 : 1. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber- sumber agrariasumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang. 2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat pluralisme. 3. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agrariasumber daya alam keadilan gender, keadilandalam satu generasi dan angar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agrariasumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya. 4. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agrariasumber daya alam lainnya; bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena haknyadibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas. 5. Penyelesaian konflik pertanahan. 6. Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-sumber agrariasumber daya alam. 7. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan. 8. Landreformrestrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agrariasumber daya alam. 9. Usaha-Usaha produksi di lapangan agraria. 10. Pembiayaan program-program pembaharuan agraria. Secara umum, pembaharuan agraria ditujukan untuk menata kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber- sumber agrariasumber daya alam menuju kepada terciptanya 5 Ibid., Halaman 81. 31 pengelolaan sumber-sumber agrariasumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan menyejahterakan masyarakat. Kemudian sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat. Hal ini tercermin dari rumusan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menyatakan bahwa, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercermin dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional. Ini berarti antara lain bahwa pembangunan Hukum Tanah Nasional dilandasi konsepsi hukum adat, yang dirumuskan dengan kata-kata Komunalistik Religius, yang artinya memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. 6 Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia 6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta: Edisi Revisi 2005 halaman 228. 32 yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Sementara itu, sifat religius konsepsi hukum tanah nasional terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Konsepsi ini sedikit berbeda dengan hukum adat, yaitu hanya menyangkut wilayah cakupannya. Dalam hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional, semua tanah dalam wilayah negara Indonesia adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. 7 Dibandingkan dengan Konsepsi Hukum Tanah Barat dan Konsepsi Tanah Feodal, konsepsi Hukum Tanah Nasional yang didasarkan pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang komunal dan religius. 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria di Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2006 halaman 229. 33 Menurut Konsep Burgerlijk Wetboek BW dalam sistem hukum Belanda, hak perorangan disebut Hak Eigendon sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. 8 Sebagai hak yang paling sempurna, pemilik hak Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut, baik menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. 9 Konsepsi tanah feodal juga tidak sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia karena hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah hak milik raja. Semua tanah yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak lagi menganut bentuk kerajaan, maka hak penguasaan atas tanah yang tertinggi ada pada negara sebagai pengganti kedudukan raja. 10 Berdasarkan pembahasan tentang sejumlah konsepsi di atas, tentu tidak berlebihan jika kita berkesimpulan bahwa konsepsi hukum tanah nasional merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan budaya 8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh R.Subekti dan R. Tjitrisisudibio, Cet. Ke-31, Perdata Paramita, Jakarta, 2001, Pasal 570. Ketentuan ini sempat berlaku di Indonesia Hindia-Belanda sebagai daerah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan terbit UUPA, ketentuan buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kakayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketenuan mengenai Hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini. Sementara itu, ketentuan mengenai Hypotheek dicabut berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nopmor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah yang menyebutkan bahwa ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. 9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Intermasa, Jakarta, 2001 halaman 69. 10 Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2003 halaman 31. 34 bangsa kita. Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional layaknya dilakukan dengan tetap mempertahankan konsepsi yang lahir dan digali dari akar budaya nasional tanpa menutup diri dari perubahan-perubahan yang berlansung sejak beberapa dasawarsa terakhir seperti era globalisasi, otonomi daerah, dan hak asasi manusia. Konsepsi komunalistik religius yang telah dianut sejak 24 September 1960, di samping telah teruji hingga saat ini, hendaknya perlu juga dilestarikan untuk mewujudkan cita-cita politik Agraria nasional yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 11

B. Status dan Pengaturan Tanah di Batam 1. Hak Pengelolaan Otorita Batam