65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut gambaran umum RS PKU Muhammadiyah Gamping, identifikasi risiko HAIs,
analisis risiko, penilaian risiko, penentuan tindak lanjut dan strategi untuk menurunkan risiko tersebut di RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta.
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum RS PKU Muhammadiyah Gamping
RS PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta merupakan pengembangan dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Ahmad
Dahlan 20 Yogyakarta. Pada tanggal 16 Juni 2010 Rumah Sakit mendapatkan ijin operasional sementara nomer 5030299aDKS2010.
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta adalah milik Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah, diakui
pemerintah mengenai sebagai badan hukum Nomor: IA 8.a15881993, tertanggal 15 Desember 1993.
Sebagai bagian pengembangan, sejarah Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta tidak lepas dari sejarah berdirinya
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Ahmad Dahlan 20 Yogyakarta. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta awalnya didirikan berupa klinik
pada tanggal 15 Februari 1923 dengan lokasi pertama di kampung Jagang Notoprajan No.72 Yogyakarta. Awalnya bernama PKO Penolong
Kesengsaraan Oemoem dengan maksud menyediakan pelayanan kesehatan bagi kaum dhuafa’. Pendirian pertama atas inisiatif H.M.
Sudjak yang didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan waktu, nama PKO berubah menjadi PKU Pembina Kesejahteraan
Umat. Pada awal Maret 2016, RS PKU Muhammadiyah unit II yang dulu menjadi sebutan nama rumah sakit ini telah resmi berganti nama menjadi
RS PKU Muhamadiyah Gamping. a. Pelaksanaan manajemen risiko infeksi dalam program pencegahan dan
pengendalian infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping Tabel 1. 2 Pelaksanaan manajemen risiko dalam program pencegahan dan
pengendalian infekai di RS PKU Muhammadiyah Gamping Tinjauan Sistem
manajemen risiko infeksi
Proses sistem manajemen risiko infeksi Evaluasi proses
sistem manajemen risiko infeksi
Program pelaksanaan PPI
yang sudah
dilakukan
Pelaksanaan
: 1. Baru berjalan 1 tahun dan sudah
berjalan cukup baik 2. Program belum disosialisasikan secara
menyeluruh Tujuan :
3. Upaya pencegahan dan penularan HAIs
Dukungan :
4. Dari pihak manajemen 5. Pelatihan
6. Keterlibatan IPCLN 7. Penyediaan sarana dan prasarana
8. Kegiatan cuci tangan Program
pelaksanaan PPI
belum berjalan
optimal Ada
dukungan manajemen
dalam program PPI
Keterlibatan petugas
Partisipasi petugas :
1. Ikut berpartisipasi sesuai standar operasional, tindakan sesuai prosedur
Peranan kepala ruang, IPCN, IPCLN:
2. Mengawasi, memantau, mengingatkan terkait penggunaan APD, pelaksanaan
cuci tangan, pelaksanaan 5 moment 3. Melaporkan
kegiatan surveilans
Adanya keterlibatan dan
partisipasi petugas
kesehatan dalam
memantau pelaksanaan
penurunan HAIs di unit
melalui SIM Komunikasi dan
informasi Penyebaran informasi :
1. Komunikasi dan informasi didapatkan dengan mudah dapat diakses melalui
komputer di masing-masing unit 2. Informasi terbaru didapatkan melalui
diskusi, pertemuan rapat, pelatihan, pelaporan, media posterleafleat
3. IPCLN menyampaikan informasi ke unit tugas masing-masing
Kemudahan yang
dirasakan dalam
transfer informasi
dari PPI ke petugas kesehatan di unit
Pengaruh pimpinan
Peranan pimpinan :
1. Memiliki kontribusi yang besar 2. Pimpinan sangat mendukung program
PPI
Kekurangan peran pimpinan yang dirasakan :
1. Kurang adanya peran langsung dari pimpinan
2. Tidak ada evaluasi atau umpan balik untuk perbaikan
3. Belum adanya reward-punishment Pentingnya
keterlibatan, dukungan
penuh, peranan
pimpinan yang proaktif dalam
pelaksanaan
Budaya sadar
risiko HAIs
Budaya sadar risiko : Semua sudah sadar risiko infeksi
Kegiatan yang dapat menurunkan dan mencegah infeksi :
1. Cuci tangan 2. Menggunakan APD
Perilaku budaya sadar risiko :
1. Pelaksanaan kadang untuk pemakaian APD ada yang masih belum sesuai
2. Kepatuhan cuci tangan belum optimal 3. Kadang masih lupa 6 langkah cuci
tangan dan melewatkan pelaksanaan 5 moment
Sudah tertanam
budaya sadar risiko HAIs di ranap, ralan,
OK Pelaksanaan perilaku
budaya sadar risiko masih belum optimal
Kepatuhan
cuci tangan
belum optimal
Kepatuhan pelaksanaan
5 moment
dinilai belum optimal
Hambatan pelaksanaan
Kendala pelaksanaan program :
1. Kelengkapan pengadaan
sarana prasarana di unit
2. Kesulitan pelaksanaan pencegahan seperti kelupaan cuci tangan, kelupaan
5 moment 3. Kesulitan mengubah kebiasaan
4. Sumber daya yang kurang memadai Kendala bersumber
dari sumber daya manusia
yang kurang memadai dan
kesulitan mengubah kebiasaan
5. Setiap petugas memiliki karakteristik yang unik
Kerjasama Kerjasama antar tim PPI ke setiap
unit : 1. Sudah
berjalan cukup
baik, komunikasi terjalin baik
2. Pelaksanaan kerjasama
dirasakan masih kurang maksimal di ruang OK
Kerjasama OK dan CSSD terkendala SDM CSSD
Pelaksanaan kerjasama
dirasa masih
kurang maksimal di ranap,
ralan, dan OK
Harapan petugas Harapan perubahan, dukungan, dan perbaikan :
1. Meningkatkan kepatuhan cuci tangan 2. Berperilaku yang baik untuk menjaga
HAIs 3. Ada pengontrolan, evaluasi yang rutin
dan berkala 4. Adanya reward-punishment
5. Adanya feedback 6. Sikap profesional, perbaikan sikap
dari individu yang sesuai standar
Dukungan yang
proaktif dari petugas
b. Identifikasi Risiko HAIs Tabel 1.3 Identifikasi risiko dalam manajemen risiko HAIs
Kegiatan apa yang terlibat ?
siapa yang berisiko?
Apa yang menjadi sumber potensial dari
agen infeksius Bagaimana HAIs
itu dapat bertransmisi?
Risiko Kemungkinan
penyebab Penularan
secara langsung
dengan kontak : kulit
Petugas kesehatan
Pasien 1. kontaminasi tangan
petugas kesehatan 2. alat atau instrument
kesehatan 3. pengunjung
atau lingkungan
sekitar area
perawatan pasien
Transmisi kontak secara
langsung dan
tidak langsung
1. Penularan penyakit menular melalui kontak
kulit 2. Perpindahan kuman
seperti bakteri, virus, fungiparasit
Hygiene perseorangan petugas,
pasien, pengunjung
Pembedahan, luka
pada kulit Tindakan
prosedur Pasien
Petugas kesehatan, area
ruangan perawatan
pasien Pasien
1. tangan petugas
kesehatan 2. alat atau instrumen
kesehatan set
medikasi, peralatan operasi
3. darah atau cairan lain yang berasal
dari tubuh pasien
1. tangan petugas
Penularan kontak secara
langsung dan
tidak langsung.
1. Terjadi infeksi IDO, IADP, ISK plebitis,
dekubitus 2. Lamanya perawatan
3. Tertundanya kepulangan pasien
4. Kecacatankematian 1. Hygiene
perseorangan 2. Sterilisasi alat
3. Pelaksanaan SOP yang kurang tepat
4.
Tidak menggunakan APD
yang menembus kulit, membran
mukosa, tindakan
invasifpemasangan, pemberian
cairan infustransfusi darah,
lumbal fungsi, biopsi kesehatan
2. teknik yang masih kurang
3. peralatan yang
terkontaminasi Kontak
Penggunaan benda
tajam dan objek yang berpotensi
terkontaminasi Petugas
kesehatan yang tertusuk jarum
1. darah 2. cairan atau zat lain
dari tubuh pasien pus, air seni, saliva
air liur Kontak
1. Tertusuk jarum 2. Penularan penyakit
menular hepatitis, HIV AIDS
1. Keselamatan kerja petugas dan
keselamatan pasien 2. Infeksi
Prosedur untuk sistem pernafasan
seperti penggunaan suction,
nebulizer, pemberian O
2,
ventilator Petugas
kesehatan Area
ruangan perawatan
pasien 1. sekret
mukosa seperti droplet dari
batuk, bersin 2. aerosol
atau penyegar udara
1. Airborne TB
2. Droplet influenza
3. Kontak tidak langsung
dengan lingkungan
perawatan atau bangsal yang
terkontaminasi melalui
droplet 1. Masuk dan
berkembangnya virus dan bakteri di
bendabahan atau alat yang tercemar
3. Penularan penyakit : TB, influenza
4. Infeksi VAP 1. Hygiene
perseorangan petugas
2. Pelaksanaan SOP yang kurang tepat
3. Penggunaan APD yang kurang optimal
Kegiatan yang
berkaitan kontak fisik dengan
pengolahan Petugas
kesehatan darah dan cairan atau
zat lain yang berasal dari tubuh pasien
Kontak 1. Penularan penyakit
2. Infeksi 1. Penggunaan APD
yang kurang 2. Tidak menggunakan
limbah atau
pembersihannya Area perawatan
pasien APD
3. Pengelolaan sanitasi RS yang kurang
optimal Kegiatan yang terlibat
kontak fisik dengan limbah pasien atau
kontaminasi laundry, pakaian atau peralatan
contoh
pengolahan linen,
cleaning service
Petugas kesehatan
Area perawatan pasien
atau rumah sakit
darah dan cairan atau zat lain yang berasal
dari tubuh pasien Kontak
1. Penularan penyakit
2.
Infeksi 1. Penggunaan APD
yang kurang 2. Tidak menggunakan
APD
3.
Pengelolaan sanitasi RS yang kurang
optimal
Apakah ada kegiatan yang
melibatkan penggunaan
semprotan atau debu? seperti
kegiatan membersihkan,
penyemprotan, atau
menyapu Petugas
kesehatan dan orang-orang
lainnya, staff, pengunjung
yang berada di area
rumah sakit
penyegar udara yang pada
umumnya digunakan pada saat
membersihkan ruangan Airborne
1. Menghirup debu 2. Masuknya virusbakteri
yang ada di dalam udara
3. Gangguan saluran pernafasan TB,
influenza 4. Infeksi
1. Kurang ventilasi 2. APD yang kurang
3. Tidak menggunakan
APD 4. Kebersihan dan
sanitasi rumah sakit 5. Tingkat kepadatan
ruangan Pelayanan kesehatan
yang diberikan
selama di lingkungan klinis
Pasien dan
petugas kesehatan
kontaminasi dalam area perawatan pasien atau
rumah sakit Kontak
tidak langsung
1. Menghirup debu 2. Masuknya virusbakteri
yang ada di dalam udara
3. Gangguan saluran pernafasan TB,
influenza 4. Infeksi
1. Kurang ventilasi 2. Kebersihan dan
sanitasi rumah sakit 3. Tingkat kepadatan
ruangan
Tabel 1.2 diatas menjabarkan terkait identifikasi HAIs berdasarkan kegiatan atau tindakan yang dilakukan di rumah sakit yang dapat memicu
kejadian HAIs, siapa yang beresiko sumber risiko, dan cara transmisi infeksi tersebut. Identifikasi risiko HAIs yang dijelaskan diatas memiliki yang risiko
untuk mendapatkan infeksi dari rumah sakit adalah petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan area perawatan atau lingkungan rumah sakit.
Risiko-risiko yang ditemukan dan di analisis antara lain dari tabel 1.2 tersebut yaitu 1 penularan penyakit menular melalui kontak langsung dan tidak
langsung, 2 perpindahan, masuk dan berkembangnya mikroorganisme, 3 Masuknya virusbakteri yang ada di dalam udara gangguan pernafasan TB,
influenza, 4 terjadinya infeksi IDO, VAP, ISK, IADP, plebitis dan dekubitus, 5 lama perawatan, tertundanya kepulangan, kecacatan atau bahkan kematian.
c. Analisis risiko HAIs Tabel 1.4 Program Infection Control Risk Assesment ICRA HAIs
N O
POTENSIAL RISKMASA
LAH
PROBABILITY RISKIMPACT HEALTH,FINACIAL,LEGAL,REGULATORY
Current systemspreparedness
Score
EXPEC I
T
LI KEL
Y MAY
B E
R ATE
NEV ER
Catastrop ic Loss
lifelimb function
financial Serious
Loss Function
financiall egal
Prolonged length of
stay Moderate
clinicalfin ancial
Minimal cilinical
financial None
poor F
air Good
S oli
d
5 4
3 2
1 5
4 3
2 1
5 4
3 2
1
Healthcare Acquired
Infection
a IDO
4 3
3 24
b VAP
1 3
1 4
c IADP
1 3
4 7
d ISK
4 3
1 16
e Phlebitis
5 3
1 20
f Dekubitus
5 3
1 20
Berdasarkan tabel 1.3 diatas berhubungan dengan Infection Control Risk Assesment ICRA HAIs yang di analisis terdapat potensial masalah HAIs,
kemungkinan probability, risiko atau dampak riskimpact, sistem yang ada current systemspreparedness. Jenis HAIs yang menjadi potensial masalah yaitu
IDO, VAP, IADP, ISK, Phlebitis dan dekubitus. Kemungkinan terjadi kejadian jenis HAIs tersebut apabila IDO dan ISK dinilai agak sering terjadi likely di
tingkat risiko : 4, untuk VAP dan IADP kemungkinan terjadi tidak pernah never tingkat risiko: 1, kemudian kemungkinan kejadian phlebitis dan dekubitus sering
terjadi expect it tingkat risiko : 5. Risiko atau dampak pada masalah HAIs tingkat risiko : 3, yang artinya
setiap kasus yang memperpanjang perawatan prolonged length of stay. Pada penilaian sistem yang ada current systemspreparedness untuk jenis HAIs IDO
pada level risiko 3 yaitu fair artinya peraturan ada, fasilitas ada, tidak dilaksanakan. Pada jenis HAIs IADP untuk penilaian sistem yang ada pada level
risiko 4 poor artinya peraturan ada, fasilitas ada, tidak dilaksanakan. Kemudian untuk jenis HAIs VAP, phlebitis dan dekubitus dinilai pada level risiko 1 yaitu
solid peraturan ada, fasilitas ada dilaksanakan.
Tabel 1.5 Analisis risiko HAIs
Risiko HAIs
Kemungkinan penyebab Karakterisitik yang meningkatkan risiko
Karateristik yang menurunkan risiko
IDO 1. Hygiene perseorangan
2. Sterilisasi alat 3. Pelaksanaan SOP yang
kurang tepat 4. Tidak menggunakan APD
1. Jumlah pasien yang dilakukan tindakan operasi selama tahun 2015 adalah 1455
tindakan operasi 2. Sosialisasi tentang kategori jenis operasi
yang dapat dinilai untuk IDO dan batasan waktunya belum optimal
3. Belum ada mentoring penerapan standar precaution tidak terdapat SPO standar
precaution di masing-masing instalasi di rumah sakit
4. Belum ada
pertemuan rutin
untuk membahas IDO
5. Belum terlaksananya evaluasi berkala untuk kejadian IDO
6. Pelaporan terkait IDO masih kurang mendalam seperti mengidentifikasi kontrol
IDO, pengklasifikasian infeksi dari operasi bersih atau kotor, kapan terjadinya, lamanya
infeksi, perawatan luka yang dilakukan, pengontrolan IDO mulai dari prosedur
tindakan operasi, perawatan di bangsal, dan kontrol luka post operasi di poliklinik yang
belum terlaksana secara optimal 1. Sudah
dilakukan pelaksanaan
menjaga kebersihan
tangan, kepatuhan cuci tangan, penggunaan
APD 2. Sudah ada kebijakanprosedur tentang
pencegahan dan penanganan HAIs 3. Adanya dan telah dilakukan laporan
evaluasi kegiatan
sosialisasi berkelanjutan pada semua staf
4. Ada budaya sadar HAIs IDO di ruang OK, rawat inap dan rawat jalan.
5. Sarana prasarana yang sudah cukup memadai dan sesuai standar
6. Dukungan pimpinan
dalam pelaksanaan PPI di rumah sakit
7. Petugas dan standar di kamar operasi sudah memenuhi standar PPI
8. Sudah diadakan pelatihan dasar untuk IPCLN
9. Sudah terlaksananya pelaporan HAIs melalui SIMRS yang dilaporkan oleh
IPCLN di masing-masing unit
VAP 1. Hygiene perseorangan
petugas 2. Sterilisasi alat
3. Pelaksanaan SOP yang kurang tepat
4. Penggunaan APD yang kurang optimal
1. Fasilitas dan sarana prasarana hand hygiene masih kurang
2. Jumlah pasien yang terpasang VAP selama tahun 2015 sebanyak 71 orang
1. SPO untuk pemasangan ventilator 2. Pencegahan VAP dan edukasi sudah
3. Jumlah pasien yang terinfeksi VAP
selama tahun 2015 adalah 0
IADP 1. Hygiene perseorangan
petugas 2. Pelaksanaan SOP yang
kurang tepat 3. Tidak menggunakan APD
1. Kepatuhan cuci tangan petugas masih kurang dalam hand hygiene
2. Belum dilakukan
sosialisasi untuk
surveilans dan pencegahan IADP 1. Laporan kejadian IADP selama tahun
2015 tidak ada kejadian pasien dengan IADP
2. Ada SPO tentang pencegahan IADP 3. Telah dllakukan sosialisasi terkait
pencegahan dan penanganan HAIs IADP
4. Sudah ada evaluasi berkala terkait kepatuhan cuci tangan
ISK 1. Hygiene perseorangan
petugas 2. Pelaksanaan SOP yang
kurang tepat 3. Tidak menggunakan APD
1. Pasien dengan terpasang kateter urin selama tahun 2015 sebanyak 1380
orang, 2. Belum adanya mentoring tentang
penerapan standar precaution 3. Kepatuhan hand hygiene petugas
masih kurang 4. Belum dilakukan penyegaran SPO
pemasangan dan perawatan kateter urin
5. Sosialisasi untuk format surveilans ISK belum terlaksana
1. Ada kebijakanprosedur
tentang pencegahan HAIs
2. Sudah ada kebijakan prosedur tentang penanganan HAIs ISK
3. Sudah dilakukan pelaksanaan menjaga kebersihan tangan dengan mencuci
tangan, kepatuhan cuci tangan, dan penggunaan APD
4. Ada budaya sadar risiko HAIs yang diterapkan para staf
5. Sudah ada kebijakanprosedur tentang pencegahan dan penanganan HAIs
6. Sudah ada SPO untuk prosedur tindakan pemasangan kateter urin
Phlebitis 1. Hygiene perseorangan
petugas 2. Pelaksanaan SOP yang
kurang tepat 3. Tidak menggunakan
APD 1. Jumlah pasien yang terpasang infus selama
tahun 2015 sebanyak 8045 orang 2. Kepatuhan hand hygiene petugas yang
masih kurang 3. Belum
dilakukan penyegaran
asuhan keperawatan
terkait pemasangan
dan perawatan infus
1. Ada SPO
tentang prosedur
pemasangan infus 2. Ada ketetapan waktu penggantian
infus 3. Sudah ada SPO tentang penggantian
cairan infus 4. Adanya kebijakanprosedur tentang
pencegahan HAIs 5. Sudah
ada kebijakanprosedur
tentang penanganan HAIs 6. Telah dilakukan kegiatan surveilans
dan tindakan lanjut dari semua kegiatan
7. Dilakukan evaluasi berkala terkait kepatuhan cuci tangan, SPO untuk
prosedur pemasangan alat invasive Dekubitus 1. Hygiene perseorangan
petugas 2. Pelaksanaan SOP yang
kurang tepat 3. Tidak menggunakan
APD 1. Jumlah pasien yang mengalami dekubitus
selama tahun 2015 adalah 15 orang 2. Kepatuhan hand hygiene petugas yang
masih kurang 3. Belum
dilakukan penyegaran
asuhan keperawatan dengan dekubitus
1. Terdapat fasilitas kasur dekubitus 2. Sudah terlaksana pelaporan HAIs
melalui SIMRS yang dilakukan oleh IPCLN
Tabel 1.5 menguraikan terkait kemungkinan penyebab HAIs, karakteristik yang meningkatkan risiko, dan karakterisitik yang menurunkan risiko.
Kemungkinan penyebab dari HAIs hygiene perseorangan, sterilisasi alat, pelaksanaan sop yang kurang tepat, tidak menggunakan APD, dan penggunaan
APD yang kurang tepat. Tabel 1.6 berikut merupakan prioritas risiko HAIs yang didapatkan dari
analisis risiko pada tabel 1.3 dan tabel 1.4 Tabel 1.6 Prioritas risiko HAIs di RS PKU Muhammadiyah Gamping
Potensial risiko HAIs Skor
IDO 24
Plebitis 20
Dekubitus 20
ISK 16
IADP 7
VAP 4
Berdasarkan tabel 1.6 diatas potensial risiko dengan skor tertinggi adalah IDO Infeksi Daerah Operasi.
d. Penilaian Risiko HAIs Hasil tahap ini merupakan tahap untuk menilai analisa dari risiko
HAIs dengan cara membandingkan kemungkinan terjadinya dan dampak yang ada dalam analisa risiko berdasarkan data yang ada di RS
Muhammadiyah Gamping tahun 2015. Tabel 1.7 risiko matriks assessment
keterangan : : risiko rendah
: risiko sedang : risiko tinggi
: risiko sangat tinggi ekstrem Berdasarkan tabel penilaian risiko matriks diatas bahwa bands
berwarna biru adalah jenis HAIs VAP dengan tingkat risiko sedang, bands berwarna hijau yaitu IADP dengan tingkat risiko sedang, bands berwarna
kuning dengan tingkat risiko tinggi adalah jenis HAIs ISK, phlebitis, dan Kemungkinan
Dampak Insignificant
1 Minor
2 Modarete
3 Mayor
4 Calastrofic
5 Sering sekali
5 Phlebitis,
dekubitus Sering
4 IDO
Mungkin 3
ISK Jarang
2 Tidak pernah
1 VAP
IADP
dekubitus sedangkan untuk bands berwarna merah dengan tingkat risiko sangat tinggi yaitu IDO.
e. Evaluasi Risiko Berdasarkan uraian penilaian risiko pada tabel di atas bahwa untuk
tingkat risiko pada kategori sangat tinggi pada jenis HAIs yaitu IDO. Tabel 1.8 berikut akan menguraikan hasil evaluasi risiko HAIs :
Risiko IDO Deskripsi Risiko
Evaluasi Risiko Identifikasi
IDO Pelaporan identifikasi
dan kontrol infeksi luka operasi
Pelaporan terkait IDO masih kurang mendalam seperti mengidentifikasi kontrol
IDO, pengklasifikasian infeksi dari operasi bersih atau kotor, kapan terjadinya, lamanya
infeksi, perawatan luka yang dilakukan, pengontrolan IDO mulai dari prosedur
tindakan operasi, perawatan di bangsal, dan kontrol luka post operasi di poliklinik yang
belum terlaksana secara optimal.
Pelaksanaan tindakan
pencegahan dan
pengendalia n infeksi
Di ruang rawat inap dan rawat jalan
a. Menjaga kebersihan tangan,
kepatuhan cuci tangan sebelum
dan setelah melakukan perawatan
luka operasi,
dan penggunaan
APD sebelum
melakukan tindakan
b. Penggunaan alat yang digunakan untuk
perawatan
luka operasi
c. Pelaksanaan yang dilakukan
jika terpercik darah atau
cairan tubuh ketika melakukan perawatan
luka Sudah dilakukan pelaksanaan cuci tangan
sebelum dan setelah ke pasien namun kadang petugas kesehatan lupa dalam
pelaksanaan 5 moment. Penggunaan APD seperti sarung tangan saat melakukan
perawatan luka operasi sudah dilakukan oleh petugas kesehatan.
Alat-alat yang digunakan untuk tindakan perawatan luka dengan menggunakan set
medikasi yang steril. Setelah digunakan alat atau set medikasi tersebut di rendam oeh
cairan enzimatik sebelum diserahkan ke CSSD.
Membasuh dengan alkohol dan segera cuci tangan
Sumber daya
manusia Pengetahuan perawat
terkait tanda-tanda
infeksi luka operasi Budaya sadar risiko
infeksi Tanda-tanda infeksi luka seperti edema,
kemerahan, ada nanah.
1. Sikap dari petugas kesehatan sudah tertanam budaya sadar akan risiko infeksi
di ranap, ralan, dan OK 2. Pelaksanaan perilaku budaya sadar risiko
masih belum optimal. 3. Kepatuhan
pelaksanaan 5
moment dinilai belum optimal,
4. Sudah menggunakan APD, memutuskan rantai transmisi agen infeksi dengan
menjaga kebersihan tangan namun untuk kepatuhannya belum berjalan optimal
Dikamar operasi sangat berpotensi terjadi infeksi, semua tim sudah sadar risiko sesuai
dengan
prosedur pengelolaan
alat, menangani
limbah, membersihkan,
menyetrilkan ulang alat habis pakai Manajemen
risiko IDO Pelaksanaan
manajemen risiko
IDO di ruang rawat inap
Pelaksanaan manajemen
risiko IDO di kamar operasi
Penggunaan antibiotik profilaksis
Manajemen risiko dengan cuci tangan, penggunaan APD seperti sarung tangan,
menggunakan peralatan untuk perawatan luka yang steril dan menggunakan teknik
steril ketika melakukan tindakan. Kepatuhan menjaga kebersihan tangan
dengan mencuci tangan sebelum melakukan operasi
sudah dilakukan,
penggunaan peralatan steril dan pelaksanaan antiseptic
kulit ketika melakukan tindakan operasi. Adanya
keterlibatan CSSD
dalam penyetrilan instrumen operasi dan sterilisasi
ruangan operasi secara rutin dan berkala. Diberikan
sebelum operasi,
lama penggunaan tergantung jenis operasi yaitu 3-
4 kali setelah tindakan operasi diruang perawatan
Dukungan manajemen
Dukungan manajemen dalam
penurunan risiko IDO
1. Adanya pengawasan yang dilakukan oleh komite PPIRS melalui IPCN ke IPCLN
yang kemudian melaporkan kegiatan pelaksanaan surveilans HAIs melalui
SIMRS Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit.
2. Kelengkapan pelaporan surveilans HAI
melalui SIM belum ada pengawasan 3. Pelaporan
surveilans IDO
belum terlaporkan secara efisien
4. Terkait mentoring
dan sosialisasi
dirasakan masih kurang oleh petugas kesehatan, evaluasi secara berkala belum
terlaksana dengan baik.
5. Pertemuan dan rapat berkala untuk membahas terkait IDO masih belum
terlaksana dengan optimal 6. Kegiatan surveilans IDO belum berjalan
maksimal 7. Sarana prasana sudah cukup memadai
8. Peranan pimpinan diperlukan dalam mendukung program penurunan HAIs
f. Tindak lanjut dan strategi penurunan HAIs Tabel 1.8 tindak lanjut risiko dan strategi penurunan HAIs
HAIs Skor Tingkatan
risiko Tujuan
umum Tujuan
khusus Strategi
Evaluasi risiko Analisa tindak lanjut
IDO 24
Sangat tinggi
Mengura ngi angka
kejadian IDO
Angka kejadian
IDO menurun
Diklat pelayanan
PPI, pengadaan
fasilitas hand
hygiene wastafel dan hand- rub, bahan edukasi dan leaflet
yan PPI
hand hygiene,
refresing penatalaksanaan pre operasi, durante operasi, post
operasi, penyegaran
penatalaksanaan perawatan
luka, membuat
format surveilans IDO dan sosialisasi
cara pengisiannya. Sudah dilakukan diklat yan
PPI, kepatuhan petugas dalam hand hygiene masih
kurang, belum dilakukan refresing pasien dengan
pembedahan,
sudah dibuatkan surveilans IDO
tetapi belum
disosialisasikan. Membutuhkan tindakan
segera, perhatian sampai ke direktur RS, perlu
pengkajian yang sangat mendalam, Audit SPO
Hand
hygiene, monitoring
kepatuhan hand hygiene, lakukan
penyegaran pasien
dengan pembedahan dan lakukan
sosialisasi surveilans
IDO, identifikasi
dan pengontrolan
luka operasi yang mendetail
VAP 4
Rendah Mengura
ngi angka kejadian
VAP Angka
kejadian VAP
menurun. Diklat yan PPI, pengadaan
fasilitas hand hygiene wastafel dan hand-rub, bahan edukasi
dan leaflet yan PPI hand hygiene,
refresing askep
pasien dengan pemasangan ventilator, membuat format
surveilans VAP
dan Sudah dilakukan diklat yan
PPI, fasilitas sarana dan prasarana hand hygiene
masih
kurang, sudah
dilakukan presentasi askep perawatan pasien dengan
pemasangan ventilator,
sudah dibuatkan format Melakukan
investigasi sederhana
dengan prosedur rutin,
Audit SPO
Hand hygiene,
monitoring kepatuhan hand hygiene,
lakukan sosialisasi
surveilans dan
pencegahannya serta sosialisasi cara pengisiannya.
surveilans dan pencegahan VAP.
pencegahan VAP secara terus menerus
IADP 7
Sedang Mengura
ngi angka kejadian
IADP Tidak
ada kejadian
IADP Diklat yan PPI, pengadaan
fasilitas hand hygiene wastafel dan hand-rub, bahan edukasi
dan leaflet yan PPI hand hygiene, refresing persiapan
dan perawatan pemasangan intra vena sentral, pengisian
surveilan IADP Kepatuhan petugas dalam
hand hygiene
masih kurang, belum dilakukan
resfresing persiapan dan perawatan CVC, sudah
dibuatkan
format surveilans dan pencegahan
IADP tetapi
belum dilakukan sosialisasi.
Melakukan monitoring
atau audit secara khusus, mengelola risiko, Audit
SPO hand
hygiene, monitoring
kepatuhan hand hygiene, lakukan
refresing persiapan dan perawatan
CVC dan
lakukan sosialisasi
surveilans dan
pencegahan IADP. ISK
16 Tinggi
Mengura ngi angka
kejadian ISK
Angka kejadian
ISK menurun.
Diklat yan PPI, pengadaan fasilitas hand hygiene wastafel
dan hand-rub, bahan edukasi dan leaflet yan PPI hand
hygiene,
refresing SPO
pemasangan dan perawatan kateter urin, membuat format
surveilans dan pencegahan ISK serta sosialisasi pengisiannya.
Kepatuhan petugas dalam hand
hygiene masih
kurang, belum dilakukan resfresing
SPO pemasangan
dan perawatan kateter urin,
sudah dibuatkan format surveilans dan pencegahan
ISK
tetapi belum
dilakukan sosialisasi. Mengkaji
secara mendetail, perlu adanya
tindakan segera,
melibatkan pihak
manajemen, Audit SPO hand hygiene, melakukan
bed site teaching hand hygiene,
monitoring kepatuhan Hand hygiene,
lakukan refresing
pemasangan dan
perawatan kateter urin dan lakukan sosialisasi
surveilans dan
pencegahan ISK.
Infeksi lain
Phlebit is
20 Tinggi
Mengura ngi angka
kejadian phlebitis
Angka kejadian
phlebitis menurun.
Diklat yan PPI, pengadaan fasilitas hand hygiene wastafel
dan hand-rub, bahan edukasi dan leaflet yan PPI hand
hygiene,
refresing SPO
pemasangan infus
dan perawatan infus.
Kepatuhan petugas dalam hand
hygiene masih
kurang, belum dilakukan resfresing
SPO pemasangan
dan perawatan infus.
Mengkaji secara
mendetail, perlu adanya tindakan
segera, melibatkan
pihak manajemen, Audit SPO
Hand hygiene,
monitoring kepatuhan
Hand hygiene, lakukan refresing
pemasangan dan perawatan infus.
Infeksi lain
dekubi tus
20 Tinggi
Mengura ngi angka
kejadian dekubitus
Angka kejadian
dekubitu s
menurun. Diklat yan PPI, pengadan
fasilitas hand hygiene wastafel dan hand-rub, bahan edukasi
dan leaflet yan PPI hand hygiene, pengadaan matras
dekubitus,
refresing askep
dekubitus. kepatuhan petugas dalam
hand hygiene
masih kurang,
sudah ada
pengadaan matras
dekubitus, belum
dilakukan refresing askep dengan dekubitus.
Mengkaji secara
mendetail, perlu adanya tindakan
segera, melibatkan
pihak manajemen, Audit SPO
hand hygiene,
monitoring kepatuhan
hand hygiene, lakukan refresing
perawatan pasien dengan dekubitus.
Sumber : data primer tim PPI rumah sakit yang sudah dianalisis
B. Pembahasan 1. Manajemen risiko infeksi
Berdasarkan wawancara yang dilakukan bahwa komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit PPIRS di RS PKU
Muhammadiyah Gamping ini dibentuk pada bulan Februari tahun 2015. Struktur oganisasi dengan membentuk komite PPIRS terdapat tim PPI di
dalamnya. Hasil wawancara menjelaskan seharusnya untuk struktur organisasi komite ini dibawah langsung oleh direktur utama namun belum
ada tersusun nama-namanya yang tetap dalam struktur organisasi ini. Tim PPI diketuai oleh ketua PPI, dan terdapat satu orang IPCN serta IPCLN di
setiap unit kerja. Pembentukan IPCLN dalam tim PPI juga baru dibentuk dan diberikan pelatihan. Depkes 2007 menguraikan kerangka struktrur
organisasi sebagai berikut gambar 10 :
Depkes 2007 menyebutkan tugas pokok IPCLN yaitu: 1 IPCLN sebagai perawat pelaksana harian atau penghubung dengan IPCN, 2
bertugas mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat inap masing-masing, kemudian menyerahkannya kepada IPCN
ketika pasien pulang, 3 memberikan motivasi dan teguran tentang
Direktur utamadirektur
Komite PPI Direktorat
Direktorat Direktorat
Tim PPI
pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawat inap masing-masing, 4 memberitahukan
kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien, 5 berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB,
penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat inap masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum paham, dan 6
memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan standar isolasi.
Hasil wawancara terkait manajemen risiko disebutkan bahwa manajemen risiko dinilai sangat perlu karena apabila tidak adanya
dibentuk tim PPI sebagai tim yang mengawasi dalam menjalani program pencegahan dan pengendalian infeksi maka tidak ada manajemen risiko.
Ketua PPIRS RS PKU Muhammadiyah Gamping menyebutkan jika tidak ada manajemen risiko maka angka kejadian HAIs akan meningkat, hal ini
akan memperlama perawatan dan menyulitkan pasien, menambah biaya apalagi dengan adanya era BPJS sekarang, akan menambah biaya
perawatan pasien yang menjadi tanggungjawab dan dapat merugikan rumah sakit sendiri. Menurut Weston 2013 menyebutkan beberapa
dampak HAIs bahwa kehilangan pendapatan, bahaya, cacat atau kematian, peningkatan lama perawatan, serta pengeluaran tambahan. Hal ini hampir
sama dengan hasil dari wawancara dengan informan. Selama dibentuk pelaksanaan dari pencegahan dan pengendalian
infeksi di rumah sakit ini masih dikatakan baru sehingga untuk
pelaksanaan program dan kegiatan masih ada yang belum berjalan optimal dan dirasa masih perlu belajar dan perbaikan. Peran dari pihak
manajemen dan partisipasi dari semua staff merupakan hal yang penting untuk berjalannya program pencegahan dan pengendalian risiko infeksi
ini. Peran dan partisipasi petugas kesehatan dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit ini memiliki peran yang besar untuk terlaksanannya penurunan risiko HAIs. Adanya keterlibatan dan
partisipasi tenaga kesehatan dalam memantau pelaksanaan penurunan HAIs di unit rawat inap, rawat jalan, dan kamar operasi turut serta
mendukung program PPI yang sedang digalakkan. Kamar operasi merupakan salah satu ruangan yang memiliki potensi tinggi terjadinya
infeksi khususnya infeksi luka operasi. Pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian infeksi di RS
PKU Muhammadiyah Gamping ini sebagian besar informan menganggap bahwa pimpinan memiliki peranan yang besar dan penting dalam
pencapaian standar penurunan HAIs. Pimpinan di RS PKU Muhammadiyah sudah ikut serta dan mendukung dalam pelaksanaan
penurunan HAIs, namun masih ada peranan pimpinan yang belum terlihat yaitu
peran langsung dari pimpinan, adanya evaluasi atau adanya umpan balik reinforcement positif dan negatif, belum adanya reward-punishment dalam
menjalankan program PPI untuk meminimalkan risiko infeksi. Depkes
2007 menjelaskan
bahwa tugas
direktur yaitu
bertanggungjawab dan
memiliki komitmen
yang tinggi
terhadap
penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, mengadakan evaluasi kebijakaan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
berdasarkan saran dari tim PPI.
Hasil analisis wawancara menyebutkan hal yang berkaitan dengan komunikasi dan informasi dalam pelaksanaan program PPI sendiri yaitu
dinilai mudah untuk didapatkan. Penyebaran dan transfer informasi dari tim PPI ke unit tidak memiliki kendala dalam pemberian informasi.
Informasi dapat diakses dengan mudah melalui komputer yang setiap unit memiliki berkas dan software untuk menyampaikan informasi seperti
halnya pelaporan temuan HAIs dimasukkan kedalam Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit SIMRS. Untuk mendapatkan Informasi
terbaru sudah ada wadahnya seperti adanya diskusi, pertemuan rapat, pelatihan, pelaporan periodik, media poster serta leafleat.
Berdasarkan wawancara yang sudah dilakukan pada informan berkaitan dengan pertanyaan budaya sadar risiko infeksi mereka menyebutkan bahwa
budaya sadar risiko HAIs sendiri sudah tertanam dalam diri setiap staff atau petugas kesehatan. Akan tetapi, ada hal-hal yang dianalisis melalui wawancara
tersebut pula mereka menjelaskan bahwa perilaku dan sikap dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi sendiri masih belum maksimal dan perlu
adanya perbaikan. Kepatuhan menjaga kebersihan tangan dengan cuci tangan dan pelaksanaan 5 moment sendiri kadang mereka lupa sehingga dinilai masih
kurang optimal dalam pengaplikasiannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Kumalasari 2015 di RS PKU
Muhammadiyah Gamping Yogyakarta, bahwa sebelum dilakukan simulasi kepatuhan cuci tangan dibeberapa bangsal adalah 60 , dan setelah diberikan
simulasi dengan role model, media poster dan video menjadi meningkat 80-90. Dikarenakan masih belum optimalnya kepatuhan cuci tangan yang dilakukan
oleh petugas, simulasi ini dapat dikombinasikan dan diterapkan kembali dalam proses pelatihan dan monitoring program PPI sehingga simulasi dengan
menggunakan role model, media poster dan video dan pendekatan langsung diharapkan dapat terus dilanjutkan untuk meningkatkan kepatuhan cuci tangan di
RS PKU Muhammadiyah Gamping di semua unit perawatan dan pelayanan. Pelaksanaan program pencegahanan dan pengendalian infeksi pun
informan menjelaskan tentunya memiliki hambatan. Informan banyak yang menjawab dari pertanyaan wawancara yang menanyakan terkait hambatan dalam
pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi adalah pada sumber daya manusia. Hambatan yang bersumber pada sumber daya manusia yang kurang
memadai dan sulit diubah merupakan kendala yang dirasakan dalam pelaksanaan program. Kendala bersumber dari tenaga petugas kesehatan sendiri dimana
mereka memiliki sikap yang beda-beda, kadang lupa, kadang acuh, dan kadang sulit untuk diingatkan. Selain kendala tenaga, kelengkapan sarana prasarana di
ruang rawat inap pun menjadi hambatan dalam pelaksanaan misal tisu di ranap habis, hand rub atau sabun cuci tangan habis.
Apabila menganalsis hasil wawancara dengan informan berkaitan dengan kerjasama antar tim PPI ke setiap unit dalam pelaksanaan penurunan risiko HAIs
sudah berjalan cukup baik, komunikasi terjalin baik, namun kadang belum pelaksanaan kerjasama dirasa masih kurang maksimal di rawat inap, rawat jalan
dan ruang OK. Mereka mendukung program PPI dan berharap pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi meningkatkan kepatuhan cuci tangan,
berperilaku yang baik untuk menjaga dari risiko HAIs, adanya pengontrolan, evaluasi yang rutin dan berkala.
Sebagian dari informan pun menjelaskan bahwa mereka berkeinginan untuk adanya reward-punishment, adanya feedback dari pelaksanaan
pencegahan dan pengendalian agar adanya hal yang perlu diperbaiki apabila masih ada yang belum benar. Secara individu mereka berharap bahwa
membentuk sikap yang professional dan adanya perbaikan sikap dari setiap individu untuk adanya perubahan yang membangun sesuai dengan standar untuk
meminimalisir infeksi.
Pelaksanaan program manajemen risiko infeksi merupakan salah satu kegiatan penting untuk mencegah dan mengendalikan infeksi di
rumah sakit. Hasil analisis wawancara yang telah dilakukan disebutkan bahwa perlu peranan dari manajemen, pimpinan, dan peranan dari staff
atau petugas kesehatan sendiri. Menurut Good of Corparate Governance menjelaskan bahwa manajemen risiko merupakan suatu bagian dari
tanggungjawab pihak manajemen dan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses organisasi, proyek atau program dan manajemen
perubahan. Manajemen risiko bukan suatu aktivitas yang berdiri sendiri dan terpisah dari kegiatan proses organisasi dalam mencapai sasaran.
Manajemen risiko organisasi menurut COSO 2004 dalam Astuti 2010 adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi,
manajemen dan personalia lainnya, yang diterapkan dalam menyusun strategi dalam organisasi, dirancang untuk menidentifikasi kejadian-
kejadian yang potensial terjadi yang dapat mempengaruhi entitas, dan
mengelola risko untuk mencakup dalam jangkauan risiko, menyediakan perlindungan yang layak yang berkaitan dengan pencapaian tujuan entitas.
Apabila dianalisis dari hasil penelitian ini bahwa dukungan pihak manajemen dinilai perlu dalam mendukung program PPI untuk
menjalankan proses manajemen risiko infeksi. 2. Identifikasi risiko dan analisa risiko HAIs
National Health and Medical Research Council 2010 menyebutkan bahwa pengaruh dari masalah HAIs tersebut tidak hanya
mempengaruhi pasien saja melainkan juga pekerja di rumah sakit seperti pengaturan kesehatan di bagian apa pun, termasuk praktik berbasis kantor.
Hal ini juga memungkinkan bahwa pekerja dan pengunjung berisiko menularkan infeksi. Sumber potensial yang menularkan HAIs yaitu tangan
petugas, peralatan medis, dan cairan tubuh dari pasien. Penularan HAIs ditransmisi melalui kontak langsung maupun tidak langsung baik dari
petugas ke pasien, pengunjung ke pasien, dan lingkungan area perawatan. Risiko dari HAIs yaitu masuknya dan berkembangnya virus,
bakteri atau mikroorganisme lain sehingga terjadinya infeksi seperti IDO, ISK, IADP, VAP, plebitis, dekubitus. Kemudian juga terdapat risiko dari
HAIs yaitu lama perawatan, tertundanya kepulangan, kecacatan atau bahkan kematian, gangguan pernafasan. Kemungkinan penyebab dari
risiko jenis HAIs tersebut yang terjabarkan pada tabel 1.3, adalah hygiene dari perorangan petugas, sterilisasi alat, penggunaan APD yang belum
optimal, pelaksanaan SOP yang kurang tepat.
Depkes 2007 menyebutkan risiko infeksi memiliki risiko menginfeksi cukup rendah saat organisme kontak dengan kulit yang utuh
dan setiap hari manusia menyentuh benda dimana terdapat organisme di permukaan benda tersebut. Risiko infeksi akan meningkat apabila adanya
kontak dengan membran mukosa atau kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi itu akan semakin meningkat saat mikroorganisme berkontak langsung
dengan area tubuh yang biasanya tidak steril, sehingga hal ini akan mempermudah masuknya sejumlah kecil dari organisme saja akan
menyebabkan penyakit. Hal tersebut dianalisis perlu adanya pemutusan rantai penularan risiko infeksi di RS PKU Muhammadiyah Gamping.
Memutuskan rantai penularan HAIs di rumah sakit dengan pencegahan HAIs dengan menggunakan alat pelindung diri dan kegiatan
menjaga kebersihan tangan petugas. Berdasarkan wawancara informan menyebutkan bahwa mereka sangat sadar untuk menjaga kebersihan
tangan dengan cuci tangan, namun terkadang mereka suka lupa. Menurut Ernawati, dkk 2014 menjabarkan menjaga kebersihan tangan dengan
mencuci tangan merupakan menjadi salah satu hal penting untuk dilakukan agar dapat mengurangi adanya penularan mikroorganisme dan
mencegah terjadinya infeksi. Apabila hal tersebut dilakukan dengan baik dan benar, maka dapat mencegah penularan mikroorganisme dan
menurunkan dari angka kejadian HAIs. Kebersihan tangan adalah salah satu mengatasi masalah kesehatan
dan merupakan hal penting secara keseluruhan dan tindakan yang paling
praktis serta dapat menghemat biaya untuk mengurangi kejadian infeksi berhubungan dengan penyebaran resistensi mikroba di semua sistem
perawatan dan pelayanan kesehatan. Walaupun menjadi tindakan yang sangat sederhana, kepatuhan dalam kebersihan tangan dalam petugas
pelayanan kesehatan masih rendah Kadi et al, 2012. Beberapa dari petugas kesehatan menyebutkan hambatan pelaksanaan dalam pencegahan
dan pengendalian infeksi di ruang rawat inap bersumber dari petugas kesehatannya terkadang mereka suka lupa untuk mencuci tangan
kemudian pelaksanaan 5 moment. Apabila dianalisis lebih lanjut melalui wawancara yang telah
dilakukan untuk tindakan menjaga kebersihan tangan di petugas kesehatan sudah dilakukan dengan 6 langkah cuci tangan dan 5 moment cuci tangan
namun masih ada kendala seperti lupa dan kurang sadar dengan tindakan cuci tangan. Kemudian dari analisis evaluasi kepatuhan cuci tangan pun
sebagian dari petugas kesehatan tidak mendapatkan evaluasi secara individu terkait pelaksanaan cuci tangan. Berikut adalah gambar 6 langkah
cuci tangan dan penatalaksanaa 5 moment menurut WHO 2009 :
Gambar 11. 6 langkah cuci tangan WHO, 2009
Gambar 12. 5 moment untuk cuci tangan WHO, 2009 3. Penilaian risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko yang dijabarkan dalam penelitian ini bahwa jenis HAIs yang memiliki risiko sangat tinggi adalah
IDO. Mawalla,dkk 2011 menjabarkan bahwa infeksi luka operasi ini
telah dilaporkan menjadi salah satu penyebab paling umum dari HAIs, 20- 25 dari semua HAIs di seluruh dunia. IDO bertanggungjawab terhadap
adanya peningkatan biaya, morbidilitas, dan mortalitas yang berkaitan dengan pembedahan dan tetap menjadi salah satu masalah yang besar
besar diseluruh dunia. Tingkat IDO dilaporkan berkisar dari 2,5 menjadi 41,9 . Di Amerika Serikat, sekitar 2 sampai 5 dan 16 juta pasien
yang menjalani prosedur bedah setiap tahun memiliki infeksi pasca operasi.
NHS hospitals 2012 di inggris menyebutkan faktor risiko terjadinya IDO ialah usia, jenis kelamin, durasi operasi dan kelas luka,
ASA score status fisik pre operasi dibawah 93 , dan Body Mass Index 42 secara keseluruhan. Risiko IDO bervariasi berdasarkan kemungkinan
kontaminasi mikroba pada tindakan pembedahan, tertinggi pada pembedahan usus besar sebesar 10 dan terendah pembedahan prothesis
lutut sebesar 1. NHS hospitals 2014 berdasarkan data surveilans yang dilakukan tahun 2013-2014 kejadian IDO tertinggi pada pembedahan
ortopedi. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk adanya pengklasifikasian jenis pembedahan di rumah sakit untuk pelaporan data surveilans IDO.
4. Evaluasi dan Tindak lanjut risiko Penatalaksanaan tindak lanjut dari risiko IDO yang dapat dianalisis
dari hasil penelitian tersebut dapat dijabarkan dalam uraian berikut :
a. Ketidakpatuhan cuci tangan yang masih kurang pada petugas kesehatan
Penatalaksanaan risiko yang dapat rumah sakit lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi cuci tangan kepada petugas
kesehatan sebelum dan setelah melakukan tindakan operasi ataupun perawatan luka operasi. Kemudian melaksanakan evaluasi dengan
audit kegiatan kepatuhan cuci tangan pada petugas secara rutin dan berkala. Menurut penelitian yang dilakukan Pratama, dkk 2015
bahwa solusi yang disepakati untuk meningkatkan kepatuhan cuci tangan adalah dengan meningkatkan pengetahuan melalui cara
memberi pembuktian efektifitas hand hygiene dalam mengurangi jumlah bakteri di tangan melalui pemeriksaan agar gel.
Mathur 2011 menjelaskan dalam kondisi klinis di semua akan diuraikan seperti di bawah ini, ketika tangan petugas yang tidak
terlihat kotor, dapat menggunakan berbasis alkohol untuk menggosok tangan dapat digunakan secara rutin untuk mendekotaminasi tangan.
a sebelum memiliki kontak langsung dengan pasien. b sebelum menggunakan sarung tangan steril saat intravascular pusat kateter. c
sebelum memasang kateter urin, kateter vaskuler perifer, atau lainnya tindakan invasif yang tidak memerlukan prosedur bedah. d setelah
kontak kulit dengan pasien misalnya, ketika mengambil nadi atau tekanan darah atau mengangkat pasien. e setelah kontak dengan
tubuh cairan atau ekskresi, selaput lendir, kulit yang tidak utuh atau
terkelupas, dan dressing luka jika tangan tidak terlihat kotor f setelah kontak dengan benda mati termasuk peralatan medis dan lingkungan
sekitar pasien. g setelah melepas sarung tangan. h jika berpindah dari yang terkontaminasi pada tubuh ke tubuh yang bersih selama
pelayanan pasien. Perlunya pengawasan dan monitoring terkait dari pelaksanaan kepatuhan menjaga kebersihan tangan dan 5 moment dari
pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Budaya sadar risiko infeksi harus tertanam di setiap petugas
kesehatan dan pemberi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Meningkatkan motivasi untuk menjaga kebersihan tangan sebagai
suatu budaya yang berakar di rumah sakit. Peralatan yang steril dan petugas yang bekerja secara aseptic seperti sterilitas semua instrumen
yang dipakai baik diruang operasi, diruangan rawat inap, tindakan cuci tangan, penggunaan sarung tangan, dan pemakaian masker memiliki
peran yang penting dalam mencegah dan pengendalian terjadinya infeksi nosokomial seperti Infeksi Luka Operasi.Nurkusuma, 2009.
Dalam penelitian
yang dilakukan
Nurkusama 2009
juga menyebutkan bahawa prosedur ganti balut dengan tidak mencuci
tangan sebelum mengganti balut memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian MRSA.
. Menurut Chassin, Mayer, dkk 2013 menyebutkan solusi terkait tidak ada tekanan dalam budaya keselamatan dalam menjaga
kebersihan tangan di semua tingkatan adalah dengan membuat
menjaga kebersihan tangan merupakan kebiasaan, menjamin komitmen pimpinan untuk kepatuhan menjaga kebersihan tangan
mencapai ± 90 , melayani sebagai role model dengan mempraktekkan hand hygiene yang tepat, menciptakan tanggungjawab
pada semua pemberi pelayanan kesehatan seperti dokter, perawat, staf jasa makanan, petugas kebersihan, rohaniwan, teknisi dan terapis.
Menjaga kebersihan tangan merupakan hal penting untuk memutuskan rantai infeksi
b. Belum optimalnya pelaksanaan kontrol luka operasi Pelaporan surveilans IDO yang telah dilakukan dalam
wawancara menyebutkan bahwa data dan hasilnya masih bias. Hal ini dikarenakan kurangnya pengidentifikasian kontrol luka operasi yang
belum dilaksanakan secara optimal. Pengumpulan data dalam pengkategorian, pengklasifikasian dan jenis operasi tidak dilakukan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Fatimah 2011, bahwa ada hubungan yang signifikan antara klasifikasi operasi dengan kejadian
infeksi luka operasi. Damani 2003 juga menyatakan bahwa dalam pengklasifikasian pasien operasi merupakan faktor risiko yang mutlak
mempengaruhi kejadian infeksi luka operasi. Pelaksanaan kegiatan surveilans IDO masih perlu pengawasan
dan monitoring serta sosialisasi kepada IPCLN dalam hal faktor pengetahuan
petugas kesehatan
dalam tanda-tanda
infeksi,
pengumpulan data,
kelengkapan dan
ketepatan. RS
PKU Muhammadiyah Gamping sudah menggunakan SIMRS dalam
pelaporan surveilans HAIs, namun masih perlu adanya monitoring dan pengawasan terkait pengisian dan kelengkapan dari pelaporan data
HAIs yang dikumpulkan. Menurut penelitian yang dilakukan Lowman 2016, menunjukkan bahwa kegiatan surveilans yang proaktif
memberikan kontribusi yang signifikan daripada pendekatan reaktif pencegahan infeksi dan berhasil menurunkan infeksi.
Pada penelitian Aisyah, dkk 2015 menyebutkan bahwa terdapat kekurangan dalam pengumpulan data, ketepatan dan
kelengkapan pengisian formulir. Pelaksanaan kompilasi data di Rumah Sakit X Surabaya berupa koreksi data yang dilaporkan oleh IPCLN.
Variabel yang sering kosong atau tidak diisi pada bagian: a Register kohort, yaitu variabel prosedur operasi, multiprosedur insisi yang
sama, ASA score, dan klasifikasi luka. b Pre-operasi, yaitu variabel suhu pasien, status merokok, screening MRSA, pencukuran,
penggunaan steroid, radioterapi sebelumnya, mandi sebelum operasi, dan profilaksis. c Durante operasi, yaitu variabel sirkulasi udara,
tekanan udara, suhu, air count, jamur AC, kelembaban ruang operasi, antibiotik tambahan, dan jumlah staf.
c. Dukungan manajemen yang dirasa belum optimal Kerjasama dari pihak manajemen dan keterlibatan pimpinan
dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dirasakan
perlu. Peran direktur dalam pencegahan dan kontrol infeksi seharusnya menjadi media penghubung antara manajer dan petugas kesehatan
dengan jalan adanya monitoring kinerja dan adanya dukungan Brannigan, Murray, dkk., 2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Mustariningrum, dkk 2015 menyebutkan
bahwa pengaruh
supervisi dari
atasan dapat
meningkatkan efisiensi dan dapat mengurangi tingkat kesalahan dalam bertugas. Apabila dianalisis berdasarkan hasil penelitian bahwa
peranan pimpinan dan kerjasama dalam pembahasan IDO masih dinilai kurang. Kerjasama antar tim PPI ke kamar operasi pun masih
dirasakan masih belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini yang memungkinkan untuk dapat adanya perbaikan.
Tingkat dari strategi manajemen untuk memastikan adanya kegiatan yang mengatur keefektifan kontrol infeksi yang sudah
dilaksanakan dalam pengontrolan infeksi serta yang terpenting adanya dukungan pihak manajemen dan direktur rumah sakit. Pencegahan
infeksi nosokomial menjadi tanggung jawab semua individu dan pemberi layanan kesehatan Brannigan, Murray, dkk., 2009.
5. Strategi pencegahan dan pengendalian HAIs
Gambar. 13. Strategi Penurunan HAIs Menurut Darmadi 2008, cara yang pertama dengan cara
meningkatkan daya tahan dari penjamu melalui pemberian imunisasi aktif maupun imunisasi pasif dengan cara promosi kesehatan. Cara kedua dengan
mematikan atau menginaktivasikan agen penyebab infeksi melalui metode fisik seperti pemanasan pasteurisasi atau sterilisasi dan memasak makanan
seperlunya serta melalui metode kimiawi seperti klorinasi air, desinfeksi. Cara yang ketiga dengan memutus mata rantai penularan. Tindakan ini adalah
hal yang paling mudah tetapi hasilnya tergantung dari ketaatan petugas dalam pelaksanaan prosedur yang telah ditetapkan. Dalam tindakan pencegahan ini
sudah disusun dalam “isolation precaution” kewaspadaan Isolasi yang
strategi penurunan
HAIs
memutuskan rantai penularan dengan
menjaga kebersihan tangan, penggunaan
APD, menjaga sterilitas peralatan medis
mengidentifikasi bakteri penyebab
HAIs penggunakan
antibiotik profilaksis yang
rasional monitoring ,
sosialisasi dan evaluasi berkala
pada petugasstaff kerjasama dam
dukungan manajemen
pelaksanaan pertemuan rutin
dan berkala mengoptimalkan
pelaporan surveilans HAIs
pelatihan staff terkait pencegahan dan
pengendalian infeksi
terdiri dari standar precaution “kewaspadaan standar dan “transmission-
based precaution” kewaspadaan berdasarkan cara penularan. Kemudian yang keempat adalah antisipasi tindakan pencegahan paska pajanan seperti
penularan melalui darah dan cairan tubuh lainnya akibat tertusuk jarum bekas pakai atau terpapar hal lainnya.
Menurut peraturan Kemenkes 2011 bahwa pusat dari eliminasi infeksi maupun infeksi-infeksi lain adalah dengan cuci tangan hand hygiene
yang tepat. Hal terpenting yang harus diperhatikan rumah sakit dalam sasaran V keselamatan pasien: pelaksanaan pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan yakni : a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene
terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum al.dari WHO Patient Safety.
b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. c. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Penggunaan antibiotik profilaksis dalam pembedahan dinilai sangat penting karena bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Nelwan 2010
menyebutkan dalam terapi profilaksis, antibiotik dapat pula digunakan untuk mencegah adanya infeksi baru pada seseorang atau mencegah kekambuhan
serta merupakan hal yang paling utama untuk mencegah komplikasi yang serius pada waktu tindakan pembedahan. Pengembangan resistensi bakteri
dan seputar biaya kesehatan sering kali berkaitan dengan penggunakan antibiotik profilaksis yang irasional dalam pembedahan. Keseimbangan
harus dibuat antara risiko infeksi luka operasi dan munculnya resistensi mikrooraganisme terkait penggunaan rutin antibiotik profilaksis dalam
pembedahan Shreedevi, 2015. Menurut WHO Global Strategy 2014, penggunaan antibiotik yang
tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan
meminimalkan terjadinya resistensi. Amin 2014 menyebutkan bahwa keberhasilan pengobatan antibiotik dipengaruhi beberapa aspek yaitu jenis
antibiotik, spektrum antimikroba, aspek farmakologis, aspek mikrologi kuman, aspek penderita, dan pola pemberian antimikroba. Perlu adanya
pemantauan kembali terkait penggunaan antibiotik profilaksis dalam pembedahan seperti pola penggunaan antibiotik, kesesuaian terapi antibiotik
dengan standar dan kerasionalan penggunaan antibiotik yang meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat penderita, waspada efek samping obat,
waspada interaksi obat di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Bratzler, dkk. 2013 menjabarkan penggunaan antibiotik profilaksis
pada saat pre operasi bertujuan untuk mengendalikan risiko infeksi agar mencegah terjadinya risiko pasca bedah dengan serendah mungkin.
Penatalaksanaan waktu pemberian antibiotik pre operasi adalah diberikan dalam kurun waktu 60 menit sebelum bedah sayatan ini merupakan waktu
yang lebih spesifik yang direkomendasikan dalam induksi anestesi. Namun
terdapat beberapa agen seperti vancomycin dan fluoroquinolones, ini memerlukan waktu 1-2 jam untuk itu antibiotik diberikan 120 menit sebelum
dimulai bedah sayatan. Durasi profilaksis terdapat rekomendasi baru untuk program pasca bedah dipersingkat antimikrobial melibatkan dosis tunggal
atau kelanjutan diberikan kurang dari 24 jam. Rumah sakit dapat melakukan pengidentifikasian bakteri dari infeksi
luka operasi dan jenis HAIs lainnya dengan pemeriksaan mikrobiologi sehingga dapat menggunakan hasil identifikasi bakteri tersebut sebagai dasar
untuk melakukan tindakan atau terapi terhadap bakteri penyebab HAIs. Penelitian yang dilakukan Warganegara, dkk 2012 menyebutkan bakteri
penyebab infeksi luka operasi yang terbanyak adalah bakteri Gram negatip batang yang merupakan flora normal dari usus Pseudomonas sp,.
Escherichia coli dan Klebsiella sp. selain flora normal dari kulit yaitu bakteri Gram positif kokus Staphylococcus epidermidis di RSAM yang
dilakukan dengan melakukan kultur, pewarnaan Gram dan uji biokimiawi. Para staff rumah sakit memerlukan pelatihan untuk dapat
meningkatkan pengetahuan mereka. Tujuan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan menurut Moekijat 2003 adalah: 1 untuk mengembangkan
keterampilan hal ini menjadikan pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, 2 sebagai peningkatan pengetahuan agar pekerjaan
dapat terselesaikan secara rasional, 3 untuk mengembangkan sikap, sehingga akan memunculkan kemauan kerjasama dengan sesama pegawai
dan pimpinan. Pelaksanaan pelatihan dari program PPI diharapkan dapat
menjadi penyegaran ilmu, menambah pengetahuan, meningkatkan motivasi, dan meningkatkan kinerja petugasstaff.
Mentoring dan sosialisasi, serta evaluasi yang rutin dan berkala terhadap para staff yang dilakukan efektif dan efisien diharapkan dapat
menjadikan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan upaya perbaikan. Usman 2006 menguraikan terkait keuntungan pelaksanaan
kontrol yang baik, apabila sistem pengawasan berjalan baik maka akan diperoleh bebagai keuntungan sebagai berikut:
a. Tujuan akan diwujudkan lebih cepat, murah dan mudah dicapai, menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran
b. Menimbulkan saling percaya dan menghilangkan rasa curiga dalam organisasi.
c. Menumbuhkan perasaan aman dihati setiap orang dalam organisasi sehingga mendorong kondisi jiwa yang sehat,
d. Menumpuk perasaan memiliki atas perusahaanorganisasi, e. Meningkatkan rasa tanggung jawab personil,
f. Meningkatkan iklim persaingan yang sehat sehingga mereka yang beprestasi akan lebih dihargai.
g. Meningkatkan rasa percaya diri dan meningkatkan produktivitas yang akhirnya meningkatkan laba perusahaan.
h. Top pimpinan dapat lebih mudah memfokuskan perhatian kepada masalah lain yang lebih besar untuk kepentingan jangka panjang
perusahaan karena operasi kegiatan perusahaan diasumsikan sudah dalam pngawasan yang baik.
i. Akan memperlancar operasi, komunikasi dan kegiatan perusahaan karena semua serba terbuka, jelas, lurus dan tidak ada yang disembunyikan
transparan. j. Merupakan persyaratan dalam
“good corporate governance”. Strategi penurunan HAIs sesuai kesepakatan adalah dengan diklat
pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi PPI, pengadaan fasilitas hand hygiene seperti wastafel dan hand rub, materi untuk edukasi dan media
leafleat terkait hand hygiene dalam pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi, mengoptimalkan kegiatan surveilans HAIs, pelaksanaan pertemuan
rutin dan berkala untuk membahas terkait HAIs, pelaporan, kerjasama, evaluasi, sosialisasi dan monitoring terkait HAIs serta pencegahannya,
penyegaran kembali SPO untuk jenis HAIs seperti : a. IDO dengan penyegaran SOP penatalaksanaan pre operasi, durante
operasi, post operasi. SOP surveilans IDO b. ISK dengan penyegaran SOP pemasangan, perawatan dan pelepasan
kateter urin. SOP surveilans ISK c. VAP dengan penyegaran SOP pemasangan dan perawatn ventilator.
Kemudian SOP surveilans VAP d. IADP dengan penyegaran SOP persiapan dan pemasangan intravena
sentral. Kemudian SOP surveilans IADP e. Plebitis dengan penyegaran SOP pemasangan dan perawatan infus
f. Dekubitus dengan penyegaran SOP asuhan keperawatan dekubitus. Berikut merupakan rekomendasi untuk strategi penurunan HAIs yang
dapat dilakukan rumah sakit berdasarkan periode penerapan strategi yaitu : a. Jangka panjang
Terkait pengunaan antibotik yang rasional, karena hal tersebut memerlukan pendekatan, perubahan perilaku dan pelatihan staff yang
terus menerus terkait penggunaan antibotik. Mengidentifikasi bakteri penyebab HAIs karena memungkinkan rumah sakit mempersiapkan
peralatan dan kelengkapan laboratorium untuk melakukan kultur bakteri tersebut.
b. Jangka menengah Pelaksanaan
pencegahan dan
pengendalian infeksi
dengan memonitoring, mensosiaisasikan dan mengevaluasi secara berkala
kepada para staff. Kemudian meningkatkan hubungan kerjasama dan dukungan dari pihak manajemen sehingga dapat berjalan dengan
maksimal c. Jangka pendek
Memutuskan rantai penyebaran infeksi dengan kepatuhan mencuci tangan, menggunakan APD, peralatan medis yang terjaga sterilitasnya dengan cara
meningkatkan kesadaran pada masing-masing staff, merubah perilaku dan sikap. Strategi ini dapat dilakukan dalam jangka pendek karena untuk pelaksanaan cuci
tangan merupakan tindakan yang sederhana dan meningkatkannya berasal dari
kesadaran masing-masing individu. Pelatihan para staf secara berkelanjutan untuk meningkatan pengetahuan terkait pencegahan dan pengendalian infeksi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN