A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Amandemen ke – tiga Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat 2 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
1
Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik
yang menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan tertentu. Demikian pula dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenal pada asasnya dua pembagian tersebut. Pasal 10 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, militer, tata usaha negara, dan tidak menutup kemungkinan adanya spesialisasi dalam masing – masing lingkungan peradilan.
2
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap
sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Rumusan tersebut dimaksud untuk memberikan
penegasan bahwa pengadilan pajak memang merupakan lembaga peradilan yang dapat digunakan sebagai sarana bagi rakyat selaku wajib pajak atau penanggung pajak untuk
mendapatkan keadilan di bidang perpajakan. Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan
sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang a-quo, yang antara lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan
1
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung, Jakarta, hlm. 2. 2 Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm. 21.
peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di samping badan-badan lainnya, dengan kompetensi absolut yang khusus atau spesial, yaitu untuk
memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan atau keputusan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan dapat
diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang - undangan perpajakan.
3
Dalam Undang - Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu, keberatan, banding, gugatan
dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “Keberatan” dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan kemungkinan terjadi dikarenakan
wajib pajak merasa kurangtidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotonganpemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini wajib
pajak dapat mengajukan keberatan.
4
Sedangkan upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang
diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal
keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat
3
Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta, hlm. 2.
4 http:repository.unand.ac.id225053bab201.pdf Diakses 13 Mei 2016.
tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum biasa.
5
Dalam proses pembuktian berlangsung adanya proses untuk menghubungkan antara kenyataan fakta dan pernyataan, demikian pula antara pernyataan yang satu dan
pernyataan yang lainnya sehingga terwujud penilaian tingkat kebenaran akan hubungan itu. Berdasarkan tingkat kebenaran tersebut, lalu hakim melaksanakan tugasnya dalam
pemeriksaan itu sehingga berujung pada jatuhnya putusan. Oleh karena itu memang kiranya benar apabila tahap pembuktian merupakan tahap yang teramat penting dalam
suatu Hukum Acara. Melihat proses pembuktian di bidang acara perpajakan dengan bidang acara
perdata terdapat perbedaan di dalamnya. Pada pengadilan pajak, adanya suatu sengketa terjadi apabila pihak Direktur Jenderal Pajak dalam proses penagihan pajak kepada wajib
pajak, dan pihak wajib pajak atau penanggung pajak mendiamkan saja atau dapat dikatakan menerima perlakuan dan keputusan yang diterapkan kepadanya itu maka tidak
ada perselisihan dan tidak ada persengketaan, dan sekaligus tidak perlu adanya pembuktian apakah proses penagihan tersebut telah benar sesuai dengan yang seharusnya
atau belum.
6
Sementara itu alat-alat bukti, prinsip pembuktian, sifat dan macam putusan, adanya suatu syarat formil pada putusan dan pelaksanaan putusan pada pengadilan pajak
terdapat suatu perbedaan. Pada pengadilan negeri dalam hal ini acara perdata, pihak - pihak yang bersengketa yang aktif dalam persidangan, Dalam proses pembuktian itu
hakim menggunakan kekuasaannya untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap fakta yang dapat berupa kenyataan fisik maupun pernyataan dan dalil-dalil yang dikemukakan
terutama oleh pihak yang bersengketa.
5
Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.
6 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 171.
Dengan jalan pembuktian, maka akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang salah dan siapa yang sebenarnya yang benar. Selain itu, terjaminnya perlindungan
terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara seimbang. Oleh karenanya dengan pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa pemeriksaan suatu perkara
adalah pemeriksaan yang benar menurut hukum dan dengan adanya alat-alat pembuktian itu dapat menjamin bahwa hakim dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ada
karena telah ditentukan dalam undang-undang. Mengenai putusan, terdapat perbedaan antara Hukum Acara di bidang perpajakan
dengan Hukum Acara Perdata menyangkut sifat putusan, lama pemeriksaan sampai dengan putusan, macam putusan, hingga upaya hukum. Maka dari itu penulis tertarik
menulis makalah dengan judul “Perbandingan Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara Pengadilan Pajak dengan Hukum Acara Perdata”.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pembuktian pada hukum acara di bidang perpajakan dan apa
yang membedakan dengan sistem pembuktian pada hukum acara perdata?
2. Bagaimana penerapan putusan pengadilan pada hukum acara di bidang
perpajakan dan apa yang membedakan dengan putusan pengadilan pada hukum acara perdata?
B. PEMBAHASAN