KEJAHATAN KORUPSI DAN PUTUSAN HAKIM DALA

KEJAHATAN KORUPSI DAN PUTUSAN HAKIM
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI
Oleh : Muntasir Syukri 

A. PENDAHULUAN
Kasus korupsi di Indonesia semakin marak, ibarat parasit yang sudah
membiak dan beranak pinak di semua sistim birokrasi pemerintahan. Baik pada level
eksekutif, legislatif, yudikatif dan pihak swasta.1 Survei pelaku bisnis yang dirilis
perusahaan konsultan “Political and Economic Risk Consultancy, Ltd” (PERC) yang
bermarkas di Hongkong dalam publikasinya yang mengumpulkan data pada
Desember 2012 sampai minggu pertama Maret 2013 menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik.2
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga superbodi yang
dilahirkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu pertimbangan dibentuknya KPK
adalah karena pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan
keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional





1

2

Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXIX Nomor 343 Juni
2014.
Hakim Pengadilan Agama Bangil / Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Sains Hukum dan
Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya (UNAIR) - Program Rintisan Beasiswa Balitbang
Diklat Kumdil MA RI.
Pemantauan ICW terhadap perkara korupsi selama tahun 2013 pelaku yang paling banyak
diadili oleh Pengadilan adalah pejabat atau pegawai dilingkungan Pemerintah Daerah (Kotamadya,
Kabupaten, Provinsi) yaitu sebanyak 141 terdakwa. Empat besar selanjutnya adalah Swasta (59
terdakwa), lembaga publik seperti PN/Bappeda/BPK/BPB (20 terdakwa) dan kalangan kampus
sekolah serta BUMN/BUMD masing-masing 15 terdakwa. Baca Catatan Pemantauan Perkara
Korupsi Yang Divonis Oleh Pengadilan Selama Tahun 2013, diakses dari http//www.
antikorupsi.org, tanggal 13/01/2014.
Political and Economic Risk Consultancy” (PERC) pada Desember 2012 sampai Maret 2013,
dari www.asiarisk.com, diakses pada tanggal 19 Desember 2013, jam 16.00 wib.


2

dan lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.3
Ahmad Ali pernah menyindir, permasalahan yang esensial dalam penegakan
hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak
responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. 4 Untuk
meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak
hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik.
Oleh karenanya sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan
tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka, as long as the dirty broom is
not cleaned, any talk of justice will be empty.5
Oleh karenanya Barda Nawawi Arif berpendapat, keterpurukan penegak
hukum yang ada saat ini diawali oleh terpuruknya dekadensi moral aparat penegak
hukum, konsep atau metode berpikir “Money Oriented” sedianya dapat diubah
menjadi mindset “Service Oriented without Money”.6

Sehingga dibutuhkan

reformasi hukum tidak hanya dalam hal pembaruan Undang-Undang atau substansi

hukumnya (legal substance reform), tetapi juga pembaruan struktur hukum (legal
structure reform) dan pembaruan budaya hukum (legal ethic and legal
science/education reform), bahkan dalam situasi saat ini, pembaruan aspek
immateriil dalam hukum yaitu pembaruan budaya hukum, etika/moral hukum,
aparatur penagak hukum, serta ilmu/ pendidikan hukum dapat dilakukan pembaruan
untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).7
3
4

5
6

7

Konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001, hlm.74
Ahmad Ali, ibid.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta, 2010, hlm.6

Barda Nawawi Arief, ibid.

3

Sementara itu penegakan hukum terhadap perkara korupsi pada tingkat
pengadilan mendapatkan sorotan yang sangat tajam karena begitu besarnya
ekspektasi masyarakat supaya para koruptor mendapatkan hukuman (vonis) yang
setimpal dan mengembalikan semua harta yang digarong (dikorup) kepada negara
sehingga menjadikan efek jera dengan vonis yang dijatuhkan hakim (pengadilan)
tersebut dan diharapkan dapat meminimalisir munculnya koruptor-koruptor baru.
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rilis hasil penelitiannya terhadap
vonis kasus korupsi selama tahun 2013 dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi
dan peninjauan kembali (PK) menyimpulkan bahwa tidak ada vonis bebas terhadap
perkara koprupsi, tren vonis berat meningkat namun belum ada yang membuat kapok
para koruptor.8 Menurut Lola Easter, peneliti ICW menyatakan ada harapan yang
ditawarkan pengadilan seperti dalam kasus Djoko Susilo9 dan Angelina Sondakh
yang diputus lebih berat dalam kasasi.10 Walaupun ada beberapa vonis berat namun
rerata putusan masih rendah, yaitu 2 tahun 11 bulan sehingga belum memberikan
efek jera.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang hakim yang mempunyai dedikasi dan

integritas yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the
truht and justice) dan hakim bukan lagi sekedar sebagai corong undang-undang

8

detiknews. Minggu, 12/01/2014 16:08 WIB.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat vonis polisi pemilik rekening gendut
Jenderal Djoko Susilo menjadi 18 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar, subsidair 1 tahun
kurungan, dimana sebelumnya pada putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menvonis 10
tahun penjara, dan denda Rp 500 juta, atau jika tak dibayar diganti 6 bulan kurungan . Vonis ini bisa
menjadi tren baru hukuman para koruptor, komentar wakil ketua KPK Bambang Widjojanto.
Diakses dari www.tempo.co, Kamis, 19 Desember 2013 | 08:53 WIB.
10
Dalam kasus korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Pemuda dan Olahraga
dengan terdakwa Angelina Sondakh – yang semula pada putusan di tingkat pertama Pengadilan
Tipikor dijatuhkan 4 tahun 6 bulan penjara ditambah dengan Rp. 250 juta – kemudian pada tingkat
kasasi menjadi 12 tahun penjara dengan denda Rp. 500 juta serta pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti senilai Rp.20.58 milyar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp. 27,4
milyar).
9


4

(spreekbuis van de wet).11 Sehingga putusan (vonis) yang dijatuhkan benar-benar
memenuhi

rasa

keadilan

(gerechtigkeit),

mewujudkan

kepastian

hukum

(rechtsicherheit) dan memberikan kemanfaatan (zwechtmassigkeit) bagi masyarakat.
Dalam perspektif sosio legal,12 proses penanganan perkara di pengadilan

bukanlah sebuah proses yang netral dan berada di ruang hampa, tetapi melibatkan
banyak faktor yang ikut menentukan. Secara teoritis faktor-faktor yang terlibat
tersebut ada yang mengklasifikasikan menjadi subjektif dan objektif. Faktor subjektif
meliputi, (i) sikap perilaku apriori (ii) sikap perilaku emosional (iii) sikap arrogence
power (iv) moral, sedangkan faktor objektif meliputi : (i) latar belakang budaya dan
(ii) profesionalisme.13
Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang sedang digencarkan oleh KPK
dan korupsi telah menjadi musuh bersama masyarakat, maka putusan (vonis) hakim
terhadap perkara korupsi menjadi menarik dikaji lebih lanjut dari perspektif
psikologi. Bertolak dari

paparan sebagaimana teruarai dimuka, untuk lebih

mensistemasikan tulisan ini maka penulis akan memulai pembahasan sekitar lingkup

11

12

13


Inilah yang lebih kental pada paradigma positivisme, dimana tugas hakim tinggal menerapkan
undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya, sesuai
dengan bunyi undang-undang; baca Widodo Dwi Putro, dalam tulisannya, Mengkritisi
Positivisme Hukum : Langkah Awal Memasuki DiskursusMetodologis dalam Penelitian Hukum,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 28.
Study Sosio Legal adalah pendekatan interdisipliner, yaitu konsep dan teori dari berbagai disiplin
ilmu dikombinasikan dan digabungkan untuk mengkaji fenomena hukum, Sulistyowati Irianto
dkk, Kajian Sosio Legal, Seri Unsur-Unsur Penyusun Bangunan Hukum, Ed.1, Pustaka Larasan,
Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, Jakarta, 2012, hlm.2. Studi
yang melihat hukum sebagai salah satu faktor dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan
ditentukan, dimana hukum tidak dapat eksis, oleh karena itu tidak dapat dipelajari dalam ruang
yang vakum (hampa), karena hukum terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatankekuatan di luar hukum. Kajian sosial mengenai hukum lahir pada dekade 1960-1970 an, diikuti
juga dengan kelahiran critical legal thought generasi baru, seperti studi hukum kritis (critical legal
studies-CLS), baca Rikardo Simarmata dalam tulisannya, Socio Legal Studies dan Gerakan
Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society and Development, volume I Desember 2006 –
Maret 2007.
Pontang Moerad B.N., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm. 117-118.


5

tindak kejahatan korupsi kemudian bagaimana putusan (vonis) hakim terhadapnya
dalam perspektif psikologi dan terakhir penutup berupa simpulan pembahasan.
B. TINDAK KEJAHATAN KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa latin “Corruptio – Corrumpere” yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Huntington
(1968) korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma
yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka
memenuhi kepentingan pribadi.
Ruth Shonle Cavan dalam bukunya Criminology telah mengklasifikasikan
perilaku kejahatan dalam sembilan jenis :14 (i) the casual ovender; (ii) the occasional
criminal; (iii) the episodec criminal; (iv) the white collar criminal; (v) the habitual
criminal; (vi) the proffesional criminal; (vii) the organized criminal; (viii) the
mentally abnormal criminal; (ix) the nonmalicious criminal.
Kejahatan korupsi oleh Ruth Shonle Cavan dimasukan dalam kategori
kejahatan the white collar criminal. Berbeda dengan kejahatan yang lainnya yang
sudah dikenal lebih dulu, maka kejahatan white collar criminal baru dikenal pada
abad modern, yang merupakan pengaruh dari akses dari proses ekonomi.15
Menurut Sutherland, white collar criminal adalah suatu kejahatan yang

dilakukan oleh pengusaha-pengusaha dan pejabat-pejabat dalam hubungan dan
fungsinya. Mereka adalah orang-orang terkemuka yang tak segan-segan melakukan
kejahatan karena kedudukan mereka yang kuat sehingga memungkinkan mereka
memperkaya diri dengan melakukan manipulasi dan korupsi. Sedangkan menurut
Ruth Shonle Cavan kaum white collar criminal sering menganggap dirinya melebihi
14
15

Bawengan, G.W, Pengantar Psikologi Kriminal, Prandya Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 12
Bawengan, G.W, ibid, hlm. 18

6

atau kebal terhadap hukum, dikarenakan kekuasaan dan kemampuan materiil yang
mereka miliki.16
Kejahatan korupsi menurut ilmu psikologi merupakan perilaku menyimpang
(defiant behavior), perilaku kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau
terganggu (disorder behavior), perilaku buruk (wrong behavior).17 Perilaku korupsi
adalah perilaku melawan hukum merupakan perilaku a-sosial, anti-sosial, a-normatif,
dan berkecederungan sebagai psychopat. Perilaku korupsi adalah juga perilaku

obsesif (neurosis yang menjadi tekanan psikis) kompulsif yang menuju kleptomania.
Perilaku kejahatan itu bersumber dari dalam diri maupun dari luar diri. Sumber dari
dalam diri antara lain cacat/kelainan genetik, hormonal, neurologis, fisiologis yang
bersifat organik, dan cacat/kelainan psikologis menuju gangguan kepribadian.
Sumber dari luar diri adalah cacat/kelainan sosial berupa kemiskinan, a-sosial,
lifestyle, anti sosial, yang berkaitan dengan socio-pathy, broken family dan social
disaster.18
Dalam pandangan psikologi, penyebab suatu perbuatan ialah interaksi antar
faktor yang ada di dalam diri seseorang, dan faktor yang ada di luar diri. Kedua
faktor ini berinteraksi satu sama lain dalam wadah budaya yang lebih luas.19
Faktor di dalam diri adalah hal-hal yang disebut sebagai ciri kepribadian.
Salah satu sifat kepribadian yang menyebabkan orang mudah tergoda melakukan
korupsi adalah motivasi untuk berprestasi yang rendah (low achievement
motivation). Konsep motivasi berprestasi dikembangkan oleh David McClelland
(1963). Motivasi berprestasi digambarkan oleh McClelland sebagai “virus” yang
16
17

18
19

Bawengan, G.W, ibid, hlm. 18
Hatta Albanik, Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi, dalam artikelnya di
www.sosio-polica.com, Jakarta, 2012, hlm. 3
Hatta Albanik, ibid, hlm. 4
Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Darussalam, Yogyakarta, 2004, hlm. 3

7

mendorong seseorang untuk trus meningkatkan prestasi kerjanya. Orang yang
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan
sebaik-baiknya, bukan asal jadi. Mereka meletakkan standar yang tinggi untuk
kualitas pekerjaan yang mereka hasilkan. Mereka bekerja didorong oleh keinginan
kuat untuk menghasilkan pekerjaan dengan mutu baik, bukan didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat.
Faktor di luar diri adalah kondisi-kondisi di luar yang mempermudah orang
untuk melaksanakna keinginan korupsi. Korupsi, seperti halnya tindak kejahatan
lainnya, adalah perbuatan yang dilaksanakan dengan perhitungan secara cermat dan
rasional. Demikianlah pendapat beberapa ahli yang menggunakan pendekatan
rasional-analitis. Menurut John S. Carroll, ahli yang menggunakan pendekatan
rasional-analitis, suatu tindakan kejahatan adalah realisasi dari keputusan yang telah
diambil.
Sedangkan faktor budaya ada tiga aspek yang dapat memudahkan terjadinya
tindak korupsi, yakni budaya kekeluargaan, orientasi masyarakat yang paternalistik,
dan budaya masyarakat yang kurang berani berterus terang (non asertif). Budaya
kekeluargaan mempunyai banyak aspek positif bagi kehidupan suatu bangsa, namun
dari sisi negatif budaya kekeluargaan akan menyebabkan orang sulit untuk bertindak
tegas, ketidaktegasan dalam menerapkan peraturan akan merupakan hambatan
pemberantasan korupsi. Budaya paternalistik juga akan menyulitkan pemberantasan
korupsi karena setiap ada tindakan korupsi oleh seorang pimpinan atau seorang yang
terpandang di masyarakat, maka tindakan itu akan mudah ditiru oleh orang lain yang
statusnya lebih rendah, hal demikian akan semakin parah belum tidak ada
keterbukaan terhadap kritik dari masyarakat.

Sedangkan budaya kurang berani

8

berterus terang (non asertif) akan menyebabkan orang memilih diam daripada
melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, pejabat di masa awal kemerdekaan
adalah seseorang yang menjadi pemimpin rakyat untuk memimpin perjuangan
kemerdekaan, memimpin rakyat Indonesia untuk mencapai cita-cita kesejahteraan
bangsa Indonesia, perilaku dasarnya adalah berkorban, dedikatif. Pejabat setelah
Indonesia merdeka adalah seseorang yang diserahi kekuasaan publik oleh bangsa dan
negara Indonesia untuk menyelenggarakan kekuasaan agar melaksanakan kegiatan
kenegaraan bagi kepentingan tercapainya tujuan negara. Ternyata perilaku dasar di
awal kemerdekaan berangsur-angsur berubah menjadi lebih berorientasi kepada
kekuasaan, fasilitas dan kekayaan pribadi.
Kini korupsi telah menjadi problem serius bagi bangsa ini karena yang
melakukan korupsi saat ini tidak lagi pegawai rendahan, tetapi mereka yang
kedudukan dan pendidikannya tinggi serta gaya hidupnya sangat mewah sehingga
korupsi berlangsung secara sistemik dan jumlahnya miliaran. Ibarat ulat, yang
dimakan bukan saja daun, dahan, dan buahnya, melainkan batang tubuhnya yang
lama-kelamaan akan menjalar ke akar kehidupan bernegara. Para koruptor memang
sudah berhasil menghancurkan martabat dan wibawa pemerintah serta bangkrutlah
kekayaan negara dan bangsa.
Masyarakat dan pemerintah mestinya menempatkan para koruptor sebagai
kelompok subversi musuh rakyat dan negara yang mesti ditindak tegas, jika perlu
dihukum mati karena negara dan rakyat banyak yang menjadi kurban. Daya rusak
tindakan korupsinya jauh lebih dahsyat ketimbang teroris pelaku bom bunuh diri.
Karena daya rusak korupsi berlangsung sistemik dan menghancurkan tubuh birokrasi

9

negara serta mental pejabat, rakyat mesti marah dan bangkit melawan koruptor. 20
Oleh karenanya maka putusan (vonis) terhadap para koruptor menjadi perhatian
tersendiri bagi semua lapisan masyarakat dan negara supaya hakim (pengadilan)
memberikan

hukuman

yang

seberat-beratnya

dan

para

koruptor

supaya

mengembalikan harta yang telah diambil kepada negara – sebagai upaya pemiskinan
– yang selanjutnya dapat menciptakan efek jera.
C. PUTUSAN (VONIS) HAKIM
Putusan hakim atau lazim disebut putusan pengadilan adalah pernyataan
hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.21 Sedangkan menurut Lilik
Mulyadi, putusan hakim merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena
jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah
melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam
bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara. 22

Dengan demikian dapat

difahami bahwa putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan pernyataan
hakim yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang dapat
diartikan dengan pernyataan tersebut bahwa hakim telah mengakhiri suatu proses
panjang penegakan hukum pidana dan berarti pula dengan terbitnya putusan hakim
tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi terdakwa, apakah dipidana atau
dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
20
21
22

Komarudin Hidayat, Psikologi Korupsi, dalam www.uinjkt.ac.id 13 April 2010 19:02
Bab I Pasal 1 angka 11 KUHAP
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung, 2007,
hlm. 121

10

Dengan adanya putusan pengadilan tersebut memberikan “jalan” bagi
terdakwa maupun jaksa penuntut umum, apakah menerima atau bila tidak menerima
maka dapat menggunakan upaya hukum banding, kasasi atau mengajukan peninjauan
kembali atau grasi dan sebagainya. Sedangkan bagi hakim putusan pengadilan
merupakan hasil dari proses memeriksa, menelaah serta mempertimbangkan secara
matang dari berbagai aspek baik yuridis maupun non yuridis terhadap bukti-bukti
maupun fakta persidangan yang dihadapkan kepadanya.
Dalam hal hakim menjatuhkan hukuman dengan putusannya, hakim akan
mendasarkan pada adanya 2 (dua) alat bukti yang sah dan dengan bukti-bukti
tersebut hakim menjadi yakin bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan sehingga hakim tidak ada
keragu-raguan dalam menjatuhkan pidana (hukuman) yang setimpal dengan
perbuatan terdakwa.23
Ada beberapa teori yang berkaitan tentang hukuman;24 Pertama teori absolut
atau teori pembalasan, yang menyatakan bahwa hukuman adalah suatu konsekuensi
dilakukannya suatu kejahatan, sebab melakukan kejahatan maka akibatnya harus
dihukum, sehingga bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Kedua teori
relatif atau teori tujuan, yang berpendapat bahwa hukuman adalah suatu cara untuk
mencapai tujuan tertentu. Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman sebagai
pembalasan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yang menjadi
tujuan penghukuman. Ketiga teori gabungan (verenigingstheorien), merupakan
gabungan antara teori absolut yang bercorak pembalasan dan teori relatif yang
menekankan pada tujuan hukuman itu sendiri.
Pada hakekatnya hukuman dalam telaah psikologi tidak saja selalu diperoleh
atau menunggu proses peradilan dengan dijatuhkannya putusan (vonis) hakim,
23
24

Pasal 183 KUHAP.
Bawengan, G.W, opcit, hlm. 60 dan 74

11

namun

dapat

juga

hukuman

itu

datang

dengan

melalui

“penghukuman

personaliches” melalui suatu proses psikologis, seperti munculnya proses
kecemasan, feeling of guilty, ketakutan didalam pribadi itu sendiri yang sering
disertai dengan gejala-gejala psikosomatik, psikotik dan sebagainya. 25
Menurut kajian ICW terhadap banyaknya putusan bebas dalam perkara
korupsi ketika ditangani di Pengadilan Negeri dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun
2004-2009, adalah dikarenakan : (i) terdakwa memang benar-benar tidak terbukti
bersalah; (ii) dakwaan yang disusun oleh jaksa lemah atau memang sengaja
dilemahkan; (iii) hakim mencari-cari pertimbangan yang menguntungkan terdakwa;
(iv) atau karena kombinasi antara dakwaan yang lemah dan hakim yang mencari-cari
pertimbangan yang menguntungkan terdakwa.26
Namun trend vonis bebas dalam perkara korupsi pada tahun 2013 menjadi
menurun27 dan munculnya fenomena baru / trend pemberatan vonis terhadap pelaku
korupsi. Beberapa kasus korupsi yang menarik perhatian masyarakat dijatuhkan
hukuman lebih berat ketika diajukan upaya hukum di tingkat banding maupun kasasi.
Beberapa perkara korupsi yang menarik masyarakat memang diputus dengan pidana
penjara berat, seperti korupsi simulator SIM yang menjerat Djoko Susilo dengan
pidana selama 18 tahun di tingkat banding, maupun perkara korupsi di Kemenpora
dan Kemendiknas yang menjerat Angelina Sondakh selama 12 tahun penjara di
tingkat kasasi.28
Dalam kajian sosio legal, proses penegakan hukum memang tidak berada di
ruang hampa. Ada beberapa faktor yang menentukan proses penanganan perkara di
pengadilan. Secara teoritis ada yang mengklasifikasikannya menjadi : (i) raw in-put,
25

Bawengan, G.W, opcit, hlm. 74
Baca hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang putusan-putusan pengadilan dalam
perkara korupsi sejak tahun 2005-2009. www//http: antikorupsi.org.
27
http// www: antikorupsi.org, tanggal 13/01/2014 (2011: 65 terdakwa, 2012: 51 terdakwa, 2013: 16
terdakwa)
28
Baca Catatan Pemantauan Perkara Korupsi Yang Divonis Oleh Pengadilan Selama Tahun 2013,
diakses dari www//http: antikorupsi.org, tanggal 13/01/2014
26

12

yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan latar belakang dari aktor penegak
hukum seperti suku, agama, pendidikan dan sebagainya; (ii) instrumental in-put,
yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; (iii)
environmental in-put, yakni faktor lingkungan sosial budaya yang berpengaruh
dalam kehidupan seseorang, umpamanya lingkungan keluarga, organisasi dan
sosial.29
Ada juga yang membagi menjadi faktor subjektif dan objektif. Faktor
subjektif meliputi: (i) sikap perilaku apriori, yakni adanya sikap seorang hakim yang
sejak semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah
orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana; (ii) sikap perilaku
emosional, yakni putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim.
Misalnya, hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan
perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan
seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan
seorang hakim yang sabar; (iii) sikap arrogence power, yakni sikap lain yang
mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan”. Di sini hakim
merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela apalagi
terdakwa); (iv) moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi
seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim
tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara. Adapun Faktor
objektif meliputi: (i) latar belakang budaya, yakni kebudayaan, agama, pendidikan
seorang tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar belakang
hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidaknya ikut
mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan; (ii) profesionalisme, yakni
29

Loebby Luqman, Delik-delik Politik, Ind-Hill. CO, Jakarta, 1990, hlm. 123.

13

kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya.
Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim
tersebut.30
Sedangkan jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan,
terdapat faktor-faktor yang meliputi: (i) faktor hakimnya sendiri, yang dapat berupa
jenis kelamin, ras, keperibadian otoritarian dan status perkawinan; (ii) faktor
terdakwa seperti jenis kelamin, ras, dan daya tarik; (iii) faktor saksi seperti daya
tarik, jenis kelamin dan ras; (iv) faktor penuntut umum seperti kepribadian
otoritarian dan daya tarik; (v) faktor pengacara seperti daya tarik dan ras; (vi) faktor
masyarakat, yang dapat berupa opini publik dan budaya.31
Sebagai pemegang “palu kekuasaan peradilan” hakim mempunyai peranan
yang sangat menentukan – karena di tangan seorang hakim pula akan ditentukan
“masa depan” seorang terdakwa akan mendapatkan hukuman yang berat atau ringan.
Maka disinilah integritas, moralitas, adil, profesionalisme dan pengalaman di ranah
hukum,32 menjadi acuan dan pijakan utama bagi seorang hakim ditengah pergulatan
kepentingan dan faktor-faktor non teknis yang mengitari dan mempengaruhinya.
Sehingga kehadiran seorang hakim yang ideal sebagaimana dicita-citakan menjadi
ekspektasi seluruh lapisan masyarakat dan negara dalam perang melawan korupsi.
D. PENUTUP
Kejahatan korupsi di Indonesia sudah termasuk kategori kejahatan yang luar
biasa (extra ordinary crime) karena sudah menerobos ke berbagai lini pada lembaga
dan kementerian. Yang disebabkan adanya interaksi antara faktor yang ada dalam diri
30

31

32

Pontang Moerad B.N. opcit, hlm. 117-118.
Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum dalam Perkara
Pidana, Penerbit Srikandi, Surabaya, 2005, hlm. 103.
Pasal 6.A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung

14

seseorang dan faktor dari luar diri, kemudian kedua faktor tersebut berinteraksi satu
sama lain dalam wadah budaya yang lebih luas. Oleh karenanya korupsi menurut
ilmu psikologi merupakan perilaku menyimpang (defiant behavior), perilaku
kejahatan (crime behavior), perilaku rusak atau terganggu (disorder behavior),
perilaku buruk (wrong behavior). Ruth Shonle Cavan mengkategorikannya sebagai
kejahatan the white collar criminal.
Penegakan hukum terhadap korupsi – dalam hal putusan (vonis) hakim –
tidak dapat dilepaskan dengan adanya faktor-faktor yang menentukan dalam proses
penangannya di pengadilan, baik itu raw in-put, instrumental in-put dan
environmental in-put; maupun faktor subjektif dan objektif pada diri hakim, serta
pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan.
Wallahu a’lamu bis shawab…….!!!

Bangil, 21 Maret 2014

Penulis,

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Penyebab dan Solusinya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2001.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Pranada Media Grup, Jakarta,
2010.

15

Bawengan,G.W, Pengantar Psikologi Kriminal, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Darussalam, Yogyakarta, 2004.
Indonesia Corruption Watch (ICW), Catatan Pemantauan Perkara Korupsi Yang
Divonis

Oleh

Pengadilan

Selama

Tahun

2013,

dari

www//http:

antikorupsi.org
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya,
Bandung, 2007.
Loebby Luqman, Delik-delik Politik, Ind-Hill. CO, Jakarta, 1990.
Pontang Moerad B.N., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam
Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005.
Rikardo Simarmata dalam tulisannya, Socio Legal Studies dan Gerakan
Pembaharuan Hukum, dalam Digest Law, Society and Development, volume
I Desember 2006 – Maret 2007.
Sulistyowati Irianto dkk, Kajian Sosio Legal, Seri Unsur-Unsur Penyusun
Bangunan

Hukum,

Ed.1,

Pustaka

Larasan,

Universitas

Indonesia,

Universitas Leiden, Universitas Groningen, Jakarta, 2012.
Widodo Dwi Putro, dalam Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011.
Yusti Probowati Rahayu, Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum dalam
Perkara Pidana, Penerbit Srikandi, Surabaya, 2005.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

16

Hatta Albanik, Psikologi Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi, dalam
artikelnya di www.sosio-polica.com, Jakarta, 2012.
Komarudin Hidayat, Psikologi Korupsi, dalam www.uinjkt.ac.id, Jakarta, 2010
Political and Economic Risk Consultancy” (PERC) pada Desember 2012 sampai
Maret 2013, dari www.asiarisk.com, Hongkong, 2013.
www.kompas.com, Kamis, 21 November 2013 | 16:46 WIB.
www.tempo.co, Kamis, 19 Desember 2013 | 08:53 WIB.
www.detik.com. Minggu, 12/01/2014 16:08 WIB.

17