Perbandingan Pembuktian dan Putusan dala

(1)

Perbandingan Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara

Pengadilan Pajak dengan Hukum Acara Perdata

Makalah

Untuk melengkapi persyaratan dalam menempuh mata kuliah

Acara Peradilan Khusus Bidang Keperdataan (HKU 2162)

Disusun Oleh :

Nama : Ken Luigi Bagaskara

NIM : 13 / 351885 / HK / 19707

YOGYAKARTA

2016


(2)

A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Amandemen ke – tiga Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1

Pada umumnya dikenal pembagian peradilan menjadi peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan tertentu. Demikian pula dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenal pada asasnya dua pembagian tersebut. Pasal 10 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, militer, tata usaha negara, dan tidak menutup kemungkinan adanya spesialisasi dalam masing – masing lingkungan peradilan.2

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Rumusan tersebut dimaksud untuk memberikan penegasan bahwa pengadilan pajak memang merupakan lembaga peradilan yang dapat digunakan sebagai sarana bagi rakyat selaku wajib pajak atau penanggung pajak untuk mendapatkan keadilan di bidang perpajakan.

Pengadilan Pajak awalnya dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana tercantum dalam konsideran faktual undang – undang a-quo, yang antara lain menyebutkan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan 1 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung, Jakarta, hlm. 2.


(3)

peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung oleh karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman di samping badan-badan lainnya, dengan kompetensi absolut yang khusus atau spesial, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan atau keputusan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Di samping terhadap pelaksanaan penagihan pajak, gugatan dapat diajukan terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang - undangan perpajakan.3

Dalam Undang - Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dikenal empat upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa yaitu, keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Yang dimaksud dengan “Keberatan” dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan kemungkinan terjadi dikarenakan wajib pajak merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan.4

Sedangkan upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesaian sengketa pajak di tingkat Lembaga Keberatan. Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk melawan kebijakan fiskus yang terkait dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat

3 Widayatno Sastrohardjono dan TB. Eddy Mangkuprawira, 2002, dalam Makalah Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta, hlm. 2.


(4)

tagihan pajak dan penagihan secara paksa. Gugatan dan banding keduanya merupakan upaya hukum biasa.5

Dalam proses pembuktian berlangsung adanya proses untuk menghubungkan antara kenyataan (fakta) dan pernyataan, demikian pula antara pernyataan yang satu dan pernyataan yang lainnya sehingga terwujud penilaian tingkat kebenaran akan hubungan itu. Berdasarkan tingkat kebenaran tersebut, lalu hakim melaksanakan tugasnya dalam pemeriksaan itu sehingga berujung pada jatuhnya putusan. Oleh karena itu memang kiranya benar apabila tahap pembuktian merupakan tahap yang teramat penting dalam suatu Hukum Acara.

Melihat proses pembuktian di bidang acara perpajakan dengan bidang acara perdata terdapat perbedaan di dalamnya. Pada pengadilan pajak, adanya suatu sengketa terjadi apabila pihak Direktur Jenderal Pajak dalam proses penagihan pajak kepada wajib pajak, dan pihak wajib pajak atau penanggung pajak mendiamkan saja atau dapat dikatakan menerima perlakuan dan keputusan yang diterapkan kepadanya itu maka tidak ada perselisihan dan tidak ada persengketaan, dan sekaligus tidak perlu adanya pembuktian apakah proses penagihan tersebut telah benar sesuai dengan yang seharusnya atau belum.6

Sementara itu alat-alat bukti, prinsip pembuktian, sifat dan macam putusan, adanya suatu syarat formil pada putusan dan pelaksanaan putusan pada pengadilan pajak terdapat suatu perbedaan. Pada pengadilan negeri dalam hal ini acara perdata, pihak -pihak yang bersengketa yang aktif dalam persidangan, Dalam proses pembuktian itu hakim menggunakan kekuasaannya untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap fakta yang dapat berupa kenyataan fisik maupun pernyataan dan dalil-dalil yang dikemukakan terutama oleh pihak yang bersengketa.

5 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 183.

6 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 171.


(5)

Dengan jalan pembuktian, maka akan dapat diketahui siapa sebenarnya yang salah dan siapa yang sebenarnya yang benar. Selain itu, terjaminnya perlindungan terhadap hak-hak asasi para pihak yang berperkara secara seimbang. Oleh karenanya dengan pembuktian dapat memberikan gambaran bahwa pemeriksaan suatu perkara adalah pemeriksaan yang benar menurut hukum dan dengan adanya alat-alat pembuktian itu dapat menjamin bahwa hakim dalam melakukan pembuktian tidak mengada-ada karena telah ditentukan dalam undang-undang.

Mengenai putusan, terdapat perbedaan antara Hukum Acara di bidang perpajakan dengan Hukum Acara Perdata menyangkut sifat putusan, lama pemeriksaan sampai dengan putusan, macam putusan, hingga upaya hukum. Maka dari itu penulis tertarik menulis makalah dengan judul “Perbandingan Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara Pengadilan Pajak dengan Hukum Acara Perdata”.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis menetapkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem pembuktian pada hukum acara di bidang perpajakan dan apa yang membedakan dengan sistem pembuktian pada hukum acara perdata?

2. Bagaimana penerapan putusan pengadilan pada hukum acara di bidang perpajakan dan apa yang membedakan dengan putusan pengadilan pada hukum acara perdata?


(6)

B.

PEMBAHASAN

1. Pembuktian dapat didefinisikan dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian) yaitu menentukan eksistensi fakta – fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti, disamping penerapan hukum serta kadang kala menemukan hukum. Sedangkan membuktikan atau memberikan pembuktian adalah penggunaan alat – alat pembuktian tertentu untuk memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang eksistensi fakta – fakta hukum yang disengketakan.7

Prinsip pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak adalah sistem pembuktian bebas. Prinsip pembuktian bebas tentu bukan berarti para pihak bebas begitu saja melakukan atau tidak melakukan pembuktian. Tidak menghendaki adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. Dalam hal ini, prinsip pembuktian bebas adalah yakni hakim mempunyai kebebasan dalam:

a. menentukan apa yang harus dibuktikan atau yang sering disebut juga sebagai luas pembuktian;

b. menentukan beban pembuktian atau dalam hal ini menentukan siapa yang seharusnya melakukan pembuktian;

c. beserta penilaian pembuktian.

Pembuktian hanya diperlukan bila ada sengketa, dan apabila terdapat persengketaan maka dengan sendirinya ada dua pendirian atau lebih. Dalam hal sengketa pajak, adanya banding itu menunjukkan bahwa ada persengketaan antara pemohon banding dan pihak terbanding, demikian halnya dalam gugatan, di situ tentu saja penggugat yang mengajukan gugatan bersengketa dan tidak sependapat dengan tindakan atau keputusan dari tergugat. Pendapat atau pendirian yang mana yang benar, tentu sajahal ini perlu diuji. Pengujian dilakukan dalam tahap pembuktian.

7 Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 185.


(7)

Untuk pembuktian diperlukan sarana untuk membantu menemukan kebenaran dan menilai kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan alat bukti. Mengenai alat bukti tersebut Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengaturnya dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 76 adalah sebagai berikut:

Pasal 69

(1) Alat bukti dapat berupa: a. surat atau tulisan;

b. keterangan ahli; c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau e. pengetahuan Hakim

(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Dari ketentuan beberapa Pasal 69 telah menentukan secara limitatif alat – alat bukti yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian dalam persidangan. Oleh karena itu, tentu alat – alat bukti tersebut yang dapat digunakan dan diajukan oleh para pihak untuk membuktikan dalil – dalil dan pendiriannya. Keadaan yang diketahui oleh umum, misalnya: derajat akte autentik lebih tinggi tingkatnya dari pada akta di bawah tangan, Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, atau Paspor merupakan salah satu identitas diri.8

Pasal 70

Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :

a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurutperaturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud

8 http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20210-bukti-audit-kompeten-dalam-pemeriksaan-pajak-dan-pembuktian-dalam-sengketa-pajak Diakses pada 13 Mei 2016.


(8)

untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

b. akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

c. surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang; d. surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan Banding atau Gugatan.

Dari ketentuan Pasal 70 terlihat bahwa yang termasuk dalam pengertian surat atau tulisan dalam rangka sebagai alat bukti di Pengadilan Pajak adalah meliputi empat hal di atas antara lain sebagai berikut:

a. yang termasuk sebagai akta autentik misalnya adalah akta notaris. Akta notaris dapat digunakan untuk akta pendirian perusahaan, akta pembubaran perusahaan, dan sebagainya. Sedangkan

b. yang termasuk akta di bawah tangan adalah surat perjanjian yang dilakukan oleh para pihak dalam hukum perdata yang dibuat tidak dalam bentuk akta autentik, misalnya adalah perjanjian utang piutang, pinjam pakai, sewa – menyewa, yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi. c. yang termasuk surat keputusan adalah surat yang dibuat dalam hubungan hukum publik dan dibuat oleh pejabat yang berwenang. contohnya adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan atas Permohonan Penundaan Pembayaran yang Diajukan oleh Wajib Pajak, Surat Tagihan, dan sebagainya.

d. yang termasuk bukti surat atau tulisan yang ada kaitannya dengan banding atau gugatan yang dikemudian hari dapat di bawa ke muka persidangan adalah surat – menyurat biasa, catatan – catatan, pembukuan, surat kerumahtanggaan, daftar harga, dan sebagainya.9

Pasal 71


(9)

(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentanghal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

(2) Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Pasal 72

(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Dari ketentuan Pasal 71 dan Pasal 72 dapat ditarik kesimpulan bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. Penunjukan ahli dapat dilakukan atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa orang ahli. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya. Yang bersangkutan tentunya harus memberikan keterangan di depan persidangan.

Pasal 73

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.

Dari ketentuan Pasal 73, yang menyatakan bahwa keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. Pengajuan saksi dilakukan baik oleh pihak-pihak yang bersengketa maupun atas permintaan hakim. Jadi, kedudukan saksi ahli dan saksi sama –


(10)

sama sebagai pemberi kesaksian/keterangan yang nantinya akan dijadikan sebuah alat bukti dalam pemeriksaan di muka persidangan.

Pasal 74

Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Dari ketentuan Pasal 74, Pengakuan para pihak adalah salah satu alat bukti dalam sidang Banding. Majelis Hakim atau hakim tunggal dapat meminta pengakuan dari para pihak dalam proses persidangan. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Sebagai alat bukti di persidangan, pengakuan para pihak menjadi dasar dalam membuat putusan banding.

Pasal 75

Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Dari ketentuan Pasal 75, Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan dinyakini kebenarannya. Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Persyaratan ini adalah persyaratan yang bersifat kumulatif yang harus dipenuhi seluruhnya, yaitu bahwa pengetahuan hakim harus didasarkan pada pembuktian di persidangan serta harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 76

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).

Dari ketentuan Pasal 76, Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan


(11)

paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Ketentuan ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan. Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.

Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan. Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau tergugat harus diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk diberikan jawaban.

Dalam Hukum Acara Perdata ada perbedaan dengan Hukum Acara Pengadilan Pajak, diantaranya pada Alat bukti, yang meliputi:

1. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Persangkaan seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang dimuat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, Pasal 1866 BW. Persangkaan menurut Undang- Undang, dan Persangkaan berdasarkan kenyataan yang ada kalanya alat bukti persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri atau sebagai dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian.10

2. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Sumpah seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang diatur pada Pasal 155 – 158, 177 HIR, Pasal 182 – 185, 314 Rbg, dan Pasal 1929 – 1945 BW. Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada 2 yaitu sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak dan Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah promissoir. Selain itu sumpah sebagai alat bukti ada tiga jenis : Sumpah decisoir (sumpah pemutus), Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).11

10 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm 179.

11 Achmad Ali, dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta, hlm. 96.


(12)

3. Ketentuan alat bukti tersebut bersifat limitatif, maka dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak ada pemeriksaan setempat (descente) yang Hukum Acara Perdata mengatur pemeriksaan setempat mengaturnya di dalam Pasal 153 HIR. Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa – peristiwa yang menjadi sengketa yang bertujuan agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.12

Jadi dalam hal ini, pembuktian diserahkan kepada kearifan hakim untuk menentukan pihak mana yang harus membuktikan. Pembanding atau terbanding, Penggugat atau tergugat. Sebisa mungkin bukti – bukti tertulis tersedia yang memang diharapkan dapat memudahkan pembuktian. Ketentuan pemeriksaan yang tidak terlalu menekankan kehadiran para pihak melainkan lebih menunjukan bahwa pemeriksaan terutama dilakukan terhadap berkas – berkas. Demikian pula ada yang harus dibuktikan dan juga mengenai penilaian terhadap apa yang telah dibuktikan tersebut. Hal ini lah yang menjadi karakteristik dari Hukum Acara Pengadilan Pajak yang tentunya beda dengan karakteristik Hukum Acara Perdata.13

2. Apabila tahapan – tahapan pembuktian dalam proses pemeriksaan yang dilakukan dalam persidangan dirasa cukup, yang kemudian dilakukan adalah pelaksanaan rapat permusyawaratan untuk menyusun putusan. Putusan Pengadilan Pajak memiliki perbedaan dan kekhususan yang terletak pada putusannya yang merupakan putusan akhir sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pasal 77

(1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

12 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm 197.

13 Muhammad Sukri Subki, dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hlm. 58.


(13)

(2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2).

(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) tersebut, dapat menimbulkan konsekuensi putusan tersebut tidak mungkin diajukan upaya hukum lagi kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi melalui upaya hukum biasa, selain itu putusan tersebut tidak memerlukan persetujuan atau pengesahan dari lembaga lain, dan putusan tersebut dapat segera dilaksanakan.14

Dari ketentuan Pasal 77 ayat (2) tersebut, Pengadilan Pajak juga dapat mengeluarkan putusan sela berkaitan dengan pemohon penggugat untuk melakukan penundaan terhadap tindak lanjut pelaksanaan penagihan pajak (skorsing terhadap tindakan penagihan).

Dari ketentuan Pasal 77 ayat (3) tersebut, pihak – pihak yang bersengketa dapat melakukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung setelah tentunya melaui mekanisme pengajuan keberatan (upaya administratif) ke Direktorat Jenderal Pajak dan banding ke Pengadilan Pajak.

Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim. Undang - Undang Pengadilan Pajak juga mengatur macam-macam putusan Pengadilan Pajak. sebagaimana diatur dalam Pasal 80.

Pasal 80

(1) Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: a. menolak;

b. mengabulkan sebagian atau seluruhnya; c. menambah Pajak yang harus dibayar;


(14)

d. tidak dapat diterima;

e. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/ atau f. membatalkan.

(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi

Dari ketentuan Pasal 80 tersebut, sama hal-nya dengan macam – macam putusan pada Pengadilan Negeri atau Pengadilan lainnya. ada beberapa yang membedakan, seperti harusnya membayar tambahan suatu pajak untuk wajib pajak yang dibebankan putusan Pengadilan Pajak, selain itu adanya suatu keharusan membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung untuk penagih pajak.

Sedangkan dalam Putusan akhir pada Hukum Acara Perdata, di antaranya adalah:15

a. Putusan akhir yang bersifat menghukum (condemnatoir). Putusan ini adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi, meliputi: memberi, berbuat, dan atau tidak berbuat. Di dalam putusan, diakuinya hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang.

b. Putusan akhir yang bersifat menciptakan (constitutive). Putusan ini adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan keadaan hukum. misalnya putusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberi pengampuan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian, dan sebagainya.

c. Putusan akhir yang bersifat menerangkan (declaratoir). Putusan ini adalah putusan yang isinya menerangkan atau menyatakan apa yang sah.

Kekhususan suatu putusan Pengadilan Pajak tercantum dalam Pasal 81 dan Pasal 82 yaitu lamanya pemeriksaan sampai dengan putusan. Kapan suatu putusan itu dibuat untuk kemudian dijatuhkan, telah memberikan beberapa batasan berdasarkan Undang – Undang yang berlaku khusus.


(15)

Pasal 81

(1) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.

(2) Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan diterima.

(3) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

(4) Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.

(5) Dalam hal Gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan Pajak, tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pengadilan Pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan acara cepat dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 6 (enam) bulan dimaksud dilampaui.

Dari ketentuan Pasal 81 tersebut, terdapat perbedaan jangka waktu pengambilan putusan untuk sengketa pajak yang disebabkan karena banding maupun karena gugatan. Untuk penyelesaian sengketa pajak karena banding jangka waktu pengambilan putusannya relatif lebih panjang. Terdapat kekhususan mengenai keadaan dimana dimungkinkannya perpanjangan jangka waktu pemeriksaan hingga sampai dijatuhkannya suatu putusan. Hal – hal khusus itu karena pembuktian sangat rumit, pemanggilan saksi memerlukan waktu yang cukup lama sehingga menyulitkan berlangsungnya pemeriksaan seperti biasa.16

Selain dari kekhususan pada acara pemeriksaan biasa yang disebabkan karena banding dan gugatan, Undang – Undang Pengadilan Pajak mengatur juga tentang pemeriksaan sengketa dengan acara cepat.

Pasal 82


(16)

(1) Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut :

a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui; b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.

(2) Putusan/penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c berupa membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.

(3) Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d, berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Surat Banding atau Surat Gugatan diterima.

(4) Dalam hal putusan Pengadilan Pajak diambil terhadap Sengketa Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pemohon Banding atau penggugat dapat mengajukan Gugatan kepada peradilan yang berwenang.

Dari ketentuan Pasal 82 tersebut, terhadap suatu sengketa yang diperiksa dengan menggunakan acara cepat jauh lebih cepat diperoleh. Hal tersebut tentu diharapkan juga tidak mengurangi akurasi putusan itu sendiri.

Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan. maka dari itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Kekhususan Hukum Acara di bidang Perpajakan dalam upaya hukum adalah upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. pada dasanya suatu permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat


(17)

dicabut sebelum diputus, dan apabila permohonan tersebut sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Pasal 89

(1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. (2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

Pasal 90

Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

Pasal 91

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;


(18)

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata mengatur 6 upaya hukum antara lain adalah:17

1. Perlawanan (verzet), merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan, tersedia upaya hukum banding.

2. Banding, apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak – haknya terserang oleh putusan itu atau menganggap suatu putusan itu kurang benar atau kurang adil maka akan dilakukan pemeriksaan kepada Pengadilan Tinggi. Setelah dijatuhkan putusan, dalam 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.

3. Prorogasi, mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu dalam hakim tingkat peradilan yang lebih tinggi.

4. Kasasi, terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan, permohonan kasasi tidak dapat diterima.


(19)

5. Peninjauan Kembali, diatur dalam Pasal 66 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sama hal-nya dengan Pengadilan Pajak, suatu permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

6. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet), apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tersebut.

Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang berwenang. Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan.

Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan demikian pejabat yang berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai kewajiban untuk mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak mematuhinya, pejabat tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku (aparatur pemerintahan).

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata hanya putusan condemnatoir yang dapat dilaksanakan. Para pihak secara sukarela melaksanakan putusan tersebut. Pihak yang dimenangkan dalam putusan, dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa.


(20)

C.

PENUTUP

KESIMPULAN

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak tidak dapat menerima keputusan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak. Dengan demikian ketentuan mengenai banding mengatur tatacara dalam hal terdapat sengketa mengenai materi atau dasar pengenaan pajak antara Wajib Pajak dan fiskus yang telah melalui proses keberatan.

Gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Prinsip pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak adalah sistem pembuktian bebas. Prinsip pembuktian bebas tentu bukan berarti para pihak bebas begitu saja melakukan atau tidak melakukan pembuktian. Tidak menghendaki adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.

Alat bukti dapat berupa: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau e. pengetahuan Hakim


(21)

Kekhususan Hukum Acara Pengadilan Pajak denganHukum Acara Perdata ada perbedaan yang meliputi pembuktian sampai upaya hukum, antara lain sebagai berikut:

1. Kekhususan suatu putusan Pengadilan Pajak tercantum dalam Pasal 81 dan Pasal 82 yaitu lamanya pemeriksaan sampai dengan putusan. Mengenai Acara Pemeriksaan Biasa dan Acara Pemeriksaan Cepat. Kapan suatu putusan itu dibuat untuk kemudian dijatuhkan, telah memberikan beberapa batasan berdasarkan Undang – Undang yang berlaku khusus.

2. Kekhususan Hukum Acara di bidang Perpajakan dalam upaya hukum adalah upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. pada dasanya suatu permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan apabila permohonan tersebut sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

3. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Persangkaan seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang dimuat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, Pasal 1866 BW. Persangkaan menurut Undang- Undang, dan Persangkaan berdasarkan kenyataan yang ada kalanya alat bukti persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri atau sebagai dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian.

4. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Sumpah seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang diatur pada Pasal 155 – 158, 177 HIR, Pasal 182 – 185, 314 Rbg, dan Pasal 1929 – 1945 BW. Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada 2 yaitu sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak dan Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah promissoir. Selain itu sumpah sebagai alat bukti ada tiga jenis : Sumpah decisoir (sumpah pemutus), Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).


(22)

5. Ketentuan alat bukti tersebut bersifat limitatif, maka dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak ada pemeriksaan setempat (descente) yang Hukum Acara Perdata mengatur pemeriksaan setempat mengaturnya di dalam Pasal 153 HIR. Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa – peristiwa yang menjadi sengketa yang bertujuan agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.

6. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang berwenang. Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan. Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan demikian pejabat yang berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai kewajiban untuk mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak mematuhinya, pejabat tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189)


(23)

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung, Jakarta

Ali, Achmad, dan Heryani, Wiwie, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta

Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Muhammad Sukri Subki, dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sastrohardjono, Widayatno, Mangkuprawira, TB Eddy, 2002, dalam Makalah Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta

Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20210-bukti-audit-kompeten-dalam-pemeriksaan-pajak-dan-pembuktian-dalam-sengketa-pajak Diakses pada 13 Mei 2016.


(1)

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata mengatur 6 upaya hukum antara lain adalah:17 1. Perlawanan (verzet), merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat. Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan, tersedia upaya hukum banding.

2. Banding, apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak – haknya terserang oleh putusan itu atau menganggap suatu putusan itu kurang benar atau kurang adil maka akan dilakukan pemeriksaan kepada Pengadilan Tinggi. Setelah dijatuhkan putusan, dalam 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari berikutnya hari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan atau diberitahukannya putusan kepada pihak yang bersangkutan.

3. Prorogasi, mengajukan suatu sengketa berdasarkan suatu persetujuan kedua belah pihak kepada hakim yang sesungguhnya tidak wenang memeriksa sengketa tersebut, yaitu dalam hakim tingkat peradilan yang lebih tinggi.

4. Kasasi, terhadap putusan-putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan-pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan, permohonan kasasi tidak dapat diterima.


(2)

5. Peninjauan Kembali, diatur dalam Pasal 66 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sama hal-nya dengan Pengadilan Pajak, suatu permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

6. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet), apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tersebut.

Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang berwenang. Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan.

Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan demikian pejabat yang berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai kewajiban untuk mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak mematuhinya, pejabat tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku (aparatur pemerintahan).

Sedangkan pada Hukum Acara Perdata hanya putusan condemnatoir yang dapat dilaksanakan. Para pihak secara sukarela melaksanakan putusan tersebut. Pihak yang dimenangkan dalam putusan, dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) kepada pengadilan yang akan melaksanakannya secara paksa.


(3)

C.

PENUTUP

KESIMPULAN

Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak yang dapat ditemukan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak tidak dapat menerima keputusan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak. Dengan demikian ketentuan mengenai banding mengatur tatacara dalam hal terdapat sengketa mengenai materi atau dasar pengenaan pajak antara Wajib Pajak dan fiskus yang telah melalui proses keberatan.

Gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Prinsip pembuktian yang dianut dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak adalah sistem pembuktian bebas. Prinsip pembuktian bebas tentu bukan berarti para pihak bebas begitu saja melakukan atau tidak melakukan pembuktian. Tidak menghendaki adanya ketentuan – ketentuan yang mengikat hakim, sehingga pernilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti.

Alat bukti dapat berupa: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan para saksi;

d. pengakuan para pihak; dan/atau e. pengetahuan Hakim


(4)

Kekhususan Hukum Acara Pengadilan Pajak denganHukum Acara Perdata ada perbedaan yang meliputi pembuktian sampai upaya hukum, antara lain sebagai berikut:

1. Kekhususan suatu putusan Pengadilan Pajak tercantum dalam Pasal 81 dan Pasal 82 yaitu lamanya pemeriksaan sampai dengan putusan. Mengenai Acara Pemeriksaan Biasa dan Acara Pemeriksaan Cepat. Kapan suatu putusan itu dibuat untuk kemudian dijatuhkan, telah memberikan beberapa batasan berdasarkan Undang – Undang yang berlaku khusus.

2. Kekhususan Hukum Acara di bidang Perpajakan dalam upaya hukum adalah upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali. pada dasanya suatu permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Untuk pengajuan upaya hukum peninjauan kembali, permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan apabila permohonan tersebut sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

3. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Persangkaan seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang dimuat pada Pasal 164 HIR, Pasal 284 Rbg, Pasal 1866 BW. Persangkaan menurut Undang- Undang, dan Persangkaan berdasarkan kenyataan yang ada kalanya alat bukti persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri atau sebagai dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian.

4. Dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak adanya alat bukti Sumpah seperti yang ada pada Hukum Acara Perdata yang diatur pada Pasal 155 – 158, 177 HIR, Pasal 182 – 185, 314 Rbg, dan Pasal 1929 – 1945 BW. Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada 2 yaitu sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah assertoir,

yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak dan Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah promissoir. Selain itu sumpah sebagai alat bukti ada tiga jenis : Sumpah decisoir (sumpah pemutus), Sumpah supletoir (sumpah pelengkap), Sumpah


(5)

5. Ketentuan alat bukti tersebut bersifat limitatif, maka dalam Hukum Acara Peradilan Pajak tidak ada pemeriksaan setempat (descente) yang Hukum Acara Perdata mengatur pemeriksaan setempat mengaturnya di dalam Pasal 153 HIR. Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa – peristiwa yang menjadi sengketa yang bertujuan agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat pada hakekatnya adalah sebagai alat bukti.

6. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain, artinya, putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (eksekutorial), tanpa ada putusan lain dari lembaga atau jabatan lain yang berwenang. Para pihak harus mendapatkan salinan putusan pengadilan yang dikirim oleh sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan. Kemudian Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diterima jika gugatan atau banding dikabulkan. Dengan demikian pejabat yang berwenang sebagai pihak tergugat atau terbanding mempunyai kewajiban untuk mematuhinya dengan melaksanakan putusan itu. Jika tidak mematuhinya, pejabat tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189)


(6)

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung, Jakarta

Ali, Achmad, dan Heryani, Wiwie, 2013, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, PT. Kharisma Putra Utama, Jakarta

Indroharto, 1999, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Muhammad Sukri Subki, dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta,

Mertokusumo, Sudikno, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta Pudyatmoko, Y. Sri, 2009, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Sastrohardjono, Widayatno, Mangkuprawira, TB Eddy, 2002, dalam Makalah Prosedur Beracara Dalam Pengajuan Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak, Jakarta

Saidi, Muhammad Djafar, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/20210-bukti-audit-kompeten-dalam-pemeriksaan-pajak-dan-pembuktian-dalam-sengketa-pajak Diakses pada 13 Mei 2016.