Master Plan 1991 1 Perkembangan luasan tata guna lahan

Tabel 19. Data Realisasi Pengalokasian Lahan di P.Batam hingga 1998 Berdasarkan Ijin Prinsip Pengalokasian Lahan [PL] P.Batam 1995 1996 1997 1998 Rata-rata Peningkatan No Kegiatan guna lahan [Ha] [Ha] [Ha] [Ha] 1 Jasa perkotaan 567,04 595,30 783,90 741,06 4,98 31,68 -5,46 10,40 2 Perumahan 2.318,62 2.495,75 2.991,58 3.006,70 7,64 19,87 0,51 9,34 3 Kumulatif Industri 2.285,34 2.594,92 3.196,02 3.268,87 13,55 23,16 2,28 13,00 4 Fasilitas Umum 3.403,64 3.810,51 3.845,36 3.847,43 11,95 0,91 0,05 4,31 6 Pertanian+Perkebunan 558,82 563,65 588,52 588,82 0,86 4,41 0,05 1,78 7 Pariwisata 1.379,60 1.379,60 1.404,51 1.404,51 - 1,81 - 0,60 8 Lapangan golf [terma suk lingkungan hijau, open space,kawasan olah raga selain golf} 1.605,75 1.605,75 1.605,75 1.688,76 - - 5,17 1,72 Total 12.118.81 13.045.48 14.449.65 14.545.85 Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang Tabel 20. Perbandingan Alokasi Lahan berdasarkan Master Plan tahun 1991 dan Pengalokasian tahun 1998. Master Plan 1991 Pengalokasian 1998 No Zona Luas ha Luas ha 1 Pembangunan 16.686,43 40,11 14.545,85 37,36 2 Total Pulau Batam 41.600,00 - 41.600,00 - Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang 2 Angka pertumbuhan pengalokasian lahan masing-masing sektor Peningkatan alokasi lahan selama periode 1995 hingga tahun 1997 sangat tinggi. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan investasi di Pulau Batam baik melalui PMA maupun PMDN ataupun kegiatan investasi yang bersumber dari non-Fasilitas PMAPMDN terus meningkat selama periode 1995 hingga 1997. Namun demikian, pada tahun 1998 kegiatan investasi sangat menurun yang antara lain diakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Indikasi ini terlihat jelas pada penurunan yang sangat tajam pada jumlah lahan yang dialokasikan. Pada tahun 1997 alokasi lahan mencapai 1.404,17 ha, sedangkan pada tahun 1998 hanya mencapai 96,20 ha atau hanya 6.84 apabila dibandingkan terhadap alokasi tahun 1997. Berbeda dengan rencana pengalokasian lahan berdasarkan master plan 1991 yang relatif tinggi, rencana pengalokasian lahan tahun 1998 relatif stagnan meskipun untuk beberapa sektor masih cukup tinggi seperti sektor fasilitas umum, perumahan dan industri yang masih mencapai angka di atas 4. Sedangkan untuk sektor jasa perkotaan, pertanian dan pariwisata angka pertumbuhannya di bawah 1, terkecuali untuk sektor lapangan golf yang pertumbuhannya cukup signifikan, mencapai 1,1. Adapun angka pertumbuhan rata-rata pengalokasian lahan adalah sebesar 2,3. Jika dilihat persektor, angka pertumbuhan tertinggi untuk sektor jasa perkotaan dicapai pada tahun 1996, dengan angka pertumbuhan mencapai 3,45. Namun sektor ini mengalami guncangan ketika badai krisis yang terjadi pada tahun 1998, dan menunjukkan angka pertumbuhan yang negatif pada tahun tersebut, yakni -3,49. Tabel 21. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan 1991 Tahun Perkembangan ha dan Tingkat Pertumbuhan No. Kegiatan guna lahan Sektor 1995 1996 1997 1998 Rata-rata Pertumbuhan 567,04 595,30 783,90 741,07 1 Jasa Perkotaan - 3,45 1,54 -3,49 0,5 2.318,62 2.495,75 2.991,58 3.006,70 2 Perumahan - 3,91 10,94 0,33 5,06 2.285,34 2.594,92 3.196,02 2.368,87 3 Kumulatif Industri - 10,19 1,98 2,40 4,85 3.403,64 3.810,51 3.845,36 3.847,43 4 Fasilitas Umum - 22,56 1,90 0,11 8,19 558,82 563,65 588,52 588,82 5 Pertanian - 0,34 1,76 0,02 0,70 1.379,60 1.379,60 1.400,51 1.404,51 6 Pariwisata - 0,00 1,26 0,24 0,50 1.605,75 1.605,75 1.605,75 1.688,76 7 Lapangan Golf - 0 0 3,30 1,1 12.118,81 13.045,48 14.449,65 14.545,85 8 Total - 5,55 0,78 0,57 2,3 Sumber: Master Plan 1998 Sektor perumahan mencapai angka pertumbuhan yang sangat baik pada kurun tahun 1997 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 10,94. Sedangkan sektor industri mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi pada tahun 1996 dengan angka mencapai 10,19. Angka pertumbuhan pengalokasian lahan yang sangat fantastis terjadi pada tahun yang sama untuk sektor fasilitas umum, dimana tingkat pertumbuhannya mencapai 22,56. Untuk sektor petanian tidak terdapat penambahan alokasi lahan untuk land use pertanian, yang mengindikasikan kurangnya minat investasi pada bidang pertanian pada periode 1995 hingga tahun 1998. Tabel 21 memperlihatkan angka pertumbuhan pengalokasian lahan di P. Batam hingga tahun 1998. 3 Analisis Implementasi Pembangunan di Lapangan Pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan lamban, dari data IMB dan sebagian pengecekan dilapangan pembangunan fisik hanya mencapai 21,8 dari lahan yang telah dialokasikan untuk berbagai jenis pengalokasian lahan. Khusus untuk fasilitas umum dan perdagangan, realisasinya hanya 0,46 dan merupakan realisasi yang paling terendah dibandingkan realisasi lainnya seperti peruntukkan jasa perkotaan 3,65, perumahan 3,91 serta industri 4,80. Apabila ditnjau dari ruang Lingkup P. Batam maka, untuk tahun 1998 lahan yang dibangun hanya seluas 319,97 ha atau 2,20 dari total lahan yang telah dialokasikan Tabel 22 Namun bila ditambahkan dari hasil beberapa pengecekan dilapangan khususnya untuk peruntukan pariwisata dan lapangan golf total wilayah yang sudah mengembang menjadi 2331.59 ha. Tabel 22. Realisasi Pengalokasian Lahan di P. Batam dan Pelaksanaan Pembangunan Berdasarkan IMB Tahun 1998. Realisasi Pembangunan Berdasar Imb[1998] No Kegiatan guna lahan Alokasi Lahan [1998] Terbangun Luas[Ha] Tidak Terbangun ha 1 2 3 4 5 6 7 1 Jasa perkotaan 741.06 27.08Ha 3.65 713,98 96,35 2 Perumahan 3006.70 117.74Ha 3.91 2.888,96 96,08 3 Kumulatif Industri 3268.87 157.12Ha 4.80 3.111,75 95,19 4 Fasilitas Umum dan Perdaganan 3847.43 18.03Ha 39.98Ha 0.46 3.829,40 99,53 5 Pertanian 588.82 6 Pariwisata 1404.51 7 Lapangan golf 1688.76 Total 14.545.85 319.97 359.95Ha Keterangan: Tidak ada data Sebagai perbandingan dari data satelit pada Bulan Pebruari 2007 memperlihatkan Wilayah batu Ampar dan Batam Centre lebih dari 80 wilayah tersebut telah dialokasikan dan hampir seluruhnya terjadi aktivitas pembangunan. Walaupun masih berupa penimbunan dan pembukaan lahan namun demikian data tersebut mengartikan bahwa kosentrasi pembangunan di Batu Ampar dan Batam Centre sangat padat dan dikhawatirkan sudah tidak terjadi keseimbangan antara daerah terbangun build up Area dan daerah tidak terbangun Non Build up Area. Gambar 22. memperlihatkan pengalokasian yang sangat padat dan berkurangnya daerah hijau serta daerah penyangga di Wilayah Batu Ampar dan Batam Centre. Sumber : http:www.flashearth.com Gambar 22. Pemanfaatan Lahan Terkini 4.4.4 Pemasalahan Pemanfatan Lahan 1 Master Plan Bila dibanding dengan wilayah lain, maka P. Batam bisa dikatakan lebih maju dalam merencanakan pengembangan wilayahnya. Sejak awal 1978 Pulau Batam sudah menyiapkan master plan untuk seluruh pulau dan dilakukan revisi setiap 5 tahun. Pada kurun waktu tersebut wilayah lain masih sedikit yang mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW secara menyeluruh. Master plan yang diterbitkan tahun 1978 masih belum dapat diaplikasikan dengan baik karena masih sangat makro dan bersifat konsep. Dalam master plan ini sudah ditetapkan bahwa kebijakan pemanfaatan lahan adalah 40 lahan yang boleh dibangun sedang 60 merupakan daerah tidak terbangun, yang digunakan sebagai reserve area, daerah tangkapan hujan, hutan lindung, lahan kritis dan hijau kota. Dengan tumbuhnya ekonomi di P. Batam dan derasnya permohonan permintaan lahan, maka pada tahun 1986 master plan P. Batam direvisi. Master plan ini masih dikatakan cukup idealis dan masih sangat memperhatikan lingkungan. Beberapa catatan penting yang dapat digunakan sebagai pedoman antara lain: 1 Keseimbangan daerah terbangun dan tidak terbangun masih baik, yaitu 40:60. Hal ini berarti lahan kritis, daerah tangkapan air, hutan lindung dan daerah hijau lainnya masih sangat diperhatikan dan keseimbangan lingkungan relatif tidak terganggu. 2 Zoning dan peruntukkan tiap-tiap setor masih jelas konsepnya dengan memperhatikan dan mengikuti kondisi alam seperti topografi untuk aliran air dan kesesuaian muka lahan kelandaian lahan. 3 Daerah pesisirtepatnya garis pantai, masih dipertahankan keasliannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Daerah-daerah yang dibukadibangun adalah daerah-daerah yang benar-benar dibutuhkan seperti untuk pelabuhan dan wisata pantai. Daerah lainnya dibiarkan asli sesuai dengan kondisi alam hutan bakau dan pantai relatif terjaga. 4 Penempatan waduk dan daerah tangkapan air hujan sangat diperhatikan dan diamankan dengan adanya kawasan lindung, rencana drainase dan pembuangan limbah. 5 Penyebaran hijau di tiap sub-wilayah sampai dengan hijau diperkotaan sangat diperhatikan dan direncanakan dengan baik. 6 Adanya peruntukkan yang dipaksakan yaitu kawasan industri di Muka Kuning. Namun secara teknis diberikan persyaratan yang sangat ketat khususnya dalam pembuangan limbah. Salah satu persyaratan adalah selain limbah harus diolah, buangannya juga harus dialirkan ke laut agar tidak mengganggu Dam Duriangkang. Tingginya pertumbuhan ekonomi dan derasnya permohonanpermintaan lahan menyebabkan master plan di evaluasi pada tahun 1991. Peruntukkan lahan untuk daerah terbangun berbanding daerah tidak terbangun yang pada master plan 1986 adalah 40:60 berubah menjadi 40,11:59,89 walaupun perbandingan hampir tidak berubah namun kondisi daerah tidak terbangun menjadi berubah, misalnya lapangan golf bukan daerah terbangun. Perbandingan ini walaupun menurut standar penataan ruang masih memungkinkan 70:30, namun demikian berdasa kondisi alam setempat dan rencana penggunaan lahan seperti untuk waduk dan daerah tangkapan airnya, perubahan lahan terbangun dan tidak terbangun terlihat sangat dipaksakan dan dapat berdampak merusak keseimbangan. Beberapa perubahan yang terlihat dipaksakan adalah: 1 Perubahan peruntukkan dari hijau menjadi perumahan. Perubahan ini mengganggu daerah tangkapan waduk Sei Harapan karena perubahan peruntukkan mengakibatkan aliran air dari perubahan menuju ke waduk Sei Harapan secara topografi juga membahayakan karena yang dirubah adalah perbukitan yang cukup terjal. 2 Penimbunan laut di teluk Sanimba yaitu yang semula laut dirubah peruntukkan menjadi peruntukkan pariwisata dan perumahan. Perubahan ini tidak mempunyai konsep yang kuat. 3 Merubah seluruh garis pantai di Tanjung Ucang hampir sepanjang 11 km, yang semula dibiarkan sesuai dengan kondisi alam, berupa hutan bakau dan rawa dirubah menjadi daerah industri dan hampir seluruhnya adalah industri perkapalan. Perubahan ini juga berdampak besar termasuk akibat penimbunan ke laut yang mengakibatkan perairan di sekitar Tanjung Uncang menjadi keruh bahkan dengan adanya pasang surut telah menyebar jauh ke selatan. Dari hasil penelitian PRC 1996 diungkapkan banyaknya terumbu karang yang mati dan tangkapan ikan menjadi berkurang. 4 Perubahan daerah Tiban Kampung. Perubahan ini mengakibatkan perambahan lahan yang meluas sampai merusak daerah tangkapan air waduk Muka Kuning. 5 Merubah daerah di sekitar Muka Kuning dan Duriangkang yang semula peruntukkan hijau dirubah menjadi kawasan olah raga. Permasalahannya, seluruh wilayah tersebut aliran airnya menuju ke waduk Duriangkang. Kalau tidak ada pengaturan yang ketat dan pengolahan limbah maka semua limbah yang dihasilkan akan mengalir dan mencemari Waduk Duriangkang. Bahkan kenyataanya saat ini peruntukkan tersebut telah dimanfaatkan untuk industri dan perumahan. Perubahan-perubahan tersebut di atas tidak seluruhnya berdasarkan perhitungan akademis dan analisis yang matang. Beberapa pertimbangan yang mendasari perubahan tersebut antara lain: 1 Permintaan dan tekanan yang kuat dari pasar. 2 Tanahlahan tersebut sudah terlanjut dialokasikan. 3 Lahan diserobot oleh masyarakat. 4 Kurang mendalami dampak yang akan terjadi. Hasil overlay antara Master Plan 1986 dan 1991 dapat dilihat pada Gambar 23 yang menggambarkan penyimpangan Master Plan 1991 terhadap Master Plan 1986; dan Gambar 24 yang merupakan hasil overlay penyimpangan pengalokasian lahan di Pulau Batam. Pada Gambar 23 terlihat bahwa penyimpangan yang terjadi hanya pada kawasan reserve area yang berubah pengalokasian menjadi kawasan industri; sedangkan pada Gambar 24terlihat penyimpangan yang terjadi meliputi perubahan garis pantai mangrove menjadi hilang, adanya penimbunanreklamasi di sekitar Teluk Senimba dan pemutihan Tiban Kampung. Perijinan Penyimpangan bisa juga terjadi karena kebijakan institusipimpinan. Penyimpangan biasanya terjadi bila ada investor yang besar dan berkualitas menginginkan lahan tertentu dengan luasan yang besar namun lahan tersebut tidak tepat peruntukkannya. Dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya, bila ternyata lebih besar keuntungannya pada saat itu maka akan dikeluarkan kebijakan untuk menerima usulan dari investor dan biasanya untuk pengamanan akan diberikan peryaratan yang ketat kepada investor agar lingkungan tidak rusak contoh Kawasan Industri Muka Kuning. Penyimpangan di tingkat pimpinan juga bisa terjadi bila arahan pimpinan salah diterjemahkan. Penyimpangan berawal bila investor yang memohon lahan kebetulan mempunyai hubungan dengan pimpinan. Kondisi seperti ini biasanya pimpinan memberikan persetujuan prinsip atas permintaan investor. Arahan pimpinan apabila ada persetujuan prinsip maka staf wajib menelaah dan memberikan masukkan yang obyektif. Persetujuan prinsip bisa didukung apabila hasil telaahan positif sesuai dengan master plan dan persyaratan lainnya. Namun bisa juga persetujuan prinsip tidak berlaku bila hasil telaahan menyimpulkan penyimpangan dari master plan atau akan menimbulkan dampak negatif yang besar. Penyimpangan terjadi bila persetujuan prinsip yang seharusnya ditolak tetapi usulan dari staf tetap mendukungmenyetujui. Penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan akan dibahas tersendiri pada sub-bab 4.4.5, sedangkan peta penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinankebijakan dapat dilihat pada Gambar 25. 2 Peran investor Penyimpangan seringkali disebabkan oleh permintaan investor yang memaksakan keinginannya untuk menguasaimenyewa lahan yang dimohonkan Gambar 26 Beberapa alasan yang diajukan untuk mendesak mendapatkan lahan tersebut antara lain: 1 Daya tarik P. Batam. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi rata-rata 17 per tahun dan derasnya arus investasi yang masuk ke P. Batam menyebabkan pemilik dana investor baik dalam dan luar negeri berminat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di P. Batam. Derasnya peminat yang masuk ke P. Batam menyebabkan investor-investor tanpa konsep juga terjun ke P. Batam bahkan banyak yang berspekulasi hanya untuk mendapatkan ijin sewa lahan dulu, kegiatan selanjutnya difikirkan kemudian. Investor semacam ini pada akhirnya tidak melaksanakan pembangunan terhadap lahan yang didapat. Ijin yang diterima diperjual belikan dan mencoba mendapatkan selisih keuntungan dari harga sewa yang dibayarkan ke pihak Otorita berupa Uang Wajib Tahunan Otorita UWTO dengan harga jual yang laku dipasaran. Keuntungan yang didapat tersebar dari mulut ke mulut dan ini mengundang spekulan lain lain, dan memang bila mendapatkan lahan yang strategis maka keuntungan bisa berlipat ganda dari biaya yang telah dikeluarkan. Suburnya spekulan menyebabkan pertumbuhan pembangunan yang semu. Dari lahan yang telah dialokasikan, hanya 21,8 saja lahan yang telah dibangun. Artinya 78,2 lahan dikuasai oleh spekulan tanpa adanya nilai tambah, bahkan terjadi degradasi nilai lahan, dimana penyewa lahan telah merusak lahan yang disewa dengan mengambil kayu atau sampai dengan memanfaatkan tanahnya untuk dijual sebagai tanah urug dan ini berarti nilai lahan sudah berkurang. 2 Faktor ekonomi. Hampir seluruh investor, tujuan dari menanamkan investasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan, semakin besar keuntungan dan semakin kecil modal yang dikeluarkan adalah faktor utama dalam berinvestasi. Investor di P. Batam berprinsip mengeluarkan modal sekecil- kecilnya dan berupaya mendapatkan keuntungan yang sebesar- besarnya. Prinsip ini dapat merusak tatanan bila diterapkan secara sembarangan, artinya tata ruang, peraturan dan kebijakan bisa dikesampingkan bila memang akan menguntungkan bagi investor. Sebagai contoh, pasar sangat tertarik pada wilayah NagorBatu Ampar. Harga permeter persegi lahan di Nagoya bila sewa selama 30 tahun dari Otorita Batam pada tahun 1998 adalah Rp. 600.000,- Harga dipasaran bisa mencapai Rp. 2.000.000 per m 2 . Perbedaan yang jauh antara harga dari Otorita Batam dan pasar menjadikan peluang bisnis jual beli tanah di P. Batam khususnya di daerah- daerah strategis. Peluang ini segera diserbu oleh investorspekulan oportunis dan pemain jual beli lahan lainnya. Bisnis yang dilakukan tidak lagi untuk membangun tetapi lebih banyak mengharapkan keuntungan dari selisih harga lahan. Yang menjadi masalah karena impian mendapatkan keuntungan yang besar maka segala cara dilakukan. Diantaranya memaksakan kehendak untuk mendapatkan lahan-lahan di lokasi strategis dan banyak diminati walaupun sudah tahu bahwa areal tersebut tidak dapat dialokasikan baik dilihat dari peruntukkan master plan ataupun peraturan lingkungan. Cara lain adalah memaksakan dengan mengajukan perubahan peruntukkan agar sesuai dengan keinginan dan kehendak pasar. Apabila permohonan ini dikabulkan tanpa pertimbangan yang benar maka dipastikan terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan masalah di masa mendatang. Penyimpangan akibat faktor ekonomi dapat dilihat pada Gambar 27 3 Persaingan dengan wilayah lain Persaingan dengan wilayah lain tidak secara langsung mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan lahan. Wilayah lain biasanya digunakan sebagai pemicu persaingan. Investor akan akan mengatakan bila tidak diberi lahan di P. Batam maka mereka akan mengalihkan investasinya ke wilayah lain. Bila investor yang menyatakan hanya investor bermodal kecil maka akan sangat mudah menolak atau membiarkan pindah ke wilayah lain. Namun apabila investor yang menyatakan adalah investor besar yang mempunyai sumber dana besar dan produk yang dihasilkan berskala internasional, maka permintaan tersebut akan membimbangkan pengambil keputusan. Dasar pertimbangan utama adalah peluang belum tentu terjadi dua kali. Maka dengan berbagai pertimbangan kemungkinan besar permohonannya akan diakomodir. Permasalahan akan menjadi parah bila investor besar tersebut akan melakukan kegiatan yang berdampak negatif tinggi dan menggunakan cara-cara yang tidak benar guna meloloskan permintaannya. Biasanya dengan cara membujuk dan menjanjikan memberikan imbalan bila permintaanya diterima atau dikabulkan. 4 Staf pelaksana Ada beberapa point penyimpangan yang terjadi akibat kesalahan dari staf pelaksana Gambar 28 Beberapa penyimpangan yang terjadi diantaranya adalah sebagai berikut : 1 Salah mengartikan kebijakan. Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa permohonan yang diajukan dan mendapat disposisi daru pimpinan kadangkala secara langsung di proses sesuai isi disposisi tersebut. Hal ini bisa saja dilakukan namun demikian ada hal-hal yang harus diperhatikan atas disposisi tersebut karena beberapa persetujuan prinsip tidak selalu benar bila dilaksanakan. Persetujuan ini bila diperkirakan akan menimbulkan masalah perlu dianalisis dan dilaporkan kembali kepada pimpinan dengan dilengkapi masukan dan telaahan-telaahan yang bisa menjelaskan bahwa permohonan dari investor tersebut bila disetujui akan menimbulkan masalah baik terhadap hukum, master plan, lingkungan atau masalah lain dan dapat menjadi preseden buruk untuk permohonan berikutnya. Masukan ini sangat diperlukan sebagai bahan pimpinan untuk memberikan penjelasan bila permohonan itu harus ditolak atau tidak disetujui. Untuk pihak Otorita Batam, hal ini menjadi dasar yang sangat prinsip dan hal tersebut telah menjadi keputusan bersama bahwa persetujuan prinsip dalam bentuk disposisi belumlah merupakan putusan akhir. Persetujuan tersebut bisa berubah atau dikoreksi apabila akan menimbulkan permasalahan ataupun hal-hal yang membahayakan bagi pemerintah maupun masyarakat. Penyimpangan seringkali terjadi apabila staf pelaksana langsung melaksanakan persetujuan prinsip tersebut walaupun diketahui bahwa dengan persetujuan itu terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan permasalahan. Alasan klasik diprosesnya persetujuan tersebut karena sudah disetujui pimpinan atau kadang-kadang takut memberikan masukan yang berbeda dengan persetujuan pimpinan. 2 Data yang tidak akurat. Kebijakan seringkali diambil pada data yang ada, dapat dipastikan bila data yang ada tidak benar maka kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan data tersebut akan bermasalah. Data-data yang sering digunakan dan sering menimbulkan masalah antara lain: • Letakpemetaan lokasi lahan yang tidak akurat. • Luasan lahan yang telah dialokasikan berbeda-beda. • Terjadi tumpang tindih lahan yang dialokasikan. • Menggunakan skala kecil sebagai pedoman pengalokasian lahan. • Batas masing-masing peruntukkan yang berbatasan tidak jelas sehingga pemanfaatannya sesuai dengan interpretasi. • Membaca peta hanya 2 dimensi. • Adanya perbedaan antara gambar dan keadaan di lapangan. 3 Desakan dari luar. Ungkapan yang berbunyi ”Bekerja benar saja salah” sangat cocok di pekerjaan yang terkait dengan pengalokasian lahan. Seringkali permohonan lahan yang diproses sesuai peraturan dan menghasilkan keputusan penolakan terhadap permintaan investor menjadi bumerang bagi si pemroses. Investor akan berupaya apa yang diminta dapat dipenuhi dan mengisukan apa yang dilakukan oleh staf pelaksana adalah tidak benar atau dikatakan tidak obyektif. Desakan ini disuarakan mulai dari tingkat staf pelaksana hingga pimpinan, dan bila perlu melalui media informasi. Desakan yang kuat dan terus menerus sangat memungkinkan menggoyahkan keputusan, apabila tidak mampu bertahan, keputusan bisa berubah yang semula ditolak menjadi disetujui. Apabila desakan ini tidak membuahkan hasil, ada cara lain yang dilakukan oleh investor nakal untuk menggoalkan niatnya. Mereka akan membujuk mulai dari staf pelaksana hingga pimpinan untuk mengikuti keinginannya dengan cara halus, mengiming-imingi, memberikan janji hingga memberikan imbalan. Semakin sulit tingkat resikonya maka bujukan dan imbalan yang dijanjikan semakin besar dan kadang-kadang nilainya cukup fantastis dan sangat menggiurkan. Namun demikian, apabila seluruh staf bertanggung jawab dan memegang teguh prinsip- prinsip kebenaran, upaya-upaya tersebut tidak akan berhasil. 4.4.5 Penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan Proses pengalokasian lahan hingga tahap diterbitkannya SBPMB Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan relatif sangat panjang sehingga sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan pengalokasian lahan. Adapun tahapan yang harus dilalui oleh investor hingga mendapatkan SBPMB meliputi: 1 Pembahasan tim; 2 Ijin prinsip; 3 Pengukuran; 4 Surat Perjanjian; 5 Surat Penetapan Lokasi; 6 Surat Keputusan; 7 Surat Hak Atas Tanah; 8 Fatwa Planologi; 9 IMB; dan 10 SBPMB. Berikut uraian masing-masing tahapan dalam pengalokasian lahan hingga mendapatkan SBPMB dan permasalahan yang diduga menyebabkan penyimpangan pengalokasian lahan. Skematik prosedur pengalokasian lahan dapat dilihat pada Gambar 30 1. Pembahasan Tim Untuk menjaga obyektifitas dalam pengalokasian lahan maka permohonan yang masuk akan di evaluasi dan dibahas oleh tim, yang terdiri dari Direktorat Perencanaan, Direktorat Agraria dan Biro Umum Legal. Tim ini akan menganalisa proposal yang diajukan dan kewajarannya. Dalam pembahasan sangat diperlukan obyektifitas, netralitas, kehati-hatian dan data-data yang akurat, khususnya latar belakang investor bukan spekulan, dan demikian juga data ketersediaan lahan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembahasan tim antara lain: 1 Proposal yang baik tidak menyamai kualitas investor; 2 Pemohon adalah spekulan yang menggunakan badan hukum yang lain; dan 3 Data lahan yang kurang akurat. Apabila permohonan disetujui maka akan dikeluarkan surat pemberitahuan pencadangan lokasi kepada pemohon dan ditagihkan uang muka sebesar 10 dari nilai lahan yang disetujui dengan masa sewa selama 30 tahun. Apabila uang muka telah dilunasi baru akan dibuatkanditerbitkan Surat Ijin Prinsip. Apabila permohonan ditolak juga akan diberitahukan kepada pemohon agar ada keputusan yang jelas. Gambar 30 Prosedur Pemanfaatan Lahan di P. Batam PERMOHONAN PEMBAHA SAN UANG MUKA IJIN PRINSIP disetujui KEMBALI JAMINAN PEMBANGUNAN SKETSA LOKASI RENCANA PENGUKURAN AGRARIA PERJANJIAN PEMBAHASAN PEMBAYARAN BIRO UMUM PENETAPAN LOKASI PL FATWA PLANOLOGI IMB PEMB SBPMB WASDAL BUKTI LUNAS SURAT KEPUTUSAN MELAKSANAKA N SELESAI PEMBANGUNAN SELESAI PEMBANGUNAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH BPN n o p q r s t u v w

2. Ijin Prinsip

Ijin prinsip merupakan awal dari pelepasan lokasi kepada investor. Ijin prinsip berisi antara lain: 1 Luas, peruntukan dan lokasi lahan yang dicadangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Dalam hal jaringan infrastruktur kawasan di sekitar lokasi belum tersedia maka penyediaan infrastruktur yang minimum dibutuhkan merupakan tanggung jawab penerima alokasi. - Dalam merencanakan dan membangun di atas lahan semaksimal mungkin mempertahankan topologi area serta bagian lahan yang tidak perlu dibangun agar tidak dibuka. - Diwajibkan untuk melaksanakan penghijauan lingkungan di atas lahannya dengan penanaman pohon-pohon yang rimbun. - Diwajibkan melaksanakan pemagaran serta pemasangan papan nama. - Lokasi yang pasti akan ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran. 2 Apabila dalam 10 hari dari tanggal ijin prinsip tidak menindaklanjuti dengan pengukuran lokasi atau dalam waktu yang telah disanggupi dalam surat pernyataan tidak menyelesaikan kewajiban-kewajibanyya, maka pencadangan lokasi menjadi batal dengan sendirinya. Permasalahan, Surat Ijin seringkali dianggap sudah mempunyai kekuatan hukum untuk menguasai lahan. Bila Ijin Prinsip jatuh pada spekulan, seringkali disalah gunakan dan diperjual belikan sehingga lahan tidak segera dibangun tetapi hanya terjadi jual beli surat. Dari sisi pemerintah dalam hal ini Otorita Batam juga kurang tegas, apa-apa yang sudah tertulis dan mempunyai konsekuensiresiko tidak selalu dilaksanakan penarikan lahan dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang disampaikan oleh investor.

3. Pengukuran

Sesuai dengan yang tertera dalam Ijin Prinsip bahwa 10 hari harus segera melakukan pengukuran, maka pihak investor harus segera melakukan pengukuran di lapangan atas lahan yang dicadangkan, investor dapat melakukan sendiri pengukuran, menggunakan jasa swasta atau meminta bantuan Otorita Batam. Dasar dari pengukuran adalah sket lokasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perencanaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat untuk menentukan koordinat batas-batas lokasi sekaligus mengukur kepastian luas lahan yang akan digunakan pada proses-proses lanjutan perjanjian, pembayaran, dan lain-lain. Permasalahan, masih banyak lokasi yang tidak mempunyai detail disain, sehingga sket lokasi yang dikeluarkan tidak terencana dengan baik termasuk batas-batas yang dibuat kurang akurat. Yang lebih repot karena tidak ada disain maka jaringan infrastruktur belum tersedia, belum merupakan satu kesatuan dengan disain keseluruhan master plan Pulau Batam. Masalah lain yang sering terjadi di sekitar lokasi adalah kurang memperhatikan topografi yang ada. Lahan hanya di lihat secara 2 dua dimensi, sehingga pada waktu pengukuran ataupun pembuatan rencana tapak secara keseluruhan seringkali ditemui kendala-kendala atau kesulitan- kesulitan. Permasalahan semakin berat bila ditinjau dengan proses yang dilakukan masa lalu. Pengukuran yang telah dilakukan di masa lalu tidak akurat sehingga bila disatukan dengan sistem yang ada saat ini, posisi lahan yang telah dialokasikan seolah-olah terjadi penggusuran contoh ekstrim ada lokasi setelah di digitasi dengan koordinat saat ini berada di atas air atau kemiringan curam.

4. Surat Perjanjian

Surat Perjanjian berisi kesepakatan dua belah pihak yang mencakup hak, kewajiban dan sangsi dari masing-masing pihak, mengenai: 1 Tanah yang dialokasikan. 2 Penggunaan dan peruntukkan tanah. 3 Jangka waktu dan status hak atas tanah. 4 Uang wajib tahunan Otorita Batam. 5 Gambar penetapan lokasi dan Surat Keputusan Pengalokasian Tanah. 6 Sertifikat hak atas tanah. 7 Peralihan hak atas tanah. 8 Pembangunan fisik. 9 Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan. 10 Setelah berakhirnya hak atau tanah yang dialokasikan dan hal-hal lain yang berkait dengan perjanjian. Catatan yang perlu mendapat perhatian di dalam isi Surat Perjanjian, adalah sebagai berikut: 1 Lahan dialokasikan di atas Hak Pengelolaan Hak Pengelolaan dimiliki oleh Otorita Batam. 2 Segala akibat yang timbul dari pengalokasian menjadi tanggung jawab penerima lahan. 3 Pemotongan, pembuangan dan penimbunan lahan harus dengan ijin Otorita Batam. 4 Tidak diperkenankan merubah, menutup atau menimbun sungaidanau terkecuali bila mendapat ijin dari Otorita Batam. 5 Penambahan, perubahan kegiatan atau peruntukkan harus mendapat pernyataan tertulis dari Otorita Batan, 6 Pengalokasian tanah kepada pemohon dilakukan untuk jangka waktu 30 tahun. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun berikutnya serta pembaharuan untuk jangka waktu 30 tahun. 7 Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat: ƒ Tidak menerima Surat Keputusan. ƒ Telah melunasi uang sewa untuk jangka waktu 3 tahun dan telah melaksanakan pembangunan di atas tanah tersebut. 8 Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat: ƒ Tidak menerima Surat Keputusan. ƒ Tanah yang akan dialihkan atau dipecah hak-nya harus telah dibangun sesuai dengan IMB dan dibuktikan dengan Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan bangunan SBPMB. 9 Apabila pemohon menggunakan lahan untuk kawasan seperti Kawasan Industri, Kawasan Perumahan, Kawasan Pertokoan, maka harus memenuhi antara lain: ƒ Menyelesaikan pembangunan sesuai tahapan perencanaan yang tertuang dalam IMB. ƒ Menyelesaikan Prasarana Lingkungan sepeti air, listrik, jalan, tempat parkir, taman dan saluran yang dipersyaratkan dalam IMB. 10 Bila pemohon tidak dapat memenuhi ketentuan yang diterbitkan oleh Otorita Batam berkaitan dengan pengalokasian tanah maka kesempatan menggunakan tanah menjadi gugur yang berakibat dibataslkannya pengalokasian tanah, tanpa harus dimintakan kepada hakim. Cukup dibuktikan dengan adanya wan prestasi. Permasalahan, banyak sekali butir ketentuan dalam Surat Perjanjian dilanggar oleh Pemohon. Namun demikian dengan berbagai macam pertimbangan Otorita Batam tidak langsung membatalkan pengalokasian tanah, apabila terjadi pembatalan pengalokasian biasanya telah melakukan kesalahan-kesalahm yang terus-menerus dan tidak diperbaiki dan dilakukan selama bertahun-tahuan.

5. Penetapan Lokasi.

Surat Penetapan Lokasi dibuat berdasarkan dari pengukuran di lapangan. Surat Penetapan Lokasi berisi antara lain: berisikan lokasi yang ditetapkan, peruntukkan lokasi, koordinat dan letak, batas-batas tanah yang dialokasikan dan gambar lokasi dengan skala yang jelas. Surat Penetapan Lokasi baru akan diberikan setelah menandatangani Surat Perjanjian. Permasalahan ditemui bila denah lokasi yang diberikan tidak jelas dan data-data di sekitarnya juga tidak jelas sehingga batas lokasi tidak tepat atau tumpang tindih anta lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya.

6. Surat Keputusan.

Surat Keputusan merupakan penegasan dan bukti pemohon sebagai penerima alokasi lahan dari Otorita atas bagian-bagian tertentu dari tanah yang hak pengelolaanya dikuasai oleh pihak Otorita Batam. Surat Keputusan ini juga menegaskan bila tidak mentaati ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Otorita Batam maka akan dilakukan pencabutan Surat Keputusan dan berarti pembatalan pengalokasian tanah. Surat Keputusan mutlak harus dimiliki oleh penerima alokasi karena merupakan persyaraatan untuk memproses atau mendapatkan sertifikat dari BPN. 7.` Sertifikat Hak Atas Tanah. Sertifikat Hak atas Tanah dokeluarkanditerbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional. Seperti dijelaskan dalam perjanjian, untuk mendapatkanmengurus sertifikat hak atas tanah harus melunasi selama 30 tahun, memiliki Surat Keputusan dan seudah melaksanakan pembangunan dan sebagai ketegasan harus mendapatkan rekomendasi dari Otorita Batam. Permasalahan: banyak para pemilik alokasi lahan mencoba langsung mengurus sertifikat secara langsung ke BPN tanpa melalui pihak Otorita Batam karena mereka belum melaksanakan kewajibannya seperti melaksanakan pembangunan. Apabila mereka mendapatkan sertifikat biasanya tanah dapat diperjual belikan, dan ini bisa menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.

8. Fatwa Planologi.

Dokumen ini memberikan petunjuk dan penjelasan serta aturan untuk merencanakan dan membangun alokasi lahan yang akan dibangun. Selain menjelaskan kepemilikan, luas dan peruntukkan lokasi, fatwa planologi juga memberikan penjelasan-penjelasan batasan yang boleh dibangun seperti ketinggian bangunan, garis sempadan bangunan, batas jalan, saluran, dan lain-lain. Permasalahan: Fatwa Planologi yang dikeluarkan masih kurang sempurna karena kurang memperhatikan topografi dan kondisi lokasi di sekitarnya termasuk ketersediaan akses terhadap infrastruktur yang ada dan yang akan dibuat. Hal ini disebabkan karena banyak lokasi yang telah dialokasikan tetapi belum mempunyai Rencana Detail Tata Ruang.

9. IMB.

IMB merupakan dokumensurat yang sangat penting untuk melaksanakan pembangunan. Surat ini menegaskan apa-apa yang telah ditetapkan di dalam Fatwa Planologi. Penekanan lebih diutamakan melengkapi persyaratan-persyaratan teknis untuk membangun serta sangsi apabila dalam waktu yang telah ditentukan pembangunan belum selesai maka ijin yang telah dikeluarkan batal dengan sendirinya. Permasalahan, ijin yang dikeluarkan kadang-kadang tidak segera ditindaklanjuti dengan pembangunan. Masalahn lain ketentuan teknis yang sudah ditetapkan seringkali dilanggar atau tidak dilengkapi dalam pembangunan.

10. SBPMB.

SBPMB atau Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan merupakan bukti bahwa rencana tidak dibangun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam IMB. Untuk membuktikan bahwa yang dibangun sudah sesuai dengan IMB maka petugas dari Otorita Batam akan melakukan pengecekan di lapangan dan memeriksa antar IMB dengan kondisi bangunan di lapangan. Hasil pengecekan akan dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemerikansaan di lapangan. SBPMB akan diterbitkan sesuai Berita Acara yang telah dibuat.

4.5 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Pulau Batam

Analisis lingkungan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap sumber dampak, dampak yang ditimbulkan dan alternatif pemecahan permasalahan yang telah dilakukan akibat pengembangan yang intensif di Pulau Batam. Adapun sumber dampak yang teridentifikasi berdasarkan hasil pengamatan langsung di wilayah penelitian meliputi pembukaan lahan yang tidak segera dibangun, perambahan terhadap lokasi yang tidak boleh dibangun, penimbunan laut yang merusak lingkungan, erosi dan sedimentasi, buangan domestik dan limbah industri. Berikut adalah uraian masing-masing sumber dampak. 1 Pembukaan Lahan yang tidak Segera Dibangun Hampir semua industri yang ada mendirikan bangunan dengan meratakan tanahnya secara total meskipun industri tersebut terletak pada daerah yang berbukit. Industri yang ada tidak mencoba mempertahankan landform yang ada, padahal meletakkan satu blok bangunan dengan blok bangunan lain pada tanah yang ada perbedaan elevasi bukan merupakan suatu hal yang sulit. Berdasarkan data realisasi IMB yang telah diterbitkan, pembangunan yang telah mendapatkan ijin untuk berbagai keperluan meliputi lahan seluas 319,87 ha. Namun demikian sebagaian besar kegiatan pembangunan yang dilakukan sampai pada tahap pembukaan lahan dan tidak segera dibangun. Dampaknya adalah : Kekeruhan air laut akibat aliran erosi ke laut. Erosi yang mengakibatkan pengelupasan lapisan humus tanahtop soil yang diakibatkan oleh proses penggerusan oleh run-off air hujan. Kondisi lahan yang relatif rata, akan mempersulit untuk mengalirkan air hujan. 2 Perambahan terhadap Lokasi yang tidak boleh Dibangun Lokasi yang tidak boleh dibangun pada umumnya merupakan daerah hijau, dan seiring dengan perkembangan pesat yang terjadi di P. Batam, banyak pendatang yang bertujuan mencari kerja dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah, tanpa pengetahuan dan kemampuan. Akibatnya, pendatang ini kemudian sebagian besar menempati pemukiman-pemukiman liar yang berdekatan dengan lokasi kerja mereka, yaitu di sekitar kegiatan industri, perdagangan atau proyek bangunan. Adanya kebutuhan tempat tinggal bagi pendatang kelas bawah menyebabkan terjadinya perambahan terhadap daerah hijau yang semakin lama semakin berkembang sehingga perutukkan yang seharusnya merupakan daerah hijau berubah menjadi pemukiman kumuh. Hingga tahun 1998, data mengenai rumah liar yang tercatat sebanyak 2.533 unit dan hanya 23 unit atau 0,90 yang memiliki IMB. Sisanya sebanyak 2.510 unit atau 99,09 tidak memiliki IMB dan diasumsikan sebagai rumah liar. Dampak yang ditimbulkan oleh adanya rumah liar adalah berkurangnya wilayah tangkapan air catchment area, peningkatan buangan limbah cair rumah tangga pada badan perairan dan sampah dari kegiatan rumah tangga. Selain itu juga terjadi penurunan estetika P. Batam secara umum karena keberadaan rumah liar yang dikhawatirkan suatu saat tidak dapat dikendalikan lagi bila tidak dilakukan penanganan dengan segera. 3 Penimbunan Laut yang Merusak Lingkungan Aktivitas penimbunan laut reklamasi dilakukan oleh hampir semua industri dengan cara meratakan lahannya secara total dan tidak membangun dengan menyesuaikan terhadap kontur lahan yang ada, dan tanah hasil pembukaan lahan ada yang dipakai untuk menimbun area lain dan ada juga yang dipakai untuk menimbun rawalaut. Penimbunan laut mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan pantai, khususnya untuk Sub Wilayah Pengembangan Tanjung Uncang – Sagulung, antara lain: Peningkatan kekeruhan air laut, dan kekeruhan ini menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air laut, sehingga mengganggu organisme yang memerlukan cahaya dan mengurangi produktifitas perikanan. Sedimentasi yang sangat tinggi dapat merubah sistem perairan menjadi daratan, oleh karena sebagian sedimen ada yang mengalir ke laut dan sebagian lagi mengendap. Terjadinya perubahan arus laut yang dikhawatirkan merusak ekosistem yang ada di sekitarnya. 4 Erosi dan Endapan yang Ditimbulkan Sumber terjadinya erosi adalah pembukaan lahan baru dengan melakukan pengelupasan lapisan humus tanah. Pada saat terjadi hujan terjadi proses pengerusan butiran tanah oleh run off air hujan, sehingga mengakibatkan terjadinya erosi. Aliran run off tersebut membawa buliran tanah hingga muara-muara sungai atau lokasi yang lebih rendah sehingga terjadilah sedimentasi yang cukup tinggi dan hal dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap ekosistem. Dari foto satelit terakhir Pebruari 2007 terlihat beberapa lahan yang sudah dialokasikan dan sudah dibuka tetapi tidak segera dibangun serta terjadi beberapa pengerukan laut di Batu Ampar dan Batam Centre yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi di Teluk Tering Batam Centre dan juga membuat kekeruhan air laut di Wilayah tersebut. Gambar 31 memperlihatkan penyebab dan akibat dari erosi, sedimentasi dan kekeruhan air laut di Teluk Tering. Sumber : http:www.flashearth.com Gambar 31 Penyebab Erosi Laju erosi yang terjadi di beberapa waduk yang ada di P. Batam menunjukkan hal yang mengkhawatirkan. Tercatat laju erosinya sudah mencapai kisaran 16,43 – 27,23 tonha tahun, dengan laju erosi tertinggi terjadi pada waduk Sei Ladi dan Sei Baloi yang nilainya mencapai 27,23 tonhath untuk Sei Ladi mencapai 23,27 tonhath untuk Sei Baloi. Bila dibandingkan dengan laju erosi yang diperkenankan di Indonesia yaitu sebesar 4 – 14 tonhatahun dan Amerika Serikat sebesar 2 – 11 tonhatahun, maka laju erosi di P. Batam relatif sangat tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu pengelolaan yang seksama agar dapat http: www.flashearth.com mencegah kerusakan wilayah pesisir yang lebih parah karena dampak negatif yang ditimbulkan di wilayah pesisir berupa sedimentasi. Tabel 23. memperlihatkan data erosi yang terjadi di beberapa waduk di P. Batam. Hingga saat ini, pengelolaan yang sudah dilakukan untuk menghindari terjadinya erosi adalah mengalirkan air hujan pda lembah sungai penerima yang terdekat, misalkan Sei Senimba, Sungai Langkai dan Tembesi Lama serta Sei Temiang dan untuk selanjutnya mengalir ke laut. Cara lainnya adalah membuat saluran-saluran drainase agar dapat mengalirkan air secepat mungkin menuju ke hilir. Tabel 23. Data Erosi di Beberapa Waduk di P. Batam No Waduk Luas Daerah Tangkapan Catchment area Volume Erosi yang terjadi tonhath Volume Erosi yang terjadi utk Seluruh Catchment Area tonth 1 Sei Nongsa 222.70 16,43 3.658,96 2 Sei Baloi 124.30 23,27 2.892,74 3 Sei Harapan 811.00 17,30 14.032,70 4 Sei Ladi 1.105.80

27.23 30.110,00

Sumber: USU 1993 5 Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi di Pulau Batam secara garis besar berasal dari darat dan laut, yaitu: Land based polution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan jasa perkotaan 89 ha, industri 1.015 ha, rumah tangga 125,42 ha dan pertanian 2.910 ha. Adapun limbah yang dikeluarkan oleh masing-masing aktivitas dapat diuraikan sebagai berikut: i. Jasa perkotaan: menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah cair sewage. ii. Industri: menghasilkan limbah berupa limbah padat sampah besar dengan kapasitas besar 2 m 3 , serta limbah padat kecil buangan aktivitas kantor. Berdasarkan hasil evaluasi Master Plan P. Batam 1991, jenis limbah yang ditimbulkan dapat dikatagorikan sebagai limbah organik dan limbah berupa logam berat, yang berdasarkan pada klasifikasi sifat kimia terdiri atas Klas A Ca, Mg, dll, Klas B Hg, Cd, dll serta kelas peralihan Zn, Pb, dan sebagainya. iii. Perumahan: menghasilkan limbah berupa limbah padatlimbah rumah tangga berupa sampah, limbah cari pemukiman sewage dan tinja atau sampah produksi aktivitas manusiasampah domestik. Marine based pollution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan perhubungan laut.

4.6 Analisis Deskriptif Sosial Budaya

Permasalahan sosial yang timbul di P. Batam dan merupakan sisi negatif lain yang terjadi akibat percepatan pembangunan di P. Batam dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga mencapai 17 pertahun, P. Batam secara kasat mata dan fisik terlihat sangat cepat terjadi perubahan pembangunan gedung dan kebutuhan tenaga kerja meningkat pesat. Gambar kasar ini dapat ditangkap oleh masyarakat awam. Akibatnya, bagaikan magnet, P. Batam menarik cepat masuknya pendatang baik yang berpendidikan maupun yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Ini dapat terlihat dari data pertumbuhan penduduk yang hampir setiap 5 tahun jumlah penduduk P. Batam menjadi 2 kali lipat. 2 Penduduk yang tidak mempunyai kemampuan sulit untuk mendapat pekerjaan yang berpenghasilan layak. Akibatnya mereka tidak mampu untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Pada akhirnya mereka menyerobot lahan kosong bahkan merusak hutan kota, hutan lindung dan lahan kritis. Jumlah mereka sudah sangat mengkhawatirkan, dimana berdasarkan data yang bersumber darii Direktorat Pengamanan OPDIP Batam, sampai akhir 1997 sudah berjumlah 25.964 rumah. Bila diasumsikan satu rumah berisi 3 orang, maka jumlah penduduk yang tinggal di daerah bermasalah adalah sebanyak 77.892 jiwa. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 1997 adalah 255.179 orang, maka jumlah orang yang menghuni di pemukiman bermasalah adalah mencapai 30,52. 3 Pertumbuhan yang cepat dan pembangunan yang pesat harus sesuai dengan pengawasan yang memadai bila dilihat dari pembangunan yang dilakukan selama 10 tahun terakhir terlihat peningkatan yang sangat pesat. Namun demikian dari sisi pengawasan, organisasi, jumlah personil yang mengawasi serta peralatan yang ada tidak jauh berbeda dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Ini berarti kemampuan pengawasan tidak seiring dengan laju pembangunan. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam proses pembangunan seperti penyerobotan hutan lindung, pembabatan daerah hijau, timbulnya rumah liar, penimbunan yang tidak terkendali hingga pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 4 Hampir seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, pertumbuhan ekonomihasil pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduknya. Walau tidak tersedia data tentang pendapatan penduduk seperti dilaporkan dalam buku Laporan Tahunan Perekonomian Batam tahun 1998 yang disusun oleh BPS Kodya Batam, dari data-data yang disampaikan dalat disimpulkan bahwa masih banyak masalah kependudukan dan ketenagakerjaan. Indikator yang dapat dilihat adalah Upah Minimun Regional UMR yang masih berada di bawah nilai Kebutuhan Hidup Minimum KHM. Tercatat pada tahun 1998 besarnya UMR adalah Rp. 270.000,- sedangkan KHM adalah Rp. 358.205. Berarti setiap pekerja yang dibayar berdasarkan aturan UMR masih kekurangan Rp. 88.205 perbulan. Bila diasumsikan para tenaga kerja yang tercatat sebanyak 141.276 orang menerima gaji sesuai atau tidak berbeda jauh dari UMR, dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak 290.638 jiwa maka sebanyak 48,6 penduduk tidak terpenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Bila ini ditambah dengan jumlah penduduk yang menghuni di daerah yang bermasalah rumah liar sebanyak 30,52 yang juga diasumsikan berpenghasilan rendah jobless, maka total jumlah penduduk yang tidak sejahtera hidup dibawah KHM adalah 79,12 Asumsi nilai ini duplikasi bila ada buruh yang tinggal di rumah liar. Kesenjangan lain juga terlihat pada penduduk asli yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya. Kesenjangan juga dapat dirasakan dari sisi pendidikan. Apabila dibandingkan data tahun 1995 dengan tahun 1998, maka prosentase lulusan sekolah dasar terjadi penurunan yaitu dari 28,49 menjadi 24,12, begitu juga untuk lulusan Diploma dan Universitas. Untuk lulusan Diploma terjadi penurunan dari 2,51 menjadi 1,58, dan lulusan Universitas dari 2,84 mejadi 1,71. Apabila yang berminat duduk diperguruan tinggi diasumsikan mencerminkan penduduk yang berpenghasilan tinggi, berarti hanya 5,35 pada tahun 1995 dan 3,29 pada tahun 1998 yang berpenghasilan memadai. 5 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN

5.1 Penyusunan Unsur Pembentuk SWOT

Penyusunan implikasi kebijakan pengelolaan didasarkan pada Metoda SWOT, yang input analisisnya berasal dari beberapa metoda sebelumnya agar dihasilkan kekuatan strength, kelemahan weakness, peluang opportunity dan ancaman threath dari Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pulau Batam, sebagai berikut:

5.1.1 Kekuatan

Unsur-unsur yang menjadi kekuatan dalam pengembangan Pulau Batam melalui optimalisasi pemanfaatan lahan adalah: 1 Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya Industri. 2 Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatan-kegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata Perumahan. 3 Setiap KK mendapatkan rumahlahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan Perumahan. 4 Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa Jasa. 5 Pertanian merupakan kawasan transisi dan bersifat sementara, peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan Pertanian. 6 Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor. Bahkan dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa Pariwisata.

5.1.2. Kelemahan

1 Lahan industri yang telah dialokasikan sebagian besar tidak melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan Industri. 2 Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan Industri. 3 Munculnya perumahan liar RULI dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah Perumahan. 4 Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa Jasa. 5 Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam Pertanian. 6 Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya Pariwisata. 7 Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari Pariwisata. 8 Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik Pariwisata.

5.1.3. Peluang

1 Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan Industri. 2 Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah Perumahan. 3 Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura Jasa dan Pariwisata. 4 Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam.

5.1.4. Ancaman

1 Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika Industri. 2 Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut Industri. 3 Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan Industri dan perumahan. 4 Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan Jasa. 5 Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam Pertanian. 6 Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura Pariwisata. 5.2 Penyusunan Strategi Pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan berdasarkan Hasil Analisis SWOT Untuk menentukan kebijakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan Pulau Batam yang didasarkan atas kondisi faktual dilapangan, maka teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari ke-empat faktor tersebut, yaitu : 1. Kebijakan SO, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dan mengoptimalkan peluang yang ada; 2. Kebijakan ST, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam menanggulangi ancaman yang ada; 3. Kebijakan WO, yaitu kebijakan memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki; dan