Optimalisasi pemanfaatan lahan sebagai upaya pembangunan berkelanjutan Pulau Batam

(1)

UPAYA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PULAU BATAM

Tjahjo Prionggo

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya

dengan judul: “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya

Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam” adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun.

Bogor, Mei 2007

Tjahjo Prionggo SPL-995168


(3)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, dengan ini menyatakan bahwa disertasi dengan judul:

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan

Berkelanjutan Pulau Batam

telah layak untuk diuji pada ujian terbuka.

Bogor, 5 Maret 2007 Ketua Komisi Pembimbing,


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ” Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka Acuan dibahagian akhir disertasi ini.

Bogor, 5 Maret 2007

Tjahjo Prionggo SPL-995168


(5)

TJAHJO PRIONGGO. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA., Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin, DEA., dan Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc.

ABSTRAK

Pulau Batam dengan luas 415 km2, adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi karena telah berhasil menghadirkan pertumbuhan ekonomi mencapai 12,57% pada tahun 1997, khususnya melalui investasi internasional. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu yang sama hanya 4,65%. Dari gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned) untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan; (2) Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia; dan (3) Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi: (1) Analisis Deskriptif/Pragmatif Makro Ekonomi dan Investasi; (2) Analisis Deskriptif/Pragmatif Sosial dan Budaya; (3) Analisis Beban Limbah; (4) Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam dengan GIS; (5) Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan; dan (6) Analisis Kebijakan dengan Analisis SWOT.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Pulau Batam selain telah berhasil menarik investasi internasional dan meningkatkan PDRB hingga 12,52%, juga memunculkan beberapa permasalahan diantaranya: kesenjangan sosial antar pelaku-pelaku ekonomi dengan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar; kesenjangan antar Pulai Batam dengan pulau-pulau lain disekitarnya; konflik antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam serta permasalahan status sebagai Kawasan Berikat (bonded zone). Permasalahan lain adalah pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan sangat lamban dan terbatas, hanya mencapai 21,8% dari lahan yang telah dialokasikan untuk fasilitas umum dan perdagangan. Untuk fasilitas umum dan perdagangan realisasinya hanya mencapai 0,46% dan merupakan realisasi yang paling rendah dibandingkan dengan realisasi peruntukkan jasa perkotaan (3,65%), perumahan (3,91%) dan industri (4,80%).

Dari hasil simulasi sistem optimalisasi pemanfaatan lahan, bila diimplementasikan akan dapat meningkatkan nilai investasi hingga 11,72 kali atau 1172% jika dibandingkan dengan kondisi terkini (Skenario III). Skenario Optimalisasi (Skenario V) menghasilkan total nilai investasi sebesar Rp. 387.253.622.654.871,60.- Skenario lainnya, masing-masing Skenario I, II, III dan Skenario IV memberikan total nilai investasi yang lebih rendah.

Dalam model ekologi skenario V memberikan dampak peningkatan investasi terbaik dimana persentase investasi negatif relatif lebih rendah dari investasi positif. Sedangkan dalam model sosial, optimalisasi menghasilkan subsidi yang dapat dikelola dan didistribusikan kepada penduduk miskin asli dan pendatang, kesehatan, pendidikan dan cadangan sebesar 5%. Pada awal tahun tidak seluruhnya permasalahan terselesaikan. Namun setelah 10 tahun (diakhir model), seluruh subsidi dapat tuntas terselesaikan dan bahkan dana cadangan cenderung meningkat. Kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan berdasarkan hasil analisis SWOT guna mendukung simulasi model yang meliputi kebijakan untuk merevisi Rencana Tata Ruang; Melakukan penarikan lahan yang tidak produktif dan dialokasikan kembali secara selektif; Mengkonversikan lahan yang peruntukannya kurang sesuai dan kurang diminati pasar; serta kebijakan pemperhatikan hijau, taman kota, kawasan lindung dan mengelola limbah buangan untuk mencapai keseimbangan lingkungan sehingga memperkecil investasi negatif.


(6)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(7)

Oleh:

Tjahjo Prionggo

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Judul Disertasi : Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam.

N a m a : Tjahjo Prionggo

N R P : SPL - 995168

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Program : Doktor (S3).

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA. Ketua

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Anggota

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA. Anggota

Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc. Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Departemen 3. Dekan

Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr.Ir. Sulistiono, MSc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 14 Desember 1959, anak dari pasangan H. Drs. Surajiman dan Hj. Djarwati. Pendidikan sampai S1 diselesaikan di Jakarta, lulus sebagai sarjana Arsitiketur Fakultas Teknik Universitas Indonesia tahun 1984. Sambil bekerja penulis menyelesaikan S2 di Sekolah Tinggi Management Jakarta pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Penulis bekerja di BPP Teknologi sejak tahun 1986. Beberapa kepercayaan dan penugasan yang pernah diberikan kepada penulis antra lain: sebagai Pimpro Prasik Pembangunan Gedung BPPT (Gedung kantor BPPT 24 Lantai) pada tahun 1989-1992, sebagai Direktur Perencana OPDIP Batam (1992-1998), sebagai pembicara di dalam seminar dan kegiatan ilmiah lainnya bidang pengembangan dan perencanaan tata ruang khususnya mengenai Pulau Batam. Selain itu, merangkap sebagai Ketua Tim Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi awal amdal yang diajukan sebelum dikirim komisi Amdal BPPT, juga sebagai ketua tim pengembangan khususnya Batam Centre (Batam Carnaval 2000), dan sebagai ketua tim pengembangan kawasan wisata Nongsa.

Kemudian pada tahun 1998-2001, penulis menjabat sebagai asisten ketua bidang evaluasi dan monitoring pembangunan BP3 Natuna, pada tahun 2001-2006 (di BPP Teknologi) sebagai Inspektur dan sebagai wakil koordinator bidang kajian ForBes APIP (Forum Berama Aparat Pengawasan Instansi Pemerintah). Tahun 2006 sampai dengan saat ini penulis aktif sebagai staf khusus ketua Otorita Batam bidang Perencanaan dan Lingkungan untuk mengembangkan Pulau Rempang dan Galang yang saat ini masih belum dikelola.


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur senantisa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT oleh karena rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir Program Doktor. Dalam penyelesaian disertasi dengan ruang lingkup kajian Optimalisasi Pemanfaatan Lahan sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam ini banyak mengalami hambatan dan kendala. Namun demikian dengan bantuan berbagai pihak hambatan dan kendala dapat diatasi.

Persembahan ungkapan rasa hormat penulis sampaikan kepada kedua orang tua khususnya almarhum ibunda tercinta yang tulus mendorong dan mendoakan untuk menyelesaikan pendidikan sampai jenjang tertinggi, mudah-mudahan dengan menyelesaikan program pendidikan ini, beliau turut mendapat balasan dari Allah SWT.

Kemudian penulis mengucapakan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada : (1) Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai pembimbing ketua, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA, Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc, masing-masing sebagai pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan arahan dalam menyelesaikan disertasi ini. (2) Dr. Ir. Menofatria Boer, DEA, beserta staf Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala bantuan saran sehingga proses penulisan disertasi ini berjalan lancar. (3) Prof. Dr. Ing. BJ Habibi beserta Ibu, Soeryohadi Djatmiko, SE, MBA, yang telah bersungguh-sungguh memberikan dorongan dan bimbingan serta masukan untuk disertasi ini. (4) Kepala BPPT, Ketua Otorita Batam dan seluruh jajarannya yang telah membantu baik moril maupun materil dan kemudahan-kemudahan yang diberikan selama penulis melaksanakan pendidikan dan penelitian.

Ucapan terimakasih secara khusus kepada istri tercinta, Ir. Handayani Dwi Rahayu, ananda tersayang Ratna Kirana dan Raine Karlina, serta rekan-rekan, saudara-saudaraku atas segala dorongan, doa, kesabaran dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan selama proses penyelesaian disertasi ini. Dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, Otorita Batam, para ilmuwan dan praktisi dalam mengembangkan Pulau Batam, maupun pulau-pulau lain yang sejenis. Mudah-mudahan kajian ini dapat dilanjutkan dan dikembangkan untuk membangun negeri ini yang berbentuk kepulauan dengan potensi yang beragam.


(11)

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ... i

ABSTRACT ... ii

HAK CIPTA ... iv

HALAMAN JUDUL ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

PRAKATA ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Hipotesis Penelitian ... 7

1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian ... 8

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Paradigma Pembangunan Berkelanjutan dan Pembangunan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan ... 11

2.1.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM)... 11

2.1.2 Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan .... 13

2.1.3 Pulau Batam sebagai Pulau Kecil ... 19

2.1.4 Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang ... 23

2.1.5 Industri Yang Berada di Wilayah Pesisir ... 27


(12)

2.2 Pemodelan Sistem untuk Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Laut ... 35

2.2.1 Sistem Dinamik untuk Analisis Kebijakan ... 35

2.2.2 Konsep Sistem Dinamik untuk Pemahaman Model ... 36

2.2.3 Tinjauan Sistem Dinamik yang Sudah Ada ... 48

3 METODE PENELITIAN ... 54

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 54

3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 54

3.3 Pengumpulan Data ... 56

3.3.1 Data Primer ... 56

3.3.2 Data Sekunder ... 56

3.4 Analisis Data ... 59

3.4.1 Pendekatan Analisis ... 59

3.4.2 Analisis Deskriptif Makro Ekonomi dan Investasi... 62

3.4.3 Analisis Deskriptif Sosial Budaya ... 63

3.4.4 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan ... 63

3.4.5 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam ... 65

3.4.6 Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... 67

3.4.7 Analisis Kebijakan dengan Metoda SWOT ... 82

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 85

4.1 Keadaan Umum Lokasi ... 85

4.1.1 Geografi ... 85

4.1.2 Fisiografi ... 86

4.1.3 Elevasi ... 86

4.1.4 Kondisi Pantai Pulau Batam ... 86

4.1.5 Ketersediaan Air ... 88

4.1.6 Kependudukan ... 88

4.1.7 Sarana dan Fasilitas ... 90

4.1.8 Pemanfaatan Lahan ... 90

4.2 Kondisi Makro Ekonomi da Investasi ... 92


(13)

4.2.2 Kondisi Investasi ... 101

4.2 Analisis Kebijakan Umum Pengembangan Pulau Batam ... 104

4.3.1 Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat ... 104

4.3.2 Kebijakan Pulau Batam sebagai Daerah Pengembangan Khusus ... 107

4.3.3 Persaingan dengan Wilayah Lain ... 111

4.3.4 Kerjasama SIJORI ... 113

4.3.5 Pulau Batam sebagai KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) ... 117

4.4 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam ... 119

4.4.1 Tata Ruang ... 119

4.4.2 Master Plan 1991 ... 123

4.4.3 Realisasi Pengalokasian Berdasarkan Master Plan 1991 ... 125

4.4.4 Penyimpangan Pemanfaatan Lahan ... 129

4.4.5 Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Perijinan ... 145

4.5 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Pulau Batam ... 152

4.6 Analisis Deskriptif Sosial Budaya ... 157

4.7 Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... 160

4.7.1 Struktur Model ... 160

4.7.1.1 Sub-sistem Industri ... 161

4.7.1.2 Sub-sistem Perumahan ... 166

4.7.1.3 Sub-sistem Jasa ... 169

4.7.1.4 Sub-sistem Pariwisata ... 173

4.7.1.5 Sub-sistem Pertanian ... 176

4.7.1.6 Sub-sistem Limbah Padat ... 179

4.7.1.7 Sub-sistem Hijau ... 181

4.7.1.8 Sub-sistem Sosial ... 184

4.7.2 Simulasi Sistem Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... 184

4.7.2.1 Skenario I, Proyeksi Model Master Plan 1986, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Normal ... 188

4.7.2.2 Skenario II, Proyeksi Model Master Plan 1986, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Optimal ... 190

4.7.2.3 Skenario III, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Terkini dengan Struktur Model Normal ... 193


(14)

4.7.2.4 Skenario IV, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Terkini, Struktur Model Optimal namun Belum

ada Kebijakan Optimalisasi Lahan... 196

4.7.2.5 Skenario V, Proyeksi Model Master Plan 1991, Nilai Investasi Tengah (Wajar), Struktur Model Optimal dan Kebijakan Optimalisasi Lahan... 197

4.7.2.6 Model Ekologi... 200

4.7.2.7 Model Sosial... 204

4.7.3 Perilaku Model Sistem Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... 205

4.7.3.1 Lahan Industri ... 205

4.7.3.2 Lahan Perumahan ... 208

4.7.3.3 Lahan Jasa... 210

4.7.3.4 Lahan Pertanian ... 212

4.7.3.5 Lahan Pariwisata ... 213

4.7.3.5 Sektor Hijau ... 215

5 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN ... 216

5.1 Penyusunan Unsur Pembentuk SWOT ... 216

5.1.1 Kekuatan ... 216

5.1.2 Kelemahan ... 217

5.1.3 Peluang ... 217

5.1.4 Ancaman ... 218

5.2 Penyusunan Strategi Pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan berdasarkan Hasil Analisis SWOT ... 218

5.3 Pembobotan ... 221

5.4 Penentuan Prioritas Kebijakan ... 222

5.4.1 Prioritas Kebijakan Sektor Industri ... 225

5.4.2 Prioritas Kebijakan Sektor Perumahan ... 228

5.4.3 Prioritas Kebijakan Sektor Jasa ... 228

5.4.4 Prioritas Kebijakan Sektor Pertanian... 229

5.4.5 Prioritas Kebijakan Sektor Pariwisata ... 230

5.5 Pilihan Instrumen Kebijakan ... 230

5.5.1 Kebijakan Terpusat ... 230


(15)

6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 232

6.1 Kesimpulan ... 232

6.2 Rekomendasi ... 233


(16)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Halaman

1. Kelompok Sektor-sektor Pembangunan ... 17

2. Alternatif Rencana Pembangunan ... 17

3. Komposisi Zoning yang Ideal ... 18

4. Zonasi Kegiatan Industri ... 31

5. Zonasi Berdasar pada Kemiringan Lahan ... 32

6. Data yang Dibutuhkan untuk Analisis Pemanfaatan Lahan ... 58

7. Pembobotan Tiap Unsur SWOT ... 83

8. Matrik Analisis SWOT dan Penentuan Kebijakannya ... 84

9. Rangking Alternatif Kebijakan ... 84

10. Banyaknya Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kotamadya Batam Keadaan Akhir Tahun 1994 – 1997 ... 89

11. Banyaknya Desa, Penduduk dan Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Batam Dirinci per Kecamatan Tahun 1998 ... 89

12. Luas Lahan Teralokasi di Pulau Batam ... 90

13. Perbandingan Data Pertumbuhan di Pulau Batam Tahun 1978, 1983, 1993, 1994, 1995, 1996 dan 1997 ... 90

14 Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut bidang Usaha ... 102

15. Rencana Penanaman Modal Asing Menurut Bidang Usaha (000 US$) . 103

16. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P. Batam 1991 ... 123

17. Proporsi Masing-masing Zona Berdasarkan Master Plan ... 124

18. Rencana Alokasi Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P.Batam 1991 ... 125

19. Data Realisasi Pengalokasian Lahan di P.Batam hingga 1998 Berdasarkan Izin Prinsip Pengalokasian Lahan [PL] P.Batam ... 126

20. Perbandingan Alokasi Lahan berdasarkan Master Plan tahun 1991 dan Master Plan tahun 1998 ... 126

21. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan 1991 ... 127

22. Realisasi Pengalokasian Lahan di P. Batam dan Pelaksanaan Pembangunan Berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan Tahun 1998 ... 128

23. Data Erosi di Beberapa Waduk di P. Batam ... 156

24. Parameter Input untuk Simulasi Sistem berdasarkan Master Plan 1986 ... 184


(17)

26. Input Sensitifitas untuk Penyusunan Model ... 186 27. Nilai Investasi Positif dan Investasi Negatif Hasil Simulasi Sistem pada

Skenario V... 203 28. Formulasi Kebijakan Pengelolaan untuk Optimalisasi Pemanfaatan

Lahan di Pulau Batam... 219 29. Pemberian Bobot untuk Setiap Unsur dari Kekuatan, Kelemahan,

Peluang dan Ancaman... 221 30. Penentuan Prioritas Kebijakan Pengelolaan Pulau Batam ... 223


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Halaman

1. Kerangka Pendekatan Penelitian ... 10

2. Segitiga Tujuan dan Konflik Perencanaan ... 24

3. Konsep Land Rent ... 33

4. Perkembangan Konsep Land Rent ... 34

5. Peran Beberapa Ide dalam Metodologi Sistem Dinamik ... 36

6. Diagram Tahap Analisis Sistem ... 38

7. Diagram Pendekatan Metode Sistem Dinamik ... 43

8. Diagram Lingkaran Umpan Balik ... 45

9. Diagram Hubungan Timbal Balik Model Forrester ... 51

10. Model Kementrian Lingkungan Hidup ... 52

11. Peta Lokasi Penelitian ... 55

12. Pendekatan Analisis Data ... 61

13. Pendekatan Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... 72

14. Peta Aliran Sungai Pulau Batam ... 87

15. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Industri (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ... 92

16. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Pertanian (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ... 97

17. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perumahan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ... 98

18. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Jasa (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ... 98

19. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perhotelan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998 ... 99

20. Peta Master Plan Pulau Batam 1986 ... 121

21. Peta Master Plan Pulaun Batam 1991 ... 122

22. Pemanfaatan Lahan Terkini ... 129

23 Overlay Penyimpangan Master Plan 1991 ... 133

24. Overlay Penyimpangan Pengalokasian lahan di P.Batam ... 134

25. Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Perijinan/Kebijakan ... 140

26. Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Peran Investor ... 141


(19)

28. Penyimpangan Pengalokasian Lahan Akibat Staf Pelaksana ... 143

29. Penyimpangan Lokasi Terbangun / Di Luar Fasum ... 143

30. Prosedur Pemanfaatan Lahan di P. Batam ... 146

31. Penyebab Erosi ... 155

32. Struktur Model Normal pada Sub-sisten Industri ... 161

33. Struktur Model Optimal pada Sub-sisten Industri ... 165

34. Struktur Model Normal pada Sub-sistem Perumahan ... 167

35. Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Perumahan ... 169

36. Struktur Model Normal pada Sub-sistem Jasa ... 170

37. Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Jasa ... 172

38. Struktur Model Normal pada Sub-sistem Pariwisata... 174

39. Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Pariwisata ... 175

40. Struktur Model Normal pada Sub-sistem Pertanian ... 177

41. Struktur Model Optimal pada Sub-sistem Pertanian ... 179

42. Struktur Model Sub-sistem Limbah Padat ... 180

43. Struktur Model Sub-sistem Hijau ... 182

44. Struktur Model Sub-sistem Sosial ... 183

45. Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario I ... 189

46. Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario I ... 190

47. Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario I ... 191

48. Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario II ... 192

49. Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario II ... 192

50. Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario II ... 193

51. Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario III ... 194

52. Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario III ... 194

53. Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario III ... 195

54. Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario IV ... 196

55. Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario IV ... 197

56. Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario IV ... 198

57. Profil Investasi P. Batam Berdasarkan Skenario V ... 198

58. Grafik Ketersediaan Lahan di Pulau Batam pada Skenario V ... 199

59. Grafik Pertumbuhan Investasi di Pulau Batam pada Skenario V ... 120


(20)

61. Grafik Laju Pertumbuhan Investasi Model Ekologi ... 201

62. Grafik Investasi sebelum Pengolahan Limbah pada Skenario V ... 202

63. Grafik Investasi Setelah Pengolahan Limbah pada Skenario V... 203


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Struktur Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... L-1 2. Detail Formula Input Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... L-2 3. Daftar Istilah Input Model Optimalisasi Pemanfaatan Lahan ... L-3 4. Nilai-nilai yang Penting ... L-4 5. Uji Coba Model ... L-5


(22)

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.508 buah, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya kelautan yang sangat melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai aset untuk kepentingan pembangunan nasional. Kekayaan sumberdaya yang terkandung di dalam atau di sekitar pulau-pulau merupakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya (ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang serta biota yang hidup didalamnya), media rekreasi, pariwisata, konservasi, komunikasi dan pemanfaatan lainnya.

Namun demikian, pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut untuk kegiatan pembangunan hingga saat ini sangat tertinggal kondisinya dibandingkan dengan negara lain. Harus diakui bahwa sumberdaya alam daratan suatu pulau kecil seperti sumberdaya air tawar, ruang, vegetasi, tanah, kawasan pantai, margasatwa dan sumberdaya lainnya terbatas. Karena keterbatasannya ini, daya dukung pulau kecil dalam menopang kegiatan pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development) juga biasanya tebatas. Mudahnya keseimbangan ekologi lingkungan pulau terganggu, membuat pulau kecil merupakan sebuah kasus dalam pengelolaan lingkungan, baik dari segi sumberdaya alam (resources), ekonomi, maupun kegiatan-kegiatan yang saling berinteraksi didalamnya. Keterbatasan sumberdaya alam membuat kemampuan mencukupi sendiri (self sufficiency) sangat sulit dicapai. Oleh karena itu, secara ekologis maupun ekonomis, pilihan-pilihan pola pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkesinambungan (sustainable development) di pulau-pulau kecil lebih sulit, tetapi bukan tidak mungkin prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan tersebut dapat diterapkan.

Dahuri (2003b) menyebutkan bahwa sustainable development dapat diartikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi ekonomi, ekologi dan sosial. Suatu kawasan pembangunan, secara ekonomis dianggap


(23)

berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa

(good and services) secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali dan menghindari ketidaksinambungan antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder dan tersier. Suatu kawasan pembangunan dikatakan secara ekologis berkelanjutan (an ecologically sustainable area/ecosystem) manakala basis (ketersediaan stok) sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi dan carrying capacity

lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai.

Sepaham dengan pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan pesisir secara terpadu/Integrated Coastal Management (ICM). Berbeda dengan konsep sustainable development yang lebih mengedepankan keterpaduan antara dimensi ekonomi, ekologi dan sosial; dalam pengembangan konsep ICM lebih menekankan pada beberapa keterpaduan, diantaranya adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan pemerintahan, keterpaduan keruangan, keterpaduan disiplin ilmu serta keterpaduan internasional yang tujuan akhirnya adalah pembangunan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan.

Berkaitan dengan pengembangan konsep sustainable development dan konsep ICM, dapat ditarik benang merah keterkaitan antar keduanya. Oleh karena itu, dalam pengembangan satu kawasan sangat penting untuk mengaitkan kedua konsep tersebut sehingga dicapai suatu pengembangan atau pembangunan seperti yang diinginkan.

Penelitian ini mengambil lokasi di Pulau Batam, dalam upaya untuk mengembangkan konsep-konsep sustainable development dan ICM. Dengan luas 415 km2, Pulau Batam adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi. Data pada bulan Desember 1998 tercatat bahwa Pulau Batam berhasil menarik investasi swasta sebesar US$ 5.166.313,559 dengan komposisi 47,61% di kegiatan industri, 22,08% di kegiatan perdagangan dan jasa, 15,86% di kegiatan pariwisata, 14,03% di kegiatan perumahan dan 0,62% di kegiatan pertanian. Laju


(24)

pertumbuhan ekonomi di Pulau Batam pun mencapai angka pertumbuhan tertinggi di Indonesia. Sebelum krisis moneter, selama periode 1993 -1996 pertumbuhan ekonomi mencapai 17,4% pertahun, bahkan pada saat krisis tahun 1997 pertumbuhan ekonomi masih positif sebesar 12,5%.

Gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif, khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai P. Batam. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan kegiatan industri khususnya sektor konstruksi dan galangan kapal yang terkonsentrasi di beberapa wilayah pesisir. Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa pada kenyataannya pembangunan yang ada dan terjadi pada saat ini sudah menyimpang atau tidak sesuai lagi dengan peruntukkan yang ditentukan dalam master plan. Perubahan lahan dari daerah hijau menjadi industri dan peruntukkan lainnya terutama untuk industri mengakibatkan timbulnya dampak-dampak negatif seperti peningkatan jumlah limbah akibat kegiatan industri yang muncul serta kecenderungan terjadinya peningkatan erosi dan sedimentasi yang dikhawatirkan akan berdampak lebih lanjut pada ekosistem pesisir dan laut di P. Batam.

Penelitian yang berjudul “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Batam” ini bertujuan untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap pemanfaatan lahan di Pulau Batam sehingga dihasilkan sistem pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah utama sustainable development yaitu keberlanjutan dari segi ekonomi, ekologi dan keberlanjutan dari segi sosial serta penerapan konsep ICM. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat menjadi model pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya dan penerapan ICM pada khususnya terutama untuk pengembangan dan pembangunan pulau-pulau kecil yang dapat direplikasikan untuk pembangunan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Orientasi pembangunan di Indonesia selama ini adalah orientasi pembangunan ke arah darat, yakni suatu orientasi yang memandang halaman depan rumah adalah daratan. Berbeda dengan orientasi pembangunan ke laut, yakni suatu orientasi yang memandang wilayah laut sebagai halaman depan rumah. Wilayah pesisir dan laut adalah wilayah yang selama ini lebih dianggap sebagai tempat buangan limbah karena merupakan halaman belakang rumah,


(25)

dibanding sebagai tempat yang indah dan perlu mendapatkan perhatian karena merupakan halaman depan rumah. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang wilayah lautnya mencapai 2/3 dibandingkan wilayah daratan, sehingga kerusakan di wilayah pesisir dan laut akibat kegiatan di daratan akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang ada.

Seiring dengan berkembangnya konsep sustainable development dan ICM untuk perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir, maka dikembangkanlah konsep penataan ruang wilayah pesisir dan laut sehingga wilayah tersebut dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Terkait dengan pendalaman konsep tersebut, maka titik berat pada penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini, selain kajian rencana tata ruang yang telah ada dibandingkan dengan implementasinya di lapangan untuk mengetahui berbagai kesesuaian atau penyimpangan alokasi penggunaan lahan yang telah dilakukan sehingga dampak ekologi, ekonomi dan sosial dapat diprediksi dengan baik, juga untuk melakukan langkah antisipasi pengelolaan ke depan sehingga Pulau Batam dapat dikelola sesuai dengan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainable development) dan penerapan konsep ICM yang baik.

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa dalam master plan Pulau Batam, pulau ini diperuntukan sebagai daerah industri, perdagangan dan jasa. Hingga tahun 1998, wilayah P. Batam sangat diminati dan telah dikuasai oleh investor-investor yang bergerak dibidang industri - industri elektronik, perkapalan, jasa dan pariwisata. Beberapa kegiatan tersebut telah melakukan pembangunan, pembukaan lahan dan pengurukan ke laut (reklamasi).

Pembukaan lahan pada areal yang cukup luas dan ditambah dengan operasionalisasi berbagai jenis industri telah mengakibatkan timbulnya pencemaran lingkungan terutama air laut. Aliran air permukaan pada saat hujan menggerus tanah-tanah yang terbuka dan membawa partikel-partikelnya. Partikel-partikel tanah tersebut mengakibatkan timbulnya sedimen disepanjang pantai dan kekeruhan air laut, dan secara fisik terlihat bahwa kekeruhan air laut diperairan sekitar Pulau Batam lebih tinggi dibandingkan dengan perairan sekitar pulau Rempang dan Galang. Disamping itu, sumber pencemaran lainnya adalah limbah yang dihasilkan dari industri baik berbentuk padat atau cair, khususnya


(26)

minyak dan metal (logam) yang masuk dan terbawa keberbagai tempat karena pergerakan air laut.

PRC (1996) menyatakan bahwa perairan pantai di sekeliling P. Batam telah tercemar akibat masuknya air buangan yang tidak diolah, kegiatan perkapalan lepas pantai dan juga kemungkinan polutan kimiawi dari pembuangan industri masuk ke dalam lingkungan laut. Polusi minyak teralokasi di luar Bendungan Duriangkang dan di Water Front City.

Pemanfaatan ruang di P. Batam, walaupun memperlihatkan nilai positif dari sudut pendapatan dan pertumbuhan ekonominya, ternyata masih kurang peduli dalam penanganan lingkungan, terbukti dari dampak-dampak yang ditimbulkan seperti telah dijelaskan di atas. Beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya dampak negatif :

1. Hampir semua lahan teralokasi/ diserahkan kepada investor.

2. Seluruh muka lahan dibuka dan dimanfaatkan seluas-luasnya.

3. Tidak tersedia lahan konservasi/daerah-daerah yang harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

4. Pembukaan lahan (cut and fill) kurang memperhatikan muka lahan yang ada.

5. Penimbunan ke laut dilakukan dengan konvensional, dimana tanah diambil dari lokasi yang terdekat tanpa memperhatikan pengamanan dan dampak yang ditimbulkan.

6. Penyediaan lahan untuk hijau lingkungan kurang diperhatikan dan lahan hanya digunakan untuk pembangunan dan infrastruktur.

7. Kondisi alam asli yang harus dipertahankan di luar kavling turut dirusak.

8. Tidak ada koordinasi atau kerjasama yang positif antar pemilik lahan.

9. Belum tersedia sarana umum pengolahan limbah buangan dari seluruh aktivitas yang ada.

10. Belum dilaksanakan cara-cara yang berwawasan lingkungan dalam melakukan penimbunan dan pencegahan erosi.


(27)

Permasalahan lain yang dihadapi wilayah pesisir P. Batam adalah meningkatnya jumlah pendatang dari luar pulau untuk mencari nafkah. Kedatangan arus dari luar sangat besar dan sebagian besar tidak mempunyai kemampuan/keahlian, sehingga tidak mendapatkan pekerjaan formal ataupun rumah tinggal yang memadai. Akibatnya mereka mencari pekerjaan yang non formal, dan merambah lahan-lahan kosong yang sebagian besar adalah hutan lindung atau ruang terbuka hijau (RTH) kota yang tidak boleh dibangun untuk tempat tinggal. Permasalahan ini semakin tahun semakin besar dan ini terjadi di seluruh wilayah P. Batam. Dampak yang ditimbulkan adalah rusaknya keseimbangan lingkungan, cadangan air waduk terganggu, munculnya lahan kritis dan tanah longsor.

Perbaikan masih sangat memungkinkan, tetapi yang paling penting adalah memanfaatkan kawasan P. Batam secara optimal, yang berarti meninjau kembali rencana tata ruang yang ada dan memperhitungkan keuntungan dan kerugian dari pembangunan yang telah dilaksanakan. Pada dasarnya setiap peruntukan lahan di kawasan P. Batam mempunyai nilai ekonomi yang berbeda-beda. Setiap meter persegi lahan dapat berarti investasi yang dapat memacu pertumbuhan dan pendapatan untuk lokasi tersebut. Disisi lain peruntukan dapat juga berarti biaya yang harus ditanggung atau dikeluarkan, seperti biaya untuk penyiapan infrastruktur, atau kerugian yang harus ditanggung karena kurangnya sumberdaya, ataupun dampak yang ditimbulkan karena rusaknya lahan tersebut.

Dari berbagai kondisi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

(1) Bagaimana alokasi lahannya dan sejauh mana terjadi penyimpangan pengalokasian lahan terhadap master plan?

(2) Bagaimana manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari setiap pengalokasian lahan, terutama pengalokasian lahan untuk kegiatan industri, pariwisata, jasa, perumahan dan pertanian?

(3) Bagaimana mendapatkan nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dari pemanfaatan lahan di P. Batam?

1.3 Tujuan Penelitian

(1) Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap


(28)

master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned)

untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

(2) Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam penyempurnaan pembangunan Pulau Batam dan pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia.

(3) Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi :

(1) Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini akan menjadi bahan acuan bagi para pembuat kebijakan dan bahan masukan dalam mengoptimalkan potensi ekonomi P. Batam.

(2) Bagi masyarakat dan investor, hasil penelitian ini akan sangat berguna untuk menjadi bahan pertimbangan bagi investor dan juga merupakan sumbangan pengetahuan bagi masyarakat.

(3) Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan dalam pemahaman proses respon dari suatu skenario sistem pengembangan kawasan pertumbuhan di wilayah pesisir pada umumnya dan pulau kecil pada khususnya.

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Pemanfaatan lahan yang tidak terencana dengan baik dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem alam dan sosial.

(2) Lahan dalam kondisi asli maupun yang telah diolah mempunyai nilai yang besarnya tergantung dari cara menghargai dan memanfaatkan lahan tersebut.


(29)

(3) Pemanfaatan lahan akan optimal apabila dapat menarik investasi positif maksimal dan menghasilkan dampak negatif yang minimal.

1.6 Kerangka Pendekatan Penelitian

Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)

harusnya menjadi ruh di setiap pembangunan yang dilakukan baik di wilayah darat, laut, pesisir maupun pulau-pulau kecil dalam rangka menjamin keberlanjutan dari sisi ekologi, ekonomi maupun dari sisi sosial. Namun, pada kenyataanya meskipun konsep tersebut sudah diadopsi, tetapi sering terjadi penyimpangan pada pelaksanaan di lapangan.

Dengan konsep utama pembangunan P. Batam, perbandingan lahan terbangun dan tidak terbangun adalah berbanding 40 : 60, dan dengan peruntukkan daerah terbangun menjadi 5 (lima) peruntukan utama, yaitu Peruntukan Jasa / Pertokoan, Peruntukan Perumahan, Peruntukan Industri, Peruntukan Perkebunan / Pertanian dan Pariwisata, seharusnya sudah mencukupi kaidah pembangunan yang berkelanjutan seperti yang diinginkan. Kenyataanya, hingga tahun 1998 sudah banyak bangunan yang berdiri pada lahan yang seharusnya tidak terbangun sehingga mengurangi proporsi lahan yang tidak terbangun yang seharusnya dijadikan areal konservasi sumberdaya tanah dan air. Dengan demikian harus ada evaluasi yang menyeluruh sehingga dapat dihasilkan penyempurnaan dari master plan yang sudah ada.

Ada 5 (lima) faktor penting yang perlu dilakukan evaluasi, masing-masing yaitu :

(1) Faktor kebijakan : bagaimana kebijakan yang berlaku terutama kebijakan pengaturan ruang yang sudah tertuang dalam RTRW, RUTR, Master Plan, Detail Plan maupun produk tata ruang lainnya sehingga bisa diketahui penyimpangannya dan dicarikan solusinya untuk mengurangi/mencegah dampak negatif yang mungkin timbul.

(2) Faktor lahan : bagaimana pemanfaatan lahan yang sudah ada saat ini, baik sesuai dengan master plan maupun yang tidak sesuai master plan sehingga bisa dilakukan optimalisasi pemanfaatan lahan.

(3) Faktor lingkungan : bagaimana menerapkan standar lingkungan yang sesuai dengan acuan yang berlaku seperti standar luas daerah


(30)

konservasi (daerah hijau), standar limbah, buangan, B3 dan sebagainya. Faktor lingkungan ini terkait dengan kondisi ekologi dan sosial masyarakatnya, terutama penghargaan terhadap lingkungan (environmental awareness).

(4) Faktor ekonomi dan investasi : bagaimana mengoptimalkan lahan yang ada, yang dari sisi ekonomi dan investasi mampu menghasilkan investasi positif yang maksimal, sementara dari sisi dampak negatif hanya menimbulkan dampak yang minimal.

(5) Faktor implementasi : akar permasalahan (root causes) penyimpangan dalam implementasi setiap master plan P. Batam dikaji dalam penelitian ini. Dengan demikian hasil (output) Disertasi Doktor ini tidak hanya model (kebijakan) pemanfaatan lahan P. Batam secara optimal dan berkelanjutan, tetapi juga rekomendasi konkrit (operasional) implementasi dari model termaksud, agar pengalaman berupa penyimpangan terhadap master plan P. Batam tidak terulang di masa mendatang.

Dari rangkaian evaluasi kelima faktor tersebut diharapkan mampu dihasilkan rekomendasi pemanfaatan lahan, model lahan dan investasi yang menguntungkan dari sisi ekonomi dan tidak merugikan dari sisi lingkungan serta prediksi yang optimal ke depan. Gambar 1, memperlihatkan Kerangka Pendekatan Penelitian.


(31)

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian

VISI PRESIDEN UNT. MENGELOLA SELAT MALAKA RENCANA PENGEMBANGAN PULAU BATAM PENCETUSAN IDE DALAM MASTERPLAN P. BATAM

PELAKSANAAN DI LAPANGAN

PENYIMPANGAN DARI RENCANA EVALUASI & PENYEMPURNAAN MASTER PLAN

PERMASALAHAN & PENYIMPANGAN KEMBALI

KEBIJAKAN PERSAMAAN DENGAN WILAYAH LAIN PERMINTAAN PASAR AKAN LAHAN SANGAT TINGGI BURUH (MIGRASI) SPEKULASI / LAN

KURANG PEDULI LINGKUNGAN PERENCANAAN PELAKSANAAN PENGAWASAN EKONOMI BIAYA MURAH PROFIT MAKSIMAL MUDAH DIJANGKAU

E V A L U A S I

PERLU KEBIJAKAN

BARU YG MENGIMBANGI

REKOMENDASI PEMANFAATAN LAHAN MODEL LAHAN & INVESTASI PREDIKSI OPTIMAL KE DEPAN

OPTIMALISASI LAHAN KONTROL PENDUDUK SEGERA DIBANGUN PENERAPAN STANDAR LINGKUNGAN (HIJAU, STAND.LIM. BUANGAN, B3)

-SEWA LHN. YG KOMPETITIF -BURUH BERKUALITAS -SARPRAS MEMADAI -INSENTIF PEMODELAN SISTEM PEMANFAATAN LAHAN dan INVESTASI ANALISIS SPASIAL (GIS) ANALISIS BEBAN LIMBAH


(32)

2.1 Paradigma Pembangunan Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil Berkelanjutan

2.1.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Integrated Coastal Zone Planning and Management (ICZPM)

Menurut Clark (1992), kawasan pesisir merupakan kawasan peralihan antara ekosistem laut dan daratan yang saling berinteraksi. Oleh karena itu setiap aspek pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu, baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu berhubungan dengan air. Hubungan tersebut terjadi melalui pergerakan air sungai, aliran air limpasan ( run-off), aliran air tanah (ground water), air tawar beserta segenap isinya (seperti unsur nutrien, bahan pencemar dan sedimen) yang berasal dari ekosistem daratan dan akhirnya akan bermuara di perairan pesisir. Unsur dan senyawa kimiawi, termasuk bahan pencemar, juga dapat diangkut dari ekosistem daratan atau udara dan ditumpahkan ke ekosistem pesisir melalui air hujan. Pola sedimentasi dan abrasi pantai juga ditentukan oleh pergerakan massa air berupa arus, pasang surut, dan gelombang. Pergerakan massa air juga mempengaruhi gerakan atau perpindahan biota perairan (plankton, ikan dan udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Sebagai pertemuan dua ekosistem yang berbeda, maka kawasan pesisir dicirikan oleh adanya :

a. Keunikan dan keanekaragaman sumberdaya alam serta keterkaitan ekologis antara ekosistem darat dan laut.

b. Berbagai macam sumberdaya (multiple resources) yang merupakan milik bersama (common property resources). Berbeda dengan sumberdaya darat, sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari berbagai jenis ekosistem (sistem bakau, lahan basah, sistem pasang surut lainnya, sistem padang lamun, sistem terumbu karang dan sistem pantai berpasir). Oleh karena itu diperlukan bentuk pengelolaan yang berbeda-beda.

Dari kedua hal tersebut di atas dapat dikatakan wilayah pesisir merupakan wilayah yang kompleks, baik kompleks akan stakeholder (pemangku kepentingan) maupun kompleks akan sumberdaya dan permasalahannya.


(33)

Dengan demikian maka perlu dilakukan pengelolaan yang terpadu (Integrated management), yang bila dilakukan di wilayah pesisir dapat dikatakan sebagai

Integrated Coastal Management (ICM). Istilah ini pun sangat beragam, sehingga banyak sekali istilah yang berkaitan dengan ICM, seperti ICZM (Integrated Coastal Zone Management), ICAM ((Integrated Coastal Area Management) dan ICZPM (Integrated Coastal Zone Planning and Management) seperti yang diperkenalkan oleh Dahuri et al. (1996). Sedangkan menurut Cicin Sain dan Knecht (1998), keterpaduan di dalam management wilayah pesisir ini mencakup lima aspek atau dimensi, yaitu :

(1) Keterpaduan antar sektoral (Intersectoral integration).

Keterpaduan yang dimaksud disini adalah keterpaduan antar berbagai sektor yang terkait, baik dalam menangani wilayah pesisir dan lautan, maupun keterpaduan antar sektor yang bekerja di wilayah pesisir dengan yang bekerja di lahan atas (land based sectors), tetapi berpengaruh terhadap wilayah lingkungan pesisir.

(2) Keterpaduan antar pemerintahan (Intergovernmental Integration). Keterpaduan yang dimaksudkan disini adalah keterpaduan secara vertikal antara pemerintah pusat (nasional) dan pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten (lokal), serta keterpaduan horizontal antara propinsi dan kabupaten. Berbagai tingkatan ini memainkan peran yang berbeda, memenuhi kebutuhan masyarakat yang berbeda, dan mempunyai perspektif yang berbeda pula. Berbagai perbedaan ini harus dapat diselaraskan sehingga tercipta keharmonisan didalam kebijakan dari pusat hingga daerah.

(3) Keterpaduan Spasial (Spatial Integration).

Keterpaduan disini dimaksudkan adalah keterpaduan antara wilayah pesisir, wilayah lautan, dan wilayah daratan, seperti telah disinggung diatas bahwa wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh beberapa kegiatan di daratan maupun di lautan.

(4) Keterpaduan disiplin ilmu (Science Management Integration).

Keterpaduan yang dituntut disini, adalah keterpaduan antar disiplin ilmu yang berbeda yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan bidang yang


(34)

bersifat multi disiplin, sehingga harus ada prinsip yang sama terhadap tujuan dan strategi pengelolaan yang hendak dijalankan.

(5) Keterpaduan Internasional (International Integration).

Setiap negara hampir selalu berbatasan dengan negara lain, sedangkan di sisi lain beberapa sumberdaya lautan seperti ikan bersifat mobile (bergerak) dan tidak mengenal batas negara. Oleh karena itu walaupun pengelolaan wilayah pesisir pada prinsipnya hanya diterapkan di wilayah hukum yang menjadi kekuasaannya, setiap negara harus bekerja sama dengan negara lain untuk dapat melindungi dan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan.

2.1.2 Pembangunan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah menjadi tema sentral pada kebijakan dan perencanaan pembangunan diberbagai pemerintahan di seluruh dunia, baik dalam tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan pengelolaan (Kay dan Alder, 1999). Perencanaan wilayah merupakan salah satu alat perencanaan pembangunan ataupun komponen pada proses pencapaian tujuan pembangunan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, salah satu strategi pembangunan dilaksanakan melalui perencanaan wilayah yang mempertimbangkan aspek lingkungan yang disebut sebagai perencanaan wilayah berkelanjutan. Perencanaan wilayah tersebut merupakan sarana keterpaduan pendayagunaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan (Sugandhy, 1999).

Selanjutnya Lang (1986) menyebutkan bahwa untuk memperoleh suatu perencanaan wilayah berkelanjutan, penting untuk memahami karakteristik atau kaidah-kaidah lingkungan, yaitu :

Biosphere/ecosystem perspective: manusia merupakan bagian dari lingkungan (ekosistem) tempat dia hidup, termasuk tentang adanya interaksi kegiatan manusia dan lingkungan serta dampaknya dalam suatu ekosistem.

Systemic: setiap permasalahan lingkungan harus mempertimbangkan keseluruhan sistem yang berpengaruh. Untuk itu memahami adanya saling


(35)

keterkaitan, interaksi antar subsistem maupun terhadap sistem yang luas, serta pemahaman hubungan dan ketergantungan antar sistem.

Site specific: pemahaman terhadap keunikan setiap komponen lingkungan. Jika dihubungkan dengan keterkaitan, maka penting untuk menghubungkan suatu perubahan lingkungan terhadap konteks yang lebih luas.

Time–conscious: memperhatikan perubahan lingkungan berdasarkan berbagai siklus waktu, jangka panjang atau pendek dan masa lampau atau masa depan.

Impact-oriented: mengacu pada akibat aktivitas manusia dan berupaya untuk mengungkapkan bagaimana dampak tersebut didistribusikan (siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan).

Fundamentally preventive: prioritas strategis perencanaan lingkungan adalah aspek konservasi, yang berorientasi pada upaya pengurangan permintaan terhadap barang dan jasa yang pengadaannya dapat menciptakan permasalahan lingkungan dan usaha untuk meminimisasi dampak yang merugikan.

Dengan demikian, dalam suatu kegiatan perencanaan wilayah yang berkelanjutan, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Yeang, 1995 dalam Dahuri, 2003b):

(1) Pemahaman terhadap prinsip-prinsip lingkungan yang berlaku, yaitu:

− Setiap ekosistem terdiri atas komponen biotik (organik) dan abiotik (inorganik) yang berinteraksi dan memiliki peran dan fungsinya masing-masing, dan akan berinteraksi dan merespons terhadap investasi manusia.

− Setiap ekosistem akan berhubungan dengan ekosistem lainnya.

− Setiap lingkungan buatan (man-made environment) merupakan bagian dari suatu ekosistem dimana lingkungan buatan tersebut berada.

(2) Setiap ekosistem mempunyai karakteristik masing-masing yang unik, terdiri atas struktur fisik, komposisi organisme, dan komponen an-organik yang saling berinteraksi (ecological characterization). Untuk itu perlu diperhitungkan dengan cermat nilai setiap ekosistem dan secara


(36)

proporsional dipilih untuk kepentingan preservasi, dan konservasi dan pemanfaatan optimal.

(3) Interaksi antar ekosistem merupakan proses dinamik dan berubah terhadap waktu, sehingga perlu adanya kegiatan pemantauan yang kontinyu mengiringi kegiatan perencanaan. Dengan demikian, suatu produk rencana harus bersifat fleksibel yang disesuaikan dengan dinamika yang terjadi (responsive and anticipatory planning strategi)

(4) Karena adanya interaksi antar ekosistem, maka pendekatan perecanaan harus total (total system) atau holistik, sehingga pendekatan yang terlalu menyederhanakan atau bersifat incremental kuranglah tepat. Oleh karena itu perlu adanya koordinasi dengan disiplin ilmu lain.

(5) Setiap ekosistem mempunyai kemampuan pemulihan (kapasitas asimilasi), jika terjadi suatu ‘gangguan’ atasnya dan kemampuan tersebut (external ecological dependencies). Suatu pembangunan berkelanjutan dapat terwujud jika laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan pulih suatu ekosistem dan resultante dampak negatif yang ditimbulkan tidak melampaui kapasitas asimilasi lingkungan.

(6) Suatu ekosistem mempunyai beberapa fungsi-fungsi utama yang harus dijaga, agar pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam tetap dapat berkelanjutan yaitu:

- Life support System: Termasuk dalam life support system adalah udara bersih, air dan lahan untuk industri, pertanian, jasa dan sebagainya.

- Amenity services: Lingkungan yang menyenangkan, menarik dan terbaharukan.

- Material Input: Contohnya Makanan (sayur, buah, ikan), minyak, gas, kayu dan sebagainya yang tetap dapat disupply oleh alam.

- Waste receptor Services: Kemampuan sumberdaya alam untuk menyerap dan menguraikan limbah.

Berkaitan dengan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, Dahuri (2003b) menyatakan bahwa bahwa strategi pembangunan dilaksanakan melalui perencanaan wilayah yang mempertimbangkan aspek


(37)

lingkungan yang disebut sebagai perencanaan wilayah berkelanjutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka perencanaan pengelolaan wilayah pesisir hendaknya meliputi hal-hal sebagai berikut :

(1) Penetapan batas wilayah pulau dan pesisir sebagai suatu satuan pengelolaan.

Satuan pengelolaan ini merupakan suatu unit pengelolaan terintegrasi untuk wilayah pesisir termasuk kawasan hulu hingga kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada pada wilayah tersebut. Tujuannya adalah agar pengelolaan sumberdaya alam yang ada yaitu hutan, tanah, air dan sebagainya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

(2) Inventarisasi dan pemetaan mengenai :

- Karakteristik biofisik potensi pembangunan (sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan).

- Karakteristik dan dinamika sosiokultural masyarakat.

- Aspek kelembagaan.

(3) Penyusunan Peta Tata Ruang: Berdasarkan data-data pada butir 2, dan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan disusun peta tata ruang yang terdiri dari: (a) Kawasan preservasi; (b) Kawasan konservasi; dan (c) Kawasan pembangunan.

(4) Penentuan jenis kegiatan pembangunan: Di dalam Kawasan Pembangunan ini diatur penempatan atau Tata Ruang untuk berbagai macam kegiatan atau Sektor Pembangunan secara sinergis dan saling menguatkan, yaitu antara lain adalah Perikanan, Kehutanan, Pariwisata, Perhubungan, Industri Maritim, dan lain-lain.

(5) Menyusun rencana investasi dan pembangunan berdasar peta tata ruang, meliputi penentuan jenis kegiatan pembangunan beserta tingkat intensitasnya untuk lima tahun sampai dengan 25 tahun ke depan.

Banyaknya macam sektor pembangunan yang ada membutuhkan prioritas pembangunan secara sinergis dan sesuai dengan dimensi waktu. Sektor-sektor pembangunan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, sedangkan Rencana Pembangunan terdiri dari dua alternatif.

(6) Menyusun Pedoman pengelolaan pencemaran dan pemeliharaan kualitas perairan laut.


(38)

(7) Menyusun Pedoman konservasi habitat pesisir yang vital seperti mangrove, terumbu karang dan sebagainya.

(8) Deskripsi tentang struktur dan mekanisme organisasi.

Untuk jelasnya lihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. di bawah ini.

Tabel 1. Kelompok Sektor-sektor Pembangunan

Sektor Pemukiman Sektor Prasarana Wilayah SEKTOR PRASARANA KERAS

(Hard infra structure sector)

Sektor Perhubungan Sektor Pendidikan Sektor Kesehatan Sektor Ketenaga Kerjaan Sektor Agama Sektor Hukum SEKTOR

PRASARANA

SEKTOR PRASARANA LUNAK (Soft infra structure sector)

Sektor Kelembagaan dll. Sektor Pertanian

Sektor Kehutanan Sektor Perikanan Sektor Pariwisata Pertambangan dan Energi SEKTOR

PEMBANGUNAN

SEKTOR PRODUKTIF

Industri

Sumber : Dahuri (2003a).

Tabel 2. Alternatif Rencana Pembangunan

Perencanaan Strategi Prioritas Pembangunan

Strategi pembangunan seimbang

Berbagai jenis sektor dibangun secara bersamaan sekaligus RENCANA

PEMBANGUNAN Strategi

pembangunan tidak seimbang

Hanya 1 atau 2 sektor yang mendapatkan prioritas pembangunan

Sumber : Dahuri (2003a).

Untuk menjadikan pengelolaan kawasan pesisir agar tetap berkelanjutan, diperlukan suatu rencana spasial yang matang. Sekali tata ruang ditetapkan rencana akan berjalan dengan dampak positif dan negatifnya. Kawasan pesisir mempunyai berbagai macam sumberdaya, dapat dipastikan akan melibatkan berbagai kegiatan yang akan memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.

Dahuri (2003a), menyatakan bahwa pembangunan bidang kelautan Indonesia tidak mungkin dilaksanakan secara seragam untuk setiap wilayah laut dan pulau. Dibutuhkan semacam zonasi (perwilayahan) pembangunan yang


(39)

disusun berdasarkan kondisi fisik alam, potensi pembangunan sumberdaya alam, jasa lingkungan yang tersedia dan kondisi sosial budaya masyarakatnya.

(1) Perwilayahan (zonation)

Persyaratan perencanaan spasial pada daerah pesisir (spatial planning of the coastal zone) untuk mencapai sustainable dan efficient development, adalah adanya 3 macam zoning utama (Dahuri, 2003a), yakni :

• Zoning Pembangunan atau Development/Utilization zone. Zoning pembangunan ini merupakan zona pemanfaatan serbaneka (multiple development zone), yang karena karakter biofisiknya dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Zoning Pembangunan adalah spatial unit/kawasan pada daerah pantai untuk kegiatan yang berpotensi membahayakan lingkungan.

• Zoning Konservasi. Zoning Konservasi adalah spatial unit/area pada daerah pantai untuk kegiatan yang berpotensi untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam terbaharukan. Zona Konservasi merupakan wilayah dimana diperbolehkan berlangsung kegiatan pembangunan, tetapi dengan laju atau pada tingkat yang sangat terbatas.

• Zoning Preservasi. Zoning Preservasi adalah spatial unit/area pada daerah pantai yang membutuhkan perlindungan khusus. Zona Preservasi merupakan lokasi dalam Wilayah Pesisir dan Lautan yang mengandung sumberdaya alam (flora, fauna dan mikroba).

(2) Komposisi Zoning

Komposisi ideal untuk Zoning Pembangunan, Zoning Preservasi, Zoning Konservasi menurut Odum (1976); Clark (1992) dan Dahuri (2002), dalam suatu Wilayah Pesisir dan Lautan dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini:

Tabel 3. Komposisi Zoning yang Ideal

No Jenis Zoning Prosentase Luas Zoning Terhadap Luas

Lahan

1 Zoning Pembangunan 60 %

2 Zoning Konservasi 20 %

3 Zoning Preservasi 20 %


(40)

(3) Spatial Harmony

Menurut Dahuri (2003a), Tata ruang suatu wilayah harus mempunyai Spatial Harmoni atau keharmonisan ruang, yaitu antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan yang dituangkan dalam peta tata ruang.

2.1.3 Pulau Batam Sebagai Pulau Kecil

Dengan luas 415 km2, Pulau Batam dapat digolongkan sebagai pulau kecil bila mengacu pada SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000. Sesuai dengan acuan tersebut, yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai area kurang dari atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang (DKP, 2001).

Batasan lain mengenai pulau kecil sangat beragam, antara lain dikatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2 (CSC, 1984); pulau dengan ukuran kurang dari 10.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km serta mempunyai keterbatasan air tawar (Diaz dan Huertas, 1986); serta pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (UNESCO, 1991). Namun demikian, karena banyak pulau yang berukuran antara 1.000 – 2.000 km2 ternyata memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1.000 km2, maka terminologi pulau kecil yang lebih tepat dan sesuai dengan hasil keputusan UNESCO (2001) menurut Bengen dan Retraubun (2006) adalah pulau yang berukuran kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain. Keterisolasian suatu pulau akan menambah keaneka ragaman hayati yang hidup di pulau tersebut, juga dapat membentuk kehidupan yang unik. Selain itu pulau kecil pada umumnya mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi dibandingkan dengan pulau kontinen, dan juga mempunyai daerah tangkapan air (catchment area) yang relatif kecil, sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Ditinjau dari segi budaya masyarakat, pada umumnya penduduk di pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan budaya masyarakat di kontinen dan daratan. Perpindahan penduduk dan masuknya teknologi ke pulau kecil, sedikit atau banyak akan mempengaruhi kebudayaan mereka. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh pulau kecil seperti kecilnya areal daratan, sumberdaya alam dan sumberdaya


(41)

manusia yang terampil, menyebabkan sulitnya pulau kecil untuk tumbuh cepat dan mandiri. Beberapa kendala yang dihadapi pulau-pulau kecil dalam mengembangkan daerahnya, menurut Bengen dan Retraubun (2006) antara lain:

(1) Ukurannya yang kecil dan isolasi keterasingan menyebabkan penyediaan sarana dan prasarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah merupakan suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuninya terdapat di pulau tersebut. Akan tetapi, petambahan jumlah penduduk yang besar, baik akibat kelahiran dan perpindahan penduduk mengakibatkan jumlah barang yang di produksikan dan dikonsumsi akan meningkat semakin besar pula. Dalam kasus seperti ini, maka akan dibutuhkan pasar yang lebih besar untuk menjual barang yang diproduksikan dan juga membeli kebutuhan lainnya untuk dikonsumsi, dan pada umumnya terletak cukup jauh dari pulau.

(2) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economic scale) yang optimal dan menguntungkan dalam administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan dihampir seluruh pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield, 1990; Hein, 1990).

(3) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti air bersih, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir (coastal ecosystem), dan satwa liar, pada akhirnya menurunkan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan.

(4) Produktifitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di semua unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau seperti terumbu karang dan perairan pesisir, saling terkait satu sama lain secara erat (Mc. Elroy et al, 1990). Sebagai contoh dalam kasus ini adalah yang terjadi di Pulau Palawan, Philipina, dan beberapa pulau di Karibia Timur, dimana penebangan hutan di lahan darat yang dilakukan secara tidak terkendali, telah meningkatkan laju erosi dan sedimentasi di perairan pesisir. Hal ini mengakibatkan rusaknya/matinya ekosistem terumbu karang, dan pada akhirnya


(42)

menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari (Hodgson dan Dixon, 1988; Lugo, 1990).

(5) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan asing diangap tidak sesuai dengan adat atau agama setempat (Francillon, 1990).

Di negara-negara maju seperti Jepang misalnya, beberapa buah pulau dibuat khusus dan jumlah pulau buatan ini akan terus meningkat dengan kecepatan relatif tinggi. Di Teluk Tokyo dan Teluk Osaka, sebagai contoh, selain daratan diperluas lewat reklamasi juga banyak pulau dibentuk seperti pembuatan pulau baru untuk lapangan udara di Osaka. Di Indonesia, hal yang sebaliknya terjadi dimana di kepulauan Seribu dilaporkan banyak pulau yang hilang. Bahkan sebagian pulau di Kep. Riau dikeruk untuk mendukung kebutuhan tanah uruk negara lain (Singapore dan Malaysia). Beberapa pulau bahkan sudah dikuasai atau dimanfaatkan secara sepenuhnya atau sebagian oleh pribadi, organisasi, atau sekelompok masyarakat tertentu seperti P. Putri untuk pariwisata, P. Air untuk pemukiman pribadi, P. Nyamuk Besar dan P. Jong untuk perhubungan dan ada beberapa pulau yang telah dirobah sedemikian rupa dengan pengerukan (P. Air) atau penggalian (P. Kelapa) dan pengurugan (P. Kaliangen). Diperkirakan dengan adanya kegiatan tersebut akan timbul dampak negatif terhadap biota baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap habitat. Apabila kerusakan lingkungan terus terjadi maka flora dan fauna pada pulau-pulau kecil akan terancam dan terus menurun yang selanjutnya akan mengurangi keanekaragaman hayati daerah tersebut. Bila ini terjadi maka pada suatu saat pulau-pulau ini tidak akan layak lagi untuk dihuni. Oleh karena itu harus ada suatu perencanaan yang baik untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan di pulau-pulau tersebut.

Melihat akan segala potensi, permasalahan dan kendala yang ada pada pulau-pulau kecil bukan berarti bahwa pulau-pulau kecil tersebut tidak dapat dibangun atau dikembangkan sama sekali, akan tetapi pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis khususnya adalah bahwa pembangunan tersebut secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung dari pulau-pulau tersebut sehingga dampak negatif (fisik dan non-fisik) dari kegiatan


(43)

pembangunan harus ditekan seminimal mungkin untuk tidak melebihi daya dukung pulau tersebut. Disamping itu juga pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang dimiliki pulau tersebut. Untuk itu sebelum suatu kegiatan dilakukan terhadap suatu pulau kecil tertentu maka terhadap pulau tersebut perlu dilakukan suatu studi yang komprehensif menyangkut pulau tersebut yang meliputi ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.

Dikarenakan karakterisitik pulau-pulau kecil yang unik dan pada umumnya mempunyai kerentanan (vulnerability) dan peka terhadap berbagai macam tekanan manusia (anthropogenic) maupun tekanan alam, maka dalam pemanfaatannya harus lebih hati-hati. Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar eksosietm pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu: (i) mintakat preservasi; (ii) mintakat konservasi; dan (iii) mintakat pemanfaatan. Untuk itu perlu dilakukan penataan ruang terhadap ekosistem pulau-pulau kecil tersebut. Mintakat (i) dan (ii) menurut UU N0. 24/1992 tentang penataan ruang disebut sebagai kawasan lindung sedangkan mintakat (iii) sebagai kawasan budidaya (Dahuri et al, 1995).

Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistim unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman, pelabuhan dan sebagainya.

Melihat akan penjelasan menyangkut pembagian zone-zona tersebut dan dikaitkan dengan karakterisitik biofisik pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan cermat. Untuk itu sebelum menempatkan kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai untuk pulau-pulau kecil maka perlu diidentifikasikan terlebih dulu kelayakan biofisik pulau tersebut sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap lokasi dari pulau kecil tersebut. Dengan demikian kita dapat membuat peta tata ruang tata guna lahan untuk wilayah pulau-pulau kecil.


(44)

Selanjutnya setelah kita berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut maka hal berikut yang harus kita buat adalah menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional (Dahuri et al , 1996; Dahuri, 1998).

2.1.4 Pembangunan Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang

Seperti halnya dalam konsep pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan erat kaitannya dengan kegiatan perencanaan tata ruang atau penataan ruang. Perencanaan tata ruang sendiri merupakan suatu mekanisme pengambilan keputusan tentang alokasi ruang dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu rangkaian kegiatan pembangunan berkelanjutan. Disiplin tata ruang dapat diartikan sebagai usaha optimasi pemanfaatan ruang wilayah dalam bentuk suatu penataan ruang wilayah.

Penataan ruang atau perencanaan tata ruang merupakan salah satu model dari kegiatan perencanaan (planning). Penataan ruang merupakan salah model perencanaan yaitu physical planning, karena memberi perhatian pada mencari solusi optimal untuk pola lokasi tempat tinggal, tempat usaha dan kegiatan-kegiatan manusia lainnya. Biasanya suatu produk tata ruang diperkuat kedudukannya melalui peraturan pemerintah dan dikendalikan oleh pemerintah setempat. Sebagai salah satu dari model perencanaan, maka dalam kegiatan-kegiatan analisis, proyeksi dan evaluasi harus berorientasi jangka panjang sebagai dasar dari pengambilan keputusan dan implementasinya. Sebagai alat pembangunan dan jika dikaitkan dengan paradigma baru pembangunan berkelanjutan, maka penataan ruang perlu menyesuaikan dengan paradigma baru tersebut. Untuk itu, perlu diperhatikan tiga tujuan fundamental kegiatan perencanaan yang disesuaikan dengan paradigma baru yang terlihat saling berkonflik tetapi sekaligus berpotensi untuk saling melengkapi kepentingan-kepentingan yang ada yaitu seperti terlihat pada Gambar 2.

Sesuai dangan peran yang diharapkan sebagai central player, maka dalam kegiatan penataan ruang berkelanjutan seorang perencana harus dapat menjadi


(45)

seorang pengarah yang netral (neutral moderator) sekaligus membantu masing-masing pihak yang berkonflik. Untuk itu, seorang perencana perlu mengembangkan keahliannya secara prosedur dan substantif. Hal tersebut dapat dicapai melalui pengintegrasian pendekataan aspek lingkungan dengan teori-teori sosial, serta mengkombinasikan keahlian substantifnya dengan teknik-teknik penyelesain konflik di masyarakat yang kesemuanya diarahkan untuk menghadapi ketidakadilan dalam aspek ekonomi dan lingkungan.

Gambar 2. Segitiga Tujuan dan Konflik Perencanaan (Campbell, 1996)

Segitiga Tujuan Perencanaan yang berkonflik dengan tiga konflik yang mungkin timbul diantaranya. Seorang perencana harus dapat berdiri pada pusat sebagai central player. Secara lebih rinci, upaya-upaya yang perlu dilakukan seorang perencana dalam menghubungkan penataan ruang wilayah berkelanjutan dapat diperoleh melalui cara-cara sebagai berikut (Campbell, 1996):

(1). Cara Substantif

− Melalui suatu desain tata ruang yang berwawasan lingkungan (land use dan design) yang merupakan potensi terbesar seorang perencana untuk dapat menyeimbangkan kepentingan ke tiga pihak. Dalam suatu

− Keadilan Sosial

− Kesempatan Ekonomi

− Kesetaraan Pendapat

− Pertumbuhan Ekonomi

− Efisiensi

Perlindungan Lingkungan

− Berwawasan Lingkungan

− Saling menguntungkan

− Adil

PERENCANA Konflik

SDA

Konflik Pembangunan Konflik


(46)

perencanaan tata ruang diharapkan dapat dicapai secara simultan integritas spasial dan teritorial untuk ketiga pihak.

− Mengubah wilayah perencanaan administratif menjadi wilayah perencanaan berdasarkan pada batas ekologis dari suatu wilayah fisik (physical region) yang terkenal sebagai bioregionalisasi (Campbell, 1996). Untuk itu perlu dilakukan pengaturan skala pembangunan baru untuk suatu masyarakat dan kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan pada batasan ekologis dari suatu fisik (regional scale). Keseluruhan upaya tersebut dilakukan dengan wawasan yang komprehensif bagi penggunaan lahan yang berkelanjutan (sustainable land-use).

− Meningkatkan kemampuan teknologi dalam upaya regenerasi sumberdaya maupun mengendalikan pencemaran, misalnya mencari bahan bakar alternatif ramah lingkungan, daur ulang, bahan baku ramah lingkungan, dan regulasi. Seorang perencana diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan antara bioregionalisme yang bersifat komprehensif dengan kepentingan jangka pendek (individual technology important).

(2). Cara Prosedural:

− Melakukan negosiasi konflik dengan pendekatan saling menguntungkan (win-win outcome), dicapai melalui keinginan berkompromi dan mencari keseimbangan penggunaan suatu wilayah untuk berbagai kepentingan.

− Menyelaraskan “bahasa” masing-masing pihak, dimana ahli ekonomi berfikir tentang insentif dan marginal rate; ahli lingkungan berfikir tentang daya dukung lingkungan dan keanekaragaman hayati, ahli sosial berfikir tentang hak-hak mempunyai tempat tinggal, pemberdayaan dan diskriminasi. Pada tahap ini, seorang perencana bertindak berbagai ‘translator’ dalam rangka membantu masing-masing pihak untuk saling membantu prioritas dan alasan-alasan yang diambil untuk dicari penyelesaian secara seimbang. Untuk itu, seorang perencana harus meningkatkan koleksi data yang disusun dalam suatu kerangka spasial.


(47)

− Mengembangkan mekanisme pasar yang dapat memenuhi prioritas ke tiga pihak, terutama bagi golongan miskin yang sangat perlu dibantu dalam rangka keadilan sosial (social equity).

Disadari bahwa masing-masing cara mempunyai kelemahan, maka seorang perencana dapat melakukan upaya-upaya yang menggabungkan beberapa cara sekaligus, misalnya visi substantif yang digabungkan dengan kemampuan bernegoisasi dengan pengembang (developer), land-use preservationist dan ahli yang melaksanakan kepentingan pemerataan sosial (social equity).

Selanjutnya dikatakan oleh Bengen dan Retraubun (2006) bahwa kesesuaian unit ruang bagi pemanfaatan ekosistem pulau kecil pada dasarnya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatan ditempatkan pada zona yang secara ekologis (biogeofisik-kimiawi) sesuai dengan kegiatan pemanfaatan dimaksud. Untuk ekosistem pesisir pulau-pulau kecil yang menerima dampak negatif (negative externalities) berupa bahan pencemar, sedimen atau perubahan regim hidrologi, baik melalui aliran sungai, limpasan air permukaan

(run off), atau aliran air tanah (ground water), hendaknya dampak yang diterima ditekan seminimal mungkin sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil masih dapat menenggang segenap dampak negatif yang timbul. Contohnya, jika suatu ekosistem pesisir sudah diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, marikultur atau kawasan konservasi, maka dampak negatif (pencemaran, sedimentasi, atau perubahan regim hidrologi) yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan di daratan hendaknya diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan.

Menurut Dahuri (1996) bahwa agar penyusunan perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut secara berkelanjutan, maka dari dimensi ekologis pembangunan tersebut harus memenuhi tiga persyaratan utama. Pertama, bahwa setiap kegiatan pembangunan hendaknya ditempatkan di lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan persyaratan biofisik dari kegiatan pembangunan tersebut. Kedua, bahwa laju pembuangan limbah ke dalam wilayah pesisir dan lautan hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi wilayah tersebut. Artinya perlu pengendalian pencemaran. Untuk ini diperlukan informasi tentang sumber dan kuantitas limbah dari setiap jenis limbah yang masuk ke dalam wilayah pesisir dan lautan, tingkat kualitas perairan pesisir dan lautan serta kapasitas asimilasi perairan tersebut. Ketiga, bahwa laju (tingkat)


(48)

pemanfaatan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan, khususnya yang dapat pulih, hendaknya tidak melampaui kemampuan pulih (potensi lestarinya) dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, perlu pemanfaatan sumberdaya secara optimal.

2.1.5 Industri yang Berada di Wilayah Pesisir

Setiap wilayah pesisir secara tradisional telah dimanfatkan untuk keperluan Pelabuhan, Perikanan dan Pariwisata. Industri yang berkembang biasanya menunjang kegiatan tersebut. Derasnya pasar atau permintaan mengakibatkan industri berkembang pesat dan bisa tidak terkendali. Bila ini berlangsung dan pembangunan industri berlebihan akan menurunkan dan merusak ekosistim Pesisir dan laut.

Dahuri (2003a), menyatakan bahwa sedikitnya terdapat 8 jenis Industri dan Jasa Kelautan Utama yaitu:

(1) Perikanan/Industri Aquakultur.

Industri perikanan memanfaatkan sumberdaya yang dapat pulih /

renewable resource, dan apabila dilihat dari habitat tempat produksi maka pengembangan industri perikanan terdiri dari:

Budidaya perikanan berbasis di darat (land based aquaculture). Contohnya adalah perikanan tangkap/tambak (tambak ikan bandeng, udang, kepiting, dsb).

Budidaya perikanan berbasis di laut (marine based aquaculture). Contohnya adalah budidaya perikanan pantai (coastal aquaculture)

dan budidaya laut (marin culture).

Apabila dibandingkan dengan kegiatan industri yang lain, misalkan industri, pertambangan, pariwisata dsb, maka umumnya industri budidaya perikananlah yang dikalahkan, hal ini lebih diperburuk lagi oleh karena pada umumnya belum ada tata ruang pada daerah pesisir dan laut, yang mengakomodir lahan industri budidaya pertanian sebagai suatu lahan khusus yang perlu mendapat perlindungan dari bahaya pencemaran yaitu antara lain dengan pengaturan penjarangan/spacing antara industri perikanan dengan Industri yang lain.


(1)

TJAHJO PRIONGGO. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA., Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin, DEA., dan Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc.

ABSTRAK

Pulau Batam dengan luas 415 km2, adalah salah satu pulau kecil yang dianggap telah berhasil dibangun baik secara fisik maupun ekonomi karena telah berhasil menghadirkan pertumbuhan ekonomi mencapai 12,57% pada tahun 1997, khususnya melalui investasi internasional. Padahal pertumbuhan ekonomi nasional pada kurun waktu yang sama hanya 4,65%. Dari gambaran yang menggembirakan tersebut, ternyata juga diikuti oleh dampak-dampak negatif khususnya dampak lingkungan yang muncul di wilayah pesisir pantai. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji kegiatan pembangunan di P. Batam yang difokuskan pada pemanfaatan lahan di P. Batam dan penyimpangannya terhadap master plan yang sudah ada sebagai bahan kajian (lesson learned) untuk pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan; (2) Mengkaji manfaat ekonomi (investasi) sebagai dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pemanfaatan lahan di P. Batam sehingga bisa dijadikan acuan dalam pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah lainnya di Indonesia; dan (3) Memprediksi nilai investasi yang optimal dengan dampak negatif yang minimal dalam pemanfaatan lahan di P. Batam untuk masa mendatang. Analisis data yang digunakan dalam penelitian meliputi: (1) Analisis Deskriptif/Pragmatif Makro Ekonomi dan Investasi; (2) Analisis Deskriptif/Pragmatif Sosial dan Budaya; (3) Analisis Beban Limbah; (4) Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam dengan GIS; (5) Analisis Pemodelan Optimalisasi Pemanfaatan Lahan; dan (6) Analisis Kebijakan dengan Analisis SWOT.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Pulau Batam selain telah berhasil menarik investasi internasional dan meningkatkan PDRB hingga 12,52%, juga memunculkan beberapa permasalahan diantaranya: kesenjangan sosial antar pelaku-pelaku ekonomi dengan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar; kesenjangan antar Pulai Batam dengan pulau-pulau lain disekitarnya; konflik antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam serta permasalahan status sebagai Kawasan Berikat (bonded zone). Permasalahan lain adalah pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan sangat lamban dan terbatas, hanya mencapai 21,8% dari lahan yang telah dialokasikan untuk fasilitas umum dan perdagangan. Untuk fasilitas umum dan perdagangan realisasinya hanya mencapai 0,46% dan merupakan realisasi yang paling rendah dibandingkan dengan realisasi peruntukkan jasa perkotaan (3,65%), perumahan (3,91%) dan industri (4,80%).

Dari hasil simulasi sistem optimalisasi pemanfaatan lahan, bila diimplementasikan akan dapat meningkatkan nilai investasi hingga 11,72 kali atau 1172% jika dibandingkan dengan kondisi terkini (Skenario III). Skenario Optimalisasi (Skenario V) menghasilkan total nilai investasi sebesar Rp. 387.253.622.654.871,60.- Skenario lainnya, masing-masing Skenario I, II, III dan Skenario IV memberikan total nilai investasi yang lebih rendah.

Dalam model ekologi skenario V memberikan dampak peningkatan investasi terbaik dimana persentase investasi negatif relatif lebih rendah dari investasi positif. Sedangkan dalam model sosial, optimalisasi menghasilkan subsidi yang dapat dikelola dan didistribusikan kepada penduduk miskin asli dan pendatang, kesehatan, pendidikan dan cadangan sebesar 5%. Pada awal tahun tidak seluruhnya permasalahan terselesaikan. Namun setelah 10 tahun (diakhir model), seluruh subsidi dapat tuntas terselesaikan dan bahkan dana cadangan cenderung meningkat. Kebijakan pengelolaan yang perlu dilakukan berdasarkan hasil analisis SWOT guna mendukung simulasi model yang meliputi kebijakan untuk merevisi Rencana Tata Ruang; Melakukan penarikan lahan yang tidak produktif dan dialokasikan kembali secara selektif; Mengkonversikan lahan yang peruntukannya kurang sesuai dan kurang diminati pasar; serta kebijakan pemperhatikan hijau, taman kota, kawasan lindung dan mengelola limbah buangan untuk mencapai keseimbangan lingkungan sehingga memperkecil investasi negatif.


(2)

iv

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi

Dilarang mengutif dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,


(3)

Oleh:

Tjahjo Prionggo

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

v

Judul Disertasi : Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam.

N a m a : Tjahjo Prionggo

N R P : SPL - 995168

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Program : Doktor (S3).

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen DEA. Ketua

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Anggota

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA. Anggota

Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc. Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Departemen 3. Dekan

Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr.Ir. Sulistiono, MSc. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung Jawa Barat tanggal 14 Desember 1959, anak dari pasangan H. Drs. Surajiman dan Hj. Djarwati. Pendidikan sampai S1 diselesaikan di Jakarta, lulus sebagai sarjana Arsitiketur Fakultas Teknik Universitas Indonesia tahun 1984. Sambil bekerja penulis menyelesaikan S2 di Sekolah Tinggi Management Jakarta pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.

Penulis bekerja di BPP Teknologi sejak tahun 1986. Beberapa kepercayaan dan penugasan yang pernah diberikan kepada penulis antra lain: sebagai Pimpro Prasik Pembangunan Gedung BPPT (Gedung kantor BPPT 24 Lantai) pada tahun 1989-1992, sebagai Direktur Perencana OPDIP Batam (1992-1998), sebagai pembicara di dalam seminar dan kegiatan ilmiah lainnya bidang pengembangan dan perencanaan tata ruang khususnya mengenai Pulau Batam. Selain itu, merangkap sebagai Ketua Tim Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mengevaluasi awal amdal yang diajukan sebelum dikirim komisi Amdal BPPT, juga sebagai ketua tim pengembangan khususnya Batam Centre (Batam Carnaval 2000), dan sebagai ketua tim pengembangan kawasan wisata Nongsa.

Kemudian pada tahun 1998-2001, penulis menjabat sebagai asisten ketua bidang evaluasi dan monitoring pembangunan BP3 Natuna, pada tahun 2001-2006 (di BPP Teknologi) sebagai Inspektur dan sebagai wakil koordinator bidang kajian ForBes APIP (Forum Berama Aparat Pengawasan Instansi Pemerintah). Tahun 2006 sampai dengan saat ini penulis aktif sebagai staf khusus ketua Otorita Batam bidang Perencanaan dan Lingkungan untuk mengembangkan Pulau Rempang dan Galang yang saat ini masih belum dikelola.


(6)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur senantisa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT oleh karena rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir Program Doktor. Dalam penyelesaian disertasi dengan ruang lingkup kajian Optimalisasi Pemanfaatan Lahan sebagai Upaya Pembangunan Berkelanjutan Pulau Batam ini banyak mengalami hambatan dan kendala. Namun demikian dengan bantuan berbagai pihak hambatan dan kendala dapat diatasi.

Persembahan ungkapan rasa hormat penulis sampaikan kepada kedua orang tua khususnya almarhum ibunda tercinta yang tulus mendorong dan mendoakan untuk menyelesaikan pendidikan sampai jenjang tertinggi, mudah-mudahan dengan menyelesaikan program pendidikan ini, beliau turut mendapat balasan dari Allah SWT.

Kemudian penulis mengucapakan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada : (1) Prof. Dr. Dietriech G. Bengen, DEA sebagai pembimbing ketua, Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin, DEA, Dr. Ir. Iwan Gunawan, MSc, masing-masing sebagai pembimbing anggota, yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran dan arahan dalam menyelesaikan disertasi ini. (2) Dr. Ir. Menofatria Boer, DEA, beserta staf Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala bantuan saran sehingga proses penulisan disertasi ini berjalan lancar. (3) Prof. Dr. Ing. BJ Habibi beserta Ibu, Soeryohadi Djatmiko, SE, MBA, yang telah bersungguh-sungguh memberikan dorongan dan bimbingan serta masukan untuk disertasi ini. (4) Kepala BPPT, Ketua Otorita Batam dan seluruh jajarannya yang telah membantu baik moril maupun materil dan kemudahan-kemudahan yang diberikan selama penulis melaksanakan pendidikan dan penelitian.

Ucapan terimakasih secara khusus kepada istri tercinta, Ir. Handayani Dwi Rahayu, ananda tersayang Ratna Kirana dan Raine Karlina, serta rekan-rekan, saudara-saudaraku atas segala dorongan, doa, kesabaran dan pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan selama proses penyelesaian disertasi ini. Dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, Otorita Batam, para ilmuwan dan praktisi dalam mengembangkan Pulau Batam, maupun pulau-pulau lain yang sejenis. Mudah-mudahan kajian ini dapat dilanjutkan dan dikembangkan untuk membangun negeri ini yang berbentuk kepulauan dengan potensi yang beragam.