Mortalitas Serangga Uji TINJAUAN PUSTAKA
Tabel5 LT cendawan entomopatogen M. brunneumterhadap M. gilvus. Kerapatan konidia
mL
Waktu kematian LT Hari LT
95
LT
50
1,21x10
6
10,03 5,14
1,08x10
6
10,50 5,87
Hasil analisis probit dengan kerapatan konidia kurang lebih LC
95
dan LC
85
menunjukkan bahwa untuk menimbulkan mortalitas hingga 50 dibutuhkan waktu 5 hari, dan untuk menghasilkan mortalitas hingga 95 dibutuhkan waktu
10 hari. Aplikasi cendawan M. brunneum dengan metode kontak melalui pencelupan selama 4 detik, sangat efektif untuk menimbulkan mortalitas terhadap
rayap M. gilvus. Perbedaanantarakedua nilai LT
95
dan LT
50
berhubungan dengan dosis aplikasi, virulensi isolat Neves Alves 2004. Menurut Butt et al. 2001
kemampuan patogenisitas cendawan entomopatogen untuk menginfeksi inangnya dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sifat fisiologi cendawan, seperti
viabilitas, laju pertumbuhan, kemampuan bersporulasi, metabolit sekunder yang dihasilkan enzym dan toxin, dan pengaruh lingkungan.
Persamaan regresimengindikasikan korelasi positif antara waktu pengamatan dengan mortalitas probit Gambar 19 dan 20.
Gambar 19 Kematian rayap M. gilvusselama 7 hari pengamatan akibat perlakuankonidia cendawan M. brunneum LC
95
y = 14.56x ‐ 25.98
R² = 0.938
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1 2
3 4
5 6
7 Mo
rt alita
s P
ro b
it
Waktu hari
LC 95
Linear LC 95
Gambar 20 Kematian rayap M. gilvusselama 7 hari pengamatan akibat perlakuan konidia cendawan M. brunneum LC
85
Simpulan
Kerapatan 1,21x10
6
konidiamLefektif untuk menginfeksi rayap M. gilvus. Mortalitas terjadi mulai hari ke-2, meningkat mencapai angka tertinggi pada
pengamatan hari ke-7. Miselia pada tubuh serangga mulai jelas terlihat pada hari ke-4, dan memasuki hari ke-7 seluruh permukaan tubuh rayap hampir tertutupi
oleh miselia yang bewarna putih. Dengan kerapatan konidia1,21x10
6
mLuntuk dapat mematikan hingga 50 populasi dibutuhkan waktu 5 hari dan kematian
95 membutuhkan waktu 10 hari.
y = 12.54x ‐ 26.04
R² = 0.847
10 20
30 40
50 60
70 80
90
1 2
3 4
5 6
7 Morta
litas Pro
bit
Waktu hari
LC 85
Linear LC 85
Daftar Pustaka
Amiri-Besheli B, Khambay B, Cameron S, Deadman ML, Butt TM. 2000. Inter and intraspecific variation in destruxin production by insect
pathogenicMetharhizium spp and its significance to pathogenesis. Mycological Research
1044: 447-452. Asbani N, Amir AM, Subiyakto 2007. Inventarisasi hama tanaman jarak pagar
Jatropha curcas L. Proseding Lokakarya II: Status teknologi tanaman jarak pagarJatropha curcas L. Puslitbang Perkebunan, Bogor Hal 7-16.
Barnett HL, Hunter BB. 1972. Ilustrated Genera of Imferfect Fungi.Ed ke-4. New York. Macmillan Publishing Company.
Bayon IL, Ansard D, Brunet C, Girardi S, PaulmierI.2000. Biocontrol of Reticulitermes santonensisby Entomopathogenic Fungi Improment of the
Contamination Process .Stokholm Sweden.IRG Secretariat KTH SE-100
44. Bidochka MJ, Kamp AM, Decroos JNA. 2000.Insect pathogenic fungi: from
genes to populations . Fungal Pathology :171-193.
Butt TM, Jakson W, MaganN. 2001.Fungi as Biocontrol Agents; Progres, Problem and Potentia
l. United Kingdom: CABI Publishing is a divisions of CAB International. New York.
Desyanti. 2007. Kajian pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. Isoptera: Rhinotermitidae dengan menggunakan cendawan entomopatogen isolat
lokal Disertasi. Bogor: Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Ferron P. 1985.Pest Control by FungiBeauveria and Metarhizium. Di dalam:
Burgers HD, editor. Microbial of Pest and Plant Dieseses 1970-1980. London: Academic Press Inc. pp 465-482.
Finney DJ. 1971. Probit Analisis. ED ke-3.Combridge. Universitas Press. Freimoser FM, Screen S, Bagga S, Hu G, Leger St RJ. 2003. Expressed Sequence
tag EST analisys of two subspecies of Metarhizium anisopliae reveals a plethora of secreted proteins with potential activity in insect hosts.
Microbiology 149:239-247.
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap Biologi dan Pengendaliannya. Surakarta. Muhammadiyah University Press.
Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of Cornitermes cumulans Kollar Isoptera: Termitidae by the
entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomol
331: 051-056 Santoso T. 1993. Dasar-Dasar Patologi Serangga. Di dalam : Simposium
Patologi Serangga I. Prosiding Makalah Simposium Patologi serangga I. Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Yogyakarta: Persatuan Entomologi
Indonesia, Cabang Yogyakarta, pp 1-15.
Strack BH. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogenicMetarhizium anisopliae.Urban entomology laboratory
University of Toronto.http::\MyDokumens\Internet\Fungal 20 ontrol20termites [18 Maret 2009]
Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. New York: Akademic Press, Inc. Yoshimura T, Tsunoda K, Takahashi M, Katsuda Y. 1992. Pathogenicity of An
Entomopathogenous Fungus, Conidiobolus coronatus TYRRELL.And MACLEOD, toCoptotermes formosanus SHIRAKI; Jpn.J
Environ.Entomol.Zool . 41:11-16.
Yoshimura T, Takahashi M. 1998 Termiticidal performance of an entomogenous fungusBeauveria brongniartii SACCARDO PETCH in laboratory tests.
Jpn. J Environ Entomol.Zool91:16-22.
BAB VI KEEFEKTIFAN CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN Metarhizium brunneum Petch SEBAGAI
BIOTERMITISIDA TERHADAP RAYAP Macrotermes gilvus
Hagen Isoptera: Termitidae DI LAPANGAN [
Theeffectiveness ofentomopathogenicfungus Metarhizium brunneum Petch
asbiotermiticideagainsttermite Macrotermesgilvus Hagen Isoptera: Termitidae
inthe field]
Abstrak
Salah satu hama penting tanaman jarak pagar Jatropha curcas L adalah rayapMacrotermes gilvus Hagen. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
keefektifan cendawanMetarhiziumbrunneumsebagai agens biokontrol terhadap rayapM. gilvus di KIJP Pakuwon.Disetiap stasiun pengamatan disiramkan 150 mL
suspensi konidia M. brunneum dengan kerapatan konidia 1,21×10
6
mL. Pengamatan populasi sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan dengan
menggunakan Triple Mark Recapture Technique.Setelah perlakuan, populasi rayap di setiap stasiun pengamatan mengalami penurunan. Di blok I, II, dan III
tersisa rayap berturut-turut2,9,4,4, dan 5,4 dari populasi awal sebelum perlakuan cendawan.
Kata kunci: M. brunneum, M.gilvus, J.curcas, KIJP Pakuwon, mortalitas. Abstract
One of the importants pest of castor plant in Indonesia is Macrotermes
gilvusHagen. The aim of the research is to study the effectiveness of the entomopathogenic fungus
Metarhizium brunneumPetchas biological control agents against to
M. gilvus in KIJP Pakuwon. Into each experimental station was poured 150 mL fungal suspension density 1,21×10
6
conidiamL.Termite population before and after application was estimated using triple mark recapture
technique. After application the population of termite decreased significantly at each experimental station. In block I,II and III we noted the decrease until
2,9, 4,4, and 5,4 respectively from initial population before fungal treatment.
Key words: M. brunneum, M.gilvus, J.curcas,KIJP Pakuwon, mortality.
Pendahuluan
Selama ini pengendalian rayap dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia dengan volume semprot dan konsentrasi yang tidak mengikuti dosis anjuran
yang menyebabkan pengendaliannya kurang berhasil. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa rayap hama masih menjadi salah satu kendala
utama dalam usaha meningkatkan produksi tanaman jarak pagar Asbani et al. 2007. Sementara ituaplikasi insektisida kimia yang berlebihan dan kurang
bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan keracunan bagi pengguna Badji et al. 2007.
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan cara pengendalian lain yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan agens
hayati cendawan entomopatogen Pearce 1997. Untuk mengendalikan rayap Coptotermes
sp, Reticulitermes flavipes atau Odontotermesdengan agens hayati cendawanM. anisopliae dan B. bassianamelalui pengumpananmampu
menghasilkan mortalitas hingga 100 dalam waktu 5sampai 12 hari, sedangkan denganmemindahkan rayap kasta pekerja terinfeksi cendawan entomopatogen dan
dikumpulkan bersama rayap sehat dalam sebuah cawan Petri dish, setelah 8 hari rayap sehat mengalami kematian Bayon et al. 2000.
Berdasarkan informasi dari berbagai hasil penelitian mengenai keefektifan beberapa spesies cendawan entomopatogen, M. brunneumberpotensi untuk
mengendalikan rayap hama M. gilvus Desyanti 2007, Ginting 2008. Kerapatan konidia cendawan M. brunneum1,21x10
6
konidiamL sebagai kerapatan yang efektif berdasarkan hasil uji laboratorium dan akan digunakan di lapangan.
Penularan konidia cendawan M. brunneum terhadap setiap individu rayap M. gilvus
dalam setiap koloninya di lapangan diharapkan dapat berhasil dengan maksimal melalui pemanfaatanbeberapa perilaku rayap grooming, trophallaxis
dan cannibalistic. Di dalam penelitian ini akan dipelajaritingkat keefektifan cendawan
entomopatogen M. brunneumterhadap rayap M. gilvus di KIJP Pakuwon Sukabumi Jawa Barat.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat
Penelitian lapangan dilakukan di KIJP Pakuwon Sukabumi Jawa Barat sejak bulanNopember 2009 sampaiOktober 2010, sedangkan penelitian
laboratorium dilakukan di laboratorium patologi serangga Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Perbanyakan pada Media PDA
Cendawan M. brunneum diperbanyak pada media Potato Dextrose Agar PDA, dengan komposisi 200g kentang, 20g dextrose, dan 200g agar-agar dapur
yang dilarutkan dalam 1 liter air kemudian disimpan dalam incubator. Biakan cendawan diinkubasikan pada suhu ± 25
°
C di laboratorium.
Perbanyakan Cendawan M. brunneum
Isolat M. brunneum yang digunakan untuk aplikasi di KIJP Pakuwon adalah isolathasilrevirulensi di laboratorium terhadap rayap M. gilvuskemudian
dimurnikan pada media PDA. Perbanyakan cendawan dilakukan pada media beras yang diinkubasikan pada suhu 25
°
C selama 3 minggu. Media beras dipersiapkan terlebih dahulu dengan cara mengukus beras selama 10 menit kemudian
dimasukkan ke dalam setiap kantong plastik sebanyak 30gkantong yang ditutup dengan rapat. Kemudian disterilisasikan di dalampressure sterlizermodel no
1925x pada suhu 121
°
C selama 30 menit. Satu hari kemudian kedalam kantong plastik diinokulasikan konidia cendawanM. brunneum yang telah dimurnikan dari
media PDA. Pengamatan dilakukan setiap hari selama seminggu untuk mengetahui pertumbuhan dan kemurnian cendawanM. brunneum.
Penyiapan Suspensi
Cendawan M. brunneum yang digunakan untuk perlakuan adalah cendawan yang berumur 21 hari. Konidia yang terbentuk dikerok dengan kuas
halus steril yang dibasahi dengan air steril kemudian dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisi air steril dengan menambahkan Tween 20 dengan konsentrasi 0,025 ml per 50 ml akuades steril, kemudian suspensinya dikocok menggunakan
vortex selama 30 detik. Kerapatan konidiaM. brunneumdihitung menggunakan
haemacytometer Neubauer -Improved untuk mendapatkan kerapatan 1,21×10
6
konidiamL.Kerapatan konidia 1,21×10
6
mL adalah estimasi LC
95
yang telah diperoleh Desyanti 2007.
Pelaksanaan Penelitian
Hasil percobaan laboratorium menunjukkan bahwa kerapatan konidia cendawan M. brunneum1,21x10
6
mL terbukti efektif untuk menimbulkan mortalitas rayap M. gilvus. Selanjutnya suspensi dengan kerapatan tersebut
1,21x10
6
konidiamL diaplikasi ke lapangan dengan cara disiramkan ke dalam stasiun pengamatan sebanyak 150 mL pada masing-masing koloni rayap M. gilvus
dari setiap blok, yaitu: blok I 8 koloni dengan 23 stasiun pengamatan, blok II 1 koloni dengan 9 stasiun pengamatan, dan blok III 15 koloni dengan 45 stasiun
pengamatan. Penyiraman dilakukan pada pukul 17.00 wib sampai dengan selesai. Untuk mengetahui keefektifan cendawan entomopatogen terhadap rayap M. gilvus
digunakan metode triple mark recapture technique Marini Roberto 1998.
Tahap Pertama
Kayu umpan yang terserang rayap dikumpulkandan dipisahkan rayapnya dari tanahserta dihitung jumlahnya. Kertas tissue Whatman No 1 direndam
dalam bahan pewarna neutral red 0,25 dan nile blue A 0,05 Harahapet al. 2005. Kertas tissue diumpankan terhadap rayap selama 3 hari, sehingga diperoleh
rayap warna merah dan biru Gambar 3. Rayap yang telah berwarna tersebut dihitung kembali jumlahnya dan kembali dilepaskan ke stasiun pengamatan
tempat rayap ditangkap. Satu minggu setelah pelepasan rayap bertanda,kayu umpan dari setiap stasiun pengamatan kembali dikumpulkan. Rayap yang
tertangkap baik yang berwarna maupun tidak berwarnadihitung kembali.
Tahap Kedua
Rayap yang tertangkap pada tahap pertama, diwarnai kembali seperti prosedur pada tahap pertamadan kembali dilepas ke stasiun pengamatan tempat
semula ditangkap. Seminggu setelah pelepasan diamati kembali. Interval waktu tahap pertama dengan tahap berikutnya kedua dan ketiga adalah 10 hari.
Tahap Ketiga
Penandaan, pelepasan dan penangkapan rayap untuk tahap tiga diulangi seperti prosedur tahap pertama dan kedua. Pendugaan ukuran populasi koloni
rayap M. gilvusmenggunakan metode Begon Marini Roberto 1998 yaitu: N =
∑Mi.ni[∑mi+1] SE = N{[1
∑mi+1]+{2∑mi+1
2
+[6 ∑mi+1
3
]}
12
dimana: N = Ukuran populasi.
SE = Simpangan Baku. n
i
= Jumlah keseluruhan rayap yang tertangkap pada penangkapan ke-i. m
i
= Jumlah rayap bertanda yang tertangkap pada penangkapan ke-i. M
i
= Jumlah total rayap bertanda sampai penangkapan ke-i
Hasil dan Pembahasan
Aplikasi cendawan M. brunneum dengan kerapatan 1,21x10
6
konidia mL terhadap rayap hama M. gilvus dalam sebuah stasiun pengamatan pada setiap
koloninya mengakibatkan ukuran populasi setiap koloni menjadi berkurang Gambar 6, 7 dan 8.
Gambar 6 Populasi koloni rayap Macrotermes gilvuspada blokI
2.014
856 1.288
127 100
500 1.000
1.500 2.000
2.500
A B
C D
E F
G H
Uk uran po
pu lasi
k olo
n i
Koloni rayap Macrotermes gilvus
s t
Gambar 7
Gambar 8 P Bila
sebesar 359 tersisa 15.01
500 1.000
1.500 2.000
2.500
Uk uran po
pu lasi
k olo
ni
Populasi ko
Populasi kol dibandingk
9.066 individ 15 individu,
1.755
386 2.
A B
loni rayap M
loni rayap M kan total uk
du Gambar atau persent
500 1.000
1.500 2.000
2.500 3.000
U k
u ra
n p
opu la
si kol
oni
Koloni
.083
150
C D
E
Kolon
Macrotermes
Macrotermes kuran popul
r 1, 2 dan 3 tase penurun
2.593
1
i rayap Macro
118 98
1.402
F G
H
i rayap M.acr
A
s gilvus padab
gilvus pada b
asi koloni a 3 telah terj
nan ukuran p
otermes gilvus
2
78 1.186
I J
K
rotermes gilvu
blokII
blokIII awal rayap
jadi penurun populasi kol
s
219 5
L M
N
us
M. gilvus nan hingga
loni hingga
562
O
mencapai 95,82 dan tersisa 4,18 dari total ukuran populasi koloni awal. Hal ini diduga perilaku grooming, trophallaxis dan cannibalisticberperan penting
menularkan konidia cendawan M. brunneum dari individu terinfeksi ke individu sehat. Menurut Jones et al. 1996 melalui perilaku rayap patogen dapat tertular
dari individu rayap terinfeksi ke individu rayap sehat yang akan tereleminasi keseluruh anggota koloninya. Rayap yang terifeksi menjadi tidak aktif, diam
hingga mengalami kematian. Untuk menghasilkan konidia baru dari bangkai rayap yang terinfeksi cendawan entomopatogen dibutuhkan waktu selama 5 hari.
Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi jika cendawan dapat bersporulasi pada permukaan tubuh rayap mati cadaver yang terinfeksi langsung, atau ditularkan
oleh vektor yang terjadi sebelum semua vektor mati. Sebagai propagul infektif konidia dapat menempel pada kutikula inang dan dengan mudah dapat berpindah
ke individu lainnya melalui interaksi perilakunya Strack 2003. Individu rayap yang tertular dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya persentase proporsi
vektor dalam koloninya, dan kesempatan kontak antara vektor dengan individu rayap sehat untuk menularkan konidia cendawan akan terus meningkat Thomas
et al. 1987.
Simpulan
Perlakuan cendawan M. brunneum dengan kerapatan 1,21x10
6
konidiamLefektif menurunkan ukuran populasi koloni rayap M. gilvus hingga 95,82 344.051
individu dari ukuran populasi awal 359.066 individu.
Daftar Pustaka
Asbani N, Amir AM, Subiyakto 2007. Inventarisasi Hama Tanaman Jarak Pagar Jatropha curcas L. Proseding Lokakarya II: Status teknologi tanaman
jarak pagar Jatropha curcas L. Puslitban Perkebunan, Bogor Hal 7-16. Badji CA, Guedes RNC, Silva AA, Correa AS, Queriroz MELR, Michereff-Filho
M. 2007.Non-target impact of deltamethrin on soil arthropods of maize fields under conventional and no-tillage cultivation. J Appl Entomol
1311:50-58.
Bayon IL, Ansard D, Brunet, Girardi S, Paulmier I. 2000.Biocontrol of Reticulitermes santonensis
by entomopathogenic fungi: improvement of the contamination process. Stockholm Sweden, IRG Secretariat KTH SE-100
44.
Desyanti. 2007. Kajian pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. Isoptera: Rhinotermitidae dengan menggunakan cendawan entomopatogen isolat
lokal [Disertasi]. Bogor.Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor. Ginting S. 2008. Patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen
terhadaprayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Schedorhinotermes javanicus
Kemmer Isoptera: Rhinotermitidae [Tesis]. Bogor.Program Pascasarjana.Institut Pertanian Bogor.
Harahap IS, Benson EP, Zungoli PA, Adler PH, Hill HS. 2005. Inter-and intra- colony agonistic behavior of nativesubterranean termites, Reticulitermes
flavipes and Reticulitermes virginicus Isoptera: Rhinotermitidae.
Sociobiology 46: 305-316.
Jones WE, Grase JK, Tamashiro M. 1996. Virulens of seven isolates of Beuveria bassiana
and Metarhizium anisopliae to Coptotermes formosanus Isoptera: Rhinotermitidae. J. boil contr 25 2: 481-487.
Marini M, Roberto F. 1998 A Populationsurvey of the Italian Subterranean termite Reticulitermes lucifuguslucifugus Rossi in Bacgnacavallo Rovenna,
Italy, using the Triple Mark Recapture Technique TMR. JZoological Sien
ce 15:963-969. Pearce MJ. 1997. Termite: Biologi and Manajement. New York: AB Internasional
Publisher. Thomas K, KhachatouriansGG, Ingledew WM. 1987. Production and Properties
of Beauveria bassiana conidia cultivated in submerged culture Can. J. Microbial
. 33: 12-20. Strack BH.200.Biologicalcontrol of termites by the fungal entomopathogenic
Metarhizium anisopliae .Urban entomology laboratory university of
toronto.http::\N\My20Dokumens\Internet\Fungal1 20of 20termites .htm [18Juli 2010].