PEMBAHASAN UMUM Identifikasi, Kajian Biologi, dan Ketahanan Tanaman terhadap Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Indonesia

VI. PEMBAHASAN UMUM

Nematoda sista kentang G. rostochiensis dan G. pallida NSK adalah nematoda terpenting secara ekonomi, dan merupakan ancaman utama pada tanaman kentang yang dapat menyebabkan penurunan hasil yang cukup serius. Pengalaman negara-negara di Eropa, kehilangan hasil yang disebabkan infeksi NSK mendekati 100 Brodie 1984. Oleh karena potensi merusak yang cukup besar, maka negara-negara penghasil kentang, termasuk Indonesia memasukkan NSK sebagai organisme pengganggu tanaman karantina OPTK. Sampai sebelum tahun 2003, NSK termasuk OPTK kelas A1 yang berarti tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 38KptsHK.0601 2006, tanggal 27 Januari 2006, saat ini NSK termasuk sebagai OPTK kelas A2 yaitu OPTK yang sudah berada di dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, tetapi masih terbatas penyebarannya dan dalam pengendalian. Hasil survei yang dilakukan di 30 lokasi pertanaman kentang di Jawa Timur Desember 2004, Jawa Tengah Oktober 2005 dan Jawa Barat Pebruari 2006 dan 2007 membuktikan bahwa nematoda sista kentang NSK telah tersebar di beberapa wilayah pertanaman kentang di Pulau Jawa. Infeksi pada tanaman kentang dapat terjadi pada berbagai ketinggian tempat. Infeksi juga dapat terjadi pada semua umur tanaman, mulai tanaman satu bulan hingga menjelang panen pada berbagai kultivar kentang Bab. II. Hasil survei ini merupakan informasi yang sangat penting karena memberikan informasi secara detail mengenai sebaran geografi NSK di Indonesia. Dengan demikian, mungkin akan menjadi data kunci bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun regional dalam menyusun program penanggulangan penyakit ke depan dalam hal membatasi infestasi NSK ke wilayah yang masih bebas. Keberadaan NSK di Indonesia menjadi pertanyaan penting, terutama berkaitan dengan asal usulnya. NSK di Indonesia diyakini merupakan introduksi dari luar negeri, mengingat banyaknya bibit kentang yang diimpor dalam waktu yang cukup lama. Informasi negara asal bibit hanya didapat dari petani di lapangan, hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan data negara pengimpor bibit kentang terutama untuk data yang sudah cukup lama. Berdasarkan wawancara langsung dengan petani kentang di Jawa Timur dan Jawa Barat diketahui bibit kentang berasal dari Eropa, terutama Jerman dan Belanda. Petani telah menggunakan bibit kentang dari negara ini untuk waktu yang cukup lama. Masuknya bibit kentang dari berbagai negara ke sentra-sentra pertanaman kentang di Indonesia dalam waktu yang cukup lama, memungkinkan NSK telah mantap dan beradaptasi dengan lingkungan di daerah tersebut. Kemampuan beradaptasi yang cepat didukung oleh sifat intrinsik khusus yang dimiliki NSK. NSK merupakan patogen yang memperbanyak diri secara seksual, yaitu dengan perkawinan antar jantan dan betina Evans Stone 1977. Jantan NSK dapat melakukan perkawinan sebanyak 10 kali, sebelum akhirnya mati. Perkawinan dapat terjadi antar patotipe yang berbeda tetapi pada spesies yang sama, sebaliknya perkawinan tidak dapat terjadi antar spesies. Proses perkawinan seksual akan menghasilkan keturunan yang tidak sama dengan induknya. Pada patogen dengan sifat seperti ini, variasi yang terjadi pada keturunannya progeni terutama diintroduksi melalui segregasi dan rekombinasi gen selama pembelahan meiosis. Selanjutnya terjadi pertukaran gen-gen antara individu yang berlangsung lambat, untuk dapat beradaptasi pada lingkungan hidupnya yang selalu mengalami evolusi. Kondisi ini mengindikasikan NSK isolat Indonesia dapat membentuk patotipe baru spesifik Indonesia dan ada kemungkinan lebih ganas dibandingkan isolat yang ditemukan di belahan dunia lain. Adanya kedua spesies NSK dan kemungkinan terdapatnya patotipe NSK baru di Indonesia disebabkan karena masuknya bibit kentang dari beberapa negara subtropis, terutama Eropa. Masuknya bibit ini dapat menyebabkan terjadinya pertemuan berbagai isolat NSK di Indonesia. Persilangan antar NSK negara asal benih dan tekanan lingkungan baru tropis Indonesia, serta adanya seleksi alam suhu tinggi, jenis tanah, komposisi mikroba tanah, dan lain-lain, menyebabkan hanya individu-individu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya saja yang akan membentuk populasi baca: isolat di daerah baru Jawa. Di samping itu, proses seleksi dan suksesi alami ini tentu menciptakan koloni-koloni NSK baru di Indonesia yang mungkin sangat berbeda dari tetuanya Hasil yang didapat dari identifikasi spesies NSK berdasarkan karakter morfologi, telah berhasil mengidentifikasi spesies G. rostochiensis dari isolat Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil yang lebih akurat didapat melalui identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler yaitu dengan menggunakan teknik PCR dengan mengamplifikasi sekuen di daerah ITS-1 Bab III. Dengan teknik ini telah didapat kedua spesies NSK, yaitu G. rostochiensis dan G. pallida dari isolat Jawa Tengah. Terdapatnya kedua spesies NSK di Indonesia menjadi ancaman yang sangat serius, khususnya dengan terdeteksinya G. pallida. Hal ini disebabkan karena spesies ini dikendalikan oleh beberapa gen virulen yang bersifat poligenik sehingga sulit untuk dikendalikan. Untuk mengetahui secara pasti asal-usul NSK Indonesia, dilakukan analisis filogenetik berdasarkan urutan DNA dari daerah ITS-1 Bab. III. Hasil penelitian membuktikan adanya keragaman genetik yang tinggi pada NSK Indonesia. NSK Indonesia terbagi menjadi dua kelompok dan terpisah dengan NSK asal negara lain yang ada di GeneBank. NSK Jawa Timur berada dalam satu kelompok dan mempunyai jarak persamaan genetik yang sangat rendah dengan NSK Jawa Tengah yang berada dalam satu kelompok yang lain. Dilihat dari sejarah masuknya tanaman kentang di Indonesia diketahui bahwa introduksi tanaman kentang ke Indonesia dilakukan oleh bangsa Belanda pada tahun 1794 ke daerah Cisarua Cimahi. Dari Cimahi, tanaman kentang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia seperti Pengalengan, Wonosobo, Tawangmangu, Berastagi, Curup, Tumohon dan lain-lain. Sejak tahun 1905 kentang telah tersebar ke seluruh Indonesia Koens 1948. Sampai tahun 1960 kultivar kentang yang ditanam di Indonesia adalah kultivar impor dari Belanda, yaitu kultivar Eigenheimer dan Bevelander. Pada tahun 1960 hingga 1970 diganti dengan kultivar Tes dan Voran. Saat ini kultivar yang banyak ditanam adalah kultivar Granola yang merupakan hasil pemuliaan di Jerman Barat dan baru dilepas pada tahun 1975. Berdasarkan sejarah di atas, walaupun penulis tidak mendapatkan sekuen NSK dari negara Belanda dan Jerman di GeneBank, tidak berlebihan jika dugaan terbesar NSK yang ada di Indonesia berasal dari Belanda dan Jerman. Hasil pengujian klon diferensial untuk mendapatkan informasi patotipe yang ada di Indonesia, menunjukkan bahwa kemungkinan patotipe yang terdapat di Jawa Timur merupakan patotipe baru spesifik Indonesia. Hal ini disebabkan karena terdapatnya reaksi patogenisitas yang berbeda pada klon diferensial AM 78.3778 S. vernei hib. 65.34619 pada ketiga isolat Jawa Timur, dibandingkan dengan patotipe yang terdapat di Eropa Kort et al. 1977 maupun yang di Amerika Selatan Canto Saenz de Scurrah 1977. Sedangkan untuk Jawa Tengah merupakan patotipe Ro1 Bab. III. Berdasarkan kenyataan bahwa NSK telah ada di Indonesia dan tersebar di sentra-sentra pertanaman kentang Indonesia, hal penting yang perlu segera diusahakan adalah mendapatkan formulasi pengendalian yang tepat dan efektif untuk NSK Indonesia. Untuk bisa mendapatkan strategi pengendalian yang tepat, pengetahuan tentang biologi NSK sangat diperlukan. Oleh karena itu penelitian tentang pascaembriogenik, siklus hidup dan pengaruh temperatur terhadap perilaku biologis NSK seperti jumlah sista, keperidian, multiplikasi, daya tahan hidup dan faktor reproduksi telah dilakukan Bab IV. Hasil penelitian didapat temperatur optimum untuk menghasilkan sista baru, faktor reproduksi, daya tahan hidup, fekunditi dan perbanyakan G. rostochiensis adalah antara 15-21ÂșC dengan pola persamaan kuadratik. Semua faktor biologi mempunyai korelasi positif yang sangat nyata antara satu dengan yang lainnya. Hal ini membuktikan adanya ketergantungan di antara faktor-faktor biologi tersebut. Sebagai contoh, tingginya jumlah sista yang dihasilkan akan menyebabkan tingginya faktor reproduksi, hal ini akan meningkatkan keperidian dan multiplikasi nematoda sehingga akhirnya meningkatkan daya tahan hidup nematoda. Beberapa peneliti melaporkan bahwa temperatur merupakan faktor abiotik yang paling penting, yang mempengaruhi secara langsung proses fisiologis dan perilaku nematoda Ferris et al. 1996 ; Gao Becker 2002 ; Noe 1991. Selain itu temperatur juga mempengaruhi masa dormansi, kemampuan bertahan hidup dan siklus hidup NSK Huang Pereira 1994 ; Wharton et al. 2002. Pengamatan siklus hidup NSK diketahui bahwa NSK melengkapi siklus hidupnya dari sista hingga menghasilkan sista lagi adalah 30-35 hari Bab. IV. Siklus hidup ini lebih pendek dibandingkan siklus hidup yang dilaporkan beberapa peneliti sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan kondisi lingkungan khususnya temperatur tanah. Siklus hidup yang dilaporkan oleh peneliti sebelumnya, merupakan siklus hidup pada daerah sub-tropik, hal ini akan sangat berbeda dengan Indonesia yang memiliki iklim tropik. Pendeknya siklus hidup NSK menyebabkan pengendalian NSK sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena patogen yang mempuyai siklus hidup pendek, akan menyebabkan laju perkembangan penyakit lebih cepat. Menurut Agrios 2005, patogen yang mempunyai siklus hidup pendek, tidak mempunyai reproduksi berulang dan hanya menyebabkan satu rangkaian infeksi dalam satu musim tanam, akan menyebabkan inokulum bertambah dari tahun ke tahun dan epidemi juga berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini, perlu disusun strategi pengendalian yang paling tepat dan efektif. Mengingat bahwa NSK merupakan patogen yang unik, karena hanya dengan satu sista NSK dapat berkembang menjadi populasi yang tinggi, dan menimbulkan gejala penyakit yang cukup nyata di lapangan seperti tanaman kerdil. Maka semua strategi pengendalian yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan patogen dan meniadakan sumber inokulum merupakan langkah yang paling tepat. Penggunaan kultivar kentang resisten masih merupakan metode pengendalian yang paling efekif dilakukan di Eropa, tetapi di Indonesia belum tersedia informasi mengenai hal tersebut. Oleh karena itu eksplorasi sifat ketahanan terhadap NSK yang mungkin dimiliki oleh beberapa kultivar kentang yang umum dibudidayakan di Indonesia perlu dilakukan. Melalui kegiatan evaluasi ketahanan, peta respon berbagai kultivar kentang terhadap NSK akan mudah didapatkan. Sembilan kultivar kentang, masing-masing kultivar Desiree kontrol rentan, Astarte, Elkana, Granola, Atlantik, hps 767 klon 160, tps 340 klon 149, Desiree transgenik 511.17 dan S. stoloniferum digunakan untuk mengevaluasi ketahanan kultivar kentang terhadap NSK isolat S1 Bab V. Hasil penelitian didapat tiga tipe ketahanan, yaitu : rentan Desiree, Atlantik, hps 767 klon 160 dan tps 340 klon 149, agak tahan Astarte, Elkana, Granola dan Desiree transgenik 511.17, dan resisten S. stoloniferum. Dari hasil ini diketahui tidak satupun kultivar kentang komersil yang resisten terhadap NSK isolat S1. Isolat S1 adalah isolat asal Jawa Timur yang belum diketahui secara pasti patotipenya. Di dalam katalog kultivar kentang yang dikemukakan oleh Joosten 1991, beberapa kultivar kentang yang resisten terhadap NSK adalah : Granola resisten Ro1 dan Ro4, Atlantik resisten Ro1, Elkana resisten Ro1-Ro4, Astarte resisten Ro1, Diamant resisten Ro1 dan Ro4, Karida resisten Ro1-Ro4, Ditta resisten Ro1, Remarka resisten Ro1, Karniko resisten Ro1-Ro4, Sante resisten Ro1-Ro4 dan lain sebagainya. Beberapa dari kultivar di atas digunakan dalam penelitian ini, seperti Granola, Atlantik, Astarte dan Elkana, tetapi semua kultivar ini masih dapat diinfeksi NSK. Hal ini dapat saja terjadi karena belum diketahui gen virulen yang ada pada isolat S1. Kemungkinan lain dapat disebabkan karena faktor lingkungan yang berbeda dengan daerah asal kultivar kentang dilepas. Perbedaan faktor lingkungan dapat menyebabkan perbedaan adaptasi dan reaksi yang ditimbulkan dalam interaksi inang dan patogen. Lebih lanjut dilaporkan salah satu aspek biologis yang sangat dinamis dan sangat menentukan adalah karakter individu dalam satu spesies yang selalu mengalami perubahan baik morfologis maupun fisiologisnya, kemampuan berubahnya bervariasi dari satu individu ke individu yang lain sebagai suatu kemampuan beradaptasi. Namun demikian, terdapatnya S. stoloniferum sebagai kentang yang resisten NSK dalam penelitian ini merupakan suatu informasi awal yang sangat penting. Hasil ini memberikan harapan bagi pemulia tanaman di Indonesia untuk mendapatkan sumber gen ketahanan NSK. Selanjutnya dapat digunakan untuk merakit kultivar kentang sehingga dapat diperoleh kultivar kentang yang resisten dengan NSK Indonesia. Pengujian kisaran tanaman inang NSK dengan menggunakan 14 spesies Solanaceae, yang terdiri dari 12 varietas tomat, Desiree kontrol rentan dan Leunca Bab.V untuk mendapatkan spesies Solanaceae yang potensial sebagai tanaman perangkap telah dilakukan. Hasil penelitian didapat, ada 3 varietas tomat yang memberikan respon paling baik sebagai tanaman perangkap, yaitu : Dona, Money Maker dan Maestro. Diantara ketiga varietas tomat ini, tomat varietas Dona mempunyai harapan sebagai tanaman perangkap paling yang potensial. Hasil ini sejalan seperti yang telah dilaporkan oleh Supramana et al. 2006 bahwa varietas Dona memberikan hasil yang terbaik sebagai tanaman perangkap NSK dibandingkan terung dan cabe. Beberapa keuntungan yang dimiliki oleh tanaman perangkap, yaitu : 1 beberapa pengujian di negara-negara lain dan pengujian yang peneliti lakukan pada skala rumah kaca didapat tanaman perangkap dapat menurunkan populasi NSK secara nyata, 2 tanaman perangkap dapat dikombinasikan bersama-sama dengan teknik pengendalian lain, 3 waktu yang dibutuhkan relatif singkat yaitu sekitar 6-7 minggu, sehingga tidak merubah waktu tanam kentang petani, 4 teknik pengendalian ini merupakan lintas spesies dan patotipe, artinya untuk menggunakan tanaman perangkap tidak diperlukan identifikasi spesies dan patotipe NSK terlebih dahulu karena tanaman perangkap dapat efektif untuk semua spesies dan patotipe NSK dan 5 penggunaan tanaman perangkap aman bagi lingkungan dan kesehatan. Selain teknik pengendalian di atas, teknik pengendalian lain yang masih terus dikembangkan oleh beberapa peneliti adalah penggunaan agens biokontrol. Kerry 1988 mendapatkan lebih dari 150 spesies cendawan yang telah diisolasi dari sista, betina dan telur nematoda, tetapi kurang dari 10 yang bersifat sebagai parasit. Jacobs et al. 2003 melaporkan beberapa cendawan yang dapat menginfeksi betina dan telur NSK, yaitu Pochonia sin. Verticillium clamydosporia, Paecilomyces lilacinus dan Plectophaerella cucumerina. Ketiga spesies cendawan ini merupakan cendawan utama yang dikembangkan sebagai agens biokontrol di Inggris dan UK. Penggunaan ketiga cendawan secara nyata dapat menurunkan populasi NSK pada pengujian di rumah kaca. Sedangkan pemberian P. cucumerina secara tunggal dapat menurunkan populasi G. rostochiensis dan G. pallida hingga lebih dari 60. Di alam P. clamydosporia secara alami akan memarasit sista NSK dan telur nematoda dari genus lain. Selain cendawan di atas, beberapa bakteri juga dapat digunakan sebagai agens biokontrol NSK, seperti Agrobacterium radiobacter, Bacillus subtilis dan Pseudomonas spp.. A. radiobacter strain G12 dapat digunakan untuk menginduksi ketahanan sistemik kentang dalam melawan infeksi G. pallida. Bakterium dapat menghambat penetrasi J2 di dalam akar sehingga menurunkan penetasan telur G. pallida pada pengujian secara in vitro Anonimus 2007c. Pasteuria penetrans juga berpotensi untuk mengendalikan populasi NSK. Secara umum bakteri diaplikasikan ke dalam tanah sebelum umbi kentang ditanam atau dapat juga diberikan pada tanaman bukan kentang pada teknik rotasi tanaman. Pemberian P. penetrans dapat menurunkan laju perkembangan NSK. Pengendalian secara biologi tidak dapat bekerja sendiri. Teknik ini akan memberikan hasil yang lebih baik jika dikombinasikan dengan teknik pengendalian yang lain dalam pengendalian secara terpadu, yaitu bersama-sama dengan sterilisasi tanah, solarisasi, penggunaan nematisida, tanaman perangkap dan penggunaan kultivar resisten.

VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan