Analisis Yuridis Pencabutan Pernyataan Pailit Atas Debitor Pailit Perseroan Terbatas

(1)

A

ANALISI

ATA

U

IS YURID

AS DEBIT

Diajuka Memen DEP

F

NIVER

DIS PENC

TOR PAIL

S K

an Untuk M nuhi Syara Gelar YOLAND NIM PARTEME

FAKUL

RSITAS

M

CABUTA

LIT PER

K R I P S

Melengkapi at-Syarat U r Sarjana H

Oleh :

DA REGIN : 09020 EN :HUKU

LTAS H

S SUMA

MEDAN

2 0 1 3

AN PERN

RSEROAN

S I

i Tugas-Tu Untuk Mem Hukum A PURBA 00248 UM EKONO

HUKUM

ATERA

N

NYATAAN

N TERBA

ugas dan mperoleh OMI

M

A UTAR

N PAILIT

ATAS

RA

T


(2)

ANALISIS YURIDIS PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT

ATAS DEBITOR PAILIT PERSEROAN TERBATAS

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

YOLANDA REGINA PURBA NIM : 090200248

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

(Windha, SH.M.Hum) NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ramli Siregar, SH.M.Hum Windha, SH.M.Hum


(3)

ABSTRAK

Putusan pailit dicabut apabila harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan termasuk imbalan jasa kurator. Pencabutan kepailitan dilakukan Majelis Hakim yang memutuskan perkara pailit kekayaan maupun kegiatan usaha dari debitor pailit berada dalam keadaan sangat tidak mampu membayar tagihan-tagihan dari kreditor atau bahkan tidak mempunyai aset sama sekali. Rekomendasi yang dikeluarkan Hakim Pengawas didasarkan pada laporan kurator yang menemukan bahwa harta pailit maupun usaha debitor pailit tidak akan mampu membayar utang-utangnya. Bahkan imbalan jasa kurator pun tidak mencukupi dari hasil penjualan harta debitur pailit. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan pencabutan pernyataan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, bagaimana pencabutan pernyataan pailit menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan bagaimana pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka (library researh). Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas adalah Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit. Keadaan ini terjadi bila harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. Dalam memerintahkan pengakiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor. Biaya tersebut juga harus didahulukan pembayarannya atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan. Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. Putusan pencabutan pernyataan pailit ini dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali. Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan pernyataan pailit, maka Debitor atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan. Agar tidak terjadi kerancuan hukum dalam pencabutan pernyataan pailit, perlu adanya pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari subyek hukum pencabutan pailit yang dinyatakan pailit, sehingga dapat dibedakan hak dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hukum pribadi dengan kepailitan suatu badan hukum


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis mampu untuk menjalani perkuliahan sampai pada tahap penyelesaian skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara. Adapun judul dari skripsi ini adalah “Analisis Yuridis Pencabutan Pernyataan Pailit atas Debitor pailit Perseroan Terbatas”. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, Penulis akan sangat berterima kasih jika ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini kedepan dan terlebih-lebih kepada Penulis sendiri.

Penulis khusus mempersembahkan skripsi ini teruntuk Ayah saya dan Mama yang menjadi motivasi Penulis dalam menyelesaikan pendidikan, atas kasih sayang, do’a, pengertian dan dukungan kepada Penulis. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kalian. Mudah-mudahan semua yang Penulis lakukan dapat membahagiakan dan membanggakan keluarga tercinta.

Dalam proses penulisan skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Windha, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Yang merupakan Dosen


(5)

Pembimbing II saya dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Yang merupakan Dosen Pembimbing I saya dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak M. Husni, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Bismar, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi Penulis selama ini.

9. Kepada kedua orang Tua penulis tercinta yaitu Bosma Jules Purba dan Mariaty Marpaung yang telah membesarkan,mendidik dan membimbing saya hingga saya bisa menjalani Pendidikan hingga Strata 1 (S1).

10.Untuk kakak tersayang Olivia Pujiasi Purba. Terima kasih untuk dukungan,doa,kasih saying dan bantuan yang kakak berikan selama ini yang tidak akan penulis lupakan.

11.Kepada seluruh keluarga besar yang memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

12.Untuk sahabat-sahabat terdekat yang selalu memberi semangat kepada penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini (Elsa,Viola ,Pratica, Egi, Erma, Ely, Satilda, Samuel).


(6)

13.Untuk sahabat-sahabat geng the moon (Lia, Amanda, Sharin, Sari, Putri, Winda, Julia);

14.Untuk seluruh teman-teman stambuk 2009 yang turut membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat Rahmat dan Ridho Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya sembari mengucapkan puji syukur kepada Tuhan atas Rahmad dan Karunia-Nya, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2013

Penulis,

(

YOLANDA REGINA PURBA)


(7)

DAFTAR ISI ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………1

B. Perumusan Masalah………4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...5

D. Keaslian Penulisan……….6

E. Tinjauan Kepustakaan………6

F. Metode Penelitian……….11

G. Sistematika Penulisan………...13

BAB II PENGATURAN PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Alasan pencabutan pailit ... 15

B. Para pihak dalam pencabutan pernyataan pailit...………15

C. Prosedur pencabutan pernyataan pailit... 24

D. Akibat hukum pencabutan pernyataan pailit... 27

BAB III PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG- UNDANG PERSEROAN TERBATAS A. Perseroan Terbatas Badan Hukum yang dapat dipailitkan... 42

B. Pembubaran Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007... 53

C. Keadaan Harta Pailit yang Mengakibatkan dicabutnya Pernyataan Pailit Perseroan Terbatas ........ 63


(8)

BAB IV PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT ATAS DEBITOR PAILIT PERSEROAN TERBATAS

A. Akibat hukum pencabutan pernyataan pailit atas dasar debitor pailit perseroan

terbatas......69 B. Upaya hukum pencabutan pailit atas debitor pailit perseroan

terbatas... 70 C. Ketentuan tentang dapat diajukan lagi permohonan pernyataan pailit

… 77

D. Kepastian hukum dalam pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas... 89

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 93 B. Saran...94


(9)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Yogyakarta : Total Media, 2008.

Aria, Sayudi, dkk. “Kepailitan Dinegeri Pailit”.Cetakan kedua. Jakarta : Pusat Studi Hukum & kebijakan Indinesia dicetak oleh Dimensi, 2004.

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1994.

Asyhdie, Zaeni. Hukum Bisnis”Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: P.T.RajaGrafindo Persada, 2005.

Djohansah, J. Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni, 2001.

Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 (Dalam Teori dan Praktek). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

____________. Hukum Pailit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.

____________.Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Edisi Revisi, Bandung ; Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Hadad, Mulaiman. Indikator Kepailitan di Indonesia Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.

Hartono, Siti Soemarti. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Yogyakarta : Liberty, 1981.

Karim, Iswayudi. Restrukturisasi Piutang. Jakarta: Diklat Propesi Penunjang Untuk Konsultan Hukum Pasar Modal, 2003.

Lontoh, Rudhy A., dkk. Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni, 2001.

Nating, Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.

Rahadjo, Satjipto. Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, Surakarta :Universitas Muhamadiyah, 2002.

Rajagukguk, Erman. Latar Belakang Dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. Bandung: Alumni, 2001.

Silalahi, M. Udin. Badan Hukum Organisasi Perusahaan. (Jakarta : Penerbit IBLAM, 2005).


(10)

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Cetakan Pertama, (Jakarta : Penerbit Tata Nusa, 2012).

Situmorang, M. Victor dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 1994.

Sjahdeni, Sutan Remy.Hukum Kepailitan. Yogyakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum Jakarta : Universitas Indonesia

Press, 2007.

Subhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan. edisi pertama, cet.ke-1. Jakarta : Prenada Media Group, 2008.

Sulaiman, Robintan dan Joko Prabowo. Hukum Kepailitan. Yogyakarta : Penerbit Delta Citra Grafindo, 2002.

Syaputra, Iman tunggal dan Amin Wijaya Tunggal. Undang-Undang Perseroan TerbatasIndonesia beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta : Harvarindo, 2000. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Tumbuan, Fred BG. “Pembagian Kewenangan antara Kurator dan Organ Perseroan

Terbatas”. Jakarta : lokakarya Terbatas Masalah Kepailitan dan Hukum Bisnis lainnya, 2004.

_______________, Pokok-Pokok Tentang Kepailitan Sebagaimana Diubah Oleh Perpu No. 1/1998’’ Dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni, 2001. Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Gramedia

Pustaka Utama, 2004.

W. Friedman. Teori dan filsafat hukum dalam buku telaah kritis atas teori-teori hukum. Jakarta : raja grafindo persada, 1993.

Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis, Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.

II. Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: BP. Panca Usaha putra,

2004.


(11)

III. Website

Eksistensi Yudiris Perseroan Terbatas. http://asma1981.blogspot.com/2012/09/eksistensi-yuridis-perseroan

terbatas_1.html (diakses tanggal 13 Juni 2013)

Frawarandy, http://frwarandy.blogspot.com/2012_05_01_archive.html (diakses tanggal 13 Juni 2013).

Gagasan Hukum. http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/uu-kepailitan/html (iakses tanggal 21 April 2013).

Hukum Seantero Batas. http://www.hukumperseroanterbatas.com/tag/direksi/ html (diakses tanggal 13 Juni 2013).

Trijaya Anugerah Cabut Gugatan Pailitnya. http://nasional.kontan.co.id/news/trijaya-anugerah-cabut-gugatan-pailitnya-terhadap-pt-iss (diakses tanggal 20 April 2013).

Teknik Beracara Pengurusan. http://andryawal.blogspot.com/2011/08/teknik-beracara-pengurusan-dan.html (diakses tanggal 13 Juni 2013)

Kelik Pramudya. “Upaya Hukum dalamKepailitan”,http://clickgtg.blogspot.com/html, (diakses tanggal 20 April 2013).

Proses Permohonan Pernyataan Pailit, http://click-gtg.blogspot.com/2010/01/proses-permohonan-pernyataan-pailit-dan.html diakses tanggal 21 April 2013.


(12)

BAB III

PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

A. Perseroan Terbatas Badan Hukum Yang dapat dipailitkan

Sebuah perseroan dinyatakan pailit maka sebagaimana di maksud dalam Pasal 24 ayat (1 ) Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”

Melihat pada penjelasan pasal tersebut jelaslah bahwa debitor dalam perseroan terbatas kehilangan haknya untuk mengurus harta kekayaan perusahaan, karena harta kekayaan secara otomatis pengurusannya akan beralih kepada seorang kurator. Pasal 1 angka 1 UUK menyatakan bahwa “ kepailitan adalah: sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

Ketentuan pasal tersebut adalah bermaksud agar semua harta kekayaan tersebut dapat menjadi jaminan pelunasan hutang-hutang peseroan selaku debitur pailit. Jika telah dinyatakan pailit kemudian perseroan terbatas tersebut tidak mampu untuk membayar hutang-hutangnya, maka tujuan terakhir dari kepailitan ini adalah dengan melikuidasi perseroan terbatas tersebut. Likuidasi merupakan aktivitas yang dilakukan apabila debitur pailit tidak dapat menunjukan kepada pengadilan niaga yang memiliki otoritas untuk menghentikan kepailitan. Atau dengan kata lain


(13)

membereskan harta (asset) yang nantinya dipergunakan untuk membayar hutang- hutang.30

Ilmu hukum mengenal dua macam subjek hukum, yaitu subjek hukum pribadi (orang perorangan), dan subjek hukum berupa badan hukum. Terhadap masing-masing subjek hukum tersebut berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun dalam hal-hal tertentu terhadap keduanya dapat diterapkan suatu aturan yang berlaku umum.31

Salah satu ciri khas yang membedakan subjek hukum pribadi dengan subjek hukum badan hukum adalah saat lahirnya subjek hukum tersebut, yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak-hak dan kewajiban bagi masing-masing subjek hukum tersebut. Menurut Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,pada subjek hukum pribadi, status subjek hukum dianggap telah ada bahkan pada saat pribadi perseorangan tersebut berada dalam kandungan. Sedangkan pada badan hukum, keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah ia memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang, yang memberikan hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan sendiri bagi badan hukum tersebut, terlepas dari hak-hak, kewajiban dan harta kekayaan para pendiri, pemegang saham, maupun para pengurusnya. Pasal 7 ayat (4) UUPT menyatakan bahwa “perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak satu pasal pun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 butir 1 bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban antara lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya.

30

M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan. (Jakarta : Penerbit IBLAM, 2005), hlm 11


(14)

Sebagai suatu badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Unsur-unsur tersebut adalah :

1. Organisasi yang teratur

Di dalam Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dapat kita lihat dari adanya organ perusahaan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.

2. Harta kekayaan sendiri

Menurut Pasal 31 dan 32 UUPT, harta kekayaan sendiri ini berupa modal dasar yang terdiri atas seluruh nilai nominal saham yang terdiri atas uang tunai dan harta kekayaan dalam bentuk lain.

3. Melakukan hubungan hukum sendiri

Sebagai badan hukum, perseroan melakukan sendiri hubungan hukum dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus yang disebut Direksi dan Komisaris. Direksi bertanggung jawab penuh untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan kegiatannya, direksi berada di bawah pengawasan Dewan Komisaris, yang dalam hal-hal tertentu membantu direksi dalam menjalankan tugasnya tersebut.

4. Mempunyai tujuan tersendiri

Tujuan tersebut ditentukan di dalam Anggaran Dasar perseroan, karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama perusahaan adalah memperoleh keuntungan/ laba.


(15)

Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatas adalah untuk mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian asset perseroan dalam rangka membayar utang-utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan yang menyebabkan insolvensi perseroan tersebut. Dengan demikian eksistensi perseroan terbatas yang dipailitkan segera berakhir dengan percepatan pemberesan proses likudasi tersebut. Prinsip utama kepailitan perseroan terbatas adalah menyegerakan proses likuidasi asset perseroan untuk kemudian membagikannya kepada segenap kreditornya.32

Eksistensi yuridis dari perseroan terbatas yang telah dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakanya pailit tidak muitatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu argumentasi yuridis mengenai proposisi ini setidaknya ada tiga (3) landasan antara lain :

1) Kepailitan terhadap perseroan tidak mesti berakhir dengan likuidasi dan pembubaran badan hukum perseroan. Dalam hal harta kekayaan perseroan telah mencukupi tagihan-tagihan kreditor dan biaya-biaya yang timbul dari kepailitan, maka langkah berikutnya adalah pengakhiran kepailitan dengan jalan rehabilitasi terhadap perseroan terbatas tersebut dan kepailitan diangkat serta berakibat perseroan terbatas itu kembali pada keadaan semula sebagaimana perseroan sebelum adanya kepailitan. Seandainya eksisistensi badan hukum perseroan terbatas hapus dengan adanya kepailitan, maka tentunya tidak dimungkinkannya adanya pengangkatan kepailitan serta rehabilitasi perseroan karena sudah hapusnya status badan hukum itu.

2) Dalam proses kepailitan perseroan terbatas, maka perseroan terbatas tersebut masi dapat melakukan transaksi hukum terhadap pihak kedua, di mana tentunya

32


(16)

yang melakukan perbuatan hukum perseroan tersebut adalah kurator atau setidak-tidaknya atas mandat kurator. Sehingga tidak mungkin jika badan hukum perseroan telah tiada sementara masih dapat melakukan proses transaksi tersebut. 3) Dimungkinkannya untuk melanjutkan usaha perseroan yang dalam pailit (on

going concern). Pelanjutan usaha perseroan yang dalam pailit tentunya tidak dimungkinkan seandainya eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas itu sudah hapus bersamaan dengan pernyataan kepailitan perseroan terbatas itu. Dengan masih tetapnya eksistensi badan usaha perseroan dalam pailit ini, maka dimungkinkannya going concern dari usaha perseroan ini. Disinilah kelebihan/ keuntungan status perseroan dalam pailit yang tunduk pada rezim hukum kepailitan dengan status perseroan dalam likuidasi yang tunduk pada hukum perseroan terbatas secara umum yang diatur dalam undang-undang perseroan terbatas.33

Dalam pada itu, dalam kasus-kasus tertentu kepailitan perseroan bisa dimungkinkan tanpa likuidasi. Hal terakhir ini jika dipandang perlu untuk meneruskan kegiatan usaha perseroan (going concern) sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih yang pada akhirnya hasil keuntungan tersebut digunkan untuk membayar utang-utang perseroan. Melanjutkan perusahaan ini merupakan langkah yang sangat strategis dalam hal terjadinya kepailitan perseroan karena kesulitan jangka pendek sementara prospek perusahaan tersebut masih baik.

Dalam konsep manajemen keuangan perseroan dikenal dengan tiga jenis utang, yakni utang jangka pendek, utang jangka menengah, dan utang jangka panjang. Kesulitan utang jangka pendek ini tidak mesti berhubungan dengan kebangkrutan suatu perseroan terbatas. Dan kesulitan likuiditas ini biasanya hanya sebagai akibat


(17)

dari kesalahan manajemen cash flow (arus keluar masuk uang perseroan). Dalam teori manajemen keuangan sebagaimana disebut diatas membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi :34

1) Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian ( return ) dibawah tingkat bunga pasar.

2) Business Failure, istilah ini digunakan oleh Dun dan Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefenisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.

3) Technical Insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical Insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara dimana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup. Di lain pihak apabila technical insolvency merupakan gejala awal dari economic failure, maka hal ini merupakan tanda kearah bencana keuangan ( financial disaster).

4) Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari asset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius dibandingkan dengan technical


(18)

insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda daari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.

5) Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut diatas.

Dari lima jenis kesulitan keuangan tersebut, maka kesulitan keuangan jenis pertama, kedua, dan ketiga bisa dicarikan jalan keluarnya bukan dengan dengan kepailitan. Jadi perseroan terbatas yang sedang mengalami kesulitan keuangan, maka tidak secara apriori harus dinyatakan pailit. Namun oleh karena sistem hukum kepailitan Indonesia menutup mata terhadap jenis kesulitan keuangan perusahaan tersebut dalam kaitannya dengan kepailitan yang berarti bahwa kepailitan perseroan terbatas tersebut sudah secara tekhnis bangkrut, maka konsep pelanjutan usaha (on going concern) memilki makna yang sangat strategis, terutama jika kepailitan tersebut menyangkut perseroan terbatas yang memilki kesulitan keuangan tipe kesatu, kedua, atau yang ketiga.

Dalam hal perseroan meneruskan kegiatan usahanya setelah dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka eksistensi perseroan diakui sebagai subjek hukum yang penuh dalam transaksi bisnis. Ada beberapa perbedaan perseroan terbatas yang sudah dinyatakan pailit dalam melakukan kegiatan usahanya jika dibandingkan dengan perseroan terbatas tidak dalam pailit, yakni organ pengurus yang bertindak untuk dan atas nama perseroan adalah kurator bukan direksi dari perseroan tersebut. Kurator inilah yang menjalankan tindakan pengurursan perseroan terbatas. Namun tidak menutup kemungkinan kurator memanfaatkan organ direksi dalam pengurusan perseroan terbatas dalam kepailitan yang on going concern tersebut.35


(19)

Perseroan terbatas yang dinyatakan pailit tidak secara otomatis bubar, melainkan masih eksis badan hukumnya, bahkan dalam keadaan tertentu masih menjalankan usahanya seperti lazimnya perseroan terbatas ketika tidak terjadinya kepailitan sebagaimana telah dijelaskan diatas.

Kepailitan menurut UUK diatur dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :

”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

Dari pasal diatas menerangkan, bahwa apabila terjadi pailit pada suatu badan hukum maka akan terjadi penyitaan atau sita umum terhadap kekayaan debitur yang nantinya pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Permohonan pailit dapat diajukan oleh pihak yang berinisiatif untuk mengajukan pailit ke pengadilan berdasarkan undang-undang kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit ialah :

1. Debitor itu sendiri (Volutary petition),

2. Adany satu/lebih kreditur,

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum,

4. Bank Indonesia jika debiturnya bank,

5. Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek.36

Dengan adanya permohonan pailit yang diajukan maka akan dikeluarkan putusan pernyataan pailit. Putusan pernyataan pailit yang dikeluarkan atas permohonan kreditur dapat mengubah seseorang (badan hukum) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya

36


(20)

sejak adanya pernyataan putusan pailit diucapkan oleh ketua pengadilan. Permohonan pailit tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang mengurus perkara pailit, permohonan pailit yang diajukan akan dikabulkan apabila telah terbukti secara sederhana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UUK menyatakan bahwa:

“Permohonan pernyatan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”

Yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana dalam pasal diatas adalah yang lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana atau sumir yang dimaksud dalam UU Kepailitan tidak dapat menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut.37

Akibat hukum dari adanya kepailitan yang diberlakukan kepada debitor oleh undang-undang. Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor dengan dua mode pemberlakuan yaitu :38

1. Berlaku demi hukum

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya selama masa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

2. Berlaku secara Rule of Reason

37


(21)

Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan pengamanan harta pailit tersebut.

Ada perbedaan mendasar antara akibat hukum kepailitan dari subjek hukum orang dengan kepailitan suatu perseroan terbatas. Terhadap kepailitan subjek hukum orang, maka demi hukum sipailit tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit. Kewenangan untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya berlalih kepada kurator. Kurator dalam kepalitan orang secara apriori melakukan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator tidak berwenang untuk mengembangkan usaha dari sipailit.39 Sedangkan kepailitan bagi perseroan terbatas tidak menyebabkan secara otomatis perseroan terbatas tersebut berhenti mealkukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara otomatis melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan direktur.40

39

M. Hadi Subhan, Op.Cit. hlm. 209.

40


(22)

B. Pembubaran Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat berakhirnya kepailitan, yaitu :

1. Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti;

2. Apabila homogolasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti;

3. Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.

Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas No. 40 tahun 2007 tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum perseroan terbatas secara terperinci. Pembubaran Perseroan terbatas demi hukum hanya dikenal pengaturannya di KUHD yaitu Alasan-alasan pembubaran perseroan karena jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian yang mencapai 75% dari modal perseroan.Akan tetapi undang-undang UUPT mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak mengenal adanya pembubaran demi hukum.

Menurut ketentuan Pasal 142 UUPT, Pembubaran Perseroan terjadi : a. berdasarkan keputusan RUPS;

b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;


(23)

d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUPT ada 2 (dua) alasan pembubaran PT yang berhubungan dengan Kepailitan yaitu

1. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;

2. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan

insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

Alasan pertama digunakan untuk melindungi kepentingan kreditor.Dalam hal ini kreditor tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini.Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Hakim Pengawas atas Putusan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Debitor. Berdasarkan permohonan Kreditor atau Panitia Kreditor sementara jika ada, tersebut Hakim Pengawas mengusulkan kepada Pengadilan Niaga, serta setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat


(24)

memutuskan pencabutan putusan pernyataan pailit Berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga tersebut, suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditor berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.

Setelah pembubaran PT terjadi dengan adanya pencabutan kepailitan ini, maka menurut Pasal 142 butir 4 Pengadilan Niaga sekaligus memutuskan, pemberhentian Kurator.Kemudian peran Kurator digantikan oleh Likuidator sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan pemberesan. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:

a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan

b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.

Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia memuat:

a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat likuidator;

c. tata cara pengajuan tagihan; dan d. jangka waktu pengajuan tagihan.

Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana. Pemberitahuan kepada Menteri wajib dilengkapi dengan bukti:


(25)

a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan

b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar

Alasan kedua, Pembubaran Perseroan Terbatas terjadi karena telah dinyatakan pailit dan dalam keadaan insolvensi. Keadaan insolvenasi menurut Pasal 178 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu suatu keadaan dimana Debitor dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, insolvensi ini terjadi apabila :

a. Dalam rapat pencocokan piutang Kreditor tidak ditawarkan perdamaian atau b. Rencana Perdamaian yang ditawarkan Debitor ditolak oleh Panitia Kreditor atau c. Pengesahan Perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Akibat hukum dari penetapan insolvensi debitor pailit, timbulnya konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut :

1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misal : pertimbangan prospek kelangsungan usaha) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih mengutungkan;

2. Pada prinsipnya tidak ada Rehabilitasi, sebab insolvensi ini disebabkan tidak adanya perdamaian dan aset Debitor Pailit lebih kecil dari kewajibannya. Kecuali apabila setelah dalam keadaan insolvensi kemudian terdapat Harta lain dari Debitor pailit. Misalnya adanya warisan, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian Rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan Pasal 215 UUK dan PKPU.

Bertolak dari kedua alasan yang dipakai sebagai dasar Pembubaran Perseroan Terbatas dalam Kepailitan, menimbulkan dua mode perlakuan hukum terhadap perseroan terbatas, yaitu :


(26)

1. Berlaku demi hukum (by the operation of law).

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal, dalam Pasal 93 Undang-undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun dalam hal inipihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

2. Berlaku secara Rule of Reason.

Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku,akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu,setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihakyang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hokum tertentu tersebut.Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas,dan lain-lain.

Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by theoperation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.

Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.


(27)

Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu tidak mengikat boedel.

Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis terhentinya operasional perseroan.Pernyataan Pailit Perseroan Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dkuatkan dengan berlandaskan pada beberapa hal sebagai berikut :

Pasal 143 ayat 1 UUPT, menjelaskan bahwa :

(1) Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.

(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” di belakang nama Perseroan.

Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu penyebab pembubaran adalah disebabkan karena berada pada keadaan pailit yang mana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi. Dengan demikian Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4,


(28)

yang dimaksud dalam Pasal 143 UUPT tersebut pun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No. 37 tahun 2004.

Pembubaran perseroan terbatas yang dimaksud dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT, proses dan pemberesannya haruslah sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU. Pada Pembubaran yang demikian ini, bahwa Pembubaran yang dimaksud adalah penghentian operasional perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ perseroan yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris, bukanlah berupa Pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas.Peran organ-organ perseroan tersebut berdasarkan pasal 16 dan pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU, diambil alih oleh Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan Pemberesan harta pailit dan atau melanjutkan operasional perseroan terbatas dengan pertimbangkan lebih mengutungkan daripada menghentikan operasional perseroan terbatas, kecuali apabila terjadi pencabutan kepailitan akibat tidak ada kemampuan membayar Debitor untuk membayar biaya kepailitan maka bersamaan dengan itu dilakukan penghentian tugas dan wewenang Kurator dalam kegiatannnya, pemberesan dan penyelesaian kewajiban perseroan dilakukan oleh likuidator seperti halnya diatur dalam pasal 143 butir 4 UUPT.

Dari ketiga organ perseroan, yang sangat berperan penting dalam operasional badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi. Sebagai organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya sendiri,


(29)

sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ perseroan terbatas adalah satu-satunya organ perseroan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan sebenarnya hanyahlah sub dari suatu subyek hukum yang bernama perseroan terbatas.

Dari pengertian di atas maka dalam melakukan kewajibannya untuk melakukan pengurusan perseroan maka ada pembatasan kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasaran hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak untuk dan atas nama perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme keterbukaan (disclosure) tertentu yang mewajibkan perseroan untuk mengumumkan kewenangan bertindak Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan serta pembatasan kewenang-kewenangannya.Dari sinilah makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan yang diatur dalam Pasal 142 butir 1 huruf d dan e UUPT.

Pemberhentian tugas dan wewenang organ PT, termasuk yang sangat penting adalah Direksi dalam menjalankan operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran badan hukum perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap Kreditor maupun pihak ketiga.Pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme yang diatur


(30)

dalam UUPT.Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan dan penyelesaian kewajiban terhadap Kreditor maupun Pihak Ketiga selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah pembubaran Badan Hukum.

Pembubaran perseroan yang dimaksud dalam pasal 142 butir 1 huruf d dan e, adalah penghentian kegiatan perseroan terbatas yang dilakukan oleh organ-organ PT yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Direksi, Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan dalam keadaan Insolvensi wajib mencantumkan “Likuidasi” dibelakang nama Perseroan Terbatas. Sedangkan Badan Hukum PT, tidak secara otomatis bubar (Pasal 143 ayat 1). Pembubaran Badan Hukum PT tetap mengunakan prosedur RUPS sebagai organ tertinggi dalam PT. Pelaksanaan Pembubaran Badan Hukum PT dilaksanakan setelah pengurusan dan pemberesan perseroan telah selesai dilaksanakan.

3. Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit dibacakan hanya dapat

dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditor dengan alasan perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di dalam penjelasan UUK dan PKPU bahwa asas di dalam Undang-undang ini di antaranya adalah asas kelangsungan usaha yang artinya bahwa kepailitan tidak demi hukum menjadikan perseroan bubar.

Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit.Keadaan ini terjadi bila harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. Dalam memerintahkan pengakhiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor.Biaya tersebut juga harus


(31)

didahulukan pembayarannya atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan. Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. Putusan pencabutan pernyataan pailit ini dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali. Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan pernyataan pailit, maka Debitor atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan.

C. Keadaan harta Pailit yang Mengakibatkan dicabutnya Pernyataan Pailit PT

Status kepailitan dapat diakhiri melalui pencabutan kepailitan oleh pengadilan niaga berdasarkan rekomendasi dari kurator atau hakim pengawas. Pencabutan ini dilakukan bila kondisi kekayaan maupun kegiatan usaha dari debitur pailit berada dalam keadaan sangat tidak mampu membayar. Pencabutan kepailitan dilakukan dalam hal terjadi kondisi dimana harta pailit sangat tidak mencukupi untuk membayar utang-utang dari kreditur atau bahkan tidak ada sama sekali asetnya.41

Praktek penjatuhan pailit dalam Undang-undang Kepailitan banyak menimbulkan problematika dan debat yuridis. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturannya banyak yang tidak jelas dan adanya ketidak sinkronan antara peraturan perundang-undangan seperti yang terdapat dalam Pasal 142 huruf d dan e yang menjelaskan bahwa pembubaran perseroan terbatas dikarenakan kondisi keuangan perusahaan tidak cukup untuk melunasi keuangannya dan karena perseroan terbatas memasuki fase insolvensi namun dalam Pasal 2 ayat 1 tentang syarat dijatuhkan pailit tidak mengatur kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan insolvensi sehingga memberikan peluang untuk beragam penafsiran yang berakibat ketidakpastian hukum.

41


(32)

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyasi kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Pernyataan tersebut mengakibatkan debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak putusan pailit dijatuhkan.

Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekstrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. Untuk mempailitkan debotor Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak diterapkannya insolvensi test mengakibatkan perusahaan di indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor di Indonesia dinyatakan pailit.42

Tidak diatur dan dibedakannya antara kemampuan debitor untuk membayar utang dengan kemauan debitor untuk membayar utang mengakibatkan banyak perseroan yang masih solven namun dapat dipailitkan. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah hartanya dibagi-bagi sampai menutupi utang-utangnya ataupun debitor masih dapat bernapas dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang. Yang jelas, jika debitor sudah dinyatakan insolvensi, dia sudah benar-benar pailit dan hartanya segera akan dibagi-bagi meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari

42


(33)

perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan. Dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pencabutan perseroan berdasarkan keputusan RUPS diajukan oleh Direksi, Dewan Komisaris atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara. Keputusan RUPS tentang pembubaran perseroan adalah sah apabila diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan/atau paling sedikit dihadiri oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.43

Sebagaimana kepailitan bisa berakibat pada hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit tetapi putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum. Kewenangan debitor atas harta kekayaannya akan diambil oleh kurator sejak jatuhnya putusan pernyataan pailit. Sesudah pernyataan pailit maka segala perikatan yang dibuat debitur dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi. Segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Bagitu pula mengenai segala


(34)

eksekusi pengadilan terhadap harta pailit. Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan dengan izin hakin pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.44

Syarat debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu “utang”45 yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya hanya kepada salah satu krediturnya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven (insolvent). Seorang debitor dalam keadaan insolven hanyalah apabila debitor itu tidak mampu secara financial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar krediturnya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolvensi apabila hanya kepada seorang kreditur saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditur lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.46

Keadaan berhenti membayar haruslah merupakan keadaan yang objektif, yaitu karena keuangan debitor telah mengalami ketidakmampuan membayar utang-utangnya. Dengan kata lain, debitor tidak boleh hanya sekedar tidak mau membayar utang-utangnya tetapi keadaan objektif keuangannya memang telah dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga yang menjadi pertimbangan pengadilan niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja dikarenakan ketidakmampuannya untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang sudah diperjanjikan. Hukum

44

http://frwarandy.blogspot.com/2012_05_01_archive.html (diakses tanggal 13 Juni 2013)

45

Menurut Pasal 1 ayat (6) UUK dan PKPU, bahwa yang dimaksud dengan Utang adalah Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.


(35)

kepailitan di Indonesia baik dalam Faillissement Verordening, UU No. 4 Tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan batasan yang jelas tentang “berhenti membayar” dan “tidak membayar”. Dengan tidak adanya tes insolvensi dalam hukum kepailitan Indonesia merupakan kelemahan. Debitor yang masih memiliki kekayaan yang cukup untuk membayar utang-utangnya dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang. Istilah “solvent”berasal dari bahasa latin “solvere” yang artinya membayar dan lawan katanya “insolvent” yang artinya tidak membayar.

Utang yang telah jatuh tempo dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih, namun utang yang dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh tempo. Utang hanyalah jatuh tempo apabila menurut perjanjian kredi atau perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. Tentu saja apabila utang tersebut telah jatuh tempo, maka kreditur mempunyai hak untuk menagih seluruh jumlah yang terutang dan jatuh tempo pada debitor.Cara pembubaran PT dalam hal kepailitan juga dapat ditemui didalam ketentuan Pasal 146 UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yaitu adanya permohonan dari kreditur

kepada Pengadilan Negeri untuk membubarkan Perseroan dengan alasan : 1. Perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit.

2. Harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas menurut UU PT, pailit tidak mengakibatkan perseroan bubar selama harta kekayaan perseroan setelah kepailitan berakhir masih ada dan dapat digunakan untuk menjalankan perseroan.Kepailitan perseroan hanya menjadi alasan tidak mampu membayar hutang kepada kreditur.


(36)

Dalam hal ini kreditur tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan tidak mampu membayar ini.Oleh karena itu apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Pengadilan Negeri. Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut diikuti dengan pemberesan sehingga kreditur berhak mendapatkan pelunasan dari hasil pemberesan tersebut.


(37)

BAB IV

PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT ATAS DEBITOR PAILIT PERSEROAN TERBATAS

A. Akibat Hukum Percabutan Pernyataan Pailit atas Debitor Pailit Perseroan Terbatas

Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).47 Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum dari putusan pailit. Hal yang utama adalah dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si debitur (si pailit) kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta

47


(38)

bendanya.Pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan curator/Balai Harta Peninggalan.48

Dengan demikian, apabila suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur dan perbuatan hukum tersebut dapat merugikan para kreditor serta dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum pernyataan pailit ditetapkan, sedangkan perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, (kecuali dapat dibuktikan sebaliknya) debitur dan pihak dengan siapa perbuatan itu dilakukan dianggap mengetahui/sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan hukum tersebut:49

a. Merupakan perikatan dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak dengan siapa perikatan tersebut dilakukan

b. Merupakan pembayaran atas atau pemberian jaminan untuk utang yang belum jatuh tempo dan belum dapat ditagih

c. Dilakukan oleh debitur perorangan, dengan atau terhadap:

1) Anggota atau istrinya, anak angkat atau keluarganya sampai derajat ketiga.

2) Suatu badan hukum dimana debitur atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam angaka 1 adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak-pihak tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, ikut serta secara langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50% dari modal disetor.

d. Dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum.

B. Upaya Hukum Pencabutan Pernyataan Pailit atas Debitor Pailit Perseroan Terbatas

Tujuan utama dalam suatu proses di muka Pengadilan adalah untuk memperoleh putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, setiap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim belum tentu dapat menjamin kebenaran secara yuridis, karena putusan itu tidak lepas dari kekeliruan dan kekilafan, bahkan tidak

48

Zainal Asikin, Op.Cit, hlm 35.

49


(39)

mustahil bersifat memihak. Agar kekeliruan dan kehilafan itu dapat diperbaiki, maka demi tegaknya kebenaran dan keadilan, terhadap putusan Hakim itu dimungkinkan untuk diperiksa ulang. Cara yang tepat untuk dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan itu adalah dengan melaksanakan upaya hukum.50

Demikian pula terhadap putusan dari Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan. Namun, perbedaan dari Pengadilan Niaga ialah hanya tersedia upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Pengadilan Niaga disebut sebagai pengadilan tingkat pertama dan tidak ada tingkat kedua atau sering disebut sebagai tingkat banding. Terhadap putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersedia upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Kasasi

Kasasi berasal dari bahasa Perancis : Cassation, dengan kata kerja casser,yang berarti membatalkan atau memecahkan putusan pengadilan, karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum, yang tunduk pada kasasi hanyalah kesalahan-kesalahan di dalam penerapan hukum saja. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, bahwa salah satu tugas dan wewenang Mahkamah Agung adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

50


(40)

Upaya hukum kasasi dalam kepailitan diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Kepailitan, prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Pendaftaran Kasasi

Dalam perkara kepailitan permohonan kasasi dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang berkedudukan sebagai pihak pada persidangan tingkat pertama maupun Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkatpertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi dalam perkara kepalitan tidak hanya terbatas pada putusan permohonan kepailitan tingkat pertama saja. Permohonan kasasi juga dapat diajukan apabila rencana perdamaian ditolak oleh Pengadilan Niaga atau dalam hal pencabutan kepailitan yang menyebabkan kepailitan berakhir. Dalam hal demikian kreditor yang menyetujui perdamaian serta debitor pailit dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa permohonan kasasi diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Selanjutnya panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftar.

b) Penyampaian Memori Kasasi

Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasasi.


(41)

Terhadap kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi itu, termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi. Panitera Pengadilan selanjutnya wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi

diterima.

d) Pegiriman Berkas ke Mahkamah Agung

Setelah semua berkas kasasi dari pihak pemohon maupun termohon kasasi lengkap, panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14 (empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Mahkamah Agung selanjutnya akan mempelajari permohonan itu sekaligus menetapkan hari sidang paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima.

e) Sidang Pemeriksaan

Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan oleh sebuah majelis hakim Mahkamah Agung yang khusus dibentuk untuk memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga.

f) Putusan Kasasi

Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan kasasi tersebut wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang


(42)

mendasari putusan tersebut dan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah putusan kasasi diucapkan Panitera padaMahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan. Salinan atas putusan kasasi tersebut selanjutnya wajib disampaikan kepada pemohon kasasi, termohon kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima.

g) Peninjauan Kembali

Kewenangan lain yang diberikan Undang-Undang kepada Mahkamah Agung ialah memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa, namun sebenarnya lembaga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum. Prinsip asas kepastian hukum menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap, tidak bisa diubah lagi. Asas kepastian hukum ini disebut nebis in idem, artinya tidak boleh terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara dua pihak dalam perkara yang sama.

Undang-Undang memberi kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali dengan segala persyaratan yang ketat. Persyaratan yang ketat tersebut dimaksudkan untuk menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, karena itu peninjauan kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Fungsi Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali adalah mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung ketidakadilan yang disebabkan kesalahan dan kekhilafan hakim.Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 memberikan hak untuk mengajukan perninjauan kembali atas putusan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Walau demikian permohonan peninjauan kembali


(43)

hanya dapat dilakukan pada dua macam alasan saja, yang masing-masing secara khusus telah dibatasi jangka waktu tertentu. Pasal 295 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan sebagai berikut:

1. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan. Bukti baru tersebut apabila diketahui pada tahap persidangan sebelumnya akan menghasilkan putusan yang berbeda. Permohonan peninjauan kembali dengan alasan ini diajukan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Terdapat kekeliruan yang nyata pada putusan hakim sebelumnya atau hakim telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum. Permohonan peninjauan kembali atas dasar alasan ini, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap.51

Prosedur permohonan peninjauan kembali diatur tersendiri pada BAB IV, Pasal 295 sampai dengan 298 Undang-Undang Kepailitan. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada Panitera Pengadilan. Panitera Pengadilan mendaftar permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani Panitera Pengadilan dengan tanggal yang sama dengan tanggal permohonan didaftarkan. Panitera Pengadilan menyampaikan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Mahkamah Agung dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan

51


(44)

didaftarkan. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali dan untuk termohon salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung yang bersangkutan, pada tanggal permohonan didaftarkan.

Panitera Pengadilan menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali berikut salinan bukti pendukung kepada termohon dalam jangkawaktu paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan, dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan. Panitera Pengadilan wajib menyampaikan jawaban kepada Panitera Mahkamah Agung, dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam jangka waktu paling lambat 32 (tiga puluh dua) hari setelah tanggal permohonan diterima Panitera Mahkamah Agung, Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada para pihak salinan putusan peninjauan kembali yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.

C. Ketentuan tentang dapat diajukan lagi Permohonan Pernyataan Pailit

Undang-Undang Kepailitan membentuk suatu peradilan khusus yang berwenang menangani perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga.Kedudukan Pengadilan Niaga berada di lingkungan Peradilan Umum.Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan


(45)

efektif. Proses permohonan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Kepailitan. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pendaftaran Permohonan Kepailitan

Permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan atas permintaan seorang atau lebih para subjek pemohon yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan.Permohonan ini ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Kepailitan tentang kompetensi relatif Pengadilan Niaga, yaitu:

a. Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.

b. Apabila Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.

c. Bagi debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia. d. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya


(46)

Pemohon juga harus menyertakan berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat pengajuan, antara lain :

1) Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga.

2) Kartu Advokat.

3) Bukti yang menunjukkan adanya perikatan (perjanjian jual – beli, hutang – piutang, putusan pengadilan, commercial paper, faktur, kwitansi, dan lain–lain.

4) Surat Kuasa Khusus.

5) Tanda Daftar Perusahaan yang dilegalisir oleh kantor perdagangan. 6) Perincian hutang yang tidak dibayar.

7) Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi (disumpah), jika menyangkut bahasa asing.

8) Nama dan alamat masing–masing kreditur / debitur. Sistematika surat permohonan pernyataan pailit pada dasarnya sama dengan surat gugatan biasa, hanya saja dalam kepailitan perlu ditambahkan pengangkatan kurator dan hakim pengawas.

Setelah menerima pendafaran tersebut Panitera Pengadilan kemudian mendaftarkan permohonan pernyataan kepailitan pada tanggal permohonan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Hal yang perlu diingat oleh pemohon ialah bahwa Permohonan pernyataan pailit yang diajukan sendiri oleh kreditor ataupun debitor sendiri wajib memakai advokat yang memiliki izin praktik beracara.Namun, apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan, tidak


(47)

diperlukan advokat. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.

2. Penyampaian kepada Ketua Pengadilan

Berkas permohonan yang diterima oleh Panitera Muda Perdata dapat dibuatkan tanda terima sementara, berupa formulir yang diisi nomor permohonan, tanggal penyerahan permohonan, nama Penasehat Hukum yang menyerahkan, nama pemohon, tanggal kembali ke Pengadilan, dalam hal berkas perkara belum selesai diteliti. Pemeriksaan persyaratan serta kelengkapan permohonan dilakukan dengan cara memberikan tanda pada formulir (check-list) sehingga apabila ada kekurangan langsung dapat terlihat. Berkas permohonan yang belum lengkap dikembalikan pada penasehat hukum, dengan dijelaskan supaya melengkapi surat-surat sesuai dengan kekurangan yang tercantum dalam formulir kelengkapan berkas permohonan (check-list).

Biaya perkara di Pengadilan Niaga besarnya ditentukan sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Niaga. Panjar biaya perkara dibayar kepada kasir; Kasir setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM dan sekaligus mencantumkan nomor perkara baik pada SKUM maupun pada lembar pertama surat permohonan; Setelah proses pembayaran panjar biaya perkara selesai, petugas mencatat data–data dan memberi nomor perkara. Cara menentukan nomor perkara didasarkan pada tata urutan penerimaan panjar biaya perkara.Untuk menentukan nomor perkara kasasi dan perkara Peninjauan kembali, digunakan nomor perkara awal (nomor pendaftaran pada saat diajukan pada


(48)

Pengadilan Niaga); Panitera selanjutnya paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan harus menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (4) UUK.

3. Penetapan hari siding

Berdasarkan Pasal 6 ayat (5) UUK, Pengadilan paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan wajib mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

4. Sidang Pemeriksaan

Sidang pertama pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Menurut Pasal 6 ayat (7) UUK, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang tersebut sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Penundaan ini atas permohonan debitor dan harus disertai alasan yang cukup. Pada sidang pemeriksaan tersebut pengadilan wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan, sedangkan apabila permohonan diajukan oleh debitor pengadilan dapat memanggil kreditor. Hal ini dilakukan jika terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi atau tidak.Pemanggilan oleh pengadilan ini dilakukan paling paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pertama pemeriksaan dilaksanakan. Sidang ini selanjutnya berjalan sebagaimana proses beracara perdata biasa, hanya saja proses beracara di Pengadilan Niaga hanya berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure). Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua


(49)

belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.

Dalam persidangan ini pemohon harus hadir, Apabila dalam sidang pertama Pemohon tidak hadir, padahal panggilan telah disampaikan secara sah (patut), maka perkara dinyatakan gugur.Apabila Pemohon menghendaki, dapat mengajukannya lagi sebagai perkara baru.Jika Termohon tidak datang dan tidak ada bukti bahwa panggilan telah disampaikan kepada Termohon maka sidang harus diundur dan Pengadilan harus melakukan panggilan lagi kepada Termohon. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

a) meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor ; atau b) menunjuk kurator sementara untuk mengawasi :

1) pengelolaan usaha debitor; dan

2) pembayaran kepada debitor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator Pengadilan hanya dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor. Ratio legis (logika ketentuan) dari norma ini adalah agar dalam proses kepailitan sebelum putusan dijatuhkan harta yang dimiliki debitor pailit tidak dialihkan atau ditransaksikan, sehingga kemungkinan jika dialihkan atau ditransaksikan bisa merugikan kreditor nantinya.

Dalam hukum kepailitan memang dikenal instrumen hukum yang namanya actio pauliana, yakni suatu gugatan pembatalan atas transaksi yang dilakukan oleh debitor pailit yang merugikan kreditor.Namun, instrumen actio pauliana ini jauh lebih


(1)

Pasal 1 UU No 37 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa pernyataan pailit oleh pengadilan, debitor tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit .8

Putusan kepailitan membawa akibat bagi si pailit atau debitor sendiri maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan kepailitan, si pailit (debitor) kehilangan hak pengurusan dan penguasaan atas budel.Ia menjadi pemilik dari

budel itu, tetapi ia tidak boleh lagi mengurus dan meguasainya. Pengurusan dan penguasaan itu beralih kepada hakim pengawasan dan kurator yang ditunjuk dari, sementara dalam hal kreditor dan debitor tidakmengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BPH) bertindak sebagai kurator.9

Akibat pernyataan pailit bagi debitor adalah sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa dengan pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannyayang dimasukkan kedalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan pailit itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan danPenundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan meliputi seluruh kekayaan milik debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga, pengawasan dan pemberesan boedel pailit ditugaskan pada kurator (Pasal 16 Undang-UndangNo. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang ).

Menurut Munir Fuady, bahwa dengan pailitnya si Debitor,banyak akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh Undang-Undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku bagi debitor dengandua metode pemberlakuan, yaitu:

1. Berlaku demi hukum

8

Iswayudi Karim, Restrukturisasi Piutang, (Jakarta: Diklat Propesi Penunjang Untuk Konsultan Hukum Pasar Modal, 2003), hlm 105.

9

Mulaiman Hadad, Indikator Kepailitan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm 67.


(2)

Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan.

2. Berlakunya secara rule of reason

Untuk akibat hukum yang berlaku secara rule of reason maka akibat hukum tersebut tidak secara otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan.10

Kata perseroan dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha. Sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia bentuk-bentuk badan usaha yang dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia adalah perseroan comanditer (CV yaitu Commanditaire Vennotschap) dan Perseroan Terbatas (PT). Bentuk-bentuk ini di atur dalam Buku ke 1 Bab III bagian kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Selain itu, masih ada bentuk usaha lain yang di atur dalam KUHPerdata yang disebut maatschap atau persekutuan perdata.

Bentuk Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang lazim dan banyak dipakai dalam dunia usaha di Indonesia karena Perseroan Terbatas merupakan asosiasi modal dan badan hukum yang mandiri. Sebutan Perseroan Terbatas (PT) ini dari hukum dagang Belanda (WvK) dengan singkatan Naamloze Vennotschap, yang singkatannya juga lama dikenal di Indonesia sebelum diganti dengan singkatan PT. Sebenarnya bentuk ini berasal dari bahasa Perancis dengan singkatan SA atau Sociate Anonyme

yang secara harfiah artinya perseroan tanpa nama. Maksudnya adalah bahwa Perseroan Terbatas itu tidak menggunakan nama salah seorang atau lebih di antara

10


(3)

para pemegang sahamnya, melainkan memperoleh namanya dari tujuan perusahaan saja (Pasal 36 KUHD). Kitab Undang-Undang Hukum Dagang maupun KUHPerdata yang mengatur tentang Perseroan Terbatas, secara formal belum pernah diganti melalui undang-undang. Undang-undang tersebut telah berlaku sejak lama berdasarkan Staatsblad 1847 Nomor 23.

F. Metode Penelitian

1. Sifat dan jenis penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penulis berupaya untuk menggambarkan sifat hubungan hukum secara normatif dalam pencabutan pernyataan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni sebuah jenis penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian aturan-aturan hak ditingkat normatif, yakni antara Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan Undang-UndangNo. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).

1. Bahan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian ini, perlu ditegaskan bahan penelitian yang dipakai,yaitu :

a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh Negara lain dan badan-badan internasional.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah,


(4)

koran-koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

2. Alat Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.11

3. Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G. Sistematika penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.

Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

11


(5)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004.

Bab ini berisikan tentang alasan pencabutan pailit, para pihak dalam pencabutan pernyataan pailit, prosedur pencabutan pernyataan pailit, dan akibat hukum pencabutan pernyataan pailit.

BAB III PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

Bab ini berisikan tentang perseroan terbatas badan hukum yang dapat dipailitkan,pembubaran perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dan keadaan harta pailit yang mengakibatkan dicabutnya pernyataan pailit perseroan terbatas.

BAB IV PENCABUTAN PERNYATAAN PAILIT ATAS DEBITOR PAILIT PERSEROAN TERBATAS

Bab ini berisi tentang akibat hukum pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas, upaya hukum pencabutan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas, ketentuan tentang dapat diajukan lagi permohonan pernyataan pailit dan kepastian hukum dalam pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana dalam Bab V ini berisikan kesimpulan dan saran-saran dari penulis


(6)

ABSTRAK

Putusan pailit dicabut apabila harta pailit tidak cukup membayar biaya kepailitan termasuk imbalan jasa kurator. Pencabutan kepailitan dilakukan Majelis Hakim yang memutuskan perkara pailit kekayaan maupun kegiatan usaha dari debitor pailit berada dalam keadaan sangat tidak mampu membayar tagihan-tagihan dari kreditor atau bahkan tidak mempunyai aset sama sekali. Rekomendasi yang dikeluarkan Hakim Pengawas didasarkan pada laporan kurator yang menemukan bahwa harta pailit maupun usaha debitor pailit tidak akan mampu membayar utang-utangnya. Bahkan imbalan jasa kurator pun tidak mencukupi dari hasil penjualan harta debitur pailit. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan pencabutan pernyataan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, bagaimana pencabutan pernyataan pailit menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan bagaimana pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka (library researh). Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa pencabutan pernyataan pailit atas debitor pailit perseroan terbatas adalah Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit. Keadaan ini terjadi bila harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan. Dalam memerintahkan pengakiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor. Biaya tersebut juga harus didahulukan pembayarannya atas semua utang yang tidak dijamin dengan agunan. Putusan yang memerintahkan pencabutan pernyataan pailit, diumumkan oleh Panitera Pengadilan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. Putusan pencabutan pernyataan pailit ini dapat diajukan kasasi dan/atau peninjauan kembali. Dalam hal setelah putusan pencabutan pernyataan pailit diucapkan diajukan lagi permohonan pernyataan pailit, maka Debitor atau pemohon wajib membuktikan bahwa ada cukup harta untuk membayar biaya kepailitan. Agar tidak terjadi kerancuan hukum dalam pencabutan pernyataan pailit, perlu adanya pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari subyek hukum pencabutan pailit yang dinyatakan pailit, sehingga dapat dibedakan hak dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hukum pribadi dengan kepailitan suatu badan hukum