Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

(1)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

TESIS

Oleh

B E L I N D A

077011009/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA


(2)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT DEBITUR

TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

B E L I N D A

077011009/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. Judul Tesis : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT

DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN

Nama Mahasiswa : Belinda Nomor Pokok : 077011009 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Dr.T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)


(4)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. Telah diuji pada

Tanggal : 07 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. ABSTRAK

UUHT menentukan jaminan hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Namun dalam UU Kepailitan, walaupun kreditur pemegang hak tanggungan dapat memperlakukan objek hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan terhadap debitur, tetapi dalam eksekusi hak tanggungan adanya ketentuan penangguhan karena objek jaminan berstatus boedel pailit. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan terhadap debitur, kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan, dan akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan.

Penelitian ini bersifat analisis deskriptif yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan akibat hukum putusan pailit debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan (data sekunder).

Hasil penelitian menunjukkan, pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur adalah dengan mengajukan permohonan pailit debitur ke Pengadilan Niaga, dengan persyaratan debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dengan dikabulkannya permohonan pailit oleh Pengadilan Niaga maka sejak saat itu debitur dinyatakan pailit. Dalam pelaksanaan kepailitan ini masih terdapat kelemahan mengenai ketentuan batasan minimal utang yang tidak ada diatur dalam UU Kepailitan. Kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam putusan kepailitan bukan berkedudukan sebagai kreditur preferen sebagaimana diatur dalam hukum perdata umum yang harus didahulukan pembayaran piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan yang dimaksud dengan kreditur preferen hanya kreditur yang menurut undang-undang didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang hak privilege, pemegang hak retensi. Sedangkan kreditur pemegang hak tanggungan diklasifikasikan sebagai kreditur separatis. Akibat kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan adalah pelaksanaan hak preferensi dari kreditur pemegang hak tanggungan ini berbeda dengan pelaksanaan hak preferensi kreditur pemegang hak tanggungan ketika tidak dalam kepailitan, yaitu adanya ketentuan mengenai masa tangguh (stay) selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit untuk mengeksekusi benda jaminan hak tanggungan yang dipegangnya. Sehingga terjadi ketidakkonsistenan dalam ketentuan undang-undang kepailitan yang disatu sisi menyatakan kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, tetapi di sisi lain adanya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan. Oleh karena itu disarankan agar dalam UU Kepailitan ditentukan pembatasan jumlah minimal utang untuk mengajukan permohonan pailit, sehingga tidak semua besaran hutang (relatif kecil) dapat dijadikan dasar untuk mengajukan pailit. Kemudian juga ditinjau kembali penangguhan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 56 karena terjadi ketidak konsistenan dengan Pasal 56.


(6)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

ABSTRACT

The Regulation of Responsibility Rights decides the guaranty that responsibility rights will provide a preferred position for certain creditor against other creditors. Yet, in the Regulations of Bankruptcy, although the creditor who holds the responsibility rights could treat the object of responsibility rights as if the debtor did not go bankrupt, but in the execution of the responsibility rights hold an adjourn regulation caused by the guaranty object status (boedel pailit). Therefore, a problem arise that concern about the law regulations in conducting bankruptcy to debtor, the position of creditor who hold the responsibility rights in the bankruptcy decision, and the cause which law of debtor bankruptcy brings to creditor who hold the responsibility rights in the execution of responsibility rights.

This research is analytic descriptive, which done by normative juridical approach, that is, an approach to laws and regulations that concern the cause of laws on debtor bankrupt decision to creditor who hold responsibility rights. The source of data was acquired from bibliographical study (secondary data).

The result of the research shows that the execution of debtor bankruptcy against creditor is applying debtor bankruptcy request to the Commercial Court, on condition that is, an unpaid collectible debt that has past the payment due date and the debtor has at least two creditors. When granted by the Commercial Court, the debtor would be declared bankrupt since then. In the execution of the bankruptcy, there is still a weak point in the Regulations of Bankruptcy that the limitation on the minimal amount of debt that can be used as based in applying bankrupt is not regulated. The position of the creditor who hold the responsibility rights in the decision of bankruptcy is not as a preference creditor whom debt must be paid first as stated in public civil law. Nevertheless, the preference creditor that stated in bankruptcy is a creditor whose debt payment must be prioritize by the means of law, such as privilege rights holder, retention rights holder. While the creditors who hold the responsibility rights are classified as separative creditor. The cause of debtor bankruptcy to creditor who hold the responsibility rights on the execution of the responsibility rights is the execution of preference rights of the creditor who hold the responsibility rights when the debtor is not bankrupt, which is, a regulation on adjournment (stay) until 90 days since the day the bankrupt is decided for execution on the responsibility rights guaranty object that he hold. So there is an inconsistence in bankruptcy regulation, which on one side stated that the creditors who hold the responsibility rights can execute the responsibility rights as if there is no bankruptcy, and the other side stated that there is a regulation that postpones the execution on responsibility rights. Therefore, it is suggested that the Regulations of Bankruptcy determinate the minimal limitation on debt in applying bankrupt, so not all the debt size (which is relative small) can be used as a base in applying bankrupt. Then, a review on the postponement of the responsibility rights execution in Section 56 also needed because there is an inconsistence with Section 55.


(7)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. KATA PENGANTAR

Pertama dan terutama dengan segala kerendahan hati terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat dan anugrah-Nya telah menambah keyakinan dan kekuatan penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “AKIBAT HUKUM PUTUSAN

PERNYATAAN PAILIT DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada dosen komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin, SH,MS,CN, Bapak Notaris Syafnil

Gani, SH, MHum., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku

dosen pembimbing, juga kepada dosen penguji Ibu Chairani Bustami, SH, SpN,

MKn dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum, atas bimbingan dan arahan untuk

kesempurnaan penulisan tesis ini. Selanjutnya diucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktur serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan


(8)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf yang memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

6. Kepada sahabat-sahabat penulis selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara : Intan Harahap, Juni Surbakti, Jagjit Singh, Artha, Juliana Citra, Nur Afni, penulis ucapkan terima kasih atas bantuan serta dorongan semangat yang kalian berikan , tanpa kalian penulis bukanlah apa-apa, begitu juga dengan teman penulis yang benar-benar sangat membantu dalam memberikan semangat dan doa kepada penulis : Erwin Chua, Susan Nyasar, Rudy, Steveni, penulis ucapkan terima kasih atas saran yang positif yang selalu membangun membuat penulis bisa bangkit dan menyelesaikan masalah yang dihadapi.

7. Kepada seseorang (RY), penulis ucapkan terima kasih atas inspirasinya untuk memberikan dorongan dan bantuan selama penulisan tesis ini.

8. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang selalu memberikan


(9)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan dikala penulis lupa untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

9. Kepada saudara-saudara penulis vera cc, budi kk, ami, ta ie, yang memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini.

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Papa Piter Zein dan Mama Tho Siauw Tjin yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, selalu membakar semangat penulis untuk menyelesaikan tesis dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis, demikian juga kepada kakak dan adik penulis tercinta, Velma dan Nila, atas motivasi dan doa kalian telah dapat diselesaikan tesis ini.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Allah, agar selalu diberikan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada kita semua. Amen. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, September 2009 Penulis,


(10)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Belinda

Tempat/ Tgl. Lahir : Pematang Siantar, 24 Agustus 1985

II. Orang Tua

Nama Ayah : Piter Zein

Ibu : Tho Siauw Tjin

III. Pendidikan

1. SD : SD Swasta Sultan Agung Tamat 1997 2. SMP : SMP Swasta Sultan Agung Tamat 2000 3. SMU : SMA Swasta Sultan Agung Tamat 2003 4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan Tamat 2007

5. S-2 : SPs USU Program Magister Kenotariatan


(11)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka teori ... 16

2. Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 28

BAB II KETENTUAN PELAKSANAAN KEPAILITAN KREDITUR TERHADAP DEBITUR ... 32

A. Pengertian Pailit ... 32

B. Proses Kepailitan ... 37

C. Ketentuan Pelaksanaan Kepailitan Kreditur Terhadap Debitur ... 42


(12)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. BAB III KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK

TANGGUNGAN DALAM PUTUSAN KEPAILITAN ... 50

A. Hak Tanggungan ... 50

B. Kreditur Dalam Kepailitan ... 61

C. Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Kepailitan ... 71

BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN DEBITUR TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ... 82

A. Kedudukan Harta Debitur Pailit ... 82

B. Eksekusi Hak Tanggungan ... 84

C. Akibat Kepailitan Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Eksekusi Objek Hak Tanggungan 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan... 104

B. Saran ... 105


(13)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana. 1

Pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional ke arah peningkatan kesejahteraan

1

Mustafa Siregar, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, (Medan: USU Press, 1991), hlm. 34.


(14)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.

Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah bukanlah tanpa resiko, karena suatu resiko mungkin saja terjadi. Resiko yang umumnya terjadi adalah resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan. Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang dipinjamkan kepada debitur berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan pada bank itu sehingga resiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.2

2

Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, terakhir diakses dari

04 April 2009.


(15)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Dalam hukum jaminan dikenal dua jenis hak jaminan kredit dalam praktek di masyarakat, yaitu :3

1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal guarantly), yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang lain pasti dibayar;

2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini apabila yang bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian penjualan hasil harta benda debitur, meliputi : privilege (hak istimewa), gadai dan hipotek.

Dahulu sebelum berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, praktek jaminan yang sering digunakan pada Perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi :4

1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

3

J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 167.

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2000), hlm.91.


(16)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk Besluit

tanggal 6 Juli 1908 No.50 (Stb.1908 No.542);

3. Fiducia (fiduciare eigendomsoverdracht), yaitu pemindahan milik secara kepercayaan;

Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan credietverband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah. Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan. Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai berikut : “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”


(17)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Apabila didalam hubungan perutangan, debitur tidak memenuhi prestasi secara suka rela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut pemenuhan piutangnya bila hutang tersebut sudah dapat ditagih, yaitu terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan cara menjual benda-benda jaminan dari debitur, yang kemudian hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk memenuhi hutang debitur.5

Untuk dapat melaksanakan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tertentu dari debitur yang dijaminkan tersebut yaitu dengan cara melalui eksekusi benda jaminan maka kreditur harus mempunyai alas hak untuk melaksanakan eksekusi melalui penyitaan eksekutorial. Syarat adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi kreditur terhadap perbuatan yang melampaui batas dari debitur. Titel eksekutorial dapat timbul berdasarkan putusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial yang memutuskan bahwa debitur harus membayar sejumlah pembayaran tertentu atau prestasi tertentu, atau dapat juga berdasarkan akta notaris yang sengaja dibuat dalam bentuk eksekutorial, dalam bentuk grosse akta. Menurut ketentuan Undang-Undang, grosse dari akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial. Dimana

5

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, pokok-pokok hukum jaminan dan jaminan perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.34.


(18)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

didalam akta itu dimuat pernyataan pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur.

Semakin lajunya pertumbuhan kehidupan dunia bisnis dan industri menuntut segala sesuatu yang cepat dan praktis tetapi mempunyai kekuatan hukum yang kuat, termasuk dalam segi hutang-piutang. Oleh karena itu, kesepakatan mengenai hutang piutang tidak hanya cukup dituangkan didalam perjanjian tertulis tetapi perlu dituangkan dalam sebuah grosse akta pengakuan hutang. Maksud dituangkan didalam grosse akta pengakuan hutang adalah supaya apabila debitur wanprestasi maka kreditur hanya tinggal mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi harta kekayaan debitur berdasarkan grosse akta pengakuan hutang kepada Pengadilan Niaga dan bukan mengajukan gugatan untuk memperoleh pemenuhan atas piutangnya tersebut. Biasanya ketika meminjamkan uangnya, kreditur menginginkan adanya jaminan untuk mendapatkan kembali pemenuhan piutangnya. Oleh karena itu, dalam praktek sering diadakan grosse akta pengakuan hutang yang dibuat didepan dan oleh notaris yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan dapat dipergunakan oleh pihak kreditur untuk menagih piutangnya manakala pihak debitur lalai membayar hutangnya. Grosse akta tersebut tidak perlu dibuktikan, sehingga harus dianggap benar apa yang tercantum didalamnya, kecuali ada bukti lawan.6

Hal tersebut dimungkinkan karena didalam grosse akta pengakuan hutang itu oleh notaris dibuat dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

6

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm.89.


(19)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Maha Esa”. Dengan adanya kata-kata tersebut maka grosse akta mempunyai title eksekutorial yang dipersamakan dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pada tahun 1997 sampai tahun 1998, perkembangan sektor moneter Indonesia7 diwarnai situasi memprihatinkan yang disebabkan oleh krisis nilai tukar. Memasuki bulan Juli 1997, krisis nilai tukar telah berubah menjadi krisis moneter dan akhirnya menjadi krisis ekonomi yang akut. Setelah langkah pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga SBI tidak membuahkan hasil8, pada tanggal 14 Agustus 1997 Bank Indonesia mengumumkan perubahan sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali (managed floating rate) menjadi mengambang bebas (floating rate). Alasan pemerintah melepas pita intervensi adalah guna menyesuaikan dengan perkembangan moneter di kawasan Asia Tenggara. Namun, adanya pita intervensi membuat nilai Rupiah menjadi semakin merosot akibat tindak spekulasi para spekulan di pasar uang. Hal ini membuat adanya kepanikan di masyarakat.9

Menyikapi krisis yang tidak juga membaik, Pemerintah kemudian mencetuskan sepuluh langkah pemulihan ekonomi pada tanggal 3 September 199710

7

Selain di Indonesia, krisis perekonomian juga terjadi di Negara Asia lainnya seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Cina dan Korea.

8

Didik J. Rachbini, Suwidi Tono, et.al, Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta: Mardi Mulyo,2000), hlm 9.

9 Ibid, hlm 87. 10

Langkah ini mencakup langkah di bidang moneter yaitu, pelonggaran likuiditas dengan menurunkan suku bunga SBI, membuka kembali fasilitas Surat Berharga Pasar Uang, mencairkan dana BUMN, menurunkan Giro Wajib Minimum, di bidang perbankan, yaitu membantu bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank-bank yang kinerjanya buruk disarankan untuk merger dengan bank-bank yang sehat, Ibid, hlm. 11-12.


(20)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

dan mendorong Pemerintah untuk meminta bantuan Dana Moneter Internasional (Internasional Monetary Fund/IMF), Bank Dunia (World Bank) dan Asian

Development Bank11

Memasuki tahun 1998, situasi moneter makin memburuk. Keadaan makin parah dengan berkurangnya pasokan barang di satu sisi, serta meningkatnya jumlah uang beredar di masyarakat sisi lain. Akibat tidak seimbangnya sisi permintaan dan penawaran tersebut, harga-harga bahan pokok segera meningkat, dan panic buying atas Dolar Amerika Serikat oleh masyarakat, memberi andil cukup signifikan atas melonjaknya inflasi bulan Januari 1998 yang mencapai 6,885

dengan komitmen diambilnya tindakan melikuidasi 16 bank swasta pada tanggal 1 November 1997.

12

Untuk membantu kondisi perekonomian Indonesia, International Monetary Fund memberikan bantuan pinjaman lunak (soft loans) pada pemerintah Indonesia. John T. Dori menyebutkan bahwa, International Monetary Fund beranggapan kesuksesan pemulihan dan reformasi perekonomian di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu International Monetary Fund mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang , dan menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat pada titik terendah pada bulan Juni 1998 yaitu sekitar 16.725 per 1 USD.

11

Ibid., hlm.12. Pinjaman mana diberikan dengan syarat Indonesia harus memperbaiki pranata ekonominya yang dianggap tidak memberi perlindungan yang cukup pada kreditur luar negeri. Kemudian dibentuklah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan, yaitu perubahan atas Peraturan Kepailitan yang ada sejak zaman kolonial yaitu Faillissementsverordening (Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 nomor 348), yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 1 Tahun 1998.

12 Ibid.


(21)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan International Monetary Fund untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru di Indonesia dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan khusus Niaga.13

Karena dirumuskan dalam waktu yang mendesak, Undang-Undang Kepailitan nomor 4 tahun 1998 sarat akan kelemahan. Misalnya kesimpangsiuran pengertian utang dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 tahun 1998 yang kemudian diperbaiki dengan merumuskan pengertian utang yang jelas dalam Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun 2004. Namun untuk syarat pengajuan permohonan

Sehingga pada tahun 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 yang melakukan perubahan terhadap Faillissement Verordening Stb. Tahun 1905 nomor 217 juncto Tahun 1906 nomor 348. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan Undang-undang nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Undang-undang Kepailitan tersebut kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebabkan sarana untuk menyelesaikan utang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1998 dianggap tidak memenuhi perkembangan dan kebutuhan masyarakat.

13

Bismar Nasution dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan, 2007), hlm. 2-3.


(22)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

pernyataan pailit14

Undang-Undang Kepailitan pada asasnya tidaklah semata-mata ditujukan untuk mempailitkan debitur yang tidak membayar utangnya. Undang-Undang Kepailitan memberi alternatif lain selain kepailitan yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya tapi masih memiliki prospek usaha yang baik serta kooperatif dengan para kreditur untuk melunasi utang-utangnya, untuk direstrukturisasi utang-utangnya dan disehatkan perusahaannya. Tindakan inilah yang seyogyanya terlebih dahulu ditempuh sebelum diajukan permohonan pailit. Dengan kata lain, kepailitan seyogyanya hanya merupakan Ultimum Remidium.

dianggap masih mengandung kelemahan, banyak debitur yang memiliki prospek usaha yang baik, dengan mudahnya dipailitkan oleh krediturnya.

Jiwa Undang-Undang Kepailitan pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan pemberesan terhadap perusahaan yang insolven, yang benar-benar telah tidak mampu dalam membayar utangnya, sehingga jalan kepailitan dimaksudkan sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang. Namun, ada kalanya debitur yang tidak mampu itu, (karena melonjaknya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat) masih memiliki prospek atau masa depan usaha yang menjanjikan, yang dikemudian hari dapat pulih kembali, apabila diberikan beberapa keringanan dalam pelunasan utangnya.

15

14

Syarat diajukannya permohonan pailit baik oleh kreditur maupun oleh debitur sendiri (voluntary petition) adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, terhadap debitur yang demikian, dapat dinyatakan pailit oleh Putusan Pengadilan.

15

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan memahami Faillissements Verordening juncto Undang-Undang nomor 4 tahun 1998, (Jakarta : Grafiti, 2002), hlm. 59.


(23)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Oleh karena putusan pernyataan pailit terhadap seseorang individu atau suatu perusahaan yang tidak membayar utangnya akan menimbulkan dampak merugikan yang sangat luas baik bagi negara maupun bagi masyarakat, yaitu dalam kaitannya dengan lembaga jaminan hak tanggungan yang melibatkan segenap pihak seperti kreditur pemegang hak tanggungan dan pihak-pihak lain yang terkait.

Kreditur pemegang hak tanggungan selaku salah satu keditur separatis dalam putusan pailit debitur tentunya akan ikut menanggung akibat dari putusan pailit terhadap debitur. Dalam memberikan pinjamannya, kreditur pemegang hak tanggungan senantiasa menjadi pihak penerima hak tanggungan dari debitur yang berkedudukan selaku pemberi hak tanggungan, apabila debitur yang bersangkutan dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan niaga. Akibat hukum dari pailitnya debitur tersebut akan mempengaruhi kreditur pemegang hak tanggungan dari jaminan atau objek yang dibebani hak tanggungan tersebut.

H. Man. S. Sastrawidjaja mengemukakan:16

Salah satu akibat hukum yang paling dominan yang mempengaruhi kreditur pemegang hak tanggungan adalah pada masa penangguhan eksekusi. Pada masa penangguhan eksekusi yang ditetapkan Undang-Undang Kepailitan selama 90 hari, Sebenarnya pernyataan pailit seorang debitur tidak terlalu penting bagi Kreditor Separatis karena mereka dapat mengeksekusi benda jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan. Hal demikian berbeda dengan Kreditor Konkuren yang tidak memiliki benda jaminan sehingga kemungkinan di antara mereka terjadi perebutan harta Debitur. Oleh karena itu, salah satu fungsi kepailitan adalah untuk memenuhi hak Kreditur bersaing atau Kreditur Konkuren secara adil, sehingga tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang secara hukum tidak dibenarkan.

16

H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm.35.


(24)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

jaminan debitur yang telah dibebani hak tanggungan untuk kepentingan kreditur berada dalam kondisi tidak boleh diganggu gugat. Hal ini dilakukan agar kurator bisa mengupayakan terjadinya perdamaian. Sehingga pada masa ini sungguhpun kreditur pemegang hak tanggungan sebagai kreditur terpisah yang secara umum memiliki hak istimewa terhadap jaminan yang telah dibebankan hak tanggungan tidak bisa melaksanakan kewenangannya selaku kreditur istimewa.

Dengan adanya ketentuan penangguhan eksekusi bukan berarti kreditur pemegang hak tanggungan tidak bisa mengeksekusi jaminan yang telah dibebankan hak tanggungan dan sekaligus berstatus boedel pailit. Segala akibat hukum yang akan berpengaruh terhadap jaminan tersebut dan kreditur separatis akan ditentukan dalam mata acara proses penyelesaian kepailitan dari putusan pailit itu sendiri.

Dalam prakteknya, antara ketentuan yang diatur dalam undang-undang dengan pelaksanaan di lapangan bertentangan. Ketentuan hukum jaminan hak tanggungan lebih menekankan pada perlindungan hukum kreditur pemegang hak tanggungan, sedangkan ketentuan yang diatur dalam hukum kepailitan di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir perlindungan hukum terhadap kreditur separatis. Kesenjangan pengaturan kedua lembaga hukum ini menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan kepailitan di Indonesia belum memenuhi konsep teori kesetaraan hukum.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah tesis yang berjudul “Akibat Hukum Putusan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”


(25)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Bagaimana ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur? 2. Bagaimana kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan

kepailitan?

3. Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah tersusun, maka tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah:

1. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur.

2. Untuk menjelaskan kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan dalam keputusan kepailitan.

3. Untuk menjelaskan akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang hak tanggungan dalam eksekusi hak tanggungan.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan merupakan satu rangkaian yang ingin dicapai bersama, dengan demikian, dari penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:


(26)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

1. Secara akademis-teoritis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai akibat hukum putusan pernyataan pailit debitur terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan.

2. Secara sosial-praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui tentang kepailitan yang dihubungkan dengan kreditur pemegang Hak Tanggungan yang diketahui mempunyai hak separatis didalam menguasai objek Hak Tanggungan yang dijaminkan oleh pihak debitur.

E. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, maka diketahui belum ada tulisan yang mengangkat mengenai “Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan”. Penulisan ini dilakuka n berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum Kepailitan, Lembaga Hak Tanggungan serta Lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah yang juga ditujuka n untuk penyelesaian masalah utang piutang. Memang ada penelitian sebelumnya yang dilakukan:

1. Kiki Riahma, NIM: 002111044, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit (Suatu Penelitian di PT. Bank Bukopin Cabang Medan)”, dan permasalahan yang diteliti adalah:


(27)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

a. Apakah fungsi dan kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996?

b. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan sesudah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam praktek Perbankan?

c. Bagaimana upaya-upaya yang dilakukan bila terjadi kredit macet sebelum jangka waktu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berakhir?

2. Nur Asmalina Siregar, NIM: 017011047, Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul ”Penyelesaian Kredit Macet Melalui Penjualan Di Bawah Tangan Benda Jaminan Yang Diikat Dengan Hak Tanggungan (Studi Kasus Terhadap Praktek Perbankan di Kota Medan)”, dan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Apakah faktor-faktor dan dasar hukum yang digunakan dalam melaksanakan penjualan di bawah tangan?

b. Bagaimana pelaksanaan penjualan di bawah tangan benda jaminan yang diikat dengan hak tanggungan?

c. Bagaimana kekuatan hukum hak atas benda jaminan pasca penjualan di bawah tangan bagi pihak ketiga?

Jika diperhadapkan permasalahan yang diteliti sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur,


(28)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.17 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi.18 Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.19 Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis,20

Ada tiga jenis unsur-unsur keadilan menurut John Finnis: 1) keterkaitan dengan pihak lain (hubungan antar orang), 2) adanya Kewajiban (duty) pada seseorang untuk memenuhi Hak Pihak lain, dan 3) kesetaraan (equility).

yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penulisan tesis ini.

21

17

J.J.H.Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2.

18

J.J.M.Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, edt.M.Hisyam, (Jakarta: FE UI, 1996), hlm. 203.

19

Ibid, hlm. 16. 20

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm.80. Sedangkan

21

Zainal Arifin Mochtar, “Panorama Teori Hukum dan Keadilan”, tanggal 14 April 2009, hlm. 1.


(29)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

menurut John Rawls ada 3 bentuk konsepsi keadilan menurut teori keadilan (A Theory of Justice), yakni:22

Dalam pelaksanaan kebajikan keadilan, maka keadilan itu selalu menjangkau hubungan-hubungan sosial, sebab pada pelaksanaan kebajikan ini harus selalu melibatkan lebih dari dua orang. Tambahan pula relasi pada orang-orang itu harus bersifat memisahkan (afstandelijk). Kebajikan ini justru berkenaan dengan relasi dengan orang lain sebagai yang lain. Dalam relasi-relasi yang lebih pribadi atau intim, kebajikan-kebajikan lain memainkan peranan. Kebajikan dari yang adil adalah menemukan keseimbangan (kesetimbangan), yang dengan itu yang lain itu justru 1. Maksimalisasi Kebebasan (Maximisation of Liberty)

Kebebasan hanya tunduk pada pembatasan yang dimaksud untuk melindungi kebebasan itu sendiri.

2. Kesetaraan untuk Semua (Equality for all)

Dalam hal kebebasan dalam kehidupan sosial dan dalam distribusi (pembagian) sumber daya sosial (Social Goods), hanya tunduk pada pengecualian bahwa ketidaksetaraan dibolehkan jika hal itu menghasilkan manfaat paling besar bagi mereka yang paling tidak sejahtera dalam masyarakat.

3. Kesetaraan dalam kesempatan dan penghapusan ketidaksetaraan dalam kesempatan berdasarkan kekayaan dan kelahiran.

22


(30)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

sebagai yang lain memperoleh apa yang menjadi haknya.23

Namun dalam prakteknya, kekuatan grosse akta sebagaimana yang tercantum dalam Sertipikat Hak Tanggungan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak murni diaplikasikan. Sebaliknya, kreditur pemegang hak tanggungan dalam melaksanakan eksekusi objek hak tanggungan selalu meminta fiat executie pengadilan. Tujuan dimintanya fiat executie pengadilan ialah untuk mendapatkan penetapan pengadilan dalam hal meletakkan sita terhadap objek hak tanggungan yang

Dengan demikian Teori yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah teori kesetaraan.

Dalam dunia usaha, banyak anggota masyarakat yang meminjam uang di Bank untuk melangsungkan kegiatan usaha. Kegiatan pinjam-meminjam itu dituangkan secara tertulis di dalam perjanjian kredit dengan bank sebagai pihak kreditur dan nasabah sebagai pihak debitur. Hal-hal yang dinyatakan dalam perjanjian kredit ini antara lain jangka waktu pembayaran, besar angsuran, bunga yang dikenakan, barang jaminan yang dijadikan jaminan kredit, sanksi yang diberikan apabila debitur wanprestasi, dan lain-lain. Dalam hal ini untuk melindungi kreditur dari kerugian karena wanprestasi debitur, maka ada perjanjian kredit yang dituangkan dalam grosse akta pengakuan hutang sejumlah uang tertentu dari debitur kepada kreditur. Tujuan pembuatan grosse akta pengakuan hutang ini adalah agar apabila debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat langsung mengeksekusi barang jaminan debitur tanpa harus meminta ketetapan hukum dari pengadilan.

23


(31)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

bersangkutan. Dengan adanya letak sita pengadilan terhadap objek tersebut, kreditur pemegang hak tanggungan bisa melaksanakan eksekusi hak tanggungan.

Dalam perjanjian kredit pinjam meminjam uang ini, maka pihak debitur akan menjaminkan sertipikat tanah untuk memperoleh dana dari pihak kreditur dengan ketentuan sertipikat tanah tersebut akan dipegang oleh pihak kreditur. Ketika debitur melakukan permohonan kredit biasanya disertai dengan jaminan. Jaminan ini berfungsi sebagai pegangan bagi bank apabila debitur tidak dapat menyelesaikan kreditnya, maka bank berhak untuk menjual barang jaminan yang diberikan oleh debitur sebagai pelunasan hutangnya. Jika hasil penjualan itu melebihi hutang debitur maka sisanya dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan. Untuk mendapatkan kredit dari Bank, debitur perlu membuat suatu perjanjian kredit. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, hal-hal yang berlaku pada perjanjian pada umumnya berlaku juga pada perjanjian kredit, seperti asas-asas perjanjian, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan overmacht, serta hal-hal yang mengakhiri perjanjian.

Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit wajib disertai dengan suatu jaminan yang merupakan pasangan dari perjanjian kredit. Dasar dari pemberian kredit adalah unsur kepercayaan dari pihak pemberi kepada penerima kredit, bahwa kredit akan dapat dikembalikan pada jangka waktu yang telah ditetapkan dan dengan jumlah yang telah diperjanjikan. Dengan adanya jaminan kredit maka semakin kuatlah kepercayaan yang diberikan bank akan kemampuan membayar kembali debiturnya. Selain memuat tentang jaminan kredit, perjanjian


(32)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

kredit memuat pula ketentuan mengenai bunga, sanksi bagi kredit tunggak dan lain-lain.

Salah satu benda tetap yang sering dijadikan objek jaminan utang adalah tanah. Dalam perkembangan terbaru, dengan keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah, maka semua benda yang berkaitan dengan jaminan utang atas tanah diatur dalam Undang-undang ini.

Setiap orang yang berutang wajib melunasi seluruh hutang-hutangnya. Hutang diberikan oleh kreditur kepada debitur dengan pemberian jaminan dari debitur kepada kreditur untuk menjamin akan pelunasan utang debitur. Dalam hal debitur wanprestasi atau gagal memenuhi kewajibannya, maka akan diadakan eksekusi terhadap aset-aset debitur yang dijadikan sebagai jaminan/agunan.24

Apabila debitur karena suatu alasan tertentu pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan utangnya yang dapat dijual untuk sumber pelunasan utang itu.

Salah satu asas penting dalam hukum jaminan dapat dilihat dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu: “Segala kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan Debitur”.

25

24

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 26.

25

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan… , Op. Cit, hlm. 7.


(33)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Pasal 1131 KUH Perdata menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur menjadi agunan bagi pelaksanaan kewajiban debitur kepada semua krediturnya, dan cara membagi harta kekayaan tersebut kepada krediturnya apabila aset debitur dijual karena tidak mampu membayar utang-utangnya26

Undang-Undang Kepailitan lahir guna mengatur mengenai cara menentukan eksistensi suatu utang debitur kepada kreditur, berapa jumlahnya yang pasti termasuk mengupayakan perdamaian yang dapat ditempuh oleh debitur kepada para krediturnya.

, diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata sebagai berikut:

Harta kekayaan debitur menjadi agunan bersama-sama bagi semua krediturnya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya.

27

1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur;

Selain itu, Undang-Undang Kepailitan lahir :

2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya;

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur sendiri.28

26

Ibid., hlm.8. 27

Ibid., hlm 13. 28

Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(34)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Dalam pelaksanaan putusan pailit yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Niaga, semua pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara kepailitan tersebut wajib menjalankan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Niaga yang telah mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan para pihak dengan berdasarkan pada Teori Kesetaraan.

Bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, putusan pailit tersebut ada kalanya dianggap tidak memenuhi Teori Kesetaraan sebagaimana mestinya. Kreditur Pemegang Hak Tanggungan selalu merasa dirugikan akibat adanya putusan pailit yang dianggap sudah memenuhi hak-hak dan kepentingan seluruh kreditur yang terkait. Sehingga dalam prakteknya, debitur pailit yang memiliki utang dengan penjaminan objek hak tanggungan selalu mendapatkan kompensasi atau keringanan dari kreditur pemegang hak tanggungan yang besangkutan. Keringanan yang diberikan dapat berupa pembaharuan perjanjian kredit atau novasi yang dalam praktek sering disebut restrukturisasi utang. Perjanjian restrukturisasi utang memungkinkan kreditur yang bersangkutan melakukan penghapusbukuan bunga, denda kredit dan atau utang lainnya yang berkaitan dengan pinjaman pokok. Kreditur pemegang hak tanggungan seringkali mengakomodir dibuatnya perjanjian restrukturisasi utang guna mengefisiensikan penyelesaian utang-piutang mereka. Adapun alasan lain diupayakannya novasi adalah untuk menghemat biaya dan waktu pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang pada akhir pelaksanaannya belum tentu memberikan hasil yang maksimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pelaksanaan peradilan yang bisa mewujudkan keseimbangan dan keadilan bagi para


(35)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

pihak, para pihak yang terkait dalam perkara kepailitan harus memperhatikan asas-asas yang diadopsi oleh Hukum Kepailitan.

Sehingga beberapa asas dalam hukum kepailitan yang penting dalam penulisan tesis ini antara lain:29

1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang Kepailitan memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditur dan debitur. Di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan tersebut oleh kreditur yang beritikad tidak baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang Kepailitan, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Undang-Undang Kepailitan tidak semata-mata bermuara pada kepailitan dan tindakan eksekusi aset debitur, terdapat alternatif lain yaitu berupa pemberian kesempatan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak membayar utangnya namun masih memiliki prospek usaha yang baik dan pengurusnya beritikad baik serta kooperatif untuk melunasi utangnya, maka dapat diupayakan restrukturisasi atas utang-utangnya dan penyehatan kembali perusahaannya, sehingga kepailitan merupakan

ultimum remidium.30

29

Sentosa Sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hlm.22-23.

30


(36)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

3. Asas Keadilan

Asas ini mecegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditur yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lainnya dan kepentingan debitur, misalnya dengan penagihan yang sewenang-wenang, bagaimana kelangsungan usaha debitur dan bagaimana pelunasan terhadap kreditur yang lain.

4. Asas putusan yang didasarkan pada persetujuan Kreditur Mayoritas31

Permohonan pernyataan pailit yang hanya diajukan oleh kreditur minoritas dan tidak disetujui oleh kreditur mayoritas, tidak akan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Sebab pengabulannya akan membawa kerugian bagi kreditur mayoritas. Demikian pula rencana perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya akan dikabulkan apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui yang hadir pada rapat kreditur yang jumlah tagihannya mewakili paling sedikit 2/3 dari seluruh jumlah tagihan dari kreditur yang hadir pada rapat.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.32

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi

31

Ibid., hlm.48. 32

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm.122.


(37)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

dan realitas.33 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.34

Penjabaran definisi utang dalam UU Kepailitan ini merupakan perbaikan yang cukup signifikan dari undang-undang kepailitan sebelumnya. Pada undang-undang kepailitan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepailitan tidak dijelaskan mengenai batasan utang tersebut. Sehingga pada mula berlakunya Undang-Undang Kepailitan revisi Tahun 1998 terdapat dua interpretasi baik dari kalangan akademisi maupun praktisi. Satu kelompok menyatakan bahwa utang di sini berarti utang yang timbul dari perjanjian utang piutang yang berupa sejumlah uang. Kelompok ini menginterpretasikan utang dalam arti sempit, sehingga tidak mencakup prestasi yang timbul sebagai akibat adanya perjanjian di luar

Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut:

Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan menyatakan:

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

33

Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 34.

34


(38)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

perjanjian utang piutang.35 Sedangkan sebagian kelompok berpendapat bahwa yang dimaksud utang dalam Pasal 1 UU Kepailitan adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Utang di sini dalam arti yang luas. Istilah utang tersebut menunjuk pada hukum kewajiban hukum perdata. Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Prestasi tersebut terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.36

Sebenarnya dalam KUH Perdata tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas sebagaimana yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUH Perdata. Namun di dalam praktik dan dalam wacana para ahli berkembang diskursus terminologi tersebut. Dari kedua pendapat tersebut mengenai utang, maka yang tepat adalah kelompok pendapat yang menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena undang-undang kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka utang dalam UU Kepailitan adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.

37

Kemudian dalam UU Kepailitan yang dimaksud utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

35

M. Hadi Shubhan, Op. Cit., hlm. 88-89 36

Ibid., hlm. 89. 37


(39)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.38

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.

Selanjutnya dapat didefinisikan beberapa pengertian sebagai berikut:

39

b. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.40

c. Debitur adalah orang atau badan usaha yang mewakili utang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau Undang-Undang.41

d. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.42

e. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa

38

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

39

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

40

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

41

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

42


(40)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.43

f. Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai wewenang khusus untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana diatur dalam hukum kepailitan.44

G. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan45 dengan langkah-langkah sistematis. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenal cara bekerja pikiran, sedangkan berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan.46

1. Spesifikasi Penelitian

43

Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, edisi revisi disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 171.

44

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

45

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16.

46

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 119.


(41)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Penelitan yang dilakukan adalah bersifat deskriptif47 analitis dengan sumber kepustakaan untuk menjawab permasalahan dan menggunakan logika berpikir yang ditempuh melalui penalaran induktif, deduktif dan sistematis dalam penguraiannya.48

2. Metode Pendekatan

Untuk menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan.

Penelitian ini akan menggambarkan kemudian mengorganisasikan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai akibat hukum putusan pernyataan pailit debitur terhadap kreditur penerima hak tanggungan yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggambaran tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan yuridis normatif49

47

Deskripsi merupakan penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm.3.

48

Runtung Sitepu, Diktat Perkuliahan Metodologi Penelitian Hukum, (Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, 2004), hlm.20.

49

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau yuridis normatif merupakan penelitian yang terdiri dari : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum dan e. Penelitian perbandingan hukum. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.45.

yang diartikan sebagai penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundangan, putusan pengadilan, buku-buku dan literatur lain mengenai Kepailitan yang dikaitkan dengan Hak


(42)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Tanggungan, mengkaji aspek hukum yang ada, dan dengan peraturan yang ada, bagaimana pelaksanaannya di masyarakat, apakah peraturan tersebut cukup menaungi fenomena yang ada atau diperlukan suatu peraturan yang lebih kompleks.

3. Sumber Data

Oleh karena penelitian ini penelitian normatif, maka data yang akan dikumpulkan berasal dari data sekunder. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : 1) Undang-Undang Dasar 1945

2) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) 3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 7) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

8) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(43)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi tentang bahan primer berupa tulisan/buku berkaitan dengan hukum perdata, hukum kepailitan dan hukum jaminan khususnya hak tanggungan.

c. Bahan hukum tertier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, berbagai majalah hukum yang berkaitan dengan masalah kepailitan serta lembaga hak tanggungan, kamus hukum, surat kabar dan internet yang berkaitan dengan permasalahan.

4. Teknik pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dari bahan hukum primer yaitu peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya maka dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen/kepustakaan (library research) yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para pakar hukum yang bersumber pada buku-buku berisi teori/pendapat para ahli hukum.


(44)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 6. Analisa Data

Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisa akan dilakukan secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.


(45)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. A. Pengertian Pailit

Menurut M. Hadi Shubhan:50

Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur.

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dan usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.

51

50

M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 1.

51

Ibid., hlm. 2.


(46)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Menurut Kartono:52

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).

Kepailitan memang tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia, tetapi apabila ia berusaha untuk memperoleh kredit, di sanalah baru terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan mempengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikannya, ia tidak akan mudah mendapatkan kredit.

53

Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan Lembaga kepailitan ini diharapkan berfungsi sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban debitur terhadap kreditur secara lebih efektif, efisien, dan proporsional.

52

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), hlm. 42.

53

Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 55-56.


(47)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

(vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian kewajiban debitur.54 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.55

UU Kepailitan ini merupakan pengganti dari Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905-217 jo. 1906-348, yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Pada saat ketentuan Peraturan Kepailitan (Faillissement Verordening) Stb. 1905—217 jo. 1906-348 diberlakukan, dalam prakteknya, masih sangat sedikit para pihak yang ada pada saat itu mempergunakan lembaga dan Peraturan Kepailitan untuk menyelesaikan persoalan utang piutangnya.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) sebagai pranata hukum lembaga kepailitan yang menjadi pedoman bertindak para pihak yang terlibat di dalamnya.

56

54

Kartini Mulyadi, dalam Rudy A Lontoh, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 168.

55 Ibid. 56

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.


(48)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Perubahan kemudian dilakukan atas ketentuan pranata hukum yang digunakan dalam penyelesaian utang piutang dengan lembaga kepailitan ini. Hal ini disebabkan karena Peraturan Kepailitan sebagai produk hukum kolonial warisan zaman penjajahan Belanda dirasakan sudah tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan mekanisme penyelesaian utang piutang. Dengan dikeluarkannya ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 yang selanjutnya diundangkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998, para pihak seperti bersemangat untuk mencoba penyelesaian utang piutang dengan menggunakan lembaga kepailitan, dengan pengertian bahwa lembaga kepailitan ini akan dapat menyelesaikan permasalahan utang piutang mereka dengan prosedur yang serba cepat.57

Pailit adalah suatu keadaan, dimana seorang debitur tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melakukan pembayaran atas utang-utangnya kepada kreditur, dan pernyataan pailit atas debitur tersebut harus dimintakan pada pengadilan. Pengertian kepailitan yang diberikan oleh undang-undang, tercantum dalam ketentuan

Untuk memenuhi kebutuhan para pihak akan lembaga peradilan yang dapat menampung upaya penyelesaian utang piutang melalui lembaga kepailitan, maka pada tahun 1998 dibentuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, dan kemudian menyusul Pengadilan Niaga Medan, Semarang, Surabaya dan Makasar pada tahun 1999.

57


(49)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Pasal 1 UU Kepailitan, yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”

Kepailitan mempunyai tujuan:58

Tujuan dari kepailitan ini merupakan perwujudan dari asas jaminan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di antara para krediturnya.

59

58

Ibid., hlm. 37. 59

Pasal 1131 KUH Perdata berbunyi: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur itu. Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata berbunyi: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.

Menjamin agar pembagian harta debitur kepada para krediturnya sesuai dengan asas pari passu, dibagi secara proporsional. Dengan demikian kepailitan dengan tegas memberikan perlindungan pada kreditur konkuren.

2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur.

Dengan dinyatakan pailit, debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus, memindahtangankan harta kekayaannya yang berubah status hukumnya menjadi harta pailit.


(50)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. B. Proses Kepailitan

Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan, yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.”

Dengan memenuhi syarat yang ditentukan di atas, maka permohonan pailit atas debitur tersebut, dapat diajukan oleh satu atau lebih krediturnya ke pengadilan niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka pengadilan niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit.

Berdasarkan ketentuan dalam UU Kepailitan, ditentukan bahwa kreditur yang mengajukan permohonan kepailitan, merupakan pihak yang bertindak selaku pemohon pailit dan merupakan pihak yang mempunyai tagihan kepada debitur yang dimohonkan pailit. Debitur dan kepailitan, dapat berupa perseorangan atau badan hukum maupun institusi. Selain dapat diajukan oleh kreditur, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan, untuk kepentingan umum permohonan kepailitan atas debitur dapat juga diajukan oleh kejaksaan.


(51)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009.

Prosedur dan proses kepailitan di pengadilan niaga, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan).

2. Panitera Pengganti mendaftarkan permohonan pernyataan pailit (Pasal 6 ayat (2) UU Kepailitan).

3. Paling lambat 2 (dua) hari sejak tanggal pendaftaran, panitera menyampaikan permohonan kepada ketua pengadilan niaga (Pasal 6 ayat (4) UU Kepailitan) 4. Paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal permohonan, pengadilan mempelajari

permohonan dan menetapkan hari sidang (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan).

5. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 6 ayat (5) UU Kepailitan).

6. Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit, harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (Pasal 8 ayat 5 UU Kepailitan).

7. Dalam putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat kurator dan hakim pengawas (Pasal 15 ayat 1 UU Kepailitan).

Dalam mengajukan permohonan pailit, disyaratkan bahwa seorang debitur pailit haruslah mempunyai dua atau lebih kreditur. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium.60

60

Munir Fuady, Hukum Pailit 1998...., Op.Cit., hlm. 64.

Kreditur yang mengajukan permohonan pailit bisa saja hanya satu dan beberapa kreditur yang


(1)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

dipegangnya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, akan tetapi kreditur pemegang hak tanggungan (separatis) masih memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai keberlangsungan usaha debitur.

3. Sebaiknya ketentuan penangguhan eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 56 UU Kepailitan dapat ditinjau kembali karena terjadi ketidakkonsistenan dengan Pasal 55 yang menyatakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan seolah-olah tidak terjadi debitur pailit. Akibat ketidakkonsistenan ini maka eksekusi hak tanggungan dalam hal pailit debitur harus berdasarkan putusan hakim di pengadilan.


(2)

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

Badrulzaman, Mariam Darus, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

Bruggink, J.J.H., “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

______, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

______, Hukum Pailit 1998, Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

______, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, edisi revisi disesuaikan dengan UU No. 37 Tahun 2004, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Gautama, Sudargo, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting Untuk Praktek Sehari-hari (Landmark Decisions), jilid 16, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

______, Komentar atas Peraturan Baru Untuk Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, Jakarta: Djambatan, 1997.

______, Hukum Agraria Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1999.

Hartono, Siti Soematri, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1993.


(3)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

Hasibuan. Effendy, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, Jakarta: Laporan Penelitian, 1997.

J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, editor M. Hisyam, Jakarta : FE UI, 1996.

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1999.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997. Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Putang Melalui Pailit atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Muljadi, Kartini, Actio Paulina dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, Bandung: Alumni, 2001.

Rachbini, Didik J., Suwidi Tono, et.al, Bank Indonesia menuju Independensi Bank Sentral, Jakarta: Mardi Mulyo, 2000.

Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: PT. Alumni, 2006.

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Sembiring, Sentosa, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Kepailitan, Bandung: Nuansa Aulia, 2006.

Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta: Kencana, 2008.

Simanjuntak, Ricardo, Esensi Pembuktian Sederhana, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005.

Singarimbun, Masri dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989.


(4)

Siregar, Mustafa, Pengantar Beberapa Pengertian Hukum Perbankan, Medan: USU Press, 1991.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999.

______, Hukum Kepailitan memahami Faillissements Verordening juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Jakarta : Grafiti, 2002.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT.RajaGrafindo

Persada, 2000.

______, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Yuhassarie, Emmy (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

______, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004.

B. Makalah, Artikel, Karya Ilmiah, dan Internet

Badrulzaman, Mariam Darus, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.


(5)

Belinda : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan, 2009. 44

Boedi Harsono dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, dalam makalahnya berjudul “Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan” yang disampaikan pada Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan tanggal 10 April 1996 di Hotel Horizon, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekeijasama dengan Kantor Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT).

Harsono, Boedi, Ceramah berjudul “Jaminan Kepaslian Hukum di Bidang Pertanahan, diadakan di Hotel Istana, Bandung, 15 Februari 1995, dikutip dan Bahan Pendalaman Menteri Hukum Tinggi Peradilan Umum, Surabaya, tanggal 2 1-25 Februari 1995

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.

Mochtar, Zainal Arifin, “Panorama Teori Hukum dan Keadilan”, terakhir diakses dari

Hukum%20dan%20Keadilan.ppt. tanggal 14 April 2009.

Nasution, Bismar dan Sunarmi, Diktat Hukum Kepailitan di Indonesia, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan, 2007.

Pelaksanaan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat, terakhir diakses dari

Sitepu, Runtung, Diktat Perkuliahan Metodologi Penelitian Hukum, Medan: Universitas Sumatera Utara Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, 2004.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.


(6)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.