Latar Belakang Pengenalan pola keberhasilan seminaris dengan menggunakan agglomerative hierarchical clustering, sebuah studi kasus atas keberhasilan studi para seminaris di Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang.

1 1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaum Beriman Kristiani ialah mereka yang karena melalui baptis diinkorporasi pada Kristus. Melalui baptis, mereka dibentuk menjadi umat Allah yang dikenal dengan Gereja. Gereja yang berada di dunia ini dibentuk dan ditata sebagai masyarakat, berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh pengganti Petrus Paus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya. 1 Menyangkut Gereja universal, tugas untuk memaklumkan Injil dipercayakan terutama kepada Paus dan kepada Kolegium Para Uskup. 2 Sejauh menyangkut Gereja partikular yang dipercayakan, tugas ini dilaksanakan oleh masing-masing Uskup. 3 Uskup dibantu oleh imam dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai rekan kerja Uskup, dalam persekutuan dengannya dan presbiteriumnya 4 imam berkewajiban mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda dan menguduskan umat Allah melalui tujuh sakramen dalam Gereja Katolik. 5 1 Kanon 204, pasal 2, “Kitab Hukum Kanonik Codex Iuris Canonici”, Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Grafika Mardi Yuana, 2006, hal. 80. 2 Kanon 756, pasal 1, hal. 221. 3 Kanon 756, pasal 2, hal. 221. 4 Presbiterium dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI berarti orang tua-tua suatu jemaat; para imam. 5 Sakramen- sakramen yang dimaksud adalah “Sakramen-sakramen Perjanjian Baru, yang diadakan oleh Kristus Tuhan dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai tindakan-tindakan Kristus dan Gereja, merupakan tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah serta menghasilkan pengudusan manusia…” Kanon 840, KHK, hal. 241. Karena pentingnya tugas yang diemban seorang imam, umat Katolik sangat membutuhkan kehadiran para imam. Namun demikian, sejarah membuktikan bahwa ada banyak calon imam atau seminaris 6 di Indonesia, tetapi biasanya hanya sedikit yang sampai pada jenjang imamat. Pembinaan dan pendidikan di seminari sering berjalan ketat dan selektif. Pendidikan dengan seleksi yang demikian sangat diperlukan, namun sekaligus mengakibatkan banyaknya seminaris yang tidak melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi, sehingga sedikit pula yang menjadi imam. Seseorang harus memenuhi berbagai syarat untuk menjadi seorang imam Gereja Katolik. Ia wajib mengikuti serangkaian pembinaan. Seminari menengah 7 menjadi tempat formal pertama untuk pembinaan seseorang dalam proses untuk menjadi seorang imam. Di seminari, secara khusus diselenggarakan pendidikan keagamaan dan pendidikan humaniora serta ilmu pengetahuan ilmiah. 8 Kemampuan intelektual scientia menjadi salah satu syarat penting. Selain itu, kesehatan sanitas yang baik juga menjadi syarat yang harus dimiliki oleh seorang calon imam. Selain itu, yang penting harus dimiliki adalah kesucian hidup sanctitas. Berbagai macam potensi baik yang ada pada setiap seminaris 6 Seminaris adalah siswa si seminari sebagai seorang calon imampaderi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Available at: http:kbbi.web.idseminaris [Diakses tanggal 05 Juni 2014]. 7 Kata seminari berasal dari kata Latin “semen”, artinya adalah “benih” atau “bibit”. Lebih lanjut, seminari juga dari “seminarium” yang berarti “tempat pembibitan” atau “tempat pesemaian benih-benih ”. Maka, seminari berarti: sebuah tempat tepatnya sebuah sekolah yang bergabung dengan asrama: tempat belajar dan tempat tinggal, di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan, secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, biasanya terdiri dari para imam dan biarawan. “Seminaris” menunjuk pada para siswa yang belajar di seminari. 8 Kanon 234, pasal 1, KHK, hal. 87. dikembangkan guna menunjang terpenuhinya syarat-syarat tersebut. Kesemua syarat tersebut harus terintegrasi secara utuh dalam pribadi calon imam. Dibutuhkan pengamatan dan penilaian untuk mengetahui apakah syarat- syarat tersebut terpenuhi dalam diri seorang calon imam. Rektor seminari dan para pendamping yang bertugas di seminari perlu mengenal setiap seminaris sejak awal masuk seminari. Pengenalan awal ini sangat berguna agar para seminaris dapat mengikuti pembinaan dengan baik. Selama perjalanan pembinaan di seminari, setiap seminaris juga perlu dievaluasi secara berkala, sejauh mana syarat-syarat untuk menjadi seorang imam sudah terintegrasi di dalam dirinya. Pada saat evaluasi, para pembina, berdasarkan pengamatan mereka, memaparkan penilaian terhadap setiap seminaris binaan mereka. Apabila ditemukan seminaris yang dinilai kurang memenuhi syarat, pada waktu evaluasi tersebut akan dibicarakan secara khusus. Rektor seminari berdasarkan pertimbangan para pembina dan juga karena pengenalannya sendiri atas seminaris, memberikan putusan apakah seminaris yang bersangkutan akan dikeluarkan atau perlu mendapat pembinaan khusus. Dengan demikian, kebijakan yang tepat dalam proses dapat diupayakan secara obyektif. Tujuan kebijakan dalam pembinaan tersebut adalah supaya banyak seminaris yang siap untuk menjadi imam. Secara umum, pengenalan terhadap seminaris dilakukan secara manual dan bahkan terkadang berdasar intuisi para pembina. Metode ini terkadang sangat menyulitkan mengingat banyaknya aspek yang harus dinilai dari setiap seminaris, ditambah lagi kalau jumlah seminarisnya banyak. Obyektivitas penilaian dapat dipertanyakan. Untuk sampai pada penilaian yang obyektif, dibutuhkan sebuah sistem analisis terhadap data yang telah dimiliki oleh para pembina. Dengan demikian akan diketahui keakuratan penilaian tersebut berhadapan dengan kriteria penilaian yang harus tercapai. Sebuah sistem analisa membutuhkan data yang telah diolah dengan baik. Dibutuhkan metode yang dapat mendukung proses analisis tersebut. Dengan mempertimbangkan jumlah data seminaris dan sistem penilaian di seminari, maka diperlukan adanya analisa pengelompokan data cluster analysis. Ada berbagai metode pengelompokan data, di antaranya adalah metode k- means k-means clustering dan metode hirarki hierarchical clustering. Metode pengelompokan data baik k-means maupun hirarki telah banyak diterapkan dalam berbagai tulisan. Sebagai contoh, metode k-means dapat digunakan untuk pengelompokan hasil evaluasi pembelajaran. 9 Metode yang sama juga dapat digunakan untuk memprediksi nilai mahasiswa. 10 Untuk menilai tingkat kedisiplinan juga dapat menggunakan metode k-means ini. 11 Seperti k-means, metode pengelompokan hirarki juga telah digunakan sebagai metode di beberapa tulisan. Sebagai contoh, pengelompokan hirarki juga dapat digunakan sebagai mesin pencari gambar geometri bangunan datar. 12 Selain itu ada juga yang menggunakannya untuk mengidentifikasi penyakit hepatitis. 13 Bukan hanya di 9 Hertartik Clarasita Devy, “Pengelompokan Hasil Evaluasi Pembelajaran Menggunakan Metode Klastering K-Means Studi Kasus: di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma”, Skripsi, USD. 10 Tri Rahayu Widiarti, “Implementasi Algoritma K-Means untuk Memprediksi Nilai Mahasiswa Studi Kasus: Mahasiswa Teknik Informatika USD”, Skripsi, USD. 11 Ihya Ulumuddin , “Penggunaan Algoritma K-Means Untuk Menentukan Nilai Kedisiplinan Siswa ”, Skripsi, Universitas Islam Negeri, 2012. 12 Astriana Krisma Risky , “Mesin Pencari Gambar Geometri Bangun Datar Menggunakan Agglomerattive Hierarchical Clustering ”, Skripsi, USD. 13 Christina Wienda Asrini , “Identifikasi Penyakit Hepatitis dengan Pendekatan Agglomerative Hierarchical Clustering ”, Skripsi, USD. bidang teknik dan kesehatan, metode hierarchical juga digunakan pada bidang sosial ekonomi. Pengelompokan hirarki digunakan juga untuk penaksiran proporsi kemiskinan 14 . Beberapa contoh dalam tulisan ini menunjukkan bahwa metode pengelompokan data dengan k-means dan hirarki dapat digunakan di berbagai bidang penelitian. Oleh sebab itu kedua metode tersebut kiranya juga mumpuni untuk digunakan pada pengenalan data dan akhirnya kemudian pembentukan sistem rekomendasi bagi rektor dan para pembina di seminari. Berkaitan dengan data yang dibutuhkan, Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang menjadi pilihan penulis. Seminari ini telah berdiri selama lebih kurang 102 tahun. Di seminari ini ada data historis seminaris yang kiranya dapat diolah. Berdasarkan analisis yang dibuat akan diketahui keberhasilan atau kegagalan seorang seminaris, atau kebutuhan pembinaan lebih lanjut terutama dari sisi intelektualnya. Hal ini akan sangat berguna bagi rektor dan proses pembinaan di seminari. Dari pengelompokan data tersebut akan diketahui kriteria para seminaris yang berhasil untuk melanjutkan ke jenjang seminari tinggi. Selain yang berhasil, dapat juga diketahui kriteria seminaris yang akan gagal, atau kemungkinan yang memerlukan pembinaan lebih lanjut. Sisi intelektual scientia menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan dalam pembinaan seminaris, sisi intelektual mendapat porsi yang lebih banyak. Selain itu, berkaitan juga dengan kapasitas ketersediaan data yang ada di Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang. Potensi-potensi 14 Yuridunis Saidah, “Penaksiran Proporsi Kemiskinan di Kabupaten Gersik Menggunakan Metode Hierarhical Bayes pada Small Area Estimation SAE”, Skripsi, Universitas Indonesia, 2010. scientia yang ada pada seminaris dapat diketahui dan dikembangkan. Dengan demikian, upaya ini dapat membantu pembinaan dan pengambilan keputusan bagi keberhasilan para seminaris. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka tulisan ini diberi judul “Pengenalan Pola Keberhasilan Seminaris Menggunakan Agglomerative Hierarchical Clustering, Studi Kasus atas Keberhasilan Studi para Seminaris Di Seminari Menengah St. Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang ”.

1.2 Rumusan Masalah