Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia Gymnasziar, 2002. Potensi dalam diri manusia akan berguna dan bermanfaat apabila digali dan diaktualisasikan secara positif menurut kultur yang ada pada setiap lingkungan hidup manusia, tetapi akan lebih berguna dan bermanfaat lagi bagi kehidupan manusia apabila potensi-potensi tersebut mendapatkan maknanya dalam setiap aktivitasnya dan menjadikan kehidupan manusia yang sehat. Kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang menjadi insan yang berguna bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Kerusakan moral dengan gangguan jiwa yang dialami setiap orang adalah karena orang-orang tersebut tidak mampu menemukan makna hidup yang baik dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Allport dalam Schultz, 1991 menyimpulkan bahwa kehidupan sehat adalah kalau seseorang memiliki suatu gambaran diri dan identitas diri yang kuat dimana ia merasakan suatu perasaan harga diri, dapat memberi cinta yang tulus tanpa syarat dan terbuka, merasa aman secara emosional, dan memiliki tujuan hidup serta perasaan akan maksud yang memberi arti dan arah kepada kehidupan. Manusia semacam itulah yang akan produktif dan efektif dalam kehidupan di tengah masyarakat. Masyarakat yang sehat terhimpun dari individu-individu yang sehat dan bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya, kehidupan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak produktif apabila di tengah-tengahhnya bertebaran individu-individu yang kehidupannya tidak bermakna. Kondisi masyarakat seperti ini rentan dan potensial menimbulkan kekacauan. Kehidupan masyarakat yang kacau dan tidak jelas arah hidupnya dapat terjadi karena tidak ada atau ketidakjelasan visi kehidupan bersama. Masyarakat seperti ini pada dasarnya adalah masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat hewani. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat seperti ini diperlukan visi yang baik dan tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup ini bisa dicapai bila pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa menekankan sejak dini pada pendidikan yang bermuatan pembentukan makna kehidupan yang baik, berkarakter, berwawasan lingkungan, yang membangun kehidupan bersama learn to leaving together, UNESCO sehingga manusia sadar akan tujuan hidupnya sebagai suatu rahmat bagi sesama. Pada dasarnya manusia memiliki cara sendiri-sendiri untuk memaknai kehidupan masa lampau, yang sedang berlangsung, dan yang akan datang dalam perspektif historis masing-masing. Dalam arti lain, setiap manusia memiliki keinginan untuk memaknai setiap aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan. Hidup tanpa makna yang baik telah banyak menghasilkan kriminal, koruptor, pecandu narkoba, pembunuh, dan bahkan pembunuh bagi dirinya sendiri. Ketiadaan atau kehilangan pegangan makna hidup dapat membuat orang mengalami kehilangan kemanusiaannya. Salah satu perbedaan manusia dengan hewan terletak pada adanya kesadaran tentang makna kehidupan, khususnya makna kehidupan tentang manfaat diri sendiri pada orang lain. Kalau orang bekerja untuk mencari uang guna membeli makanan dan mendapat tempat tinggal yang baik, pada dasarnya sama dengan hewan. Hewan juga mencari makan dan membangun sarang. Kalau orang bekerja mencari uang hanya untuk melampiaskan kasih sayang pada anak dan istrinya, hewan pun melakukan hal yang sama, hewan menjilat anak-anaknya dan mengelus pasangannya. Kalau orang bekerja hanya untuk mencari jabatan agar dia merasa berkuasa atas orang lain, inipun sama dimiliki oleh hewan. Banyak binatang yang memiliki “raja” yang akan mengusir hewan jantan lainnya bila mendekati hewan betina yang menjadi pasangannya. Dalam pencarian makna kehidupan pada setiap tindakan yang dilakukan, individu harus berusaha untuk menghayati, mengupas, atau bahkan kadang harus “menelanjangi” setiap tindakan atau event yang terjadi. Dalam usaha menelanjangi setiap tindakan, diperlukan kepekaan intuitif dan efektif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Individu dapat menemukan kebermaknaan secara aktif melalui karya atau aktivitas yang kreatif atau secara pasif, dengan mengalami keindahan. Kita dapat menemukan arti dalam sisi kehidupan yang negatif, dalam penderitaan dan kematian, dengan sikap yang sengaja kita pilih untuk menghadapi situasi-situasi kita Schultz,1991. Adanya kepekaan sosial dan penghayatan mendalam terhadap suatu makna yang terkandung dan dapat mengaktualisasikan dengan baik bisa menghasilkan pemikiran yang baik dan orientasi masa depan yang jelas. Seorang siswa SMA bertato yang mampu menghayati, mengupas, atau bahkan menelanjangi kehidupannya, mungkin akan mampu menghasilkan sesuatu yang spektakuler, atau mungkin terjadi sebaliknya, yang sebenarnya sedang berusaha mencari makna hidup dari kehidupan yang dihadapinya. “All I need is a little space to express myself.. .it’s not a lot to ask but’d be surprised” Nicolette dalam Olong, 2006. Sepanjang hayatnya manusia tidaklah hidup hanya dengan tubuh alamiahnya. Manusia selalu memunyai dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik, hingga rasa kemanusiaannya sepanjang peradaban. Salah satunya dengan menambahkan, mengubah, mengurangi, bahkan mengatur bagian tubuh alamiahnya dengan berbagai cara. Tindakan itu baik dilakukan oleh individu, kelompok komunal, hingga tingkat negara, baik secara suka rela, wajib, bahkan terpaksa. Pengubahan yang dilakukan manusia pada tubuhnya mempunyai tujuan yang bermacam- macam, berubah dari masa kemasa serta berbeda dari area budaya yang satu dengan lainnya. Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris yaitu nilai yang tidak lagi dapat dipahami sebagai suatu bentuk kebudayaan dari suatu daerah tertentu, tetapi sudah menjadi budaya global. Sebelumnya tato bernilai religius transendental yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami secara logika tetapi “harus” diterima begitu saja sebagai suatu perintah agama atau keyakinan dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman. Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, identitas tubuh, hingga solidaritas tubuh. Ketika tato menjadi trend maka ia akan kehilangan nilai sakralitasnya dan masuk kepelataran profan. Pada akhirnya, tato dipandang terdemistifikasi hingga masuk kejurang stigmatisasi negatif yang bernada klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan, gali, gento, dan lain sebagainya. Tato telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang menimbulkan kesan interpretatif. Kegiatan interpretatif inilah yang disinggung oleh Geertz 1973: yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya menuntut tingkahlaku. Ketika manusia menambahi, mengurangi, dan mengubah bagian tubuhnya maka akan memunculkan simbol ataupun makna semiotik yang dapat dibaca dengan beragam makna. Simbol adalah sebagai ajangtempatwahana yang memuat sesuatu nilai bermakna. Dari berbagai simbol tersebut kebudayaan dapat mempengaruhi cara-cara berpikir individu ataupun komunal dalam perikalunya.

B. Fokus Pertanyaan Penelitian