Kebermaknaan Hidup TINJAUAN PUSTAKA

8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Frankl Koeswara, 1987, mengatakan bahwa setiap orang memiliki medan sendiri atau misi sendiri dalam hidup untuk melaksanakan tugas konkret yang harus diisi. Karenanya tidak bisa dipindahkan dan hidupnya pula tidak bisa diulang. Melihat dasar filosofi eksistensialisme, Frankl Koeswara, 1987 menilai individu manusia bersifat dan bermakna personal, tunggal dan unik. Kepersonalan, ketunggalan dan keunikan dari kebermaknaan hidup merupakan akibat logis dari penempatan kebebasan manusia sebagai prinsip utama dalam eksistensialisme. Menurut Frankl dalam Schultz, 1991 ditempatkannya individu manusia secara eksistensialisme berakibat adanya tujuan-tujuan dari setiap orang. Konsekuensi ini memberikan arti bahwa jawaban kebermaknaan hidup individu manusia senantiasa terkait dengan kualitas penghayatan tentang tujuan-tujuan hidupnya, sehingga dapat menyebabkan peningkatan-peningkatan tegangan batin. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya. 2. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup Frankl Koeswara, 1987, mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme yakni konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna, dan konsep makna hidup. a. Konsep Kebebasan Berkeinginan Kebebasan adalah sebuah konsep yang memberi kekhasan pada eksistensialisme. Menurut Frankl Koeswara, 1987, menyebutkan bahwa kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural. Kualitas ini adalah khas manusia yang memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap kondisi diluar dirinya maupun dalam dirinya sendiri, sehingga manusia memiliki kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan penting bagi dirinya. Kebebasan di sini harus pula imbang dengan tanggungjawab agar tidak menjadi kesewenangan atau kebebasan manusia sebagai suatu kebebasan batas-batas. Manusia bebas untuk tampil di atas determinan-deterniman somatik dan psikis dari keberadaannya, sehingga manusia dapat memasuki dimensi baru yang disebut kebermaknaan hidup. b. Konsep Keinginan Akan Makna Frankl Koeswara, 1987, menyebutkan bahwa semakin seseorang terdorong untuk mencapai kesenangan, maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut mencapai kesenangan. Kesenangan ini sesungguhnya merupakan hasil dari pemenuhan dorongan atau pencapaian tujuan yang akan merusak jika dijadikan tujuan. Semakin seseorang mengarahkan dirinya secara langsung pada kesenangan maka seseorang akan semakin kehilangan sasaran yang ditujunya. Manusia bertanggungjawab atas realisasi nilai –nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau keberadaan dirinya. Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan manusia bukanlah homeostetis, melainkan noodinamik, yaitu tegangan pada tingkat tertentu yang berasal dari sifat menuntut yang lekat pada makna terhadap keberadaan yang memungkinkan manusia tetap terarah kepada nilai-nilai yang akan dan harus direalisasikannya. Kebutuhan manusia bukanlah pengurangan tegangan melainkan gerak perjuangan ke arah tujuan tertentu yang patut dicapai, yakni makna. Jadi suatu lapangan tegangan terbentuk antara apa manusia itu dengan bagaimana atau menjadi apa semestinya manusia itu. c. Konsep makna hidup Menurut Frankl Koeswara, 1987, makna merupakan sesuatu yang objektif dan berada di seberang keberadaan manusia. Berkat statusnya yang objektif, maka makna mempunyai sifat menuntut atau menantang manusia untuk menggapainya. Namun demikian, Frankl menekankan selain bersifat objektif makna juga bersifat mutlak. Nilai-nilai yang merupakan sumber dari makna adalah milik kawasan tertentu dan hanya cocok untuk situasi tertentu, sehingga disebut nilai-nilai situasional. Makna yang akan dan perlu dicapai individual adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. 3. Faktor–Faktor Kebermaknaan Hidup Frankl Koeswara, 1987 dan Schultz, 1991, berpendapat bahwa individu dapat membentuk kebermaknaan hidupnya melalui realisasi nila-nilai manusiawi yang meliputi nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai sikap. a. Nilai-Nilai Kreatif Frankl Bastaman, 1996, mengatakan bahwa inti dari nilai kreatif adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupannya. Kegiatan yang penting bagi realisasi nilai-nilai kreatif adalah bekerja. Bekerja memang tidak dengan sendirinya memberi makna bagi kehidupan individu yang melakukannya. Tetapi, aktivitas bekerja semata-mata memberikan peluang dan kesempatan paling besar untuk menemukan kebermaknaan hidup. b. Nilai-Nilai Penghayatan Menurut Frankl Bastaman, 1996, nilai penghayatan pada intinya adalah mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan luar kemudian mendalaminya. Mendalami berarti berusaha memahami, menghayati dan menyakini berbagai nilai yang ada dalam kehidupan seperti kebaikan, kebenaran, keindahan dan kebajikan serta kasih sayang maupun cinta. Menurut Frankl Schultz, 1991 bahwa nilai-nilai penghayatan adalah nilai-nilai yang direalisasikan dengan mengambil nilai sebaiknya dari nilai-nilai kreatif memberikan sesuatu dalam kehidupan, yakni sikap menerima reseptif dari atau menyerahkan diri pada dunia kehidupan. Ini dapat dilakukan dengan menemui nilai-nilai kehidupan. Makna tertinggi dari suatu momentum tertentu dalam keberadaan manusia dapat muncul dan dialami terlepas dari tindakan. Momen puncak tersebut dapat menjadi ukuran kebermaknaan hidup dan atau suatu momen tunggal dapat terbalik melampaui seluruh hidup dengan makna. Nilai-nilai kreatif direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja yang menghasilkan sumbangan bagi masyarakat dan kehidupan, sebaliknya komunitas menghantarkan individu dan penemuan makna. c. Nilai-Nilai Sikap Menurut Frankl Bastaman, 1996, nilai-nilai sikap ialah kesempatan yang harus digunakan individu untuk menentukan sikap yang tepat terhadap kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Frankl Koeswara, 1992 mengategorikan nilai-nilai sikap sebagai nilai tertinggi dari pada kedua nilai sebelumnya. Merealisasikan nilai sikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan atau permasalahan hidup yang lain, selama individu menderita, suatu keadaan yang tidak semestinya terjadi. Individu berada dalam ketegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dengan apa yang tidak semestinya terjadi di pihak lain. Pada saat itulah individu dituntut untuk mampu mengambil sikap, sehingga subjek dapat memertahankan pandangannya pada sesuatu yang ideal. Karena itu, individu dapat mengoreksi kekeliruannya meskipun kekeliruan itu tetap tidak terhapuskan. 4. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup Berdasarkan konsep-konsep logoterapi yang dirumuskan Frankl Schultz, 1991 menyimpulkan bahwa individu manusia yang telah menemukan atau berhasil membentuk kebermaknaan hidupnya, berciri- ciri sebagai berikut; a. Bebas memilih langkah tindakannya b. Bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib. c. Tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya d. Telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya e. Secara sadar mampu mengontrol diri, mampu mengungkapkan nilai-nilai pengalaman, nilai kreasi dan nilai hidup f. Telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri g. Berorientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang h. Memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap pekerjaan serta mampu mamberi dan menerima cinta. Ciri-ciri tersebut merupakan manifestasi individu yang mentransendensi diri dan mengaktuaisasikan diri. Hasil penelitian Crumbaugh dan Maholock Koeswara, 1987, menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial-ekonomi individu. 5. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup Buchari dan Budiharga 1982 mengatakan bahwa kebermaknaan hidup bermanfat bagi individu sebagai pedoman orientasi nilai dalam memilih tindakan untuk menjalankan kehidupan dimasyarakat. Hasil penelitian mereka, memberikan pandangan dasar tentang makna hidup yakni hidup untuk bekerja, hidup untuk beramal dan berbakti serta hidup untuk bersenang-senang. Hasil penelitian ini mendukung pandangan Frankl Bastaman, 1996 yang mengemukakan bahwa dengan bekerja berarti individu dapat menemukan peluang untuk memenuhi kebermaknaan hidupnya, melalui bekerja individu dapat merasakan hidupnya tidak sia-sia, tetapi memiliki arti atau makna. Jadi, kebermaknaan hidup akan mendorong manusia untuk berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya. 6. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup Kegagalan dan keterlambatan menemukan kebermaknaan hidup yang semakin lama dan semakin ekstrim oleh Frankl Koeswara, 1992 disebut sindroma ketidakbermaknaan hidup yang dilakukan dalam dua tahap yakni tahap frustasi eksistensial dan tahap neorosis noogenik. Pada tahap frustasi eksistensial, akan terjadi suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan mengatasi masalahnya secara efisien. Tahap neorosis noogenik merupakan manifestasi khusus diri frustrasi eksistensial yang ditandai oleh simptomatologi neurotik klinis yang nampak. Neurosis noogenik berkaitan dengan spiritual kepribadian individu yang secara religious menunjukkan adanya konflik-konflik moral Schultz, 1991. Keinginan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup tetap ada dalam diri individu, tetapi karena individu tidak memiliki pola-pola terintegrasi sebagai tolok ukur pencapaian kebermaknaan hidup, maka keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan, sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut membuat individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan sering kali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat konpensasi menyesatkan seperti olkoholisme, obat-obatan, perjudian dan melakukan petualangan seks. Bastaman 1995 menambahkan bahwa kebermaknaan hidup menyebabkan individu mengalami gangguan neurosis, sikap totaliter dan gaya hidup konformistis. Pernyataan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan hidup pada diri individu, dapat menyebabkan individu tidak memiliki keyakinan dan kepastian mengenai sesuatu yang harus dan seharusnya serta sepatutnya dibuat.

B. Tato