Kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh dengan tato.

(1)

ABSTRACT

THE MEANING OF LIFE FOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO PAINTED HIS BODY WITH TATTOO

Robertus Bayu Kristantoro Sanata Dharma University

2012

Being a loser, one whose life is becoming a loser shows that the person easily surrenders, although God has given him some potency in his life. This study aims to find out some factors that cause high school students painted their body with tattoos, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos, and a description of the meaning of life of some high school students who paint their body with tattoos.

This study belongs to a qualitative research. The data collections used in this study are documentation study, observation, and thorough interviews. The information is gathered from two sources, as well as the researcher’s observation while conducting the research at home, playground and school subjects. The subjects are A and L. Both of them were still studying at Muhammadiyah high school. A was in the third grade whereas L was in the second grade. Both two subjects have got tattoos in some parts of their body.

The results of this study show that: First, the factors that cause high school students who painted their body with tattoos are the lack of education or explanation from parents and teachers at school; adventure; and fashion (style). Second, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos is because of their inner intention and the support from their friends and the environment around them. Third, the meaning of life of high school students who paint their body with tattoos can be portrayed through their attitude, having a high self-confidence, freedom to choose or conduct their own pace of life in a responsible way, the feeling of an acceptance from playmates and schoolmates as well as those around neighborhood. Besides, the subjects have the authority to dismiss the influence and the view of those who see tattooed people negatively, the subjects are able to give and receive the meaning of their life related to the tattoos on their body, and the tattoo itself has never become the barrier for the subjects to socialize in their daily life.


(2)

ABSTRAK

KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH

DENGAN TATO

Robertus Bayu Kristantoro Universitas Sanata Dharma

2012

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato, motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato, dan gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari kedua sumber dan dari hasil observasi peneliti selama melakukan penelitian di rumah, tempat bermain dan sekolah subjek. Subjek penelitian ini adalah A dan L. Kedua subjek sama-sama masih duduk dibangku SMA di sekolah yang berbeda namun dalam satu yayasan yaitu Muhammadiyah. A adalah siswa SMA kelas 3 sedangkan L adalah siswa SMA kelas 2, kedua subjek sama-sama memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato yaitu tidak adanya pendidikan atau penjelasan dari orang tua dan guru di sekolah, petualangan dan fashion (gaya). Kedua: motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato adalah karena adanya niat dalam diri subjek serta mendapat dukungan dari teman-teman dan lingkungan sekitar subjek. Ketiga: gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato dapat ditunjukkan lewat sikap seperti; memiliki rasa percaya diri yang tinggi, kebebasan dalam memilih langkah hidup atau tindakannya sendiri secara bertanggungjawab, subjek merasakan adanya penerimaan dari teman-teman bermain dan sekolahnya serta orang-orang di lingkungan tempat tinggal, subjek memiliki kekuatan untuk menepis pengaruh dan pandangan orang-orang yang memandang negatif orang bertato, subjek mampu memberi dan menerima makna dirinya terkait motif dan sketsa tato yang melekat di tubuhnya, dan tato yang dimiliki subjek belum pernah menjadi penghalang dalam bergaul dan menghambat dalam kesehariannya.


(3)

KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH

DENGAN TATO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

ROBERTUS BAYU KRISTANTORO

NIM: 081114012

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Vita non vitae, Mortua non mortuus”

“Hidup tetapi tidak hidup, Mati tetapi tidak meninggal”

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Tuhan yang selalu beri aku keajaiban

Ibu Yuliana Mujiem dan Bapak A. Sarwono yang selalu setia memberiku semangat dan doa

Sahabat-sahabatku tercinta Secara istimewa bagi generasi penerus pencari makna kehidupan


(10)

ABSTRAK

KEBERMAKNAAN HIDUP SISWA SMA YANG MERIAS TUBUH

DENGAN TATO

Robertus Bayu Kristantoro Universitas Sanata Dharma

2012

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato, motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato, dan gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari kedua sumber dan dari hasil observasi peneliti selama melakukan penelitian di rumah, tempat bermain dan sekolah subjek. Subjek penelitian ini adalah A dan L. Kedua subjek sama-sama masih duduk dibangku SMA di sekolah yang berbeda namun dalam satu yayasan yaitu Muhammadiyah. A adalah siswa SMA kelas 3 sedangkan L adalah siswa SMA kelas 2, kedua subjek sama-sama memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, faktor-faktor yang menjadi penyebab siswa SMA bertato yaitu tidak adanya pendidikan atau penjelasan dari orang tua dan guru di sekolah, petualangan dan fashion (gaya). Kedua: motivasi yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato adalah karena adanya niat dalam diri subjek serta mendapat dukungan dari teman-teman dan lingkungan sekitar subjek. Ketiga: gambaran makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato dapat ditunjukkan lewat sikap seperti; memiliki rasa percaya diri yang tinggi, kebebasan dalam memilih langkah hidup atau tindakannya sendiri secara bertanggungjawab, subjek merasakan adanya penerimaan dari teman-teman bermain dan sekolahnya serta orang-orang di lingkungan tempat tinggal, subjek memiliki kekuatan untuk menepis pengaruh dan pandangan orang-orang yang memandang negatif orang bertato, subjek mampu memberi dan menerima makna dirinya terkait motif dan sketsa tato yang melekat di tubuhnya, dan tato yang dimiliki subjek belum pernah menjadi penghalang dalam bergaul dan menghambat dalam kesehariannya.


(11)

ABSTRACT

THE MEANING OF LIFE FOR HIGH SCHOOL STUDENTS WHO PAINTED HIS BODY WITH TATTOO

Robertus Bayu Kristantoro Sanata Dharma University

2012

Being a loser, one whose life is becoming a loser shows that the person easily surrenders, although God has given him some potency in his life. This study aims to find out some factors that cause high school students painted their body with tattoos, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos, and a description of the meaning of life of some high school students who paint their body with tattoos.

This study belongs to a qualitative research. The data collections used in this study are documentation study, observation, and thorough interviews. The information is gathered from two sources, as well as the researcher’s observation while conducting the research at home, playground and school subjects. The subjects are A and L. Both of them were still studying at Muhammadiyah high school. A was in the third grade whereas L was in the second grade. Both two subjects have got tattoos in some parts of their body.

The results of this study show that: First, the factors that cause high school students who painted their body with tattoos are the lack of education or explanation from parents and teachers at school; adventure; and fashion (style). Second, the motivation that encourages high school students to paint their body with tattoos is because of their inner intention and the support from their friends and the environment around them. Third, the meaning of life of high school students who paint their body with tattoos can be portrayed through their attitude, having a high self-confidence, freedom to choose or conduct their own pace of life in a responsible way, the feeling of an acceptance from playmates and schoolmates as well as those around neighborhood. Besides, the subjects have the authority to dismiss the influence and the view of those who see tattooed people negatively, the subjects are able to give and receive the meaning of their life related to the tattoos on their body, and the tattoo itself has never become the barrier for the subjects to socialize in their daily life.


(12)

KATA PENGANTAR

Pengalaman penuh makna yang penulis dapatkan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan anugerah terindah dari kasih Tuhan Yang Maha Agung. Anugerah terindah yang tiada henti penulis syukuri dan kagumi. Anugerah yang agung ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang selalu hadir dalam kehidupan penulis, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan, dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulisan skripsi ini menjadi semakin baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D, selaku dekan FKIP Unversitas Santa Dharma Yogyakarta, yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Drs. Gendon Barus, M.Si, selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling yang telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi dan memberikan dukungan penuh kepada penulis.

3. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si, selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama penelitian dan penulisan kepada penulis.

4. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si., Drs. R.H.Dj. Sinurat, M.A., selaku dosen prodi Bimbingan dan Konseling yang telah membagikan ilmu dan memberikan bimbingannya kepada penulis selama kuliah, serta terimakasih kepada dosen-dosen yang lain.

5. Sr. M. Fidelis, FCH yang setia memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaiakan penulisan skripsi ini.


(13)

6. Bapak dan Ibunda tercinta, di dalam kasih dan pengertiannya telah membawa penulis pada penemuan makna terdalam hidup ini dan memampukan penulis bertahan dengan setia menekuni penulisan skripsi ini.

7. Anwar dan Lutfi (nama samanaran), yang telah bersedia sebagai subjek penelitian dan dengan terbuka membagikan pengalamannya kepada penulis sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

8. Kalian semua yang tanpa sadar telah menstimulus penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, namun begitu penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi dunia Bimbingan dan Konseling dan bagi siapa saja yang menaruh hati pada kebermaknaan hidup, serta bagi mereka generasi penerus pencari makna hidup.

Yogyakarta, 18 Februari 2013 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Fokus Pertanyaan Penelitian ... 6

3. Tujuan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Kebermaknaan Hidup ... 8

a. Pengertian Kebermaknaan Hidup... 8

b. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup ... 9


(15)

d. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup... 13

e. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup ... 14

f. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup ... 15

2. Tato ... 17

a. Pengertian Tato ... 17

b. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato ... 20

c. Jenis Tato... 22

3. Kebermaknaan Siswa SMA yang Merias Tubuh dengan Tato ... 24

BAB III. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian ... 28

2. Metode Pengumpulan Data ... 28

a. Wawancara ... 28

b. Observasi ... 29

c. Alat Pengumpulan Data ... 30

3. Subjek Penelitian ... 30

4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

5. Uji Validitas Data ... 31

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Penelitian ... 34

a. Observasi ... 35

b. Wawancara Mendalam ... 38

2. Hasil Temuan Secara Umum ... 41


(16)

b. Lingkungan Tempat Tinggal ... 43

c. Lingkungan Sekolah ... 44

d. Komunitas Bermain... 45

e. Sifatdan Karakter Saat Ini ... 45

f. Penyesuaian Sosial ... 46

g. Pengalaman Traumatik ... 48

3. Analisis Subjek Penelitian ... 49

4. Pembahasan ... 53

a. Faktor-Faktor Penyebab Siswa SMA Bertato ... 53

b. Motivasi Siswa SMA Merias Tubuhnya dengan Tato ... 55

c. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Bertato ... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 58

2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN 1. Hasil Observasi ... 64

2. Pedoman Wawancara dan Hasil Wawancara ... 72

3. Foto Tato Subjek ... 86 4. Surat Pernyataan Subjek Penelitian


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup menjadi pecundang, menjadi orang yang kalah adalah hidup yang dimiliki oleh orang-orang yang merugi, padahal Tuhan telah menitipkan sejumlah potensi dalam diri seorang manusia (Gymnasziar, 2002).

Potensi dalam diri manusia akan berguna dan bermanfaat apabila digali dan diaktualisasikan secara positif menurut kultur yang ada pada setiap lingkungan hidup manusia, tetapi akan lebih berguna dan bermanfaat lagi bagi kehidupan manusia apabila potensi-potensi tersebut mendapatkan maknanya dalam setiap aktivitasnya dan menjadikan kehidupan manusia yang sehat. Kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang menjadi insan yang berguna bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain.

Kerusakan moral dengan gangguan jiwa yang dialami setiap orang adalah karena orang-orang tersebut tidak mampu menemukan makna hidup yang baik dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Allport (dalam Schultz, 1991) menyimpulkan bahwa kehidupan sehat adalah kalau seseorang memiliki suatu gambaran diri dan identitas diri yang kuat dimana ia merasakan suatu perasaan harga diri, dapat memberi cinta yang tulus tanpa syarat dan terbuka, merasa aman secara emosional, dan memiliki tujuan hidup serta perasaan akan maksud yang memberi arti dan arah kepada kehidupan.


(18)

Manusia semacam itulah yang akan produktif dan efektif dalam kehidupan di tengah masyarakat.

Masyarakat yang sehat terhimpun dari individu-individu yang sehat dan bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya, kehidupan masyarakat menjadi tidak sehat dan tidak produktif apabila di tengah-tengahhnya bertebaran individu-individu yang kehidupannya tidak bermakna. Kondisi masyarakat seperti ini rentan dan potensial menimbulkan kekacauan. Kehidupan masyarakat yang kacau dan tidak jelas arah hidupnya dapat terjadi karena tidak ada atau ketidakjelasan visi kehidupan bersama. Masyarakat seperti ini pada dasarnya adalah masyarakat yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat hewani. Untuk menghindari terbentuknya masyarakat seperti ini diperlukan visi yang baik dan tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup ini bisa dicapai bila pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa menekankan sejak dini pada pendidikan yang bermuatan pembentukan makna kehidupan yang baik, berkarakter, berwawasan lingkungan, yang membangun kehidupan bersama (learn to leaving together, UNESCO) sehingga manusia sadar akan tujuan hidupnya sebagai suatu rahmat bagi sesama.

Pada dasarnya manusia memiliki cara sendiri-sendiri untuk memaknai kehidupan masa lampau, yang sedang berlangsung, dan yang akan datang dalam perspektif historis masing-masing. Dalam arti lain, setiap manusia memiliki keinginan untuk memaknai setiap aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan.


(19)

Hidup tanpa makna yang baik telah banyak menghasilkan kriminal, koruptor, pecandu narkoba, pembunuh, dan bahkan pembunuh bagi dirinya sendiri. Ketiadaan atau kehilangan pegangan makna hidup dapat membuat orang mengalami kehilangan kemanusiaannya. Salah satu perbedaan manusia dengan hewan terletak pada adanya kesadaran tentang makna kehidupan, khususnya makna kehidupan tentang manfaat diri sendiri pada orang lain. Kalau orang bekerja untuk mencari uang guna membeli makanan dan mendapat tempat tinggal yang baik, pada dasarnya sama dengan hewan. Hewan juga mencari makan dan membangun sarang. Kalau orang bekerja mencari uang hanya untuk melampiaskan kasih sayang pada anak dan istrinya, hewan pun melakukan hal yang sama, hewan menjilat anak-anaknya dan mengelus pasangannya. Kalau orang bekerja hanya untuk mencari jabatan agar dia merasa berkuasa atas orang lain, inipun sama dimiliki oleh hewan. Banyak binatang yang memiliki “raja” yang akan mengusir hewan jantan lainnya bila mendekati hewan betina yang menjadi pasangannya.

Dalam pencarian makna kehidupan pada setiap tindakan yang dilakukan, individu harus berusaha untuk menghayati, mengupas, atau bahkan kadang harus “menelanjangi” setiap tindakan atau event yang terjadi. Dalam usaha menelanjangi setiap tindakan, diperlukan kepekaan intuitif dan efektif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Individu dapat menemukan kebermaknaan secara aktif melalui karya atau aktivitas yang kreatif atau secara pasif, dengan mengalami keindahan. Kita dapat menemukan arti dalam sisi kehidupan yang negatif, dalam


(20)

penderitaan dan kematian, dengan sikap yang sengaja kita pilih untuk menghadapi situasi-situasi kita (Schultz,1991).

Adanya kepekaan sosial dan penghayatan mendalam terhadap suatu makna yang terkandung dan dapat mengaktualisasikan dengan baik bisa menghasilkan pemikiran yang baik dan orientasi masa depan yang jelas. Seorang siswa SMA bertato yang mampu menghayati, mengupas, atau bahkan menelanjangi kehidupannya, mungkin akan mampu menghasilkan sesuatu yang spektakuler, atau mungkin terjadi sebaliknya, yang sebenarnya sedang berusaha mencari makna hidup dari kehidupan yang dihadapinya. “All I need is a little space to express myself...it’s not a lot to ask but’d be

surprised” Nicolette (dalam Olong, 2006). Sepanjang hayatnya manusia

tidaklah hidup hanya dengan tubuh alamiahnya. Manusia selalu memunyai dan menunjukkan ide, kreativitas, rasa estetik, hingga rasa kemanusiaannya sepanjang peradaban. Salah satunya dengan menambahkan, mengubah, mengurangi, bahkan mengatur bagian tubuh alamiahnya dengan berbagai cara. Tindakan itu baik dilakukan oleh individu, kelompok komunal, hingga tingkat negara, baik secara suka rela, wajib, bahkan terpaksa. Pengubahan yang dilakukan manusia pada tubuhnya mempunyai tujuan yang bermacam-macam, berubah dari masa kemasa serta berbeda dari area budaya yang satu dengan lainnya.

Tato kini mengalami pergeseran dan memasuki nilai antroposentris yaitu nilai yang tidak lagi dapat dipahami sebagai suatu bentuk kebudayaan dari suatu daerah tertentu, tetapi sudah menjadi budaya global. Sebelumnya


(21)

tato bernilai religius transendental yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami secara logika tetapi “harus” diterima begitu saja sebagai suatu perintah agama atau keyakinan dan magis pada masyarakat suku bangsa pedalaman. Pergeseran inilah yang kemudian menjadikan tato sebagai wilayah yang diperebutkan antara moralitas tubuh, estetika tubuh, identitas tubuh, hingga solidaritas tubuh. Ketika tato menjadi trend maka ia akan kehilangan nilai sakralitasnya dan masuk kepelataran profan. Pada akhirnya, tato dipandang terdemistifikasi hingga masuk kejurang stigmatisasi negatif yang bernada klaim bahwa tato adalah cap penjahat, bajingan, gali, gento, dan lain sebagainya.

Tato telah menjadi fenomena kebudayaan masif yang menimbulkan kesan interpretatif. Kegiatan interpretatif inilah yang disinggung oleh Geertz (1973): yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya menuntut tingkahlaku. Ketika manusia menambahi, mengurangi, dan mengubah bagian tubuhnya maka akan memunculkan simbol ataupun makna semiotik yang dapat dibaca dengan beragam makna. Simbol adalah sebagai ajang/tempat/wahana yang memuat sesuatu nilai bermakna. Dari berbagai simbol tersebut kebudayaan dapat mempengaruhi cara-cara berpikir individu ataupun komunal dalam perikalunya.


(22)

B. Fokus Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan di atas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah;

1. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab siswa SMA bertato?

2. Motivasi apa yang mendorong siswa SMA untuk merias tubuhnya dengan tato?

3. Bagaimana makna hidup yang dimiliki oleh siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk mengungkap lebih dalam tentang pemahaman kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bermanfaat bagi perkembangan bimbingan konseling dan menambah wawasan tentang kebermaknaan hidup pada siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memerluas wawasan para konselor ataupun masyarakat umum sebagai bahan pertimbangan dalam memandang manusia khususnya mereka yang menato tubuhnya, sebagai cara mereka dalam menghadapi persoalan hidup.


(23)

3. Penelitian ini diharapkan juga dapat membantu para siswa yang bertato untuk lebih memiliki pemahaman tentang kebermaknaan hidup yang lebih baik mengenai dirinya sendiri dan kehidupannya.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa setiap orang memiliki medan sendiri atau misi sendiri dalam hidup untuk melaksanakan tugas konkret yang harus diisi. Karenanya tidak bisa dipindahkan dan hidupnya pula tidak bisa diulang. Melihat dasar filosofi eksistensialisme, Frankl (Koeswara, 1987) menilai individu manusia bersifat dan bermakna personal, tunggal dan unik. Kepersonalan, ketunggalan dan keunikan dari kebermaknaan hidup merupakan akibat logis dari penempatan kebebasan manusia sebagai prinsip utama dalam eksistensialisme.

Menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) ditempatkannya individu manusia secara eksistensialisme berakibat adanya tujuan-tujuan dari setiap orang. Konsekuensi ini memberikan arti bahwa jawaban kebermaknaan hidup individu manusia senantiasa terkait dengan kualitas penghayatan tentang tujuan-tujuan hidupnya, sehingga dapat menyebabkan peningkatan-peningkatan tegangan batin. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat


(25)

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya.

2. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme yakni konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna, dan konsep makna hidup.

a. Konsep Kebebasan Berkeinginan

Kebebasan adalah sebuah konsep yang memberi kekhasan pada eksistensialisme. Menurut Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural. Kualitas ini adalah khas manusia yang memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap kondisi diluar dirinya maupun dalam dirinya sendiri, sehingga manusia memiliki kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan penting bagi dirinya. Kebebasan di sini harus pula imbang dengan tanggungjawab agar tidak menjadi kesewenangan atau kebebasan manusia sebagai suatu kebebasan batas-batas. Manusia bebas untuk tampil di atas determinan-deterniman somatik dan psikis dari keberadaannya, sehingga manusia dapat memasuki dimensi baru yang disebut kebermaknaan hidup.


(26)

b. Konsep Keinginan Akan Makna

Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa semakin seseorang terdorong untuk mencapai kesenangan, maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut mencapai kesenangan. Kesenangan ini sesungguhnya merupakan hasil dari pemenuhan dorongan atau pencapaian tujuan yang akan merusak jika dijadikan tujuan. Semakin seseorang mengarahkan dirinya secara langsung pada kesenangan maka seseorang akan semakin kehilangan sasaran yang ditujunya. Manusia bertanggungjawab atas realisasi nilai–nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau keberadaan dirinya.

Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan manusia bukanlah homeostetis, melainkan noodinamik, yaitu tegangan pada tingkat tertentu yang berasal dari sifat menuntut yang lekat pada makna terhadap keberadaan yang memungkinkan manusia tetap terarah kepada nilai-nilai yang akan dan harus direalisasikannya. Kebutuhan manusia bukanlah pengurangan tegangan melainkan gerak perjuangan ke arah tujuan tertentu yang patut dicapai, yakni makna. Jadi suatu lapangan tegangan terbentuk antara apa manusia itu dengan bagaimana atau menjadi apa semestinya manusia itu.


(27)

c. Konsep makna hidup

Menurut Frankl (Koeswara, 1987), makna merupakan sesuatu yang objektif dan berada di seberang keberadaan manusia. Berkat statusnya yang objektif, maka makna mempunyai sifat menuntut atau menantang manusia untuk menggapainya. Namun demikian, Frankl menekankan selain bersifat objektif makna juga bersifat mutlak. Nilai-nilai yang merupakan sumber dari makna adalah milik kawasan tertentu dan hanya cocok untuk situasi tertentu, sehingga disebut nilai-nilai situasional. Makna yang akan dan perlu dicapai individual adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu.

3. Faktor–Faktor Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987 dan Schultz, 1991), berpendapat bahwa individu dapat membentuk kebermaknaan hidupnya melalui realisasi nila-nilai manusiawi yang meliputi nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai sikap.

a. Nilai-Nilai Kreatif

Frankl (Bastaman, 1996), mengatakan bahwa inti dari nilai kreatif adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupannya. Kegiatan yang penting bagi realisasi nilai-nilai kreatif adalah bekerja. Bekerja memang tidak dengan sendirinya memberi makna bagi kehidupan individu yang melakukannya. Tetapi,


(28)

aktivitas bekerja semata-mata memberikan peluang dan kesempatan paling besar untuk menemukan kebermaknaan hidup.

b. Nilai-Nilai Penghayatan

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai penghayatan pada intinya adalah mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan luar kemudian mendalaminya. Mendalami berarti berusaha memahami, menghayati dan menyakini berbagai nilai yang ada dalam kehidupan seperti kebaikan, kebenaran, keindahan dan kebajikan serta kasih sayang maupun cinta. Menurut Frankl (Schultz, 1991) bahwa nilai-nilai penghayatan adalah nilai-nilai yang direalisasikan dengan mengambil nilai sebaiknya dari nilai-nilai kreatif (memberikan sesuatu dalam kehidupan), yakni sikap menerima (reseptif) dari atau menyerahkan diri pada dunia kehidupan. Ini dapat dilakukan dengan menemui nilai-nilai kehidupan.

Makna tertinggi dari suatu momentum tertentu dalam keberadaan manusia dapat muncul dan dialami terlepas dari tindakan. Momen puncak tersebut dapat menjadi ukuran kebermaknaan hidup dan atau suatu momen tunggal dapat terbalik melampaui seluruh hidup dengan makna. Nilai-nilai kreatif direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja yang menghasilkan sumbangan bagi masyarakat dan kehidupan, sebaliknya komunitas menghantarkan individu dan penemuan makna.


(29)

c. Nilai-Nilai Sikap

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai-nilai sikap ialah kesempatan yang harus digunakan individu untuk menentukan sikap yang tepat terhadap kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Frankl (Koeswara, 1992) mengategorikan nilai-nilai sikap sebagai nilai tertinggi dari pada kedua nilai sebelumnya. Merealisasikan nilai sikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan atau permasalahan hidup yang lain, selama individu menderita, suatu keadaan yang tidak semestinya terjadi. Individu berada dalam ketegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dengan apa yang tidak semestinya terjadi di pihak lain. Pada saat itulah individu dituntut untuk mampu mengambil sikap, sehingga subjek dapat memertahankan pandangannya pada sesuatu yang ideal. Karena itu, individu dapat mengoreksi kekeliruannya meskipun kekeliruan itu tetap tidak terhapuskan.

4. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup

Berdasarkan konsep-konsep logoterapi yang dirumuskan Frankl (Schultz, 1991) menyimpulkan bahwa individu manusia yang telah menemukan atau berhasil membentuk kebermaknaan hidupnya, berciri-ciri sebagai berikut;


(30)

b. Bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib.

c. Tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya

d. Telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya

e. Secara sadar mampu mengontrol diri, mampu mengungkapkan nilai-nilai pengalaman, nilai kreasi dan nilai hidup

f. Telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri

g. Berorientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang

h. Memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap pekerjaan serta mampu mamberi dan menerima cinta. Ciri-ciri tersebut merupakan manifestasi individu yang mentransendensi diri dan mengaktuaisasikan diri. Hasil penelitian Crumbaugh dan Maholock (Koeswara, 1987), menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial-ekonomi individu.

5. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup

Buchari dan Budiharga (1982) mengatakan bahwa kebermaknaan hidup bermanfat bagi individu sebagai pedoman orientasi nilai dalam memilih tindakan untuk menjalankan kehidupan dimasyarakat. Hasil penelitian mereka, memberikan pandangan dasar


(31)

tentang makna hidup yakni hidup untuk bekerja, hidup untuk beramal dan berbakti serta hidup untuk bersenang-senang.

Hasil penelitian ini mendukung pandangan Frankl (Bastaman, 1996) yang mengemukakan bahwa dengan bekerja berarti individu dapat menemukan peluang untuk memenuhi kebermaknaan hidupnya, melalui bekerja individu dapat merasakan hidupnya tidak sia-sia, tetapi memiliki arti atau makna.

Jadi, kebermaknaan hidup akan mendorong manusia untuk berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.

6. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup

Kegagalan dan keterlambatan menemukan kebermaknaan hidup yang semakin lama dan semakin ekstrim oleh Frankl (Koeswara, 1992) disebut sindroma ketidakbermaknaan hidup yang dilakukan dalam dua tahap yakni tahap frustasi eksistensial dan tahap neorosis noogenik. Pada tahap frustasi eksistensial, akan terjadi suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan mengatasi masalahnya secara efisien. Tahap neorosis noogenik merupakan manifestasi khusus diri frustrasi eksistensial yang ditandai oleh simptomatologi neurotik klinis yang nampak. Neurosis noogenik


(32)

berkaitan dengan spiritual kepribadian individu yang secara religious menunjukkan adanya konflik-konflik moral (Schultz, 1991).

Keinginan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup tetap ada dalam diri individu, tetapi karena individu tidak memiliki pola-pola terintegrasi sebagai tolok ukur pencapaian kebermaknaan hidup, maka keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan, sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut membuat individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan sering kali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat konpensasi menyesatkan seperti olkoholisme, obat-obatan, perjudian dan melakukan petualangan seks. Bastaman (1995) menambahkan bahwa kebermaknaan hidup menyebabkan individu mengalami gangguan neurosis, sikap totaliter dan gaya hidup konformistis.

Pernyataan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan hidup pada diri individu, dapat menyebabkan individu tidak memiliki keyakinan dan kepastian mengenai sesuatu yang harus dan seharusnya serta sepatutnya dibuat.


(33)

B. Tato

1. Pengertian Tato

Secara epistemologi tato memiliki istilah yang hampir sama digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya tatoage, tatouage, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tattoos, tatugens, tatoveringer, dan tatu. Dalam bahasa Indonesia kata tato merupakan serapan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh.

Konon, kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau” yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Pada buku “the art new Zealand” Anne Nicholas (Olong, 2006) menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks mencatat yang pertama kali berlabuh di Tahiti pada tahun 1769. Disana Joseph mencatat berbagai fenomena manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato.

Tato dapat menjadi sebuah status sosial dalam khasanah tradisional, tetapi dalam dunia modern, meski sempat mendapat stigma negatif tato adalah fashion. Tidak berlebihan kalau tato disebut sebagai “penanda”. Sejak 12 ribu tahun SM bahkan hingga saat ini anggapan itu masih berlaku. Pilihan gambar sedikit banyak menunjukkan jati diri pemilik tato. Hanya saja sebelum memutuskan mentato tubuh, kesiapan psikis adalah yang paling penting, apalagi jika subjek memilih tato


(34)

permanen yang terlanjur menempel akan susah dihapus jika di kemudian hari ternyata tidak suka.

Sejalan dengan berkembangnya seni tato kini telah ditemukan jenis tinta baru yang lebih aman dipakai dan jauh lebih mudah dihilangkan apabila sudah tidak dikehendaki lagi. Sejauh ini belum ada standar keamanan untuk pewarna yang dipakai dalam seni melukis tubuh. Tato biasanya menggunakan bahan-bahan seperti karbon, garam-garam logam, dan bahan lain yang dipakai dalam percetakan dan pengecatan mobil. “Padahal logam-logam berat dan bahan beracun yang ada dalam pewarna tersebut dapat masuk kesistem kelenjar getah bening”, ungkap Martin Schmieg, penemu tinta aman untuk tato (Olong, 2006).

Henk Schiffmacher (Olong, 2006) mengatakan bahwa tato sebagai tradisi sejumlah etnis kuno mulai dari suku Maori, Inca, Polynessians, Mesir Kuno, dan banyak lagi. Tato pada suku dayak di Indonesia memiliki makna yang beraneka macam dari sebuah budaya sampai sebagai modis atau trendi. Secara ritual dan tradisi, tato memiliki sesuatu yang sangat penting, bahkan sering dianggap magis. Sementara pada jaman modern tato adalah bagian dari seni bukan sebagai fashion. Sebelum dianggap sebagai mode, tato dianggap sebagai simbol pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat bahkan semakin menyempurnakan citra tato sebagai simbol anti kemapanan. Sebagai masyarakat pada negara tertentu, tradisi tato dilakukan melalui upacara atau prosesi tertentu yang berhubungan dengan siklus hidup seseorang.


(35)

Adapun yang pertama kali ditato telah dianggap mencapai kedewasaan, baik secara biologis maupun secara psikologis. Orang tersebut baru dinyatakan boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang tadinya hanya boleh diikuti atau dilakukan oleh orang dewasa seperti memilih jodoh, dan lain-lain. Tato juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan yang dimiliki seseorang sehingga berfungsi menunjukkan kedudukan seseorang, seperti pada masyarakat suku mentawai, yang mendapat tato atau rajah pada inisiasi.

Pada tahun-tahun 80-an (Olong, 2006) orang akan merasa takut, minimal orang akan curiga melihat orang bertato. Saat itu tato identik dengan preman, penjahat, gali, bandit, apalagi hal itu dikukuhkan dengan adanya kasus penembakan misterius (Petrus) sekitar awal tahun 1980-an kepada orang-orang yang disebut penjahat yang secara kebetulan bercirikan tato di tubuhnya. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu serta keterbukaan dan modernisasi, tato tidak selalu merupakan sesuatu yang menakutkan dan dianggap sebagai lambang kriminalitas. Kendati demikian, sejumlah penjahat masih menggunakan tato untuk mengukuhkan “profesinya”, namun tato nampak memasyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, tato adalah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa, seni dan dianggap sebagai sesuatu yang modis, trend, dan fashionable.


(36)

2. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato

Menurut Henk Schiffmacher (Olong, 2006) menyebutkan bahwa diaspora tato, sebuah kebudayaan yang ubiquitos (ada dimana-mana), layaknya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan identitas. Identitas merupakan bagian dari kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Tato sebagai wahana identitas, merupakan tanda pada tubuh, yang dibutuhkan sebagai eksistensi oleh setiap manusia diberbagai belahan dunia. Kenyataannya, selain memiliki keinginan untuk berbeda dari orang lain, “need for isolation”, manusia memiliki kecenderungan untuk sama dengan yang lain, “need for union”. Kerena itu, nama saja tidaklah cukup sebagai pembeda.

Christopher Scoot (Olong, 2006) membagi motivasi dan stimulus tato tradisional ke dalam empat tema besar, yaitu:

a. Tato bertujuan sebagai fungsi kamuflase (penyamaran) selama masa perburuan. Pada perkembangannya, tato digambarkan sebagai prestasi dari hasil berburu binatang, kemudian berlanjut kepada manusia sebagai objek perburuan. Di sinilah kemudian tato mengalami perkembangan image sebagai hasil dari pemenggalan kepala manusia. Tipe kalitas (pemaknaan) tato ini ditemukan pada masyarakat Dayak Kayan dan Iban.

b. Tato merupakan perintah religius masyarakat yang diyakinkan dengan iming-iming surga, atau dikatakan perintah Mori Kraeng (Tuhan). Tato merupakan simbolitas kesetiaan kepada adat dan


(37)

religiusitasnya. Tidaklah mengherankan jika masyarakat adat tradisional memotong jari, menggunting rambut, melubangi daging telingga, lidah, meratakan gigi, membakar sebagian wajah dengan batu panas. Diyakini bahwa tindakan menyiksa tubuh tersebut untuk memuluskan jalan menuju nirwana. Misalnya pada masyarakat kepulauan Hawai yang bertato akan menghadapi kematian dengan senang hati.

c. Tato sebagai inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan dari anak-anak ke remaja, dari gadis ke perempuan dewasa, perempuan dewasa ke ibu. Tato juga dianggap mampu mengatasi masa-masa sakit dan duka.

d. Tato sebagai jimat mujarab, simbol kesuburan dan kekuatan dalam melawan berbagai penyakit, kecelakaan, bencana alam dan gangguan setan.

Selain keempat alasan di atas, kepuasan pribadi juga selalu menjadi alasan, sekedar cuek, iseng atau hanya sekedar ingin saja, seringkali didengar dari orang yang bertato. Berdasarkan semua alasan itu akan berujung pada kepuasan yang datang dari dalam diri, karena tidak mungkin seseorang bertato permanen hanya untuk keisengan dan coba-coba. Tato memang memiliki seribu satu alasan untuk bisa menempel pada tubuh seseorang, tentu dengan ide kreatif seseorang itu sendiri.


(38)

3. Jenis tato

Kent-Kent (Olong, 2006) mengatakan bahwa seni tato dapat diklarifikasikan menjadi lima bagian, yaitu:

a. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau bentuk muka.

b. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan blok warna. Banyak dipakai oleh suku Maori. c. Out School, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman

dulu, seperti perahu, jangkar, atau simbol love yang tertusuk pisau.

d. New School, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti dan anime.

e. Biomekanik, berupa gambar-gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti gambar robot atau mesin.

Bermacam bentuk dan desain ini menunjukkan sebuah perkembangan tato ketahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya mampu menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

Chris Miller (Olong, 2006) menguraikan beberapa desain tato maskulin yang diyakini memberikan rasa dan kekuatan berbeda bagi pemakainya, yaitu:

a. Api, menyimbolkan dualisme kehidupan. Satu sisi api menghangatkan dan berguna bagi kebutuhan hidup manusia.


(39)

Api sering dijadikan representasi media spiritual yang melambangkan reinkarnasi dan kesucian. Sisi lain api menyimbolkan sesuatu yang merusak, memiliki daya pemusnah dan dianggap sebagai sumber kematian yang menakutkan. b. Elang, merupakan simbol kekuatan dalam berperang.

Ketajaman, kekuatan dan kecepatan serta kemampuan yang ulung, sehingga karakteristiknya selalu diadopsi oleh para prajurit yang kuat dan bijaksana.

c. Jangkar, awalnya gambar jangkar oleh umat Kristen dianggap sebagai simbol penyelamatan. Model tato ini sangat popular dikalangan pelaut kerena dianggap sebagai mistifikasi penyelamat dan pengaman pelaut dari tenggelamnya kapal. d. Beruang, menurut totem masyarakat Indian Amerika, beruang

dikenal sebagai hewan yang bijaksana, tegar namun sukar dikekang. Beruang merupakan hewan yang bengis dan tak terkalahkan dalam setiap perkelahian. Beruang juga dapat bergerak dinamis, terutama ketika berdiri sebagaimana layaknya manusia.

e. Macan, kepercayaan masyarakat Cina sering menyamakan hewan ini dengan kegelapan atau masa bulan baru sebelum berbentuk sabit. Macan, juga selalu diasosiasikan dengan kemurkaan, kemisteriusan, dan kekejaman.


(40)

f. Matahari, menurut mitologi Mesir, matahari merupakan perlambang Dewa Ra yang mendapat julukan sebagai anak surga. Matahari merupakan simbol kekuatan prima dan kekuasaan tertinggi.

g. Pisau dan Pedang, secara maknawi pisau dan pedang memiliki simbol yang mirip namun berbeda. Pisau sering diasosiasikan sebagai alat kelamin (phallus), penggambaran rasa dendam seorang laki-laki pengecut, juga menggambarkan kekuatan fisik. Pedang menggambarkan tingkat spiritualitas dan kesatriaan seseorang. Pedang juga diasosiasikan sebagai phallus.

h. Singa, menurut kepercayaan masyarakat Romawi, raja hutan atau singa disimbolkan sebagai Dewa Matahari yang bernama Mithras. Simbolisasi Mithras ini hanya dibatasi oleh laki-laki, khususnya para prajurit yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, dan ciri-ciri maskulin lainnya.

C. Kebermaknaan Hidup Siswa SMA Yang Merias Tubuh dengan Tato

Tiga hal penting yang perlu diketahui pada sub bab ini yaitu persoalan kebermaknaan hidup, remaja, dan tato. Seperti sudah dijelaskan di depan bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya. Tato adalah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa, seni, dan dianggap sebagai sesuatu yang modis, trend,


(41)

dan fashionable. Selanjutnya adalah remaja yakni manusia atau individu yang berusaha untuk selalu menemukan kebernilaian atau kebermaknaan dalam hidupnya melalui ide, rasa, dan kreativitas yang dimiliki individu tersebut.

Pada kehidupan siswa SMA, gejala ketertarikan pada tato sangat tinggi. Ketertarikan ini didasari oleh berbagai alasan, mulai dari sekedar ikut-ikutan, petualangan, bakat, fashion hingga sebagai ekspresi sebuah seni. Pada kalangan siswa SMA, bertato bukanlah sebuah perkara yang mudah, mengingat bahwa tuntutan mereka sebagai pelajar yang sedang menempuh pendidikan Selain itu, persyaratan untuk sebuah lapangan pekerjaan yang menuntut untuk bebas dari hal-hal negatif termasuk tato. Anggapan dan stigma negatif terhadap tato masih sangat luas di kalangan masyarakat luas. Pandangan dan harapan masyarakat luas menjadi tantangan tersendiri bagi siswa SMA yang sudah memutuskan dirinya untuk bertato.

Siswa SMA dengan ide, rasa, dan kreativitas yang dimilikinya mencoba untuk membentuk atau menemukan nilai atau makna dari sesuatu yang merupakan hasil dari perwujudan ide, rasa, dan kreativitasnya yaitu tato. Untuk menemukan nilai atau makna tato, Frankl (Koeswara, 1987) mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme, yakni; konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna, dan konsep makna hidup. Ketiga konsep ini juga akan sangat bergantung pada nilai kreatif, nilai penghayatan, dan nilai sikap dari siswa SMA bertato.


(42)

Siswa SMA merupakan remaja tengah dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai pada masa remaja. Menurut Hurlock (1991:11), siswa SMA (remaja) memiliki tugas perkembangan sebagai berikut; mampu menerima keadaan fisiknya, mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa, mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok, mencapai kemandirian emosional, dan mencapai kemandirian ekonomi. Selain itu, siswa SMA (remaja) diharapkan mampu mencapai pemenuhan diri dan pengembangan potensi diri, mengembangkan konsep dengan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat, memahami nilai-nilai orang dewasa dan orang tua, dan mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan, serta memahami dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga.

Melalui tato sebagai sebuah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa, seni dan dianggap sesuatu yang modis, trendi dan fashionable, remaja mencoba untuk menemukan nilai atau makna dalam kehidupannya. Jika siswa SMA bertato berhasil atau mampu menemukan nilai atau makna dari tato yang ada pada tubuhnya dan/atau siswa SMA berhasil menemukan kebermaknaan hidupnya, Frankl (Schultz, 1991) mengatakan akan memiliki ciri-ciri seperti bebas memilih langkah tindakannya, bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib, tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya. Selain itu, siswa SMA yang telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya, secara sadar mampu mengontrol diri, dan mampu mengungkapkan nilai-nilai pengalaman, nilai


(43)

kreasi dan nilai hidup, telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri. Siswa SMA yang telah menemukan makna dalam hidupnya memiliki orientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang, memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap pekerjaan serta mampu memberi dan menerima cinta.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kebermaknaan hidup siswa SMA bertato adalah kemampuan siswa SMA untuk berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan dilakukan dengan kerangka studi kasus, yakni studi kasus yang mendalam terhadap satu atau beberapa aspek yang dipilih dari data yang ada serta relevan dengan permasalahan mengenai kebermaknaan hidup siswa SMA yang merias tubuh dengan tato. Tujuannya untuk mempertahankan pemahaman subjek penelitian. Hal ini berarti bahwa data dan fakta yang telah dikumpulkan, ditelaah, dipelajari, dan dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang intrgrasi.

Menurut Denzin dan Linclon (Moleong, 2010), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar belakang alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan melakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sebab itu peneliti harus berada di lapangan dalam jangka waktu yang lama.

B. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara

Banister (Poerwandari, 1998), wawancara adalah percakapan dan tanyajawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan


(45)

eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Wawancara sangat penting dalam penelitian kualitatif karena proses ini mengungkap makna yang dipahami individu (subjek). Hal ini yang mengundang peneliti untuk menggunakan metode wawancara dalam penelitiannya. Peneliti menggunakan metode wawancara bebas tidak berstruktur yaitu dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, mencantumkan isu yang harus diteliti tanpa ada urutan. Pedoman wawancara yang digunakan peneliti mengenai aspek-aspek yang akan dibahas dan sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek tertentu sudah dibahas atau sudah ditanyakan.

2. Observasi

Menurut Patton (Poerwandari, 1998), observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Hadi, 1992, mengatakan bahwa observasi diartikan sebagai suatu penghayatan dan pencatatan yang dilakukan secara sistematis serta teratur terhadap gejala-gejala yang diamati,yang dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.

Observasi sangat penting dan sangat besar pengaruhnya dalam suatu hasil wawancara. Hal ini karena dalam suatu wawancara tidak hanya berpegang pada apa yang dikatakan oleh subjek yang diwawancarai, namun lebih lagi pada bagaimana subjek itu mengungkapkan sesuatu,


(46)

misalnya kecepatan bicara, nada suara, perubahan raut wajah atau ekspresi wajah, posisi duduk, dan ekspresi non verbal lainnya.

3. Alat Pengumpulan Data

a. Handphone, berfungsi untuk menghubungi subjek dalam membuat janji wawancara dan berfungsi untuk merekam semua percakapan dan pembicaraan dalam wawancara.

b. Buku catatan dan pena, berfungsi untuk menulis pertanyaan-pertanyaan wawancara dan jawaban yang diberikan subjek atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

c. Kamera foto, berfungsi untuk mengambil gambar subjek. Menurut Moleong, 2010 kamera foto dapat meningkatkan keabsahan penelitian akan lebih terjamin, karena benar-benar melakukan pengumpulan data. Tetapi kembali kepada hak dari subjek penelitian dalam memutuskan untuk menggunakan atau tidak suatu alat pengumpulan data berupa kamera foto, karena kerahasiaan subjek penelitian harus dijaga pada setiap penelitian.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini berjumlah dua orang yaitu siswa SMA Muhammadiyah, Yogyakarta yang berjenis kelamin laki-laki, berusia 16 tahun dan 17 tahun. Kedua subjek ini sama-sama merias tubuhnya dengan tato. Sangat dimungkinkan peneliti akan menggunakan subjek pembanding dengan cara mencari subjek lagi sebagai pembanding dan penguat data.


(47)

Teknik yang dipakai oleh peneliti dalam menentukan subjek penelitian adalah purposive sampling. Menurut Moleong, 2010 purposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini misalnya subjek yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, dan memenuhi syarat-syarat sebagai subjek penelitian. D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tempat tinggal subjek dan tempat bermain subjek dalam komunitas yang diikutinya. Lokasi penelitian ini dikhususkan untuk subjek yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Waktu penelitian lebih banyak dilakukan sehabis subjek pulang sekolah, mengingat subjek masih menempuh studi dan sehabis subjek pulang sekolah adalah waktu yang tepat atau senggang serta pada setiap malam minggu saat subjek berkumpul bersama teman-teman.

E. Uji Validitas Data

Untuk mengukur validitas data, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik triangulsi. Adapun teknik triangulsi yang digunakan dalam penelitan ini meliputi:

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber menurut Patton (Sutopo, 2008) yaitu pengumpulan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber penelitian yakni siswa SMA Muhammadiyah yang merias tubuhnya dengan tato.


(48)

Peneliti juga membandingkan data yang diperoleh dari kedua sumber dengan data yang diperoleh dari sumber ketiga sebagai pembanding.

Selain sumber data tersebut, peneliti juga menggunakan sumber data berupa dokumen atau arsip-arsip yang meliputi buku-buku dan jurnal-jurnal tentang tato yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai dari subjek. Sumber lain yang digunakan sebagai triangulasi berupa peristiwa atau kejadian yang terjadi di lapangan atau tempat ketika wawancara berlangsung.

2. Triangulasi Metode

Yaitu teknik untuk mengecek kredibilitas data dilakukan dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian ini, peneliti mengecek data hasil wawancara dengan metode observasi dan dokumentasi.

Apabila pengecekan kredibilitas data dengan teknik triangulasi metode menghasilkan data yang berbeda, maka peneliti mengadakan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data mana yang dianggap benar atau mungkin semuanya benar hanya persepsinya yang berbeda-beda.

3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering menentukan kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara pada saat subjek tidak ada masalah atau tidak sedang kelelahan, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel. Maka peneliti menggunakan hanhphone


(49)

sebagai alat untuk berkomunikasi dalam menentukan waktu wawancara yang tepat.

Untuk itu, dalam rangka pengujian kredibilitas, peneliti melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji kredibilitas menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang sampai ditemukan kepastian datanya.


(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Terlebih dahulu dilakukan observasi di lapangan selama satu bulan yaitu pertengahan bulan Agustus sampai pertengahan bulan September 2012. Observasi pra penelitian dilakukan terhadap kedua subjek. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan lingkungan, kehidupan sehari-hari diri subjek. Hasil dari observasi ini akan digunakan dalam penyusunan guide interview yang akan digunakan dalam penelitian. Guide interview yang disusun akan berisi beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkapkan permasalahan penelitian.

Guide interview yang disusun berdasarkan beberapa pertanyaan yang diharapkan mampu mengungkap hal-hal yang menjadi pertanyaan penelitian. Selanjutnya disusun daftar pertanyaan yang dapat dilihat pada lampiran. Dalam proses wawancara, pertanyaan dapat dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan penelitian.

Dalam pelakasanaa observasi pra penelitian, dilakukan pertemuan awal dengan kedua calon subjek penelitian. Pertemuan pertama dilakukan guna memperkenalkan diri, dan menjelaskan mengenai topik penelitian yaitu untuk mengetahui kebermaknaan hidup seorang siswa SMA yang merias tubuhnya dengan tato. Selanjutnya, peneliti menanyakan kesedian subjek untuk turut


(51)

berpartisipasi dalam penelitian dan kesediaan subjek meluangkan waktu untuk diwawancarai. Langkah terakhir setelah subjek menyatakan kesediaannya diwawancarai yaitu menentukan waktu dan tempat pertemuan wawancara. Waktu dan tempat wawancara disesuaikan dengan waktu luang subjek penelitian. Selanjutnya, peneliti melakukan observasi dan wawancara. 1. Observasi

Observasi dilakukan saat peneliti melakukan pendekatan terhadap subjek penelitian. Hal ini dilakukan agar peneliti mengerti secara langsung kehidupan dan pengalaman subjek dalam permasalahan penelitian yang akan dibahas. Dalam proses pendekatan ini subjek menceritakan pengalaman-pengalamannya secara terbuka terkait dengan keberadaan subjek sebagai pemakai tato. Peneliti sangat dimudahkan dalam observasi karena kedua subjek tinggal di daerah yang sama dan ikut dalam komunitas yang sama pula.

a. Observasi terhadap subjek pertama A, dilakukan pada hari sabtu, 18 Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan di Tugu Yogyakarta, yang menjadi tempat berkumpul subjek bersama teman-teman komunitasnya setiap malam minggu. Pada observasi pertama diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah seorang pria, berbadan kecil dan kurus, rambut cukup panjang dan hitam, kulit berwarna coklat sawo matang serta beberapa bagian tubuhnya yang ditato. Dibawah terang lampu kota, subjek dan teman-temannya duduk membentuk lingkaran ngobrol-ngobrol sambil merokok dan lotce (minum ciu).


(52)

Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 21 Agustus 2012 pukul 16.00-17.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama orang tuanya. Letak rumah yang berada dikawasan padat penduduk tampak kecil dan sempit. Selain bersama kedua orang tua, dalam rumah sederhana ini subjek tinggal bersama adiknya. Keseharian subjek setelah pulang sekolah adalah bermain-main dengan vespanya, sorenya membersihkan rumah dan bermain dengan teman-teman disekitar rumah.

Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 25 Agustus 2012 pukul 20.00-22.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui subjek ketika dalam masalah. Subjek cenderung diam dan ingin segera melupakan masalah yang sedang dihadapinya, karena itu subjek memilih jalan lain dengan merokok dan minum-minuman keras (mabuk). Merokok dan mabuk merupakan cara terbaik bagi subjek untuk melupakan masalah yang sedang dihadapinya.

Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung pada hari Minggu, 2 September 2012 pukul 11.00-12.30 WIB. Ketika pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat bersemangat memberikan jawaban dan penuh hati-hati dalam pemilihan kata yang akan digunakan untuk mewakili maksud yang ingin disampaikan. Subjek juga tampak sekali nervous, mungkin karena baru


(53)

pertama kali diwawancarai atau karena tape recorder yang peneliti gunakan. Namun demikian, proses wawancara tetap berjalan lancar dengan jawaban-jawaban yang tegas dan penuh keyakinan subjek mengenai apa yang dialaminya. Akhirnya wawancara secara profesional dan kooperatif pun berhasil dengan subjek memohon maaf apabila ada jawaban yang kurang tepat serta mengatakan siap untuk diwawancarai ulang.

b. Observasi terhadap subjek kedua L, dilakukan pertama kali pada hari sabtu, 18 Agustus 2012 pukul 21.00-23.00 WIB. Observasi dilakukan secara bersamaan dengan subjek A di Tugu Yogyakarta, karena kedua subjek terlibat dalam satu komunitas sepeda yang sama di Yogyakarta. Dalam observasi ini diperoleh hasil bahwa subjek penelitian adalah seorang pria, berbadan kurus tinggi, rambut ikal dan hitam, kulit berwarna coklat sawo matang. Subjek penelitian ini memiliki beberapa tato di bagian tubuhnya. Penampilan subjek yang sederhana dan tampak rapi memberikan kesan tersendiri pada peneliti

Observasi kedua dilakukan pada hari selasa, 28 Agustus 2012 pukul 17.00-18.00 WIB. Observasi kedua ini dilakukan di tempat tinggal subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hal yang di observasi adalah situasi tempat tinggal dan keseharian subjek dirumah. Dalam observasi ini diperoleh hasil bahwa subjek tinggal bersama kedua orang tua, kakak dan adiknya. Keseharian subjek di rumah setelah pulang sekolah adalah


(54)

membantu sang ibu membersihkan rumah dan sesudah selesai subjek menghabiskan waktu untuk tidur.

Observasi ketiga dilakukan pada hari sabtu, 8 September 2012 pukul 20.00-21.00 WIB. Observasi ini dilakukan untuk mengetahui subjek ketika dalam masalah. Ketika mengalami masalah subjek cenderung menceritakan masalah yang dihadapinya kepada teman-teman dan pacarnya, juga sering mengambil jalan lain dengan mendengarkan musik kesukaannya dengan keras-keras, merokok dan mabuk.

Observasi terakhir dilakukan pada saat wawancara berlangsung pada hari Jumat, 14 September 2012 pukul 17.00-18.30 WIB. Ketika pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada subjek, tampak subjek sangat bersemangat dan asyik sekali dalam menjawab. Tanpa ada keraguan sama sekali pada diri subjek saat menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang peneliti ajukan, vokal suara pun sangat jelas dan tegas, mungkin karena karakter subjek yang senang bercerita dengan teman-temannya. Pada akhir wawancara subjek mengatakan bahwa siap untuk diwawancarai lagi apabila masih ada yang kurang atau ada jawaban yang tidak memuaskan.

2. Wawancara Mendalam

Proses pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan setelah peneliti melakukan perkenalan dan pendekatan dengan kedua subjek. Pertama-tama peneliti melakukan pendekatan dengan mendatangi subjek terlebih dahulu


(55)

dan sangat bergantung dengan kesediaan subjek. Peneliti tidak mengalami hambatan dalam pendekatan terhadap subjek.

Pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan kesepakatan antara peneliti dengan subjek penelitian. Dalam proses wawancara peneliti tidak terpaku pada satu tempat yaitu di rumah subjek, tetapi peneliti juga mendatangi tempat berkumpulnya subjek bersama komunitasnya. Lamanya proses wawancara pada masing-masing subjek berbeda-beda, dengan rentang waktu antara satu jam sampai satu setengah jam. Hal ini dikarenakan subjek tidak langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti, tetapi subjek terlebih dahulu menceritakan pengalamannya dan kadang jawaban atas pertanyaan yang diberikan pun tidak sesuai. Dalam hal ini, peneliti berusaha mengali pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh subjek. Selanjutnya dalam proses wawancara pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada subjek dapat berkembang mengikuti situasi dan kondisi wawancara. Hal lain menjadi penyebab lamanya penelitian, karena selama proses wawancara dilakukan sambil merokok dan minum untuk menghilangkan ketengangan subjek penelitian.

Semua subjek menjalani proses wawancara lebih dari satu kali, hal ini dikarenakan jawaban dan pernyataan-pernyataan subjek yang perlu digali lebih dalam lagi. Seluruh kegiatan wawancara disimpan menggunakan handphone yang disisipkan dengan persetujuan subjek penelitian.

a. Wawancara terhadap subjek pertama A, dilaksanakan pada hari Minggu, 2 September 2012, pukul 11.00-12.30 WIB di rumah subjek di


(56)

daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek pertama bahwa subjek pertama kali mentato tubuhnya saat SMA kelas 1. Hubungan subjek dengan orang tua sangat baik, namun sekarang telah berbeda karena kedua orang tua sudah berpisah (cerai). Awal ketertarikan subjek pada tato karena pengaruh lingkungan, dimana lingkungan tempat tinggal subjek dan komunitas sepeda tinggi yang subjek ikuti banyak bertato. Subjek memandang bahwa tato sebenarnya adalah seni kulit yang tak pernah bisa hilang, karena itu subjek masih ingin menambah koleksi tato ditubuhnya. Subjek adalah seorang yang pendiam dan pemalu, namun setelah bertato subjek mengatakan bahwa dirinya menjadi semakin percaya diri dan lebih berani berekspresi ketimbang dulu sebelum tatoan. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi penghalang dalam bergaul dengan orang lain.

b. Wawancara terhadap subjek kedua L, dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 september 2012, pukul 17.00-18.30 WIB di tempat tinggal subjek di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Hasil wawancara terhadap subjek kedua bahwa subjek pertama kali memakai tato sejak SMA kelas 1, pertama kali bagian tubuh yang ditato adalah punggung. Hubungan subjek dengan orang tua dan kedua saudara kandungnya sangat baik, begitu juga hubungan dengan lingkungan dan teman-temannya. Awal ketertarikan subjek pada tato itu kerena teman, melihat teman yang bertato sepertinya bagus, keren dan karena subjek ingin mencoba bagaimana rasanya ditato, maka subjek memutuskan untuk tatoan. Subjek memandang bahwa tato


(57)

adalah sebuah karaya seni yang bisa ditempelkan di tubuh dan bisa dibawa sampai mati. Selama ini subjek tidak merasa bahwa tato menjadi penghalang untuk bergaul, dikemudian hari pun subjek ingin menghapus tatonya.

B. Hasil Temuan Secara Umum

Subjek penelitian ini terdiri dari dua orang siswa SMA dan berjenis kelamin laki-laki yang merias tubuhnya dengan tato dan menjadi penikmat tato. Hasil wawancara ini merupakan ulasan menyeluruh tentang latar belakang kehidupan subjek, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal (masyarakat), lingkungan sekolah, komunitas bermain, sifat dan karakter saat ini, penyesuaian sosial, dan pengalaman traumatik. Pemahaman berbagai fenomena kehidupan subjek diperoleh berdasarkan observasi dan wawancara peneliti.

Subjek pertama A, adalah seorang siswa SMA kelas XII pada salah satu sekolah Muhamadiyah di Yogyakarta dan berusia 17 tahun. Persepsi yang muncul ketika pertama kali bertemu dengan subjek adalah pribadi pendiam, mudah bergaul, ramah, senang bercanda. Dilihat dari penampilannya, subjek berpakaian sederhana tapi tidak rapi. Ketika peneliti berkunjung ketempat berkumpulnya bersama teman-teman komunitasnya, subjek sedang bercanda sambil minum (lotce), ketika itu subjek menyambut peneliti dengan baik dan memperkenalkan peneliti kepada teman-temannya.

Subjek kedua L, juga merupakan siswa SMA Muhamadiyah di Yogyakarta namun berbeda sekolah dan masih kelas XI, berusia 16 tahun.


(58)

Ketika peneliti berkunjung ketempat berkumpulnya bersama teman-teman komunitasnya, subjek menyambut peneliti dengan baik dan ramah. Penampilan subjek sangat sederhana dan cukup rapi.

1. Lingkungan Keluarga

Subjek pertama A, adalah anak tunggal dalam keluarganya. Subjek SD kelas 5 kedua orang tunya berpisah (cerai). Sekarang subjek tinggal bersama bapaknya yang bekerja sebagai penjahit dan ibunya yang sekarang tinggal di Prambanan berjualan angkringan. Subjek bertemu dengan ibunya hanya ketika subjek merasa kangen dan harus berkunjung ke tempat ibunya di Prambanan. Kondisi ekonomi keluarga subjek termasuk kelas menenggah kebawah atau pas-pasan. Hubungan subjek dengan kedua orang tuanya sangat dekat, hanya dengan ibu yang terpisahkan karena perceraian dan subjek sangat menghormati kedua orang tuanya.

Subjek kedua L, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Bersama kedua orang tua dan kedua saudaranya subjek tinggal dalam sebuah rumah kecil yang terdiri dari 2 kamar tidur, 1 ruang tamu dan dapur yang hanya berbatasan lemari dengan ruang tamu. Pekerjaan bapak subjek yang dulu sebagai atlet tinju dan sekarang bekerja sebagai petugas keamanan, ibu sebagai ibu rumah tangga. Hubungan subjek dengan kedua orang tua, kakak subjek yang sudah bekerja dan adik subjek yang masih SD dan memiliki kekurangan fisik ini tampak sangat rukun. subjek mengatakan bahwa bapaknya juga memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.


(59)

2. Lingkungan Tempat Tinggal

Subjek pertama A, tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Tempat tinggal yang sangat padat penduduknya, tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya, jalan masuk menuju rumah subjek hanya gang kecil yang cukup untuk lewat satu motor. Kawasan yang padat dan sempit ini terasa tidak nyaman untuk tempat tinggal karena letak rumah yang dekat dengan sungai membuat aroma disekitar lingkungan tidak sedap.

Subjek mengatakan bahwa di daerah tempat tinggalnya ada banyak orang yang memiliki tato, baik itu orang tua maupun pemuda dan pemudinya. Meskipun situasi lingkungan ini terlihat kurang nyaman, tapi masyarakatnya ramah-ramah.

Subjek kedua L, juga tinggal di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Lingkungan tempat tinggal subjek terlihat sangat sumpek, rumah-rumah dilingkungan ini hanya berjarak dinding tidak ada jarak pembatas. Letak rumah subjek pun terhitung berada dideretan paling pojok di daerah itu. Hampir seluruh rumah yang berada di aderah itu tidak memiliki halaman dan langsung berhadapan dengan jalan kecil berupa gang. Kondisi geografis yang tidak jauh dari pusat kota membuat subjek dan keluarganya tidak kesulitan untuk mencari kebutuhan keluarga dan hiburan. Menurut subjek bahwa dilingkungan tempat tinggalnya banyak terdapat orang-orang yang memiliki tato di tubuhnya.


(60)

3. Lingkungan Sekolah

Subjek pertama A, mengatakan bahwa sekolahnya memiliki aturan yang sama dengan sekolah lain pada umumnya. Namun masa-masa SMA adalah masa yang menyenangkan apabila berhadapan dengan aturan seperti membolos dan tatoan. Pertama kali subjek tatoan adalah kelas 1 SMA, sudah banyak teman-teman yang tahu kalau subjek memiliki tato di tubuhnya. Sejak memiliki tato subjek tidak pernah menunjukkan kepada teman-temannya kalau dirinya bertato, bahkan membiarkan teman-temannya tahu dengan sendirinya. Menurut subjek bukan suatu kebanggaan bila sudah memiliki tato lalu menunjukkan kepada orang lain.

Selama ini tato yang melekat di tubuh subjek tidak pernah menjadi penghalang baginya dalam bergaul dengan teman-teman di sekolahnya. Subjek juga mengatakan bahwa di sekolahnya ada tiga orang yang memiliki tato.

Subjek kedua L, mengatakan bahwa dirinya termasuk anak yang pendiam dan penurut pada orang tua juga pada guru-guru di sekolah, tetapi bukan berarti tidak pernah membangkang. Selama sekolah, subjek memang belum pernah mendapatkan prestasi yang gemilang, tetapi menurut subjek adalah sesuatu kebanggaan tersendiri bila dapat melanggar aturan di sekolah. Subjek mengaku bahwa dirinya suatu hari nanti ingin berubah dan ingin membahagiakan orang tua.

Subjek tatoan pertama kali kelas 1 SMA, tato pertamanya adalah tulisan nama yang dibuat dipunggung. Bagi subjek tato tidak pernah menjadi


(61)

penghalang untuk bergaul dengan teman-teman di sekolahnya, karena di sekolahnya sudah banyak teman-teman yang memiliki tato. Menurut subjek ada sekitar 60% teman cowok-cewek yang memiliki tato di sekolahnya. 4. Komunitas Bermain

Subjek pertama A, mengaku bahwa dirinya mengikuti beberapa komunitas yang ada di Yogyakarta, seperti komunitas vespa dan sepeda tinggi. Hampir semua teman-teman yang ada dalam komunitas vespa maupun sepeda tinggi memiliki tato, tidak hanya teman laki-laki tetapi teman perempuan juga banyak yang memiliki tato. Sudah menjadi kegiatan rutin ketika kumpul ngobrol bersama komunitasnya selalu ditemani dengan rokok dan minuman, kemudian setelah itu muter-muter kota kalau tidak langsung pulang.

Subjek kedua L, adalah anggota dari komunitas sepeda tinggi yang ada di Yogyakarta. Komunitas ini biasa berkumpul di perempatan Tugu Yogyakarta pada setiap malam minggu. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh komunitas ini adalah ngobrol bersama sambil merokok dan minum sebagai bentuk membangun kekeluargaan dan setelah itu rolling keliling kota Yogyakarta dengan sepeda. Menurut subjek teman-teman dalam komunitas sepeda tinggi ini hampir semuanya memiliki tato dan juga ada seniman tatonya.

5. Sifat dan Karakter Saat Ini

Subjek pertama A, mengatakan bahwa semuanya telah berubah. Ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya subjek bisa mengandalkan


(62)

mereka, tetapi sekarang subjek harus melakukannya sendiri. Subjek mengatakan bahwa dirinya dipaksa untuk mandiri setelah kedaua orang tuanya berpisah. Baik dan buruk dari semua yang dilakukannya menjadi tanggungjawab subjek sendiri.

Sampai saat ini subjek juga masih pada pendiriannya atau belum pernah memikirkan untuk menghapus tatonya, tetapi ada keinginan untuk memodifikasi tato yang ada di lenggan kirinya dan menambah di lenggan kanan dengan gambar yang telah subjek inginkan sejak lama. Impian ini memang masih sekedar impian sebab subjek belum tahu kapan akan memenuhi impiannya itu. Subjek selalu menikmati hidupnya dengan penuh santai dan bahagia, karakter ini tampak ketika subjek menghadapi masalah dimana subjek selalu ingin segera melupakan masalah yang sedang dihapapinya.

Subjek kedua L, mengatakan bahwa hidup manusia itu selalu berubah, tentunnya karakter pun ikut berubah. Saat ini subjek banyak mengalami perubahan, dari cara berbicara, berperilaku, dan banyak hal lainnya. Menurut subjek dirinya yang sekarang telah berubah tidak lagi sama ketika masih SD dan SMP. Diri subjek adalah seorang yang sangat berbakti dan menghormati kedua orang tuanya. Subjek adalah seorang yang ramah, sabar, santun, senang bergaul, tetapi emosi subjek cepat terpancing kalau sesuatu yang dibicarakan berhubungan dengan keluarga dan dirinya.


(63)

6. Penyesuaian Sosial

Subjek pertama A, mengatakan bahwa sikap subjek terhadap kedua orang tuanya sebagai pribadi yang sopan, ramah, dan santun meski kedua orang tua subjek telah berpisah. Subjek merupakan pribadi yang mudah menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan, memiliki banyak teman dan memiliki rasa humor. Ketika SMP tingkat kepercayaan diri subjek rendah dalam bergaul, subjek lebih banyak diam. Tetapi subjek mengaku bahwa sejak SMA sampai saat ini rasa percaya dirinya berubah. Subjek semakin percaya diri dan menjadi bangga dengan dirinya, terutama setelah subjek mentatokan tubuhnya. Sekalipun memiliki banyak tato, subjek tidak pernah menunjukkan tatonya kepada orang lain, sebab bagi subjek bukan sebuah kebanggaan dan membiarkan orang lain yang menyadari bahwa diri subjek memiliki tato.

Subjek kedua L, mengaku bahwa sikap subjek terhadap anggota keluarga adalah pribadi yang sopan dan santun, baik terhadap kedua orang tua subjek juga kepada kakak adan adik subjek. Subjek juga mengakui bahwa dirinya sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan orang yang belum dikenalnya atau yang belum terlalu dekat dengan subjek, tetapi subjek memiliki sedikit rasa humor.

Subjek juga menuturkan bahwa gambar-gambar yang melekat pada tubuhnya belum pernah menjadi penghalang dalam bergaul atau penghambat dalam keseharian subjek. Subjek ingin dikemudian hari menghapus tatonya demi membahagiakan ibunya, namun belum tahu kapan akan dilakukan.


(64)

Subjek menuturkan bahwa dengan tato yang dimilikinya selalu membuat dirinya lebih percaya diri.

7. Pengalaman Traumatik

Subjek pertama A, mengatakan bahwa belum pernah mengalami hal- hal yang menyebabkan trauma. Menurutnya semasa kecil mungkin pernah mengalami hal-hal yang menyebabkan trauma, tetapi karena masi kecil subjek belum bisa memahami dan sulit untuk mengatakan apakah hal itu menyebabkan trauma pada dirinya. Menurut subjek, sering pula subjek mengalami hal-hal yang ekstrim tetapi subjek selalu menanggapinya dengan santai supaya tidak menimbulkan beban, sebab bagi subjek segala sesuatu yang kita hadapi merupakan hasil dari perbuatan kita sendiri.

Subjek kedua L, mengaku bahwa subjek pernah mengalami kejadian yang sampai saat ini belum bisa dilupakan. Pengalaman pahit itu adalah ketika subjek masih SD (tapi lupa kelas berapa). Pada waktu itu subjek bersama dengan teman-teman SD-nya pergi bermain di pinggir rel kereta, teman-teman subjek mengajak dirinya untuk menyeberang rel kereta, saat subjek sudah berada di atas rel kereta tetapi subjek tidak berani untuk melompat dan akhirnya subjek terserempet kereta. Subjek akhirnya harus dirawat di Rumah Sakit sampai beberapa hari. Bagi subjek pengalaman ini membuat dirinya tidak berani lagi untuk bermain di sekitar rel kereta. Kejadian itu tidak pernah dilupakan subjek sampai saat ini.


(65)

C. Analisis Subjek Penelitian

Subjek pertama A, terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarganya. Subjek sekarang sedang menempuh pendidikan di salah satu sekolah SMA Muhamadiyah di Yogyakarta.

Soal pendidikan dalam keluarga, peran seorang bapak lebih dominan ketimbang peran ibu. Hal ini karena kedua orang tua subjek talah berpisah (cerai) sejak subjek masih SD, sekarang subjek tinggal satu rumah bersama dengan bapaknya. Pendidikan terakhir bapak subjek yang hanya tamatan SMK dan sekarang bekerja sebagai penjahit membuat subjek tumbuh sebagai anak pendiam dan minder, karena kurangnya pemahaman akan nilai hidup yang diberikan oleh bapak subjek. Pengaruh lingkungan menjadi kuat dalam diri subjek untuk melakukan hal-hal di luar dirinya. Subjek sudah mengenal tato sejak kecil, hal ini karena di lingkungan tempat tinggal subjek banyak pemuda-pemudi yang bertato.

Pertama kali subjek mentatokan tubuhnya sejak SMA kelas 1. Ketertarikannya pada tato karena pengaruh lingkungan tempat tinggal dan teman-teman bermain subjek yang rata-rata bertato. Awalnya subjek hanya sekedar kagum melihat teman-temannya yang bertato terlihat semakin keren dan gagah, karena itu subjek memutuskan untuk memakai tato juga karena subjek ingin merasakan bagaiamana rasa sakitnya ditato. Subjek merupakan pribadi yang mudah menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan, memiliki banyak teman dan rasa humor. Ketika masih SMP tingkat kepercayaan diri subjek rendah dalam bergaul, subjek lebih banyak diam.


(66)

Tetapi subjek mengaku bahwa sejak SMA sampai saat ini rasa percaya dirinya berubah. Subjek semakin percaya diri dan menjadi bangga dengan dirinya, terutama setelah subjek mentatokan tubuhnya. Sekalipun memiliki banyak tato, subjek tidak pernah menunjukkan tatonya kepada orang lain, sebab bagi subjek bukan sebuah kebanggaan dan membiarkan orang lain yang menyadari bahwa diri subjek memiliki tato.

Sampai saat ini subjek juga masih pada pendiriannya atau belum pernah memikirkan untuk menghapus tatonya, tetapi ada keinginan untuk memodifikasi tato yang ada di lengan kirinya dan menambah di lenggan kanan dengan gambar yang telah subjek inginkan sejak lama. Subjek selalu menikmati hidupnya dengan penuh santai dan bahagia, karakter ini tampak ketika subjek menghadapi masalah, dimana subjek selalu ingin segera melupakan masalah yang sedang dihapapinya. Sejak pertama kali memakai tato sampai sekarang sudah semakin banyak tato yang melekat di tubuh subjek, belum pernah tato menjadi penghalang bagi subjek untuk betgaul dengan teman-temannya.

Sampai sekarang subjek mengaku bahwa belum pernah mengalami hal-hal yang menyebabkan trauma. Menurutnya semasa kecil mungkin pernah mengalami hal-hal yang menyebabkan trauma, tetapi karena masih kecil subjek belum bisa memahami dan sulit untuk mengatakan apakah hal itu menyebabkan trauma pada dirinya.

Sedangkan subjek kedua L, adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Pekerjaan bapak subjek yang dulu sebagai atlet tinju dan sekarang bekerja


(67)

sebagai petugas keamanan, ibu sebagai ibu rumah tangga. Hubungan subjek dengan kedua orang tua, kakak subjek yang sudah bekerja dan adik subjek yang masih SD dan memiliki kekurangan fisik ini tampak sangat rukun. Subjek mengatakan bahwa bapaknya juga memiliki tato dibeberapa bagian tubuhnya.

Soal pendidikan dalam keluarga, peran seorang ibu lebih dominan. Hal ini dikarenakan ibu subjek yang selalu di rumah menemani subjek, kakak dan adiknya. Subjek memperoleh pemahaman akan nilai hidup dari ibunya, juga karena subjek lebih dekat dengan ibunya. Subjek sudah mengenal tato sejak dari kecil, karena bapak subjek juga memiliki tato pada beberapa bagian tubuhnya.

Bagian tubuh subjek yang pertama kali ditato adalah bagian punggung yang berbentuk tulisan namanya. Subjek sudah tatoan sejak kelas 1 SMA. Ketertarikan subjek pada tato berawal dari teman, melihat teman-temannya yang bertato itu bagus dan akhirnya subjek memutuskan untuk tatoan serta karena subjek ingin mencoba rasanya ditato itu bagaimana. Subjek menjelaskan bahwa hidup manusia itu selalu berubah, tentunya karakter pun ikut berubah. Saat ini subjek banyak mengalami perubahan, dari cara berbicara, berperilaku, dan banyak hal lainnya. Menurut subjek dirinya yang sekarang telah berubah tidak lagi sama ketika masih SD dan SMP. Diri subjek adalah seorang yang sangat berbakti dan menghormati kedua orang tuanya. Subjek adalah seorang yang ramah, sabar, santun, senang bergaul, tetapi


(1)

Punggung belakang


(2)

Paha


(3)

2. Subjek II

Punggung atas


(4)

Leher


(5)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Anwar (Samaran)

Tempat, tanggal lahir : Yogyakarta,10 Mei 1996

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Notoyudan, Yogyakarta

Status/pekerjaan : Siswa SMA

Menyatakan bersedia sebagai subjek penelitian untuk kepentingan penulisan skripsi yang berjudul “Kebermaknaan Hidup Siswa SMA yang Merias Tubuh dengan Tato” yang disusun oleh;

Nama : Robertus Bayu Kristantoro

NIM : 081114012

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Sanata Dharma Yogyakarta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat, kiranya dapat digunakan dengan semestinya.

Yogyakarta, 20 Desember 2012

( Anwar )


(6)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Lutfi (Samaran)

Tempat, tanggal lahir :Yogyakarta, 13 Juni 1997

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Notoyudan, Yogyakarta

Status/pekerjaan : Siswa SMA

Menyatakan bersedia sebagai subjek penelitian untuk kepentingan penulisan skripsi yang berjudul “Kebermaknaan Hidup Siswa SMA yang Merias Tubuh dengan Tato” yang disusun oleh;

Nama : Robertus Bayu Kristantoro

NIM : 081114012

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Sanata Dharma Yogyakarta.

Demikian surat pernyataan ini dibuat, kiranya dapat digunakan dengan semestinya.

Yogyakarta, 20 Desember 2012