Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu Karang Dengan Benthic Terrain Modeler Dan In Situ Rugosity Di Pulau Kelapa Dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta
KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG
DENGAN BENTHIC TERRAIN MODELER DAN IN SITU
RUGOSITY DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kompleksitas Dasar
Perairan Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di
Pulau Kelapa dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Alexandra Maheswari Waskita
NIM C54110051
ABSTRAK
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu
Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa dan
Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh SYAMSUL BAHRI AGUS dan
ADRIANI SUNUDDIN.
Kompleksitas dasar perairan terumbu karang yang tinggi dapat menyediakan relung
ekologi yang lebih bagi beragam makhluk hidup yang berasosiasi dengan ekosistem
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan
terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler (BTM) pada ArcGIS 10.2 dan
pengukuran in situ (rugosity dan keragaan life form) berdasarkan pembagian strata
kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan. Survey lapang dilakukan pada 17-21
Maret 2015 untuk mengumpulkan data dan ground check batimetri, pengamatan
terumbu karang, dan pengukuran in situ rugosity di 6, 8 dan 10 meter. Dari lima stasiun
pengamatan, kompleksitas dasar perairan tertinggi ditemukan di Timur dan Barat
berdasarkan surface to planar area BTM, sedangkan berdasarkan in situ rugosity di
Utara dan Selatan. Nilai in situ rugosity berpengaruh terhadap surface to planar area
(BTM) untuk kedalaman 8 meter. Life form terumbu yang memengaruhi kompleksitas
dasar perairan in situ adalah Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter),
dan abiotik (10 meter). Kondisi terumbu karang di Pulau Kelapa-Harapan tergolong
sedang dengan life form dominan Coral Massive, sehingga kurang mampu membentuk
dasar perairan yang kompleks walalupun hasil BTM mendefinisikan kompleksitas
secara detail pada grid 2 meter.
Kata kunci: Benthic Terrain Modeler, dasar perairan, terumbu karang, WorldView-2.
ABSTRACT
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Coral Reef Seafloor Surface Complexity
using Benthic Terrain Modeler and in situ Rugosity on Kelapa and Harapan Island,
Seribu Islands, Jakarta. Supervised by SYAMSUL BAHRI AGUS and ADRIANI
SUNUDDIN.
High complexity of coral reef substrate can provide more ecological niche for diverse
living organisms associated with coral reef ecosystem. This research aimed to identify
the seafloor complexity using Benthic Terrain Modeler (BTM) towards in situ
measurement (rugosity and benthic life forms) according to depth strata in Kelapa and
Harapan Island. Field survey was conducted on 17-21 March 2015, for gathering
bathymetric data set, ground checking WorldView-2 imagery, observing coral reef
condition and measuring in situ rugosity at 6, 8 and 10 m. Among 5 survey sites, the
highest seafloor complexity was observed at the East and West of Kelapa-Harapan
Island reffering to BTM analysis, while highest in situ rugosity was resulted for the
North and South. The inluence of in situ rugosity towards suface to planar area (BTM)
was prominent at 8 meter depth. Benthic life forms affecting in situ complexity of the
reef substrate were Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter) and abiotics
(10 meter). Coral reef condition in Kelapa-Harapan islands was considered fair and
dominated by Coral Massive, thus featured insignificant affecting complexity despite
detail map of seafloor complexity resulted by BTM analysis at 2 meter grid.
Keywords: Benthic Terrain Modeler, coral reef, seafloor, WorldView-2.
KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG
DENGAN BENTHIC TERRAIN MODELER DAN IN SITU
RUGOSITY DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas anugerah dan karunia-Nya
sehingga dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Kompleksitas Dasar Perairan
Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa
dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi, sekaligus sebagai karya
terakhir penulis di strata S1.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syamsul Bahri Agus,
S.Pi, M.Si selaku pembimbing I, Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku pembimbing
II sekaligus pembimbing akademik, dan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas kesempatan dan bimbingan
yang telah diberikan. Tak lupa, ucapan terima kasih diberikan kepada teman
seperjuangan ITK 48, Fisheries Diving Club, rekan penelitian lapang Maret 2015, serta
semua orang yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis
mengucapkan terima kasih terlebih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung
kegiatan penulis sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2016
Alexandra Maheswari Waskita
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Pengambilan data
3
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batimetri
9
9
Tampilan Visual Batimetri dan Rugosity
12
Profil Terumbu Karang
18
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL
1.
Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan
Comp 2010)
3
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan
2
Pengambilan data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)
4
Pengambilan data kondisi terumbu karang dengan PIT
4
Diagram alir analisis data
5
Hasil masking wilayah darat
6
Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red
10
Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red
10
Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow
11
Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow
12
Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri
13
Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan Harapan
dengan grid (a) 1 meter, (b) 2 meter, dan (c) 5 meter
13
Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
14
Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
15
Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface
to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
15
Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
16
Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to planar area
setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to
planar area
17
Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan strata
kedalaman 6, 8, dan 10 meter
17
Profil in situ rugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata kedalaman 6, 8,
dan 10 meter
18
Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter di
keseluruhan stasiun (p< 0,05)
19
Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter
19
Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan
20
Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan di
kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter
21
Hubungan in situ rugosity dengan persen tutupan (a) dead coral with Algae
(b) karang hidup
21
Persen penutupan berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu karang di lima
Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan
22
Bentuk pertumbuhan karang hidup di lima Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan
pada strata kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter
23
26. Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang ditemukan di Perairan Pulau
Kelapa dan Harapan (a) Dead Coral with Algae, (b) Coral Massive, (c) Coral
Submassive, dan (d) Coral Foliose
24
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Regresi linear dan determinasi setiap rasio kanal citra WorldView-2
27
Nilai kompleksitas dasar perairan menggunakan surface to planar area BTM
di kedalaman 6, 8, dan 10 meter dengan grid 1, 2, dan 5 meter
28
Kompleksitas dasar perairan in situ di Pulau Kelapa dan Harapan berdasarkan
kedalaman 6, 8, dan 10 m dengan ke-4 ulangan
29
Persentase tutupan (a) kategori dasar perairan dan (b) terumbu karang di
Pulau Kelapa dan Harapan
30
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM dengan
grid 1 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
31
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2
meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
32
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 5
meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
33
Nilai korelasi tutupan dead coral with algae dengan rugosity menggunakan
analisis analisis ragam regresi linear sederhana
34
Nilai korelasi tutupan karang hidup dengan rugosity menggunakan analisis
ragam regresi linear sederhana
35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sebagian besar
dijumpai di perairan tropis. Ekosistem ini memiliki peran yang krusial bagi
keberlangsungan hidup biota laut. Distribusi dan struktur komunitas ikan terumbu
juga dipengaruhi oleh seberapa kompleks kondisi suatu habitat terumbu karang
(Wedding et al. 2008). Tingginya keanekaragaman spesies karang dapat
mempengaruhi beragamnya jenis dan populasi ikan terumbu yang hidup di
dalamnya, karena terumbu karang yang dibentuknya akan memiliki kompleksitas
struktur dasar perairan yang kompleks sehingga menyediakan relung ekologi yang
lebih dibandingkan dengan spesies tunggal (Talbot 1965). Struktur habitat
penyusun sistem terumbu karang yang kompleks juga dapat menyebabkan
beragamnya relung hidup dari ikan-ikan terumbu yang ada (Adriani 2002).
Komunitas terumbu karang yang memiliki luasan tutupan tertentu dapat
membentuk suatu struktur yang kompleks. Menurut Magno dan Villanoy (2006)
kondisi kekasaran dan ketidakseragaman suatu permukaan dapat dinyatakan
sebagai rugosity.
Kompleksitas dasar perairan merupakan karakter yang dapat diukur
menggunakan beberapa pendekatan. Berdasarkan pendekatan konvensional,
pengukuran dilakukan dengan membandingkan panjang transek rantai yang
mengikuti kenampakan vertikal substrat dasar dengan transek garis lurus (Risk
1972; Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010). Seiring dengan semakin pesatnya
perkembangan teknologi, sistem penginderaan jauh juga dapat membantu dalam
pendefinisian kompleksitas dasar laut. Dikembangkan oleh Wright et al. (2012),
Benthic Terrain Modeler (BTM) merupakan sebuah alat dalam perangkat lunak
ArcGIS ESRI yang digunakan untuk melakukan analisis spasial. BTM mampu
mendefinisikan struktur geomorfologi, kemiringan lereng (slope), dan
kompleksitas dasar perairan (rugosity). Hasil yang didapatkan berupa skema
klasifikasi dari ekosistem terumbu karang, pada kasus ini diterapkan di Tutuila,
Amerika Samoa, Samudera Pasifik. Klasifikasi yang dihasilkan dinilai sesuai dalam
pengembangan pemetaan habitat yang memiliki biodiversitas tinggi di wilayah
Pasifik Barat (Lundblad 2006). Wedding et al. (2008) juga telah mengaplikasikan
perangkat BTM untuk melihat keterkaitan kompleksitas dasar perairan dengan
komunitas ikan terumbu di Hawaii. Hasil penelitian Wedding dapat mengkaji pada
unit grid yang lebih luas (10, 15, dan 25 meter).
Pendefinisian kondisi batimetri melalui kajian pengolahan citra satelit telah
dilakukan oleh beberapa peneliti hingga saat ini. Penelitian Stumpf et al. (2003)
mendefinisikan batimetri perairan laut dangkal dengan perbandingan (rasio) antar
delapan kanal yang berbeda pada citra WorldView-2 dan menghasilkan rasio
Blue/Green sebagai kanal terbaik untuk menentukan kedalaman perairan. Penelitian
lain menjelaskan bahwa kanal Coastal Blue/Yellow, Red/Green, Green/Yellow, dan
Yellow/Red juga mampu mendefinisikan batimetri perairan dangkal (Alsubatie
2012; Madden 2011). Keterbatasan penetrasi gelombang elektromagnetik matahari
ketika masuk ke perairan diatasi melalui penggunaan data pemeruman yang berasal
dari echosounder single beam Garmin.
2
Penilaian kompleksitas dasar perairan dapat berperan dalam perencanaan dan
pengelolaan lingkungan pesisir. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai
distribusi spasial dan bentuk fisik dari wilayah terumbu karang dan pesisir menjadi
sangat dibutuhkan. Hal inilah yang mendasarkan penelitian serupa dilakukan di
Indonesia khususnya di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan
terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler dan secara in situ
berdasarkan pembagian strata kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengamatan lapang dilakukan pada 17-21 Maret 2015 di Pulau Kelapa dan
Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta di Stasiun KH-T (Timur), KH-S (Selatan), KHBD (Barat Daya), KH-B (Barat) dan KH-U (Utara) (Gambar 1). Pengolahan data
dilakukan pada April-November 2015 di Laboratorium Pemetaan dan Pemodelan
Geospasial, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Gambar 1 Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan
3
Alat dan Bahan
Penelitian berlangsung dengan bantuan alat dan bahan yang berfungsi untuk
mendukung pelaksanaan penelitian dan analisis yang dilakukan. Alat yang
digunakan dalam kajian in situ rugosity antara lain alat tulis bawah air, kamera
bawah air, roll meter sepanjang 100 meter sebagai transek garis, transek rantai, set
alat penyelaman SCUBA, dan GPS Garmin 60 CSX. Pemeruman dasar laut
menggunakan single beam Garmin GPS MAP 585. Pengukuran pasang surut
menggunakan Mobile Real Time Tide Instrument (Moritide). Tahapan analisis data
dilakukan menggunakan laptop, perangkat lunak ESRI ArcGIS 10.2 yang
dilengkapi oleh toolbox BTM (Wright et al. 2012), perangkat lunak ER Mapper,
ENVI, dan Microsoft Excel.
Bahan yang digunakan dalam analisis dasar perairan terdiri atas citra
multispektral WorldView-2 yang diakuisisi pada 5 Oktober 2013 yang memiliki 8
kanal (Tabel 1). Citra WorldView-2 mengorbit pada ketinggian 770 km di atas
permukaan bumi dengan resolusi multispektral hingga 2 meter. WorldView-2
memiliki waktu rata-rata akuisisi data 1,1 hari dan dapat mengumpulkan hingga 1
juta km2 citra dengan 8 kanal per hari (Upike dan Comp 2010).
Tabel 1 Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan
Comp 2010)
Kanal Spektral
Panjang
Gelombang
Coastal Blue
400-450 nm
Blue
450-510 nm
Green
510-580 nm
Yellow
585-625 nm
Red
630-690 nm
Red-Edge
705-745 nm
Near-IR1
770-895 nm
Near-IR2
860-1040 nm
Data pengamatan lapangan diperoleh melalui hasil pemeruman lapang
kedalaman perairan dasar di wilayah Pulau Kelapa dan Harapan menggunakan
Garmin GPS MAP 585 (frekuensi 50/200 kHz). Data pasang surut digunakan dalam
melakukan koreksi terhadap hasil pemeruman. Data pasang surut direkam
menggunakan Moritide di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Data
pengamatan lapang juga terdiri atas kondisi rugosity menggunakan transek rantai
dan kondisi terumbu karang menggunakan transek garis.
Pengambilan data
In situ Rugosity dan Pertumbuhan Karang
Rugosity diukur dengan meletakkan rantai besi sepanjang 5 m pada
permukaan terumbu karang, dengan ukuran mata rantai 1 cm. Rantai besi tersebut
4
diletakkan di atas substrat dasar perairan, mengikuti tinggi dan rendahnya topografi
terumbu karang. Nilai kompleksitas didapatkan dengan membandingkan antara
panjang permukaan dasar substrat dibandingkan dengan panjang horizontal dari
transek garis (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).
Pengukuran dengan rantai besi dilakukan sebanyak 4 kali untuk memenuhi
proporsi transek garis sepanjang 20 meter (Gambar 2). Pengulangan pada
pengambilan data rugosity dan pertumbuhan terumbu karang dilakukan sebanyak 3
kali ulangan di kedalaman 6, 8, dan 10 meter. Kedalaman tersebut mewakili
wilayah lereng terumbu yang umumnya ditumbuhi karang dan komponen bentik
terumbu lain di perairan Kepulauan Seribu.
Gambar 2 Pengukuran data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)
Kajian kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode
Point Intercept Transect (PIT). Pencatatan meliputi bentuk pertumbuhan karang
dan substrat yang dilakukan di setiap 0,5 meter dengan panjang transek garis
sepanjang 20 meter (Gambar 3).
Gambar 3 Skema pendataan terumbu karang dengan Point Intercept Transect
Pemeruman Dasar Perairan
Bentuk dasar perairan dikaji menggunakan metode akustik yaitu dengan
melakukan pemeruman mengelilingi Perairan Pulau Kelapa dan Harapan dengan
transek zig-zag dimulai dari perairan dangkal (3 m) hingga mencapai perairan
dalam (50 m) dengan jarak antar transek sejauh 30-100 m (Gambar 1). Instrumen
yang digunakan adalah Garmin GPSMAP 585 yang termasuk tipe single beam
echosounders (SBES). SBES menghasilkan perum gema yang sempit, yang dalam
pengukurannya membutuhkan pengaturan gerak kapal agar posisi transducer cukup
stabil (de Jong et al. 2002).
Analisis Data
Penelitian ini menggabungkan tiga aspek ilmu dan teknologi kelautan yaitu
penginderaan jauh satelit dan sistem informasi geografis, akustik, serta hidrobiologi.
Berdasarkan pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik kelautan diperoleh
set data mentah berupa kedalaman perairan (batimetri). Data batimetri menjadi
masukan dalam analisis BTM yang mengukur kompleksitas dasar perairan
berdasarkan kajian surface to planar area. Pendekatan hidrobiologi melalui kajian
in situ rugosity dan kondisi terumbu karang yang menggambarkan kompleksitas
batimetri untuk lingkup yang sempit. Seluruh hasil yang diperoleh digabungkan
sebagai dasar analisis kompleksitas dasar Perairan Kelapa dan Harapan (Gambar 4).
5
Gambar 4 Diagram alir analisis data
Batimetri Pemeruman
Koreksi data pemeruman
Data kedalaman yang diperoleh dari hasil pemeruman akustik dikoreksi
terhadap pasang surut lokal dan selisih jarak dari permukaan air laut terhadap
dudukan transducer saat pemeruman. Data pemeruman yang dihasilkan berupa
nilai elevasi dengan susunan data titik koordinat bujur (X) dan lintang (Y), serta
nilai kedalaman (Z), yang kemudian diplotkan dalam perangkat lunak ArcGIS.
Batimetri Citra
Crop dan Masking Citra
Pertama-tama dilakukan pemotongan citra sesuai wilayah pengamatan
kemudian masking citra (Gambar 5). Langkah masking dilakukan dengan raster
color slice yang bertujuan untuk memisahkan wilayah lautan, daratan, serta obyek
lain yang tidak diamati. Selanjutnya dilakukan pemisahan menggunakan kanal
NIR1 (770-895 nm) secara efektif dapat membedakan nilai reflektansi antara badan
air dan vegetasi (Upike dan Comp 2010).
6
Gambar 5 Hasil masking wilayah darat
Koreksi radiometrik
1) Konversi digital number (DN) menjadi radiansi
Citra WorldView-2 memiliki nilai digital atau piksel (DN) yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain proses absorpsi dan hambur balik. Proses
tersebut terjadi pada radiansi elektromagnetik (REM) dan menyebabkan
adanya perubahan sudut datang serta menyimpangnya pantulan REM. Oleh
karena itu DN pada suatu citra tidak dapat secara langsung digunakan dan
harus dikonversi menjadi nilai radiansi spektral minimum. Nilai tersebut
menjelaskan jumlah radiansi spektral yang masuk ke dalam bukaan satelit,
serta telah dikonversi menjadi sinyal digital (Upike dan Comp 2010; Green
et al. 2000). Hal ini dilakukan melalui proses kalibrasi radiometrik yang
dirumuskan melalui Persamaan 1 sebagai berikut:
��
����� �,�� = � � � � �,� �
(1)
�
Dimana: LλPixel,Band = nilai radiansi piksel citra [W-m-2-sr-1-µm-1], KBand =
nilai absolut faktor kalibrasi radiometrik [W-m-2-sr-1-count-1], qPixel,Band =
adalah nilai piksel yang telah dikoreksi; dan ΔλBand = nilai efektif pada
masing-masing kanal [µm].
2) Konversi radiansi spektral menjadi reflektansi
Dari kanal citra WorldView-2 reflektansi nilai permukaan dapat dihasilkan
dengan menerapkan Persamaan 2:
�����
�,��
��
= ���
�,� �
�� �
2
��
�
� ��
(2)
Dimana: ρλPixel,Band = nilai rata-rata reflektansi tiap kanal, LλPixel,Band = piksel
citra spektral top-of atmosphere radiansi pada setiap kanal, dES = jarak bumimatahari dalam satuan austronomis (AU) pada saat perekaman cita.
EsunλBand = nilai iradiansi matahari pada tiap kanal, θ = sudut zenith
matahari (Upike dan Comp 2010). Nilai kuantitatif yang digunakan
seluruhnya didapatkan dari metadata citra WorldView-2.
3) Koreksi atmosferik
Koreksi dilakukan untuk menghilangkan nilai atenuasi atau gangguan akibat
partikel atmosfer. Karbon dioksida, aerosol, dan ozon yang adalah faktor
absorbsi dapat menggangu radiasi serta menyebabkan pengukuran nilai
reflektasi tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya (Green et al. 2000).
Koreksi atmosferik yang digunakan adalah histogram adjustment.
7
Rasio relatif batimetri
Dalam pengolahan lanjutan dibutuhkan citra yang telah dikonversi menjadi
Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan representasi bentuk permukaan
bumi dalam format grid matriks. Data yang dimiliki diwakili oleh sistem koordinat
X dan Y memiliki sifat distribusi spasial, sementara medan diwakili oleh nilai
ketinggian atau kedalaman pada koordinat Z.
Perbedaan nilai pantulan dasar (bottom albedo) pada kedalaman yang konstan
akan menghasilkan rasio yang sama. Sementara itu penggunaan rasio relatif
batimetri Stumpf et al. (2003) dapat menunjukkan bahwa perubahan pada
kedalaman lebih mempengaruhi dibandingkan dengan perubahan pada bottom
albedo tersebut. Nilai kedalaman suatu titik di daerah penelitian diperoleh dari
Persamaan 3:
ln � �
�= 1
−
(3)
ln
�
�
Dimana: Z = estimasi kedalaman, m1 = koefisien kalibrasi, Rw(� = nilai reflektansi
per kanal, m0 = faktor koreksi untuk kedalaman 0, dan n = konstanta untuk menjaga
nilai rasio tetap positif. Koefisien m1 dan m0 masing-masing diperoleh dari hasil
regresi rasio kanal yang dipilih terhadap kedalaman lapangan.
Pendefinisian batimetri di perairan Pulau Harapan dan Kelapa dilakukan
dengan menggunakan kanal 1-5 citra WorldView-2, sementara kanal ke-6 sampai
8 tidak digunakan karena dianggap kurang efektif dalam mendefinisikan kedalaman
(Doxani et al. 2012). Terdapat sepuluh kombinasi rasio yang dihasilkan yaitu di
antaranya berdasarkan persamaan kedalaman relatif kanal Blue/Green (Stumpf et
al. 2003), Green/Yellow dan Green/Red (Madden 2011), kanal Coastal Blue/Yellow
(Alsubaie 2012), serta kanal-kanal lainnya yaitu Coastal Blue/Blue, Coastal
Blue/Green, Coastal Blue/Red, Blue/Yellow, Blue/Red, dan Yellow/Red.
Pengambilan titik sampel
Pemisahan wilayah dilakukan berdasarkan perbedaan interpretasi optik
substrat (Doxani et al. 2012), sehingga wilayah kajian dibagi menjadi dua yaitu
perairan dangkal dan dalam. Perairan dangkal mencakup substrat dominan pasir
dan patahan karang sampai ke tubir dan perairan dalam yaitu wilayah tubir ke
perairan yang lebih dalam. Perairan dangkal diwakili oleh titik-titik sampel di
Stasiun Timur dermaga Pulau Kelapa Dua dan Barat Daya Pulau Kelapa, serta
perairan dalam diwakili oleh titik-titik sampel di sekeliling perairan luar tubir
gugusan Pulau Kelapa dan Harapan (Gambar 1).
Perairan dangkal diwakili oleh sebanyak 24 titik sampel dengan pengukuran
manual di wilayah yang mewakili rentang kedalaman dangkal. Perairan dalam
diwakili sejumlah 71 titik sampel yang diambil berdasarkan titik pemeruman
akustik. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara titik kedalaman sampel dengan
nilai rasio relatif pada kanal. Perbandingan antara kedua titik tersebut dapat
menghasilkan nilai determinasi (R2) yang menunjukkan tingginya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Persamaan regresi linear yang didapat
dijadikan formula untuk mendapatkan nilai batimetri absolut serta dibandingkan
kembali untuk dihitung selisihnya dengan hasil survey lapang.
8
Kombinasi batimetri citra dan perum untuk kedalaman absolut
Dilakukan penggabungan antara data batimetri absolut dari citra dan data
pemeruman menggunakan interpolasi spline with barriers. Proses ini dilakukan
untuk menyesuaikan resolusi spasial data batimetri citra WorldView-2 dengan hasil
pemeruman. Metode spline mengestimasi nilai dengan meminimalisir nilai kurva
permukaan secara keseluruhan. Penggunaan barrier atau pembatas dapat
menunjukkan keberadaan perbedaan garis, wilayah yang curam, maupun bentuk
lainnya yang menujukkan bentuk permukaan.
Hasil interpolasi menghasilkan profil batimetri gugusan Pulau Kelapa dan
Harapan. Tampilan disajikan dalam bentuk penampang melintang menggunakan
perangkat lunak, sementara secara 3D ditampilkan profil vertikal batimetri
berdasarkan garis transek yang dibuat.
Benthic Terrain Modeler (BTM)
Rugosity
Untuk melakukan analisis rugosity yang digunakan dalam toolbox
(perangkat) BTM yang terinstalasi dalam perangkat lunak ArcGIS 10.2 adalah
surface to planar area. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan permukaan
tiga dimensi dengan permukaan, serta luasan wilayah permukaan pada daerah
pengamatan secara horizontal (Wedding et al. 2008). Teknik ini dioperasikan
menggunakan metode triangulasi pada tiga grid piksel yang saling berdekatan (3x3
neighborhood). Hasil permukaan yang dibentuk kemudian dihitung nilai rasionya
terhadap bidang lurus yang sesuai dengan area permukaan.
Kompleksitas dan kondisi terumbu karang
In situ Rugosity
Kompleksitas dasar perairan dikaji menggunakan pendekatan in situ rugosity
yang diukur menggunakan transek rantai yang dibentangkan mengikuti lekukan dan
naikan kontur dasar perairan (Persamaan 4). Kompleksitas tertinggi dinyatakan
dengan nilai C mendekati 1 dan terendah dengan nilai mendekati 0.
(4)
� = − �⁄
Dimana: C = nilai rugosity, d = panjang transek rantai apabila dibentangkan
mengikuti kontur dasar perairan, sementara l = panjang transek rantai apabila
dibentangkan dalam satu garis lurus (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).
Kajian aspek rugosity atau kompleksitas habitat dasar perairan ini diperkuat
dengan dilakukannya validasi di lima titik stasiun pengamatan (Gambar 1). Hasil
analisis rugosity menggunakan BTM selanjutnya divalidasi dengan menggunakan
regresi linear terhadap nilai in situ rugosity.
Kondisi hidup terumbu karang
Data karang dan bentik yang diperoleh menggunakan metode Point Intercept
Transect selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan persentase penutupan terumbu
karang menggunakan rumus English et al. (1997):
��
�� = �
%
(5)
�
Dimana: Li = persentase penutupan karang (%), li = panjang transisi antar titik antar
life form kategori ke-i, dan N = panjang total transek. Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut dapat diketahui tutupan substrat dasar suatu perairan. Substrat dasar dibagi
dalam beberapa kategori antara lain Hard Coral (HC), Dead Coral with Algae
9
(DCA), Dead Coral (DC), Soft Coral (SC), Macro Algae, Other Fauna, dan Abiotik.
Jenis substrat karang keras hidup (Hard Coral) kemudian dibagi ke dalam beberapa
bentuk pertumbuhan antara lain Acropora Coral Branching (ACB), Acropora
Coral Encrusting (ACE), Acropora Coral Submassive (ACS), Acropora Coral
Tubulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose
(CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CSM), Coral Mushroom (CMR),
Coral Milepora (CME), Coral Tubipora (CTU), Coral Heliopora (CHE) (English
et al. 1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batimetri
Wilayah Kajian Dangkal
Perairan dangkal perairan gugusan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki
kisaran kedalaman 1-3 meter. Wilayah ini didominasi oleh substrat pasir yang
memiliki nilai reflektansi rendah karena substrat dengan butiran halus memantulkan
energi ke banyak arah dan menghasilkan nilai radiansi yang menyebar (Jensen
2000). Pengukuran di 24 titik yang mewakili perairan berkedalaman dangkal
dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran (Gambar 1).
Terdapat 24 titik sampel yang setelah dilakukan perbandingan dengan
kedalaman lapang dapat diketahui nilai determinasi (R2) dari kedalaman relatif pada
masing-masing rasio kanal (Lampiran 1). Berdasarkan nilai kedalaman relatif
tersebut, didapatkan rasio kanal Green/Red dengan nilai R2 tertinggi yaitu 0,6622;
disusul dengan kanal Green/Yellow dengan R2= 0,5622; dan kanal Blue/Red dengan
R2=0,5548. Nilai R2 pada rasio kanal Green/Red menunjukkan regresi linear yang
positif menunjukkan terdapat hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan
panjang gelombang rasio kanal Green/Red dengan kedalaman manual lapang.
Kanal Green (510-580 nm) dan Red (630-690 nm) di perairan dangkal mampu
mendefinisikan kedalaman hingga 15 meter. Kedua kanal tersebut juga merupakan
kanal utama yang digunakan dalam persamaan pendefinisian rasio kanal oleh
Densham (2005). Kanal merah mengalami atenuasi yang lebih besar, sehingga
hanya dapat mendefinisikan kedalaman perarain dangkal.
Menurut Madden (2011), kombinasi rasio relatif Green/Red dan
Green/Yellow mampu mendefinisikan dasar perairan pasir karena kanal Red
memiliki nilai reflektansi yang lebih tinggi terhadap segmen pasir. Bastian (2013)
juga menggunakan kanal Green/Red dalam mendefinisikan wilayah perairan
dangkal yang didominasi oleh pasir berdasarkan nilai determinasi antara kedalaman
relatif dengan kedalaman pemeruman hasil pengukuran lapang. Kanal Green/Red
menunjukkan nilai rasio relatif lebih tinggi (0,7368) dibandingkan dengan
Green/Yellow (0,5374).
Perhitungan rasio kanal Stumpf et al. (2003) (persamaan 3), dapat diketahui
nilai piksel yang dimiliki oleh data raster kedalaman relatif untuk menghasilkan
nilai batimetri absolut. Wilayah kajian dangkal ini memiliki kisaran kedalaman
perairan antara 0,04924-5,095929 meter (Gambar 6). Kondisi ini sesuai dengan
profil dasar perairan hingga tubir gugusan Pulau Kelapan dan Harapan yang
tergolong perairan dangkal.
10
Gambar 6 Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red
Kedalaman (m)
Perbedaan antara nilai kedalaman perairan manual dibandingkan dengan
nilai batimetri absolut kanal Green/Red (Gambar 7a). Berdasarkan titik
pengambilan sampel, diketahui bahwa nilai selisih kedalaman tertinggi sebesar
0,316 meter dan terendah sebesar 0,003 meter, serta standar deviasi sebesar 0,098.
Dari Gambar 7b diketahui bahwa terdapat selisih antara kedalaman manual dan
kedalaman absolut kanal Green/Red kurang dari 0,4 meter (Gambar 7b).
0
-0,5
-1
-1,5
-2
Titik manual
Frekuensi
(a)
8
6
4
2
0
0,05
0,11
0,16
Regresi Green/Red
0,21
Kelas data
0,26
0,32
(b)
Gambar 7 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red
More
11
Wilayah Kajian Dalam
Pemisahan wilayah kajian dalam dilakukan berdasarkan wilayah kajian
dengan nilai interpretasi optis berdasarkan substrat, wilayah ini diasumsikan
didominasi oleh substrat dasar terumbu karang. Perairan dalam dibatasi dari
wilayah tubir dengan jarak 75-200 meter tegak lurus ke arah laut dalam hingga
kedalaman 32 meter. Perairan dalam gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji
menggunakan 71 titik sampel yang merupakan titik pemeruman akustik single
beam (Gambar 1).
Berdasarkan titik-titik tersebut diketahui nilai R2 sebesar 0,7204 pada rasio
kanal Coastal Blue/Yellow, disusul R2= 0,7086 pada kanal Coastal Blue/Green, dan
R2= 0,2488 pada kanal Blue/Green (Lampiran 1). Nilai R2 pada rasio kanal Coastal
Blue/Yellow menunjukkan regresi linear yang positif, menunjukkan terdapat
hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan panjang gelombang rasio
kanal tersebut dengan kedalaman manual lapang. Penelitian oleh Parthish (2011)
menunjukkan kemampuan kanal Coastal Blue dalam mendefinisikan batimetri
dibandingkan kanal Blue, sementara menurut Madden (2011) kanal Yellow dapat
mengurangi kesalahan dalam pendefinisian batimetri pada saat diuji dalam rasio
dengan kanal Blue dan Green.
Nilai batimetri absolut dapat diketahui dengan memasukkan persamaan
regresi linear pada nilai piksel data raster kedalaman relatif menggunakan
perhitungan Band Math. Perairan dangkal ini memiliki kisaran kedalaman perarian
antara 0,000505-36,363 meter (Gambar 8). Sebanyak 46 titik dipakai dalam
pendefinisian titik batimetri absolut. Kedalaman absolut yang memiliki selisih
dengan hasil pengolahan citra dan pemeruman lebih dalam dari 6 m tidak digunakan
karena nilai validasi yang rendah.
Gambar 8 Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow
Nilai kedalaman perairan pemeruman dibandingkan dengan nilai batimetri
absolut dari kanal Coastal Blue/Yellow (Gambar 9a). Kesesuaian antara kedua nilai
tersebut dilihat berdasarkan nilai standar deviasi sebesar 1,453; rentang selisih antar
titik sampel berada pada nilai minimal 0,039 sampai 5,323 meter. Sebaran
frekeuensi selisih pada data kedalaman juga menunjukkan bahwa terdapat 69,57%
sebaran selisih kedalaman keseluruhan sebesar 3,058 meter (Gambar 9b).
12
Kedalaman (m)
0
-5
-10
-15
-20
Pemeruman
(a)
Regresi Coastal Blue/Yellow
Frekuensi
15
10
5
0
0,79
1,55
2,30
3,06
3,81
Kelas data
4,57
5,32
More
(b)
Gambar 9 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow
Kemampuan gelombang cahaya yang ditangkap oleh citra satelit dalam
mendefinisikan kedalaman dengan nilai galat sampai dengan 5,32 meter hanya
sampai kedalaman 36,36 meter. Presisi ini kurang tinggi jika dibandingkan dengan
kemampuan pemeruman akustik yang dapat menjangkau wilayah lebih dalam.
Hasil data kedalaman perairan dangkal dan dalam selanjutnya digabungkan dengan
data kedalaman pemeruman. Sementara itu, pada keseluruhan data dilakukan
penggabungan menggunakan metode interpolasi spline. Metode ini menggunakan
fungsi matematis yang meminimalisir permukaan yang memiliki kelengkungan dan
menghasilkan permukaan yang lebih halus.
Tampilan Visual Batimetri dan Analisis BTM
Kondisi batimetri gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji melalui
pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik. Secara keseluruhan profil
batimetri disajikan dalam ukuran piksel 2 meter dengan tujuan dapat
mendefinisikan kompleksitas dasar perairan yang ada sedetail mungkin. Raster
batimetri ditampilkan secara 2D, kemudian 5 transek garis diterapkan secara tegak
lurus dari tubir untuk mendapat gambaran umum profil vertikal batimetri di sekitar
Pulau Kelapa dan Harapan. Secara keseluruhan Pulau Kelapa dan Harapan
memiliki profil kedalaman dengan rentang 0,001 sampai dengan 62,156 meter.
Terdapat lima transek garis yang terdiri atas tiga transek yang mengarah ke perairan
lepas (Timur, Selatan, dan Barat) dan dua transek menghubungkan antara dua tubir
dari gugusan pulau yang berbeda (Utara dan Barat Daya). Kelima transek garis
masing-masing ditarik dengan titik awal A hingga titik akhir B (Gambar 10).
13
Gambar 10 Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri
Kenampakan dasar laut yang diperoleh melalui pendefinisian citra satelit dan
pemeruman didukung pula dengan studi lapang. Transek sepanjang 20 meter
diletakkan di lima stasiun pada tiga kedalaman (6, 8, dan 10 meter) yang mewakili
strata kedalaman lereng tubir gugusan Pulau Kelapa dan Harapan. Kelima stasiun
tersebut ditentukan berdasarkan titik koordinat awal dan akhir pengamatan lapang.
Dari setiap garis lurus dilakukan ekstraksi nilai surface to planar area pada
perangkat BTM dari setiap piksel yang dilewati oleh transek garis lurus. Masingmasing nilai tersebut disajikan pada tiga grid yang berbeda yaitu 1, 2, dan 5 meter.
Ketiga grid tersebut menunjukkan tingkat surface to planar area dari hasil
pengukuran batimetri memiliki nilai tidak kurang dari 1, nilai yang lebih besar
mendefinisikan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 11, Lampiran 2).
Titik sampel di posisi 106 o35’34’’ BT dan 5o39’8’’ LS menunjukkan nilai
surface to planar area pada grid 1 meter (a; 4,82) yang lebih terkonsentrasi namun
dengan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan grid 2 meter (b; 5,84),
sementara pada titik sampel yang sama di grid 5 meter nilainya jauh lebih rendah
(c; 1,53). Berdasarkan ketiga pendekatan grid tersebut, dipilih grid 2 meter karena
dapat menampilkan nilai surface to planar area yang akurat dan mendekati citra
WorldView-2 yang memiliki ukuran grid citra berukuran 1,84 meter.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11 Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan
Harapan dengan grid (a) 1, (b) 2, dan (c) 5 meter
14
Transek garis di Stasiun Timur membentang secara tegak lurus dari wilayah
sebelum tubir menuju ke perairan terbuka. Gambar 12 menjelaskan profil batimetri
dan kompleksitas dasar berdasarkan surface to planar area dan in situ rugosity.
Stasiun Timur memiliki profil lereng terumbu yang landai dan berfluktuatif pada
kisaran 10-12 meter, kemudian menurun dengan terjal hingga kedalaman 30 meter
(Gambar 12a). Kompleksitas dasar perairan yang diamati menggunakan surface to
planar area memiliki nilai tertinggi pada kedalaman 6 meter (Gambar 12b). Stasiun
ini secara keseluruhan memiliki kompleksitas paling beragam dibandingkan stasiun
lainnya karena memiliki profil batimetri yang paling beragam karena profil
geomorfologi lereng yang fluktuatif pada wilayah tubir (Gambar 12c).
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 12 Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Profil lereng batimetri di Stasiun Selatan dan kompleksitas dasar perairan
berdasarkan nilai surface to planar area dan in situ rugosity ditunjukkan pada
Gambar 13. Profil rataan terumbu memiliki kedalaman 1,15-1,67 meter yang
kemudian menurun landai setelah melewati punggung terumbu dan mencapai
kedalaman 22 meter. Kondisi dasar perairan selanjutnya bersifat homogen di
kedalaman terdalam. Secara umum kondisi dasar perairan di Selatan tergolong
homogen dengan nilai surface to planar area yang seragam (Gambar 13b,d). Faktor
yang menyebabkan nilai yang homogen adalah profil batimetri wilayah perairan
tersebut memiliki kondisi yang relatif datar dan landai secara keseluruhan,
meskipun lereng yang terbentuk cukup terjal di kedalaman 7-12 meter (Gambar
13c).
15
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 13 Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Transek vertikal di Stasiun Barat Daya menghubungkan antara dua tubir dari
gugusan pulau yang berbeda. Dasar perairan membentuk lereng yang menanjak ke
kedalaman yang lebih dangkal kedalaman 5,8 meter lalu semakin rendah hingga
menuju wilayah tubir dan rataan terumbu (Gambar 14a). Nilai surface to planar
area tertinggi terdapat di strata kedalaman 8 meter yang disusul oleh kedalaman 10
dan 6 meter (Gambar 14b). Wilayah ini memiliki struktur geomorfologi yang cukup
kompleks karena memiliki perubahan nilai kedalaman saat melewati dasar perairan
sebelum kembali menuju tubir (Gambar 14c).
(a)
(b)
C
(c)
(d)
D
Gambar 14 Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Stasiun Barat memiliki kondisi dasar perairan dengan profil lereng terumbu
yang landai hingga mencapai kedalaman 15 meter. Profil kedalaman selanjutnya
16
membentuk lereng menuju kanal bawah laut dengan kedalaman 24,5 meter,
kemudian kembali ke kedalaman dengan rata-rata 14,05 meter. (Gambar 15a).
Secara umum melalui tampilan batimetri dan pengamatan lapang, Stasiun Barat
memiliki karakteristik lereng yang landai di kedalaman 6-10 meter (Gambar 15c).
Kompleksitas dasar perairan menjelaskan nilai surface to planar yang beragam di
setiap kedalaman dan nilai tertinggi terdapat di kedalaman 10 meter (Gambar
15b,d). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh beragamnya nilai kedalaman di
Stasiun Selatan di wilayah lereng terumbu dan terdapatnya kanal bawah laut yang
mempengaruhi profil kedalaman secara signifikan (Gambar 15c).
(a)
(b)
C
(c)
(d)
D
Gambar 15 Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface
to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek
CD (d) visual surface to planar area
Stasiun Utara memiliki kondisi umum batimetri yang paliing berbeda karena
transek garis lurus yang diambil melintasi sebuah gobah. Profil batimetri menurun
dengan profil lereng curam di kedalaman 3-10 meter, kemudian menurun landai
hingga kedalaman 25 meter. Kontur dasar pun semakin dangkal karena melewati
gobah dengan lebar ±80 meter. Kemudian profil batimetri kembali landai dan
semakin dangkal hingga menuju tubir dan kedalaman 2 meter (Gambar 16a).
Berdasarkan sampel surface to planar area yang diambil di beberapa strata
kedalaman, wilayah 6 dan 8 meter memiliki kompleksitas yang lebih tinggi
(Gambar 16b). Wilayah lereng yang diamati langsung di lapang berada pada
wilayah lereng terumbu (Gambar 16c) memiliki kondisi kompleksitas yang cukup
kompleks (Gambar 16d). Stasiun Utara terdiri atas kondisi dasar perairan yang
beragam karena terdiri atas beberapa struktur geomorfologi antara lain rataan
terumbu, lereng terumbu, dan gobah.
17
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 16 Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD
(d) visual surface to planar area
Surface to planar area
BTM
Secara umum kompleksitas berdasarkan hasil analisis menggunakan surface
to planar area BTM memiliki rentang nilai mendekati 0 untuk wilayah homogen
dan menjauhi 0 untuk wilayah yang kompleks. Dasar Perairan Pulau Kelapa dan
Harapan memiliki nilai surface to planar area tertinggi di Stasiun Timur pada
kedalaman 6 dan 8 meter (4,12; 3,28), serta Barat 10 meter (3,12). Wilayah tersebut
termasuk ke dalam stasiun yang menghadap ke arah perairan lepas dan terpapar
langsung oleh arus dari luar gugusan pulau. Wilayah dengan kompleksitas terendah
terdapat di Stasiun Utara di setiap strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter yaitu masingmasing 1,72; 1,72; dan 1,29 (Gambar 17). Kondisi ini membutuhkan dukungan
hasil pengamatan kompleksitas dasar perairan terumbu karang di lapang.
5
4
Timur
3
Selatan
2
Barat Daya
1
Barat
0
6
8
Kedalaman (m)
10
Utara
Gambar 17 Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan
strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter
18
Profil Terumbu Karang
in situ rugosity
Melalui pendekatan ekologi, dilakukan kajian kompleksitas dasar perairan
terumbu karang Pulau Kelapa dan Harapan. Kajian ini menghasilkan nilai
matematis yang dapat mendefinisikan seberapa kompleks perairan tersebut.
Wilayah yang homogen dinyatakan dengan nilai mendekati 0, sementara
kompleksitas lebih tinggi dinyatakan dengan nilai yang mendekati 1.
Pulau Kelapa dan Harapan memiliki struktur kompleksitas yang beragam di
setiap stasiun dan berdasarkan tiga strata kedalaman yang berkisar antara 0,095
(homogen) hingga 0,434 (kompleks). Secara keseluruhan, nilai yang paling
kompleks terdapat di Stasiun Utara (0,434) dan Stasiun Barat (0,39) pada
kedalaman 6 meter, serta Stasiun Selatan (0,4025) pada kedalaman 8 meter.
Sementara itu, berdasarkan strata kedalamannya, perairan kedalaman 6 meter yang
memiliki nilai kompleksitas tertinggi terdapat di Stasiun Utara (0,434), kedalaman
8 meter di Stasiun Selatan (0,403), dan kedalaman 10 meter di Stasiun Utara
(0,291). Stasiun Timur menunjukkan nilai in situ rugosity terendah yaitu secara
berurutan berdasarkan setiap strata kedalaman 0,184; 0,196; dan 0,095 (Gambar 18,
Lampiran 3).
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Timur
Selatan
Barat Daya
6
8
Kedalaman (m)
10
Barat
Utara
Gambar 18 Profil in situ rugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata
kedalaman 6, 8, dan 10 meter
Hasil kajian in situ rugosity dan surface to planar area (BTM) memiliki
beberapa perbedaan. Stasiun Timur yang memiliki nilai surface to planar area
tertinggi di kedalaman 6 dan 8 meter di sisi lain menunjukkan nilai in situ rugosity
terendah di setiap kedalaman. Nilai in situ rugosity yang rendah dapat disebabkan
oleh tutupan dasar perairan yang didominasi oleh patahan terumbu karang mati
yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae) yang diidentifikasi melalui
pendekatan pengukuran lapang. Pendekatan surface to planar area
mengidentifikasi kompleksitas dengan cakupan area yang lebih luas dan
menunjukkan struktur geomorfologi yang lebih kompleks yang ditunjukkan oleh
warna merah yang mendominasi tampilan visualnya (Gambar 13d). Hal tersebut
menunjukkan bahwa Stasiun Timur memiliki profil yang kompleks di masa lalu
namun telah ditutupi oleh terumbu karang yang mati di saat ini. Menurut Hubbart
(1997), susunan fosil terumbu yang ada merupakan susunan yang saling
bertumpukan dari beberapa generasi dari terumbu karang yang ada.
Nilai surface to planar BTM dan in situ rugosity menunjukkan adanya
hubungan keterkaitan yang positif pada grid 1, 2, maupun 5 meter. Nilai pada grid
2 meter menunjukkan nilai determinasi (R2) tertinggi yaitu sebesar 0,3686 (Gambar
19
surface to planar
area BTM
19, Lampiran 6); grid 5 meter sebesar 0,3196; dan grid 1 meter 0,3177 (Lampiran
5 dan 7). Ketiga nilai tersebut menunjukkan nilai kompleksitas berdasarkan
pendekatan analisis surface to planar area BTM berpengaruh nyata terhadap in situ
rugosity (dB=28; p
DENGAN BENTHIC TERRAIN MODELER DAN IN SITU
RUGOSITY DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kompleksitas Dasar
Perairan Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di
Pulau Kelapa dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar karya saya
dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Alexandra Maheswari Waskita
NIM C54110051
ABSTRAK
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Kompleksitas Dasar Perairan Terumbu
Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa dan
Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh SYAMSUL BAHRI AGUS dan
ADRIANI SUNUDDIN.
Kompleksitas dasar perairan terumbu karang yang tinggi dapat menyediakan relung
ekologi yang lebih bagi beragam makhluk hidup yang berasosiasi dengan ekosistem
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan
terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler (BTM) pada ArcGIS 10.2 dan
pengukuran in situ (rugosity dan keragaan life form) berdasarkan pembagian strata
kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan. Survey lapang dilakukan pada 17-21
Maret 2015 untuk mengumpulkan data dan ground check batimetri, pengamatan
terumbu karang, dan pengukuran in situ rugosity di 6, 8 dan 10 meter. Dari lima stasiun
pengamatan, kompleksitas dasar perairan tertinggi ditemukan di Timur dan Barat
berdasarkan surface to planar area BTM, sedangkan berdasarkan in situ rugosity di
Utara dan Selatan. Nilai in situ rugosity berpengaruh terhadap surface to planar area
(BTM) untuk kedalaman 8 meter. Life form terumbu yang memengaruhi kompleksitas
dasar perairan in situ adalah Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter),
dan abiotik (10 meter). Kondisi terumbu karang di Pulau Kelapa-Harapan tergolong
sedang dengan life form dominan Coral Massive, sehingga kurang mampu membentuk
dasar perairan yang kompleks walalupun hasil BTM mendefinisikan kompleksitas
secara detail pada grid 2 meter.
Kata kunci: Benthic Terrain Modeler, dasar perairan, terumbu karang, WorldView-2.
ABSTRACT
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA. Coral Reef Seafloor Surface Complexity
using Benthic Terrain Modeler and in situ Rugosity on Kelapa and Harapan Island,
Seribu Islands, Jakarta. Supervised by SYAMSUL BAHRI AGUS and ADRIANI
SUNUDDIN.
High complexity of coral reef substrate can provide more ecological niche for diverse
living organisms associated with coral reef ecosystem. This research aimed to identify
the seafloor complexity using Benthic Terrain Modeler (BTM) towards in situ
measurement (rugosity and benthic life forms) according to depth strata in Kelapa and
Harapan Island. Field survey was conducted on 17-21 March 2015, for gathering
bathymetric data set, ground checking WorldView-2 imagery, observing coral reef
condition and measuring in situ rugosity at 6, 8 and 10 m. Among 5 survey sites, the
highest seafloor complexity was observed at the East and West of Kelapa-Harapan
Island reffering to BTM analysis, while highest in situ rugosity was resulted for the
North and South. The inluence of in situ rugosity towards suface to planar area (BTM)
was prominent at 8 meter depth. Benthic life forms affecting in situ complexity of the
reef substrate were Dead Coral with Algae (6 meter), Hard Coral (8 meter) and abiotics
(10 meter). Coral reef condition in Kelapa-Harapan islands was considered fair and
dominated by Coral Massive, thus featured insignificant affecting complexity despite
detail map of seafloor complexity resulted by BTM analysis at 2 meter grid.
Keywords: Benthic Terrain Modeler, coral reef, seafloor, WorldView-2.
KOMPLEKSITAS DASAR PERAIRAN TERUMBU KARANG
DENGAN BENTHIC TERRAIN MODELER DAN IN SITU
RUGOSITY DI PULAU KELAPA DAN HARAPAN,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
ALEXANDRA MAHESWARI WASKITA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas anugerah dan karunia-Nya
sehingga dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Kompleksitas Dasar Perairan
Terumbu Karang dengan Benthic Terrain Modeler dan in situ Rugosity di Pulau Kelapa
dan Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi, sekaligus sebagai karya
terakhir penulis di strata S1.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syamsul Bahri Agus,
S.Pi, M.Si selaku pembimbing I, Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku pembimbing
II sekaligus pembimbing akademik, dan kepada Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas kesempatan dan bimbingan
yang telah diberikan. Tak lupa, ucapan terima kasih diberikan kepada teman
seperjuangan ITK 48, Fisheries Diving Club, rekan penelitian lapang Maret 2015, serta
semua orang yang telah membantu dalam penulisan karya ilmiah ini. Penulis
mengucapkan terima kasih terlebih kepada kedua orang tua yang selalu mendukung
kegiatan penulis sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2016
Alexandra Maheswari Waskita
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
2
Pengambilan data
3
Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batimetri
9
9
Tampilan Visual Batimetri dan Rugosity
12
Profil Terumbu Karang
18
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL
1.
Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan
Comp 2010)
3
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan
2
Pengambilan data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)
4
Pengambilan data kondisi terumbu karang dengan PIT
4
Diagram alir analisis data
5
Hasil masking wilayah darat
6
Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red
10
Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red
10
Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow
11
Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow
12
Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri
13
Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan Harapan
dengan grid (a) 1 meter, (b) 2 meter, dan (c) 5 meter
13
Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
14
Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
15
Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface
to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
15
Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d)
visual surface to planar area
16
Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to planar area
setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD (d) visual surface to
planar area
17
Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan strata
kedalaman 6, 8, dan 10 meter
17
Profil in situ rugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata kedalaman 6, 8,
dan 10 meter
18
Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter di
keseluruhan stasiun (p< 0,05)
19
Nilai rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2 meter
19
Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan
20
Tutupan kategori dasar perairan di gugusan Pulau Kelapa dan Harapan di
kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter
21
Hubungan in situ rugosity dengan persen tutupan (a) dead coral with Algae
(b) karang hidup
21
Persen penutupan berdasarkan bentuk pertumbuhan terumbu karang di lima
Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan
22
Bentuk pertumbuhan karang hidup di lima Stasiun Pulau Kelapa dan Harapan
pada strata kedalaman (a) 6, (b) 8, dan (c) 10 meter
23
26. Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang ditemukan di Perairan Pulau
Kelapa dan Harapan (a) Dead Coral with Algae, (b) Coral Massive, (c) Coral
Submassive, dan (d) Coral Foliose
24
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Regresi linear dan determinasi setiap rasio kanal citra WorldView-2
27
Nilai kompleksitas dasar perairan menggunakan surface to planar area BTM
di kedalaman 6, 8, dan 10 meter dengan grid 1, 2, dan 5 meter
28
Kompleksitas dasar perairan in situ di Pulau Kelapa dan Harapan berdasarkan
kedalaman 6, 8, dan 10 m dengan ke-4 ulangan
29
Persentase tutupan (a) kategori dasar perairan dan (b) terumbu karang di
Pulau Kelapa dan Harapan
30
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM dengan
grid 1 meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
31
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 2
meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
32
Nilai determinasi rugosity berdasarkan pengukuran in situ dan BTM grid 5
meter dan analisis ragam regresi linear sederhana
33
Nilai korelasi tutupan dead coral with algae dengan rugosity menggunakan
analisis analisis ragam regresi linear sederhana
34
Nilai korelasi tutupan karang hidup dengan rugosity menggunakan analisis
ragam regresi linear sederhana
35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sebagian besar
dijumpai di perairan tropis. Ekosistem ini memiliki peran yang krusial bagi
keberlangsungan hidup biota laut. Distribusi dan struktur komunitas ikan terumbu
juga dipengaruhi oleh seberapa kompleks kondisi suatu habitat terumbu karang
(Wedding et al. 2008). Tingginya keanekaragaman spesies karang dapat
mempengaruhi beragamnya jenis dan populasi ikan terumbu yang hidup di
dalamnya, karena terumbu karang yang dibentuknya akan memiliki kompleksitas
struktur dasar perairan yang kompleks sehingga menyediakan relung ekologi yang
lebih dibandingkan dengan spesies tunggal (Talbot 1965). Struktur habitat
penyusun sistem terumbu karang yang kompleks juga dapat menyebabkan
beragamnya relung hidup dari ikan-ikan terumbu yang ada (Adriani 2002).
Komunitas terumbu karang yang memiliki luasan tutupan tertentu dapat
membentuk suatu struktur yang kompleks. Menurut Magno dan Villanoy (2006)
kondisi kekasaran dan ketidakseragaman suatu permukaan dapat dinyatakan
sebagai rugosity.
Kompleksitas dasar perairan merupakan karakter yang dapat diukur
menggunakan beberapa pendekatan. Berdasarkan pendekatan konvensional,
pengukuran dilakukan dengan membandingkan panjang transek rantai yang
mengikuti kenampakan vertikal substrat dasar dengan transek garis lurus (Risk
1972; Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010). Seiring dengan semakin pesatnya
perkembangan teknologi, sistem penginderaan jauh juga dapat membantu dalam
pendefinisian kompleksitas dasar laut. Dikembangkan oleh Wright et al. (2012),
Benthic Terrain Modeler (BTM) merupakan sebuah alat dalam perangkat lunak
ArcGIS ESRI yang digunakan untuk melakukan analisis spasial. BTM mampu
mendefinisikan struktur geomorfologi, kemiringan lereng (slope), dan
kompleksitas dasar perairan (rugosity). Hasil yang didapatkan berupa skema
klasifikasi dari ekosistem terumbu karang, pada kasus ini diterapkan di Tutuila,
Amerika Samoa, Samudera Pasifik. Klasifikasi yang dihasilkan dinilai sesuai dalam
pengembangan pemetaan habitat yang memiliki biodiversitas tinggi di wilayah
Pasifik Barat (Lundblad 2006). Wedding et al. (2008) juga telah mengaplikasikan
perangkat BTM untuk melihat keterkaitan kompleksitas dasar perairan dengan
komunitas ikan terumbu di Hawaii. Hasil penelitian Wedding dapat mengkaji pada
unit grid yang lebih luas (10, 15, dan 25 meter).
Pendefinisian kondisi batimetri melalui kajian pengolahan citra satelit telah
dilakukan oleh beberapa peneliti hingga saat ini. Penelitian Stumpf et al. (2003)
mendefinisikan batimetri perairan laut dangkal dengan perbandingan (rasio) antar
delapan kanal yang berbeda pada citra WorldView-2 dan menghasilkan rasio
Blue/Green sebagai kanal terbaik untuk menentukan kedalaman perairan. Penelitian
lain menjelaskan bahwa kanal Coastal Blue/Yellow, Red/Green, Green/Yellow, dan
Yellow/Red juga mampu mendefinisikan batimetri perairan dangkal (Alsubatie
2012; Madden 2011). Keterbatasan penetrasi gelombang elektromagnetik matahari
ketika masuk ke perairan diatasi melalui penggunaan data pemeruman yang berasal
dari echosounder single beam Garmin.
2
Penilaian kompleksitas dasar perairan dapat berperan dalam perencanaan dan
pengelolaan lingkungan pesisir. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai
distribusi spasial dan bentuk fisik dari wilayah terumbu karang dan pesisir menjadi
sangat dibutuhkan. Hal inilah yang mendasarkan penelitian serupa dilakukan di
Indonesia khususnya di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi kompleksitas dasar perairan
terumbu karang menggunakan Benthic Terrain Modeler dan secara in situ
berdasarkan pembagian strata kedalaman di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengamatan lapang dilakukan pada 17-21 Maret 2015 di Pulau Kelapa dan
Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta di Stasiun KH-T (Timur), KH-S (Selatan), KHBD (Barat Daya), KH-B (Barat) dan KH-U (Utara) (Gambar 1). Pengolahan data
dilakukan pada April-November 2015 di Laboratorium Pemetaan dan Pemodelan
Geospasial, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Gambar 1 Lokasi penelitian di Perairan Pulau Kelapa dan Harapan
3
Alat dan Bahan
Penelitian berlangsung dengan bantuan alat dan bahan yang berfungsi untuk
mendukung pelaksanaan penelitian dan analisis yang dilakukan. Alat yang
digunakan dalam kajian in situ rugosity antara lain alat tulis bawah air, kamera
bawah air, roll meter sepanjang 100 meter sebagai transek garis, transek rantai, set
alat penyelaman SCUBA, dan GPS Garmin 60 CSX. Pemeruman dasar laut
menggunakan single beam Garmin GPS MAP 585. Pengukuran pasang surut
menggunakan Mobile Real Time Tide Instrument (Moritide). Tahapan analisis data
dilakukan menggunakan laptop, perangkat lunak ESRI ArcGIS 10.2 yang
dilengkapi oleh toolbox BTM (Wright et al. 2012), perangkat lunak ER Mapper,
ENVI, dan Microsoft Excel.
Bahan yang digunakan dalam analisis dasar perairan terdiri atas citra
multispektral WorldView-2 yang diakuisisi pada 5 Oktober 2013 yang memiliki 8
kanal (Tabel 1). Citra WorldView-2 mengorbit pada ketinggian 770 km di atas
permukaan bumi dengan resolusi multispektral hingga 2 meter. WorldView-2
memiliki waktu rata-rata akuisisi data 1,1 hari dan dapat mengumpulkan hingga 1
juta km2 citra dengan 8 kanal per hari (Upike dan Comp 2010).
Tabel 1 Spesifikasi kanal-kanal spektral citra WorldView-2 (Sumber: Upike dan
Comp 2010)
Kanal Spektral
Panjang
Gelombang
Coastal Blue
400-450 nm
Blue
450-510 nm
Green
510-580 nm
Yellow
585-625 nm
Red
630-690 nm
Red-Edge
705-745 nm
Near-IR1
770-895 nm
Near-IR2
860-1040 nm
Data pengamatan lapangan diperoleh melalui hasil pemeruman lapang
kedalaman perairan dasar di wilayah Pulau Kelapa dan Harapan menggunakan
Garmin GPS MAP 585 (frekuensi 50/200 kHz). Data pasang surut digunakan dalam
melakukan koreksi terhadap hasil pemeruman. Data pasang surut direkam
menggunakan Moritide di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Data
pengamatan lapang juga terdiri atas kondisi rugosity menggunakan transek rantai
dan kondisi terumbu karang menggunakan transek garis.
Pengambilan data
In situ Rugosity dan Pertumbuhan Karang
Rugosity diukur dengan meletakkan rantai besi sepanjang 5 m pada
permukaan terumbu karang, dengan ukuran mata rantai 1 cm. Rantai besi tersebut
4
diletakkan di atas substrat dasar perairan, mengikuti tinggi dan rendahnya topografi
terumbu karang. Nilai kompleksitas didapatkan dengan membandingkan antara
panjang permukaan dasar substrat dibandingkan dengan panjang horizontal dari
transek garis (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).
Pengukuran dengan rantai besi dilakukan sebanyak 4 kali untuk memenuhi
proporsi transek garis sepanjang 20 meter (Gambar 2). Pengulangan pada
pengambilan data rugosity dan pertumbuhan terumbu karang dilakukan sebanyak 3
kali ulangan di kedalaman 6, 8, dan 10 meter. Kedalaman tersebut mewakili
wilayah lereng terumbu yang umumnya ditumbuhi karang dan komponen bentik
terumbu lain di perairan Kepulauan Seribu.
Gambar 2 Pengukuran data in situ rugosity, dimodifikasi dari Fuad (2010)
Kajian kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode
Point Intercept Transect (PIT). Pencatatan meliputi bentuk pertumbuhan karang
dan substrat yang dilakukan di setiap 0,5 meter dengan panjang transek garis
sepanjang 20 meter (Gambar 3).
Gambar 3 Skema pendataan terumbu karang dengan Point Intercept Transect
Pemeruman Dasar Perairan
Bentuk dasar perairan dikaji menggunakan metode akustik yaitu dengan
melakukan pemeruman mengelilingi Perairan Pulau Kelapa dan Harapan dengan
transek zig-zag dimulai dari perairan dangkal (3 m) hingga mencapai perairan
dalam (50 m) dengan jarak antar transek sejauh 30-100 m (Gambar 1). Instrumen
yang digunakan adalah Garmin GPSMAP 585 yang termasuk tipe single beam
echosounders (SBES). SBES menghasilkan perum gema yang sempit, yang dalam
pengukurannya membutuhkan pengaturan gerak kapal agar posisi transducer cukup
stabil (de Jong et al. 2002).
Analisis Data
Penelitian ini menggabungkan tiga aspek ilmu dan teknologi kelautan yaitu
penginderaan jauh satelit dan sistem informasi geografis, akustik, serta hidrobiologi.
Berdasarkan pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik kelautan diperoleh
set data mentah berupa kedalaman perairan (batimetri). Data batimetri menjadi
masukan dalam analisis BTM yang mengukur kompleksitas dasar perairan
berdasarkan kajian surface to planar area. Pendekatan hidrobiologi melalui kajian
in situ rugosity dan kondisi terumbu karang yang menggambarkan kompleksitas
batimetri untuk lingkup yang sempit. Seluruh hasil yang diperoleh digabungkan
sebagai dasar analisis kompleksitas dasar Perairan Kelapa dan Harapan (Gambar 4).
5
Gambar 4 Diagram alir analisis data
Batimetri Pemeruman
Koreksi data pemeruman
Data kedalaman yang diperoleh dari hasil pemeruman akustik dikoreksi
terhadap pasang surut lokal dan selisih jarak dari permukaan air laut terhadap
dudukan transducer saat pemeruman. Data pemeruman yang dihasilkan berupa
nilai elevasi dengan susunan data titik koordinat bujur (X) dan lintang (Y), serta
nilai kedalaman (Z), yang kemudian diplotkan dalam perangkat lunak ArcGIS.
Batimetri Citra
Crop dan Masking Citra
Pertama-tama dilakukan pemotongan citra sesuai wilayah pengamatan
kemudian masking citra (Gambar 5). Langkah masking dilakukan dengan raster
color slice yang bertujuan untuk memisahkan wilayah lautan, daratan, serta obyek
lain yang tidak diamati. Selanjutnya dilakukan pemisahan menggunakan kanal
NIR1 (770-895 nm) secara efektif dapat membedakan nilai reflektansi antara badan
air dan vegetasi (Upike dan Comp 2010).
6
Gambar 5 Hasil masking wilayah darat
Koreksi radiometrik
1) Konversi digital number (DN) menjadi radiansi
Citra WorldView-2 memiliki nilai digital atau piksel (DN) yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain proses absorpsi dan hambur balik. Proses
tersebut terjadi pada radiansi elektromagnetik (REM) dan menyebabkan
adanya perubahan sudut datang serta menyimpangnya pantulan REM. Oleh
karena itu DN pada suatu citra tidak dapat secara langsung digunakan dan
harus dikonversi menjadi nilai radiansi spektral minimum. Nilai tersebut
menjelaskan jumlah radiansi spektral yang masuk ke dalam bukaan satelit,
serta telah dikonversi menjadi sinyal digital (Upike dan Comp 2010; Green
et al. 2000). Hal ini dilakukan melalui proses kalibrasi radiometrik yang
dirumuskan melalui Persamaan 1 sebagai berikut:
��
����� �,�� = � � � � �,� �
(1)
�
Dimana: LλPixel,Band = nilai radiansi piksel citra [W-m-2-sr-1-µm-1], KBand =
nilai absolut faktor kalibrasi radiometrik [W-m-2-sr-1-count-1], qPixel,Band =
adalah nilai piksel yang telah dikoreksi; dan ΔλBand = nilai efektif pada
masing-masing kanal [µm].
2) Konversi radiansi spektral menjadi reflektansi
Dari kanal citra WorldView-2 reflektansi nilai permukaan dapat dihasilkan
dengan menerapkan Persamaan 2:
�����
�,��
��
= ���
�,� �
�� �
2
��
�
� ��
(2)
Dimana: ρλPixel,Band = nilai rata-rata reflektansi tiap kanal, LλPixel,Band = piksel
citra spektral top-of atmosphere radiansi pada setiap kanal, dES = jarak bumimatahari dalam satuan austronomis (AU) pada saat perekaman cita.
EsunλBand = nilai iradiansi matahari pada tiap kanal, θ = sudut zenith
matahari (Upike dan Comp 2010). Nilai kuantitatif yang digunakan
seluruhnya didapatkan dari metadata citra WorldView-2.
3) Koreksi atmosferik
Koreksi dilakukan untuk menghilangkan nilai atenuasi atau gangguan akibat
partikel atmosfer. Karbon dioksida, aerosol, dan ozon yang adalah faktor
absorbsi dapat menggangu radiasi serta menyebabkan pengukuran nilai
reflektasi tidak sesuai dengan nilai yang sebenarnya (Green et al. 2000).
Koreksi atmosferik yang digunakan adalah histogram adjustment.
7
Rasio relatif batimetri
Dalam pengolahan lanjutan dibutuhkan citra yang telah dikonversi menjadi
Digital Elevation Model (DEM). DEM merupakan representasi bentuk permukaan
bumi dalam format grid matriks. Data yang dimiliki diwakili oleh sistem koordinat
X dan Y memiliki sifat distribusi spasial, sementara medan diwakili oleh nilai
ketinggian atau kedalaman pada koordinat Z.
Perbedaan nilai pantulan dasar (bottom albedo) pada kedalaman yang konstan
akan menghasilkan rasio yang sama. Sementara itu penggunaan rasio relatif
batimetri Stumpf et al. (2003) dapat menunjukkan bahwa perubahan pada
kedalaman lebih mempengaruhi dibandingkan dengan perubahan pada bottom
albedo tersebut. Nilai kedalaman suatu titik di daerah penelitian diperoleh dari
Persamaan 3:
ln � �
�= 1
−
(3)
ln
�
�
Dimana: Z = estimasi kedalaman, m1 = koefisien kalibrasi, Rw(� = nilai reflektansi
per kanal, m0 = faktor koreksi untuk kedalaman 0, dan n = konstanta untuk menjaga
nilai rasio tetap positif. Koefisien m1 dan m0 masing-masing diperoleh dari hasil
regresi rasio kanal yang dipilih terhadap kedalaman lapangan.
Pendefinisian batimetri di perairan Pulau Harapan dan Kelapa dilakukan
dengan menggunakan kanal 1-5 citra WorldView-2, sementara kanal ke-6 sampai
8 tidak digunakan karena dianggap kurang efektif dalam mendefinisikan kedalaman
(Doxani et al. 2012). Terdapat sepuluh kombinasi rasio yang dihasilkan yaitu di
antaranya berdasarkan persamaan kedalaman relatif kanal Blue/Green (Stumpf et
al. 2003), Green/Yellow dan Green/Red (Madden 2011), kanal Coastal Blue/Yellow
(Alsubaie 2012), serta kanal-kanal lainnya yaitu Coastal Blue/Blue, Coastal
Blue/Green, Coastal Blue/Red, Blue/Yellow, Blue/Red, dan Yellow/Red.
Pengambilan titik sampel
Pemisahan wilayah dilakukan berdasarkan perbedaan interpretasi optik
substrat (Doxani et al. 2012), sehingga wilayah kajian dibagi menjadi dua yaitu
perairan dangkal dan dalam. Perairan dangkal mencakup substrat dominan pasir
dan patahan karang sampai ke tubir dan perairan dalam yaitu wilayah tubir ke
perairan yang lebih dalam. Perairan dangkal diwakili oleh titik-titik sampel di
Stasiun Timur dermaga Pulau Kelapa Dua dan Barat Daya Pulau Kelapa, serta
perairan dalam diwakili oleh titik-titik sampel di sekeliling perairan luar tubir
gugusan Pulau Kelapa dan Harapan (Gambar 1).
Perairan dangkal diwakili oleh sebanyak 24 titik sampel dengan pengukuran
manual di wilayah yang mewakili rentang kedalaman dangkal. Perairan dalam
diwakili sejumlah 71 titik sampel yang diambil berdasarkan titik pemeruman
akustik. Selanjutnya dilakukan perbandingan antara titik kedalaman sampel dengan
nilai rasio relatif pada kanal. Perbandingan antara kedua titik tersebut dapat
menghasilkan nilai determinasi (R2) yang menunjukkan tingginya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Persamaan regresi linear yang didapat
dijadikan formula untuk mendapatkan nilai batimetri absolut serta dibandingkan
kembali untuk dihitung selisihnya dengan hasil survey lapang.
8
Kombinasi batimetri citra dan perum untuk kedalaman absolut
Dilakukan penggabungan antara data batimetri absolut dari citra dan data
pemeruman menggunakan interpolasi spline with barriers. Proses ini dilakukan
untuk menyesuaikan resolusi spasial data batimetri citra WorldView-2 dengan hasil
pemeruman. Metode spline mengestimasi nilai dengan meminimalisir nilai kurva
permukaan secara keseluruhan. Penggunaan barrier atau pembatas dapat
menunjukkan keberadaan perbedaan garis, wilayah yang curam, maupun bentuk
lainnya yang menujukkan bentuk permukaan.
Hasil interpolasi menghasilkan profil batimetri gugusan Pulau Kelapa dan
Harapan. Tampilan disajikan dalam bentuk penampang melintang menggunakan
perangkat lunak, sementara secara 3D ditampilkan profil vertikal batimetri
berdasarkan garis transek yang dibuat.
Benthic Terrain Modeler (BTM)
Rugosity
Untuk melakukan analisis rugosity yang digunakan dalam toolbox
(perangkat) BTM yang terinstalasi dalam perangkat lunak ArcGIS 10.2 adalah
surface to planar area. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan permukaan
tiga dimensi dengan permukaan, serta luasan wilayah permukaan pada daerah
pengamatan secara horizontal (Wedding et al. 2008). Teknik ini dioperasikan
menggunakan metode triangulasi pada tiga grid piksel yang saling berdekatan (3x3
neighborhood). Hasil permukaan yang dibentuk kemudian dihitung nilai rasionya
terhadap bidang lurus yang sesuai dengan area permukaan.
Kompleksitas dan kondisi terumbu karang
In situ Rugosity
Kompleksitas dasar perairan dikaji menggunakan pendekatan in situ rugosity
yang diukur menggunakan transek rantai yang dibentangkan mengikuti lekukan dan
naikan kontur dasar perairan (Persamaan 4). Kompleksitas tertinggi dinyatakan
dengan nilai C mendekati 1 dan terendah dengan nilai mendekati 0.
(4)
� = − �⁄
Dimana: C = nilai rugosity, d = panjang transek rantai apabila dibentangkan
mengikuti kontur dasar perairan, sementara l = panjang transek rantai apabila
dibentangkan dalam satu garis lurus (Aronson dan Precht 2007; Fuad 2010).
Kajian aspek rugosity atau kompleksitas habitat dasar perairan ini diperkuat
dengan dilakukannya validasi di lima titik stasiun pengamatan (Gambar 1). Hasil
analisis rugosity menggunakan BTM selanjutnya divalidasi dengan menggunakan
regresi linear terhadap nilai in situ rugosity.
Kondisi hidup terumbu karang
Data karang dan bentik yang diperoleh menggunakan metode Point Intercept
Transect selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan persentase penutupan terumbu
karang menggunakan rumus English et al. (1997):
��
�� = �
%
(5)
�
Dimana: Li = persentase penutupan karang (%), li = panjang transisi antar titik antar
life form kategori ke-i, dan N = panjang total transek. Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut dapat diketahui tutupan substrat dasar suatu perairan. Substrat dasar dibagi
dalam beberapa kategori antara lain Hard Coral (HC), Dead Coral with Algae
9
(DCA), Dead Coral (DC), Soft Coral (SC), Macro Algae, Other Fauna, dan Abiotik.
Jenis substrat karang keras hidup (Hard Coral) kemudian dibagi ke dalam beberapa
bentuk pertumbuhan antara lain Acropora Coral Branching (ACB), Acropora
Coral Encrusting (ACE), Acropora Coral Submassive (ACS), Acropora Coral
Tubulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose
(CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CSM), Coral Mushroom (CMR),
Coral Milepora (CME), Coral Tubipora (CTU), Coral Heliopora (CHE) (English
et al. 1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batimetri
Wilayah Kajian Dangkal
Perairan dangkal perairan gugusan Pulau Kelapa dan Harapan memiliki
kisaran kedalaman 1-3 meter. Wilayah ini didominasi oleh substrat pasir yang
memiliki nilai reflektansi rendah karena substrat dengan butiran halus memantulkan
energi ke banyak arah dan menghasilkan nilai radiansi yang menyebar (Jensen
2000). Pengukuran di 24 titik yang mewakili perairan berkedalaman dangkal
dilakukan secara manual dengan menggunakan meteran (Gambar 1).
Terdapat 24 titik sampel yang setelah dilakukan perbandingan dengan
kedalaman lapang dapat diketahui nilai determinasi (R2) dari kedalaman relatif pada
masing-masing rasio kanal (Lampiran 1). Berdasarkan nilai kedalaman relatif
tersebut, didapatkan rasio kanal Green/Red dengan nilai R2 tertinggi yaitu 0,6622;
disusul dengan kanal Green/Yellow dengan R2= 0,5622; dan kanal Blue/Red dengan
R2=0,5548. Nilai R2 pada rasio kanal Green/Red menunjukkan regresi linear yang
positif menunjukkan terdapat hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan
panjang gelombang rasio kanal Green/Red dengan kedalaman manual lapang.
Kanal Green (510-580 nm) dan Red (630-690 nm) di perairan dangkal mampu
mendefinisikan kedalaman hingga 15 meter. Kedua kanal tersebut juga merupakan
kanal utama yang digunakan dalam persamaan pendefinisian rasio kanal oleh
Densham (2005). Kanal merah mengalami atenuasi yang lebih besar, sehingga
hanya dapat mendefinisikan kedalaman perarain dangkal.
Menurut Madden (2011), kombinasi rasio relatif Green/Red dan
Green/Yellow mampu mendefinisikan dasar perairan pasir karena kanal Red
memiliki nilai reflektansi yang lebih tinggi terhadap segmen pasir. Bastian (2013)
juga menggunakan kanal Green/Red dalam mendefinisikan wilayah perairan
dangkal yang didominasi oleh pasir berdasarkan nilai determinasi antara kedalaman
relatif dengan kedalaman pemeruman hasil pengukuran lapang. Kanal Green/Red
menunjukkan nilai rasio relatif lebih tinggi (0,7368) dibandingkan dengan
Green/Yellow (0,5374).
Perhitungan rasio kanal Stumpf et al. (2003) (persamaan 3), dapat diketahui
nilai piksel yang dimiliki oleh data raster kedalaman relatif untuk menghasilkan
nilai batimetri absolut. Wilayah kajian dangkal ini memiliki kisaran kedalaman
perairan antara 0,04924-5,095929 meter (Gambar 6). Kondisi ini sesuai dengan
profil dasar perairan hingga tubir gugusan Pulau Kelapan dan Harapan yang
tergolong perairan dangkal.
10
Gambar 6 Peta kedalaman dangkal absolut rasio kanal Green/Red
Kedalaman (m)
Perbedaan antara nilai kedalaman perairan manual dibandingkan dengan
nilai batimetri absolut kanal Green/Red (Gambar 7a). Berdasarkan titik
pengambilan sampel, diketahui bahwa nilai selisih kedalaman tertinggi sebesar
0,316 meter dan terendah sebesar 0,003 meter, serta standar deviasi sebesar 0,098.
Dari Gambar 7b diketahui bahwa terdapat selisih antara kedalaman manual dan
kedalaman absolut kanal Green/Red kurang dari 0,4 meter (Gambar 7b).
0
-0,5
-1
-1,5
-2
Titik manual
Frekuensi
(a)
8
6
4
2
0
0,05
0,11
0,16
Regresi Green/Red
0,21
Kelas data
0,26
0,32
(b)
Gambar 7 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Green/Red
More
11
Wilayah Kajian Dalam
Pemisahan wilayah kajian dalam dilakukan berdasarkan wilayah kajian
dengan nilai interpretasi optis berdasarkan substrat, wilayah ini diasumsikan
didominasi oleh substrat dasar terumbu karang. Perairan dalam dibatasi dari
wilayah tubir dengan jarak 75-200 meter tegak lurus ke arah laut dalam hingga
kedalaman 32 meter. Perairan dalam gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji
menggunakan 71 titik sampel yang merupakan titik pemeruman akustik single
beam (Gambar 1).
Berdasarkan titik-titik tersebut diketahui nilai R2 sebesar 0,7204 pada rasio
kanal Coastal Blue/Yellow, disusul R2= 0,7086 pada kanal Coastal Blue/Green, dan
R2= 0,2488 pada kanal Blue/Green (Lampiran 1). Nilai R2 pada rasio kanal Coastal
Blue/Yellow menunjukkan regresi linear yang positif, menunjukkan terdapat
hubungan positif antara nilai albedo yang ditampilkan panjang gelombang rasio
kanal tersebut dengan kedalaman manual lapang. Penelitian oleh Parthish (2011)
menunjukkan kemampuan kanal Coastal Blue dalam mendefinisikan batimetri
dibandingkan kanal Blue, sementara menurut Madden (2011) kanal Yellow dapat
mengurangi kesalahan dalam pendefinisian batimetri pada saat diuji dalam rasio
dengan kanal Blue dan Green.
Nilai batimetri absolut dapat diketahui dengan memasukkan persamaan
regresi linear pada nilai piksel data raster kedalaman relatif menggunakan
perhitungan Band Math. Perairan dangkal ini memiliki kisaran kedalaman perarian
antara 0,000505-36,363 meter (Gambar 8). Sebanyak 46 titik dipakai dalam
pendefinisian titik batimetri absolut. Kedalaman absolut yang memiliki selisih
dengan hasil pengolahan citra dan pemeruman lebih dalam dari 6 m tidak digunakan
karena nilai validasi yang rendah.
Gambar 8 Peta kedalaman absolut rasio kanal Coastal Blue/Yellow
Nilai kedalaman perairan pemeruman dibandingkan dengan nilai batimetri
absolut dari kanal Coastal Blue/Yellow (Gambar 9a). Kesesuaian antara kedua nilai
tersebut dilihat berdasarkan nilai standar deviasi sebesar 1,453; rentang selisih antar
titik sampel berada pada nilai minimal 0,039 sampai 5,323 meter. Sebaran
frekeuensi selisih pada data kedalaman juga menunjukkan bahwa terdapat 69,57%
sebaran selisih kedalaman keseluruhan sebesar 3,058 meter (Gambar 9b).
12
Kedalaman (m)
0
-5
-10
-15
-20
Pemeruman
(a)
Regresi Coastal Blue/Yellow
Frekuensi
15
10
5
0
0,79
1,55
2,30
3,06
3,81
Kelas data
4,57
5,32
More
(b)
Gambar 9 Selisih kedalaman manual dan absolut kanal Coastal Blue/Yellow
Kemampuan gelombang cahaya yang ditangkap oleh citra satelit dalam
mendefinisikan kedalaman dengan nilai galat sampai dengan 5,32 meter hanya
sampai kedalaman 36,36 meter. Presisi ini kurang tinggi jika dibandingkan dengan
kemampuan pemeruman akustik yang dapat menjangkau wilayah lebih dalam.
Hasil data kedalaman perairan dangkal dan dalam selanjutnya digabungkan dengan
data kedalaman pemeruman. Sementara itu, pada keseluruhan data dilakukan
penggabungan menggunakan metode interpolasi spline. Metode ini menggunakan
fungsi matematis yang meminimalisir permukaan yang memiliki kelengkungan dan
menghasilkan permukaan yang lebih halus.
Tampilan Visual Batimetri dan Analisis BTM
Kondisi batimetri gugusan Pulau Kelapa dan Harapan dikaji melalui
pendekatan penginderaan jauh satelit dan akustik. Secara keseluruhan profil
batimetri disajikan dalam ukuran piksel 2 meter dengan tujuan dapat
mendefinisikan kompleksitas dasar perairan yang ada sedetail mungkin. Raster
batimetri ditampilkan secara 2D, kemudian 5 transek garis diterapkan secara tegak
lurus dari tubir untuk mendapat gambaran umum profil vertikal batimetri di sekitar
Pulau Kelapa dan Harapan. Secara keseluruhan Pulau Kelapa dan Harapan
memiliki profil kedalaman dengan rentang 0,001 sampai dengan 62,156 meter.
Terdapat lima transek garis yang terdiri atas tiga transek yang mengarah ke perairan
lepas (Timur, Selatan, dan Barat) dan dua transek menghubungkan antara dua tubir
dari gugusan pulau yang berbeda (Utara dan Barat Daya). Kelima transek garis
masing-masing ditarik dengan titik awal A hingga titik akhir B (Gambar 10).
13
Gambar 10 Tampilan batimetri dan transek garis profil batimetri
Kenampakan dasar laut yang diperoleh melalui pendefinisian citra satelit dan
pemeruman didukung pula dengan studi lapang. Transek sepanjang 20 meter
diletakkan di lima stasiun pada tiga kedalaman (6, 8, dan 10 meter) yang mewakili
strata kedalaman lereng tubir gugusan Pulau Kelapa dan Harapan. Kelima stasiun
tersebut ditentukan berdasarkan titik koordinat awal dan akhir pengamatan lapang.
Dari setiap garis lurus dilakukan ekstraksi nilai surface to planar area pada
perangkat BTM dari setiap piksel yang dilewati oleh transek garis lurus. Masingmasing nilai tersebut disajikan pada tiga grid yang berbeda yaitu 1, 2, dan 5 meter.
Ketiga grid tersebut menunjukkan tingkat surface to planar area dari hasil
pengukuran batimetri memiliki nilai tidak kurang dari 1, nilai yang lebih besar
mendefinisikan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi (Gambar 11, Lampiran 2).
Titik sampel di posisi 106 o35’34’’ BT dan 5o39’8’’ LS menunjukkan nilai
surface to planar area pada grid 1 meter (a; 4,82) yang lebih terkonsentrasi namun
dengan nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan grid 2 meter (b; 5,84),
sementara pada titik sampel yang sama di grid 5 meter nilainya jauh lebih rendah
(c; 1,53). Berdasarkan ketiga pendekatan grid tersebut, dipilih grid 2 meter karena
dapat menampilkan nilai surface to planar area yang akurat dan mendekati citra
WorldView-2 yang memiliki ukuran grid citra berukuran 1,84 meter.
(a)
(b)
(c)
Gambar 11 Profil surface to planar area Stasiun Timur Pulau Kelapa dan
Harapan dengan grid (a) 1, (b) 2, dan (c) 5 meter
14
Transek garis di Stasiun Timur membentang secara tegak lurus dari wilayah
sebelum tubir menuju ke perairan terbuka. Gambar 12 menjelaskan profil batimetri
dan kompleksitas dasar berdasarkan surface to planar area dan in situ rugosity.
Stasiun Timur memiliki profil lereng terumbu yang landai dan berfluktuatif pada
kisaran 10-12 meter, kemudian menurun dengan terjal hingga kedalaman 30 meter
(Gambar 12a). Kompleksitas dasar perairan yang diamati menggunakan surface to
planar area memiliki nilai tertinggi pada kedalaman 6 meter (Gambar 12b). Stasiun
ini secara keseluruhan memiliki kompleksitas paling beragam dibandingkan stasiun
lainnya karena memiliki profil batimetri yang paling beragam karena profil
geomorfologi lereng yang fluktuatif pada wilayah tubir (Gambar 12c).
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 12 Stasiun Timur (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Profil lereng batimetri di Stasiun Selatan dan kompleksitas dasar perairan
berdasarkan nilai surface to planar area dan in situ rugosity ditunjukkan pada
Gambar 13. Profil rataan terumbu memiliki kedalaman 1,15-1,67 meter yang
kemudian menurun landai setelah melewati punggung terumbu dan mencapai
kedalaman 22 meter. Kondisi dasar perairan selanjutnya bersifat homogen di
kedalaman terdalam. Secara umum kondisi dasar perairan di Selatan tergolong
homogen dengan nilai surface to planar area yang seragam (Gambar 13b,d). Faktor
yang menyebabkan nilai yang homogen adalah profil batimetri wilayah perairan
tersebut memiliki kondisi yang relatif datar dan landai secara keseluruhan,
meskipun lereng yang terbentuk cukup terjal di kedalaman 7-12 meter (Gambar
13c).
15
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 13 Stasiun Selatan (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Transek vertikal di Stasiun Barat Daya menghubungkan antara dua tubir dari
gugusan pulau yang berbeda. Dasar perairan membentuk lereng yang menanjak ke
kedalaman yang lebih dangkal kedalaman 5,8 meter lalu semakin rendah hingga
menuju wilayah tubir dan rataan terumbu (Gambar 14a). Nilai surface to planar
area tertinggi terdapat di strata kedalaman 8 meter yang disusul oleh kedalaman 10
dan 6 meter (Gambar 14b). Wilayah ini memiliki struktur geomorfologi yang cukup
kompleks karena memiliki perubahan nilai kedalaman saat melewati dasar perairan
sebelum kembali menuju tubir (Gambar 14c).
(a)
(b)
C
(c)
(d)
D
Gambar 14 Stasiun Barat Daya (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai
surface to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal
transek CD (d) visual surface to planar area
Stasiun Barat memiliki kondisi dasar perairan dengan profil lereng terumbu
yang landai hingga mencapai kedalaman 15 meter. Profil kedalaman selanjutnya
16
membentuk lereng menuju kanal bawah laut dengan kedalaman 24,5 meter,
kemudian kembali ke kedalaman dengan rata-rata 14,05 meter. (Gambar 15a).
Secara umum melalui tampilan batimetri dan pengamatan lapang, Stasiun Barat
memiliki karakteristik lereng yang landai di kedalaman 6-10 meter (Gambar 15c).
Kompleksitas dasar perairan menjelaskan nilai surface to planar yang beragam di
setiap kedalaman dan nilai tertinggi terdapat di kedalaman 10 meter (Gambar
15b,d). Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh beragamnya nilai kedalaman di
Stasiun Selatan di wilayah lereng terumbu dan terdapatnya kanal bawah laut yang
mempengaruhi profil kedalaman secara signifikan (Gambar 15c).
(a)
(b)
C
(c)
(d)
D
Gambar 15 Stasiun Barat (a) profil batimetri vertikal transek AB (b) nilai surface
to planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek
CD (d) visual surface to planar area
Stasiun Utara memiliki kondisi umum batimetri yang paliing berbeda karena
transek garis lurus yang diambil melintasi sebuah gobah. Profil batimetri menurun
dengan profil lereng curam di kedalaman 3-10 meter, kemudian menurun landai
hingga kedalaman 25 meter. Kontur dasar pun semakin dangkal karena melewati
gobah dengan lebar ±80 meter. Kemudian profil batimetri kembali landai dan
semakin dangkal hingga menuju tubir dan kedalaman 2 meter (Gambar 16a).
Berdasarkan sampel surface to planar area yang diambil di beberapa strata
kedalaman, wilayah 6 dan 8 meter memiliki kompleksitas yang lebih tinggi
(Gambar 16b). Wilayah lereng yang diamati langsung di lapang berada pada
wilayah lereng terumbu (Gambar 16c) memiliki kondisi kompleksitas yang cukup
kompleks (Gambar 16d). Stasiun Utara terdiri atas kondisi dasar perairan yang
beragam karena terdiri atas beberapa struktur geomorfologi antara lain rataan
terumbu, lereng terumbu, dan gobah.
17
(a)
(b)
C
D
(c)
(d)
Gambar 16 Stasiun Utara (a) profil batimetri vertikal AB (b) nilai surface to
planar area setiap kedalaman (c) profil batimetri vertikal transek CD
(d) visual surface to planar area
Surface to planar area
BTM
Secara umum kompleksitas berdasarkan hasil analisis menggunakan surface
to planar area BTM memiliki rentang nilai mendekati 0 untuk wilayah homogen
dan menjauhi 0 untuk wilayah yang kompleks. Dasar Perairan Pulau Kelapa dan
Harapan memiliki nilai surface to planar area tertinggi di Stasiun Timur pada
kedalaman 6 dan 8 meter (4,12; 3,28), serta Barat 10 meter (3,12). Wilayah tersebut
termasuk ke dalam stasiun yang menghadap ke arah perairan lepas dan terpapar
langsung oleh arus dari luar gugusan pulau. Wilayah dengan kompleksitas terendah
terdapat di Stasiun Utara di setiap strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter yaitu masingmasing 1,72; 1,72; dan 1,29 (Gambar 17). Kondisi ini membutuhkan dukungan
hasil pengamatan kompleksitas dasar perairan terumbu karang di lapang.
5
4
Timur
3
Selatan
2
Barat Daya
1
Barat
0
6
8
Kedalaman (m)
10
Utara
Gambar 17 Hasil analisis surface to planar area BTM di keseluruhan Stasiun dan
strata kedalaman 6, 8, dan 10 meter
18
Profil Terumbu Karang
in situ rugosity
Melalui pendekatan ekologi, dilakukan kajian kompleksitas dasar perairan
terumbu karang Pulau Kelapa dan Harapan. Kajian ini menghasilkan nilai
matematis yang dapat mendefinisikan seberapa kompleks perairan tersebut.
Wilayah yang homogen dinyatakan dengan nilai mendekati 0, sementara
kompleksitas lebih tinggi dinyatakan dengan nilai yang mendekati 1.
Pulau Kelapa dan Harapan memiliki struktur kompleksitas yang beragam di
setiap stasiun dan berdasarkan tiga strata kedalaman yang berkisar antara 0,095
(homogen) hingga 0,434 (kompleks). Secara keseluruhan, nilai yang paling
kompleks terdapat di Stasiun Utara (0,434) dan Stasiun Barat (0,39) pada
kedalaman 6 meter, serta Stasiun Selatan (0,4025) pada kedalaman 8 meter.
Sementara itu, berdasarkan strata kedalamannya, perairan kedalaman 6 meter yang
memiliki nilai kompleksitas tertinggi terdapat di Stasiun Utara (0,434), kedalaman
8 meter di Stasiun Selatan (0,403), dan kedalaman 10 meter di Stasiun Utara
(0,291). Stasiun Timur menunjukkan nilai in situ rugosity terendah yaitu secara
berurutan berdasarkan setiap strata kedalaman 0,184; 0,196; dan 0,095 (Gambar 18,
Lampiran 3).
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Timur
Selatan
Barat Daya
6
8
Kedalaman (m)
10
Barat
Utara
Gambar 18 Profil in situ rugosity Pulau Kelapa dan Harapan pada strata
kedalaman 6, 8, dan 10 meter
Hasil kajian in situ rugosity dan surface to planar area (BTM) memiliki
beberapa perbedaan. Stasiun Timur yang memiliki nilai surface to planar area
tertinggi di kedalaman 6 dan 8 meter di sisi lain menunjukkan nilai in situ rugosity
terendah di setiap kedalaman. Nilai in situ rugosity yang rendah dapat disebabkan
oleh tutupan dasar perairan yang didominasi oleh patahan terumbu karang mati
yang ditumbuhi alga (Dead Coral with Algae) yang diidentifikasi melalui
pendekatan pengukuran lapang. Pendekatan surface to planar area
mengidentifikasi kompleksitas dengan cakupan area yang lebih luas dan
menunjukkan struktur geomorfologi yang lebih kompleks yang ditunjukkan oleh
warna merah yang mendominasi tampilan visualnya (Gambar 13d). Hal tersebut
menunjukkan bahwa Stasiun Timur memiliki profil yang kompleks di masa lalu
namun telah ditutupi oleh terumbu karang yang mati di saat ini. Menurut Hubbart
(1997), susunan fosil terumbu yang ada merupakan susunan yang saling
bertumpukan dari beberapa generasi dari terumbu karang yang ada.
Nilai surface to planar BTM dan in situ rugosity menunjukkan adanya
hubungan keterkaitan yang positif pada grid 1, 2, maupun 5 meter. Nilai pada grid
2 meter menunjukkan nilai determinasi (R2) tertinggi yaitu sebesar 0,3686 (Gambar
19
surface to planar
area BTM
19, Lampiran 6); grid 5 meter sebesar 0,3196; dan grid 1 meter 0,3177 (Lampiran
5 dan 7). Ketiga nilai tersebut menunjukkan nilai kompleksitas berdasarkan
pendekatan analisis surface to planar area BTM berpengaruh nyata terhadap in situ
rugosity (dB=28; p