Ekologi Dan Etnobotani Rotan Pada Masyarakat Suku Anak Dalam Di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI ROTAN PADA SUKU ANAK
DALAM DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DWI MAIRIDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekologi dan Etnobotani
Rotan pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas,
Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

Maret 2016

Dwi Mairida
NIM G353124071

RINGKASAN
DWI MAIRIDA. Ekologi dan Etnobotani Rotan pada Masyarakat Suku Anak
Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Dibimbing oleh
MUHADIONO dan IWAN HILWAN.
Rotan merupakan jenis tumbuhan suku Arecaceae yang memanjat dan
merambat, serta memiliki duri di setiap ruas. Masyarakat Suku Anak Dalam
(SAD) bermukim di dalam hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD)
memanfaatkan rotan sebagai bahan kerajinan, obat, makanan tambahan, pewarna
kerajinan, ritual, pengawet, tali temali dan sumber penghasilan. TNBD merupakan
kawasan pelestarian hutan berkaitan kearifan lokal SAD. Informasi pemanfaatan
rotan dan kearifan lokal SAD belum banyak diketahui masyarakat umum,
sehingga penelitian ini bertujuan mengkaji komposisi jenis rotan, pohon inang,
karakter edafik habitat rotan, dan strategi konservasi, menginventarisasi jenis

rotan serta mengkaji kearifan lokal SAD memanfaatkan rotan.
Penelitian dilakukan di kawasan zona pemanfaatan TNBD Sarolangun
Jambi bulan April-Juni 2014. Analisis vegetasi rotan dan inang menggunakan
metode nested sampling. Pengumpulan data etnobotani dilakukan melalui
wawancara mendalam, observasi partisipasi aktif dan dokumentasi menggunakan
teknik snowball sampling. Identifikasi rotan di Herbarium Bogoriense Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Identifikasi tanah di Laboratorium
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga
Bogor. Analisis data dengan indeks nilai penting, indeks asosiasi, dan indeks
kepentingan budaya. Karakteristik edafik mencirikan keberadaan rotan ditentukan
dengan metode Analisis Komponen Utama dan kemiripan karakteristik edafik
antar habitat rotan dengan analisis Hirarki Gabungan Klaster (HGK)
menggunakan software XLSTAT 2014.
Hasil penelitian menyatakan terdapat 22 jenis rotan dimanfaatkan
masyarakat SAD yaitu Calamus ornatus (Blume), C. caesius (Blume), C.
flabellatus (Becc.), C. manan (Miq.), C. trachycoleus (Becc.), C. diepenhorstii
(Miq.), C. csipionum (Lour.), C. hispidulus (Becc.), C. javensis (Blume), C.
retrophyllus (Becc.), C. cf. Ciliaris (Blume), C. zonatus (Becc.), C. axilliaris
(Becc.), Calamus sp. 1, Calamus sp. 2, Daemonorops geniculata (Griff.) Mart., D.
draco (Willd.) Blume, D. brachytachys (Furt.), D. verticiliaris (Griff.) Mart.,

Korthalsia echinometra (Becc.) dan K. Rosrata (Blume). Jenis yang mendominasi
zona pemanfaatan adalah D. geniculata (INP=21,49%), C. ornatus (INP=17,45%),
C. caesius (INP=16,51%).
Analisis komponen utama menunjukkan keberadaan K. echinometra lebih
dicirikan rasio C/N (14,19%) dan KTK (22 me/100g). Keberadaan C. manan kuat
dicirikan oleh C-org (4,94%), dan D. draco serta C. ornatus dicirikan oleh pasir
(63,34% dan 63,22%). Analisis hirarki gabungan klaster menunjukkan kemiripan
karakteristik edafik C. caesius dan C. trachycoleus pada kandungan K (0,10-0,18
me/100g) dan persentase debu (26-30%). C. ornatus dan D. draco memiliki
kemiripan karakteristik edafik pada persentase KB (7-8%), KTK (11-12%), Mg
(0,20-0,22 me/100g), K (0,14-0,15 me/100g), Na (0,1-0,11 me/100g), S (71-72%),
dan tekstur tanah lempung liat berpasir. Pertumbuhan rotan didukung oleh
keberadaan inang sebagai penunjang. Jenis inang mendominasi di zona

pemanfaatan adalah Litsea tomentosa (INP=13,31%), Artocarpus elasticus
(INP=11,73%) dan Palaquium gutta (INP=10,75%).
Jenis D. draco sangat berguna bagi masyarakat SAD karena getah buahnya
digunakan untuk pewarna kerajinan, obat sakit kepala, demam, diare dan luka,
sehingga jenis tersebut memiliki ICS berkategori tinggi (60). Selanjutnya untuk
pelestarian rotan, masyarakat SAD menetapkan dua kebijakan adat yaitu

kebijakan pemanfaatan rotan dan pengelolaan habitat rotan.
Strategi konservasi Calamus sp.2, C. ornatus, C. caesius D. geniculata dan
K. echinometra yaitu dengan mempertahankan habitat dan meningkatkan
intensitas pemanfaatan, karena jenis tersebut memiliki INP tinggi dan ICS rendah.
C. flabellatus, C. manan, C. javensis, C. scipionum dan D. draco perlu strategi
konservasi dengan mempertahankan habitat dan intensitas pemanfaatan, karena
INP dan ICS mereka tinggi. C. axillaris dan D. vericiliarias perlu dilakukan
budidaya dan mempertahankan intensitas pemanfaatan karena INP dan ICS-nya
rendah.
Kata kunci: ekologi, etnobotani, rotan, Suku Anak Dalam.

SUMMARY
DWI MAIRIDA Ecology and Ethnobotany Rattan on Community Anak Dalam
Tribe in Bukit Duabelas National Park, Jambi. Supervised by MUHADIONO and
IWAN HILWAN.
Rattan is plant species belongs to family Arecaceae were climbing and vine
as who have a thorns in every segment. Anak Dalam tribe settled in the forest
Bukit Duabelas National Park by using rattan as craft materials, medicine, food
additives, coloring crafts, rituals, preservatives ropes and source of income. Bukit
Duabelas National Park is a forest conservation area that is associated with local

knowledge of Anak Dalam tribe. By information and local knowledge of Anak
Dalam tribe rattan utilization is not known by the general public, therefore this
study aimed to assess the composition of rattan species, the host tree, Soil
characters of rattan habitat and conservation strategies, inventory the species of
rattan and local wisdom of Anak Dalam tribe examined the use of rattan.
The research was conducted in the area of utilization zone Bukit Duabelas
National Park, Sarolangun Jambi from month of April to June 2014. Analysis of
rattan vegetation and host used nested sampling method. Ethnobotany data
collection was done through in-depth interviews, observation and documentation
of active participation using snowball sampling technique. Identification of rattan
was done in Herbarium of Bogoriense, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong.
Identification of soil characters has been performed in the Soil Laboratory,
Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor
Agricultural University, Bogor. Analysis of data was done by importance value
index (IVI) and Index of Cultural Significance (ICS). The abundance of rattan is
determined by the method of Principal Component Analysis (PCA) and
characteristics similarities between rattan habitat soil with analysis of hierarchy
cluster (AHC) using XLSTAT 2014 software.
During this study 22 species of rattan has been used by Anak dalam tribe
community, namely Calamus ornatus (Blume), C. caesius (Blume), C. flabellatus

(Becc.), C. manan (Miq.), C. trachycoleus (Becc.), C. diepenhorstii (Miq.), C.
csipionum (Lour.), C. hispidulus (Becc.), C. javensis (Blume), C. retrophyllus
(Becc.), C. cf. ciliaris (Blume), C. zonatus (Becc.), C. axilliaris (Becc.), Calamus
sp. 1, Calamus sp. 2, Daemonorops geniculata (Griff.) Mart., D. draco (Willd.)
Blume, D. brachytachys (Furt.), D. verticiliaris (Griff.) Mart., Korthalsia
echinometra (Becc.) dan K. Rosrata (Blume). Species of Dominance the
utilization zone is D. geniculata (IVI=21.49%), C. ornatus (IVI=17.45%), C.
caesius (IVI=16.51%).
The PCA showed the presence of K. echinometra with more characterized
C/N ratio (14,19%)and cation exchange capacity (22 me/100g). Strong presence
of C. manan was characterized by organic carbon (4,94%), and D. draco, C.
ornatus was characterized by sand (63,34% and 63,22%). The AHC showed
characteristics similarities of soil for C. caesius and C. trachycoleus on calium
content (0.10-0.18 me/100g ) and a dust percentage (26-30%). C. ornatus and D.
draco have similar soil characteristics of base saturation with percentage (7-8%),
CEC (11-12 %), Mg (0.20-0.22 me/100g), K (0.14- 0.15 me/100g), Na (0.1-0.11
me/100g), S (71-72 %), and the soil texture of sandy loam clay. Rattan growth

was supported by the presence of the host as propagation. Dominant host species
in the utilization zone were Litsea tomentosa (IVI=13.31%), Artocarpus elasticus

(IVI=11.73%) and Palaquium gutta (IVI=10.75%).
Species D. draco is very useful for the people of Anak Dalam tribe because
the sap of the fruit used to dye crafts, to treat migraine headaches, fever, diarrhea
and injuries, therefore that these spescies have high ICS category (60).
Furthermore, for the preservation of rattan, the community Anak Dalam tribe set
two custom policies, on policy of the use of rattan and rattan habitat management.
Conservation strategy of species Calamus sp.2, C. ornatus C. caesius, D.
geniculata and K. echinometra is necessary to maintain habitat and increase the
intensity of utilization because the type of high IVI and low ICS. Species C.
flabellatus, C. manan, C. javensis, C. scipionum and D. draco need strategies to
maintain habitat conservation and intensity of use due to their ICS and high IVI .
It is necessary to maintain of cultivation and utilization of spesies C. axillaris and
D. vericiliaris as IVI and ICS is low.
Keywords: Anak Dalam tribe, ecology, ethnobotany, rattan.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI ROTAN PADA SUKU ANAK
DALAM DI TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DWI MAIRIDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Dra. Nunik Sri Ariyanti, M.Si

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah rotan,
dengan judul ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat Suku Anak Dalam di
Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Muhadiono M.Sc dan Dr. Ir.
Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing, serta Dr. Dra. Nunik Sri Ariyanti, M.Si
dan Dr. Ir Miftahudin M.Si yang telah banyak memberikan masukan berupa saran
dan arahan guna perbaikan tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada bapak Betaring sebagai Temenggung dan selaku kepala adat
Masyarakat SAD, serta pihak Balai Taman Nasional Bukit Duabelas, yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Dwi Mairida

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

7

TINJAUAN PUSTAKA


4

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Teknik Pengumpulan Data
Analisis Data

10
10
10
10
12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekologi
Komposisi Floristik Rotan
Komposisi Floristik Inang Rotan
Karakteristik Edafik Habitat Rotan
Hirarki Gabungan Klaster
Etnobotani
Pemanfaatan Rotan Masyarakat SAD
Produk Hasil Olahan Rotan
Pengetahuan pemanfaatan rotan Masyarakat SAD
Nilai Kepentingan Budaya Pemanfaatan rotan
Pelestarian Tradisional Rotan
Kebijakan Adat Pemanfaatan Rotan
Kebijakan Adat Pengelolaan Habitat Rotan
Budaya Tanam Rotan
Strategi Konservasi Rotan

15
15
15
16
19
21
23
23
25
30
31
31
32
32
33
34

SIMPULAN DAN SARAN

36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP

68

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Skala kategori SDR
Skala kategori nilai ICS
Kategorisasi strategi konservasi rotan
Komposisi jenis rotan di zona pemanfaatan TNBD Sarolangun Jambi
Tahun 2014
Komposisi lima jenis tertinggi strata pohon pada zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
Komposisi lima jenis tertinggi strata tiang pada zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
Komposisi lima jenis tertinggi strata pancang pada zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
Komposisi lima jenis tertinggi strata semai pada zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
Matriks karakteristik edafik rotan di zona pemanfaatan TNBD
Sarolangun Jambi
Manfaat rotan bagi masyarakat SAD di TNBD Sarolangun Jambi tahun
2014
Harga penjualan rotan masyarakat SAD di TNBD Sarolangun Jambi
tahun 2012
Strategi konservasi rotan yang perlu dilakukan pada kawasan TNBD
Sarolangun Jambi

13
13
14
15
17
17
18
19
20
24
30
35

DAFTAR GAMBAR
1 Sketsa penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat SAD di
TNBD Sarolangun, Jambi Tahun 2014
2 Peta Lokasi Taman Nasional Bukit Duabelas
3 Peta lokasi penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat
SAD di zona pemanfaatan TNBD Sarolangun Jambi
4 Petak contoh pengumpulan rotan dan inang di zona pemanfaatan TNBD
Sarolangun Jambi
5 Kerapatan total inang rotan strata pertumbuhan di TNBD Sarolangun
Jambi tahun 2014
6 Hasil AKU unsur tanah habitat rotan di zona pemanfaatan TNBD
Sarolangun Jambi Tahun 2014
7 Dendrogram kluster tanah rotan di TNBD Sarolangun Jambi
8 Kerajinan Ambung masyarakat SAD
9 Kerajinan masyarakat SAD A. Ambung; B. Penampion; C. Tekalo
10 Getah jernang (D. draco) yang dimanfaatkan masyarakat SAD di
TNBD
11 Buah rotan manau (C. manan) sebagai makanan ibu hamil (ngidam)
pada masyarakat SAD
12 Rotan dimanfaatkan sebagai bahan materi sekunder; A. Pengikat
pegangan jembatan, B. pengikat tiang pondok rumah SAD

3
4
10
11
19
20
22
25
26
27
28
29

13 Area padang rotan masyarakat SAD A. Tenggelow B. Subon sebagai area
pelestarian rotan dan pandan
33
DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Kunci identifikasi tekstur tanah
Dokumentasi penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat
SAD di TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
3 Nilai kualitas, intensitas dan ekslusivitas penggunaan rotan
4 Komposisi jenis rotan di TNBD Sarolangun Jambi tahun 2014
5 Komposisi jenis strata pohon pada kawasan TNBD Sarolangun Jambi
tahun 2014
6 Komposisi jenis strata tiang pada kawasan TNBD Sarolangun Jambi
tahun 2014
7 Komposisi jenis strata pancang pada kawasan TNBD Sarolangun Jambi
tahun 2014
8 Komposisi jenis strata semai pada kawasan TNBD Sarolangun Jambi
tahun 2014
9 Nilai kontribusi variabel unsur tanah habitat rotan di TNBD Sarolangun
Jambi
10 Hasil faktor edafik analisis kimia dan fisik tanah rotan di TNBD
Sarolangun Jambi
11 Hasil perhitungan ICS rotan yang dimanfaatkan masyarakat SAD di
TNBD Sarolangun Jambi tahun 2014

43
44
49
51
52
56
59
62
65
66
67

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki banyak
manfaat bagi kelangsungan hidup manusia antara lain sebagai penyedia sumber
makanan, penghasil devisa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Indonesia
merupakan salah satu negara mega-biodiversity karena memiliki kekayaan alam
hayati yang sangat melimpah serta beranekaragam. Alikodra (2010) menyatakan
keanekaragaman hayati Indonesia menempati peringkat kedua terbesar di dunia.
Putra et al. (2012) menambahkan Indonesia memiliki 17% jumlah jenis tumbuhan
di dunia. Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan hujan tropis dataran rendah
yang cukup luas, dan beragam kekayaan jenis tumbuhan yang belum diketahui
potensi serta pemanfaatannya (BKSDA 2009). Salah satunya adalah Taman
Nasional Bukit Duabelas (TNBD) terletak di kabupaten Sarolangun, Tebo dan
Batanghari yang menjadi tempat tinggal masyarakat Suku Anak Dalam (SAD).
Masyarakat SAD merupakan suku pedalaman Provinsi Jambi yang kebutuhan
hidupnya diperoleh dari sumber daya hutan.
Hutan TNBD merupakan kawasan konservasi dengan keanekaragaman
hayati berpotensi untuk dikembangkan antara lain Hasil Hutan Non Kayu
(HHNK) yang mampu menunjang kehidupan masyarakat lokal SAD sebagai
bahan kerajinan, obat, bahan tumah tangga dan sumber pendapatan (BKSDA
Jambi 2009). Saat ini pengelolaan HHNK masih tersingkirkan, belum mendapat
perhatian dari masyarakat umum, karena keterbatasan pengetahuan dan informasi
nilai ekonomi serta manfaatnya. Salah satu HHNK yang dapat dikembangkan
adalah rotan.
Rotan merupakan salah satu tumbuhan hutan yang mempunyai nilai
komersial dan merupakan sumber devisa negara. Sanusi (2012) menyatakan tahun
2005 rotan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 222.387.659, untuk itu
potensi rotan perlu dikembangkan dalam rangka meningkatkan pelestarian,
pemanfaatan, dan konservasi sumber genetik. Masyarakat SAD menggunakan
rotan untuk bahan kerajinan, peralatan rumah tangga dan sumber penghasilan
(Mairida et al. 2012). Setyowati (2003) menambahkan rotan digunakan sebagai
tali temali dan pangan tambahan. Rotan merupakan sumberdaya hutan non kayu
yang mempunyai nilai ekonomi dan budaya untuk kepentingan masyarakat SAD,
sehingga masyarakat SAD memiliki budaya atau kearifan lokal dalam menjaga
kelestarian rotan.
Informasi ekologi dan pemanfaatan rotan di TNBD Sarolangun belum
banyak diketahui masyarakat umum. Hal ini disebabkan keterbatasan dokumentasi
penelitian ekologi dan kearifan lokal SAD memanfaatkan rotan. Menurut Ramirez
(2007), penurunan keanekaragaman hayati diikuti oleh penurunan pengetahuan
tentang manfaat tumbuhan. Berdasar latar belakang tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat SAD di TNBD
Sarolangun, Provinsi Jambi.

2
Perumusan Masalah
Informasi ekologi dan pemanfaatan rotan oleh SAD masih terbatas sehingga
perlu dilakukan penelitian. Mengingat kebutuhan rotan meningkat dan bernilai
guna tinggi, dikhawatirkan ketersedian jenis rotan menurun seiring meningkatnya
penggunaan, maka diharapkan adanya informasi mengenai ekologi dan etnobotani
rotan, guna untuk merencanakan upaya pengembangan dan pelestarian rotan,
khususya di TNBD Sarolangun, Jambi.
Tujuan penelitian
Penelitian bertujuan mengkaji komposisi jenis rotan dan pohon inang, serta
karakter edafik habitat rotan, menginventarisasi jenis rotan yang dimanfaatkan,
mengkaji kearifan lokal masyarakat SAD memanfaatkan rotan dan strategi
konservasi di hutan TNBD Sarolangun, Jambi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi informasi mengenai ekologi dan
potensi rotan sebagai acuan upaya konservasi rotan berkelanjutan di TNBD
Sarolangun, Jambi.
Ruang Lingkup Penelitian
Objek penelitian dibatasi jenis rotan yang dimanfaatkan masyarakat SAD.
Lokasi penelitian di TNBD wilayah Sarolangun dan pengambilan plot sampel di
kawasan zona pemanfaatan.
Kerangka Pemikiram
Berdasar latar belakang kondisi permasalahan terkait pemanfaatan dan
komposisi rotan pada masyarakat SAD di TNBD Sarolangun, Jambi, selanjutnya
disusun kerangka pemikiran yang melatarbelakangi kegiatan penelitian (Gambar
1).

3
Keanekaragaman hayati di TNBD

Potensi rotan

Sebaran jenis rotan

Pemanfaatan

INP

Berapa spesies rotan?
Bagaimana stuktur populasi dan
karakteristik edafik rotan?
Bagaimana pemanfaatan dan
kearifan lokal SAD dalam
memanfaatkan rotan?

ICS

Penelitian

Ekologi

Metode nested sampling
komposisi
rotan dan inang
Data lingkungan
Faktor edafik

Etnobotani

Wawancara

Pemanfaatan

Analisis data
INP, Indeks
asosiasi, AKU, HGK, ICS.

Hasil

ekologi dan etnobotani rotan

Gambar 1 Sketsa penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat
SAD di TNBD Sarolangun, Jambi Tahun 2014.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Masyrakat SAD di TNBD
Deskripsi TNBD
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu kawasan
hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Kawasan TNBD terletak
pada tiga wilayah kabupaten yaitu di Kabupaten Batanghari (Kecamatan Maro
Sebo Ulu dan Batin XXIV), Sarolangun (Kecamatan Air Hitam) dan Tebo
(Kecamatan Muara Tabir) dengan luas kawasan sebesar 60.500 hektar (Sasmita
2009) (Gambar 2). Secara geografis, TNBD terletak di antara 102o31’37” sampai
102o48’27” Bujur Timur dan antara 1o44’35” sampai 2o03’15” Lintang Selatan
(BKSDA 2009).

Gambar 2 Peta Lokasi Taman Nasional Bukit Duabelas (Sumber BKSDA 2009)
Hutan TNBD memiliki topografi yang bervariasi, mulai dari datar,
bergelombang sampai perbukitan. Wilayah belahan selatan memiliki topografi
perbukitan dengan ketinggian antara 50-438 m dpl, seperti bukit suban, sungai
punai (sekitar 164 m dpl), gunung panggang (sekitar 328 m dpl) dan bukit kuran
(sekitar 438 m dpl). Wilayah belahan utara memiliki topografi datar
bergelombang. Secara umum kawasan TNBD berupa perbukitan dataran rendah
(Departemen Kehutanan 2007).

5
Kawasan TNBD memiliki beberapa kawasan zona, dibagi ke dalam enam
tipe zonasi pengembangan yang ditetapkan Departemen Kehutanan (2007) yaitu:
1. Zona inti, berupa daerah perbukitan, hutan rimba dan daerah dengan kondisi
masih asli.
2. Zona rimba, daerah disekitar zona inti, sebagai ruang kehidupan dan
penghidupan komunitas Suku Anak Dalam (SAD).
3. Zona pemanfaatan, yaitu daerah yang memiliki potensi alam dan
diperuntukkan kegiatan penelitian dan pendidikan.
4. Zona tradisional, berupa perkebunan, areal perburuan dan lokasi pondok
masyarakat SAD, serta pohon sialang. Kawasan ini artinya diperuntukkan
khusus memfasilitasi kebutuhan kehidupan dan penghidupan komunitas SAD.
5. Zona religi, mencakup kawasan sakral masyarakat SAD, seperti tanah
peranokan, tempat bebalai, tanah dewo, sentubung budak, dan tanah besetan.
6. Zona rehabilitasi, merupakan kawasan yang terbuka karena kebakaran,
perambahan dan lahan kritis yang memerlukan penanaman kembali dengan
tanaman asli.
Aksesibilitas TNBD
Letak geografis kawasan TNBD yang berada dibagian tengah wilayah
Provinsi Jambi memberikan kemudahan pencapaian ke lokasi TNBD tersebut,
melalui jalur perhubungan darat Lintas Tengah Sumatera. Jalur ini terhubung
langsung dengan sejumlah pintu masuk regional/ internasional perhubungan udara
dan laut yakni : Bagian Utara yaitu Medan, Padang, Pekanbaru dan Banda Aceh,
bagian Selatan adalah Palembang dan Lampung (Sasmita 2009).
Kawasan TNBD ditempuh dari Jambi ke Pauh menggunakan kendaraan
(mobil/motor) melewati Muara Bulian dengan jarak tempuh sekitar 144 km. Dari
Pauh dilanjutkan ke Pematang Kabau Kecamatan Air Hitam menggunakan
kendaraan dengan jarak tempuh sekitar 60 km. Selain jalur masuk dari Pauh,
TNBD juga dapat ditempuh dari jalur masuk Kecamatan Pemenang, kabupaten
Merangin (Mairida et al. 2014).
Memasuki kawasan hutan TNBD dapat menggunakan kendaraan bermotor
(roda dua) sampai wilayah perkebunan karet, sawit masyarakat SAD dan kawasan
tanaman obat. Selanjutnya dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk menjelajahi
kawasan hutan tersebut.
Sikap hidup masyarakat SAD
Masyarakat SAD menempati seluruh kawasan hutan TNBD, namun
beberapa kelompok masyarakat SAD mulai hidup dan menyatukan diri dengan
kehidupan desa disekitar serta memiliki rumah dari bantuan pemerintah pusat dan
daerah. Hutan merupakan tempat tinggal, berteduh, mencari makan dan mencari
nafkah bagi masayrakat SAD. Kelompok masyarakat SAD yang hidup di hutan
tidak menetap pada satu tempat, mereka (SAD) hidup berpindah-pindah disebut
melangun. Menurut Setyowati (2003), melangun merupakan kebiasaan SAD
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hal ini disebabkan tempat sudah tidak
menyediakan sumber makanan dan pencaharian. Selain itu terdapat salah satu
anggota kelompok meninggal dunia, sehingga mereka meninggalkan tempat
tersebut untuk menghilangkan rasa kesedihan.

6
Masyarakat SAD di TNBD Sarolangun bekerja sebagai petani dan
menyadap karet di perkebunan mereka sendiri. Hasil sadapan karet dijual
langsung ke boy (tengkulak) yang merupakan orang penerima atau pembeli getah.
Boy berasal dari masyarakat luar atau orang terang (bukan anggota SAD). Sumber
makanan masyarakat SAD berasal dari jenis umbi, buah, daun dan umbut.
Sementara itu kebutuhan mendapatkan makanan protein hewani dengan berburu
atau menjerat hewan di hutan, seperti babi hutan (Sus vitatus), rusa (Cervus
equimus) dan kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp.) serta mencari
ikan. Menurut Bahri (2011), berburu merupakan kegiatan mendapatkan makanan
yang mengandung protein hewani bagi masyarakat SAD, mereka merupakan
pemburu handal.
Kehidupan Masyarakat SAD menjunjung tinggi adat istiadat yang diatur
dalam hukum adat. Kebijakan adat merupakan perwujudan utama pada aturan
hukum adat yang wajib ditaati seluruh masyarakat SAD. Masyarakat SAD
melompokkan hukuman dalam kehidupan sehari-hari menjadi tiga kelompok yaitu
(Weintre 2003):
1. Hukum bangun yaitu setiap kesalahan yang di lakukan dikenakan denda
membayar 500 lembar kain. Jenis kesalahan hukum tersebut seperti
membunuh orang, menebang pohon sialang, menebang pohon durian,
merusak pohon tenggeris anak, menebang dan merusak pohon jernang.
Ketentuan sanksi hukum tersebut, jika penghulu membunuh rakyat maka
denda menjadi dua kali lipat (2 x 500 lembar kain) dan jika rakyat membunuh
penghulu maka denda menjadi tiga kali lipat (3 x 500 lembar kain).
2. Hukum pampay adalah sanksi dengan kesalahan memperkosa istri orang,
menakik pohon tenggeris anak dan sialang, membuat orang lain menderita
luka. Jenis luka yang dimaksud ada dua macam, pertama luka tinggi, jika luka
mengenai tangan dan kaki yang digunakan untuk bekerja maka hukumannya
250 lembar kain (setengah bangun). Kedua luka gores yaitu menakik pohon
sialang dan tenggeris anak, maka didenda membayar 120 helai kain.
3. Hukum cempalo yaitu sanksi atas kesalahan berhubungan dengan perempuan
seperti berbicara pada anak gadis, janda, istri orang, mencarut, dll. Hukuman
dikenakan membayar 120 lembar kain.
Masyarakat SAD mempercayai hukuman dari kesalahan tersebut tidak
hanya diberikan penghulu atau ketua adat, tetapi juga diberikan oleh dewo seperti
kesialan, penyakit, kematian, lumpuh, gila dan balak (musibah). Masyarakat SAD
percaya bahwa mantera dan seloko (sejenis pantun) adalah kumpulan doa yang
dipanjatkan kepada dewa dan roh leluhur. Seloko yang menjadi pedoman hidup
mereka adalah Bunuh adat nenek puyong kami, Samo lah bunuh hidup kami
Keanekaragaman hayati TNBD
Hutan TNBD memilliki berbagai jenis flora yang beranekaragam. Mulai
dari tumbuhan penghasil obat, anggrek, penghasil kayu, getah, buah dan
kerajinan. Sasmita (2009) menjelaskan jenis flora di kawasan TNBD belum
seluruhnya dilakukan identifikasi. Jenis tumbuhan obat yang tediri dari 137 jenis
termasuk didalamnya 27 jenis cendawan obat. Tumbuhan anggrek berjumlah 41
jenis. Tumbuhan penghasil kayu seperti bulian (Eusideroxylon zwageri), meranti
(Shorea sp.), kulim (Scorodocarpus borneensis). Penghasil getah diantaranya

7
jelutung (Dyera costulata), jernang (Daemonorops sp.), karet (Hevea brasiliensis)
dan kemenyan (Styrax benzoin). Tumbuhan penghasil buah diantaranya adalah
durian (Durio sp.), kedondong (Spondias pinnata). Tumbuhan penghasil kerajinan
seperti rotan (Calamus spp.), bambu (Bambusa spp.) dan pandan (Pandanus sp.).
Kawasan TNBD menyimpan kekayaan fauna yang beragam, mulai jenis
mamalia, primata, aves, reptilia, insekta dan pisces yang membentuk satwa liar di
kawasan tersebut. Beberapa diantaranya termasuk satwa langka dan dilindungi
seperti harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), siamang (Hylobates
syndactilus), Beruk (Macaca nemestrina), Macan dahan (Neofelis nebulosa),
kancil (Tragulus sp.), beruang madu (Helarctos malayanus), kijang (Muntiacus
muntjak), meong congkok (Prionailurus bengalensis), tapir (Tapirus indicus),
rusa sambar (Cervus unicolor) (Sylviani 2008). Menurut Departemen Kehutanan
(2007) TNBD memiliki jenis kupu-kupu yang tereksplorasi. Tidak kurang dari 12
jenis kupu-kupu telah teridentifikasi, diantaranya Trogonoptera brookiana,
Papilio nephelus, Graphium doson, Papilio domeleus, Troides amprysus dan lainlain.
Konsep Ekologi
Ekologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya atau lingkungannnya
(Setiadi et al. 2014). Prinsip mempelajari ilmu ekologi yaitu adaya keseimbangan
antara kebutuhan sumber daya alam manusia dan sumber daya alam yang ada di
alam sehingga tercipta upaya pengelolaan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan.
Odum (1994) mendefinisikan ekologi sebagai interaksi antara organisme
dengan lingkungannya, baik lingkungan bersifat biotis (hidup) maupun abiotis
(tak hidup). Lingkungan biotis berupa organisme lain yang ada di sekitar kita baik
organisme sejenis atau tidak sejenis. Lingkungan abiotis berupa lingkungan fisik
seperti suhu, intensitas cahaya matahari, angin, curah hujan, dan lain sebagainya.
Perkembangan ilmu ekologi dikenal dengan istilah sinekologi dan autekologi.
Sinekologi mengkaji kelompok organisme yang berasosiasi membentuk satu
kesatuan yang saling berinteraksi di alam. Autekologi adalah bagian dari bidang
ilmu ekologi yang mempelajari individu organisme atau jenis yang berinteraksi
dengan lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik. Autekologi
merupakan cabang ilmu ekologi yang mengkaji individu organisme atau jenis
yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku penyesuaian diri terhadap
lingkungan di mana individu atau jenis tersebut hidup. Selanjutnya disimpulkan,
autekologi berkaitan dengan siklus hidup, mempelajari individu jenis di luar
kondisi alami, adaptasi dan status perbedaan komunitas atau populasi.
Konsep Etnobotani
Etnobotani merupakan suatu bidang ilmu mempelajari hubungan timbal
balik antara masyarakat lokal dan alam lingkungan meliputi sistem pengetahuan
tentang sumberdaya alam tumbuhan. Etnobotani merujuk pada kajian interaksi

8
antara manusia dengan tumbuhan. Pemanfaatan tumbuhan tidak saja untuk
keperluan ekonomi, tetapi juga kepentingan spiritual dan nilai budaya termasuk
didalamnya pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat, sumber pangan dan
kebutuhan manusia lainnya (Dharmono 2007).
Pengetahuan etnobotani berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang
mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tumbuhan, bagaimana
tumbuhan diklasifikasi dan diberi nama, digunakan serta dikelola. Pemanfaatan
tumbuhan lebih diutamakan untuk kepentingan budaya dan kelestarian alam
(Cotton 1996). Studi etnobotani memberi kontribusi besar dalam proses
pengenalan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan
kearifan lokal masyarakat setempat. Etnobotani menekankan bagaimana
mengungkap keterkaitan budaya masyarakat dengan sumberdaya tumbuhan di
lingkungan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengetahuan etnobotani
digunakan untuk membantu menemukan solusi masalah, seperti meningkatkan
produksi pangan, meningkatkan petanian berkelanjutan, mengembangkan jenis
obatan baru dan menemukan strategi konservasi lingkungan
Melalui kajian etnobotani terungkap cara berpikir suatu kelompok
masyarakat, konsep mengenai tumbuhan, kebijakan pemanfaatan budidaya dan
konservasi keanekaragaman hayati sesuai aturan, nilai budaya, kepercayaan dan
ritual yang berlaku pada masyarakat tertentu. Selanjutnya etnobotani tidak hanya
memberikan bahan baku bagi bidang genetika, agronomi, fitokimia, dan
farmakologi, tetapi juga memberikan sumbangan terhadap program pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Morfologi, Klasifikasi dan Sebaran Rotan
Rotan merupakan tumbuhan liana yang memanjat, memiliki duri disetiap
ruas, dan tumbuh secara merumpun maupun tunggal (soliter). Rumpun rotan
terbentuk dari berkembangnya tunas yang dihasilkan kuncup ketiak bagian bawah
batang. Kuncup tersebut berkembang sebagai rimpang pendek, kemudian tumbuh
menjadi batang di atas permukaan tanah (Dransfield dan Manokaran 1996). Rotan
berbatang tunggal tidak beregenerasi dengan tunas atau dari tunggul yang
terpotong, tetapi dengan biji.
Rotan merupakan salah satu tumbuhan khas daerah tropis, secara alami
tumbuh pada hutan primer maupun sekunder termasuk daerah bekas perladangan liar
dan belukar. Secara ekologis rotan tumbuh subur diberbagai tempat seperti rawa,
tanah kering dataran rendah dan perbukitan, tanah kering berpasir, tanah liat berpasir
terutama di daerah lembab seperti pinggiran sungai (Kalima, 2008). Jenis tanah
ditumbuhi rotan adalah alluvial (biasanya sepanjang tepi sungai), latosol dan regosol
tetapi pertumbuhan terbaik pada daerah lereng bukit cukup lembab dengan
ketinggian antara 0-2900 meter dan iklim basah sampai kering (Anonim 2003).
Di dunia, rotan tersebar dari Afrika, India, Sri Lanka, lereng Himalaya, Cina
Selatan lewat Kepulauan Indonesia ke Australia dan Pasifik Barat hingga Fiji. Di
Indonesia, rotan tumbuh secara alami dan tersebar luas di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi serta Irian Jaya (Papua). Rotan merupakan salah satu
kelompok tumbuhan memiliki jumlah spesies cukup besar dengan tingkat variasi
tinggi. Keberadaan rotan di Asia Tenggara diperkirakan ± 516 jenis berasal dari

9
sembilan marga, yaitu Calamus 333 jenis, Daemonorops 122 jenis, Korthalsia 30
jenis, Plectocomia 10 jenis, Plectocomiopsis 10 jenis, Calopspatha 2 jenis,
Bejaudia 1 jenis, Ceratolobus 6 jenis dan Myrialepis (Dransfield 1974). Dunia
botani, rotan termasuk anggota suku Arecacea tergolong anak suku
Lepidocaryoideae. Penentuan jenis rotan melalui identifikasi karakter morfologi
organ tanaman, yaitu: akar, batang, daun, bunga, buah dan alat pemanjat (Telu
2006).
Rotan termasuk salah satu tumbuhan hutan yang mempunyai nilai komersial
dan menjadi sumber devisa bagi negara, dan Pribadi (2012) menyatakan bahwa
rotan adalah salah satu warisan dunia. Rotan sangat dibutuhkan dalam dunia
kerajinan sebagai konstruksi kursi, pengikat, maupun komponen desain (Kusnaedi
dan Pramudita 2013). Hampir seluruh bagian rotan digunakan untuk kebutuhan
tersebut. Jamaludin (2013) menambahkan, sebagai bahan alami, rotan sudah sejak
lama dikenal masyarakat Indonesia dan digunakan dalam berbagai keperluan
hidup sehari-hari.

10

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di TNBD Kabupaten Sarolangun, Jambi bulan April–
Juni 2014. Pelaksanaan penelitian eksplorasi dilakukan pada zona pemanfaatan.
Lokasi pengambilan sampel disajikan pada Gambar 3. Identifikasi jenis rotan
dilakukan di Herbarium Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong, Bogor. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di Laboratorium Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga Bogor.

Zona Pemanfaatan

Kawasan TNBD

Gambar 3 Peta lokasi penelitian ekologi dan etnobotani rotan pada masyarakat
SAD di zona pemanfaatan TNBD Sarolangun Jambi.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan digunakan yaitu kertas label, koran, tali ukur, luxmeter,
kardus, karung, GPS, sasak, plastik, etiket gantung, spiritus putih, tali rafia,
kamera digital, perekam suara, panduan wawancara, buku identifikasi dan kunci
determinasi, laptop, thermohigrograf dan perlengkapan tulis.
Teknik Pengumpulan Data
Studi ekologi
Studi ekologi meliputi teknik pengumpulan data ekologi primer dan karakter
edafik habitat rotan. Data ekologi primer untuk mengetahui komposisi jenis rotan
dan inang, menggunakan kombinasi metode jalur dan garis berpetak (nested
sampling). Jumlah petak pengamatan dibuat sebanyak 35 petak (plot).

11
Pengambilan data komposisi rotan dilakukan pada plot berukuran 10 m x 10 m
(Kalima & Jasni 2010). Pengumpulan data meliputi jumlah individu jenis rotan,
diameter batang inang rotan, jumlah individu dan luas bidang dasar pohon inang.
Ilustrasi plot ditunjukkan pada Gambar 4.

Keterangan:
a) Petak ukur 20 m x 20 m inang strata pohon (diameter > 20 cm)
b) Petak ukur 10 m x 10 m rotan dan inang strata tiang (diameter 7 – 20 cm)
c) Petak ukur 5 m x 5 m inang strata pancang (tinggi ≥ 150 cm, diameter 2-7 cm)
d) Petak ukur 2 m x 2 m inang strata semai (tinggi < 150 cm, diameter < 2 cm).

Gambar 4

Petak contoh pengumpulan rotan dan inang di zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lokasi lima jenis rotan yang
mendominasi dan dua jenis bernilai ekonomi tinggi. Sampel tanah diambil dari
lapisan top soil hingga kedalaman 20 cm (Rugayah et al. 2004) pada empat titik
diagonal sebanyak 1 kg, lalu tanah dikompositkan. Sifat fisik tanah dianalisis
meliputi tekstur tanah (pasir, debu, liat) dan sifat kimia meliputi kandungan bahan
organik tanah dinyatakan dalam rasio C/N, kandungan Ca, Mg, K dan Na, serta
nilai kapasitas tukar kation (KTK). Menentukan tekstur tanah menggunakan
diagram segitiga dan Tabel fraksi kelas tekstur tanah berdasar persentase pasir,
debu dan liat (Lampiran 1).
Studi etnobotani
Data etnobotani berupa pengetahuan lokal masyarakat SAD mengenai
pemanfaatan rotan, meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui wawancara mendalam (in-depth interwiew) terhadap infoman kunci
terkait jenis rotan yang dimanfaatkan masyarakat SAD dengan teknik snowball
sampling, yaitu teknik pemilihan informan selanjutnya berdasar rekomendasi
informan kunci (Sugiyono 2008). Observasi partisipasi aktif, mengikuti kegiatan
masyarakat SAD memanfaatkan rotan. Data sekunder diperoleh melalui studi
dokumentasi, literatur dan publikasi. Dokumentasi berupa pengambilan foto
(Lampiran 2), rekaman suara dan video.
Pembuatan herbarium dan identifikasi rotan
Identifikasi rotan dilakukan pada jenis yang belum diketahui nama ilmiah.
Jenis tersebut dibuat herbarium, kemudian dilakukan pengamatan morfologis dan
membandingkan spesimen atau koleksi di Herbarium Bogoriense LIPI Cibinong,

12
serta menggunakan buku identifikasi Manual of the rattans of the Malay
Peninsula (Dransfield 1979), The rattan of Sabah (Dransfield 1984), The rattan of
Sarawak (Dransfield 1992), dan The rattan of Brunei Darussalam (Dransfield
1997).
Pembuatan herbarium, langkah pertama mengoleksi sampel dari lapangan.
Sampel yang diambil diusahakan memiliki organ lengkap. Selanjutnya sampel
disiram dengan spirtus putih, kemudian disusun dan disimpan dalam koran.
Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 60 x 40 cm
dan disiram dengan spiritus kembali secara merata, kemudian kantong plastik
ditutup rapat.
Langkah selanjutnya pengeringan, sampel dikeluarkan dari kantong plastik,
kemudian susunan sampel disasak dan diikat kuat dengan tali sehingga semua
sampel terapit rata. Selanjutnya sampel dikeringkan menggunakan oven pada suhu
60C. Setelah pengeringan, dilakukan proses pensterilan dengan difreezer selama
± tiga hari, selanjutnya dilakukan identifikasi.
Analisis Data
Indeks nilai penting
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan parameter kuantitatif menyatakan
tingkat dominasi jenis tumbuhan dalam suatu komunitas (Cox 1967). Nilai
Penting jenis rotan berkisar antara 0-200% (Heddy 2012). Menghitung INP jenis
rotan dan inang strata pancang serta semai menggunakan rumus; INP = KR
(Kerapatan Relatif) + FR (Frekuensi Relatif). Menghitung INP inang strata pohon
dan tiang; INP = KR + FR + DR (Dominansi Relatif). Nilai KR, FR dan DR
dihitung menggunakan rumus :
Kerapatan (K) (ind/ha)
umla individu suatu jenis
Luas seluru petak conto

Kerapatan Relatif (KR)

Frekuensi (F) (m2/ha)
umla petak ditemukan suatu jenis
umla seluru petak conto

Frekuensi Relatif (FR)

Dominansi (D) (m²/ha)
idang dasar suatu jenis
Luas
petak conto

Dominasi Relatif (DR)

100







100

100

Summed dominance ratio (SDR)
SDR adalah parameter yang identik dengan INP untuk menyatakan
ketersedian jenis dan penguasaan suatu habitat. Nilai SDR tertinggi menunjukkan
spesies paling dominan dan sebaliknya. Secara matematis dirumuskan sebagai
berikut (Odum 1994):
SDR rotan dan inang strata pancang serta semai; S
SDR inang strata pohon dan tiang; S

.
3

2

13
Selanjutnya menentukan kategori SDR menggunakan Tabel 1.
Tabel 1 Skala kategori SDR (Modifikasi Setyaningrum 2009).
No.

Kisaran nilai SDR (%)

Kategori

Kode

1
2
3

≥5
2,5 – 4,9
≤ 2,49

Tinggi
Sedang
Rendah

T
SD
R

Karakteristik edafik habitat rotan
Analisis Komponen Utama (AKU) untuk menentukan karakteristik faktor
edafik habitat rotan. Mengetahui kemiripan karakteristik edafik antar habitat rotan
dengan analisis Hirarki Gabungan Klaster (HGK). Analisis data AKU dan HGK
menggunakan software XLSTAT 2014.
Indeks kepentingan budaya
Mengukur kepentingan jenis rotan bagi kehidupan masyarakat SAD
dilakukan dengan analisis kepentingan budaya, meliputi nilai kualitas, intensitas
dan ekslusivitas (tingkat kesukaan). Analisis kepentingan budaya SAD
memanfaatkan rotan menggunakan Indeks of Cultural Significance (ICS)
(Cunningham 2001), dihitung dengan rumus:
n

S ∑ q i e n
i 1

Keterangan: ICS = Indeks kepentingan budaya; q = Nilai kualitas (quality value); i =
Nilai intensitas (intensity value); e = Nilai eksklusivitas (exclusivity value); nᵢ =
menunjukkan urutan pemanfaatan tumbuhan kesekian.

ICS menunjukkan persamaan jumlah nilai guna suatu jenis rotan dari
pemanfaatan ke-satu (i) hingga ke-n. Nilai kegunaan ditentukan memberi skor
atau nilai kualitas suatu jenis rotan, nilai intensitas (intensity value)
menggambarkan intensitas pemanfaatan jenis rotan dan nilai eksklusivitas
(exclusivity value) merupakan tingkat kebutuhan tergantung budaya. Menentukan
nilai kualitas, nilai intensitas, dan nilai eksklusivitas tersaji pada Lampiran 3.
Menentukan skala kategori nilai ICS berdasar nilai pemanfaatan setiap jenis rotan,
menggunakan Tabel 2.
Tabel 2 Skala kategori nilai ICS (Modiifikasi dari Setyaningrum 2009)
No.

Kisaran nilai ICS

Kategori

Kode

1
2
3

≥ 50
25 – 49,5
1 – 24,5

Tinggi
Sedang
Rendah

T
SD
R

14
Analisis strategi konservasi
Kebijakan strategi konservasi perlu dilakukan dalam pemanfaatan dan
pelestarian rotan berdasar hasil analisis perbandingan kategori SDR dengan ICS.
Menentukan strategi konservasi rotan menggunakan Tabel 3.
Tabel 3 Kategorisasi strategi konservasi rotan (Batoro 2012)
No.

Kategori pembanding

1

SDR
Tinggi/sedang

ICS
Rendah

2

Tinggi/sedang

Tinggi/sedang

3

Rendah

Tinggi/sedang

4

Rendah

Rendah

Strategi konservasi
Mempertahankan habitat dan
meningkatkan intensitas pemanfaatan
Mempertahankan habitat dan intensitas
pemanfaatan
Membudidayakan dan menurunkan
intensitas pemanfaatan
Membudidayakan dan mempertahankan
intensitas pemanfaatan

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekologi
Komposisi floristik rotan
Komposisi floristik merupakan daftar jenis tumbuhan yang ada dalam suatu
komunitas (Fachrul 2007). Daftar floristik berguna sebagai salah satu prameter
untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan dalam suatu komunitas. Hasil
penelitian menemukan 22 jenis rotan berasal dari tiga marga yaitu Calamus (16
jenis), Daemonorops (4 jenis) dan Korthalsia (2 jenis). Marga Calamus memiliki
kerapatan tertinggi yaitu 115 individu/ha, selanjutnya Daemonorops 36
individu/ha dan Korthalsia 21 individu/ha. Kerapatan individu merupakan
parameter yang paling penting untuk dianalisis (Pitchairamu et al. 2008).
Keraptan menunjukkan ketersedian jenis pada satu hektar (ha) luas area tertentu.
Setiap habitat memiliki komunitas jenis yang berbeda satu sama lain. Komposisi
jenis rotan disajikan pada Tabel 4. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.
Tabel 4 Komposisi jenis rotan di zona pemanfaatan TNBD Sarolangun Jambi
Tahun 2014
No.

Jenis rotan

1

Daemonorops geniculata
(Griff.) Mart.
Calamus ornatus (Blume)
Calamus caesius (Blume)
Korthalsia echinometra (Becc.)
Daemonorops draco (Willd.)
Blume
Calamus flabellatus (Becc.)
Korthalsia rostrata (Blume)
Calamus sp.2
Calamus manan (Miq.)
Calamus trachycoleus (Becc.)
Calamus diepenhorstii (Miqq.)
Calamus scipionum (Lour.)
Calamus hispidulus (Becc.)
Calamus javensis (Blume)
Calamus retrophyllus (Becc.)
Calamus cf. ciliaris (Blume)
Calamus zonatus (Becc.)
Daemonorops brachystachys
(Furt.)
Calamus axillaris (Becc.)
Calamus sp.1
Daemonorops verticiliaris
(Griff.) Mart.
Calamus rhomboideus Blume

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Ki
(i/ha)

KR
(%)

Fi
(plot)

FR
(%)

INP
(%)

15,00

9,86

0,43

13,60
12,10
9,29
10,70

8,92
7,98
6,10
7,04

0,31
0,31
0,23
0,17

8,53
8,53
6,20
4,65

10,70
9,29
8,57
7,86
6,43
5,71
5,00
5,71
6,43
5,00
4,29
2,86
3,57

7,04
6,10
5,63
5,16
4,23
3,76
3,29
3,76
4,23
3,29
2,82
1,88
2,35

0,17
0,20
0,17
0,17
0,17
0,17
0,17
0,14
0,11
0,11
0,11
0,11
0,09

4,65 11,70
5,43 11,50
4,65 10,30
4,65 9,82
4,65 8,88
4,65 8,41
4,65 7,94
3,88 7,63
3,10 7,33
3,10 6,39
3,10 5,92
3,10 4,98
2,33 4,67

3,57
2,86
2,14

2,35
1,88
1,41

0,09
0,09
0,09

2,33
2,33
2,33

4,67
4,20
3,73

1,43

0,94

0,06

1,55

2,49

11,60 21,50
17,45
16,51
12,30
11,70

16
Berdasarkan Tabel 4 komposisi jenis Daemonorops geniculata memiliki
kerapatan tertinggi yaitu 15 individu/ha, kemudian Calamus ornatus 14
individu/ha dan Calamus caesius 12 individu/ha. Hal ini mengartikan bahwa jenis
rotan dengan kerapatan tertinggi (D. geniculata, C. ornatus, dan C. caesius)
merupakan jenis yang rapat dan tersebar hampir seluruh lokasi pengamatan (plot).
Arrijani (2008) menyatakan nilai kerapatan merupakan gambaran ketersedian jenis
rotan pada suatu area dalam satuan hektar.
Ketersediaan jenis rotan diperoleh dari hasil INP tertinggi pada masingmasing jenis. Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), INP merupakan salah
satu parameter memberikan gambaran ketersedian jenis, penyebaran dan
penguasaan jenis dalam suatu komunitas. Berdasarkan Tabel 4 komposisi jenis
rotan pada zona pemanfaatan didominasi oleh D. geniculata (INP= 21,5 %) yang
memiliki kerapatan tertinggi yaitu 15 individu/ha, kemudian C. ornatus
(INP=17,45 %) dengan kerapatan 14 individu/ha, dan C. caesius (INP=16,51%)
dengan kerapatan 12 individu/ha. Jenis rotan dengan kerapatan tertinggi (D.
geniculata, C. ornatus, dan C. caesius) merupakan jenis yang rapat dan tersebar
hampir seluruh lokasi pengamatan (plot). Arrijani (2008) menyatakan nilai
kerapatan merupakan gambaran ketersedian jenis rotan pada suatu area dalam satuan
hektar.
Berdasarkan jenis rotan yang memiliki INP tinggi mengindikasikan bahwa
keberadaannya masih melimpah di zona pemanfaatan, hal ini disebabkan jenis
tersebut dijaga kelestariannya melalui hukum adat, karena bermanfaat bagi
masyarakat SAD. Selain itu kemungkinan jenis rotan yang mendominasi memiliki
kemampuan untuk hidup dan daya adaptasi terhadap lingkungan cukup tinggi.
Kalima dan Jasni (2010) menjelaskan hasil penelitiannya di hutan lindung Batu
Kapar, Gorontalo Utara, ditemukan jenis C. ornatus yang mendominasi pada
ketinggian 600-700 m dpl.
Komposisi floristik inang rotan
Rotan merupakan tumbuhan liana yang hidupnya tergantung pada pohon
inang. Apabila pohon ianag terganggu, maka populasi rotan ikut terganggu.
Soemarna (2009), menyatakan rotan membutuhkan pohon inang untuk
kelangsungan hidup. Komposisi jenis inang rotan pada vegetasi strata pohon
cukup bervariasi, terdapat 108 jenis pohon inang berasal dari 33 famili. Menurut
masyarakat SAD seluruh jenis pohon mampu dijadikan inang rotan. Hal ini
didukung pernyataan Soemarna (2009) bahwa semua jenis pohon di hutan dapat
dijadikan pohon inang atau panjatan rotan. Jenis inang rotan strata pohon
didominasi oleh famili Anacardiaceae, Dipterocarpaceae, dan Lauraceae. Data
komposisi inang rotan lima jenis tertinggi strata pohon disajikan pada Tabel 5.
Data selengkapnya pada Lampiran 5.
Berdasarkan perhitungan INP > 10%, jenis inang yang mendominasi strata
pohon adalah Litsea tomentosa (INP=13,31%), Artocarpus elasticus
(INP=11,73%), dan Palaquium gutta (10,75%). Ketiga jenis tersebut memiliki
kerapatan 14 individu/ha. Hal ini didukung regenerasi anakan ketiga jenis tersebut
tumbuh berkembang dengan baik. Arrijani (2008) menyatakan, kehadiran suatu
jenis pohon pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan pohon tersebut
beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis mendominasi

17
suatu areal dinyatakan sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan
toleransi terhadap kondisi lingkungan.
Tabel 5 Komposisi lima jenis tertinggi strata pohon pada zona pemanfaatan
TNBD Sarolangun Jambi Tahun 2014
No.
1
2
3
4
5

Nama Ilmiah
Litsea tomentosa
Artocarpus elasticus
Palaquium gutta
Hopea dryobalanoides
Canarium pilosum

Ki (i/ha)
14,30
14,30
14,30
3,57
7,86

KR (%)
4,55
4,55
4,55
1,14
2,50

FR (%)
3,77
3,77
3,46
1,57
3,46

DR (%)
4,99
3,41
2,75
7,66
4,29

INP(%)
13,31
11,73
10,76
10,37
10,25

Komposisi inang rotan strata tiang terdapat 81 jenis dari 21 famili yang
didominasi oleh Dipterocarpaceae, Lauraceae, dan Anacardiaceae, hal ini
disebabkan kemampuan pertumbuhan anggota famili tersebut lebih cepat dan
mampu berkompetisi dengan jenis famili lainnya. Setiadi (2004) menjelaskan
jenis mendominasi suatu wilayah memiliki kemampuan adapatasi dan toleransi
relatif lebih baik dibanding jenis lain. Ashton (1998) menambahkan, habitat
Dipterocarpaceae adalah kondisi hutan primer alami sudah mencapai tahap
klimaks dalam proses suksesi, sehingga keberadaan Dipterocarpaceae merupakan
indikator kualitas habitat yang stabil. Data komposisi inang rotan lima jenis
tertinggi strata tiang disajikan pada Tabel 6. Data selengkapnya pada Lampiran 6.
Tabel 6 Komposisi lima jenis tertinggi strata tiang pada zona pemanfaatan TNBD
Sarolangun Jambi Tahun 2014
No. Nama ilmiah
1
2
3
4
5

Palaquium gutta
Garcinia atroviridis
Ochanostachys
amentacea
Lithocarpus lucidus
Litsea sp.1

Kᵢ (i/ha)

KR (%)

FR (%)

DR (%)

INP (%)

20,00
12,14
7,86

7,74
4,70
3,04

5,20
5,63
3,90

5,08
3,19
5,08

18,02
13,52
12,02

10,00
10,43

3,87
4,42

3,90
4,33

3,25
2,00

11.02
10,75

Komposisi inang rotan strata tiang didominasi oleh Palaquium gutta
(INP=18,02%) dengan kerapatan jenis 20 individu/ha, Garcinia atroviridis
(INP=13,52%) dengan kerapatan jenis 12 individu/ha, dan Ochanostachys
amentacea (INP=12,02%) dengan kerapatan jenis 8 individu/ha. Heriyanto